Laporan Pendahuluan (Avianty, Universitas Faletehan)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH, ISOLASI SOSIAL


HALUSINASI, PERILAKU KEKERASAN, DEFISIT PERAWATAN DIRI
RISIKO BUNUH DIRI DAN WAHAM

AVIANTY DWI CAHYA

(5020031014)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS FALETEHAN
TAHUN 2020-2021
HARGA DIRI RENDAH

I. Kasus (Masalah Utama)


Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan diri sendiri
tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan dan kegagalan, tetap
merasa sebagai seseorang yang penting dan berharga. Harga diri rendah adalah
evaluasi diri dan perasaan tentang diri sendiri atau kemampuan diri yangnegatif
yang dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan. (Towsend, 1998).
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan
tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri, gagal menyesuaikan tingkah
laku dancita–cita. (Fk.UNDIP , 2001). Kesimpulan harga diri rendah adalah
perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang percayaan diri, harga diri serta
menolak dirinya. Tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri serta gagal
dalam menyesuaikan tingkah laku dan cita-cita.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi, Penolakan orang tua. Harapan orang tua yang tidak
realistis. Kegagalan yang berulang kali. Kurang mempunyai tanggung jawab
personal. Ketergantungan kepada orang lain. Ideal diri tidak realistis
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi, Citra tubuh yang tidak sesuai. Keluhan fisik. Ketegangan
peran yang dirasakan. Perasaan tidak mampu. Penolakan terhadap kemampuan
personal. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri
C. Jenis
Harga diri rendah terbagi menjadi dua yaitu :
1. Harga diri rendah situasional
Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon terhadap suatu kejadian. Apabila dari harga
diri rendah situasional tidak ditangani segera, maka lama kelamaan dapat
menjadi harga diri rendah kronik.
2. Harga diri rendah Kronis
Harga diri rendah kronik adalah suatu evaluasi diri negatif dimana mereka
merasa tidak berarti, malu, dan tidak mampu melihat hal positif yang
dimilikinya.

D. Rentang Respons

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


Diri positif rendah identitas

E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi
(2015) adalah:
1. Jangka pendek
a. Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian
obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
b. Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial,
keagaman, politik).
c. Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga, kontes
popularitas).
d. Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan
obat).
2. Jangka panjang
a. Menutup identitas
b. Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
III. A. POHON MASALAH
Isolasi Sosial = Menarik Diri Effect

Harga Diri Rendah Core Problem

Koping Individu Tidak Efektif Cause

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Harga diri rendah
Data Subyektif :

- Mengeluh hidup tidak


bermakna
- Tidak memiliki kelebihan
apapun
- Merasa jelek
- Mengatakan malas
- Putus asa
- Ingin mati
- Malu untuk bergaul
Data Obyektif :
- Kontak mata kurang
- Tidak berinisiatif berinteraksi
dengan orang lain
- Tampak malas-malasan
- Produktivitas menurun
- Nada suara lembut dan pelan
- Ekspresi terlihat sedih
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Harga diri rendah

D. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Tindakan keperawatan
a) Tindakan keperawatan pada
pasien
Tujuan
 Pasien dapat mengidentifikasikan kemampuan dan aspek positif
yang dimili.
 Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
 Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai
kemampuan.
 Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai
kemampuan.
 Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.

Tindakan Keperawatan :
 Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki pasien. Untuk membantu pasien dapat mengungkapkan
kemampuan dan aspek positif yang masih memiliki pasien, kita
dapat :
 Mendiskusikan bahwa pasien masih memiliki sejumlah
kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan pasien dirumah,
adanya keluarga dan lingkungan terdekat pasien.
 Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali
bertemu dengan pasien penilaian negatif.
b) Tindakan keperawatan pada keluarga
Keluarga diharapkan dapat merawat pasien dengan harga diri rendah
dirumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif bagi pasien.
Tujuan
 Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan
yang dimiliki.
 Keluarga memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai kemampuan
 Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan sesuai
dengan latihan yang dilakukan, dan memberikan pujian atas
keberhasilan pasien.
 Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan
pasien.

Tindakan Keperawatan
 Jelaskan kepada keluarga tentang harga diri rendah yang ada
pada pasien.
 Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien dan
memuji pasien atas kemampuannya.
 Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam melakukan
kegiatan yang sudah dilatihkan pasien dengan perawatan.
 Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan
perilaku pasien.

