Kelompok Kusta 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

PENYAKIT KUSTA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular,

Dosen pengampu : drh. Dyah Mahendrasari Sukendra, M. Sc.

Disusun oleh:

Early Widya Kusuma (6411420003)


Adrin Daila Marpid (6411420017)
Suratmi (6411420028)

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Tahun ajaran 2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut WHO, Penyakit kusta merupakan bagian dari 17 penyakit tropis yang
masih terabaikan dengan angka kejadiannya yang masih tinggi. Sejak dulu
penyakit kusta telah menyerang manusia, penyakit kusta telah muncul dalam
sebuah dokumen Papirus Mesir yang ditulis sekitar tahun 1550 SM. Selanjutnya,
tahun 600 SM ditemukan tulisan dalam bahasa India yang menggambarkan
penyakit menyerupai kusta. Selain itu, muncul pada catatan Yunani Kuno.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan bersifat kronik.
Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat dan terjadi pada kulit dan saraf tepi. Penderita kusta tidak
hanya menghadapi permasalahan medis, akan tetapi juga permasalahan
psikososial dan produktivitas. Selain itu, dampak sosial akan menimbulkan
keresahan yang dangat mendalam yang dirasakan oleh penderita, keluarga,
masyarakat dan negara.
Kecacatan dan kelumpuhan merupakan hal yang paling ditakuti oleh penderita
kusta, karena hal tersebut akan mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi
penderita.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan penyebab penyakit kusta?
2. Sebutkan klasifikasi penyakit kusta?
3. Jelaskan sumber dan cara penularan penyakit kusta?
4. Sebutkan dan jelaskan faktor risiko dari penyakit kusta?
5. Sebutkan gejala dan ciri-ciri penyakit kusta?
6. Jelaskan riwayat penyakit alamiah penyakit kusta?
7. Bagaimana pengobatan yang digunakan untuk penyakit kusta?
8. Sebutkan apa sajakah upaya yang dilakukan untuk mencegah penyakit kusta?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan penyebab penyakit kusta.
2. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit kusta.
3. Untuk mengetahui dan menyebutkan sumber serta cara penularan dari
penyakit kusta.
4. Untuk mengetahui faktor risiko dari penyakit kusta.
5. Untuk mengetahui serta menyebutkan gejala dan ciri-ciri penyakit kusta.
6. Untuk mengetahui riwayat penyakit alamiah penyakit kusta.
7. Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit kusta.
8. Untuk mengetahui dan menyebutkan upaya pencegahan penyakit kusta.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Penyebab Penyakit Kusta


Kusta dikenal dengan nama lepra atau penyakit morbus hansen yakni penyakit
yang menyerang kulit mengakibatkan luka pada kulit, sistem saraf perifer yang
menyebabkan kerusakan saraf, melemahnya otot dan mati rasa, selaput lendir pada
saluran pernapasan atas bahkan mata.
Menurut Kemenkes RI (2008), kusta adalah penyakit kulit menular yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat
dan terjadi pada kulit dan saraf tepi. Kuman Mycobacterium leprae pertama kali
menyerang pada syaraf perifer, yang kemudian mengenai kulit dan mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotel penderita, mata, otot, tulang dan
testis.
Penyakit kusta ditakuti karena dapat mengakibatkan cacat tubuh, tetapi
gejalanya tidak selalu kelihatan. Harus diwaspadai apabila mempunyai luka yang
tidak kunjung sembuh dan tidak sakit ketika ditekan. Penyakit kusta mengalami
proses pembelahan yang cukup lama yaitu 2-3 minggu di luar tubuh manus dan
memiliki masa inkubasi 2-5 tahun bahkan lebih.

