Protozoa 1
Protozoa 1
Protozoa 1
PENDAHULUAN
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa dan cacing pada kebanyakan bagian di dunia ini. Istilah protozoa digunakan untuk
merujuk pada organisme infeksius dari divisi binatang, yaitu parasit. Protozoa merupakan
organisme uniseluler yang mampu memperbanyak diri dalam hospesnya.
Infeksi protozoa usus menimbulkan variasi yang luas dari sindroma klinis, berkisar dari
status pengidap asimtomatik sampai penyakit berat yang disertai dengan lesi patologis di saluran
pencernaan atau organ lain. Infeksi dengan protozoa usus biasanya didapat secara oral melalui
kontaminasi tinja pada air dan makanan, dan mereka lebih endemik di negara-negara dengan
keadaan air tidak bersih (sehat).
Infeksi manusia dengan Entamoeba histolytica prevalen di seluruh dunia, fokus endemik
terutama lazim di daerah tropis dan daerah dengan standar sosioekonomi dan kebersihan rendah.
E. histolytica menyebabkan infeksi pada lumen saluran pencernaan tanpa atau sedikit
menimbulkan sekuele penyakit pada kebanyakan subyek yang terinfeksi. Pada sebagian kecil
individu, organisme menginvasi mukosa usus atau menyebar ke organ lain, terutama hati.
Amoebiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica dan disebut
sebagai penyakit bawaan makanan (Food Borne Disease). Amoebiasis merupakan penyebab
ketiga kematian akibat infeksi parasit di dunia setelah malaria dan skistomiasis. Pada dasar
global, amoebiasis mengenai 50 juta orang per tahun, dan menyebabkan hampir 100,000
kematian. Menurut estimasi sekitar 48 juta individu menderita amoebiasis di seluruh dunia.
Dari Latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa Pengertian Amoebiasis?
2. Bagaimana Klasifikasi Amoebiasis?
3. Bagaimana cara Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica?
4. Bagaimana cara Diagnosis penyakit Amoebiasis?
5. Bagaimana cara Pengobatan penyakit Amoebiasis?
6. Bagaimana Epidemiologi penyakit Amoebiasis?
7. Bagaimana cara Pencegahan penyakit Amoebiasis?
C. Tujuan
Entamoeba histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar
manusia, primata tingkat tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan dan komensal.
Sebagian besar kasus asimptomatik kecuali pada manusia atau di antara binatang yang hidup
dalam keadaan tertekan atau dalam keadaan yang tidak alamiah (misalnya primata di kebun
binatang).
Amoebiasis intestinal atau disebut juga sebagai amoebiasis primer terjadi pertama di daerah
caecum, appendix, kolon ascenden dan berkembang ke kolon lainnya. Bila sejumlah parasit ini
menyerang mukosa akan menimbulkan ulkus (borok), yang mempercepat kerusakan mukosa.
Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi aka nterhenti di daerah membran
basal dari muskularis mukosa dan kemudian terjadi erosi lateral dan berkembang menjadi
nekrosis. Jaringan tersebut akan cepat sembuh bila parasit tersebut dihancurkan (mati). Pada lesi
awal biasanya tidak terjadi komplikasi dengan bakteri. Pada lesi yang lama (kronis) akan diikuti
infeksi sekunder oleh bakteri dan dapat merusak muskularis mukosa, infiltrasi ke sub-mukosa
dan bahkan berpenetrasi ke lapisan muskularis dan serosa.
Amoebiasis intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri, virulrnsi dari strain
amoeba, kondisi dari lumen usus atau dinding usus, yaitu keadaan flora usus, infek/tidaknya
dinding usus, kondisi makanan, apabila makanan banyak mengandung karbohidrat, maka
amoeba tersebut lebih patogen.
Ameboma adalah sebuah fokus nodular dari radang proliferatif atau menyerupai tumor yang
berisi jaringan granulasi yang berasal dari kolon kadang berkembang pada amoebiasis yang
kronis, biasanya pada dinding dari kolon dengan lokasi tersering terdapat dalam sekum, tapi bisa
pada semua tempat di kolon dan rektum. Pada pemeriksaan barium enema, ameboma dapat
berupa lesi polipoid, dapat dikelirukan dengan karsinoma kolon. Adanya ulkus pada mukosa
usus dapat diketahui dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus tersebar, terpisah satu sama
lain oleh mukosa usus yang normal, ukurannya bervariasi dari 2-3 mm sampai 2-3 cm.
