LP M.fauzan 040
LP M.fauzan 040
LP M.fauzan 040
Disusun Oleh :
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan oklusi total dari arteri koroner
yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang
ditandai dengan adanya elevasi sebenen ST pada EKG (Black & Hawks, 2014).
STEMI merupakan bagian dari Sindrom Koroner Akut (SKA) yang pada umumnya
diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi total pada arteri
koroner dan disertai dengan tanda dan gejala klinis iskemia miokard seperti munculnya nyeri
dada, adanya J point yang persistent, adanya elevasi segmen ST serta meningkatnya
biomarker kematian sel miokardium yaitu troponin (Wahyunadi, Sargowo, & Suharsono,
2017).
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard khas
yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevası ST yang persisten dan diikuti
pelepasan biomarker nekrosis miokard (Setiati, et al. 2015) Infark miokand (Miocandial
Infarction) adalah keadaan yang mengancam kehidupan dengan tanda khas terbentuknya
jaringan nekrosis otot yang permanen karena otot jantung kehilangan suplai oksigen. Infark
miokard juga diketahui sebagai serangan jantung atau serangan koroner (Udjiantu, 2010)
Miokardial infark adalah kematian jaringan otot miokard. Miokardial infark merupakan
sumbatan total pada arteri koronaria (Ruhyanudin, 2007). STEMI adalah fase akut dari nyeri
dada yang ditampilkan terjadi peningkatan baik frekuensi, lama nyeri dada dan tidak dapat di
atasi dengan pemberian nitrat, yang dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktuwaktu yang
disertai infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMIYang terjadi karena adanya trombosis
akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Pusponegoro, 2015)
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa STEMI adalah keadaan yang
mengancam kehidupan dengan tanda nyen dada yang khas dikaitkan dengan gambaran EKG
berupa elevasi ST dan terjadi pembentukan jaringan nekrosis otot yang permanen karena otot
jantung kehilangan suplai oksigen yang disebabkan oleh adanya trombosis akibat dari ruptur
plak aterosklerosis yang tak stabil.
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya rupture
vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa faktor
presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik yang
berlebihan, stress emosional dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi
menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko
yang dapat diubah menurut (Smeltzer, Bare, Hankle, & Cheever, 2013) yakni:
1
1) Faktor yang tidak dapat diubah:
a. Usia
b. Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita pre menopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia dan hipertensi berat. Setelah menopause,
insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan
lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan
pengaruh dari hormone estrogen.
c. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya IMA.
2) Faktor risiko yang dapat diubah.
a. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit
arteri koroner memiliki hubungan yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air
terikat dengan lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat
diangkut dalam sistem peredaran darah. Tiga komponen metabolisme lemak,
kolesterol total, lipoprotein densitas renah (low density lipoprotein) dan
lipoprotein densitas tinggi (high densitlipoprotein). Peningkatan kolesterol
Low Density Lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan meningkatnya risiko
koronaria dan mempercepat proses parterosklerosis. Sedangkan kadar
kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) yang tinggi berperan sebagai
faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan cara mengangkut
LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemudian diekskresi.
