Makalah Kajian Susila Dalam Wrehaspati Tattwa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KAJIAN AJARAN SUSILA DALAM WREHASPATI TATTWA

Oleh :

I Wayan Mardhawa Santa

16144103

Brahma Widya

DEPARTEMEN KEMENTERIAN AGAMA RI

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan

bermartabat. Menyadari peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia maka

internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh

melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, di lembaga pendidikan formal

maupun nonformal serta masyarakat.

Ajaran agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan tiga kerangka

dasar, di mana bagian yang satu dengan lainnya saling mengisi, dan satu kesatuan yang bulat,

sehingga dapat dihayati, dan diamalkan untuk mencapai tujuan yang disebut Moksa. Tiga

kerangka dasarnya, yaitu: (1) tattwa, (2) susila, dan (3) upacara. Ketiganya secara sistematik

merupakan satu kesatuan yang saling memberi fungsi atas sistem agama Hindu secara

keseluruhan. Ketiganya tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu kesatuan yang harus

dimiliki dan dilaksanakan oleh umat Hindu. Jika filsafat agama saja yang diketahui tanpa

melaksanakan ajaran-ajaran susila dan upacara, tidaklah sempurna. Demikian juga jika hanya

melaksanakan upacara saja tanpa tanpa dasar-dasar filsafat dan etika, percuma pulalah upacara-

upacara itu. Jadi ketiga hal itu tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagai halnya kepala, hati, dan kaki

yang tak dapat dipisahkan untuk membentuk manusia sempurna. Dalam makalh ini secara

penulis secara khusus membahas mengenai ajaran susila yang terdapat pada Wrehaspati Tattwa.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pentingnya memahami ajaran susila menurut Hindu?

2. Bagaimana pemahaman ajaran-ajaran susila yang terdapat dalam Wrehaspati Tattwa?

C. Tujuan

1. Mengetahui pentingnya ajaran susila dalam Agama Hindu.

2. Mengetahui bagaimana ajaran susila dimaknai dalam Wrehaspati Tattwa.


BAB II

LANDASAN TEORI

1. Pengertian Susila Hindu

Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa).

Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi

seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar

budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam

pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik

yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.

Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk

mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada

pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi

tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila".

"Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah

laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan

hubungan dengan lingkungannya.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan

timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta

(lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. Pola

hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung

makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri,

dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian
diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan.

Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari

diuraikan lagi secara lebih terperinci.

2. Wrehaspati Tattwa

Wrhaspati Tattwa adalah sebuah lontar yang tergolong tua usianya. Lontar ini

menguraikan ajaran tentang kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik yang diuraikan secara

sistematik. Wrhaspati Tattwa terdiri dari 74 pasal/sloka yang menggunakan bahasa Sansekerta

dan Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sansekerta disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kuno

disusun dalam bentuk bebas (Gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan atau penjelasan

bahasa Sansekertanya. Lontar Wrhaspati Tattwa merupakan sebuah lontar mengandung ajaran

samkya dan yoga. Bagian yang mengajarkan pembentukan alam semesta beserta isinya

mengikuti ajaran samkya dan bagian yang mengajarkan etika pengendalian diri mengambil

ajaran yoga. Secara etimologi Wrhaspati Tattwa berasal dari kata “Whraspati” dan “Tattwa”,

pengertian Wrhaspati adalah nama seorang Bhagawan di sorga, hal ini sesuai dengan yang

terdapat dalam Wrhaspati Tattwa Sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut:

Irikang kala bana sira wiku ring swarga

Bhagawad Whraspati ngaran ira

Sira ta maso mapuja di Bhatara.

Terjemahan :

Pada saat itu ada seorang petapa di sorga bernama Wrhaspati, Ia datang dan memuja

Hyang Iswara ( Putra dkk, 1998 : 1 ).

Kemudian menurut Watra (2007 : 1) Tatwa berasal dari bahasa sansekerta. Tattwa

memiliki berbagai pengertian seperti : kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan
segala sesuatu yang bersumber dari kebenaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa Wrhaspati Tattwa

berarti ajaran kebenaran atau hakekat kebenaran dharma dari Bhagawan Wrhaspati.

Wrhaspati Tattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara

dengan seorang sisya beliau yaitu Bhagawan Wrhaspati. Iswara dalam konsep pengider-ider di

Bali adalah Dewa yang menempati arah timur. Iswara tidak lain adalah aspek dari Siwa sendiri.

Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa Hyang Iswara berstana di puncak Gunung Kailasa

yang merupakan puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati

adalah orang suci yang merupakan sebagai guru dunia (guru loka) berkedudukan di Sorga.