B. Klasifikasi Penyakit Kusta


Dasar klasifikasi Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal
yaitu
a. Manifestasi klinis, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu.
b. Hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin smear basil tahan asam
(BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan
bila diagnosis meragukan.
1. Klasifikasi Ridley- Jopling
a) Penyakit Kusta Indeterminate
Lesi kulit terdiri dari suatu makula yang pipih dan tunggal, biasanya
sedikit hipopigmentasi ataupun sedikit erythematose, sedikit oval
ataupun bulat dalam hal bentuk. Permukaannya rata dan licin, tidak di
temukan tanda-tanda ataupun perubahan tekstur kulit. Pemeriksaan
Basil Tahan Asam (BTA) pada umumnya negatif atau sedikit positif.
b) Penyakit Kusta Tipe Tubercoloid
Jenis Lesi ini pada umumnya bersifat stabil, lesi pada umumnya
berwarna kemerah-merahan dan kecoklat-coklatan ataupun
mengalami hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas
dari kulit yang normal di sekitarnya.
c) Penyakit Kusta Tipe Bordeline
Tipe ini sangat labil (tidak stabil), lesi-lesi kulit pada umumnya
sukkulent atau eras, pleimorfik menebal secara seragam (uniform)
atau pun dengan suatu daerah penyambuhan sentral.
d) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tuberculoid (BT)
Lesi kulit dapat ditentukan dari beberapa sampai banyak berwarna
kemerah–merahan sampai kecoklat-coklatan atau hypochronik, dan
ada lesi-lesi yang tersendiri yang dapat meninggi batasnya tampak
dengan nyata apabila dibandingkan dengan kulit yang sehat di
sekelilingnya. Syaraf–syaraf tepi kadang dapat terus menebal, dengan
hasil pemeriksaan BTA positif yang ringan.
e) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Lepramatouse (BL)
Lesi kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi dalam hal ukuran,
menebal atau mengalami infitrasi, berwarna kemerahmerahan
ataupun kecoklatan, sering banyak dan meluas. Hasil pemeriksaan
BTA adalah positif.
f) Penyakit Kusta Tipe Lepramatouse (LL)
Pada tipe penyakit kusta Lepramatouse yang sub polar, lesilesi kulit
sangat menyerupai lesi-lesi penyakit kusta Lepramatouse yang polar,
namun masih dijumpai sejumlah kecil sisa lesi-lesi dari kusta yang
asimetrik, juga kerusakan syaraf (tepi yang asimetrik dengan
pembesaran syaraf dapat pula diperlihatkan pada tipe kusta ini.

2. Klasifikasi menurut WHO


Klasifikasi kusta menurut WHO dapat di golongkan dalam dua tipe yaitu
a) Tipe Pause Basiler (PB)
Ditandai dengan munculnya lima titik lesi atau lebih sedikit lesi dan
tidak ada bakteri yang terdeteksi dalam sampel kulit.
b) Tipe Multi Basiler (MB).
Kusta yang masuk kategori multibacillary apabila timbul lebih dari
lima lesi dan biopsi kulit didiagnosis mengandung bakteri.

C. Sumber dan Cara Penyebaran Penyakit Kusta

Sumber penularan penyakit Kusta melalui Bakteri Mycobacterium Leprae. Cara


penularan M. Leprae masih belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan
melalui kontak langsung penderita kusta ke orang lain melalui inhalasi dan kontak
kulit. Cara penularan bakteri ini diduga melalui cairan dari hidung yang biasanya
menyebar ke udara ketika penderita batuk atau bersin, dan dihirup oleh orang lain.
Melalui inhalasi bakteri M. Leprae dikeluarkan dari penderita saat bicara, batuk atau
bersin. Bakteri dapat memasuki tubuh manusia melalui saluran pernafasan lewat
percikan ludah (droplet infection). Dan melalui kontak kulit, M. Leprae terutama
masuk tubuh manusia melalui lesi (keadaan jaringan yang abnormal pada tubuh) kulit
atau setelah trauma, walaupun dikatakan penularan melalui kulit intak mungkin tetapi
lebih sulit. Berbagai trauma pada kulit dapat menjadi sumber transmisi, contohnya
pemakaian jarum suntik, peralatan tattoo terkontaminasi M. Leprae, serta tertusuk
duri armadillo liar yang menderita kusta. Dalam kebanyakan kasus, bakteri tersebut
tersebar melalui kontak jangka panjang antara orang yang rentan dengan seseorang
yang memiliki penyakit Kusta tapi belum diobati. Penularan dari manusia ke manusia
adalah sumber utama infeksi.