2. Evaluasi
a. Kemampuan yang diharapkan pasien
 Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
 Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat dikerjakan
 Pasien dapat melatih kemampuan yang dapat dikerjakan
 Pasien dapat membuat jadwal kegiatan harian
 Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai jadwal kegiatan harian.

b. Kemampuan yang diharapkan keluarga


 Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki pasien
 Menyediakan fasilitas untuk pasien dapat melakukan kegiatan
 Mendorong pasien melakukan kegiatan
 Memuji pasien saat pasien dapat melakukan kegiatan
 Membantu melatih pasien
 Membantu menyusun jadwal kegiatan pasien
 Membantu perkembangan pasien.

ISOLASI SOSIAL
I. KASUS (Masalah Utama)
Perilaku isolasi sosial menraik diri merupakan suatu gangguan hubungan
interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang
menimbulkan perilaku maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam
hubungan sosial (Depkes RI, 2000).
Isolasi sosial menarik diri merupakan usaha menghindari dari interaksi dan
berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab,
tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau
selalu dalam kegagalan. Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang
dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu keadaan yang negatif atau mengancam kelainan interaksi sosial.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak
dapat dipenuhi, maka akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang
lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan
dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang
dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri.
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi penting
dalam mengembangkan gangguan tingkah laku seperti sikap
bermusuhan/hostilitas, sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-
jelekkan anak, selalu mengkritik, menyalahkan, dan anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya, kurang kehangatan,
kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan anak, hubungan
yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi
kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan
secara terbuka dengan musyawarah, ekspresi emosi yang tinggi,
double bind, dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat
3) Faktor sosial budaya.
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu
keluarga seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan
sosial.
4) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota
keluarga yang menderita skizofrenia.
B. Faktor presipitasi
a) Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua,
kesepian karena ditinggal jauh, dan dirawat di rumah sakit atau di
penjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
b) Stressor biokimia berupa teori dopamin yaitu kelebihan dopamin pada
mesokortikal dan mesolimbik serta traktus saraf dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia. Menurunnya MAO (Mono Amino
Oksidasi) di dalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak.
Karena salah satu MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan
dopamin, maka penurunannya MAO juga dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
c) Stresor biologik dan lingkungan sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d) Stresor psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu
untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah
gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

C. RENTANG RESPON
Rentang Respon Neurobiologis (stuart, 2007)
Respon adaptif Respon
Maladaptif

- Pikiran logis - Pikiran kadang - Kelainan pikiran /


- Persepsi akurat menyimpang delusi
- Emosi konsisten - Ilusi - Halusinasi
dengan - Reaksi emosional - Ketidakmampuan untuk
pengalaman berlebihan kontrol emosi
- Perilaku sesuai - Perilaku ganjil - Ketidakteraturan
- Hubungan sosial - Menarik diri - Isolasi sosial

D. Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon sosial maladiptif menggunakan
berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Koping yang
berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain
proyeksi, spliting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan
dengan gangguan kepribadian ambang spliting, formasi reaksi, proyeksi,
isolasi, idealisasi orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi
proyektif. sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial
maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan
teman, hubungan dengan hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas
untuk mengekspresikan stress interpersonal misalnya kesenian, musik
atau tulisan.
III. A. Pohon Masalah

Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi


Effec
t

Isolasi sosial Core Problem

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah Cause

B. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji


Isolasi Sosial.
Data Subyektif :
- Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain
- Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
- Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
- Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
- Klien tidak dapat berkonsentrasi dan membuat keputusan
- Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
- Klien mengatakan tidak sederajat dengan orang lain

Data Obyektif :

- Klien tampak menyendiri, mengurung diri


- Tidak memiliki teman dekat
- Tidak komunikatif
- Tidak ada kontak mata
- Tamapak sedih, afek tumpul
- Tidak berinisiatif berhubungan dengan orang lain.
- Mematung
- Tidur meringkuk

C. Diagnosa Keperawatan
Isolasi social
D. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tindakan Keperawatan untuk
pasien
a. Tujuan : Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu
 Membina Hubungan saling percaya
 Menyadari penyebab Isolasi Sosial
 Berinteraksi dengan orang lain.

