Malaria

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

Portofolio

PENYULUHAN PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI KELURAHAAN BRANG BARA


PUSKESMAS UNIT I KECAMATAN SUMBAWA

Oleh :
dr. Kusaini Saddam Akbar

Pendamping :
dr. Lita Feradila Rosa

KOMITE DOKTER DOKTER INTERNSIP INDONESIA


PUSKESMAS UNIT I SUMBAWA BESAR
NUSA TENGGARA BARAT
2018-2019
BAB I
PENDAHULUAN

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis
dan sub tropis serta dapat mematikan atau membunuh lebih dari satu juta manusia di
seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara dengan
Negara lain dan dari satu kabupaten atau wilayah dengan wilayah lain. Menurut WHO, pada
tahun 1990, 80% kasus di Afrika, dan kelompok potensial terjadinya penyebaran malaria
indigenous di Sembilan Negara yaitu: India, Brazil, Afganistan, Sri Langka, Thailand,
Indonesia, Vietnam, Cambodia dan China. Plasmodium Falciparum adalah spesies paling
dominan dengan 120 juta kasus baru pertahun, dan lebih dari satu juta kematian pertahun secara
global. Dalam tahun 1989 yang lalu WHO kembali mendeklarasikan penanggulangan malaria
menjadi prioritas global (Ramdja M, 1997; Hal: 873).
Di Indonesia malaria mempengaruhi angka kesakitan dan kematian bayi, anak
balita, ibu melahirkan dan produktivitas sumber daya manusia. Saat ini ditemui 15 juta
penderita malaria dengan angka kematian 30 ribu orang setiap tahun, sehingga pemerintah
memprioritaskan penangulangan penyakit menular dan penyehatan Lingkungan (Ramdja M,
1997; Hal: 873).
Di Puskesmas Unit 1 Sumbawa pada bulan Januari-Maret 2018 tercatat jumlah pasien
klinis malaria sebanyak 42 orang sedangkan jumlah pasien yang tercatat telah dilakukan
screening malaria sebanyak 92 orang. Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian
dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi
diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang
kesemuanya ditujukàn untuk memutus mata rantai penularan malaria (Kartono M, 2003; Hal:
615).
Sejak tahun 1973 ditemukan pertamakali adanya kasus resistensi P. falciparum
terhadap klorokuin di Kalimantan Timur Sejak itu kasus resistensi terhadap klorokuin yang
dilaporkan semakin meluas Tahun 1990, dilaporkan telah terjadi resistensi parasit P.
falciparum terhadap klorokuin dan seluruh provinsi di Indonesia selain itu, dilaporkan juga
adanya kasus resistensi plasmodium terhadap SulfadoksinPirimethamin (SP) dibeberapa
tempat di Indonesia Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit malaria OIeh sebab itu, upaya untuk menanggulangi masalah resistensi
tersebut (multiple drugs resistance), maka pemerintah telah merekomendasikan obat pilihan
pengganti klorokuin dan Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) terhadap P. falciparum dengan
terapi kombinasi artemisinin (artemisinin combination therapy) (Depkes RI, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Definisi Malaria
Malaria adalah suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh
protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan
pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit
infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah,
dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa (Depkes RI, 2006).
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium
yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. Penyakit ini secara
alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina (Depkes RI, 2005).

2. Etiologi
Malaria disebabkan parasit malaria, suatu protozoa darah yang termasuk
dalam phylum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidiida, ordo
Eucoccidides, subordo Haemosporidiidea, famili Plasmodiidae, genus Plasmodium
(Nugroho A & Tumewu WM, 2000;hal.38-52).
Plasmodium merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat
empat spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium
malariae dan Plasmodium ovale. Penularan manusia dapat dilakukan oleh nyamuk
betina dari tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan secara langsung melalui
transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil kepada bayinya
(Gunawan S, 2000;hal.1-15).
P. vivax menyebabkan malaria tertiana, P.malaria merupakan penyebab
malaria kuartana. P.ovale menyebabkan malaria ovale, sedangkan P.falciparum
menyebabkan malaria tropika. Spesies terkhir ini paling berbahaya karena malaria yang
ditimbulkan dapat menjadi berat. Hal ini disebabkan dalam waktu singkat dapat
menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di
dalam organ-organ tubuh (Depkes RI, 2006).

3. Siklus Hidup Plasmodium Malaria

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu


manusia dan nyamuk anopheles betina.
Siklus pada manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit
yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah
selama lebih kurang 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan
menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari
10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang
berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian
tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi
bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel
hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh
menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam
peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah,
parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8 sampai 30
merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit
yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah
merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer.
Setelah 2 sampai 3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi
sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina.
Siklus pada nyamuk anopheles betina Apabila nyamuk anopheles betina menghisap
darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan betina
melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian
menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk ookinet akan
menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini akan bersifat infektif
dan siap ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya
gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung
spesies Plasmodium. Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk
sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik
Tabel 1. Masa inkubasi penyakit malaria.

4. Patogenesis
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit , inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka
akan menyebabkan anemia. Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia,
hal ini menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit.
Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan
sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang
menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit
(Rampengan TH, 2000;hal.249-260).
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga
mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering
terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada
malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag
(Rampengan TH, 2000;hal.249-260). Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya
berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit
yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel
untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme
transpor membran sel, penurunan deformabilitas, pembentukan knob, ekspresi varian
non antigen di permukaan sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan rosetting, peranan sitokin
dan NO (Nitrik Oksida) (Harijanto PN, Langi J, Richie TL, 2000;hal.118-126).
Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria
falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang
termasuk ke dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan
virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat
endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi.
Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium
cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP
stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring Erytrocite Suirgace Antigen)
yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin
Rich Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut
mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu
Glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF α dan Interleukin 1 (IL-
1) dari makrofag (Harijanto PN, Langi J, Richie TL, 2000;hal.118-126).

Sitoadherensi adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi


P.falsiparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit
juga dapat melekat padae ritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.
Parasit dala m eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut
eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falsiparum yang mengalami
sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh
darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan
dalm tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru,
jantung dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan utama dalam patofisiologi
malaria berat (Harijanto PN, 2006: hal.1754-1760).

Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu buah eritrosit yang
mengandung merozoit matang yang di selubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit
non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya rosseting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah
A dan B yangSitoadherensi adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi
P.falsiparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit
juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset .
Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.
Parasit dala m eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut
eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falsiparum yang mengalami
sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh
darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan
dalm tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru,
jantung dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan utama dalam patofisiologi
malaria berat. (Harijanto PN, 2006: hal.1754-1760).
Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu buah eritrosit yang
mengandung merozoit matang yang di selubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit
non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya rosseting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah
A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi
parasit. Rossetingmenyebabkan obstruksi aliran darah lokal atau dalam jaringan
sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. (Harijanto PN, 2006: hal.1754-1760).
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat
stimulasi dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF α), interleukin 1 (IL
-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF γ). Dari beberapa
penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan
komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNFα yang tinggi. Demikian
juga malaria tanpa komplikasi kadar TNFα, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria
serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita
malaria yang mati dengan TNF normal atau rendah at au pada malaria serebral yang
hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari
neurotransmiter yang lain sebagai free radical dalam kaskade ini seperti NO
sebagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat. (Harijanto PN, 2006:
hal.1754-1760).
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah mulitifaktorial dan
berhubungan dengan hal-hal berikut:
a. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tapi juga
terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga me nimbulkan anemia dan
anoksia jaringan. Pada hemolisis intravaskuler yang berat dapat terjadi
hemoglobinuria (black water fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.(Pribadi W,
2000, Hal.171-97).
b. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang
sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin
berasal dari saluran pencernaan dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan
faktor nekrosis tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin yang ditemukan dalam
peredaran dara h manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan
sitokin lainnya menimbulkan demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit
pernafasan pada orang dewasa (Pribadi W, 2000, Hal.171-97).
c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P.falciparum dapat membentuk
tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung
antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas
eritrosit yang mengandun P.falciparum terhadap endotelium kapiler darah alat dalam,
sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi
menempel pada endotelium dan membentuk gumpalan yang membendung kapiler
yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan .(Pribadi W, 2000,
Hal.171-97).

5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penderita malaria sangat beragam, dari yang tanpa gejala
sampai dengan yang berat. Di daeran endemi malria, manifestasi klinis tersebut sudah
sangat dikenal oleh tenaga kehatan bahkan penderita dapat mendiagnosis penyakitnya
sendiri. Pada daerah non endemis diperlukan pengalaman untuk mengarah ke
diagnosis malaria. Banyak faktor yang mempengaruhi manifestasi klinis tersebut,
antara lain:
a. Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan tingkat endemisitas tempat
tinggalnya.
b. Beratnya infeksi (kepadatan parasit).
c. Jenis dan strain Plasmodium.
d. Status gizi.
e. Sudah minum obat anti malaria.
f. Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain).
g. Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis, dan lain-lain)
Biasanya penderita yang tinggal atau berasal dari daerah endemis telah
mempunyai kekebalan terhadap malaria sehingga manifestasi klinisnya lebih ringan
dibandingkan penderita yang tidak kebal. Oleh sebab itu malaria berat sering
didapatkan pada penderita tidak kebal bahkan dapat berakibat fatal. Secara umum,
bila kepadatan parasit tinggi, biasanya risiko menjadi malaria berat lebih besar.
Walaupun demikian tidak jarang didapatkan penderita malaria berat dengan kepadatan
parasit rendah dan sebaliknya (Tjitra E, 1989; 55: 19-23).
Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis malaria dipengaruhi oleh banyak
faktor. Malaria berat umumnya disebabkan oleh P. falciparum. Di samping itu
malaria falsiparum merupakan jenis malaria yang telah dilaporkan resisten terhadap
klorokuin maupun multidrug. (Tjitra E, Marwoto H, Sulaksono S dkk, 1992; 19 (4): 15-
23).
Di Irian dikenal P. vivax Chesson strain yang lebih sulit dapat disembuhkan.
Status gizi sangat mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap infeksi terutama pada
anak-anak, sehingga tak mengherankan malaria pada anak kurang gizi sering
berkembang menjadi berat.
Manifestasi klinis penderita yang sudah minum obat anti-malaria atau minum
profilaksis biasanya dapat lebih ringan atau menjadi tidak jelas. Pada penderita
dengan defisiensi G6PD dapat disertai dengan hemoglobinuria. Anak-anak, ibu hamil dan
orang tua, biasanya lebih rentan terhadap infeksi. Malaria pada kehamilan dapat
menyebabkan abortus, kematian janin, bayi lahir mati, berat badan lahir rendah,
malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan fungsi ginjal dan hipoglikemia
(Tjitra E, 1991; 68: 48-52).
Infeksi malaria lebih sulit terjadi pada penderita dengan HbF, defisiensi G6PD,
dan ovalositosis. Manifestasi umum malaria:
a. Masa inkubasi
Biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung pada spesies parasit (terpendek
untuk P.falciparum dan terpanjang untuk P.malariae), beratnya infeksi dan pada
pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes (Harijanto PN,
2000;Hal.151-55).
b. Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: kelesuan,
malaise, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia,
perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung.
Keluhan prodromal sering terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan P.falciparum
dan P.malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak
(Harijanto PN, 2000;Hal.151-55)
c. Gejala-gejala umum
Gejala klasik yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxysm) secara berurutan:
1) Periode dingin
Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus
dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan
gemetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang
kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti
dengan meningkatnya temperatur.
2) Periode panas
3) Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan
panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih, penderita membuka
selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah,
dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi
kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam
atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat (Mansyor A dkk, 2001, Hal.409-
416).
4) Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai
basah temperatur turun, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila
penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa
(Mansyor A dkk, 2001, Hal.409-416).
Trias malaria secara keseluruhan dapat berlangsung antara 6-10 jam, lebih
sering terjadi pada infeksi P.vivax. Pada infeksi P.falciparum menggigil dapat
berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada
P.falsiparum, 36 jam pada P.vivax dan ovale, 60 jam pada P.malariae. Anemia merupakan
gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan lebih sering dijumpai pada penderita
daerah endemik terutama pada anak-anak dan ibu hamil.
Beberapa mekanisme terjadinya anemia adalah Pengrusakan eritrosit oleh parasit,
hambatan eritropoeisis yang sementar, hemolisis karena proses complement mediated
immune complex, eritrofag ositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit. Pembesaran
limpa (splenomegali) akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut dimana akan
terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam
pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan, limpa
menghapuskan eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme, antigenik dan
rheological dari eritrosit yang terinfeksi.
Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan kasus malaria, manifestasi
klinis dikelompokkan menjadi:
a. Malaria ringan atau tanpa komplikasi
Malaria ini umumnya disertai gejala dan tanda klinis yang ringan terutama sakit
kepala, demam, menggigil dan mual serta tanpa kelainan fungsi organ. Kadang-kadang
dapat disertai dengan sedikit penurunan trombosit dan sedikit peningkatan bilirubin
serum.Gejala-gejala klinis ini juga sering dijumpai oleh peneliti-peneliti lain. Gejala
dan tanda klinis lain yang juga dapat ditemukan adalah pusing, pucat, tak nafsu makan,
muntah, sakit perut, diare, lemah, myalgia, hepatomegali dan splenomegali (Alwi Datau
E, Karema KAMC, 1975).
b. Malaria berat atau dengan komplikasi
c. Malaria berat adalah malaria falsiparum yang cenderung menjadi fatal atau malaria
dengan komplikasi dimana kemungkinan penyakit lain sudah dapat disingkirkan.
Lebih kurang 10% dari penderita malaria falsiparum adalah malaria berat dengan
angka kematian 18,8-40,0%. Patofisiologi malaria berat sangat kompleks dan
tergantung pada sistim organ yang terkena. Dikenal beberapa hipotesis yang sedang
berkembang yaitu:
1) Cytoadherence
Yang dimaksud dengan cytoadherence adalah adanya perlekatan antara
eritrosit yang terinfeksi parasit stadium lanjut dengan sel enditel pembuluh
kapiler (endothelial cytoadheence). Di samping itu juga terjadi perlekatan antara
eritrosit yang terinfeksi parasit stadium lanjut dengan eritrosit normal, dan
dikenal dengan rosette form. Perlekatan tersebut mengakibatkan kerusakan
dinding pembuluh darah kapiler dan meng hambat aliran darah ke pembuluh
darah kapiler akhir karena terbentuknya sloughing, sequestration dan roset.
Proses tersebut menyebabkan terjadinya edema dan hipoksia karena adanya
kebocoran kapiler dan aliran darah berkurang. Sequestration dapat terjadi pada
semua penderita malaria, sedangkan pembentukan roset hanya pada penderita
dengan kerusakan organ. Oleh sebab itu manifestasi klinis malaria berat lebih
berkaitan dengan van pembentukan roset dari pada sequestration.

2) Reaksi berlebihan dari sistim kekebalan


Malaria berat juga dapat terjadi karena sistim kekebalan penderita bereaksi
berlebihan dan sebagai perantara kerusakan sel (saraf, hati dan ginjal) melalui
produk toksik dari sel kekebalan (makrofag) yaitu sitokin antara lain Tumor
Necrosing Factor (TNF), Inter Leukin I (IL I), IL VI dan lain-lain. Pengeluaran
TNF dira ngsang oleh produk parasit yang dikeluarkan pada waktu eritrosit yang
terinfeksi pecah. Kelainan tubuh yang diakibatkan oleh TNF adalah
demam, peradangan, perubahan keadaan mental, trombositopenia, depresi fungsi
sumsum tulang dan merangsang sel kebal untuk mengeluarkan produk tambahan.
Salah satu produk toksik tambahan dari makrofag adalah nitrik oksid (NO) yang
dirangsang pengeluarannya oleh TNF. NO adalah gas yang larut dengan bebas
menembus sel membran sehingga dapat melewati blood-brain barrier. NO berfungsi
sebagai neurotransmitter dan merupakan komponen yang berperan pada reaksi
kekebalan terhadap parasit dalam sel, sehingga dapat membunuh sel hati yang
terinfeksi malaria (stadium pre-eritrositik).

6. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan
membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan
pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan kilinis dan parasitologik serta
memutuskan rantai penularan.
Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut ko song
karena bersifat iritasi lambung, oleh sebab itu penderita harus makan terlebih
dahulu setiap akan minum obat anti malaria.
Resistensi P. falciparum terhadap obat malaria golongan 4-aminokuinolin
(klorokuin dan amodiakuin) untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1960-1961
di Kolumbia dan Brazil. Kemudian secara berturut-turut di Asia Tenggara,
Muangthai, Malaysia, Kamboja, Laos, Vietnam, Filipina. Di Indonesia ditemukan di
Kalimantan Timur (1974), Irian Jaya (1976), Sumatera selatan (1978), Timor-timur
(1981), Jepara (1981), dan Jawa Barat (1981). Focus resistensi tidak mencakup seluruh
daerah, parasit masih sensitive di beberapa tempat di daerah tersebut.

Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi.


a. Malaria Falsiparum
Lini pertama pengobatan malaria falsiparum adalah seperti yang tertera dibawah ini:
Lini pertama = Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Setiap kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 2 blister, yaitu blister
amodiakuin terdiri dari 12 tablet @ 200 mg = 153 mg amodiakuin basa, dan blister
artesunat terdiri dari 12 tablet @ 50 mg. Obat kombinasi diberikan per-oral
selama tiga hari dengan dosis tunggal harian sebagai berikut:
Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb dan Artesunat = 4 mg/kgbb.
Primakuin tidak boleh diberikan kepada: lbu hamil, Bayi < 1 tahun, Penderita
defisiensi G6-PD.
b. Pengobatan lini kedua malaria falsiparum diberikan, jika pengobatan lini
pertama tidak efektif dimana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi
parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi)
Lini kedua = Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin
- Kina tablet
Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10 mg/kgbb/kali selama
7(tujuh) hari.
- Doksisiklin
Doksisiklin diberikan 2 kali per-hari selama 7 (tujuh) hari, dengan dosis orang
dewasa adalah 4 mg/Kgbb/hari, sedangkan untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2
mg/kgbb/hari. Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak usia <8
tahun. Bila tidak ada doksisiklin, dapat digunakan tetrasiklin.
- Tetrasiklin
Tetrasiklin diberikan 4 kali perhari selama 7 (tujuh) hari, dengan dosis 4-
5 mg/kgbb/kali. Seperti halnya doksisiklin, tetrasiklin tidak boleh diberikan pada
anak dengan umur di bawah. 8 tahun dan ibu hamil.
- Primakuin
- Pengobatan dengan primakuin diberikan seperti pada lini pertama.
BAB III
PERMASALAHAN

NO. BULAN KLINIS MALARIA SCREENING


1 JANUARI 2018 10 32
2 FEBRUARI 2018 22 32
3 MARET 2018 10 28

Data Malaria Di Puskesmas Unit 1 Sumbawa pada bulan Januari-Maret 2018


Dari data diata menunjukkan bahwa kasus masih sering muncul dimasyarakat di wilayah
unit dimana yang menunjukan malaria secara klinis saja dari bulan Januari s/d maret 2018 saja
total 42 kasus dan dari hasil screening di temukan lebih banyak dari kasus yaitu 92 kasus pada
kurun waktu yang sama. Penyuluhan kali dilakukan di kelurahan brang bara lebih dahulu dimana
wilayah dari kelurahan brang bara yang memiliki wilayah yang dekat dengan sungai. Adapun
masalah yang di jumpai berupa :
1. Masih kurang pengetahuan tentang penyakit malaria seperti penyebab, pencegahan dan
pengobatan.
2. Masih kurang tenaga medis yang terjun ke masyarakat dalam penangulangan agent dan
screening daerah – daerah yang menjadi daerah dengan resiko
3. Kurang media informasi seperti leaflet atau poster yang disebarkan ke warga untuk
menambah pengetahuan.
BAB IV
PEMECAHAN MASALAH

Untuk menangani permasalahan yang di temukan dilapangan, perlu dilakukan beberapa usaha
untuk mengatasi masalah – masalah tersebut. Diantaranya, dilakukannya penyuluhan mengenai kasus
malaria dan edukasi para kader untuk melakukan sosialisasi kepada masyrakat, malaria sendiri merupakan
penyakit yang bias dikatakan musiman terutama selama musim penghujan. Dengan batuan kader dan
beberapa warga yang mendapatkan sosialisasi tetang kasus malaria maka factor yang menjadi penyebab
bisa dicegah dan sekalipun ada masyarakat yang sakit tentu cepat terdeteksi dan cepat diobati.
Selain dilakukan penyuluhan, leaflet mengenai malaria juga dibagikan kemasyarakat agar dapar
dibaca dan tidak muda lupa mengenai penyakit tersebut. Kata yang digunakan juga yang mudah di
megerti dan dipahami serta mencakup definisi, tanda dan gejala factor penyebab, pengobatan dan
pencegahan. Serta alat-alat yang digunakan oleh tenaga medis harus selalu distandarisasi agar memiliki
hasil yang akurat dan sensitive terhadap pemerikasaan malaria secara dini guna meningkatkan mutu
pelayanan dan mendetecsi dini penyakit tersebut.
BAB V
KESIMPULAN

1. Malaria adalah suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan
pembesaran limpa
2. Malaria disebabkan parasit malaria (Plasmodium). Pada manusia terdapat empat
spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan
Plasmodium ovale. Penularan manusia dapat dilakukan oleh nyamuk betina dari
tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah
atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil kepada bayinya.
3. Manifestasi klinis penderita malaria sangat beragam, dari yang tanpa gejala sampai
dengan yang berat. Jumlah parasit tinggi, biasanya memiliki risiko menjadi malaria
berat lebih besar. Malaria berat umumnya disebabkan oleh P. falciparum
4. Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh
semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia . pengobatan dibagi menjadi
beberapa kriteria, pengobatan malaria tanpa komplikasi dan dengan komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi Datau E, Karema KAMC, Pangalila PEA dkk. Perbandingan pengobatan malaria
dengan sulfadoksin-pyrimethamine dan chloroquine dan beberapa aspek klinik
malaria di Rumah sakit Umum Manado. KOPAPDI III, Bandung, 1975.
Departemen kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia Jakarta.
2005:1-37
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Jakarta, 2006.
Gunawan S. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.1-15.
Harijanto PN, Langi J, Richie TL. Patogenesa Malaria Berat. Dalam: Harijanto PN
(editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Pena
nganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.118-126.
Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2006: hal.1754-1760.
Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC,
2000;Hal.151-55
Kartono M. Nyamuk Anopheles: Vektor Penyakit Malaria. MEDIKA. No.XX,
tahun XXIX. Jakarta, 2003; Hal: 615.
Nugroho A & Tumewu WM. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam: Harijanto PN
(editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan.
Jakarta:EGC, 2000;hal.38-52.
Pribadi W. Parasit Malaria. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W 9editor).
Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 2000,
Hal.171-97.
Ramdja M, Mekanisme Resistensi Plasmodium Falsiparum Terhadap Klorokuin.
MEDIKA. No. XI, Tahun ke XXIII. Jakarta, 1997; Hal: 873.
Rampengan TH. Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC,
2000;hal.249-260.
Tjitra E. Hubungan beratnya penyakit malaria falsiparum dengan kepadatan parasit pada
penderita dewasa. Cermin Dunia Kedokt 1989; 55: 19-23.
Tjitra E, Marwoto H, Sulaksono S dkk. Penelitian obat antimalaria. Buletin Penelitian
Kesehatan 1992; 19 (4): 15-23
Tjitra E. Malaria pada kehamilan. Cermin Dunia Kedokt 1991; 68: 48¬52.

Anda mungkin juga menyukai