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa tinja cair,
tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari. Demam dapat
ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien terkadang tidak nafsu makan sehingga berat
badannya dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukan darah, dengan sedikit
leukosit serta stadium trofozoit E.histolytica.
Diare yang disebabkan E.histolytica secara klinis susah dibedakan dengan diare yang
disebabkan bakteri (Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang sering
ditemukan di daerah tropik. Selain itu juga harsu dibedakan dengan non infectious diare seperti
ischemic colitis, inflammatory bowel disease, diverculitis, karena pada amoebiasis intestinalis
penderita biasanya tidak demam.
Amoebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat
gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi obstipasi
(sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar
penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa amebik.
Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan, karena
sebagian besar parasit sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji serologi untuk
menemukan zat anti amoeba atau antigen E.histolytica. Sensitivitas uji serologi zat mencapai
75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk mendiagnosis amoebiasis menahun.
Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya sangat bervariasi, dapat ditemukan penebalan mukosa yang
non-spesifik tanpa atau dengan ulkus, ulserasi fokal dengan atau tanpa E.histolytica, ulkus klasik
yang berebntuk seperti botol (flaskshaped appeareance), nekrosis dan perforasi dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di sigmoid.
Komplikasi amoebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic megacolon,
ameboma, amoebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita dengan
acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan tetapi angka kematin mencapai 50%. Penderita
terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir dan darah, nyeri perut dengan tanda iritasi
peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau pemberian anti amoeba tidak memperlihatkan hasil,
lakukan tindakan bedah.
Toxic megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan penggunaan
kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya pemberian anti amoeba
saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari pembentukan jaringan granulasi
kolon yang berbentuk seperti cincin (annnuler), dapat tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan
di sekum atau kolon asenden. Gambaran histologi menunjukkan jaringan kolagen dan fibroblas
dengan tanda peradangan menahun disertai granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma
kolon. Amoebiasis kolon bila tidak diobatiakan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan
amoebiasis ekstra-intestinal. Hal ini dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran darah), atau
perkontinuitatum (secara langsung). Cara hematogen terjadi bila amoeba telah masuk submukosa
kemudian ke kapiler darah, dibawah oleh aliran darah melalui vena porta ke hati dan
menimbulkan abses hati.
Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan. Sebagian
besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4 minggu). Penderita
memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas. Bila permukaan
diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat ternjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang
menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35% penderita dapat ditemukan gangguan
gastrointestinal berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare, dan konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-akut dapat ditemukan
penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen yang difus. Abses hati lebih banyak
ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak – anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus
kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah yang berwarnah coklat.
Pada pemeriksaan tinja, E.histolytica hanya ditemukan pada sebagian kecil penderita abses
hati. Dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan serum alkali fostafase pada pemeriksaan
darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke pleura dan/atau
perikardium, abses otak dan amoebiasis urogenitalis. Cara perkontinuinatum terjadi bila abses
hati tidak diobati sehingga abses pecah. Amoeba yang keluar dapat menembus diafragma, masuk
ke rongga pleura dan paru, menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga pecah ke dalam
rongga perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut, menembus
dinding perut samapi ke kulit dan menimbulkan amoebiasis kulit dinding perut. Amoebiasis
rektum bila tidak diobati dapat menyebar ke kulit di sekitar anus menyebabkan amoebiasis
perianal, dapat juga menyebar ke perineum, menyebabkan amoebiasis perineal atau ke vagina
menyebabkan amoebiasis vagina. Di kulit dan vagina amoeba ini menimbulkan ulkus.
C. Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica
Ditemukan tiga stadium pada Entamoeba histolytica, yaitu amoeba aktif, kista tidak aktif,
dan prekista intermedia. Trofozoit ameboid adalah satu-satunya bentuk yang ada dalam jaringan.
Bentuk tersebut juga ditemukan dalam feses cair selama disentri amoeba. Ukurannya 15 – 30
µm. Sitoplasma granuler dan dapat mengandung sel-sel darah merah (patognomonik) tetapi
biasanya tidak mengandung kuman. Pewarnaan besi-hematoksilin atau trikhrom Gomori
menunjukkan selaput inti yang dibatasi oleh granula khromatin reguler, halus, membentuk jala-
jala yang nyata sekitar perifer, kariosom sentral, kecil, berwarna gelap. Pergerakan trofozoit
dalam bahan segar relatif cepat dan biasanya tidak searah. Pseudopodia seperti jari-jari dan lebar,
reaksinya tidak ada pada suhu rendah atau pada amoeba prekista.
Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu tahap trofozoit dan
kista. Pada tahap trofozoit, amoeba tidak bisa bertahan hidup mandiri, sedangkan pada tahap
kista amoeba bersifat sangat menular dan kuat, hidup di Lingkungan yang ekstrim. Entamoeba
histolytica ditularkan melalui rute fecal–oral. Periode inkubasi terjadi mulai dari hitungan hari
sampai tahun (durasi rata-rata 2–4 minggu). Mayoritas mereka terinfeksi 90% adalah pembawa
simtomatik, dan Entamoeba histolytica berada dalam saluran usus dalam simbiosis dengan host.
Infeksi dimulai dari tertelannya kista dalam makanan dan minumanyang terkontaminasi tinja.
Kista yang tertelan mengeluarkan trofozoit dalam usus besar dan memasuki submukosa. Bentuk
kista biasanya sferis, berukuran10-18 µm. Kista yang matang berisi 2 inti yang akan membelah
menjadi 4 intiyang kecil. Selama proses pematangan vakuola glikogen akan dikeluarkan
dan benda kromatoid menjadi makin kabur dan akhirnya menghilang. Kista sangat tahan
terhadap bahan kimia tertentu. Kista bisa tetap hidup dan infektif dalamkondisi lembab
sedangkan dalam feses yang mengering dapat bertahan sampai12 hari dan dalam air selama 30
hari.
Kista tahan terhadap kadar klorin biasanya digunakan untuk pemurnian air. Kista resisten
terhadap keadaan lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin yang biasa digunakan pada
pemurniaan air, parasit dapat dibunuhdengan pemanasan 55°C. Bila air minum atau makanan
terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica, kista akan masuk melalui saluran pencernaan
menuju ileum dan terjadi excystasi, dinding kista robek dan keluar amoeba multinucleus
metacystic yang langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trofozoit muda yang disebut
amoebulae. Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan membelah diri asexual.
Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam masa hidupnya yaitu
membelah diri dengan binary fission dalam usus pada fase trofozoit dan pembelahan nukleus
yang diikuti dengan cytokinesis dalam kista pada fase metacystic. Pada fase trofozoit Entamoeba
histolytica mempunyai diameter rata-rata 20 µm, sitoplasmanya terdiri atas zona luar yang jernih
dan endoplasma dalam yang granuler padat, mengandung inti yang berbentuk sferis yang
mempunyai kariosom sentral yang kecil dan bahankromatin granuler yang halus. Endoplasma
juga berisi vakuola, dimanaeritrosit dapat ditemukan pada kasus amoebiasis invasif menyusup
masuk kedalam mukosa usus besar diantara sel epitel sambil mensekresi enzim proteolytik.
Didalam dinding usus trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan organ lain.
Hati adalah organ yang paling sering diserang selain usus. Di dalam hati trofozoit memakan sel
parenkim hati sehingga menyebabkan kerusakan hati. Trofozoit dalam intestinal akan
berubah bentuk menjadi precystic. Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric dengan
ukuran 3,5-20 µm. Bentuk kista yang matang mengandung chromatoidu ntuk menyimpan unsur
nutrisi glikogen yang digunakan sebagai sumber energi. Kista ini adalah bentuk inaktif yang
akan keluar melalui feses. Para trofozoit metacystic dari progeni mereka mencapai sektum dan
mereka yangdatang dalam kontak dengan mukosa oral menembus atau menyerang epitel oleh
pencernaan litik.
Liang trofozoit lebih dalam dengan kecenderungan untuk menyebar lateral atau meneruskan
kematian sel sampai mereka mencapai sub-mukosa borok membentuk-bentuk flash. Ada
beberapa titik penetrasi dari situs utama invasi, lesi sekunder mungkin dihasilkan pada tingkat
yang lebih rendah dariusus besar. Progeni dari koloni awal yang diperas keluar ke bagian
bawahusus dan dengan demikian, memiliki kesempatan untuk menyerang danmenghasilkan bisul
(borok) tambahan. Akhirnya, seluruh usus besar terlibat.
Trofozoit yang mencapai muskularis sering mukosa mengikis limfatik atau dinding venula
mesenterika di lantai borok, dan dibawa ke vena portalintrahepatik. Jika trombi terjadi di cabang-
cabang kecil dari vena portal, yang trofozoit dalam nekrosis menyebabkan trombi litik di dinding
kapal danmencerna jalur ke lobules. Peningkatan koloni dalam ukuran dan berkembang menjadi
abses. Suatu abses hati khas mengembangkan dan terdiri dari: Central zona nekrosis, zona
Median hanya stoma, Sebuah zona luar dari jaringan normal yang baru saja diserang oleh
amoeba.
Enkistasi, yaitu proses secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista tidak terjadi di
dalam jaringan. Tropozoit yang ada di dalam lumen kolon akan berkondensasi menjadi benda
berbentuk sferis, yakni prekista yang kemudian dindingnya relatif tipis dan halus dilepaskan
sehingga terjadilah kista muda. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi pada kista muda
dan kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan bahan yang refraktil,
disebut kromatoid, yaitu benda yang dapat berbentuk batang panjangatau dapat juga pendek,
biasanya dengan ujung bundar.
Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana
yang hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk dalam mulut, akan
terus masuk ke dalam lambung lalu usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista tidak akan berubah
tetapi bila lingkungan menjadi netral atau basa, amoeba akan menjadi aktif. Juga karena
pengaruh cairan lambung maka dinding kista menjadi lemah dan amoeba dengan banyak intinya
menjadi pusat metakista tropozoit.
Dalam lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar didalam usus kecil, kista
akan dibawa ke usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja tanpa mengalami ekskistasi.
Metakista tropozoit tidak akan berkembang biak dan menempel pada mukosa usus atau
tersangkut di dalam kelenjar yang terdapat di dalam kripta usus. Bila amoeba muda mulai
tumbuh, mereka akan menjadi tropozoit yang normal dan lengkaplah siklus perkembangannya.
D. Diagnosis
Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding abses. Pemeriksaan
serologis dapat menunjang diagnosis. Diagnosis terutama dilihat dari gejala klinis dan reaksi tes
imunologi. Pemeriksaan dengan sinar x dapat mendiagnosis adanya abses dalam hati.
Pemeriksaan sampel feses cukup baik dilakukan untuk mendiagnosis infeksi dalam usus.
Pemeriksaan beberapa kali terhadap feses pasien untuk menemukan trofozoit cukup baik
dilakukan. Diagnosis secara imunologik cukup baik hasilnya. Penggunaan teknik fluoerscens
antibodi cukup baik tetapi tidak dapat membedakan antara E.histolytica dengan E.hartmanni.
Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E.dispar. Selain itu
pemeriksaan berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga pemeriksaan
mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu baik untuk kasus
akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma E.histolytica stadium trofozoit
merupakan indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang hanya disebabkan oleh E.histolytica.
Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 – 30 menit. Karena
itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil alcohol (pva)
atau pada suhu 4 °C. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat aktif sampai 4 jam.
Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal yang dapat mempengaruhi
hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang
tidak mencukupi, wadah tinja yang terkontaminasi urin dan air, penggunaan antibiotik
(tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preoarat antidiare (kaolin, bismuth), frekuensi
pemeriksaan dan tinja diberi pengawet.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok yang
tidak tinggal di daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang disebabkan
E.histolytica memperlihatkan hasil yang positif pada uji serologi antibodi terhadap E.histolytica.
Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji serologi seperti IHA, lateks aglutinasi,
counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen, dan ELISA. Biasanya
merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat,
sederhana dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam
waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis baik pada penderita kolitis maupun abses hati
amoeba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut dapat diulang. Walaupun demikian, hasil
pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari previous infection. IgM anti-lektin
terutama dapat dideteksi pada minggu pertama sampai minggu ketiga pada seorang penderita
kolitis amoeba.
Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap
pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak
berubah. Antibodi yang terbentuk karena infeksi E.histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan,
bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja, serum, cairan abses,
dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan
dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada tinja merupakan
teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinalis. Walaupun
demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan menyebabkan denaturasi
antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat melakukan ELISA pada tinja
seseorang yang diduga menderita amoebiasis intestinal adalah tinja segar atau disimpan dalam
lemari pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica
atau E.dispar.