b. Tindakan
1) Membina Hubungan saling percaya
 Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
 Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama dan nama
panggilan yang kita sukai, serta tanyakan nama dan nama
panggilan pasien.
 Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
 Buat kontrak asuhan: apa yang saudara akan lakukan
bersama pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya
dimana.
 Jelaskan bahwa saudara akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi.
 Setiap saat tunjukan sikap empati terhadap pasien penuhi
kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.
2) Membantu pasien menyadari perilaku Isolasi sosial
 Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi
dengan orang lain.
 Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin
berinteraksi dengan orang lain.
 Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman
dan bergaul akrab dengan mereka.
 Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan
tidak bergaul dengan orang lain.
 Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik
pasien.
3) Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
 Jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain
 Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain
 Beri kesempatan pasien mempraktekkan cara berinteraksi
dengan orang lain yang dilakukan dihadapan kita.
 Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang
teman/anggota keluarga
 Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tungkatkan
jumlah interaksi dengan dua, tiga, empat orang dan
seterusnya.
 Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan oleh pasien.
 Setiap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah
berinteraksi dengan orang lain. Mungkin pasien akan
mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri
dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.

2. Evaluasi
a. Pasien menjelaskan kebiasaan
interaksi
b. Pasien menjelaskan penyebab tidak bergaul dengan oranglain
c. Pasien menyebutkan keuntungan bergaul dengan oranglain
d. Pasien menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan oranglain
e. Pasien memperagakan cara berkenalan dengan orang lain
f. Pasien bergaul/berinteraksi dengan perawat, keluarga, tetangga.
g. Pasien menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan oranglain.
h. Pasien mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain.
i. Pasien menggunakan obat dengan patuh.
HALUSINASI

I. KASUS (Masalah Utama)


Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah
( Struart, 2007). Halusinasi adalah gangguan (persepsi) panca indera
tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system
penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu
penuh/baik. Individu yang mengalami halusinasi sering kali
beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari
lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah
kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadp kejadian
traumatic sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa
takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak dapat mengendalikan
dorongan ego, pikiran dan prasaannyasendiri. (Budi Anna Keliat,
1999). Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, suatu
pencerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor predisposisi
Terdiri dari faktor Biologis, psikologis, dan social budaya. Faktor
biologis terjadi karena abnormalitas perkembangan sistem saraf
yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif
baru mulai dipahami. faktor Psikologis terjadi karena keluarga,
pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.serta faktor Sosial
Budaya terjadi karena kondisi sosial budaya mempengaruhi
gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial
budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang
terisolasi disertai stress.
B. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan
setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi,
perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian
individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
C. Macam – Macam Halusinasi
1. Pendengaran, mendengar suara atau kebisingan, paling sering
suara orang.
2. Penglihatan, stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya,
gambar-gambar, bayangan yang rumit atau komplek, bayangan
bisa menyenangkan bahkan menakutkan seperti melihat moster.
3. Penghidu, membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin
dan fase umunya bau-bauan yang tidak menyenangkan.
4. Pengecapan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah,urin atau
feses.
5. Perabaan, mengalami nyeri/ketidak nyamanan tanpa stimulus
yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda
mati atau orang lain.
D. Mekanisme koping
1. Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri
dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon
neurobiologik termasud :
2. Regresi adalah mundur pada karakteristik perilaku tingkat
perkembangan sebelumnya.
3. Projeksi adalah menghubungkan pemikiran atau implus
seseorang pada orang lain. Melaluli proses ini seseorang dapat
menghubungkan keinginan yang tidak realistik, perasaan,
perasaan emosi, atau motivasi pada orang lain.
4. Menarik diri

E. RENTANG RESPON

Respon adaptif: Respon maladaptive:

- Fikiran logis - Pikiran kadang - Delusi

- Persepsi akurat menyimpang - Halusinasi

- Emosi konsisten dengan - Ilusi - Ketidakmampuan

pengalaman - Reaksi emosional emosi

- Perilaku sesuai kurang / lebih - Isolasi sosial

- Hubungan social - Perilaku ganjil


harmonis - Menarik diri

III. A. POHON MASALAH

Resiko perilaku kekerasan Effect

Gangguan persepsi sensori : halusinasi Core


Problem

Isolasi sosial Cause


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU
DIKAJI
Gangguan persepsi sensori: halusinasi
a. Data Subjektif
- Klien mengatakan sering mendengar suara, melihat,
menghirup, dan merasa sesuatu yang tidak nyata
- Klien mengatakan sering mendengar suara-suara dan
berbicara padanya
- Keluarga mengatakan keluarga sering menjerit, tampak
ketakutan kemudian berteriak, berbicara dan tertawa sendiri
b. Data Objektif
- Klien tanpak ketakutan
- Ekspresi wajah tegang
- Klien tampak melamun

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan persepsi sensori: halusinasi

D. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan :
 Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
 Pasien dapat mengontrol halusinasinya
 Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal

Tindakan :

1. Melatih pasien menghardik halusinasi

Menghardik adalah upaya mengendalikan diri terhadap


halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien
dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul
atau tidak mempedulikan halusinasinya. Mungkin halusinasi
tetap ada namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut
untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasi nya. Tahapan
tindakan meliputi :

- Menjelaskan cara menghardik


- Memperagakan cara menghardik
- Meminta pasien memperagakan ulang
- Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien

2. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain

Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain makan akan


terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari
halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain
tersebut. Sehingga cara ini efektif untuk mengontrol halusinasi.

3. Melatih pasien beraktivitas secara terjadwal

Dengan beraktivitas secara terjadwal pasien tidak akan


mengalami banyak waktu luang sendiri yang seringkali
mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami
halusinasi bisa di bantu dengan cara beraktivitas secara teratur
dari bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan tindakan
meliputi :

- Menjelaskan penting nya aktivitas yang teratur untuk


mengatasi halusinasi
- Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien
- Melatih pasien melakukan aktivitas
- Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas
yang telah dilatih
- Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan
penguatan terhadap perilaku pasien yang positif
4. Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah sering kali
mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami
kekambuhan. Bila kekambuhan terjadi makan untuk mecapai
kondisi seperti semula akan lebih sulit. Untuk itu pasien dilatih
menggunakan obat sesuai program dan berkelanjutan. Tahapan
tindakan meliputi :

- Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa


- Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program
- Jelaskan akibat bila putus obat
- Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat
5. Pemberian psikofarmakoterapi

1. Evaluasi
a. Kemampuan yang diharapkan pasien
 Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
 Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat dikerjakan
 Pasien dapat melatih kemampuan yang dapat dikerjakan
 Pasien dapat membuat jadwal kegiatan harian
 Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai jadwal kegiatan harian.
PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (Masalah Utama)


Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
(Stuart, 1995). ), perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai dengan hilangnya kontrol diri atau
kendali diri. Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Individu melakukan kekerasan akibat adanya frustasi yang dirasakan
sebagai pemicu dan individu tidak mampu berpikir serta
mengungkapkan secara verbal sehingga mendemostrasikan pemecahan
masalah dengan cara yang tidak adekuat.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


a. Faktor Predisposisi
Perilaku kekerasan atau amuk dapat disebabkan karena frustasi,
takut, manipulasi atau intimidasi, perilaku kekerasan juga
menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan
ketergantungan pada orang lain. Prilaku kekerasan bias
disebabkan adanya perubahan sensori persepsi berupa halusinasi.

b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi bisa bersumber dari klien, llingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, kritikan yang
mengarah ke penghinaan. Kehilangan orang yang dicintai atau
pekerjaan dan kekeransan merupakan faktor penyebab.
c. Mekanisme Koping
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul
karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang
dipakai pada pasien marah untuk melindugi diri antara lain
( Pastorino, 2010) :
1. Sublimasi : menyalurkan kembali keinginan atau simpuls yang
tidak dapat diterima secara personal dan atau sosial pada
aktivitas yang lebih ditoleransi dan konstruktif.
2. Displasi : Perasaan yang dipindahkan dari satu target ke target
lain yang dipertimbangkan kurang mengancam atau netral.
3. Proyeksi : Bertindak kebalikan dari apa yang di fikirkan atau
dirasakan. Misalnya seseorang membenci atasannya sangat hebat.
4. Represi : Mencegah perasaan dan pengalaman yang tidak
menyenangkan secara involunter dari kesadaran seseorang.
5. Reaksi Formasi : Pembentukan pola sikap dan perilaku secara
sadar yang berlawanan pada apa yang sebenarnya dirasakan atau
ingin dilakukan.

d. RENTANG RESPON

Respon Adaptif Respon


Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

1. Asertif
Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan
memberikan kelegaan pada individu dan tidak menimbulkan masalah.
2. Frustasi
Kemarahan yang diungkapkan sebagai respon yang terjadi akibat
kegagalan dalam mencapai tujuan karena yang terjadi akibat
kegagalan dalam mencapai tujuan karena tidak realistis atau adanya
hambatan dalam proses pencapaian.
3. Pasif
Pasif Merupakan respon lanjut dari frustasi dimana individu tidak
mampu mengungkapkan perasaannya.
4. Agresif
Perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak
dalam bentuk destruktif dan masih dapat terkontrol. Perilaku yang
tampak beruka muka masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar
disertai kekerasan
5. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
control diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.