b. Hipertensi
Hipertensi juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan penyakit arteri
koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat meningkatkan gradien tekanan
yang harus dilawan oleh ventrikel kiri saat memompa darah. Tekanan darah
yang tinggi terus menerus dapat mengakibatkan suplai kebutuhan oksigen di
jantung meningkat. 3. Merokok Merokok dapat membuat penyakit koroner
semakin memburuk di akibatkan karena karbondioksida yang terkandung
dalam asap rokok akan lebih mudah mengikat hemoglobin daripada oksigen,
sehingga oksigen yang dikirim ke jantung menjadi berkurang. Nikotin pada
tembakau dapat memicu pelepasan katekolamin yang mengakibatkan
konstriksi pada arteri dan membuat aliran darah serta oksigen ke jaringan
2
menjadi terganggu. Merokok dapat meningkatkan adhesi trombosit yang akan
dapat mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
c. Diabetes mellitus
Penyakit DM dapat menginduksi hiperkolesterolemia serta meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Penderita diabetes lebih berisiko menderita infark
miokard dari pada yang tidak menderita diabetes. Penderita diabetes mellitus
mempunyai prevalensi yang lebih tinggi mengalami aterosklerosis, karena
hiperglikemia dapat mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit yang
dapat membentuk thrombus,
d. Stres psikologik
Stres dapat mengakibatkan per ggkatan katekolamin yang bersifat aterogenik
serta mempercepat terjadinya serangan.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang ada sebelumnya (Ashar, 2017). Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya pembuluh darah kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Ginanjar &
Sjaaf, 2019). Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis dan
akumulasi lipid. Sehingga terjadi trombus mular pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
ruptur jika mempunyai fibrosis cup yang tipis dan kaya inti. Pada STEMI gambaran
patologi klasik terdiri dari fibrin rich red trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga
STEMI memberikan respon terapi trombolitik (Ulinnuha, 2017). Kemudian pada lokasi
ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokonstriktor lokal yang paten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
formasi reseptor glikoprotein IIb/Illa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai fungsi tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von willebrand dan fibrinogen dimana keduanya adalah molekul
multivalent yang dapat mengikat platelet yang berbeda secara simultan. Menghasilkan
ikatan silang platelet yang agregasi (Ashar, 2017).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konkersi protrombin menjadi thrombin yang
kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan sel
irreversible serta nekrosis atau kematian otot. Bagian miokardium yang mengalami infark
atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen (Ginanjar & Sjaaf, 2019).
3
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik (Ulinnuha, 2017).
Tanda dan gejala yang dirasakan pada pasien STEMI menurut (Black & Hawks,
2014):
1) Nyeri dada sentral yang berat terjadi secara mendadak dan terus menerus tidak
mereda, biasanya dirasakan diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas,
seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir,
tertekan yang berlangsung lebih dari 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian
nitrat. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher. Gejala yang menyertai yaitu
berkeringat, pucat, mual, sulit bernapas, cemas dan lemas.
2) Ekstremitas yang teraba dingin, perspirasi, rasa cemas dan gelisah akibat pelepasan
katekolamin.
3) Tekanan darah dan denyut nadi pada mulanya meninggi sebagai akibat aktivasi sistem
saraf simpatik. Jika curah jantung berkurang, tekanan darah mungkin turun.
Bradikardi dapat disertai gangguan hantaran, khususnya pada kerusakan yang
mengenai dinding inferior ventrikel kiri.
4) Keletihan dan rasa lemah akibat penurunan perfusi darah ke otot rangka.
4
5) Nausea dan vomitus akibat stimulasi yang bersifat refleks pada pusat muntah oleh
serabut saraf nyeri atau akibat refleks vasovagal.
7) Suhu tubuh yang rendah selama beberapa hari setelah serangan infark miokard akut
akibat respon inflamasi.
8) Distensi vena jugularis yang mencerminkan disfungsi ventrikel kanan dan kongesti
paru.
Pemeriksaan penunjang untuk penderita STEMI menurut (Smeltzer et al., 2013) yaitu:
5
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 lead secara lanjutan harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus
diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan
infark ventrikel kanan.
2) Angiografi coroner Angiografi koroner adalah pemeriksaan diagnostik invasif
yang dilakukan untuk mengamati pembuluh darah jantung dengan menggunakan
teknologi pencitraan sinar X. Angiografi koroner memberikan informasi mengenai
keberadaan da ingkat keparahan PJK.
3) Foto polos dada Tujuan pemeriksaan adalah untuk menentukan diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
4) Pemeriksaan laboratorium
a. Creatinine Kinase-MB (CK-MB) meningkatkan setelah 2-4 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 12-20 jam dan kembali normal dalam 2-
3 hari.
b. Creatinine Kinase (CK) meningkat setelah 3-6 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 12-24 jam dan kembali normal 3-5 hari.
c. cTn ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn 1. Enzi mini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T
masaih dapat di deteksi setelah 5- 14 hari sedangkan cTn 1 setelah 5-10 hari.
1) Penatalaksanaan Farmakologis
a. Nitrogliserin
Nitrogliserin (NTG) seblingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG selain untuk
mengurangi nyeri dada juga untuk menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan cara dila si pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. NTG harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik 90
mmHg atau pasien yang dicurigai mengalami infark ventrikel kanan (Bosson
et al., 2019).
b.Mortin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tata laksana nyeri dada pada STEMI. Morlin diberikan dengan dosis 2-4
mg dapat tingkatkan 2-8 mg IV serta dapat di ulang dengan interval 5-15
menit. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah
konstriksi vena dan arteriol melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi
pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri
(Tussolihah, 2018).
6
c. Aspirin
Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI.
Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan dengan reduksi
kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 162
mg 325 mg di ruang emergensi dengan daily dosis 75-162 mg (Tussolihah,
2018).
d. Beta blocker
Beta blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Jika - tidak
ada kontraindikasi, pasien diberi beta blocker kardioselektif misalnya
metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin di
monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi terapi beta blocker
adalah: hipotensi dengan tekanan darah sistolik
e. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar.
Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa
tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse
(agen fibrinolitik) (Bosson et al., 2019).
a. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark dapat
meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI harus tetap
berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat
komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan
menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam
pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan
kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat berjalan-
jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada
hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m
minimal tiga kali sehari (Smeltzer et al., 2013).
b. Istirahat fisik
Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac chair dapat mengurangi
nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih tinggi sangat bermanfaat bagi pasien
karena: Volume tidal dapat diperbaiki karena tekanan isi abdomen terhadap diafragma
berkurang sehinngga pertukaran gas dapat lebih baik, (2) Drainase lobus atas paru
lebih baik serta (3) Aliran balik vena ke jantung (preload) berkurang sehingga
mengurangi kerja jantung (Gusti, 2019).
7
C. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya
diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama. Asupan
nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol 1 300 mg/hari. Kompleks
karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi
kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium (Itsiopoulos et al., 2018).
1. Pengkajian Keperawatan
3) Identitas pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor
registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggung jawab.
4) Keluhan utama
Keluhan uatama biasanya nyeri dada dapat menjalar, perasaan sulit bernapas.
-quality of pain seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien,
sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
-severng (scale) of pain klien bisa ditanya dengan menggunakan rentang 0-5
dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang di rasakan. Biasanya
pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).
-time sifat mula timbulnya onset, gejala timbul mendadak. Lama timbulnya
(durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit.
8
pada masa lalu yang masih relevan. Tanyakan juga mengenai rekasi alergi obat
dan reaksi apa yang timbul.
7) Riwayat keluarga
Riwayat di dalam keluarga ada dalam menderita penyakit jantung. diabetes,
stroke, hipertensi, perokok
8) Riwayat pelferja dan kebiasaan
Tanyakan situasi tempat kerja dan lingkungannya Kebiasaan sosial dan kebiasaan
pola hidup misalnya minum alkohol atau oabat tertentu.
9) Pemeriksaan fisik
Data focus
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien gagal jantung biasanya baik
atau compos mentis dan akan berubah sesuai tingkat gangguan perfusi sistem
saraf pusat. Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pašien dengan Stemi
adalah sebagai berikut:
-Integumen
warna kulit mungkin pucat naik di bibir dan di kuku.
-Pencernaan
9
Bising usus mungkin meningkat atau juga normal, Mual, kehilangan nafsu
makan, penurunan turgor kulit, berkeringat banyak muntah dan perubahan
berat badan.
-Neurobehavior
Nyeri kepala yang hebat Changes mentation.
2. Pengkajian Primer
a) Airway
Kaji kepatenan jalan nafas, apakah terdapat sekret dijalan nafas (sumbatan jalan
nafas) atau ada bunyi nafas tambahan.
b) Breathing
Kaji distress pernafasan pernafasan cuping hidung, menggunakan otototot asesoris
pernafasan, pernafasan cuping hidung, kesulitan bernafas lapar udara, diaphoresis,
dan sianosis, pernafasan cepat dan dangkal.
c) Circulation
Kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary reffil, akral, suhu tubuh, warna
kulit, kelembaban kulit, perdarahan eksternal jika ada.
d) Dissability
Berisi pengkajian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran dan reaksi
pupil, pada kondisi yang berat dapat terjadi asidosis metabolic sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
e) Exposure
Berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau kelainan lain, kondisi
lingkungan yang ada disekitar pasien
3. Pengkajian sekunder
1) KOMPAK
-K: Keluhan.
-O: Obat yang dikonsumsi terakhir.
-M: Makanan yang terakhir dimakan.
-P: Penyakit penyerta.
-A: Alergi.
-K: Kejadian.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dengan BTLS (Bentuk, Tumor, Luka, Sakit).
10
4. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan sindroma koroner akut
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan afterload.
3) (Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gagal jantung kongestif
4) Hipervolemia berhubungan dengan kegagalan jantung kongestif.
5) Intoleransi aktivitas berhubungan Penyak jantung coroner
Terapeutik:
-Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
-Fasilitas istirahat dan tidur.
-Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
-Pertimbangan jenis dan sumber
nyeri dalam pemeliharaan
strategi meredakan nyeri.
11
Edukasi:
- jelaskan penyebab, priode dan
pemicu nyeri.
- jelaskan strategi meredakan
nyeri.
-Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
-Anjurkan menggunakan
anasgetik secara tepat.
-Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri.
Kolaborasi
-Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu.
2 Penurunan curah Curah Jantung (L.02008) Perawatan jantung (1.02075)
jantung b.d
penurunan afterload Setelah dilakuakn tindakan Observasi:
keperawatan, diharapkan - Identifikasi tanda/gejala primer
curah jantung meningkat penurunan curah jantung
dengan kriteria hasil : kelelahan, (dispnea, edema,
1. Kekuatan nadi perifer peningkatan CVP).
meingkat -Identifikasi tanda/gejala sek un
2. Dyspnea menurun der penurunan curah jantung
3. Bradikardia menurun (hepatomegaly, distensi vena
4. Takikardia menurun jugularis, palpitasi, ronchi,
5. Batuk menurun oliguri, batuk, kulit pucat.
6. Murmur jantung menurun -Monitor tekanan darah.
7. Tekanan darah membaik -Monitor intake output cairan.
8. CRT membaik -Monitor oksigen. saturasi
9. Edema menurun -Monitor keluham myeri dada
10. Lelah menurun (mis. Intensitas,lokasi, radiasi,
11. Suara jantung S3 durasi, presivitasl mengurangi
menurun nyeri). yang
12. Suara jantung S4 -Monitor EKG 12 sadapan.
Menurun -Monitpr aritmia ( kelainan
irama dan frekuensi).
-Monitor nilai laboratorium
jantung (mis. Elektrolit, enzim
jantung, BNP, NTpro- BNP).
-Monitor fungsi alat pacu
jantung.
-Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas.
-Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (mis. Beta
blocker, ACE inhibitor, calelum
12
channel block, dioksin).
Terapeutik:
-Posisikan pasien semi fowler
atau fowler dengan kaki ke
bawah atau posisi nyaman.
-Berikan diet jantung yang sesuai
(mis. Batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan
tinggi lemak).
-Gunakan stocking elastis atau
intermiten, indikasi. pneumatic
sesuai
-Fasilitasi pasien dengan
keluarga untuk modifikasi gaya
hidup sehat.
- Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stress,jika perlu.
- Berikan dukungan emosional
dan spiritual.
- Verikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%.
Edukasi:
-Anjurkan beraktifitas fisik
sesuai toleransi. Anjurka
beraktifita
- Anjurkan merokok. berhenti
-Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur berat badan harian.
-Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur intake dan output
cairan harian.
Kolaborasi:
-Kolaborasi pemberian anti
aritmia, jika perlu.
-Rujuk ke program rehabilitasi
jantung.
Observasi:
- Monitor status
kardiopulmonal(frekuensi dan
kekuatan nadi, frekuensi napas,
TD, MAP).
13
-Monitor status oksigen
(oksimetri nadi, AGD).
-Monitor status cairan (masukan
dan haluaran, turgo kulit, CTR).
-Monitor tingkat kesadaran dan
pupil.
-Periksa permukaan seluruh
tubuh terhadap adanya DOTS
(deformitiy/deforrnitas, open
terbuka, nyeri wound/luka
tenderness/ tekan,
swelling/bengkak.
