LP Stemi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ST Elevasi Miocard Infark (STEMI)

Konsep Dasar STEMI


A. Definisi
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia
miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang
persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard (Setiati, et al.
2015).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010).
Miokardial infark adalah kematian jaringan otot miokard. Miokardial
infark merupakan sumbatan total pada arteri koronaria (Ruhyanudin, 2007).
STEMI adalah fase akut dari nyeri dada yang ditampilkan terjadi
peningkatan baik frekuensi, lama nyeri dada dan tidak dapat di atasi dengan
pemberian nitrat, yang dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktuwaktu yang
disertai infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena
adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil
(Pusponegoro, 2015).
Dari pengertian dapat disimpulkan bahwa STEMI adalah keadaan yang
mengancam kehidupan dengan tanda nyeri dada yang khas dikaitkan dengan
gambaran EKG berupa elevasi ST dan terjadi pembentukan jaringan nekrosis
otot yang permanen karena otot jantung kehilangan suplai oksigen yang
disebabkan oleh adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang
tak stabil.

B. Etiologi
Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri
koroner yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko modifiable
dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup dan kebiasaan pribadi,
sedangkan faktor risiko yang nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic
yang tidak dapat dikontrol (smeltzer, 2002). Menurut Muttaqin (2009) ada lima
faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) yaitu merokok, tekanan darah
tinggi, hiperglikemia, kolesterol darah tinggi, dan pola tingkah laku.
a. Merokok
Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya
karbondioksida yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah mengikat
hemoglobin dari pada oksigen, sehingga oksigen yang disuplai ke jantung
menjadi berkurang. Asam nikotinat pada tembakau memicu pelepasan
katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri dan membuat aliran darah
dan oksigen jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat meningkatkan
adhesi trombosit yang akan dapat mengakibatkan kemungkinan peningkatan
pembentukan thrombus.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat
menyebabkan penyakit arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan
dapat meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan ileoh ventrikel kiri
saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan
suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.
c. Kolesterol darah tinggi
Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner
memiliki hubungan yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat
dengan lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat
diangkut dalam system peredaran darah. Tiga komponen metabolisme
lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein)
dan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan
kolestreol low density lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan
meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat proses arterosklerosis.
Sedangkan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan
cara mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemudian
diekskresi (Price, 1995).
d. Hiperglikemia
Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi
aterosklerosis yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus.
e. Pola perilaku
Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut
berperan dalam menimbulkan masalah pada jantung. Rosenman dan
Friedman telah mempopulerkan hubungan antara apa yang dikenal sebagai
pola tingkah laku tipe A dengan cepatnya proses aterogenesis. Hal yang
termasuk dalam kepribadian tipe A adalah mereka yang memperlihatkan
persaingan yang kuat, ambisius, agresif, dan merasa diburu waktu. Stres
menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih dipertanyakan apakah
stres memang bersifat aterogenik atau hanya mempercepat serangan.
C. Manisfestasi Klinis
Tanda dan gejala pada infark miokard akut, antara lain sebagai berikut :
a. Nyeri dada sebelah kiri nyeri menjalar ke lengan kiri, bahu, rahang kiri,
punggung kiri, dan area nyeri epigastrik. Sifat nyeri seperti ditekan, rasa
tertindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir, durasi
nyeri ≥30 menit.
b. Sesak napas
c. Gejala gastrointestinal, seperti mual, muntah, cegukan.
d. Gejala lain, seperti palpitasi, rasa pusing atau sinkop dan gejala akibat
emboli arteri (Aspiani, 2015).
D. Patofisiologi
Infark miokard akut sering terjadi pada orang yang memiliki satu atau
lebih faktor resiko seperti obesitas, merokok, hipertensi dan lain lain. Faktor ini
disertai dengan proses kimiawi terbentuknya lipoprotein ditunika intima yang
dapat menyebabkan infeksi fibrin dan patelet sehingga menimbulkan cedera
endotel pembuluh darah koroner. Interaksi tersebut menyebabkan invasi dan
akumulasi lipid yang akan membentuk plak fibrosa. Timbunan plak
menimbulkan lesi komplikata yang dapat menimbulkan tekanan pada
pembuluh darah dan apabila rupture dapat terjadi trombus.