III. POHON MASALAH


Perilaku Kekerasan Effect

Core Problem
Resiko Perilaku Kekerasan

Harga Diri rendah Cause

V. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Perilaku Kekerasan
a. Data Subyektif :
- Klien mengatakan sangat marah
- Klien mengatakan jengkel
- Klien mengatakan orang lain jahat
- Klien mengatakan ingin berkelahi
- Klien mengatakan pernah melakukan tindak kekerasan

b. Data Obyektif :
- Mata merah dan melotot
- Wajah tegang
- Nada suara tinggi
- Berdebat
- Sering memaksakan pendapat
- Merampas barang milik orang lain
- Mengajak berkelahi
- Sering mengeluarkan ancaman
- Memukul atau melukai orang lain
- Merusak lingkungan
- Memperlihatkan permusuhan.

VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku kekerasan
Resiko Perilaku Kekerasan

VII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan :
 Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
 Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
 Pasien dapat menyebutkan jenis dan perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya
 Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
 Pasien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku
kekerasannya
 Pasien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial dan dengan terapi psikofarmaka.

Tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya


Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan
agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi. Tahapan
tindakan meliputi :
- Mengucapkan salam terapeutik
- Berjabat tangan
- Menjelaskan tujuan interaksi
- Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien
2. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan yang lalu
3. Diskusikan perasaan pasien penyebab perilaku kekerasan
- Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan fisik
- Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis
- Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
sosial
- Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
spiritual
- Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual
4. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah
5. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara fisik, sosial, spiritual
7. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
8. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
9. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
10. Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat.

VIII. Evaluasi
 Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejalaa perilaku
kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, dan akibat
perilaku kekerasan yang di lakukan.
 Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan
secara teratur sesuai jadwal secara fisik, secara sosial/verbal, secara
spiritual, dengan terapi psikofarmaka.
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (Masalah Utama)


Kurangnya perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas
perawatan diri menurun.Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar
manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan
kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan diri.

Menurut Potter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan


untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan
fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak
mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya (Tarwoto dan
Wartonah 2000).

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Predisposisi
- Perkembangan, Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
- Biologis, Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri
- Kemampuan realitas turun, Klien dengan gangguan jiwa menyebabkan
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
- Sosial, Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
B. Faktor Presipitasi
- Body image, Gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya karena adanya perubahan fisik
sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.
- Praktik social, Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
- Status sosioekonomi, Personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
- Pengetahuan, Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada
pasien penderita diabetes mellitus dia harus menjaga kebersihan
kakinya. Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual,
hambatan lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.

C. Jenis
Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan (2013) Jenis-jenis defisit
perawatan diri terdiri dari:
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan Kurang perawatan diri
(mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
mandi / kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias Kurang
perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : makan Kurang perawatan diri (makan)
adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri : toileting Kurang perawatan diri (toileting)
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan.
D. Rentang Respons
Rentang Respon Menurut Dermawan (2013), adapun rentang respon
defisit perawatan diri sebagai berikut :
Adaptif
Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan diri Tidak melakukan


perawatan
diri seimbang kadang tidak diri pada saat stress

1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan


mampu untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang
dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan
stresor kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan
dirinya,
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak
peduli dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.

E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pada pasien dengan defisit perawatan diri adalah
sebagai berikut:
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali, seperti pada perilaku perkembangan anak atau
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengulangi ansietas (Dermawan, 2013).
2. Penyangkalan (Denial), melindungi diri terhadap kenyataan yang
tak menyenangkan dengan menolak menghadapi hal itu, yang
sering dilakukan dengan cara melarikan diri seperti menjadi “sakit”
atau kesibukan lain serta tidak berani melihat dan mengakui
kenyataan yang menakutkan (Yusuf dkk, 2015).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis, reaksi fisk yaitu individu pergi atau lari
menghindar sumber stresor, misalnya: menjauhi, sumber infeksi,
gas beracun dan lain-lain. Reaksi psikologis individu menunjukkan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai
rasa takut dan bermusuhan (Dermawan, 2013).
4. Intelektualisasi, suatu bentuk penyekatan emosional karena beban
emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau
diubah (distorsi) misalnya rasa sedih karena kematian orang dekat,
maka mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak
menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015)

III. A. POHON MASALAH

Gangguan pemeliharaan kesehatan Effect

Defisit perawatan
Defisit diri : diri
perawatan mandi, berhias Core
Problem

Isolasi sosial : menarik diri Cause

Skema 1: pohon masalah defisit perawatan diri: mandi, berhias


(Sumber: Keliat, 2006)

B. Diagnosa Keperawatan
Kurang perawatan diri: - Kebersihan diri

- Berdandan
- Makan
- BAB/BAK

C. Tindakan Keperawatan

1. Tindakan keperawatan untuk pasien


a. Tujuan:
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
b. Tindakan keperawatan
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri saudara dapat
melakukan tanapan tindakan yang meliputi:
a) Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2) Melatih pasien berdandan/berhias
Saudara sebagai perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk
pasien laki-laki tentu harus dibedakan dengan wanita.
Untuk pasien laki-laki Latihan meliputi:
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur

Untuk wanita, latihannya meliputi:

a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
3) Melatih pasien makan secara mandiri
Untuk melatih makan pasien saudara dapat melakukan tahapan
sebagai berikut:
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
Saudara dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK secara mandiri
sesuai tahapan berikut:
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

D. Evaluasi
Dibawah ini tanda-tanda bahwa asuhan keperawatan yang saudara berikan
kepada pasien kurang perawatan diri berhasil:

Pasien dapat menyebutkan:

1) Penyebab tidak merawat diri


2) Manfaat menjaga perawatan diri
3) Tanda-tanda bersih dan rapih
4) Gangguan yang dialami jika perawatan diri tidak diperhatikan

Pasien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri dalam hal:

1) Kebersihan diri
2) Berdandan
3) Makan
4) BAB/BAK
RISIKO BUNUH DIRI

I. Kasus (masalah utama)


Resiko Bunuh Diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
pasien untuk mengakhiri hidupnya.

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Predisposisi
 Faktor genetik
- 1.5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada
individu yang menjadi kerabat tingkat pertama dari orang
yang mengalami gangguan mood/depresi/ yang pernah
melakukan upaya bunuh diri.
- Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada
kembar dizigot
 Faktor Biologis :
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya
:
- Stroke
- Gangguan kerusakan kognitif (demensia)
- Diabetes Penyakit arteri koronaria
- Kanker
- HIV/ AIDS
 Faktor Psikososial & Lingkungan :
- Teori Psikoanalitik/psikodinamika : teori frued yaitu
bahwa kehilangan objek berkaitan dengan agresi &
kemarahan, perasaan negatif terhadap diri dan terakhir
depresi
- Teori perilaku kognitif : teori beck, yaitu pola kognitif
negatif yang berkembang, memandang rendah diri sendiri
- Stressor lingkungan : Kehilangan anggota keluarga,
penipuan, kurangnya sistem pendukung sosial.

B. Faktor Presipitasi

 Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat psien beresiko untuk bunuh
diri yaitu gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat dan
skizofrenia.
 Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan
resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsifm dan depresi
 Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian,
kehilangan yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial
merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri
 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor resiko bunuh diri
 Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat
menimbulkan perilaku resiko bunuh diri.

C. Jenis

1. Ancaman bunuh diri : ada peringatan verbal & non verbal,


ancaman ini menunjukan ambivalesi seseorang terhadap kematian,
jika tidak mendapatkan respon maka akan ditafsirkan sebagai
dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri : semua tindakan yang dilakukan individu
terhadap diri sendiri yang dapat menyebabkan kematian jika tidak
dicegah.
3. Bunuh diri : terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan, orang yang melakukan upaya buduh diri walaupun
tidak benar-benar ingin mati mungkin akan mati.

D. Rentang Respons

Respon Adaptif

Peningkatan diri Pertumbuhan Perilaku Bunuh


diri
peningkatan menciderai diri
pengambilan tidak langsung
resiko

F. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi,
intelektualisasi, dan regresi.

III. A. Pohon Masalah

Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan


lingkungan

Resiko Bunuh Diri

Harga diri rendah

B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


1. Pengkajian Faktor Resiko Perilaku Bunuh Diri
 Jenis kelamin : resiko meningkat pada pria
 Usia : lebih tua, masalah semakin banyak
 Status perkawinan menikah dapat menurunkan resiko, hidup
sendiri merupakan masalah
 Riwayat keluarga : meningkat apabila ada keluarga dengan
percobaan bunuh diri/ penyalahgunaan zat.
 Pencetus (peristiwa hidup yang baru terjadi): kehilangan
orang yang dicintai, pengangguran, mendapatkan malu
dilingkungan sosial, dll.
 Faktor kepribadian : lebih sering pada kepribadian
introvent/menutup diri.
 Lain-lain : penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih
lebih beresiko mengalami perilaku bunuh diri
2. Masalah Keperawatan
a. Resiko Perilaku bunuh diri
DS : mengatakan ingin bunuh diri/ ingin mati saja, tak ada
gunanya hidup
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuh diri
b. Koping Maladaptive
DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak
ada harapan
DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat
mengontrol impuls.