Kusta saat ini tidak lagi dianggap sebagai penyakit terbatas pada manusia. Didapatkan
infeksi alamiah M. Leprae pada armadillo, sehingga kusta disebut sebagai zoonosis.
Armadillo merupakan model hewan yang sangat cocok untuk penelitian kusta karena
memiliki suhu tubuh 30-35°C dan masa hidup 12-15 tahun sehingga dapat dievaluasi
untuk periode jangka panjang. Penelitian menggunakan armadillo nine banded
pertama kali diperkenalkan Storrs, et al dan dilaporkan ada 5 kasus kusta di Texas
akibat memegang armadillo liar dan semua tidak ada riwayat kontak dengan penderita
kusta. Storrs menyebutkan ada lesi kusta berkembang dari tusukan duri armadillo liar
terinfeksi M. leprae. Duri pada hidung, telinga, dan telapak kaki armadillo liar
mengandung sejumlah besar kuman M. leprae. Hal tersebut dibuktikan dengan
percobaan mencit yang terinfeksi kusta setelah ditusuk duri armadillo liar. Hal ini
juga menunjukkan bahwa inokulasi pada kulit penting dalam cara penularan penyakit
kusta.

Sumber kusta selain manusia dan hewan diduga juga melalui lingkungan. Hal ini
diperkuat dengan banyak kasus baru ditemukan tanpa riwayat kontak dengan
penderita kusta. Bakteri M. Leprae mampu hidup di luar tubuh manusia terutama dari
sekret nasal melalui batuk atau bersin. Bakteri M. Leprae dapat hidup pada
lingkungan panas maupun lembab selama lebih dari 46 hari tergantung kondisi
lingkungan seperti: sinar matahari, suhu (20,6°C-35,7°C), dan kelembapan (43,7%-
77,6%). Sudah banyak penelitian tentang keberadaan M. Leprae di tanah, air, debu,
dan tanaman air. Berdasarkan Report of the International Leprosy Association
Technical Forum di Paris pada tahun 2002 melaporkan sebuah penelitian bakteri M.
Leprae ditemukan pada debu dan air untuk mandi cuci di rumah penderita kusta.
Untuk menganggap lingkungan sebagai sumber penularan kusta masih dipertanyakan
karena jumlah kuman basil dari penderita akan terus berkurang di lingkungan luar. Di
samping itu bakteri M. Leprae merupakan kuman obligat intraseluler yang berarti
hanya dapat hidup di dalam sel.

D. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Kusta


1. Faktor Resiko Kusta Subklinik
a. Agent
Agen dalam penyakit kusta adalah kuman Mycobacterium leprae. Kuman
ini dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar
matahari sampai bertahun-tahun lamanya dan akan mati jika terkena
cahaya matahari dalam waktu 2 jam.
b. Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium leprae. Tingkat
penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, seorang
penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
Host manusia ini mempunyai karakteristik yang dapat dilihat dari faktor
umur, jenis kelamin, pekerjaan , keturunan, pekejaan, ras dan gaya hidup,
gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan
tanda penyakit serta pengobatan.
c. Enviroment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda
mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk
akibat interak si semua elemen-elemen termasuk host yang lain.
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan fisik
terdiri dari keadaan geografis, kelembaban udara, suhu dan lingkungan
tempat tinggal. Sedangkan lingkungan non fisik meliputi: sosial
(pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi
(kebijakan mikro dan local) dan politik (kebijakan pencegahan dan
penanggulangan suatu penyakit).
2. Faktor Risiko Karakteristik Narakontak Stadium Subklinis
Narakontak adalah orang yang pernah terpapar atau kontak dengan penderita
kusta. Ada beberapa faktor resiko penyakit kusya jika dilihat dari Karakteristik
Narakontak Stadium Subklinis meliputi teori di bawah ini sebagai berikut :
a. Umur
Hampir semua kejadian suatu penyakit dipengaruhi oleh umur. Pada
penyakit kronik seperti kusta diketahui dapat terjadi pada semua umur,
berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70
tahun). Pada dasarnya kusta dapat menyerang semua umur, tetapi anak–
anak lebih rentan terkena penyakit kusta dibandingkandengan orang
dewasa. Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.
b. Jenis Kelamin
Penyaklit kusta dapat menyerang semua orang, tetapi hubungan perbedaan
jenis kelamin terhadap timbulnya penyakit kusta belum dapat dipastikan.
Lakilaki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan
perbandingan 2:1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan
penderita wanita lebih banyak (Namira Suharsimi). Sebagian besar Negara
di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak terserang kusta dari pada wanita. Rendahnya kejadian
kusta pada wanita disebabkan karena beberapa faktor, seperti faktor
lingkungan dan faktor biologis. ingkat kecacatan pada laki-laki lebih besar
daripada wanita. Hal ini berkaitan dengan faktor pekerjaan, kebiasaan
keluar rumah, dan merokok.
c. Pendidikan
Tingkat Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik)
untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan
kesehatannya. Status pendidikan berhubungan dengan tindakan mencari
pengobatan. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang
menjadi lebih lambat dalam mendiagnosa penyakit dan mencari
pengobatan.
d. Personal Hygiene
Personal hygiene (kebersihan perseorangan) merupakan
tindakanpencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk
meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit menular
terutama yang ditularkan melalui kontak langsung seperti halnya kusta
M.lepra.
Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan meningkatkan
personal hygiene, diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut,
dan kuku, Kebiasaan mandi, kebiasan meminjam pakaian, dan kebiasaan
meminjam handuk yang bisa menjadi tolak ukur terjadinya penyakit kusta.
e. Status gizi dan status ekonomi
Penyakit kusta karna penyakit kusta banyak menyerang masyarakat
dengan sosial ekonomi yang rendah karena berkaitan dengan gizi yang
kurang baik dan lingkungan yang tidak baik
f. Riwayat kontak
Penyakit ini timbul akibat kontak fisik yang eratdengan pasien yang
terinfeksi dan menjadi lebih berat apabila terjadi kontak dengan kasus
lepromatosa. Sekret hidung merupakan sumber utama terjadinya infeksi di
masyarakat.
g. Lama kontak
Lama Kontak sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit kusta,
meskipun cara penularannya belum pasti, tetapi penularan di dalam rumah
tangga dan kontak yang dekat dalam waktu yang lama akan berperan
dalam penularan karena penyakit kusta ini mempunyai masa inkubasi
selama 2-5 tahun dan dapat juga terjadi selama bertahun-tahun . Penularan
terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan
masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana
cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan penderita.
h. Suhu kamar
Di dalam sekret kering dengan temperatur dan kelembaban yang bervriasi,
M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar
dibuktikan dapat bertahan hidup sampai 46 hari. Ketentuan kualitas udara
di dalam rumah khususnya suhu udara dikatakan nyaman apabila berkisar
180 sampai 300. M.leprae yang bertahan hidup lama dalam temperatur
kamar dapat mempertinggi risiko penularan kusta antar anggota keluarga
yang menderita penyakit kusta.
i. Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-hari
yang digolongkan menjadi pekerjaan ringan (tidak bekerja, pelajar,
pegawai kantor)dan pekerjaan berat (pekerja bangunan, buruh, tukang
batu, pekerja bengkel, penjahit, buruh angkut, pembantu, petani dan
nelayan).
j. Genetik
Genetik juga sangat mempengaruhi kejadian penyakit kusta. Faktor
genetik telah lama dipertimbangkan karena mempunyai peranan besar
untuk terjadinya penyakit kusta pada kelompok tertentu. Peranan faktor
genetik terhadap penyakit kusta belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi
respon yang terjadi akibat adanya M.leprae dapat sangat berbeda karena di
bawah kontrolbgenetik. Faktor genetik yang berperan salah satunya adalah
berada di bawah sistem Human Leucocyte Antigen (HLA).
k. Riwayat Imunisasi BCG
Imunisasi BCG sangat mempengaruhi kejadian penyakit kusta (Moh
Irfan). Pemberian BCG secara luas menurut WHO dapat berperan dalam
penurunan kejadian penderita kusta. Perlindungan yang diberikan oleh
vaksin BCG akan maksimal apabila diberikan sebelum usia penderita 15
tahun. Sebuah penelitian di India menunjukkan hasil bahwa responden
yang tidak memiliki skar BCG terkena penyakit kusta lebih tinggi
(6,7/1000) dibandingkan dengan responden yang mempunyai skar BCG
(5,5/1000).
l. Kelembaban
Kelembaban dipengaruhi oleh keadaan bangunan seperti dinding, jenis
lantai, ventilasi dan secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.
Kamar yang lembab dapat menjadi tempat penularan penyakit.
Kelembaban udara dalam persyaratan kesehatan perumahan yang diatur
menurut Kepmenkes No. 829 tahun 1999 berkisar antara 40%-70%, jika di
bawah 40% atau di atas 70% dapat menjadi media yang baik untuk
bakteri-bakteri.