Pada penderita abses hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau
serumnya.
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi antigen
pada tinja penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan lebih
lama, tekniknya lebih sulit dan juga mahal. Untuk penelitian polimorfisme E.histolytica, teknik
PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya sangat dipengaruhi oleh
berbagai kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan terjadi false negatif karena berbagai
inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus penderita dengan abses hati amoeba.
Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang sudah diberi pengawet formalin. Dengan cara ini
dapat dibedakan infeksi E.histolytica dengan E.dispar.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan kolonoskopik
dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar
dinding abses. Berbagai penelitian memperlihatkan rendahnya sensitivitas pemeriksaan
mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinal atau abses hati amoeba. Metode deteksi
anti gen atau PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk menegakkan diagnosis.
Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan
mikroskopik tetap dilakukan untuk menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme
lain baik parasit maupun non-parasit.
E. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan
non-invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita
amoebiasis invasif terutama diberikan paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama
diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat diberikan adalah
tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.
Lebih kurang 90% penderita dengan amoebiasis koli ringan sedang, penyakitnya sembuh
dengan pemberian metronidazol. Pada penderita dengan fulminant colitis, dapat ditambahkan
pemberian nitroimidazol, biasanya sebanyak 40%-60% penderita masih mengandung parasit,
karena itu sebaiknya diikuti dengan pemberian paromomisin atau diloksanid furoat untuk
mengeliminasi infeksi dalam lumen usus . pemberian metronidazol sebaiknya tidak bersamaan
dengan paromomisin, sebab yang terakhir dapat menyebabkan diare sebagai efek sanping obat,.
Pada penderita abses hati amoeba dapat dilakukan drainase abses selain pemberian obat anti
amoeba. Hal ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang setelah pengobatan 5-7 hari tidak
memperlihatkan perbaikan klinis. Pada penderita dengan risiko tinggi rupture abses misalnya
dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri pemberian antibiotik pada penderita abses hati
dapat dilakukan bila tidak terjadi penyembuhan setelah pengobatan dengan anti amoeba.
Obat yang bekerja pada lumen usus merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik
dalam usus, sehingga dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen
usus.
Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol) merupakan obat pilihan untuk E.histolytica yang
berada dalam lumen. Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung. Mual, muntah dan
diare kadang-kadang dilaporkan. Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari.
Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. pemberian emetin ini efektif
bila diberikan secara parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya tidak sempurna. Dapat
diberiakan melalui suntikan intramuscular atau subkutis setiap hari selama 10 hari. Pemberian
secara intervena toksisitasnya relative tinggi, terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum
untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun 10 mg sehari.
Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis harus
dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurakn pada ibu hamil, penderita dengan gangguan
jantung dan ginjal.
Dehidroemetin relative kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan
secara oral. Dosisnya maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari.
Emetin dan dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses hati (amoebiasis hati).
Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amoebiasis koli atau abses hati amoeba, karena
efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak dapat
membunuh stadium kista. Efek sampingnya antara lain mual, muntah dan pusing. Pada infeksi
E.histolytica di lumen usus, hanya 50% parasit mati dengan obat metronidazol atau tinidazol
dengan diloksanid furoat ditambah paromomisin atau tetrasiklin. Smapai saat ini belum
dilaporkan resistensi E.histolytica terhadap metronidazol. Tinidazol atau ornidazol dengan dosis
yang berbeda. Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-10 hari. Pada ibu
hamil hindari pemakaiannya pada trimester 1.
c. Klorokuin
Klorokuin merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amoebiasis hati. Efek
samping dan toksisitasnya ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk
orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500 grama selama 2 sampai 3
minggu.
F. Epidemiologi
Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi tertinggi, terutama di daerah tropic dan
subtropik, khususnya dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya
buruk. Di beberapa Negara tropis, prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica mencapai 50%. Di
Indonesia, amoebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemic.prevalensi E.histolytica
di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. Di RRC, mesir, india dan belanda brkisar
10,1%-11,5% di eropa utara 5-20% di eropa selatan 20%-51% dan ameriaka serikat 4%-21%.di
negara industry amoebiasis terutama pada kelompok homoseksusal, imigran, turis yang
berpergian ke daerah endemis, orang yang tinggal di asrama dan penderita positif HIV.
Amoebiasis ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia
memegan peranan penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber
infeksi. Jadi amoebiasis tidak ditularkan oleh penderita amoebiasis akut.
Stadium kista matang adalah bentuk infektif. Seorang pengandung kista yang menyajikan
makanan (food handler) misalnya koki hotel atau pelayanan restoran, bla hygiene perorangan
kurang baik, dapat merupakan simber infeksi. Bila ia tidak mencuci tangan ndung setelah buang
air besar , maka tangannya akan terkontaminasi dengan tinjanya sendiri yang mengandung kista,
dapat memindahkan kista tersebut ke makanan atau iar minum.
Air
Makanan
Pengandung
Kista Orang Lain
Sayuran
Lalat
Kista dapat
hidup lama dalam air (10-14 hari). Dalam lingkungan yang dingin dan lembab kista dapat hidup
selama kurang lebih dari 12 hari. Kista juga tahan terhadap klor yang terdapat dalam air ledeng
dan kista akan mati pada suhu 50 C atau dalam keadaan kering.
G. Pencegahan
Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air besar
dan sebelum makan.
Kebersihan lingkungan meliputi: masak air minum sampai mendidih sebelum diminum,
mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum di makan, buang air besar di jamban,
tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang di
hidangkan untuk menghidari kontaminasi oleh lalat dan lipas, membuang sampah di tempat
sampah yang tertutup untuk menghindari lalat.
Laki-laki 35 tahun, Islam, mengeluh panas badan sejak 7 hari, naik turun, menetap sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Penderita juga mengeluh nyeri perut kanan atas dan mual tapi
tidak muntah. Makan dan minum berkurang. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas
normal.
Dari pemeriksaan fisik kesadaran compos mentis, keadaan umum baik, tekanan darah
110/90 mmHg, nadi 86x/menit, respirasi 20x/menit, suhu axilla 38°C. Pada pemeriksaan mata
tidak didapatkan anemi dan ikterus. Telinga, hidung, tenggorokan dalam batas normal, pada
leher tidak didapatkan pembesaran leher. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan jantung dan paru
dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan distensi, bising usus normal.
Hati tidak teraba, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, didapatkan nyeri tekan. Limpa
tidak teraba, perkusi traube space timpani. Ekstremitas hangat, tidak didapatkan kelainan.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit 19,6 x 10 3/mm, hitung
eritrosit 4,02 x 106/mm3, hemoglobin 12,2 mg/dL, hematokrit 35,9%, MCV 89,3 fL, MCH 30,3
pg, MCHC 34,0 g/dL, trombosit 459 x 103/mm3.
A. Kesimpulan
Proses invasi jaringan oleh Entamoeba histolytica dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Enkistasi, yaitu secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista tidak terjadi di dalam
jaringan. Pada stadium ini terdapat dua macam inklusi pada kista muda dan kista matang, yaitu
inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan bahan yang refraktil, disebut kromatoid.
2. Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana yang
hampir mendekati keadaan dalam saluran cerna. Kista yang masuk dalam mulut, akan terus
masuk ke dalam lambung lalu usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista tidak akan berubah
tetapi bila lingkungan menjadi netral atau basa, amuba akan menjadi aktif.
Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan kolonoskopik
dan biopsi pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar
dinding abses.
Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan
non-invasif. Pada penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita
amebiasi invasif terutama diberikan paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama
diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol. Obat lain yang dapat diberikan adalah
tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.
Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi tertinggi, terutama di daerah tropic dan
subtropik, khususnya dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya
buruk. Di beberapa Negara tropis, prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica mencapai 50%.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini kami berharap kepada mahasiwa agar dapat lebih memahami
tentang amoebiasis. Serta melihat kemungkinan besar yang terjadinya amoebiasis di daerah-
daerah tropis, termasuk Indonesia, maka penting untuk meningkatkan usaha pengendalian
amoebiasis. Salah satunya yaitu dengan cara menjaga kebersihan diri, kebersihan lingkungan,
salinitas, makanan dan tempat tinggal.
DAFTAR PUSTAKA
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2008. “Parasitologi Kedokteran”. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Jawetz, E. dkk. 2004. “Mikrobiologi Kedokteran”. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
http://ariakiki.blogspot.co.id/2016/04/makalah-amoebiasis.html?m=1