Dalam dialog tersebut, Sang Hyang Iswara mencoba menjelaskan kebenaran tertinggi tentang

Siwa kepada Bhagawan Wrhaspati dengan metode tanya jawab. Wrhaspati Tattwa merupakan

naskah jawa kuno yang bersifat realistis. Di dalam menyajikan ajarannya dirangkum dalam suatu

mitologi yang tujuannya untuk mempermudah ajaran itu dimengerti. Mengingat ajaran filsafat

atau Tattwa yang tinggi seperti ini memang sulit untuk dimengerti.
BAB III

PEMBAHASAN

 Ajaran Susila dalam Wrehaspati Tattwa

Ajaran Susila dalam Wrehaspati Tattwa lebih menekankan pada pengendalian diri, yang di awali

dari Sloka 52 tentang TIGA JALAN MENCAPAI MOKSA yang berbunyi :

Telu prakara nikang sadhana, anung gawayakena de sang mahyun ing kalepasan,

jnanabhuyudreka ngaranya ikang wruh ring tattva kabeh, indriyayoga marga ngaranya

ikang tan jenek ring wisaya, trsnadosaksya ngaranya ikang humilangaken phala ning

subhasubhakarma, ika ta katelu, yateka gawayakena,deya ning gumawayakena, pusernya

ya ta gegonta, kadyangga ning jala dinudut pusernya, katut matanya timahnya kabeh,

tadwat mangkana tekang jnana masimpen, yeka pinaka puser nikang sadhana telu, ndya

tekang jnana masimpen gegonta, yan kwa linganta wih, ikang cetana wehwn prakasa ring

jnana, prakasa ngaranya tatan akapademan, tan wuta ring peteng, tan kaputekan

pramana, nityomideng tan kawaranan, apan yekawak bhatara, pratyaksa niran haneng

sarira, yatika pahagongen abhyasan helem – helem, apan jati nika yan inabhyasa, tumut

ikang cetana pwa inabhyasa niyata makaphala ikang Sivatattva.

Sumahur baghavan Vrhaspati, ling nira hana ta paksa waneh rinengo ranak bhatara,

ikang hurip matangyan hana papupul nikang sarira, ya ta humangun ikang hana,

wyaktinya, hyang wwang malara, api tuwi pinerang, rinacun kunang, ikang kalaranya,

bheda ika sariranya lawan lara nika sariranya, ya ta magawe pati ngaranya, ikang pati

ngaranya hilang juga tarpahamban, nahan wyaktanyan sarira wenang humangun ikang
hurip, paramarthanya, ikang mahurip ya juga sangsar, ikang mati ya moksa ngaranya,

apan hilang tahu – tahu tan panghidep lara, mangkana ling ning paksa waneh, sajna

bhatara.

Sumahur bhatara, haywa kita majaraken ika ring sabha, kerang irang ikang paksa

mangkana, pira ta hingana nikang mata mulat, yan ikang sakatonan pinintonaken, mapa

karikang mati ngaranyan tan pangjanma muwah, apekang subhasubhakarma ginawenya,

tan kapwa pramana lingta, nihan sang hyang Aditya anung pratyaksa katon, wruh kita ri

sangka nira lawan surupan ira, wetan sangka nira, kulwan surupa ira, yapwan kwan

linganta wih, rasika sang metu wengi, karika san netu mangke, yan kwa linganta, an

didala nira waluy, yan sira mangetan tinon ta, kari siromaluy mon pratyaksa wruh kita

weh, taha (?) dudu sang metu wengi, dudu sang metu mangke, yapwan kwalinganta wih,

apayapan yaya ta lwir nira, tan palenan pada pada ta sira ya ta wih, kita tumon pasamuha

sang hyang Aditya, ndi ta kita wruh ri keweh nira, matangyan dwa ning sumangguh sira

dudu, tapwan wyakta wruh terika kabeh, ya ta matangyan tan yogya ikan pramana, ikang

sakaton lawan manon, yateka paksa ning manusa, atyanta wiparitanya, vyamoha

mapetengtan panganti suluh, nguniweh ikang rahina, umajaraken samenaka ning

tutuknya, ya hetu ning pramanopama, yan hinanaken ri sang hyang Aji, apan yeka pinaka

sipat ning wuwus yatanyan tan pamahya irikang jnana, ya ta matangyan anakku sang

Vrhaspati prayatna tan kita, haywa rengo – rengo, irikang wuwus yan panayaken

pramana, apan iki sang hyang aji masundang – sundangan lawan pramana svabhava

nira, kala nikang pati ngaranya wih, tuhun mapasah lawan pancamahabhuta juga tekang

atma, ri sarira, ikang aganal juga hilang, ikang atma, langgeng tan molah, apan ibek

ikang rat kabeh dening atman, ya ta matangyan paparan ikang atma, ikang
pancatanmatra pinakawaknya lawan ikang dasendrya, buddhi manah ahamkara sattva

rajah tamah, huwus rumuhun ikang raga dwesa moha lawan ikang karmavasana, ika

kabeh, kapwa rumaket ing atma, mwang si pancamahabhutadi, sinurataken ing awak

ning atma, anapak sarira ikang pancatanmantra, nahan sarira ning atma ri kala ning

pati, apa matangyan pangjanma muwah, apan huwus rumaket ikang cittanya ring

sariranya, wyaktinya tan hana wwang tang karaktan ring wisaya, ikang wwang ahurip,