IV. Diagnosa Keperawatan

Resiko bunuh diri


Harga diri rendah

V. Rencana tindakan keperawatan

1. Diagnosa 1 : resiko bunuh diri


Tujuan umum :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
 Perkenalkan diri dengan klien
 Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal
 Bicara dengan tegas, jelas dan jujur
 Bersifat hangat dan bersahabat
 Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat

b. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri


Tindakan :
 Jauhkan klien dari benda-benda yang dapat membahayakan
(pisau, silent, gunting, tali, kaca dan lain-lain)
 Tempatkan klien diruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh
perawat
 Awasi klien secara ketat setiap saat
WAHAM

I. Kasus (Masalah Utama)


Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara
kukuh di pertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan realita yang normal (Stuart dan Sundeen,1998).
Wahan adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan
tetapi di pertahankan dan tidak dapat berubah secara logis oleh orang
lain.keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan
control (Depkes RI,2000). Waham adalah keyakinan seseorang yang
berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak
konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien.
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham
atau delusi adalah ide yang salah dan bertentangan atau berlawanan
dengan semua kenyataan dan tidak ada kaitannya degan latar belakang
budaya (Keliat, 2009)

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya waham yang
dijelaskan oleh Towsend 1998 adalah:
1. Teori Biologis
Teori biologi terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap waham:
a. Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam
perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang
memiliki anggota keluarga dengan kelainan yang sama
(orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).
b. Secara relatif ada penelitian baru yang menyatakan bahwa
kelainan skizofrenia mungkin pada kenyataannya
merupakan suatu kecacatan sejak lahir terjadi pada bagian
hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan suatu
kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-
orang yang menderita skizofrenia.
c. Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari
dopamin neurotransmiter yang dipertukarkan menghasilkan
gejala-gejala peningkatan aktivitas yang berlebihan dari
pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya diobservasi
pada psikosis.

2. Teori Psikososial
a. Teori sistem keluarga Bawen dalam Towsend (1998 : 147)
menggambarkan perkembangan skizofrenia sebagai suatu
perkembangan disfungsi keluarga. Konflik diantara suami
istri mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam anak
akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada
ansielas dan suatu kondsi yang lebih stabil mengakibatkan
timbulnya suatu hubungan yang saling mempengaruhi yang
berkembang antara orang tua dan anakanak. Anak harus
meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan
anak dan masuk ke dalam masa dewasa, dan dimana dimasa
ini anak tidak akan mamapu memenuhi tugas
perkembangan dewasanya.
b. Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang
mengalami psikosis akan menghasilkan hubungan orang tua
anak yang penuh akan kecemasan. Anak menerima pesan-
pesan yang membingungkan dan penuh konflik dari orang
tua dan tidak mampu membentuk rasa percaya terhadap
orang lain.
c. Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah
hasil dari suatu ego yang lemah. Perkembangan yang
dihambat dan suatu hubungan saling mempengaruhi antara
orang tua, anak. Karena ego menjadi lebih lemah
penggunaan mekanisme pertahanan ego pada waktu
kecemasan yang ekstrim menjadi suatu yang maladaptif dan
perilakunya sering kali merupakan penampilan dan segmen
id dalam kepribadian.

B. Faktor Presipitasi
1. Biologis Stressor biologis yang berhubungan dengan
neurobiologis yang maladaptif termasuk gangguan dalam
putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan isi
informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi rangsangan.

Pada pasien dengan waham, pemeriksa MRI menunjukkan


bahwa derajat lobus temporal tidak simetris. Akan tetapi
perbedaan ini sangat kecil, sehingga terjadinya waham
kemungkinan melibatkan komponen degeneratif dari neuron.
Waham somatic terjadi kemungkinan karena disebabkan
adanya gangguan sensori pada sistem saraf atau kesalahan
penafsiran dari input sensori karena terjadi sedikit perubahan
pada saraf kortikal akibat penuaan (Boyd, 2005 dalam Purba
dkk, 2008).
2. Stres Lingkungan Secara biologis menetapkan ambang
toleransi terhadap stres yang berinterasksi dengan sterssor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.