Trombus yang menyumbat pembuluh darah menyebabkan aliran darah
berkurang sehinnga suplai oksigen yang diangkut darah kejaringan miokardium
berkurang yang berakibat penumpukan asam laktat. Asam laktat yang
meningkatkan menyebabkan nyeri dan perubahan PH yang pada akhirnya
menyebabkan perubahan sistem konduksi jantung sehingga jantung mengalami
distrimia. Iskemik yang berlangsung lebih dari 30 menit menyebabkan
kerusakan otot jantung yang ireversibel dan kematian otot jantung (infark).
Miokardium yang mengalami kerusakan otot jantung atau nekrosis
tidak lagi dapat memenuhi fungsi kontraksi dan menyebabkan keluarnya enzim
dari intrasel ke pembuluh darah yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan
laboratorium otot jantung yang infark mengalami perubahan selama
penyembuhan. Mula-mula otot jantung yang mengalami infark tampak memar
dan sianotik karena darah didaerah sel tersebut terhenti dalam jangka waktu 24
jam timbul edema sel dan terjadi respons peradangan yang disertai infiltrasi
leukosit.
Infark miokard yang menyebabkan fungsi ventrikel terganggu karena
otot kehilangan daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemik disekitarnya jugta
mengalami gangguan dalam daya kontraksi. Secara fungsional, infark
miokardium akan mengakibatkan perubahan pada daya kontraksi, gerakan
dinding abnormal, penurunan stroke volume, pengurangan ejeksi , peningkatan
volume akhir sistolik dan penurunan volume akhir diastolik ventrikel. Keadaan
tersebut menyebabkan kegagalan jantung dalam memompa darah
(dekompensasi kordis). Ketika darah tidak lagi dipompa, suplai darah, dan
oksigen sistemik menjadi tidak adekuat sehingga menimbulkan gejala
kelelahan. Selain itu dapat terjadi akumulasi cairan di paru (edema paru)
dengan manisfestasi sesak nafas.
Kebanyakan klien mencari pengobatan karena manisfestasi nyeri dada
seperti angina tapi lebih hebat. Serangan tersebut terjadi ketika klien dalam
keadaan istirahat, sering terjadi di dini hari. Paling nyata dirasakan didaerah
subternal kemudian menjalar kedua lengan, kerongkong atau dagu atau
abdomen sebelah atas (sering kali mirip dengan kolik kolelitiatis, kolelitiasis
akut, ulkus peptikum akut, atau pankreatitis akut). Mual dan muntah sering kali
menyertai nyeri (Aspiani, 2015).
E. Pathway
F. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot
jantung, penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria
2. Nyeri akut b.d iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri ditandai
dengan penurunan curah jantung
3. Penurunan curah jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan
karakteristik miokard
4. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplay oksigen miokard
dan kebutuhan, adanya iskemia/nekrosis jaringan miokard
G. Komplikasi
a. Mati mendadak
b. Aritmia
c. Nyeri menetap
d. Angina
e. Gagal jantung
f. Pericarditis
g. Ruptur jantung
h. Emboli pulmo ( Hariyanto & Sulistyowati, 2015).
H. Pemeriksaan penunjang
a. Elektrokardiografi
Hasil pemeriksaan EKG pada pasien yang mengalami infark
miokard akut didapatkan adanya gelombang patologik disertai peninggian
segmen ST yang konveks dab diikuti gelombang T yang negative dan
simetrik, Q menjadi lebar (lebih dari 0,04 detik) dan dalam (Q/R lebih dari
¼).
