Pneumonia Nosokomial
Pneumonia Nosokomial
Pneumonia Nosokomial
PNEUMONIA NOSOKOMIAL
I4B019062
A. Latar Belakang
Menurut WHO infeksi saluran nafas bawah masih menjadi peyebab
kematian paling sering di dunia dengan hampir 3,5 juta kematian pertahun
(WHO 2016). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi saluran nafas bawah
merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian khusus dalam penanganannya. Salah satu infeksi
saluran nafas yang memiliki angka kematian yang tinggi adalah pneumonia.
Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi pneumonia di Indonesia
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan yaitu sekitar 2%. Angka tersebut
merupakan peningkatan jika dibandingkan dengan angka sebelumnya pada
tahun 2013 yaitu 1,8% (Riskesdas 201AD). Pada tahun 2010, pneumonia di
Indonesia menempati peringkat 10 besar penyakit rawat inap dengan Crude
Fatality Rate sebesar 7,6%.
Pneumonia didefinisikan sebagai peradangan parenkim paru yang
meliputi distal dari bronkiolus terminalis hingga jaringan alveoli sehingga
menimbulkan konsolidasi paru dan gangguan pada sistem pernafasan
(Imanuella et al. 2019). Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumonia
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yang pertama secara klinis dan yang
kedua menurut sifat akuisisinya. Klasifikasi pneumonia secara klinis terdiri
dari pneumonia lobaris, bronchopneumonia, dan atypical pneumonia.
Sedangkan klasifikasi pneumonia menurut sifat akuisisinya terdiri atas CAP
(Community-associated Pneumonia), HCAP (Health Care-associated
Pneumonia), VAP (Ventilator-associated Pneumonia), HAP (Hospital-
associated Pneumonia).
Penyakit HAP (Hospital-Acquired Pneumonia) merupakan penyakit yang
cukup sering terjadi dan merupakan suatu infeksi perenkim paru yang terjadi
pada pasien ketika sedang dirawat di rumah sakit (Deni & Pangalila 2019).
Infeksi pada pneumonia nosocomial tidak timbul atau tidak sedang dalam
masa inkubasi pada waktu masuk rumah sakit, tetapi biasanya terjadi > 48 jam
setelah masuk rumah sakit. Hasil penelitian Efrida menjelaskan bahwa
pneumonia nosokomial menepati peringkat kedua penyebab paling umum dari
infeksi diantara pasien di rumah sakit terlebih pada pasien yang membutuhkan
perawatan di ICU dan penyebab utama dari kematian akibat infeksi dengan
rasio mortalitas 30-70%. Oleh karena itu, pneumonia nosokomial atau HAP
perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat, mengingat penyakit ini
masih menjadi permasalahan kesehatan utama di Indonesia.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mahasiswa mampu:
a. Mengetahui istilah dari pneumonia nosokomial
b. Mengetahui Web of Cause dari pneumonia nosokomial
c. Mengetahui asuhan keperawatan dari pneumonia nosokomial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis Kasus
1. Istilah
Pneumonia adalah kondisi parenkim paru mengalami inflamasi yang
dimulai dari bagian alveoli sampai bronchus hingga bronchiolus yang
mana bagian tersebut terisi dengan campuran eksudat inflamatori seperti
bakteri dan sel darah putih (Warganegara 2017). Pneumonia
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yang pertama secara klinis dan yang
kedua menurut sifat akuisisinya. Klasifikasi pneumonia secara klinis
terdiri dari pneumonia lobaris, bronchopneumonia, dan atypical
pneumonia. Sedangkan klasifikasi pneumonia menurut sifat akuisisinya
terdiri atas CAP (Community-associated Pneumonia), HAP (Hospital-
associated Pneumonia), HCAP (Health Care-associated Pneumonia), VAP
(Ventilator-associated Pneumonia). Pneumonia terjadi karena terdapat
ketidakseimbangan antara pertahanan host dengan kemampuan kolonisasi
bakteri, virus, atau jamur yang menginvasi saluran pernafasan bagian
bawah. Proses invasi bakteri ini disebut dengan infeksi. Bakteri paling
umum yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
pneumonia, sedangkan bakteri lainnya adalah Chlamydophila pneumonia.
Pneumonia juga dapat diakibatkan oleh virus, contohnya Adenovirus,
Corona, virus Influenza, dan Hantavirus. Penyebaran infeksi pneumonia
dapat melalui percikan droplet penderita ketika batuk atau bersin yang
terhirup orang lain. Penyebaran infeksi pneumonia ini dapat terjadi di
rumah sakit, baik dari pasien pneumonia ke tenaga kesehatan ataupun
antar pasien. Infeksi yang didapatkan pasien pada saat menjalani
perawatan di rumah sakit disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial merupakan suatu infeksi yang diperoleh atau
dialami pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit dengan
menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada di rumah
sakit namun infeksi yang didapatkan tersebut tidak ditemukan atau
diderita pasien ketika masuk rumah sakit (Hastuti et al. 2020). Infeksi
nosokomial sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang
meningkatkan angka morbidita dan mortalitas pada pasien yang dirawat di
rumah sakit. Menurut penelitian Ronald Tikuali pada tahun 2017 infeksi
nosokomial terbanyak di ICU rumah sakit di India Timur adalah
pneumonia nosokomial, yaitu sekitar 62,07% (Sulakanan, Zulfariansyah &
Sitanggang 2018). Pneumonia nosokomial sendiri merupakan pneumonia
yang baru diderita oleh pasien yang baru masuk rumah sakit setelah 48
jam atau lebih menjalani rawat inap. Menurut Efrida pada penelitiannya
yang membahas pneumonia nosokomial, menjelaskan bahwa pneumonia
nosokomial menepati peringkat kedua penyebab paling umum dari infeksi
diantara pasien di rumah sakit terlebih pada pasien yang membutuhkan
perawatan di ICU dan penyebab utama dari kematian akibat infeksi
dengan rasio mortalitas 30-70% (Warganegara 2017). Faktor risiko dari
pneumonia nosokomial adalah usia lebih dari 70 tahun, malnutrisi,
penurunan kesadaran, durasi tinggal di rumah sakit yang lama, dan
penyakit obstruksi paru kronis (Deni & Pangalila 2019).
2. Hasil Pengkajian
a. Identitas Pasien
i. Nama : Tn. T
ii. Usia : 68 tahun
iii. Jenis Kelamin : Laki-laki
iv. Pendidikan : SD
v. Pekerjaan : Buruh
vi. Alamat : Sokaraja Tengah RT 004/001 Sokaraja
vii. No RM : KLMNOP
viii. Diagnosa Medis : Pneumonia nosokomial
b. Riwayat Kesehatan
i. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sesak nafas dan ketika batuk merasa
dahaknya sulit dikeluarkan. Pasien juga mengeluh merasa
kelelahan sehingga badan menjadi lemas.
ii. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD rumah sakit RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo pada tanggal 27 September 2019 pukul
09.09 WIB dengan keluhan sesak nafas dan batuk berdahak
sejak 2 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien sudah pernah
rawat inap di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo selama satu
minggu, kemudian pulang selama tiga hari sebelum akhirnya
masuk kembali ke rumah sakit. Keadaan umum pasien saat
datang yaitu tekanan darah 141 / 94 mmHg, RR 24 x/menit,
suhu 36oC, Nadi 94 x/menit, GCS E4 V6 M5. Hasil pengkajian
pada pasien tanggal 1 Oktober 2019 didapatkan bahwa pasien
mengalami sesak nafas serta terpasang nasal kanul dengan
oksigen 4 liter.
iii. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak pernah masuk ke rumah sakit
sebelumnya dan tidak pernah memeriksakan kesehatannya ke
pelayanan kesehatan. Berdasarkan dari hasil pemeriksaan awal
masuk pasien memiliki penyakit hipertensi dengan tekanan
darah 141/94 mmHg. Pasien terkena tuberkulosis pada tahun
2015 dan menganjalani pengobatan selama satu tahun.
iv. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa tidak ada riwayat penyakit dari
keluarga.
Genogram
60 68
42 39 35 22
Keterangan :
: Laki-laki : tinggal serumah : pasien
: Perempuan : hubungan keluarga :Meninggal
c. Pemeriksaan Mikrobiologi
Hasil pembiakan sputum dan kultur darah menunjukkan bahwa pasien
positif terdapat S. pneumonia.
d. Rontgen thorax
Hasil yaitu terdapat gambaran TB lesi luas disertai giant bullae
pada lapang tengah paru kanan dan lapang bawah paru kiri differential
diagnosis emfisema paru. Opasitas bentuk tringular pada lapang atas
paru kanan cenderung fibrosis differential diagnosis atelektasis suspek
efusi pleura dupleks.
B. WoC Pneumonia Nosokomial
D. Fokus Intervensi
Berdasarkan kasus diatas, pasien memiliki diagnosa medis berupa
pneumonia nosokomial. Tanda dan gejala yang dikeluhkan pasien terdiri dari
sesak nafas, dahak yang tidak bisa dikeluarkan, dan badan terasa lemas. Sesak
nafas yang dirasakan oleh pasien salah satunya disebabkan oleh akumulasi
sekret berlebihan yang menyumbat saluran jalan nafas sehingga pasien
kesulitan untuk bernafas. Kesulitan bernafas inilah yang mengakibatkan badan
pasien terasa lemas karena kurangnya pasokan oksigen yang masuk ke dalam
paru-paru.
Kondisi tersebut harus segera diselesaikan untuk membersihkan jalan nafas
yang mana merupakan prioritas utama untuk mengoptimalkan proses
kesembuhan pasien. Oleh karena itu, fokus intervensi yang dipilih untuk
menyelesaikan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang dialami
pasien adalah metode batuk efektif. Batuk efektif adalah metode batuk yang
tepat untuk memaksimalkan pengeluaran dahak (Fatimah & Syamsudin 2019).
Batuk efektif dilakukan untuk menggerakkan sekret yang tertahan di jalan
nafas sehingga dapat mengurangi penumpukan sekret berlebih. Menurut
penelitian Potter dan Perry pada 2005 menyebutkan bahwa metode batuk
dalam dan produktif lebih menguntungkan daripada tindakan membersihkan
tenggorokan menggunakan suction (Potter & Perry 2005).
Indikasi dilakukannya batuk efektif antara lain penderita obstruksi jalan
nafas yang diakibatkan oleh produksi sekret berlebihan, pasien yang akan
menjalani tindakan bedah, dan pasien paska mendapat tindakan bedah.
Sedangkan kontraindikasi dari batuk efektif terdiri dari tension
pneumothoraks, hemoptysis, gangguan sistem kardiovaskuler, edema paru,
dan efusi pleura yang meluas. Sedangkan tujuan dari metode batuk efektif itu
sendiri adalah untuk melatih otot-otot pernafasan agar dapat melakukan fungsi
dengan baik, mengeluarkan dahak atau sputum yang terdapat di saluran
pernafasan, dan melatih pasien agar terbiasa melakukan cara pernafasan yang
baik (Fauzi, Nuraeni & Solechan 2014).
Hal-hal yang perlu disiapkan untuk melakukan intervensi ini antara lain
tisu/sapu tangan, gelas yang berisi air hangat, tempat untuk membuang dahak
(Kementrian Kesehatan RI 2018). Cara mempersiapkan tempat pembuangan
dahak harus diperhatikan untuk mecegah penyebaran transmisi bakteri/virus
yang akan keluar bersama dahak. Oleh karena itu, perawat harus menyiapkan
tempat pembuangan yang berupa kaleng berisi cairan desinfektan yang
dicampur dengan air. Cairan desinfektan dapat disubstitusi menggunakan
detergen atau bahan kimia pembersih lainnya. Kemudian cairan desinfektan
yang telah disiapkan tersebut dituang ke wadah sebanyak sepertiga dari volum
wadah yang digunakan. Tempat pembuangan ini harus selalu dibersihkan
setiap 2 sampai 3 kali sehari tergantung intensitas dari dahak yang
dikeluarkan. Apabila isi dari tempat pembuangan hendak diganti dengan yang
baru, maka buang isi tersebut dengan cara menuang di lubang kloset lalu
disiram. Tempat pembuangan wajib untuk dibersihkan dengan sabun sebelum
digunakan kembali.
Setelah tempat pembuangan telah tersedia, perawat memposisikan pasien
posisi fowler dan sedikit mencondongkan badan ke depan agar memudahkan
gerak dahak keluar melalui saluran pernafasan. Pertama, pastikan pasien telah
meminum obat pengencer dahak atau obat bronkodilator sebelumnya untuk
mempermudah proses pengeluaran dahak. Kedua, perawat kemudian
menganjurkan pasien untuk meminum air hangat terlebih dahulu agar dapat
membantu pengenceran dahak (Marwansyah et al. 2019). Ketiga, perawat
mengajarkan pasien teknik nafas dalam sebanyak 4-5 kali. Nafas dalam
dilakukan untuk meningkatkan volum paru pada klien sehingga memperlancar
jalannya pernafasan agar dapat membantu mempercepat pengeluaran sisa
sekret yang tertimbun dalam saluran pernafasan (Septiani 2020). Kemudian,
pada saat tarikan nafas dalam yang terakhir pasien dianjurkan untuk menahan
nafas selama 1-2 detik. Keempat, didetik ke dua setelah menahan nafas,
perawat mengajarkan pasien untuk batuk dengan kuat dan spontan. Teknik
batuk kuat spontan adalah batuk yang menggunakan otot perut dan otot
aksesoris pernafasan dengan mulut sedikit terbuka. Batuk dilakukan sebanyak
3 kali. Batuk pertama bertujuan untuk melepaskan dahak yang tertahan, lalu
disusul batuk kedua dan ketiga yang bertujuan untuk mengeluarkan dahak.
Keluarkan dahak dengan bunyi “ha..ha…ha” dan “huf…huf…huf”. Lakukan
berulang kali sesuai dengan kebutuhan. Perawat juga harus menghimbau agar
pasien tidak bernafas cepat melalui mulut seusai terapi batuk efektif, hal ini
agar dahak tidak kembali masuk ke dalam saluran pernafasan.
Fauzi, I., Nuraeni, A. & Solechan, A. 2014, ‘Pengaruh Batuk Efektif dengan
Fisioterapi Dada Terhadap Pengeluaran Sputum pada Balita Usia 3-5 Tahun
Dengan Ispa di Puskesmas Wirosari 1’, Jurnal Keperawatan dan Kebidanan
(JIKK), pp. 1–9.
Hastuti, P., S, N.A., Aisah, N.N., Antika, L. & D, O.S. 2020, ‘Pendayagunaan
Partisipasi Pasien dan Keluarga Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Melalui
Pelaksanaan Cuci Tangan’, Jurnal Pengabdian Kesehatan, vol. 3, no. 1, pp. 91–
9.
Imanuella, N., Hasmono, D., Kasih, E. & Ramdani, D. 2019, Studi Penggunaan
Sefalosporin Generasi Ketiga pada Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Haji Surabaya Fakultas Farmasi , Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya , Surabaya , Indonesia Fakultas Farmasi ,
Universitas Airlangga Suraba, vol. 6, no. 1, pp. 66–73.
Potter, P.. & Perry, A.. 2005, Fundamental of Nursing 6th Edition, 6th edn, Elsevier
Ltd, Singapore.
Rondhianto, Kurniawati, D. & Vidiany, A.K. 2016, ‘Batuk Efektif Dan Napas Dalam
Untuk Menurunkan Kolonisasi Staphylococcus aureus Dalam Sekret Pasien
Pasca Operasi Dengan Ansatesi Umum di RSD Dr. Soebandi Jember’,
NurseLine Journal, vol. 1, no. 1, pp. 151–8.
Septiani, E.P. 2020, ‘Hubungan Nafas Dalam Dan Batuk Efektif Dalam Pengeluaran
Sputum Pada Pasien TB Paru di Ruang Flamboyan di RSUD Dr. Piringadi
Medan’, Jurnal Poltekkes Kemenkes Medan, vol. 1, no. 1.