-Monitor ECG 12 lead.
-Monitor rontgent dada (mis.
kongesti paru, edema paru,
pembesaran jantung).
-Monitor enzim jantung (mis.
CK, СКМВ, Ttoponin).
-Identifikasi penyebab masalah
utama (mis. Volume, pompa atau
irama).
Terapeutik:
-Pertahankan jalan nafas paten.
-Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%.
Edukasi:
--
Kolaborasi:
-Kolaborasi pemberian inotropik
(mis. dodutamin), jika TD 70-
100 mmHg tanpa disertai syok.
Kolaborasi tanda/gejala syok.
-Kolaborasi pemberian
vasopressor kuat (mis.
norepineprin), jika TDS <70
mmHg.
-Kolaborasi pemberian
14
antiaritmia, jika perlu.
-Kolaborasi pompa inta- aorta,
jika perlu.
3 Gangguan Pertukaran gas (L.01003) Pemantauan Respirasi (1.01014)
pertukaran gas b.d
gagal jantung Setelah dilakuakn tindakan Observasi:
kongestif keperawatan, diharapkan -Monitor frekuensi, irama,
pertukaran gas membaik, kedalaman, dan upaya nafas.
dengan kriteria hasil : -Monitor pola nafas (seperti
1. Dispnea menurun. bradipnea, takipnea,
2. Bunyi nafas tambahan hiperventilasi, kussmaul. stokes,
menurun. ataksisk). cheyne-
3. Gelisah menurun. -Monitor oksigen. saturasi
4. PCO2 membaik. -Auskultasi bunyi nafas.
5. PO2 membaik. - Palpasi kesimetrisan ekspansi
6. Takikardia membaik. paru.
7. pH arteri membaik. -Monitor nilai AGD.
-Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik:
-Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien.
-Dokumentasikan hasil
pemantauan.
Edukasi:
-Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan.
-Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu.
Observasi
- Monitor kecepatan aliran
oksigen.
-Monitor posisi alat terapi
oksigen.
-Monitor aliran oksigen secara
periodic dan pastikan fraksi yang
diberikan cukup.
-Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis. oksimetri. analisa
gas darah ), jika perlu.
- Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat makan.
-Monitor tanda-tanda
hipoventilasi.
-Monitor tanda dan gejala
15
toksikasi oksigen dan atelectasis.
-Monitor tingkat kecemasan
akibat terapi oksigen.
-Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen.
Terapeutik
-Bersihkan secret pada mulut,
hidung dan trachea, jika perlu.
-Pertahankan kepatenan jalan
nafas.
-Berikan oksigen tambahan, jika
perlu.
-Tetap berikan oksigen saat
pasien ditransportasi. -Gunakan
perangkat oksigen yang sesuai
dengat tingkat mobilisasi pasien.
Edukasi
-Ajarkan pasien dan keluarga
cara menggunakan oksigen
dirumah.
Kolaborasi
-Kolaborasi penentuan dosis
oksigen.
-Kolaborasi penggunaan oksigen
saat aktivitas dan atau tidur.
4 Hipervolemi b.d Status cairan (L.03028) Manajemen hipervolemia
kegagalan jantung (1.03114)
kongestif Setelah dilakuakn
keperawatan, Tindakan Observasi
diharapkan keseimbangan -Periksa tanda dan gejala
cairan meningkat, dengan hypervolemia
kriteria hasil : -Identifikasi penyebab
1. Kekuatan nadi hypervolemia
meningkat. - Monitor status hemodinamik,
2. Turgo kulit membaik. tekanan darah, MAP, CVP, PAP,
3. Out put urine meningkat. PCWP, CO jika tersedia
4. Dispnea menurun. -Monitor intaje dan output cairan
5. Ortopnea menurun. -Monitor tanda hemokonsentrasi
6. Paroxysmal nocturnal (kadar Natrium, BUN,
dysnea(PDN) membaik. hematocrit, berat jenis urine)
7. Ederna anarkasa -Monitor tanda peningkatan
membaik. tekanan onkotik plasma
8. Edema perifer - Monitor kecepatan infus secara
menurun. ketat
9. Frekuensi nadi - Monitor efek samping diuretik
16
membaik.