E. Gejala dan tanda-tanda Penyakit Kusta

Ada beberapa tanda-tanda pada tersangka (suspek) dan positif penyakit Kusta.
Ada yang tidak nampak jelas, terjadi sangat lambat dan tergantung dari tingkat
atau tipe dari penyakit Kusta tersebut.

1. Tanda-tanda pada kulit


a. Adanya bercak tipis berwarna merah atau putih seperti panu pada
bagian tubuh manusia. (hal ini yang kadang dianggap biasa oleh
penduduk)
b. Awalnya bercak putih ini hanya sedikit ukuran bercak dan jumlahnya,
tetapi lama lama bercak tersebut semakin melebar dan banyak.
c. Adanya pelebaran / pembesaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, aulicularis magnus serta peroneus, yang biasanya terjadi
pada daerah siku dan lutut.
d. Beberapa kelenjar keringat kurang bekerja secara normal sehingga
kulit tampak tipis dan mengkilap.
e. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit
f. Kehilangan alis dan bulu mata / mengalami kerontokan atau tidak
berambut
g. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat
h. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada syaraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau
muka.
b. Gangguan gerak pada anggota badan atau bagian muka.
c. Adanya cacat (deformitas).
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
3. Gejala Penyakit Kusta
a. Merasakan mati rasa, baik sensasi terhadap perubahan suhu,
sentuhan, tekanan ataupun rasa sakit pada bagian bercak berwarna
putih.
b. Munculnya lesi berwarna pucat dan menebal pada kulit yang
berbercak.
c. Muncul luka pada bercak putih tetapi tidak terasa sakit.
d. Pembesaran saraf yang biasanya terjadi pada daerah siku dan lutut.
e. Merasakan kelemahan otot hingga kelumpuhan, terutama pada otot
kaki dan tangan.
f. Kehilangan alis dan bulu mata.
g. Mata menjadi kering dan jarang mengedip hingga dapat menimbulkan
kebutaan.
h. Hilangnya jari jemari.
i. Kerusakan pada bentuk hidung, yang dapat menimbulkan mimisan,
hidung tersumbat atau kehilangan tulang hidung