b. Enzim serum
Apabila sel – sel jantung mati (nekrosis), ada enzim – enzim tertentu
yang di keluarkan kedalam darah. Enzim tersebut adalah kreatin kinase
(CK), serum aspartate amino transferase (AST) dulu adalah SGOT (serum
glutamic – oxalocetic transaminase), lactic acid dehydrogenase (LDH). Pada
peningkatan enzim – enzim ini setelah serangan infark miokard akut dapat
membantu dalam menentukan diagnosis. Akan tetapi, peningkatan enzim –
emzin ini tidak terbatas pada kerusankan sel – sel miokardium, tetapi dapat
juga meningkat apabila terjadi kerusan pada sel – sel hati, ginjal, otak, paru,
vasika urunaria, atau usus. Agar pemeriksaan enzim – enzim ini dapat
spesifik, untuk sel – sel miokardium, enzim dipecahkan atau dijadikan
isoenzim. Misalnya enzim CK1 terapat pada otak, paru, vesika urunaria,
atau usus. CK2 hanya terdapat pada sel – sel miokardium, CK3 akan
terdapat pada serum pasien dalam 48 jam setelah serangan IM akut
transmural. LDH juga dapat dipecahkan agar menjadi spesifik. Sel – sel
miokardium kaya dengan LDH1 sehingga kerusakan pada sel – sel
miokardium akan membuat LDH1 meningkat.
c. Kimia darah
a. Profil lemak. Kolesterol tetap, trigliserida dan lopoprotein diukur untuk
mengevaluasi resiko sterosklerotik, khususnya bila ada riwayat keluarga
yang positif, atau untuk mendiagnosa abnormalitas lipoprotein tertentu.
Kolesterum total yang meningkat diatas 200 mg/ml merupakan prediktor
peningkatan resiko penyakit jantung koroner (CAD).
b. Elektrolit serum. Elektrolit serum dapat mempengaruhi prognosis pasien
dengan infark miokard akut atau setiap kondisi jantung. Natrium serum
mencerminkan keseimbangan cairan relatif. Secara umum, hiponatremia
menunjukan kelebihan cairan dan hipernatremia menunjukan kekurangan
cairan. Kelsium sangat penting koagulasi darah dan aktifitas
neuromuskular. Hipokalsemia dan hiperkalsemia dapat menyebapkan
perubahan EKG dan disretmia.
c. Kalsium serum. Di pengaruhi oleh fungsi ginjal da dapat menurunkan
akibat bahan diuretika yang sering digunakan untuk marawat gagal
jantung kongestif. Penurunan kadar kalium mengakibatkan iritabilitas
jantung dan membuat pasien yang mendapatkan preparat digitalis
cenderung mengalami toksisitas digitalis dan peningkatan kadar kalium
mengakibatkan depresi miokardium dan iritabilitas ventrikel.
Hipokelemia dan hiperkalemia dapat mengakibatkan fibrilasi ventrikel
dan henti jantung.
I. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
1. Pemberian oksigen
Terapi oksigen dimulai saat awitan nyeri. Oksigen yang dihirup
akan langsung meningkatkan saturasi darah. Efektifitas teraupetik
oksigen ditentukan dengan observasi kecepatan dan irama pertukaran
pernapasan, dan pasien mampu bernafas dengan mudah. Saturasi oksigen
dalam darah secara bersamaan diukur dengan pulsa-oksimetri
2. Morfin
Morfin adalah obat dengan fungsi untuk meredakan sakit atau
nyeri yang parah. Morfin masuk ke dalam kategori analgesic narkotika.
3. Nitrogliserin
Merupakan golongan obat nitrat yang digunakan untuk
mengurangi intensitas serangan angina (nyeri dada) guna untuk
melebarkan pembuluh darah, serta meningkatkan pasokan darah dan
oksigen ke otot jantung contoh nama merk dagang nitrat (tablet
sublingual) dosis 1 tablet 300-600 mcg.
4. Aspilet
Aspilet merupakan salah satu nama obat dari aspirin. Aspirin
mempunyai efek menghambat siklooksigenase platelet secara ireversibel.