3. Pemicu Gejala Pemicu yang biasanya terdapat pada respon


neurobiologis yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan
lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti : gizi buruk,
kurang tidur, infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau
lingkungan yang penuh kritik, masalah perumahan, kelainan
terhadap penampilan, stres gangguan dalam berhubungan
interpersonal, kesepain, tekanan, pekerjaan, kemiskinan,
keputusasaan dan sebagainya.

C. Jenis
Jenis waham menurut Keliat (2009):
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki
kebesaran atau kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali,
tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “saya ini pejabat
departemen kesehatan lho!” atau, “saya punya tambang emas”.
2. Waham curiga: Individu meyakini bahwa ada seseorang atau
kelompok yang berusaha merugikan/menceerai dirinya dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh,
“saya tahu seluruh saudara saya ingin menghancurka hidup
saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya”.
3. Waham agama: Individu memiliki keyakinan terhadap suatu
agama secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh, “kalau saya mau masuk
surga, saya harus menggunakan pakaian putih setip hari”.
4. Waham somatic: Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian
tubuhnya terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan
berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh,
“saya sakit kanker”. (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien
terus mengataka bahwa ia sakit kanker.)
5. Waham nihilistic: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak
ada didunia/meniggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kadaan nyata. Misalnya, “Ini kana lam kubur ya,
semua yang ada disini adalah roh-roh.”

D. Rentang Respons
Respon Adaptif Respon
Maladaptif

Pikiran Logis Perilaku kadang menyimpang Kelainan


pikir/waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosi berlebihan
Ketidakmampuan emosi
Pengalaman Perilaku ganjil/tdk lazim Perilaku tidak
terorganisasi
Perilaku sosial Menarik diri Isolasi
sosial
Hubungan sosial
Harmonis

E. Mekanisme Koping
Ada beberapa sumber koping individu yang harus dikaji yang
dapat berpengaruh terhadap gangguan otak dan prilaku kekuatan
dalam sumber koping dapat meliputi seperti : modal intelegensi
atau kreativitas yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik
anak-anaknya, dewasa muda tentang keterampilan koping karena
mereka biasanya tidak hanya belajar dan pengamatan. Sumber
keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial
yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga dan kemampuan untuk
memberikan dukungan secara berkesinambungan.

III. A. Pohon Masalah

Kerusakan Komunikasi Verbal

B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Proses Pikir : Waham

Gangguan proses pikir: Waham

C. Tindakan Keperawatan
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

1. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realita secara bertahap
b. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungan
c. Pasien menggunakan obat dengan prinsip 6 benar

2. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien dengan waham,
saudara harus membina hubungan saling percaya terlebih
dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat
berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang harus saudara
lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya
adalah:
1) Mengucapkan salam
2) Berjabat tangan
3) Menjelaskan tujuan interaksi
4) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien
b. Tidak mendukung atau membantah waham pasien
c. Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman
d. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
e. Jika pasien pasien terus-menerus membicarakan
wahamnya dengarkan tanpa memberikan dukungan atau
menyangkal sampai pasien berhenti membicarakannya
f. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai
dengan realitas
g. Diskusikan dengan pasien kemampuan realistis yang
dimilikinya pada saat yang lalu dan saat ini
h. Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas sesuai
kemampuan yang dimilikinya
i. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut
dan marah
j. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional pasien
k. Berbicara dalam konteks realitas
l. Bila pasien mampu memperlihatkan kemampuan
positifnya berikan pujian yang sesuai
m. Jelaskan pada pasien tentang program pengobatannya
(manfaat, dosis obat, jenis, dan efek samping obat yang
diminum serta cara meminum obat yang benar)
n. Diskusikan akibat yang terjadi bila pasien berhenti minum
obat tanpa konsultasi

3. Evaluasi
Pasien mampu:
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM


KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Dalami, Ermawati. 2009. ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN


JIWA. Jakarta
Keliat Budi A. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1. EGC : Jakarta

Modul Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Universitas Faletehan 2018.

Nurhalimah. 2016. KEPERAWATAN JIWA. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia.
P.Rizky. 2010. Askep Keperawatan Jiwa. Jakarta

Saputra, Dino. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan

Defisit Perawatan Diri Di Ruang Dahlia Rumah Sakit Jiwa Prof. Hb.

Sa’anin Padang. KTI. Keperawatan, POLTEKES KEMENKES Padang.

Stuart GW, Sundeen. 1998. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th


ed.). St.Louis Mosby Year Book

Anda mungkin juga menyukai