10. Distensi vena jugularis Terapeutik
menurun. -Timbang berat bada setiap hari
11. Suara nafas tamba han pada waktu yang sama.
menurun. -Batasi asupan cairan dan garam.
12. Kongesti paru menurun. -Tinggikan kepala tempat tidur
30-40 derajat.
Edukasi
-Anjurkan melapor jika haluaran
urine <0.5
ml/kg/jam dalam 6 jam.
-Anjurkan melapor jika BB
bertambah 1 kg dalam sehari.
-Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan.
-Ajarkan cara membatasi cairan.
Kolaborasi
-Kolaborasi pemberian diuritik
-Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretic
-Kolaborasi pemberian
continuous renal replacement
therapy
Observasi
-Monitor frekuensi dan kekuatan
nadi.
- Monitor frekuensi nafas.
-Monitor tekanan darah.
- Monitor berat badan.
-Monitor waktu pengisian
kapiler.
-Monitor elastisitas atau turgor
kulit.
-Monitor jumlah, waktu dan
berat jenis urine.
-Monitor kadar albumin dan
protein total.
-Monitor hasil pemeriksaan
serum (mis. Osmolaritas serum,
hematocrit, natrium, kalium,
BUN).
-Identifikasi tanda-tanda
17
hipovolemia (mis.Frekuensi
nadimeningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membrane
mukosa kering, volume urine
menurun, hematocrit meningkat,
haus, lemah, konsentrasi urine
meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat).
-Identifikasi tanda-tanda
hypervolemia perlu 9mis.
Dyspnea, edema perifer, edema
anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks hepatojogular
positif, berat badan menurun
dalam waktu singkat).
-Identifikasi factor resiko
ketidakseimbangan cairan (mis.
Prosedur pembedahan mayor.
trauma perdarahan, luka bakar,
apheresis, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas. penyakit
ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal)
Terapeutik
- Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien.
-Dokumentasi hasil pemantauan.
Edukasi
-Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
5 Intoleransi b.d Toleransi aktivitas Manajemen energi (I. 05178)
penyakit jantunng (L.05047)
coroner Observasi
Setelah dilakuakan tindakan -Identifkasi gangguan fungsi
keperawatan, diharapkan tubuh yang mengakibatkan
toleransi aktivitas kelelahan.
meningkat, dengan kriteria - Monitor kelelahan fisik dan
hasil : emosional.
1. keluhan lelah menurun. -Monitor pola dan jam tidur.
2. Dyspnea saat aktivitas -Monitor lokasi dan
menurun. ketidaknyamanan selama
3. Dyspnea setelah aktivitas melakukan aktivitas.
menurun.
18
4. Frekuensi nadi Terapeutik
meningkat. -Sediakan lingkungan nyaman
dan rendah stimulus (mis.
cahaya, suara, kunjungan).
-Lakukan rentang gerak pasif
dan/atau aktif.
-Berikan aktivitas distraksi yang
menyenangkan.
-Fasilitas duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan.
Edukasi
-Anjurkan tirah baring.
-Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap.
-Anjurkan menghubungi perawat
jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang.
-Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan.
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
19
DAPTAR FUSTAKA
Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba Emban Patria.
Gusti, N. (2019) Asuhan Keperawatan Pada Ny. A Dengan Non ST Segmen Elevation
Myocard Infraction (N-STEMI) Melalui Aroma Terapi Lavender Untuk Mengurangi
Skala Nyeri Dada Di Ruangan ICCU RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi. Stikes
Perintis Padang, 8(5). 55.
Ginanjar, E., & Sjaaf, A. C. (2019). The Implementation Of Code STEMI Program
Itsiopoulos, C., Kucianski, T., Mayr, H. L., van Gaal, W. J., Martinez-Gonzalez, M. A.,
Vally, H.,... Thomas, J. (2018). The AUStralian MEDiterranean Diet Heart Trial
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan 3 REVISI) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II)IED.). Jakarta: DPP PPNI
PPNI, T. P. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) Definisi dan Kriteria
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta: EGC.
Ulinnuha, D. Y. (2017). Perbedaan rerata profil lipid pada pasien stemi dan non stemi di rsud
kota yogyakarta tahun 2016.
20