F. Riwayat Alamiah Penyakit Kusta


1. Tahap Prepatogenesis Penyakit Kusta
Mula-mula bakteri penyebab kusta akan masuk ke dalam hidung dan
kemudian organ pernapasan manusia. Setelah itu, bakteri akan berpindah ke
jaringan saraf dan masuk ke dalam sel-sel saraf. Bakteri M. Leprae suka
dengan tempat yang bersuhu dingin, oleh karena itu bakteri akan masuk ke sel
saraf tepi dan sel saraf kulit yang memiliki suhu yang lebih dingin. Kemudian
bakteri penyebab kusta akan menjadikan sel saraf sebagai ‘rumah’ atau
‘tempat’ dan mulai berkembang biak di dalamnya. Bakteri ini memerlukan
waktu 12-14 hari untuk membelah diri menjadi dua. Biasanya sampai di tahap
ini, seseorang yang terinfeksi belum memunculkan gejala kusta secara kasat
mata.
Mycobacterium Leprae masuk ke dalam tubuh manusia sampai timbulnya
gejala dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa
inkubasinya bisa sampai 3-20 tahun. Seringkali penderita tidak menyadari
adanya proses penyakit di dalam tubuhnya, dan umumnya penduduk yang
tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi namun banyak orang yang
kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta.
2. Tahap Patogenesis Tahap Dini Penyakit Kusta
Pada tahap ini bakteri penyebab kusta sudah masuk kedalam tubuh si
penderita dan sudah tahap inkubasi. Seiring berjalannya waktu, bakteri
penyebab penyakit kusta akan berkembang semakin banyak. Dimana pada
tahap ini, gejala kusta seperti mati rasa sudah mulai muncul. Tanda dan gejala
kusta ialah adanya bercak putih pada kulit yang awalnya terlihat seperti panu
biasa namun lama kelamaan akan semakin melebar dan jumlahnya semakin
banyak (Kemenkes RI, 2015). Adanya bintil-bintil merah pada beberapa
bagian kulit, beberapa bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada
beberapa bagian tubuh dan raut muka, muka benjol-benjol dan tegang serta
mati rasa karena mengalami kerusakan saraf tepi. Gejala memang tidak begitu
tampak dan jarang cepat disadari oleh penderita. Jika gejala kusta yang satu ini
tidak segera ditangani, maka bakteri dengan cepat akan menimbulkan berbagai
gangguan lain di tubuh.
3. Tahap Patogenesis Tahap Lanjut Kusta
Pada tahap ini host sedang menderita kusta dan terus mengalami
perkembangan semakin parah serta penderita mengalami berbagai gangguan
atau masalah kesehatan lain diantaranya: kerusakan pada membran mukosa
hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat dan mengalami mimisan kronis.
Jika tidak diobati, tulang rawan di ujung hidung atau septum bisa terkikis dan
hancur; peradangan pada iris mata yang dapat berujung pada munculnya
glaukoma; perubahan pada bentuk wajah, seperti benjolan dan pembengkakan
yang permanen; kondisi kornea mata menjadi tidak peka, sehingga dapat
menyebabkan terbentuknya jaringan parut hingga kebutaan; khusus pengidap
laki-laki mereka bisa berpotensi mengalami disfungsi ereksi dan infertilitas;
gagal ginjal; kelumpuhan pada tangan dan kaki juga dapat terjadi karena
adanya kerusakan saraf; dan luka-luka yang tumbuh pada telapak kaki bagian
tumit bisa mengalami infeksi serta dapat memicu rasa sakit yang hebat ketika
penderita berjalan.
Satu karakteristik dari penyakit kusta yang menjadi penyebab terjadinya cacat
adalah terjadinya peradangan yang mengenai saraf. Reaksi kusta merupakan
suatu perjalanan kronis yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair
respons) atau reaksi antigen antibodi (humoral respons) dengan akibat
merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan
gangguan fungsi atau cacat (Depkes RI, 2007: 90). Reaksi kusta dapat terjadi
sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Gambaran klinisnya sangat khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri, dan
dapat disertai gangguan fungsi saraf. Akan tetapi, tidak semua gejala reaksi
serupa.
4. Tahap Pasca Patogenesis Penyakit Kusta
Pada tahap ini penderita kusta dapat dinyatakan sembuh atau karier kusta
namun ada beberapa yang mengalami kecacatan. Berikut adalah jenis
kecacatan, yaitu:
 Cacat Primer
Cacat primer adalah jenis cacat kusta yang disebabkan langsung oleh
infeksi bakteri M. Leprae dalam tubuh. Contohnya, yaitu: mati rasa,
claw hand (tangan dan jari-jari membengkok), dan kulit kering. Pada
cacat primer, bercak kulit yang mirip panu biasanya akan terus
bertambah dalam waktu yang relatif singkat. Bercak kusta juga lama-
lama meradang dan membengkak. Kondisi ini seringkali disertai
dengan gejala demam. Orang yang mengalami kusta juga biasanya
mengalami kelemahan otot dan sensasi kulit mati rasa atau biasa
disebut kebas dan baal dalam enam bulan terakhir semenjak paparan
infeksi awal. Selain itu, bisul akibat kusta kadang bisa pecah dan
berkembang menjadi borok. Bila mengalami gejala-gejala di atas,
segera untuk kunjungi dokter agar mendapatkan perawatan terbaik
untuk mencegah keparahan gejala dan kondisi.
 Cacat Sekunder
Cacat sekunder adalah perkembangan dari cacat primer, terutama
yang diakibatkan oleh kerusakan saraf. Contohnya keterbatasan gerak
sendi sebagai akibat kerusakan fungsional pada persendian dan
jaringan lunak di sekitar area yang terpengaruh. Kecacatan kusta pada
tahap ini terjadi melalui dua proses, yaitu: adanya aliran langsung
bakteri M. Leprae ke susunan saraf tepi dan organ tertentu, atau
melalui reaksi kusta. Jika bakteri sudah masuk ke dalam saraf, maka
fungsi saraf akan berkurang bahkan hilang.
G. Pengobatan Penyakit Kusta
Tahun 1941, promin sebuah sulfon obat digunakan sebagai obat kusta. Pada
awalnya diidentifikasi serta digunakan di Carville. Promin dapat merawat kusta
akan tetapi, menimbulkan efek samping yang menyakitkan ketika disuntikkan
pada pasien.
Pada tahun 1950, Dr. R.G. Cochrane di Carville menemukan obat Pil Dapson
untuk pengobatan kusta. Pada mulanya pil Dapson bekerja dengan baik, namun
Micobacterium leprae pada akhirnya mulai mengembangkan perlawanan terhadap
dapson.
WHO mulai merekomendasikan obat MTD yang dikombinasikan dari ketiga
jenis obat yakni dapson, rifampisin dan clofasimine. Kemudian, penderita kusta
akan diberikan kombinasi antibiotic selama 6 bulan hingga 2 tahhun. Jenis, dosis
dan durasi penggunaan antibiotik ditentukan berdasarkan jenis kusta.
Pengobatan bagi penderita kusta dilakukan menggunakan obat-obat yang
dapat membunuh bakteri atau kuman kusta yang bertujuan untuk memutuskan
mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah
terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Jika seorang penderita kusta tidak meminum obat secara rutin maka,
kuman atau bakteri kusta akan aktif kembali yang menyebabkan timbul gejala
baru pada kulit dan saraf.
Pengobatan Kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun
MB. MDT merupakan kombinasi dua atau lebih obat anti Kusta, salah satunya
Rifampisin sebagai anti Kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti
Kusta lain bersifat bakteriostatik. Pengobatan kusta secara MTD memiliki tujuan
untuk memutus mata rantai penularan, mencegah resistensi obat, meningkatkan
keteraturan berobat serta mencegah terjadinya disabilitas atau mencegah
bertambahnya disabilitas yang sudah ada sebelum pengobatan. Terdapat beberapa
macam kelompok orang yang membutuhkan MTD yakni:
1. Penderita kusta yang baru didiagnosa kusta dan belum pernah
mendapatkan pengobatan secara MTD
2. Penderita kusta ulangan yakni penderita kusta yang mengalami beberapa
hal seperti relaps, masuk kembali setelah default, pindah berobat, ganti
klasifikasi atau tipe.

MTD tersedia dalam bentuk 4 macamblister MTD yang sesuai dengan


kelompok umur. Rigamen pengobatan MTD di Indonesia yang telah
direkomendasikan oleh WHO yaitu:
1. Penerita kusta tipe pausbasiler (PB)Pengobatan tipe PB dibagi menjadi dua
yakni PB dewasa dan PB anak. Pemberian pengobatan tipe PB diberikan
dengan dosis yang sesuai dengan golongan umur. Pada pemberian satu
blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 6 blister yang dapat diminum
selama 6–9 bulan.
2. Penderita kusta tipe multibaster (MB)
Penderita kusta tipe multibaster (MB) dibagi menjadi dua yakni
dewasa dan anak. Pengobatan tipe ini diberikan dosis berdasarkan golongan
umur. Pemberian satu blister untuk 28 hari sehingga dibutuhkan 12 blister
yang dapat diminum selama 12-18 bulan

Efek samping dari obat-obat tersebut dapat menyebabkan air seni berwarna
merah, perubahan warna kulit secara coklat, masalah gastro interital, anemia
hemolitik, ruam kulit yang gatal, alergi urtikaria, ikterus hingga gagal ginjal.

H. Upaya Pencegahan Penyakit Kusta


Klasifikasi Pencegahan Penyakit Kusta terbagi atas:
1. Pencegahan kesakitan (kondisi sehat sebelum sakit) agar tidak sakit
dengan Promotif dan Preventif.
2. Pencegahan keparahan (kondisi saat sedang sakit) agar tidak parah atau
komplikasi dengan Early diagnosis and Prompt Treatment dan Disability
Limitation.
3. Pencegahan Kekambuhan (kondisi sedang sakit dan masa pengobatan
yang putus) agar tidak kambuh dengan Rehabilitasi.
Pencegahan sebelum sakit dilakukan agar tidak sakit Kusta, upaya yang dilakukan
baik oleh individu, keluarga, kelompok, masyarakat, dan diwilayah untuk
mencegah orang sehat yang berisiko atau rentan dari bibit penyakit dengan
melakukan upaya promotif dan preventif mengenai cara membatasi Agent
(penyebab, faktor risiko dan faktor pencetus), mengendalikan Environment, dan
mengubah perilaku Host untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu
upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah mengurangi
kontak fisik dengan penderita Kusta karier, menjaga posisi saat berbicara,
menjaga kondisi fisik selalu sehat optimal.
Adapun usaha untuk pemutusan rantai penularan penyakit kusta dapat dilakukan
melalui:
 Pengobatan MDT penderita kusta.
 Isolasi terhadap penderita kusta. Dalam hal ini tidak dianjurkan karena
penderita yang sudah berobat tidak akan menularkan penyakitnya ke
orang lain.
 Perlindungan khusus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi
Bacillus Calmette Guerin (BCG), terutama pada orang yang kontak
serumah dengan penderita kusta.
 Pendidikan kesehatan dengan cara masyarakat dapat hidup secara sehat
(hygiene).
 Periksa secara teratur anggota keluarga dan anggota dekat lainnya untuk
tanda-tanda kusta (Depkes RI, 2007: 11).
 Bukalah jendela rumah agar sirkulasi udara serta suhu di dalam ruang
tetap terjaga agar terhindar berkembangnya bakteri M. Leprae di dalam
rumah (Dinkes Provinsi, 2005: 6).
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang tujuannya dapat
membunuh kuman kusta, sehingga pengobatan akan memutuskan mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita, serta mencegah terjadinya cacat
atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga
tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif
sampai akhirnya hilang. Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen,
pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Penderita kusta yang tidak
meminum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali
sehingga timbul gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk
keadaan. Oleh karena itu, pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.
Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja
seperti biasa (Depkes RI, 2007: 73).

DAFTAR PUSTAKA

Siswanto., Asrianti, T., & Mulyana, D. (2020). Neglected Tropikal Disease Kusta
Epidemiologi Aplikatif. Samarinda: Mulawarman University Press.

Darmawan, H., & Rusmawardiana. (2020). Sumber dan Cara Penularan


Mycobacterium Leprae. Tarumanegara Medical Journal, 2(2), 390-401.

Anda mungkin juga menyukai