aharanidrabhaya maithunanca, maharep arabya malakya, kapwa matakut ring pati, ring

kaduhkan, aharep amangan anginum, ahat ring inak, mangkana svabhava ning janma,

ika ta citta ring sarira mangkana, tan paphala karika ri hidepnya, apan kamemeken

vasana kabeh ring atma, ring kapantika tan pangjanma muwah, kunang sang wiku

wenang tuminggalaken wisaya lawan sang yogisvara, atyanta siramangguhakena

kamoksan, kunang apan alit ikang pancatanmatra pinaka sarira ning atma, matangyan

suksmasarira ngaranya, yatika sarira ning atma an pa sarira ring narakaloka, mawak ta

ya ngakana, pinaka penghidepnya sangsara, yan ahayu gawenya nguni ring manusa, ya ta

hetunyan tibeng naraka, yan ahayu gawenya huni ring manusa, ya ta matangyan

pangjanma manusa muwah, luput sakeng hala hayu pagawenya nguni ring manusa,

kapanggih tang kawikun denya, wenang gumawayaken brata bhatara, nda tar wruh ta ya

ring kayogisvaran ri kala ning huripnya, pejah ta ya, mangjanma ta ya muwah, irika ta

yan pamanggihaken kayogisvaran denya, sira ta visesa ring kawikun, tiga lwir ning

kawikun, lwirnya, hana karma ngaranya, hana jnana ngaranya, hana yogi

ngaranya,karma ngaranya, sang kayika brata sira, mamuja, mahoma, majapa, sira sowe –

sowe, yapwan ring patapan, mananem – nanem gawe nira, phala ning tanem taneman ira,

ya ta pinujaken ira ring bhatara lawan ing sang abhyagata, nahan yang karma ngaranya,
jnana ngaranya, wruh siran dewatawak nira pwa ya kabeh, lawan bhuwanatattwawak

nira, wruh ta sireng jnana malilang aho mahening, pinaka sala, bhatara an haneng

sarira,matangyan humeneng juga, tan pamuja, tan pahoma tan pacaru tan pagawe kaba –

kaba, santosa ring jnana nira, tan pati gawe – gawe ni (ra),. Kewala tekang cetana juga

tinungkulan ngaranya ira sadakala,apan enak wruh niran visesa nahan matangyan jnana

ngaranya, kunang ikang sang yogisvara, sira ta tumutaken, ika sang hyang

prayogahasandi, apan alaksana ikan sang visesa, tan kena winastawan, salah

winarahaken, yata matangyan tiga ikang pramana, lwirya, gurutah, sastratah, swatah,

gurutah ngaranya warah – warah sang guru, sastratah ngaranya ikang warah maka

sadhanang sastra, swatah ngaranya apan ri kawakan ira juga umangguhaken ika sang

hyang visesa, upaya nira sang yogisvara ika, ndah yeki puser ning jala ngaranya, ikang

winarahaken kwi nguni ri kita.

Artinya :

Moksa dapat dicapai melalui tiga jalan : dengan mempelajari segala ilmu pengetahuan,

dengan melepaskan diri (ayogya) dari segala indriya, dan dengan menghilangkan pengaruh

nafsu.

Ada tiga cara yang harus dilakukan oleh orang yang ingin mencapai moksa.

Jnanabhyudreka artinya pengetahuan tentang semua tattva, indriyayogamarga artinya orang

yang tidak menikmati indriya, trsnadosaksaya yang berarti orang yang memusnahkan buah

perbuatan baik dan buruk. Ketiga hal inilah yang harus dilaksanakan. Jika engkau mau
melaksanakannya engkau harus pusatkan pada pusar (yaitu pada intinya). Sama halnya dengan

jala, jika pusatnya ditarik, seluruh jala dan pemberatnya aakan ikut. Demikianlah rahasia ilmu

itu, pusat ketiga jalan itu. Pada ilmu yang manakah yang harus engkau pusatkan? Ketahuilah

bahwa cetana adalah terang(prakasa) dalam pengetahuan. Prakasa artinya apa yang tidak padam.

Apa yang tidak diliputi kegelapan, apa yang tidak dipengaruhi oleh pramana, apa yang tetap

tenang, apa yang tidak terbungkus, karena ia adalah perwujudan Tuhan, yang ada dalam badan.

Ia harus dibiarkan terus bertambah besar, dan harus dilaksanakan terus, karna memang sifatnya

demikian. Maka cetana dilaksanakan pula dan hasilnya adalah sivatattva.

Bhagavan Vrhaspati berkata :

Ada satu pendapat lagi yang ananda dengar, O Guru. Karena hidup mengikat badan, maka ia

resah selama ia ada. Penjelasannya begini : Lihatlah orang – orang yang sedang sakit, luka

karena senjata tajam dan keracunan. Itulah yang diderita mereka. Luka dan – penyakit mereka

menyebabkan kematian. Mati berarti penghancuran tanpa rasa enak. (?)

Jelaslah bahwa badan dapat menyebabkan (?) keresahan dalam hidup (?). Arti sebenarnya ialah

bahwa hidup mengalami penderitaan. Mati adalah pembebasan, karena bila telah musnah, orang

tidak mengalami penderitaan. Demikianlah pendapat itu, O Gurunda.

Mahesvara menjawab : Jangan mengatakan hal itu dalam pertemuan ; pendapat seperti itu

memalukan. Berapa jauhkah batas mata dapat melihat apa yang dilihat dan apa yang

diperlihatkan. Apakah mati itu? Tidak lahir kembali. Apakah hubungannya dengan perbuatan

baik dan buruk, yang telah dilakukan? Engkau tidak dapat membuktikan kata – kata itu. Ada

matahari yang dapat kita lihat dengan jelas. Tahukah engkau dari mana ia terbit dan dimana ia
terbenam? Timur adalah tempat terbitnya dan barat adalah tempat terbenam. Jika engkau

mengatakan ia yang muncul kemari adalah orang yang muncul hari ini, dan jika engkau lalu

mengira bahwa ia kembali karena ia dilihat dengan jelas di Timur, dan jelas ia dilihat kembali;

dan jika engkau mengira engkau mengetahui, itu tidak benar. Lain orang yang muncul kemarin

dengan, lain pula orang yang muncul hari ini. Jika engkau mengira wajahnya sama, tanpa hari

ini. Jika engkau mengira wajahnua sama, tanpa perbedaan, mereka memang sama. Bagaimana

engkau dapat melihat kumpulan matahari? Bagaimana engkau dapat ketahui jumlahnya? Karena

orang yang menganggap mereka berbeda, ia berkata bohong. Jelas ia tidak memiliki pengetahuan

tentang hal itu. Oleh karena itu segala yang dilihat dan orang yang melihat bukan bukti yang

tepat. Yang demikian itu adalah pendapat orang yang sangat bertentangan, bingung, dalam

kegelapan tanpa cahaya, jangankan sinar pada siang hari, orang yang berkata semaunya. Oleh

karena itu pramanopama terdapat dalam Kitab suci. Ia memberikan bimbingan batin, maka

jangan engkau percaya dengan pengetahuan yang disebut tadi.oleh sebab itu anakku Vrhaspati,

engkau harus berhati – hati dan jangan mendengarkan kata – kata yang bertentangan dengan

pramana, karena Kitab suci dan pramana saling menunjang. Itulah sifatnya. Pada saat dinamakan

mati atman dalam badan terpisah dari lima unsur fisik itu ( mahabhuta ). Wujud fisiknya lenyap.

Atman tetap dan tak terrgerakkan karena seleruh alam penuh atman. Oleh karena itu kelima

tanmatra sebagai badan beserta sepuluh indria menjadi satu. Budddhi, manah, ahamkara, satwa,

rajah, tamah, keterikatan kebencian, tergila-gila beserta karmavasana semuanya itu terikat

dengan atman. Jika kelima tanmatra terwujud lima mahabhuta dll. Terikata kepada badan atman.

Demikianlah badan atman pada saat mati. Mengapa Ia lahir kembali? Karena cittanya melekat

erat pada badan. Begini penjelasannya : tidak ada orang yang tidak terikat kepada Indria. Orang

hidup terikat kepada makanan, tidur, rasa takut, dan seks yaitu ingin mempunyai istri atau suami,
takut akan mati dan sakit, ingin makan dan minum, sangat terikat kepada kesenangan. Itulah sifat

manusia. Citta dalam dalam badan seperti tidak menghasilkan buah dalam hidupnya karena

semua vasana tertanam pada atman dalam masa sebelum ia lahir kembali. Akan tetapi para

pertapa dan yogiswara mampu meninggalkan nafsu, jerlaslah mereka dapat mencapai moksa.

Karena kelima tanmatra yang membentuk badan atman itu sangat alus,maka ia disebut badan

halus (suksmasarira), inilah bentuk badan atman bila ada di neraka. Bila ia terwujud disana , ia

mengalami penderitaan. Jika ia perbuatannya buruk pada waktu hidup sebagai manusia, maka

perbuatannya itu menyebabkan ia jatuh ke dalam neraka. Jika waktu hidup sebagai manusia

perbuatannya baik, maka ia hidup di surga dan mengalami kesenangan. Jika waktu hidupnya

sebagai manusia dulu perbuatannya tidak tergolong baik tidak pula buruk maka ia akan lahir

kembali sebagai manusia. Jika ia bebas dari perbuatan baik dan buruk dalam hidupnya sebagai

manusia, ia menjadi pertapa. Ia mampu melaksanakan perintah dan larangan Tuhan. Akan tetapi,

semasa hidupnya ia tidak menyadari sifat yogisvaranya. Jika ia meninggal dan lahir kembali

maka ia mencapai tingkat yogisvaranya itulah puncak kehidupan pertapa. Ada tiga macam

kehidupan pertapa yaitu karma, jnana dan yoga. Karma artinya orang yang melakukan perbuatan

yang bersifat fisik, beribadah, puja api dan mengucapkan mantra panjang. Jika ia tinggal

dipertapaan kegiatan ini tetap dilakukan. Buah kegiatannya ini dipersembahkankepada Tuhan

dan kepada tamu-tamu. Inilah yang disebut karma. Jnana artinya orang mengetahui bahwa dewa-

dewa dan bhuvanatattva ada dibadannya. Pengettahuannnya itu suci, terang, jelas, yang menjadi

persemayaman Tuhan selama kehadirannya dalam badan. Ia tenang, tidak melaksanakan ibadah

atau puja api, tidak mempersembahkan sesajen (caru) dan tidak melakukan ilmu sihir. Karena

merasa puas akan pengetahuannya ia tidak pernah melakukan apa-apa. Hanya cetana yang tetap

dijunjung olehnya, karna ia tahu pasti bahwa itulah yang tertinggi (visesa). Maka ia dikatakan
berilmu (jnana). Tetapi yogisvara melaksanakan prayogasandhi, karena visesa tidak dapat

dijelaskan. Ia tidak dapat diyakinkan dan sulit digambarkan. Maka dikenal adanya tiga pramana

yaitu gurutah, sastratah, svatah. Gurutah artinya ajaran seorang guru. Sastratah artinya ajaran-

ajaran kitab suci. Svatah berarti pengetahuan yang ia sendiri perolah tetang visesa. Itulah jalan

yogisvara. Jadi inilah pusat jala, yang aku katakan sebelumnya kepadamu.

 Dari sloka diatas dijelaskan bahwa moksa dapat dicapai melalui tiga jalan dengan

mempelajari segala ilmu pengetahuan, dengan melepaskan diri atau ayoga dari segala

indriya, dan dengan menghilangkan pengaruh napsu. Ada tiga cara yang harus dilakukan

untuk mencapai moksa yaitu : Jnanabhuyudreka artinya pengetahuan tentang semua tattva,

Indrayayogamarga artinya orang yang tidak menikmati indrya, trsnadosaksaya artinya

orang yang memusnahkan buah perbuatan baik dan buruk. Ketiga hal inilah yang harus

dilaksanakan. Jika atman melaksanakannya maka akan bertemu dengan pusat terangnya

dimana atma akan mencapai moksa. Karena bila atman dapan melaksanakannya atman tidak

akan diliputi dengan kegelapan dan akan bersifat terang tak ternoda. Jika atman waktu

hidupnya sebagai manusia dulu perbuatannya tidak tergolong baik tidak pula buruk maka ia

akan lahir kembali sebagai manusia. Jika atman bebas dari perbuatan baik dan buruk dalam

hidupnya sebagai manusia, ia menjadi pertapa. Ia mampu melaksanakan perintah dan

larangan Tuhan. Akan tetapi, semasa hidupnya ia tidak menyadari sifat yogisvaranya. Jika ia

meninggal dan lahir kembali maka ia mencapai tingkat yogisvaranya itulah puncak

kehidupan pertapa. Ada tiga macam kehidupan pertapa yaitu karma, jnana dan yoga. Karma

artinya orang yang melakukan perbuatan yang bersifat fisik, beribadah, puja api dan

mengucapkan mantra panjang. Jika ia tinggal dipertapaan kegiatan ini tetap dilakukan. Buah

kegiatannya ini dipersembahkankepada Tuhan dan kepada tamu-tamu. Inilah yang disebut
karma. Jnana artinya orang mengetahui bahwa dewa-dewa dan bhuvanatattva ada

dibadannya. Pengettahuannnya itu suci, terang, jelas, yang menjadi persemayaman Tuhan

selama kehadirannya dalam badan. Ia tenang, tidak melaksanakan ibadah atau puja api, tidak

mempersembahkan sesajen (caru) dan tidak melakukan ilmu sihir. Karena merasa puas akan

pengetahuannya ia tidak pernah melakukan apa-apa. Hanya cetana yang tetap dijunjung

olehnya, karna ia tahu pasti bahwa itulah yang tertinggi (visesa). Maka ia dikatakan berilmu

(jnana). Tetapi yogisvara melaksanakan prayogasandhi, karena visesa tidak dapat dijelaskan.

Ia tidak dapat diyakinkan dan sulit digambarkan. Maka dikenal adanya tiga pramana yaitu

gurutah, sastratah, svatah. Gurutah artinya ajaran seorang guru. Sastratah artinya ajaran-

ajaran kitab suci. Svatah berarti pengetahuan yang ia sendiri perolah tetang visesa. Itulah

jalan yogisvara. Maka dari hal yang demikian bila atman bisa melaksanakan ketiga jalan

tersebut maka atman akan mencapai moksa yaitu pembebasan yang disebut dengan tujuan

tertinggi umat manusia.

 Kemudian, dalam Wrehaspati Tattwa juga dijelaskan tentang Sadangga yoga, yang dapat

dijalankan untuk pengendalian diri hingga mencapai pelepasan, yang di awali dari Sloka 53.

 Sadangga Yoga

 Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 53 disebutkan ada enam cabang yoga, yang disebut

dengan sadangayoga. Sadangayoga ini juga dapat dikatakan sebagai enam tingkatan yoga

yang saling terkait, mengabaikan salah satu tingkatan yoga berarti menghancurkan sistem

yoga itu dan itu berarti gagal. Bunyi dari sloka yang dimaksud adalah:
Nahan tang sadanga yoga ngaranya, ika ta sadhana ning sang mahyun Umangguhakena

sang hyang wisesa denjika, pahawas tang hidepta, haywa ta iweng-iweng denta

ngrengosang hyang aji, hana pratyahara yoga ngaranya, hana tarka yoga ngaranya,

hana pranayama yoga ngaranya, hana dharanaya yoga ngaranya, hana tarka ngaranya,

hana samadhiyoga ngaranya, nahan sadanga yoga ngaranya

(Wrhaspati Tattwa sloka 53)

Terjemahan :

Pratyahara (penarikan), Dhyana (meditasi), pranayama (pengendalian nafas),

dharana (menahan), tarka (renungan), Samadhi (konsentrasi), itulah ke enam cabang

yoga.Sadangayoga menyatakan alat bagi orang yang ingin mencapai visesa. Pikiranmu

harus tetap tanggap: tidak hanya mendengarkan ajaran suci. Patut kita ketahui

prathyahara yoga,dhyanayoga, pranayama yoga, dharana yoga, tarka yoga, dan

samadhiyoga. ( Putradkk, 1998 : 61)

Dengan asumsi bahwa dengan mengetahui dan memahami serta mempraktikan

sadangayoga secara benar dan baik selaras dengan karma vasana pastilah memperoleh

pengalaman dan manfaat yang positif.Untuk lebih memahami tentang sadangayoga ini

marilah kita kaji sloka-sloka Wrhaspati Tattwa selanjutnya.

 Pratyaharayoga

 Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 54 di uraikan sebagai berikut:

Ikang indriya kabeh winatek sangkeng wisayanya,

ikang citta budhi manah tan wineh maparan-parana,

kinemitaken ing citta malilang, yeka pratyaharayoga ngaranya

(Wrhaspati Tattwa sloka 54)


 Terjemahan :

Pratyahara (penarikan diri) artinya indriya dari obyeknya, dengan upaya dan pikiran

yang tenang.Semua obyek indria harus ditarik dari obyeknya dan manah tidak

diperbolehkan bergerak kesana kemari.Ia harus dijaga oleh citta yang murni. Ini

pratyaharayoga ( Putra dkk, 1998 : 61)

Pratyahara ini berarti penarikan. Yang ditarik disini adalah menarik indra dari objek

kesukaanya. Masing-masing indra memiliki objek kesenangan sendiri-sendiri dari objek

kesukaanya, missal mata suka akan rupa dan warna yang indah,dan benci rupa dan warna

yang buruk indra penciuman suka bau yang harum dan benci bau yang busuk dan ketiga

indra yang lainya memiliki objek kesenanagnnya sendiri. Indra-indra inilah yang perlu

ditarik dari objek yang disenanginya dan yang dibencinya lalu diarahkan kedalam diri.

Dengan pikiran yang terkendali konsentrasi jiwa dapat dilaksanakan dengan baik,

semua keinginan untuk keperluan pribadi dan panca indria harus dikontrol. Ibarat seekor

penyu yang menarik kepalanya dan anggota badannya, supaya jiwa menjadi harmonis

dan seimbang. Di saat seseorang itu mengahadapi suatu kesulitan dalam hidupnya

janganlah terlarut dalam kesedihannya itu, sebaliknya ketika seseorang mendapatkan

kebahagian janganlah terlalu dipuji-puji. Hal baik kita terima dengan senang hati, hal

burukpun kita terima dengan senang hati. Demikianlah orang yang memiliki

keseimbangan jiwa dalam menghadapi suka dan duka. Selain pengekangan terhadap

panca indria penegkakangan terhadap jiwa perlu dilakukan sehingga jiwa dapat bersatu

dengan atman. Dengan bersatunya atman dan jiwa, maka yang maha tahu akan

menampakkan dirinya.

 Dhayanayoga
 Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 55 di uraikan sebagai berikut:

Ikang jnana tan pangrwa-rwa, tatan wikara, enak heneng-heneng nira, umideng sad tan

kawarana, yeka dhyanayoga ngaranya.

(Wrhaspati Tattwa sloka 55)

Terjemahan :

Dhyana (meditasi) adalah yoga yang terus menerus memusatkan pikiran kepada suatu

bentuk yang tak berpasangan, tak berubah damai dan tidak bergerak.Pengetahuan yang

indah tak berpasangan tidak berubah indah dan tenang, tetap stabil, tanpa selubung yang

demikian itulah Dhyanayoga.( Putra dkk, 1998 : 61)

Dhyanayoga atau meditasi adalah keadaan pikiran dimana pikiran merupakan

keberadaan yang mutlak yang tidak melakukan tindakan. Menurut Agama Hindu atman

adalah sumber kekuatan yang tak terbatas dan kebijaksanaan dalam diri manusia dan

Dhyana atau meditasi adalah alat untuk berhubungan dengan kebijaksanaan tertinggi.

Para Rsi Hindu mengatakan bahwa ketika pikiran tidak melakuakan apa-apa pikiran

dapat memasuki tahap kesadaran super atau turiya dan menyadari penyatuan dengan

Tuhan. Setelah seseorang itu mencapai turuya maka seseorang tersebut dapat dikatakan

telah mencapai moksa terbebas dari siklus kelahiran dan kematian. Seseorang yang dapat

mencapai Turuya ketika masih berada adalam tubuh manusia disebut dengan Jiwanmukti.

Dhyana bukanlah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh seseorang, namun sebuah

phenomena yang muncul dengan spontan dan tidak disadari ketika pikiran tidak berpikir

atau berada pada tahap tidak melakukan tindakan. Meditasi dan konsentrasi dapat

dibedakan dengan sifatnya yang tidak terintrupsi. Konsentrasi diibaratkan dengan

menuangkan air sedangkan Meditasi diibaratkan menuangkan minyak. Keduanya


kanjatuh pada tempat yang sama, namun jatuhnya air tidak akan selancar minyak. Air

memiliki kecendrungan untuk berpencar menjadi titik-titik air, sehingga mengakibatkan

aliran yang tidak bias.

 Pranayamayoga

 Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 56 di uraikan sebagai berikut:

Ikang sarwadwara kabeh yateka tutupane, mata, irung, tutuk, talinga,ikang vayu

huwus inesep nguni rumuhun, yateka winetwaken maha waneng wunwunwn, kunang

yapwan tan abhyasa ikang vayu mahawane ngkana, dai ya winetwaken mahawaneng

irung ndan saka sadiki dening mawetwaken vayu, yateka pranayamayoga ngaranya.

(Wrhaspati Tattwa sloka 56)

Terjemahan:

Pranayama (pengatuaran nafas) ialah menutup semua jalan keluar nafas dari batok

kepala (pada saat meninggal).Semua jalan keluar harus ditutup mata, hidung, mulut,

telinga. Nafas yang telah ditarik dikeluarkan melalui batok kepala. Jika orang tidak

mengeluarkan nafas dengan cara ini, maka nafas ajkan keluar melalui hidung. Tapi ia

hanya mengeluarkan sebagian kecil dari nafas itu. Inilah yang dinamakan

Pranayamayoga (Putra,dkk, 1998 : 62)

Pranayama berarti pengaturan pernapasan yang lancar panjang dan dalam. Manfaat

dari Pranayama ini adalah untuk membantu menghilangkan pikiran yang tidak

diinginkan. Sehingga mempermudah kita untuk berkonsentrasi dan bermeditasi. Para Rsi

mengatakan nafas yang pendek dan teratur akan meningkatkan aktifitas mental, yang

menghasikan pikiran yang tidak diinginkan yang akan merusak pikiran.

 Dhranayoga
 Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 57 diuraikan sebagai berikut:

Hana ongkara sabda umunggwing hati, yateka dharanan, yapwan hilang ika nora

karengo ri kala ning yoga yateka sivatma ngaranya, sunyawak bhatara siva yan

mangkana yeka dharanayoga ngaranya.

(Wrhaspati Tattwa sloka 57)

Terjemahan :

Omkara yang merupakan sifat siwa harus ditempatkan dalan hati penuh dengan

Tattwa. Karena Omkara dipegang terus maka dinamakan “menahan” dhrana. Suara

omkara bertempat di hati. Orang harus memusatkan pikiran kepadanya. Bila lenyap dan

tidak didengarkan saat beryoga dinamakan Sivatman. Dalam keadaan seperti itu Bhatara

Siwa dikatakan dalam keadaan kosong. Inilah dharanayoga. (Putra dkk, 1998 : 62)

Dharanayoga artinya menguasai indria dibawah pengawasan Manah (pikiran) dan

memusatkan pikiran pada objek meditasi. Objek dari konsentrasi dapat berupa gambaran

dari Dewa, sebuah mantra, nafas dan yang lainnya.

 Tarkayoga

 Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 58 di uraikan sebagai berikut:

Kadi akasa rakwa sang hyang paramartha, ndan ta palenanira lawan akasa, tan han

sabda ri sira, ya ta kalingan ing paramartha,papada nira lawan awing-awang malilang

juga, yeka tarka yoga ngaranya.

(Wrhaspati Tattwa sloka 58)

Terjemahannya:

Tarka (renungan) ialah terus menerus memusatkan pikiran kepada-Nya yang

wujudnya sangat halus, tetap dan tenang dan hening.


Engkau harus mengetahui bahwa Paramartha sangat halus. Tetapi juga ada

bedanya dengan yang halus itu yaitu bahwa Paramartha tanpa suara. Itulah penjelasan

Paramartha yang dapat dipersamakan dengan Akasa.Ia suci. Itulah yang disebut

Tarkayoga. (Putra dkk, 1998 : 62)

 Samadhi

 Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 59 di uraikan sebagai berikut:

Ikang jnana tanpopeksa, tan panggalpane, tan hana kaharep nira, tan han sinadhyanira,

alilang tan kawaranan juga, tatan pakahilang, tatan pawasta ikang cetana, apan mari

muhidep sira ikang sarira, luput saking catur kalpana.Catur kalpana ngaranya, wruh

lawan kinaweruhan, pangawruh lawan nahan yang caturkalpana ngaranya, ika ta kabeh

tan hana ri sang yogisvara yateka Samadhi ngaranya. Nahan yang sadanga yoga

ngaranya, pinaka jnana sang pandita matangyang kapangih sang hyang visesa, ika

kayogiswaran mangkana, yateka karaksan ring dasasila.

(Wrhaspati Tattwa sloka 59)

Terjemahan :

Samadhi (konsentrasi) ialah terus menerus merenungkan-Nya sebagai yang

mutlak, tidak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tenang, tak berubah dan tanpa ciri. Jnana

(pengetahuan) itu mutlak, tak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tanpa tujuan, suci, tak

berselubung, dan tidak terbinasakan. Cetana ini tidak bertujuan. Ia tidak memiliki

kesadaran fisik. Ia bebas dari Catur Kalpana. Catur kalpana artinya pengetahuan dan

yang diketahui, sarana untuk mengetahui dan orang yang mengetahui. Itulah keempat

Kalpana. Semua ini tidak ada pada Yogiswara. Inilah yang dinamakan Samadhiyoga.

Sadangayoga ini harus dimiliki oleh seorang pandita. Dengan demikian orang akan
mencapai Wisesa. Sifat Yogiswara ini harus ditunjang oleh kesepuluh kebajikan. (Putra

dkk, 1998 : 63)

Samadhi merupakan tahap terakhir yoga baik tahapan menurut Wrhasapati Tattwa

dalam Sadanggayoga, adalah “penyatuan dengan dengan Tuhan”. Dalam sebuah Samadhi

yang sadar seorang akanmencapai kekuatan super-natural (yang disebut dengan siddhi)

dengan kekuatan dari latihan yoga.


BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Wrhaspati Tattwa termasuk kedalam salah satu pustaka suci yang didalamnya terkandung

nilai-nilai ajaran suci yang sarat dengan religius tentang ajaran kebenaran tertinggi yakni Siwa

(Siwaistik). Sumber ajaran ini merupakan hasil dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan

Wrhaspati mengenai cetana dan acetana sebagai pasangan beroposisi yakni Siwa-Sakti, Siwa-

Maya, vidya-avidya, siang-malam, suka-duka dsb.

Wrhaspati Tattwa mengajarkan cara untuk mencapai kelepasan atau kebebasan dari ikatan

keduniawian melalui Sadanggayoga yakni enam jalan menghubungkan diri denganNya yang

dilandasi atas etika moralitas disebut dengan Dasa Yama Brata terdiri dari Yama dan Niyama

Brata. Naskah ini juga mengajarkan menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri.

Dengan mempelajari segala Tattwa (Jnana Bhyudreka), tidak tenggelam dalam kesenangan hawa

nafsu (Indriya Yoga Marga) dan tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau perbuatan

buruk (Trsna Dosa Ksaya). Sebagai persyaratan untuk memperoleh kelepasan atau Moksa.

Berkenaan dengan itu juga, harapan penulis dalam tulisan ini dikemukakan berdasarkan

pertimbangan berikut. Perbuatan bukanlah kebaikan, apabila makna (kebaikan) teks Wrhaspati

Tattwa dibiarkan berhenti pada terminal normatif, tanpa membawanya ke wilayah aplikatif,

kedalam dunia fenomena (manusia). Artinya kebaikan itu lebih sebagai bukti daripada menjadi

saksi. Perbuatan bukanlah kebaikan, jikalau manusia hanya baik dalam pikiran dan tidak dalam

tindakan. Swami Rama menegaskan bahwa pelaksanaan dalam bentuk perbuatan lebih baik

daripada meyimpannya dalam bentuk pengetahuan hapalan yang hanya eksis dalam pikiran dan

ucapan. Hal itu selaras dengan filsafat tindakan bahwa tindakan tanpa pengetahuan akan
berbahaya dan sebaliknya pengetahuan tanpa tindakan akan sia-sia. Jadi, antara pengetahuan

dengan tindakan harus seimbang adanya.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2018. Kajian Lontar Wrhaspati Tattwa. Diakses pada tanggal 26 April 2018 pada situs

http://nyomanalit99.blogspot.co.id/2015/07/kajian-lontar-wrhaspati-tattwa.html.

Putra, I.G.A.G dkk. 1998. Wrhaspati Tattwa. Surabaya : Paramita.

Anda mungkin juga menyukai