Proses tersebut mencegah formasi tromboksan A2. Pemberian aspirin
untuk penghambatan agregasi platelet diberikan dosis awal paling sedikit
160 mg dan dilanjutkan dosis 80-325 mg per hari ( Smelthzer, 2002,
Nurarid & Kusuma, 2015).
b. Penatalaksanaan keperawatan
Tindakan keperawatan ditujukan untuk mendeteksi terjadinya
komplikasi :
1. Klien istirahat total 24 jam pertama
2. Posisi semi fowler
3. Beri O2 nasal 2-4 Lpm
4. Pantau tanda-tanda vital tiap jam hingga keadaan stabil
5. Pantau EKG
6. Pemeriksaan laboratorium
7. Pemeriksaan EKG 12 sadapan setiap hari atau bila diperlukan
8. Pemberian obat sesuai dengan rencana pengobatan
a. Untuk mengurangi nyeri dada,misalnya: morfin sulfat, petidin
b. Obat anti aritmia
c. Sedatife bila klien gelisah
Asuhan Keperawatan Teori
A. Pengkajian
Pengkajian Emergency
a. Primery Survey
1. Circulation
 Nadi lemah/tidak teratur
 Takikardi
 TD meningkat/menurun.
 Edema
 Gelisah
 Akral dingin
 Kulit pucat atau sianosis
 Output urine menurun
2. Airway
 Sumbatan atau penumpukan secret
 Gurgling, snoring, crowing.
3. Breathing
 Sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat
 RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
 Ronki,krekels
 Ekspansi dada tidak maksimal/penuh
 Penggunaan obat bantu nafas
4. Disability
 Penurunan kesadaran
 Penurunan refleks.
5. Eksposure
 Nyeri dada spontan dan menjalar.
b. Secondary Survey
1. TTV
a. Tekanan darah bisa normal/naik/turun (perubahan postural di catat
dari tidur sampai duduk/berdiri.
b. Nadi dapat normal/penuh atau tidak kuat atau lemah/kuat
kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur
(disritmia).
c. RR lebih dari 20 x/menit. d. Suhu hipotermi/normal.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemakaian otot pernafasan tambahan.
b. Nyeri dada.
c. Peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak, bunyi nafas (bersih,
krekels, mengi), sputum.
d. Pelebaran batas jantung.
e. Bunyi jantung ekstra; S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal
jantung/ penurunan kontraktilitas atau komplain ventrikel.
f. Odem ekstremitas.
3. Pemeriksaan selanjutnya
a. Keluhan nyeri dada
b. Obat-obat anti hipertensi
c. Makan-makanan tinggi natrium
d. Penyakit penyerta DM, Hipertensi
e. Riwayat alergi
c. Tersier
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. CPKMB, LDH, AST
b. Elektrolit, ketidakseimbangan (hipokalemi)
c. Sel darah putih (10.000-20.000)
d. GDA (hipoksia)
2. Pemeriksaan Rotgen Mungkin normal atau menunjukkan
pembesaran jantung di duga GJK atau aneurisma ventrikuler
3. Pemeriksaan EKG T inverted, ST elevasi, Q patologis
4. Pemeriksaan lainnya
a. Angiografi koroner Menggambarkan penyempitan atau
sumbatan arteri koroner.
b. Pencitraan darah jantung (MVGA) Mengevaluasi penampilan
ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional dan fraksi
ejeksi (aliran darah).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan: Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan jaringan
NOC
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama 1x24 Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
- Mampu mengenali nyeri (skala,intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
- Menyatakan rasa nyaman setelah
- Tanda vital dalam rentang normal
- Tidak mengalami gangguan tidur
NIC
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. (2009). Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, BU.


Jakarta : EGC.
Doengoes, M.E. (2006). Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Tambayong. J. (2007). Patofisiologi Keperawatan editor Monica Ester, S.Kep.
Jakarta : EGC.
Herdman, T. H. (2012). NANDA internasional. Diagnosis Keperawatan : Definisi
dan Klasifikasi 2012-2014. alih bahasa Made Sumarwati, Dwi
Widiarti, Estu Tiar, editor bahasa Indonesia Monica Ester. Jakarta :
EGC.
Rokhaeni, H. (2003). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler edisi pertama.
Jakarta : Bidang Diklat Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah
Nasional Harapan Kita.
Smeltzer. C.S & Bare.B (2006). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta : EGC.
Suyono, S et al. (2003). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi ketiga. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai