Buletin DBD
Buletin DBD
Buletin DBD
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X-5 Kav. 4-9 Jakarta 12950
Telp. : 021-5221432, 021-5277167-68, Fax : 021– 5203874, 021-5277167-68
Email : [email protected]
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah atas ridhoNya, maka Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia dapat menerbitkan volume kedua buletin “ Jendela Epidemiologi “.
Komunikasi merupakan hal yang penting di dalam menjembatani kebutuhan penyampaian pendapat sehingga
diperlukan media seperti buletin epidemiologi ini. Peluang yang baik ini kiranya dapat dimanfaatkan oleh seluruh
pihak terkait untuk menuangkan ide, karya, nasehat, kritik dan lain-lain bagi upaya pembangunan kesehatan yang
lebih baik.
Dengan kehadiran buletin Jendela Epidemiologi ini, maka data dan informasi kesehatan yang selama ini terkumpul di
Kementerian Kesehatan dapat dianalisis secara lebih komprehensif serta mendapat tanggapan dari berbagai pihak
terkait. Hasil analisis dan tanggapan dalam buletin ini tentu akan sangat bermanfaat sebagai masukan bagi para
pimpinan, dalam proses pengambilan keputusan di Kementerian Kesehatan khususnya di daerah,
Buletin edisi kedua ini memuat topik “Demam Berdarah Dengue”. Topik ini ternyata mendapat sambutan yang cukup
besar dari para pakar/akademisi, praktisi, dan pengambil keputusan di bidang penanggulangan dan pengendalian
DBD. Untuk itu, dalam kesempatan ini, kami sampaikan terima kasih yang sebesar - besarnya.
Keberhasilan terbitnya buletin edisi pertama menjadi penyemangat untuk tersusunnya edisi kedua ini. Sumbang saran
dan masukan dari semua pihak sudah kami terima, namun kami tetap nantikan kritikan untuk perbaikan dan
penyempurnaan edisi berikutnya.
Akhir kata, diharapkan buletin Jendela Epidemiologi menjadi media dialog antara Kementerian Kesehatan dan
berbagai mitra kerjanya. Kami pun berharap agar mutu dari buletin ini semakin lama semakin ditingkatkan, seiring
dengan meningkatnya mutu data dan informasi yang dihasilkan.
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World
Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang
terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas
ke seluruh Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus,
famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Persebaran Kasus
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan
persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi
juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.
Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan
wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dari Gambar 1 tampak siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan, hal ini terjadi kemungkinan karena adanya
perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc
Michael (2006), perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap
ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti
nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk
yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin
luas.
Gambar 1. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 1968 – 2009
Berdasarkan situasi di atas, terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai tahun 2009. Hal ini dapat disebabkan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus termasuk lemahnya upaya program pengendalian DBD, sehingga upaya
program pengendalian DBD perlu lebih mendapat perhatian terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas.
Gambar 2. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2009
Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk),
sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11
(33%) provinsi termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk), lihat Gambar 2.
Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Provinsi DKI dan
Kalimantan Timur selalu berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi setiap
tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang tinggi dan sarana transportasi yang lebih
baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus menjadi lebih mudah dan lebih luas. Berbeda dengan Kaltim yang
penduduknya tidak terlalu padat, menurut SUPAS 2005 kepadatan penduduk Kalimantan Timur hanya 12 orang/km2 (DKI Jakarta
13.344 orang/km2). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur, kemungkinan adalah karena
curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembang
biak.
Gambar 3. Lima provinsi tertinggi Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2005-2009
Gambar 4. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009
Berdasarkan AI suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam risiko tinggi, sedang dan rendah yaitu risiko tinggi bila AI > 55
per 100.000 penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per 100.000 penduduk dan risiko rendah bila AI <20 per 100.000 penduduk. Dari
Gambar 4 di atas terlihat dari tahun 2005 hingga 2009, jumlah provinsi yang berisiko tinggi (high risk) meningkat dan terjadi
perubahan. Misalnya pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali masuk sebagai daerah risiko tinggi dimana pada
tahun ini terjadi epidemik (Gambar 1). Tetapi pada tahun 2009 terjadi perubahan dimana provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah masuk dalam resiko tinggi.
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur
terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada
kelompok umur >=15 tahun.
Melihat data ini kemungkinan penularan tidak hanya di rumah tetapi di sekolah atau di tempat kerja. Sehingga gerakan PSN perlu
juga digalakkan di sekolah dan di tempat kerja. Tampak telah terjadi perubahan pola penyakit DBD, dimana dahulu DBD adalah
penyakit pada anak-anak dibawah 15 tahun, saat ini telah menyerang seluruh kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia
produktif. Perlu diteliti lebih lanjut hal mempengaruhinya, apakah karena virus yang semakin virulen (ganas) atau karena pengaruh
lain.
Gambar 5. Persentase Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993 - 2009
Bila dilihat, distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir
sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%).
Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.
Persentase penderita DBD per jenis kelamin pada tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 6.
Angka Kematian (AK)/Case Fatality Rate (CFR) pada tahun-tahun awal kasus DBD merebak di Indonesia sangat tinggi. Kemudian
dari tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi 0,89% pada tahun 2009 (Gambar
7). Meskipun AK menurun tetapi bila dilihat angka absolut kematian dalam lima tahun terakhir tetap meningkat, sejalan dengan
Gambar 7. Jumlah Absolut Kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968 – 2009
Pada tahun 2009, provinsi dengan AK tertinggi adalah Bangka Belitung (4,58%), Bengkulu (3,08%) dan Gorontalo (2,2%)
sedangkan AK yang paling rendah adalah Sulawesi Barat (0%), DKI Jakarta (0,11%) dan Bali (0,15%). AK nasional telah berhasil
mencapai target di bawah 1%, namun sebagian besar provinsi (61,3%) mempunyai AK yang masih tinggi di atas 1% , lihat Gambar
8. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi provinsi yang belum mencapai target agar meningkatkan upaya yang dapat menurunkan AK
seperti melakukan pelatihan manajemen kasus terhadap petugas, penyediaan sarana dan prasarana untuk deteksi dini dan
penanganan yang tepat dan cepat.
Gambar 8. Angka Kematian DBD per Provinsi Tahun 2009
Provinsi dengan AK tertinggi pada umumnya berbeda dengan provinsi dengan AI tertinggi. Hal ini berarti provinsi dengan AI tinggi
belum tentu juga menjadi provinsi dengan AK tinggi. Pada Gambar dibawah ini terlihat semua provinsi dengan AK tertinggi adalah
provinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali sedangkan provinsi dengan AI tertinggi umumnya dari Pulau Jawa dan Bali. AK
rendah di pulau Jawa dan Bali bila dibandingkan dengan di luar pulau Jawa ini kemungkinan karena pelayanan medis dan akses ke
pelayanan kesehatan lebih baik, serta tingkat pengetahuan masyarakat tentang DBD di pulau Jawa dan Bali lebih tinggi. Oleh
karena itu upaya promosi kesehatan dan peningkatan akses dan pelayanan medis perlu difokuskan pada daerah di luar pulau Jawa
dan Bali.
Gambar 9. Lima provinsi tertinggi Angka Kematian DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2005-2009
Laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008 (Tabel 2) tidak diketahui jumlah rumah
sakit yang melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data tersebut. Dari data ini tampak
cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu dilakukan validasi data apakah pasien rawat jalan adalah pasien
kontrol pasca rawat inap saja atau pasien lama diitambah dengan pasien baru. Dari data ini tampak peringkat kematian DBD
(menurut 50 peringkat kematian), tidak termasuk dalam 10 besar penyebab kematian. Berdasarkan laporan yang bersumber dari
Ditjen.PP&PL (tabel 1) dan laporan yang bersumber dari Ditjen.Yanmed (tabel 2) tampak perbedaan jumlah kasus DBD yang
dilaporkan. Hal ini kemungkinan karena sistem laporan DBD belum terintegrasi dan belum ada mekanisme tukar menukar
(sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota.
Menurut Sukowati, sejak pertengahan tahun 1970-an dibandingkan dengan 100 tahun yang lalu episode El Nino lebih sering,
menetap dan intensif. Perubahan iklim dapat memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan
mengubah luas geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah atau dengan
infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD
adalah faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi.
Indeks Curah Hujan (ICH) yang merupakan perkalian curah hujan dan hari hujan dibagi dengan jumlah hari pada bulan tersebut.
ICH tidak secara langsung mempengaruhi perkembang-biakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah
hujan ideal artinya air hujan tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat
perkembang-biakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih (misalnya cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas,
ban bekas, atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10 - 12
hari akan berubah menjadi nyamuk. Bila manusia digigit oleh nyamuk dengan virus dengue maka dalam 4 - 7 hari kemudian akan
timbul gejala DBD. Sehingga bila hanya memperhatikan faktor risiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari mulai masuk
musim hujan hingga terjadinya insiden DBD adalah sekitar 3 minggu.
Dari Gambar 10 – 13 dapat dilihat pengaruh ICH terhadap AI DBD pada provinsi dengan AI DBD tinggi (DKI Jakarta dan
Kalimantan Timur) dan AI DBD rendah (Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat). Provinsi DKI Jakarta dimana terdapat bulan-
bulan ICH sangat rendah hingga nol, tampak setelah puncak kenaikan ICH, 1 - 4 bulan kemudian diikuti dengan kenaikan AI DBD
(Gambar 10). Berbeda dengan provinsi Kalimantan Timur, yang mempunyai ICH rata-rata tinggi setiap tahun, pola kenaikan AI
sesudah kenaikan curah hujan tidak tampak (Gambar 11). DKI Jakarta dan Kalimantan Timur yang merupakan daerah berisiko
tinggi dan sepanjang tahun kasus selalu ada di atas 55 per 100.000 penduduk. Provinsi Sulawesi Barat yang mempunyai AI rendah
dan terdapat bulan-bulan ICH sangat rendah hingga nol seperti di DKI Jakarta, tampak pada puncak ICH dan hingga satu bulan
berikutnya diikuti dengan puncak AI (Gambar 12). Sedangkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dimana ICH rata-rata rendah, AI
mulai meningkat saat mulai masuk musim hujan dan mencapai puncak hingga dua bulan sesudah ICH puncak (Gambar 13).
Berdasarkan pengamatan terhadap ICH yang dihubungkan dengan kenaikan jumlah kasus DBD, maka pada daerah dengan ICH
tinggi perlu kewaspadaan sepanjang tahun, sedangkan daerah yang terdapat musim kemarau maka kewaspadaan terhadap DBD
dimulai saat masuk musim hujan, namun ini bila faktor-faktor risiko lain telah dihilangkan/tidak ada.
Gambar 10. Pola ICH dan Angka Insiden DBD DKI Jakarta (AI tinggi) Tahun 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI ; Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, 2009
Gambar 11. Pola ICH dan Angka Insiden DBD Kalimantan Timur (AI tinggi) Tahun 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI ; Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, 2009
Gambar 12. Pola ICH dan Angka Insiden DBD Sulawesi Barat (AI rendah) Tahun 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI ; Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, 2009
Gambar 13. Pola ICH dan Angka Insiden DBD Nusa Tenggara Timur (AI rendah) Tahun 2009
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI ; Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, 2009
Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan pada tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi. Demikian juga dengan jumlah provinsi dan
kabupaten yang melaporkan KLB DBD dari tahun 1998 – 2009 tampak berfluktuasi. Tampak pada tahun 1998 dan 2004 jumlah
kab/kota melaporkan kejadian KLB DBD paling tinggi yaitu 104 kab/kota dan 75 kab/kota (Gambar 14). Pada tahun tersebut juga
dilaporkan jumlah kasus DBD mengalami peningkatan (Tabel 1). Tahun 1998 kasus KLB menyumbang 58% (41.843/72.133) dari
total laporan kasus DBD, sedangkan tahun 2004 kasus KLB hanya menyumbang 9,5% (7.588/79.462) dari kasus DBD. Setelah
tahun 2004 AI dan kasus absolut DBD terus meningkat namun laporan kasus KLB dan jumlah kab/kota yang melaporkan KLB terus
menurun. Hal ini apakah karena adanya keengganan melaporkan terjadinya KLB DBD oleh pemerintah daerah atau karena
lemahnya sistem pelaporan KLB, untuk mengetahuinya perlu diteliti lebih lanjut.
Gambar 14. Kasus Pada KLB DBD, Jumlah Provinsi dan Kab/Kota Pada Tahun 1998 - 2009
Pada Gambar 15, tampak AK pada KLB setelah tahun 1999 mulai tampak mengalami penurunan, namun umumnya masih diatas 1
persen, kecuali pada tahun 2002, 2007 dan 2008. Pada tahun 2009 AK meningkat di atas 1 persen, setelah mengalami penurunan
yang signifikan pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kasus KLB yang dilaporkan lebih rendah dari tahun 2008
(lihat Gambar 14). Hal ini perlu menjadi perhatian dan diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi, sehingga dapat diketahui upaya
pencegahannya dan dilakukan tindak lanjut.
Gambar 15. Angka Kematian pada KLB DBD Tahun 1998 – 2009
KLB DBD dapat dihindari bila Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan
berkesinambungan. Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN
dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ
lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
Tabel di bawah memperlihatkan pencapaian target indikator program Pengendalian Penyakit DBD (P2DBD) selama tiga tahun
terakhir pada tahun 2007 sampai tahun 2009. Angka Bebas Jentik belum berhasil mencapai target (>95%). AI per 100.000
penduduk juga belum mencapai target. Begitu pula dengan persentase kejadian yang ditangani sesuai standar, pada tahun 2007
belum mencapai target (80%), namun pada tahun 2008 dan 2009 tidak terdapat data pencapaian. Sedangkan untuk AK sudah
mencapai target (<1%). Indikator pencapaian program P2DBD tahun 2007-2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi/penyampaian informasi/pesan yang berdampak pada perubahan
perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral Impact
(COMBI). Pada tahun 2007 pelaksanaan PSN dengan metode COMBI telah dilaksanakan di beberapa kota antara lain Jakarta
Selatan, Jakarta Timur, Padang, dan Yogyakarta; sedangkan pada tahun 2008 dilaksanakan di 5 kota, yaitu Jakarta Selatan,
Bandung, Tangerang, Semarang, dan Surabaya. Kegiatan PSN dengan metode pendekatan COMBI tersebut menjadi salah satu
prioritas kegiatan dalam program P2DBD di masa yang akan datang. Data ABJ ini didapatkan dari Survei COMBI. Pada tahun 2009
survei COMBI ABJ dilaksanakan di Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Batam dan Kota Mataram.
Dari tahun 1994 – 2008 diperoleh angka ABJ masih di bawah dibawah target, yang dapat dilihat pada Gambar 16. Dari data ini
tampak upaya PSN belum berjalan dengan baik di masyarakat, sehingga kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mobilisasi
masyarakat untuk PSN perlu lebih ditingkatkan.
Gambar 16. Pemantauan Persentase Angka Bebas Jentik Vektor DBD tahun 1994 – 2009
KESIMPULAN
1. Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, kasus telah menyebar dan meningkat jumlahnya, dari hanya 2 provinsi dan 2 kota
menjadi 32 (97%) provinsi dan di 382 (77%) kabupaten/kota, dari jumlah kasus hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus. AI
0,05 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 meningkat menjadi 68,22 per 100.000 penduduk pada tahun 2009.
2. Puncak epidemi DBD berulang setiap 9 - 10 tahun.
3. Pada tahun 2009 provinsi dengan AI tertinggi adalah DKI Jakarta (313 kasus per 100.000 penduduk), dan Nusa Tenggara
Timur merupakan provinsi dengan AI terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi berisiko tinggi
dengan AI > 55 kasus per 100.000 penduduk.
4. Pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali berisiko tinggi (AI > 55 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2009
hampir seluruh provinsi di pulau Kalimantan beresiko tinggi (kecuali Kalimantan Selatan).
5. Terjadi perubahan kelompok umur yang terserang penyakit DBD, menjadi seluruh kelompok umur, terutama pada usia
produktif.
6. Resiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.
7. AK nasional pada tahun 2009 adalah 0,89% telah berhasil mencapai target (di bawah 1%), namun sebagian besar provinsi
(61,3%) belum mencapai target.
8. AK dari tahun ke tahun mengalami penurunan mulai dari 41,4% pada tahun 1968 menjadi 0,89% pada tahun 2009, namun
jumlah kematian terus meningkat tahun 1968 sebanyak 24 menjadi 1.420 kematian pada tahun 2009.
9. Laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di RS dari tahun 2004-2007 masih belum dapat dianalisis dan
diinterpretasi.
10. Kasus cenderung meningkat pada musim penghujan (Desember – Maret) dan menurun pada musim kemarau (Juni-
September), walaupun setiap daerah mempunyai variasi musim sesuai regionalnya.
11. Mulai tahun 2005, laporan kasus KLB dan jumlah kab/kota yang melaporkan KLB menurun, berlawanan dengan jumlah kasus
DBD yang dilaporkan terus meningkat.
12. Dari tahun 1994-2009, dari hasil survei didapatkan ABJ masih di bawah target (>95%).
SARAN
1. Sistem pelaporan kasus DBD perlu diperkuat agar bisa mendapatkan data yang valid, dengan membangun sistem tukar-
menukar data antara data Puskesmas dan data RS.
2. Melakukan validasi data di semua level terutama pada daerah yang sudah tidak melaporkan lagi kasus DBD untuk mengetahui
apakah memang benar sudah tidak ada kasus atau memang tidak melaporkan (sistem pencatatan dan pelaporan tidak
berjalan), misalnya pada Provinsi Maluku dari tahun 2002-2009 tidak ada pelaporan kasus DBD.
3. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui faktor risiko suatu daerah mempunyai kasus DBD yang tinggi sehingga
dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian penyakit.
4. Mengaktifkan kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) oleh Puskesmas, bekerja sama dengan masyarakat dengan
mengaktifkan Juru Pemantau Jentik (Jumantik) terutama untuk daerah dengan endemis tinggi sepanjang tahun.
5. Perlu ditingkatkan upaya penyuluhan dan pendidikan terhadap masyarakat agar selalu waspada terhadap DBD dan aktif
melakukan PSN.
6. Perlu dilakukan surveilans kasus dan surveilans vektor yang intensif terutama pada tingkat masyarakat dan Puskesmas
dengan bimbingan Dinas Kesehatan Kab/kota.
7. Pada saat dideteksi jumlah kasus DBD terendah perlu dilakukan Bulan Bakti Gerakan 3M secara serentak selama satu bulan,
sehingga rantai penularan virus dengue dari nyamuk-manusia-nyamuk dapat terputus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusat Data dan Informasi (2001), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2000, Jakarta Departemen Kesehatan
2. Pusat Data dan Informasi (2002), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2001, Jakarta Departemen Kesehatan
3. Pusat Data dan Informasi (2003), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2002, Jakarta Departemen Kesehatan
4. Pusat Data dan Informasi (2004), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2003, Jakarta Departemen Kesehatan
5. Pusat Data dan Informasi (2005), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2004, Jakarta Departemen Kesehatan
6. Pusat Data dan Informasi (2006), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2005, Jakarta Departemen Kesehatan
7. Pusat Data dan Informasi (2007), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2006, Jakarta Departemen Kesehatan
8. Pusat Data dan Informasi (2008), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Jakarta Departemen Kesehatan
9. Pusat Data dan Informasi (2009), Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008, Jakarta Departemen Kesehatan
10. Subdirektorat Arbovirosis, Database kasus DBD di Indonersia Tahun 1968 – 2009, ’Ditjen PP&PL, Kementerian Kesehatan RI
11. Subdirektorat Arbovirosis, Pencegahan dan Pemberantasan DBD Di Indonesia, Ditjen PP&PL, Departemen Kesehatan RI, 2005
12. Subdirektorat Arbovirosis, Tatalaksana Demam Berdarah Dengue Di Indonesia, Ditjen PP&PL Departemen Kesehatan, 2006
13. Subdirektorat Pengendalian Vektor, Daftar insektisida, Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan
14. Subdirektorat KLB, Ditjen PP&PL, Kementerian Kesehatan RI, 2009 Change To The Vector Borne Diseases In Indonesia
15. SUPAS 2005, Jakarta, Badan Pusat Statistik,
16. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi Klimatologi & Geofisika (BMKG), 2009
17. Aj. Mc Michael (2006), Population Health as the bottom line of sustainability
18. Sukowati. S, The Impact Of Climate Change to the Vector Borne Diseases in Indonesia, NIHR&D, Indonesia
19. http://kesmas-unsoed.blogspot.com/10/07/pengaruh-perubahan-iklim terhadap.html
20. http://bataviase.co.id/node/259476
LATAR BELAKANG
World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Demam Dengue telah miningkat dengan faktor (by a factor of) 30 selama
50 tahun terakhir. Insidens Demam Dengue terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban, menyerang lebih dari 100
juta penduduk tiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD dan sekitar 30.000 kematian terutama anak anak. Penyakit ini endemik di 100
negara termasuk Asia (WHO, 1999; Xu, 2006). Dengan pemanasan global (Global Warming) dalam mana “biting rate” perilaku
menggigit nyamuk meningkat maka akan terjadi perluasan dan eskalasi kasus Demam Dengue. Pemanasan global dan perubahan
lingkungan merupakan variable utama penyebab meluasnya kasus kasus Demam Berdarah di berbagai belahan dunia (e.g. Achmadi,
2008 ; Mc Michael, 2008).
Di Indonesia, jumlah kasus Demam Berdarah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya angka demam berdarah di
berbagai kota di Indonesia disebabkan oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Indonesia
merupakan salah satu negara endemik Demam Dengue yang setiap tahun selalu terjadi KLB di berbagai kota dan setiap 5 tahun
sekali terjadi KLB besar (e.g. Nainggolan, 2007); Depkes, 2007).
Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan penyakit demam dengue maupun demam dengue
berdarah ini (Xu et al, 2006; Lei, 2007). Sampai dengan akhir tahun 2008 juga belum ditemukan obat yang secara efektif dapat
mengobati penyakit demam dengue.
Dewasa ini telah ditemukan metode deteksi dini kasus kasus demam berdarah dengan cara deteksi keberadaan virus, fraksi protein
virus Dengue atau antigen captured yang bisa mendeteksi hingga satu hari sebelum demam. Teknik tersebut dikenal dengan deteksi
NS1 – atau deteksi protein non structural yang merupakan sisa sisa virus Dengue 1,2,3,4 ketika ber replikasi (Young et al, 2006; Xu et
al, 2006; Partakusuma, 2007).
Pengendalian penyakit menular akan berjalan efektif kalau penyakit menular yang bersangkutan memiliki metode deteksi dini untuk
diagnostik. Alat ini apalagi memiliki alat deteksi yang bersifat rapid bisa di baca dalam hitungan menit, dapat digunakan secara pro-
aktif sebagai alat pencarian sumber penyakit yakni kasus penderita penyakit menular sebagai sumber penularan. Lazim di kenal
sebagai alat early diagnostic. Alat deteksi dini akan sangat efektif pula apabila diikuti dengan pengobatan (prompt treatment) secara
dini (Achmadi, 2005, Achmadi, 2008). Gabungan keduanya yakni – early diagnostic dan prompt treatment, merupakan pendekatan
yang amat ampuh untuk mengendalikan penyakit menular (Achmadi, 2008). Upaya ini dikenal sangat efektif dalam mengendalikan
malaria, dengan metode pencarian kasus secara pro-aktif oleh Juru Malaria Desa (JMD). Dalam program eliminasi malaria masa kini
dikenal sebagai – kader malaria (Kusriastuti, 2010).
Kalau saja kita bisa melakukan deteksi dini kasus kasus Demam Dengue atau Demam Dengue Berdarah secara proaktif dengan
menggunakan alat diagnostic antigen captured (deteksi keberadaan virus Dengue) sejak awal, maka kita bisa melakukan
identifikasi se awal mungkin bagi setiap kasus DBD sebelum menyebar menjadi sumber infeksi atau foci sebuah KLB Demam
Berdarah. Dengan kata lain kita bisa menekan frekwensi KLB sedini mungkin.
Andaikata saja ada anti viral Dengue di pasar, maka teknik early diagnostic yang kini ada di pasar, akan mendapat pasangan
sempurna yang mampu mengendalikan atau mengeliminasi Demam Dengue. Secara teori Demam Berdarah bisa di kendalikan
bahkan bisa dieliminasi. Dewasa ini selain alat diagnostic baru, juga dicari adanya (kandidat) antiviral baru yang secara klinis
terbukti dapat mengeliminasi virus. Setidaknya obat yang dapat secara efektif mengembalikan fungsi sistem imun terutama cellular
immune system untuk melawan virus. Di tahun mendatang, diharapkan telah tersedia alat deteksi dini dan kandidat preparat
pengobatan, sehingga dapat mengeliminasi sumber sumber penularan Demam Berdarah yang di lakukan secara pro aktif.
Oleh sebab itu diperlukan konsep baru atau metode baru yang dikenal sebagai : Pengendalian Demam Berdarah berbasis
Wilayah, dengan cara deteksi dini dan pengobatan secara pro aktif untuk mencegah dan mengendalikan sumber penularan, agar
tidak menjadi sumber infeksi dan mencegah terjadinya KLB.
Beberapa studi perilaku pencarian pengobatan para penderita DBD ( treatment seeking behavior) memberikan gambaran bahwa,
pada umumnya mula mula penderita akan mengobati diri sendiri atau pergi ke Puskesmas atau ke dokter umum (Depkes, 2005,
Nainggolan, 2007). Penderita akan mencoba beberapa obat, dan kalau bertambah buruk baru kembali ke dokter yang mengobati
tersebut dan atau dirujuk ke Rumah Sakit. Studi pendahuluan memberikan informasi bahwa rata rata penderita mendatangi RS
untuk mencari pengobatan datang di RS pada hari ke 3.2 +/- 1.6. Pada saat tersebut jumlah virus dalam peredaran darah penderita
yang bersangkutan sudah mulai menurun. Diketahui bahwa DBD adalah self limiting disease. Menjadi berbahaya kalau terjadi
dampak ikutan, misalnya Schock Syndrome.
Berdasar data atau informasi dari UGD Rumah Sakit tersebut, maka Dinas Kesehatan setempat akan melacak alamat penderita.
Setiap penderita yang telah didiagnosis sebagai kasus DBD di RS, akan dilakukan penyelidikan epidemiologi disekitar rumah
penderita apakah ada tempat perindukan nyamuk Aedes spp, dan apabila didapatkan ada tempat per indukan, dan atau jentik dan
atau kasus baru, maka dilakukan fogging dan pemberian larvicida. Hal ini disebut sebagai Fogging Focus approach. Kegiatan ini
menurut hemat penulis oleh karena bila dirunut ke belakang, untuk memperoleh informasi adanya sumber penularan, penularan itu
sendiri pada dasarnya telah berlangsung 4 hingga 5 hari sejak seseorang mengidap virus dalam peredaran darahnya. Selama itu
pula telah terjadi eskalasi yang mirip deret ukur. Satu menjadi dua, dua menjadi empat, dan seterusnya.
Kedua penderita dengan gejala klinik dan manifestasi khas, hanyalah sebuah puncak piramid. Sebagian besar justru tanpa gejala,
berkeliaran, dan siap menjadi fokus yang bergerak secara dinamik.
Berbagai keterlambatan pencarian pengobatan, disebabkan oleh karena 2 hal. Pertama disebabkan karena keterbatasan
aksesibilitas terhadap pelayanan, kedua disebabkan karena keterbatasan kemampuan ketrampilan dokter untuk menegakkan
diagnosis dini kasus DBD. Kemampuan diagnostik di garis depan juga disebabkan pula karena tidak tersedianya alat diagnostic
dini. Sebagai akibat dari kelambatan diagnosis, maka seseorang yang mengidap virus Dengue dalam tubuhnya, beredar bergerak
kesana kemari, menjadi sumber (foci) KLB yang sangat efektif.
Dewasa ini berbagai program untuk mengendalikan laju kejadian Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue telah banyak di
lakukan di berbagai negara. Di Indonesia berbagai kegiatan secara intensif seperti Gerakan masyarakat untuk mengendalikan
Tempat Perindukan Nyamuk, pengendalian larva, kegiatan penyuluhan untuk pelibatan masyarakat secara positif telah di
laksanakan. Peraturan Daerah tentang Pengendalian Jentik dan Nyamuk Dewasa penular Demam Berdarah di beberapa tempat
juga telah diimplementasikan. Namun jumlah kasus tetap saja cenderung meningkat. Pertanyaannya Apakah ada cara/konsep
lain ?
Dalam perspektif teori simpul pengendalian penyakit (Achmadi, 1987; Achmadi, 1991, Achmadi, 2008) pendekatan pengendalian
DBD sekarang hanya menitikberatkan pada pengendalian simpul 2 yakni pengendalian lingkungan untuk memutus transmisi atau
penularan dengan cara Pemberantasan Sarang Nyamuk (pengendalian tempat perindukan nyamuk), fogging, dan lain-lain. Selain
itu, kegiatan utama lainnya adalah penyuluhan untuk mendapatkan perubahan perilaku positif dalam rangka pengendalian tempat
perindukan maupun upaya pengendalian faktor risiko lainnya. Kegiatan ini misalnya dengan menerapkan uji coba proyek COMBI,
atau lazim disebut sebagai pengendalian simpul 3 (kependudukan).
Pengendalian pada simpul 1 yakni pengendalian pada sumber penyakit atau sumber beredarnya virus atau foci of infection atau
foci KLB, belum pernah ada, mengingat hingga awal 2008 belum ada alat diagnostik yang mampu deteksi virus secara dini serta
obat antiviral untuk membunuh virus Dengue juga belum ada. Idealnya apabila ditemukan alat deteksi dini keberadaan virus dalam
tubuh manusia, serta ditemukan obat antiviral Demam Berdarah, maka Rate of Transmission atau Laju Penularan sebagai fase pra-
KLB dapat di hentikan.
Untuk itu diperlukan sebuah konsep paripurna. Pengendalian pada sumber penyakitnya yaitu sumber virus DBD, pada
lingkungannya serta pada masyarakat yang terkena risiko penularan atau konsep yang dikenal sebagai Manajemen Demam
Berdarah Berbasis Wilayah. Pelaksanaan Konsep ini secara masal dapat disebut pula disebut sebagai Gerakan Brantas Demam
Bedarah sampai tuntas (Getas DBD). Atau dapat pula disebut cara Achmadi (2008) dalam buku Manajemen Penyakit Berbasis
Wilayah.
Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus yang termasuk kedalam genus Flaviridae. Dengue Virus
memiliki 4 jenis serotipe yang beredar khususnya di Indonesia, yaitu Dengue Virus (DV) 1, DV 2, DV 3, dan DV4 (Xu et al, 2006;
Suwandono et al, 2007). Masa inkubasi penyakit berkisar antara 1 hingga 4 hari, timbul demam (mohon lihat gambar 1). Sehari
sebelum demam atau H-1 dengan teknik diagnosis deteksi NS1, maka antigen virus telah bisa di deteksi. Sebelumnya deteksi atau
diagnosis DBD mendasarkan kepada antigen-antibodi yang baru bisa di deteksi pada hari ke 3 atau 4 setelah demam berlangsung,
atau hari ke-7 setelah infeksi berjalan.
Teori klasik metode diagnostic membagi Infeksi Virus Dengue (lazim disebut virus Demam Berdarah) menjadi 2 kategori umum,
yaitu (WHO, 1999; Depkes, 2005) Asymptomatic dengue infection or dengue without symptoms and the symptomatic dengue.
Sedangkan infeksi virus Dengue dengan gejala (the symptomatic dengue) di bagi menjadi 3 kelompok yaitu: (a). Demam Dengue
tanpa gejala spesifik (b) Demam Dengue dengan demam di tambah 2 gejala spesifik yakni pendarahan dan tanpa pendarahan (c)
Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan atau tanpa shock syndrome
C o u r s e o f D e n g u e In f e c t io n /D x
P l a q u e R e d u c ti o n N e u tr a l i z a ti o n T e s t
H e m a g g l u t i n a ti o n I n h i b i t i o n
Ig M a n d Ig G E L IS A
R a p i d t e s ts
S h ock
V ir u s is o la t io n H e m or rh a g e A n t i- d e n g u e A b
M o l e c u l a r te c h n i q u e s
D e n g u e a n ti g e n c a p t u r e E L I S A
M o s q u it o F ev er
b it e V i rem i a
-4 -2 0 2 4 6 8 10 12
D a y o f Illn e s s
Semua penderita, baik dengan atau tanpa gejala, baik dengan pendarahan maupun tanpa pendarahan, semuanya mengandung
virus dalam tubuhnya dan siap menularkan penyakit dan menjadi FOCI sebuah KLB. Setiap kasus infeksi virus dengue dengan
atau tanpa gejala, dengan atau tanpa pendarahan adalah berbahaya karena dapat menularkan kepada masyarakat disekitarnya
atau lazim dikenal sebagai population at risk.
Achmadi (2008) memperkenalkan konsep Manajemen Demam Dengue (lazim dikenal sebagai DBD) yang berbasis pada
masyarakat. Konsep ini menggabungkan pengendalian penyakit pada sumbernya yakni penderita awal yang memiliki potensi
sebagai sumber penularan, pengendalian pada nyamuk yakni pengendalian sarang nyamuk, serta penyuluhan masyarakat untuk
mendukung gerakan brantas (secara) tuntas penyakit Demam Berdarah (Getas DBD).
Secara filosofis (Achmadi, 2005; Achmadi, 2008), upaya pencarian dan pengobatan penderita penyakit menular adalah upaya
preventif dan promotif. Kegiatan pencarian kasus secara dini dengan pengobatan yang tepat dan dini (early diagnostic dan prompt
treatment- dengan obat yang tepat dan tidak resisten) disertai pengawasan minum obat, maka ini merupakan upaya pencegahan
agar tidak terjadi eskalasi atau KLB penyakit menular tertentu.
Merujuk kepada Achmadi (2005, Achmadi, 2008) manajemen DBD berbasis wilayah adalah upaya paripurna terintegrasi antara
manajemen kasus Demam Dengue sebagai sumber penularan, serta pengendalian faktor risiko penularan DBD pada satu wilayah
RT, RW ataupun Kelurahan.
Komponen Manajemen DD berbasis wilayah atau Getas DBD, terdiri dari 3 kegiatan yang dilaksanakan secara simultan dan
paripurna:
1. Pencarian dan pengobatan kasus secara pro aktif.
2. Gerakan Lingkungan Bersih (Pembersihan perindukan nyamuk)
3. Penggalangan masyarakat untuk melakukan Getas DBD.
Manajemen DBD berbasis wilayah, merupakan konsep yang mengutamakan, menggarap atau berfokus pada pengendalian sumber
penyakit (yaitu penderita Demam Berdarah dengan atau tanpa gejala) dilakukan secara dini untuk mencegah eskalasi atau
terjadinya KLB, secara bersamaan dilakukan pencarian dan pembasmian tempat perindukan nyamuk.
Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau non-
structural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh (Lei, 2007, Young et al, 2006). Deteksi virus bisa dilakukan sehari
sebelum penderita menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke 9. Setelah diketahui ada nya virus: penderita diberi antiviral
yang efektif membunuh virus DBD (Achmadi, Reynolds, dan Khuzaemah, 2007, Witarto, 2007; Huang, 2007, Jiang, 2007, Depkes,
2006; Hakim, 2008, Hakim, 2007).
Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama
yang diketahui alamatnya, atau menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau Kelurahan.
Setiap kelurahan atau Puskesmas dilengkapi alat antigen capture NS1 yang Rapid (yang hanya hitungan 20 menit sudah diketahui,
dengan ketepatan harus diatas 95%). Deteksi dini kasus pertama harus di lakukan sedini mungkin.
Model ini terdiri dari unit pelayanan garis depan (front liners). Mereka adalah Puskesmas dan atau dokter praktek umum/klinik yang
berpartisipasi yang diharapkan merupakan unit pelayanan yang dimintai pertolongan pengobatan akan mencatat alamat penderita
positif DBD. Penderita yang berobat akan dicatat alamatnya, lalu dilaporkan ke Puskesmas, yang kemudian hendaknya dilakukan
Penyelidikan Epidemiologi oleh petugas survailans yang ditunjuk dan segera menyisir sekitar rumah menanyakan secara proaktif
apakah ada yang menderita demam tambahan atau tidak (ada tidak penderita tambahan). Diagnostik dilakukan dengan antigen
captured yang Rapid (test). Bagi yang memberikan gambaran positif akan langsung diberi pengobatan dengan antiviral DBD.
Setiap penderita akan memerlukan dukungan laboratorium untuk memeriksa tanda awal seperti, hematokrit, trombosit, leucocyte
dan gejala klinik lain. Oleh sebab itu dianjurkan ada Puskesmas rujukan laboratorium atau kepesertaan Laboratorium Klinik dalam
wilayah bersangkutan.
Dengan kata lain Manajemen DBD Berbasis Wilayah memerlukan networking semua provider kesehatan di kota kota dengan basis
wilayah kelurahan. Diantara komponen networking adalah puskesmas dan para dokter umum yang berpraktek dalam sebuah
wilayah keluarahan yang dimaksud.
Kalau saja kasus kasus secara awal atau secara dini di ketahui dan dikendalikan dengan anti viral (misalnya MAC) maka focus focus
KLB dapat ditekan. Kegiatan ini dilakukan dengan kegiatan lainnya, yakni pengendalian perindukan (sarang) nyamuk (breeding
places), jentik dan lain-lain. Apabila konsep ini benar diterapkan hampir dipastikan Fogging Focus tidak diperlukan atau hanya
dilakukan kalau sangat perlu.
Pendekatan ini bisa menekan biaya APBD yang menggratiskan pasien DBD di Rumah Sakit. Pasien Demam Berdarah tidak perlu ke
Rumah Sakit namun cukup hanya dikelola oleh Puskesmas. Biaya opportunity cost bisa ditekan. Biaya transport keluarga penderita
yang dirawat bisa ditekan, yang dikeluarkan sebagai extra cost selama masa perawatan tidak diperlukan lagi.
Mengingat bahwa kejadian DBD berakar pada ekosistem, maka dalam menentukan batasan wilayah administratif harus hati hati.
Penularan DBD bounded kepada wilayah ekosistem. Di wilayah kelurahan perbatasan, diperlukan kerjasama yang dimediasi oleh
Puskesmas atau Kecamatan Kota.
PENUTUP
Telah dikemukakan secara teoritis sebuah konsep baru Manajemen Demam Dengue (DBD) Berbasis wilayah. Dengan melaksanakan
konsep Manajemen DBD Berbasis Wilayah maka angka penderita Demam Dengue, sekaligus frekuensi KLB diharapkan dapat ditekan
seminimal mungkin. Untuk pelaksanaan konsep ini setiap wilayah otonom (municipalities) atau Pemerintah Kota perlu membuat
Pedoman Pelaksanaan Manajemen DBD Berbasis Wilayah ini. Untuk sementara dapat menghubungi penulis.
Pendahuluan
Penyakit akibat virus Dengue masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sampai saat ini. Meskipun angka mortalitas
cenderung menurun namun angka morbiditas tetap. Sepanjang tahun 2008 di Indonesia dilaporkan sebanyak 136.339 kasus den-
gan jumlah kematian 1.170 orang (CFR = 0,86 %, dan IR = 60,06 per 100.000 penduduk). Angka insidens (IR) tertinggi terdapat di
Provinsi DKI Jakarta (317,09 per 100.000 penduduk) dan terendah di Provinsi Maluku (0,00 per 100.000 penduduk), sedangkan
angka kematian (CFR) tertinggi terdapat di Provinsi Jambi (3,67 %)1 .
Penyebab penyakit ini sudah dikenal sejak lama yaitu virus Dengue yang termasuk famili Flaviviridae dan ada 4 serotipe yang
diketahui yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-42,3. Semua serotipe virus Dengue ini ditemukan bersirkulasi di Indonesia. Infeksi
virus Dengue pada manusia sudah lama ditemukan dan menyebar terutama di daerah tropik pada abad 18 dan 19 seiring dengan
pesatnya perkembangan perdagangan antar benua. Vektor penyebar virus Dengue yaitu Aedes aegypti pun ikut menyebar ber-
sama dengan kapal niaga tersebut4. Pada saat terjadi kejadian luar biasa (KLB) beberapa vektor lain seperti Aedes albopictus, Ae.
polynesisensis, Ae. scutellaris complex ikut berperan4.
Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO) terbaru di tahun 2009 lalu, merupakan penyempurnaan dari panduan
sebelumnya yaitu panduan WHO 19975. Penyempurnaan ini dilakukan karena dalam temuan di lapangan ada hal-hal yang kurang
sesuai dengan panduan WHO 1997 tersebut. Diusulkan adanya redefinisi kasus terutama untuk kasus infeksi dengue berat6. Keber-
atan lain dari panduan WHO 1997 adalah karena penyusunannya banyak mengambil rujukan pada kasus infeksi dengue di Thai-
land, yang walaupun sangat berharga, tetapi tidak dapat mewakili semua kasus di belahan dunia lain yang memiliki perbedaan-
perbedaan7. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi ke empat kriteria WHO 1997 yang dipersyaratkan, namun
terjadi syok8. Sehingga disepakatilah panduan terbaru WHO tahun 2009.
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi
uji ini tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %9.
Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai sel target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka re-
spon immune non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas komplemen pada infeksi virus dengue
diketahui meningkat seperti C3a dan C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya kenaikan permeabilitas kapiler13 celah
endotel melebar lagi. Akibat kejadian ini maka terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan menyebabkan
terjadinya tanda kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura, asites, penebalan dinding vesica fellea
dan syok hipovolemik3,14.
Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya hemokonsentrasi, tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya meru-
pakan salah satu patofisiologi yang terjadi pada DBD3,14.
Gambaran Klinis3
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.
Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni
progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perla-
han pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik stabil dan diure-
sis membaik.
Dengue Berat3
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :
1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gang-
guan sirkulasi atau syok (takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah
atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)
2. Adanya perdarahan yang signifikan
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang hebat atau bertambah, ikterik)
5. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lain-
nya,
Diagnosis3
Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada
penderita infeksi dengue.
Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam/sakit, tipe demam, jumlah asupan per oral, adanya tanda bahaya,
diare, kemungkinan adanya gangguan kesadaran, output urin, juga adanya orang lain di lingkungan kerja, rumah yang sakit serupa.
Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan kesadaran penderita, status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda
syok dapat dikenal lebih dini, adalah takipnea/pernafasan Kusmaul/efusi pleura, apakah ada hepatomegali/asites/kelainan abdo-
men lainnya, cari adanya ruam atau ptekie atau tanda perdarahan lainnya, bila tanda perdarahan spontan tidak ditemukan maka
lakukan uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %9.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau
lebih) menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil yang rendah3.
Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA
virus.15,16 Imunoglobulin M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam, meningkat sampai minggu
ke-3 kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat terdeteksi hingga hari ke-60 sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsen-
trasi Ig M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer, Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke
-14 dengan titer yang rendah (<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi pada hari ke-2 dengan titer
yang tinggi (> 1 :2560) dan dapat bertahan seumur hidup17-19.
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue (Ag NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat
dibandingkan pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam darah pada hari pertama onset de-
mam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah, praktis dan tidak memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l
yang spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue sudah dapat ditegakkan lebih dini.16-18
Penelitian Dussart dkk (2002) pada sampel darah penderita infeksi dengue di Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi mulai
hari ke-0 (onset demam) hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas deteksi Ag NS
-l sebesar 88,7% dan 91 % sedangkan spesifisitas mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT-PCR
dengan kontrol sampel darah infeksi non-dengue20. Penelitian lainnya di Singapura pemeriksaan NS1- antigen secara Elisa mem-
berikan sensitivitas sampai 93,3 % 21.
Penutup
Penderita infeksi virus dengue tetap ditemukan dalam jumlah yang banyak di Indonesia, walaupun angka kematian telah dapat
ditekan tetapi penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Patogenesis infeksi dengue (DBD) belum sepenuhnya dipahami, berbagai teori dikemukan untuk menerangkannya, timbulnya me-
diator penyulut demam dapat merangsang pusat termoregulator di hipotalamus sehingga penderitanya demam. Salah satu
keadaan yang terjadi adalah kenaikan permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma sehingga dapat menyebabkan
penderita jatuh ke keadaan syok.
Telah dikeluarkan pedoman yang ditetapkan WHO tahun 2009 ini yang dapat dipakai sebagai acuan untuk mengelola penderita
infeksi dengue
Daftar Pustaka
1. Direktorat Jenderal P2PL DepKes RI. Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2009.
2. Gubler DJ : Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev 1998; 11: 480-496.
3. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New edition. Geneva. 2009.
4. Gubler DJ : Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health, social and economic problem in the 21st century.
Trends Microbiol 2002; 10: 100-103.
5. World Health Organization. Dengue Haemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd edition. Geneva.
1997.
6. Rigou-Perez JG: Severe dengue : the need for new cases definitions. Lancet Infect Dis 2006; 6: 296-302.
7. Deen JL, Harris E, Wills B, Balmaseda A, Hammond SN, Rocha C, Nguyen MD et al. The WHO dengue classification and case
definitios: time for a reassessment. Lancet 2006;368:170-173.
8. Cao Xuan TP, Ngo TN, Kneen R, Pham TTT, Chu VT, Nguyen TTN, Tran TT et al. Clinical diagnosis and assessment of sever-
ity of confirmed dengue infections in Vietnamese children: is the World Health Organization classification system helpful?. A, J
Trop Med Hyg 2004;70(2):172-179.
9. Mayxay M, Keoluangkhot V, Sisouphone S, Vongpachanh P, Moore C, Thaochaikong T, Thongpaseth S, Phetsouvanh R,
Strobel M et al. Torniquet test and dengue in Lao adult patients. Global Innovation to Fight Dengue. 2nd International Conference
on Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Phuket Thailand, 2008. p. 234.
10. Halstead SB: Pathogenesis of dengue: challenges of molecular biology. Science 1988; 239: 476-481.
11. Burke DS, Nisalak A, Jhonson D, Scott RM: A prospective study of dengue infections in Bangkok. Am J Trop Med Hyg 1988; 38:
172-180.
12. Libraty DH, Endy TP, Houng HH, Green S, Kalayanarooj S, Suntayakorn S, Chansiriwongs W, Vaughn DW, Nisalak A et al :
Differing influences of virus burden and immune activation on disease severity in secondary dengue-3 infection. J Infect Dis
2002; 185: 1213-1221.
13. Suwanik R, Tuchinda P, Tuchinda S et al. Plasma volume and other fluid space studies in Thai hemorrhagic fever. J Med Assoc
Thai 1967;50:48-66.
14. Oishi K, Saito M, Mapua CA, Natividad FF. Dengue illness: clinical features and pathogenesis. J Infect Chemother 2007; 13 :
125-133.
15. Vorndam V, Kuno G. Laboratory diagnosis of Dengue virus infections. In Dengue and Dengue Hemorrhagic fever. CAB Interna-
tional, NY. 1997.
16. Yungbluth M, Costello M. Viral Infections. In: Henry JB (ed). Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 21th
edition. W.B. Saunders Company, Philadelphia. 2007:1045-71.
17. Shu PY, Huang JR. Current advances in dengue diagnosis. Clin Diagn Lab Immunol. 2004;11(4):642-50.
18. Telles F, Prazeres D, Lima-Fillho J. Trends in Dengue diagnosis. Rev. Med. Virology. 2005; 15(5);287-302.
19. Guzman MG, Kouri MG. Dengue: An Update. Lancet Infect. Dis. 2002;2: 33-42.
20. Dussart P, Labeau B, Lagathu G, Louis P, Nunes M. Evaluation of an enzyme immunoassay for detection of dengue virus NS-l
antigen in human serum. Clin Vaccine Immunol 2006, vol.13; p 1185-9.
21. Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, Wahab AHA, Chem YK, Mohamad M and Chua KB. Evaluating the sensitivity of a com-
mercial dengue NS1-antigen capture Elisa for early diagnosis of acute dengue infection. Singapore med J 2007; 48(7): 669-673.
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersusun dari 17.508 pulau terletak di antara dua benua dan dua samudra memiliki
iklim tropis yang heterogen dan kaya akan fauna dan flora termasuk berbagai penyakit tular nyamuk seperti demam dengue (DD)
demam berdarah dengue (DBD), malaria, lymfatik filariasis, chikungunya, dan Japanese encephalitis. Memasuki mellenium ketiga,
Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar baik eksternal maupun internal. Penyakit tular
nyamuk (vektor) termasuk DBD berbasis lingkungan dan kompleks, sehingga tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendekatan
ilmu kesehatan.
Pada saat ini di Indonesia sedang terjadi transisi demografi dan epidemiologi, degradasi lingkungan, meningkatnya industrialisasi,
urbanisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, meningkatnya arus informasi, globalisasi dan pesatnya
perkembangan transportasi. Perubahan tersebut dapat membawa dampak positif dan atau negatif terhadap kualitas lingkungan
atau ekosistem yang akan berpengaruh terhadap risiko kejadian dan penularan penyakit tular vektor seperti DBD. Dengan laju
pembangunan, pertumbuhan penduduk dan perubahan ekosistem yang cepat, masalah kesehatan lingkungan menjadi lebih
kompleks. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, karena angka kesakitan
semakin meningkat, masih menimbulkan kematian dan sering terulangnya kejadian luar biasa (KLB). Pada saat ini DBD telah
dilaporkan di seluruh kota di Indonesia. Pada tahun 2004 kabupaten/kota terjangkit DBD sebanyak 334 kabupaten/kota, tahun 2006
meningkat menjadi 330 kab/kota, tahun 2007 meningkat lagi menjadi 357 kab/kota. Pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah
kabupaten/kota terjangkit menjadi 346 Kab/Kota. Pada tahun 1968 pertamakali kasus DBD dilaporkan IR 0,05 dengan angka
kematian 41,3%. Pada tahun 2007 jumlah kasus sebanyak 156.767 kasus (IR 71,18) dengan 1570 kematian (CFR 1,00 %). Pada
tahun 2008 kita terjadi penurunan jumlah kasus dengan jumlah kasus 98.869 orang (IR 43,62).
2. VEKTOR DBD
Penyebab DD/DBD adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus, diketahui empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-
2, DEN-3 dan DEN-4. Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus Stegomya. Vektor adalah hewan
arthropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit. Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium
pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air
yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara
lain : bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun
juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di
luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan,
namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat
anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi
kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali.
Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan DB/DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk
yang infektif dalam satu periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DB/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian,
sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya.
Pengendalian vektor DBD di hampir di semua negara dan daerah endemis tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum
mampu memutus rantai penularan. Hal ini disebabkan metode yang diterapkan belum mengacu kepada data/informasi tentang
vektor, disamping itu masih mengandalkan kepada penggunaan insektisida dengan cara penyemprotan dan larvasidasi.
Pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3 menejelaskan hubungan antara curah hujan dengan kasus DBD di DKI. Informasi
tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan waktu intervensi dan bahan masukan bagi masyakat dan pemerintah
untuk kewaspadaan DBD
Gambar 1. Time series penderita demam berdarah (DBD) dan curah hujan dari Januari 1997
sampai Desember 2006, dengan tren kenaikan penderita DBD sebesar 38 penderita/bulan
Curah hujan dan kejadian DBD mempunyai pola osilasi yang sama, meskipun terdapat perbedaan waktu puncak (time-lag) sekitar
1 sampai 2 bulan, kecuali pada pertengahan tahun 1999 sampai awal tahun 2000.
Gambar 2. Rata-rata curah hujan dan penderita DBD bulanan selama 10 tahun dari Januari 1997 sampai Desember 2006.
Gambar 3. Hubungan antara curah hujan dan jumlah penderita DBD, dengan curah hujan optimum
berkisar antara 250mm/bulan sampai 300mm/bulan.
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan
di daerah yaitu: 1. Manajemen lingkungan, 2. Pengendalian Biologis, 3. Pengendalian Kimiawi, 4. Partisipasi masyarakat, 5.
Perlindungan Individu dan 6. Peraturan perundangan
Predator
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan
yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia ada beberapa
ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik
yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun terbukti
efektif untuk pengendalian larva Ae.aegypti, namun sampai sekarang belum digunakan oleh masyarakat secara luas dan
berkesinambungan. Dari pengamatan penulis, pemanfaatan ikan pemakan jentik harus difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan
pembinaan dari sektor terkait, karena masyarakat Indonesia belum mampu mandiri sehingga masih harus mendapatkan dukungan
penyuluhan agar mampu melindungi dirinya dan keluarga dari penularan DBD.
Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau
cyclops, jenis ini sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu makan larva vektor DBD. Beberapa
spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar
Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva DD/DBD masih harus diuji coba lebih rinci di
tingkat operasional.
Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor
adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah
Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga
spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus
disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah
berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.
Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor. Data penelitian yang dilakukan pada
tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Shinta dkk menunjukkan resistensi vektor terhadap
insektisida yang digunakan oleh program. Insektisida untuk pengendalian DD/DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan
senjata pamungkas.
Tabel 1. Hasil Uji Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Insektisida: malathion 0,8%, Malathion 5%, Permethrin
0,25%, Lambdacyhalothryn 0,05% dan Pirimiphosmethil 2% Di 4 Wilayah Kota Denpasar , Tahun 2009.
Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh
masyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin
dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dll.
Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam memutus rantai penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam
program pemberdayaan peran serta masyarakat.
Untuk meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan pengendalian, maka perlu peningkatan dan pembenahan sistem surveilans
penyakit dan vektor dari tingkat Puskesmas, Kabupaten Kota, Provinsi dan pusat. Disamping kerjasama dan kemitraan dengan
lintas sektor terkait perlu dicari metode yang mempunyai daya ungkit.
Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent: obat nyamuk bakar, vaporize mats (VP), dan repellent oles anti
nyamuk bisa digunakan oleh individu. Pada 10 tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticide
treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk.
4. KESIMPULAN
Demam berdarah dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pengendalian DBD yang utama adalah
dengan memutus rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektornya, karena sampai saat ini vaksin dan obatnya belum ada.
Vektor DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus pengendaliannya tidak mungkin berhasil dengan baik kalau hanya
dilakukan oleh sektor kesehatan, karena berbasis lingkungan dan nyamuk Aedes berkembang biak di wilayah permukiman penduduk.
Untuk mencegah resistensi dan effektifitas, maka penggunaan insektisida harus selektif, tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, tepat
cakupan. Peran serta masyarakat dan lintas sektor terkait harus ditingkatkan secara berkesinambungan melalui penyuluhan dan
promosi kesehatan untuk mengendalikan sumber nyamuk melalui 3M plus atau PSN terpadu. Untuk meningkatkan daya ungkit
pengendalian DBD akan terlaksana dengan baik kalau digerakkan oleh Kementrian dalam negeri termasuk pemerintah daerah di
semua tingkat administrasi dan dukungan dukungan teknik dari sektor kesehatan.
PUSTAKA
1. Kusriastuti Rita. Pokok-Pokok Kegiatan dan Rencana P2-Arbovirosis tahun 2002-2003. Direktorat P2B2 Ditjen PPM&PL, Depkes RI.
Disampaikan pada Pertemuan Konsultasi Teknis Program P2B2, Ciloto, 2001., 27-30 november 2001.
2. Suroso T. Anti Larvae (Aedes aegypti) Programmes Through Community Participation in Indonesia. Dengue Newsletter, 1982. 8 (no
1 & 2): 12-15.
3. Polson, A.K., Chris C., Chang M.S., James G.O., Ngan C., and Sam C. R.,. Susceptibility of Two Cambodian Population of Aedes
aegypti Mosquitos Larvae to Temephos During 2001. Dengue Buletin. 2001, 25 : 79-83.
4. Sukowati, S. Resistensi Vektor Penyakit Terhadap Insektisida. Majalah Kedokteran FK UKI. 1996.Th XIV No 26
5. Sukowati, S.. The impact of Climate Change to Vector- Borne Diseases in Indonesia. 2009. Seminar Nasional Litbang Kesehatan.
6. Parks, WJ, Lloyd, LS, Nathan, M.B, Hosein, E, Odugleh, A, Clark,G.G, Gubler,D.J, Prasittisuk, Palmer, K, San Martin, J.L, Siversen
S.R, Dawkins, Z, and Renganathan, E. International experiences in Social Mobilization and Communication for Dengue Prevention
and Control. Dengue Bulletin, 2004, 28: 1-7
7. Luna, JG, Chain, I, Hernandez, J., Clark, GG, Bueno, Escalante, A., Angarita, S and Martinez, A. Social mobilization using
Strategies of Education and Communication to prevent Dengue Fever in Bucaramanga, Columbia. Dengue Bulletin, 2004, 28: 17-21.
8. Kusriastuti, R., Suroso, T, Nalim, S., Kusumadi, W. “Together Picket”: Community Activities in Dengue Source Reduction in
Purwokerto City, Central Java, Indonesia.
ABSTRAKS
Demam berdarah merupakan penyakit infeksi tropis yang masih menjadi masalah di negara-negara tropis, temasuk di Indonesia.
Pada tahun 2005 di Indonesia dilaporkan 19.000 kasus demam berdarah (Depkes RI, 2006). Case Fatality Rate (CFR) penyakit ini
di negara berkembang berkisar antara 1-2,5%. Depok adalah suatu kotamadya yang terletak 30 km di selatan kota Jakarta yang
mengalami peningkatan dan perluasan kasus demam berdarah secara bermakna sejak tahun 2003.
Studi ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor prediktor yang berhubungan dengan prevalensi demam berdarah dan upaya
penanggulangannya, dilaksanakan studi operasional ini dengan menggunakan beberapa desain (studi ekologi, kasus kontrol,
modelling dan studi kuasi eksperimental) di Kecamatan Cimanggis Kotamadya Depok.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa terjadi trend peningkatan kejadian demam berdarah di Kota Depok, terutama pada bulan Januari
hingga April setiap tahunnya. Dari studi kasus kontrol didapatkan 3 faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah
yaitu: jenis kelamin (OR=1,80 95% CI: 1,07-3,01), pencahayaan (OR=1,40 95% CI:1,08-2,15) dan ventilasi (OR=0,51 95% CI:0,32-
0,81). Dari hasil studi intervensi terkesan bahwa pemasangan spanduk, penyebaran leaflet dan penyuluhan demam berdarah men-
ingkatkan kepedulian dan peran masyarakat di Kelurahan Tugu. Spatial Modelling telah dikembangkan pada studi ini dan modelling
tersebut dapat digunakan untuk pengembangan model intervensi (fogging) atau intervensi lain yang dilakukan terhadap kejadian
demam berdarah di Kecamatan Cimanggis.
Dari studi ini disarankan agar faktor jenis kelamin, pencahayaan dalam rumah dan ventilasi rumah perlu diperhatikan dalam
memprediksi kejadian demam berdarah di suatu wilayah dan bila dilakukan intervensi (fogging) harus memperhatikan arah angin
dan titik fokus kasus. Untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat dapat dilakukan penyuluhan, pemasangan
spanduk dan penyebarluasan leaflet dan kegiatan tersebut perlu diperhatikan kesinambungannya. Selain itu faktor-faktor tersebut di
atas dapat dijadikan Early Warning and Recognition System (EWORS) di kelurahan-kelurahan endemik.
I. Pendahuluan
Latar Belakang
Demam berdarah adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk. Nyamuk yang dapat
menularkan penyakit demam berdarah adalah nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Virus demam berdarah terdiri dari 4
serotipe yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Penyakit ini merupakan penyakit yang timbul di negara-negara tropis,
termasuk di Indonesia (CDC, 2007).
World Health Organization (WHO) mengestimasi 50 juta orang terinfeksi penyakit demam berdarah setiap tahunnya (WHO, 2007).
Di Indonesia penyakit ini selalu meningkat pada setiap awal musim hujan dan menimbulkan kejadian luar biasa di beberapa
wilayah. Penyakit tersebut juga menimbulkan wabah lima tahunan di Indonesia, dimana wabah lima tahunan terakhir terjadi pada
tahun 2003/2004. Pada tahun 2008 di Indonesia dilaporkan 137.469 kasus demam berdarah (Depkes RI, 2008). Case Fatality Rate
(CFR) penyakit ini di negara berkembang berkisar antara 1-2,5%. Dengan demikian setiap 100 kasus demam berdarah akan dida-
patkan 1-3 orang meninggal dunia karena penyakit tersebut.
Depok merupakan salah satu kota satelit yang jumlah kasus demam berdarah setiap tahun semakin bertambah dan terjadi perlua-
san daerah endemis dari 2 kecamatan endemis pada tahun 2000 hingga menjadi 5 kecamatan endemis pada tahun 2007, atau dari
49 kelurahan endemis menjadi 56 kelurahan endemis (Sudinkes Depok dalam Kompas Agustus, 2007).
Penelitian-penelitian tentang demam berdarah telah banyak dilakukan, baik yang berhubungan dengan faktor etiologik, diagnostik
dan prognostik dari penyakit tersebut. Beberapa faktor etiologik yang ditemukan berhubungan dengan penyakit demam berdarah
adalah faktor host (umur, jenis kelamin, mobilitas), faktor lingkungan (kepadatan rumah, adanya tempat perindukan nyamuk, tempat
peristirahatan nyamuk, kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, curah hujan), faktor perilaku (pola tidur, kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk, menguras, membuang/mengubur sarang nyamuk).
Pada faktor diagnostik juga telah dikembangkan beberapa cara diagnostik selain menggunakan diagnostik yang selama ini diguna-
kan (complement fixation test dan hemaglutination inhibition test). Pada faktor prognostik juga telah diteliti hal-hal yang
berhubungan dengan invasi virus ke dalam sel tubuh manusia. Serta telah dikembangkan beberapa cara pengobatan terhadap
penyakit tersebut (CDC, 2007). Berbagai upaya program seperti penyelidikan epidemiologi, juru pemantau jentik, fogging fokus,
abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk, dan lain sebagainya telah dilakukan, namun kejadian penyakit demam berdarah terus
meningkat setiap tahunnya.
Dari seluruh faktor tersebut diatas, upaya kontrol dan pencegahan terhadap penyakit tersebut, baik melalui faktor diagnostik,
etiologik, dan prognostik menjadi penting guna menurunkan kejadian penyakit tersebut di populasi. Untuk itu perlu dilihat dari
seluruh faktor yang berhubungan dengan kasus kejadian demam berdarah di Depok.
Tujuan
Umum
Mendapatkan hubungan antara faktor individu, faktor lingkungan rumah dan faktor lingkungan luar rumah yang dapat memprediksi
terjadinya peningkatan penyakit demam berdarah di kelurahan-kelurahan endemik.
Khusus
Menentukan hubungan antara faktor individu, perilaku, lingkungan rumah dan lingkungan luar rumah dengan kejadian demam
berdarah di wilayah studi.
Melakukan peningkatan tingkat kepedulian masyarakat di salah satu kelurahan.
Melakukan peningkatan tingkat partisipasi masyarakat di salah satu kelurahan.
Melakukan analisis model spatial kasus demam berdarah di Kecamatan Cimanggis.
III. Metodologi
Desain Studi
Studi ini dibagi dalam 2 tahapan studi, yaitu: 1)assessment untuk melihat gambaran masalah penyakit demam berdarah di
Kecamatan Cimanggis, 2) studi intervensi (kuasi eksperimental) untuk melihat efek dari intervensi peningkatan tingkat kepedulian
dan partisipasi masyarakat di salah satu kelurahan yang memiliki masalah penyakit demam berdarah paling banyak, 3) Analisis
model spasial dilakukan untuk melihat kecenderungan dan model untuk melakukan prediksi terhadap kejadian demam berdarah di
kecamatan lainnya.
Assessment
Desain studi ini merupakan gabungan antara studi deskriptif (studi ekologi) dan studi kasus kontrol. Studi ekologi (korelasional)
akan melihat hubungan antara faktor lingkungan dengan peningkatan penyakit demam berdarah setiap tahunnya sejak tahun 2003
sampai dengan tahun 2007 (selama 5 tahun), mengingat bahwa penyakit demam berdarah memiliki siklus tahunan dan siklus lima
tahunan. Dengan melihat selama 5 tahun tersebut, maka dapat dilihat peningkatan demam berdarah setiap tahun dan pada siklus
lima tahunannya. Sedangkan studi kasus kontrol bertujuan melihat hubungan antara faktor individu, lingkungan rumah dan faktor
lingkungan luar rumah dengan kejadian demam berdarah di Depok. Selain itu berdasarkan hasil data assessment akan dilakukan
analisis spasial secara deskriptif.
Studi Intervensi
Studi intervensi (kuasi experimental) akan dilakukan di satu kelurahan terpilih untuk salah satu intervensi (pemberdayaan
masyarakat) dan di Kecamatan Cimanggis untuk pelatihan perawat Puskesmas dan kelurahan.
Lokasi
Studi ekologi dan kasus kontrol akan dilakukan di daerah endemik di wilayah Depok yaitu di Kecamatan Cimanggis. Sedangkan
studi intervensi peningkatan tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat akan dilakukan di Kelurahan Tugu yang merupakan
kelurahan dengan kasus demam berdarah terbanyak. Ringkasan seluruh studi, populasi dan analisis yang digunakan pada studi ini
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Jenis Studi dan Populasi dan Analisis untuk Setiap Jenis Studi
IV. Hasil
160
140
120
e
lt 100
iT
2005
si 80
x 60
A 2006
40
20 2007
0
2008
250
200
e
lt
iT 150
si 100
x
A
50
0
2005 2006 2007 2008
Prevalence 105,4 165,2 226,9 118,15
CFR 2,25 0,74 0,26 1,42
Dari gambar tersebut di atas terlihat bahwa dari tahun 2005 hingga tahun 2008, kasus demam berdarah memiliki pola yang sama
yaitu terjadi peningkatan pada bulan Januari hingga bulan April 2009, dimana banyak terdapat penderita yang berumur 5-13 tahun.
Penderita demam berdarah di Kecamatan Cimanggis meningkat dari tahun 2005 hingga tahun 2008 dan meningkat secara
signifikan pada tahun 2007. Case Fatality Rate penyakit demam berdarah dari tahun 2005 hingga tahun 2008 cenderung menurun,
hal ini dapat merefleksikan kepedulian masyarakat yang meningkat atau baiknya pelayanan kesehatan.
PrevalensiDBDmenurutKel. Umur
Gambar 3 Prevalensi DBD Menurut Kelompok Umur di Cimanggis Tahun 2005-2008
350
is 300
n 250
e
la 200
v 150
e
r 0-4
P 100
50
0 5-9
2005 2006 2007 2008
10-14
0-4 174,8 213,3 217,5 145,9
>15thn
5-9 242,1 299,8 295,4 177,9
10-14 147,6 209,4 280,9 174,6
>15thn 71,2 128,6 163,2 78,6
Sedangkan distribusi kasus berdasarkan kelompok umur terlihat bahwa proporsi kelompok umur yang paling banyak terkena
adalah umur 5-9 tahun dan 10-14 tahun atau anak usia sekolah. Hal ini menujukkan bahwa ada kemungkinan bahwa infeksi di se-
kolah di Kecamatan Cimanggis cukup tinggi dibandingkan infeksi di rumah.
Karakteristik Individu
Dari seluruh kasus yang terjadi pada bulan Januari-April 2009 di Kecamatan Cimanggis, kebanyakan penderita demam berdarah
adalah wanita (52%), berusia 5-12 tahun (38%), berpendidikan belum sekolah dan SD (61%).
Tabel 3 Karakteristik Individu Tahun 2009 di Kecamatan Cimanggis
Variabel Kasus ( %) Kontrol (%) Variabel Kasus ( %) Kontrol (%)
n=182 n=182 Tahusebab
0-.4 18,7 6,8 Virus 13,0 6,8
5-.12 38,2 12,9 Bakteri 0,8
>13 thn 43,1 80,3 Lainnya 4,9 11,4
Tidak tahu 6,5 9,1
Jeni Kelamin Kasus ( %) Kontrol (%)
Nyamuk 74,8 72,7
Pria 48,0 35,6
Ya 72,4 78,0
Wanita 52,0 64,4
Tidak 25,2 18,9
Pendidikan Kasus ( %) Kontrol (%) Tidak tahu 2,4 3,0
Belum 29,3 12,1 CaraPenularan Kasus ( %) Kontrol (%)
SD 32,5 19,7 gigit nyamuk 86,7 87,4
SLTP 6,5 17,4 kontak 5,6 7,8
SLTA 16,3 28,8 makanan 3,3 1,9
Perilaku
Banyak masyarakat baik kelompok kasus atau kontrol yang mengaku tahu tentang demam berdarah dengue, tetapi pada saat
ditanyakan tentang penyebab kebanyakan (lebih dari 70%) mengatakan bahwa penyebab demam berdarah adalah nyamuk.
Dari seluruh variabel yang diamati pada studi ini : i) faktor individu (jenis kelamin, umur, lama pendidikan) ii) perilaku (pengetahuan
tentang penyebab, tahu penularan DBD, tahu nyamuk Aedes, bersihkan bak mandi, bersihkan tempat penampunan air, pakai obat
nyamuk iii) Lingkungan rumah (jenis atap, jenis lantai, ada tanaman, ada gantungan pakaian, ventilasi rumah dan pencahayaan
dalam rumah), serta iv) faktor program (penyuluhan dan pemberantasan jentik berkala). Dari hasil analisis bivariat didapatkan varia-
bel yang berhubungan (nilai P< 0,05) pada analisis bivariat adalah: umur, jenis kelamin, ventilasi, penyuluhan dan Pemberantasan
Jentik Berkala (PJB). Sedangkan variabel yang memiliki nilai p <0,25 adalah seluruh variabel di atas ditambah dengan lama pen-
didikan, tahu penyebab, dan pencahayaan. Selanjutnya variabel yang memiliki nilai p < 0,25 akan ikut dalam analisis multivariat
dengam menggunakan regresi logistik.
Dari seluruh faktor yang diamati pada studi ini, baik faktor individu, faktor perilaku, faktor lingkungan rumah dan faktor lingkungan
luar rumah, faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah di Kecamatan Cimanggis dari hasil analisis multivariat
adalah: jenis kelamin (OR=1,80 95% CI: 1,07-3,01), pencahayaan (OR=1,40 95% CI:1,08-2,15) dan ventilasi (OR=0,51 95%
CI:0,32-0,81) seperti pada tabel hasil akhir analisis multivariat di bawah ini:
Tabel 4. Model Akhir analisis Multivariat dari seluruh variabel Yang Diamati
Untuk meningkatkan tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat di Kota Depok, pada studi ini telah dilakukan beberapa kegiatan
sebagai berikut :
1. Pertemuan dengan lintas sektor tingkat Kota Depok
2. Pertemuan Kader dan Toma di Kecamatan Cimanggis
3. Pertemuan di Kelurahan Tugu
4. Pertemuan di tingkat RW
5. Pertemuan dengan kader RW Siaga
6. Kerja bakti PSN di Kelurahan Tugu (3 RW)
7. Kampanye Sadar Demam Berdarah di Kelurahan Tugu.
8. Pemasangan Spanduk
9. Penyebaran Leaflet
Terjadi peningkatan tingkat kepedulian dan tingkat partisipasi masyarakat baik di Kota De-
pok, Kecamatan Cimanggis dan khususnya di Kelurahan Tugu terefleksi dengan adanya beberapa kegiatan yang memperlihatkan
peningkatan tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat dengan ditemukan hal-hal sebagai berikut;
1. Dinas kesehatan kota Depok berminat untuk mengembangkan hasil studi ini dan mengimplementasikan di kota Depok.
2. Dipasangnya spanduk besar ajakan kewaspadaan terhadap Demam Berdarah di kantor kecamatan Cimanggis.
3. Dilaksanakan kerjabakti untuk pemberantasan sarang nyamuk di beberapa RW di kelurahan Tugu
4. Dipasangnya spanduk di RW 03 di kelurahan Tugu
5. Disebarkannya leaflet tentang demam berdarah di kota Depok
6. Terjadi penurunan presentasi jentik yang ditemukan di kelurahan Tugu
7. Terjadi peningkatan yang bermakna pengetahuan, sikap dan praktik masyarakatterhadap demam berdarah, di kelurahan Tugu
sesudah intervensi.
Gambar 4.1. Tren Pergerakan Persentase Jentik di RW 05 dan 06 Kelurahan Tugu Cimanggis, Depok
Gambar 4.2. Tren Pergerakan Persentase Jentik di RW 05 dan 06 Kelurahan Tugu Cimanggis, Depok
Gambar di atas menujukan penurunan persentase jentik di 2 RW (RW 05 dan RW 06) yang di intervensi di Kelurahan Tugu selama
6 bulan ber turut-turut tidak terdapat jentik (garis biru) setelah intervensi di laksanakan. Hal ini membuktikan terjadinya peningkatan
kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan demam berdarah di kedua RW tersebut.
Pola penyebaran yang spesifik itu berhubungan dengan arah angin. Pada bulan Januari-Maret (Musim Monsun Asia), secara umum
angin bergerak dari Barat ke Timur yang disertai dengan curah hujan yang tinggi. Kombinasi dari fenomena itu sangat mendukung
pergerakan nyamuk yang beserta dengan ketersediaan genangan air.
Telah dikembangkan model spatial dari data yang dikumpulkan di lapangan baik dari data laporan kasus demam berdarah di Ke-
camatan Cimanggis atau dari hasil studi kasus kontrol yang dikumpulkan. Model spatial yang telah dikembangkan dapat digunakan
untuk melihat distribusi dari penyebaran kasus, sehingga dapat diperkirakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kasus
tersebut di wilayah yang kasusnya tinggi. Model ini juga dapat digunakan untuk melakukan prediksi dengan melihat berbagai faktor
yang berhubungan dengan peningkatan kasus demam berdarah di wilayah yang tinggi kasusnya.
Model spatial ini juga dapat digunakan untuk memprediksi dampak terhadap kejadian kasus demam berdarah bila dilakukan inter-
vensi seperti fogging atau intervensi lainnya. Dengan menggunakan model spatial yang ada juga dapat ditentukan bagaimana inter-
vensi tersebut sebaiknya di lakukan dan faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam melakukan intervensi tersebut guna menu-
runkan kejadian demam berdarah di suatu wilayah.
SARAN
Semua tingkat pemerintahan baik kota, kecamatan, kelurahan dan RW harus bergerak secara sinergi guna meningkatkan kepe-
dulian dan partisipasi masyarakat dalam menurunkan penyakit demam berdarah dan penyakit infeksi lainnya.
Peningkatan kepedulian dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap demam berdarah merupakan upaya yang berkesinambungan
dan perlu diinisiasi oleh pemerintah melalui pemerintah kecamatan sehingga dapat dilakukan upaya yang terpadu. Upaya penu-
runan kasus demam berdarah harus merupakan upaya yang terintergrasi dari upaya yang di bidang lingkungan dan perilaku
masyarakat yang melibatkan berbagai sektor sehingga diperlukan koordinasi yang kuat dan berkesinambungan.
Perlu dilakukan pemantauan terhadap tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat di tingkat kelurahan dengan melihat seluruh
kegiatan RW siaga dalam upaya memelihara kesehatan di lingkungannya. Perlu ditingkatkan tingkat pemberdayaan masyarakat
untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam melakukan upaya pencegahan terhadap penyakit demam berda-
rah dan penyakit infeksi lainnya dengan memberikan penyuluhan atau informasi yang cukup guna meningkatkan kepedulian dan
partisipasi masyarakat tersebut.
Perlu dilakukan fogging yang memperhatikan model yang telah dikembangkan pada studi ini, yaitu memperhatikan arah angin dan
titik-titik dimana kasus berada sehingga fogging menjadi lebih efektif dan efisien. Perlu ditingkatkan surveilans penyakit di seluruh
kecamatan (khususnya surveilans demam berdarah), sehingga peningkatan demam berdarah dapat dilakukan intervensi sedini
mungkin di seluruh kecamatan di Kota Depok.
Masyarakat diharapkan dapat berpartispasi dalam menurunkan kejadian demam berdarah di wilayahnya dengan melakukan pem-
berantasan sarang nyamuk dan menjaga kebersihan lingkungannya dan menjaga dari gigitan nyamuk.
REFERENSI
1. Anelise T, et all, Dengue Spatial and Temporal Patterns, Frecnh Guiana, 2001, Emerging Infectious Diseases. Vol. 10 (4) April
2004:615-621
2. Anupong S, et all, Trasmission of Dengue Haemorrhagic Fever: At Home or School, Dengue Bulletin, Vol, 29, 2005.
3. Birgit B, et all, Spatial Pattern of and Risk Factors for Seropositivity for Dengue Infecion, Medline, September 2004:1-16.
4. Dana A F et all, Transmission Threshold for Dengue in Terms of Aedes Aegypti Pupae per Person with discussion of Their
Utility in Source Reduction Efforts, American Journal Tropical Medicine and Hygiene, Vol 62(1) 2000: 11-18.
5. Day Yu Chao et all, Predisposing Factors of Dengue Cases by Random Effect Model in the Largest Dengue Haemorrhagic
Fever Epidemic in Taiwan in 1988,
6. Gubbler DJ, Epidemic dengue/Dengue Hemorrhagic Fever as Public Helath. Social and Economic Problem in 21st Century,
Trends in Microbiology, Vol 10 (2), February, 2007: 100-103.
7. Guha Sapir D and Barbara S, Dengue Fever: New Paradigm for Changing epidemiology, Emergence Themes Epidemiology,
Vol 2 (1), March 2005:1-10
8. Hasyimi dan Mardjan S, pengamatan Tempat Perindukan Aedes Aegypti pada Tempat Pengampungan Air Rumah Tangga
Pada masyarakat Pengguna Air Olahan, Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol 391) April 2004: 37-42.
9. Jetten TH, Focks DA. Potential changes in the distribution of dengue transmission under climate warming. Am J Trop Med Hyg
1997;57:285–97.
10. Kleinbum, Epidemiology Research, Newyork, 1996
11. Lameshow, Sampling pada Penelitian Kesehatan, Gajah Mada University Press, 2004
12. Lizez S et all, Aedes Aegypti larval Indices and risk for Dengue epidemics, Emerging Infectious Diseases Vol.12 (5) May
2005:800-806. www.cdc.gov/eid.
13. Otto Palaez et all, Dengue epidemic, Havana 2001, Emerging Infectious Diseases, Vol 10 (4), April 2004:719-750.
14. Roger W, Communicable Diseases Epidemiology, CAB International, Wellingford, Cambridge University, UK, 1996
15. Reiter P. Climate change and mosquito-borne disease. Environ Health Perspect 2001;109 (Suppl 1):141–61.
16. Schwartz E, Moskovitz A, Potasman I, Peri G, Grossman Z, Alkan ML. Changing epidemiology of dengue fever in travelers to
Thailand. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2000;19:784–6
17. Sophie O V et all, Multilvel Analysis of Spatial and Temporal determinants for Dengue Infection, International Journal of Health
Geographic, Vol 5 (5) January 2006:1-16.
18. UNDP, WHO, WB, Tropical Diseaes Research Progress 1997-1998, UNDP/World
19. WHO, 1998, Dengue in the WHO Western Pacific Region. Weekly Epidemiology Record 1998;73:273
20. World Health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva: The Organization;
1997.