LP Dan Askep Epistaksis - Aemia
LP Dan Askep Epistaksis - Aemia
LP Dan Askep Epistaksis - Aemia
Oleh :
NIM : 2018.C.10a.0926
Mengetahui,
Ketua Program Studi S1
Keperawata Pembimbing
n Akademik
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Rimba Aprianti, S.Kep.,Nersselaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini.
4. Ibu Meida Sinta Araini, S.Kep.,Ners selaku Koordinator Praktik Pra Klinik
Keperawatan 2.
5. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
1.4 Manfaat.......................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit............................................................................. 3
2.1.1Anatomi Fisiologi......................................................................... 3
2.1.2 Definisi ........................................................................................ 10
2.1.3 Etiologi ........................................................................................ 10
2.1.4 Klasifikasi.................................................................................... 10
2.1.5 Patofisiologi(pathway) ................................................................ 15
2.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)....................................... 19
2.1.7 Komplikasi .................................................................................. 20
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang............................................................... 20
2.1.9 Penatalaksanaan Medis ............................................................... 21
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan .................................................. 23
2.3.1 Pengkajian Keperawatan ....................................................... 23
2.3.2 Diagnosa Keperawatan .......................................................... 25
2.3.3 Intervensi Keperawatan ......................................................... 28
2.3.4 Implementasi Keperawatan ................................................... 29
2.3.5 Evaluasi Keperawatan ........................................................... 29
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN............................................................ 30
3.1 Pengkajian ...................................................................................... 30
3.2 Diagnosa......................................................................................... 32
3.3 Intervensi ........................................................................................ 44
3.4 Implementasi ................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1
4. Apa yang dimaksud dengan evaluasi pada klien dengan konjungtivitis
vernalis
1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
epistaksis.
1.4.2 Untuk Klien Dan Keluarga
Klien dan keluarga dapat mengetahui tentang epistaksis.
1.4.3 Untuk Institusi ( Pendidikan dan Rumah Sakit )
Instituasi ( Pendidikan dan RS ) dapat mengembangkan pengetahuan
mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan epistaksis.
1.4.4 Untuk IPTEK
Memberikan informasi dalam pengembangan ilmu keperawatan terutama
dalam keperawatan komunitas yang menjadi masalah kesehatan pada
masyarakat.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Septum
nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista
sfenoid.
2. Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
- Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
- Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
- Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial.
- Konka
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas
konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka
keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior,
dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superior dan palatum.
3. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel
-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di
depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya
sinus sfenoid.
4. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara
atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-
sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.
5. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.
6. Nares
Nares terdirio dari anterior dan posterior, nares anterior /lubang hidung,
menghubungkan dunia luar dengan rongga hidung, sedangkan nares posterior atau
koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan
terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya
dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian
atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang iregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-
sel goblet.
Vaskularisasi rongga hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang – cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis
superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.
Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
[1,2,5]
Fisiologi Hidung
Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang
canggih untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi
penyaringan partikel-partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel
bertingkat torak semu bersilia (pseudostratified ciliated columnar epithelium).
Lapisan hidung, terutama pada konka inferior dan media mengandung lamia
propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan melewati tulang konka
dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat memblok
aliran balik vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.
a. Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
0
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 C. Fungsi pengatur
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
b. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
hidung untuk membantu indera pencecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan.
c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis
rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis
atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke, dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda
cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang
menyumbat.
d. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.
2. Sistemik
a. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah
bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan
melepaskan serotonin dan tromboksan A (prostaglandin), hal ini
menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada
awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit
membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen
dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit.
Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain,
sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari
150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan
memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di
seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan
trombositopenia. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter
yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur
intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau
defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B).
Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya
secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. Leukemia adalah jenis penyakit
kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum
tulang (bone marrow). Sumsum tulang dalam tubuh manusia
memproduksi tiga tipe sel darah, diantaranya sel darah putih (berfungsi
sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi
membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah
yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi
peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan
atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang
termasuk trombosit, sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang
menyebabkan perdarahan mudah terjadi. Obat-obatan seperti terapi
antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi
epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan
menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan
mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada
dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses
pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan.
Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis.
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak
baik.
o Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis
sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan
pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang
kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
o Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari
pembuluh darah.
c. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin,
faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis, fungsi sintesis
protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga mudah terjadi perdarahan yang dapat menyebabkan
epistaksis pada penderita sirosis hepatis.
d. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang menyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa
lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi
lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus.
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir
keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat
belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung
dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior
umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis (mimisan) pada anak-anak umumnya berasal dari little’s
area/pleksus kiesselbach yang berada pada dinding depan dari septum hidung.
Dua faktor yang paling penting dari epistaksis pada anak-anak adalah :
- Trauma minor : mengorek hidung, menggaruk, bersin, batuk atau mengedan
- Mukosa hidung yang rapuh : terdapat infeksi saluran napas atas, pengeringan
mukosa, penggunaan steroid inhalasi melalui hidung
Penyebab epistaksis lainnya adalah adanya benda asing di dalam rongga
hidung, polip hidung, kelainan darah, kelainan pembuluh darah dan tumor pada
daerah nasofaring
WOC
Pedarahan hidung yang terjadi akibat sebab
lokal atau sebab umum(kelainan sistemik)
Posisi Duduk
Posisi Influenza,
Hipertensi,
Terbaring/Terlentang
Tumor Hidung dll
MK : Resiko
Perdarahan (Depan/Belakang)
Perdarahan
Lambung
Paru
2.1.7 Komplikasi
Kematian akibat pendarahan hidung adalah sesuatu yang jarang. Namun, jika
disebabkan kerusakan pada arteri maksillaris dapat mengakibatkan pendarahan
hebat melalui hidung dan sulit untuk disembuhkan. Tindakan pemberian tekanan,
vasokonstriktor kurang efektif. Dimungkinkan penyembuhan struktur arteri
maksillaris (yang dapat merusak saraf wajah) adalah solusi satu-satunya.
Komplikasi yang dapat timbul:
a. Sinusitis
b. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
c. Deformitas (kelainan bentuk) hidung
d. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
e. Kerusakan jaringan hidung infeksi
2.1.8 Penatalaksanaan
2.3.2 Diagnosa
a. Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa
hidung yang rapuh..
b. Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan bersihan jalan nafas tidak
efektif.
c. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
d. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas dan
pengeringan mukosa hidung.
29
2.3.3 Intervensi
a. Diagnosa 1
1) Tujuan: Bersihan jalan nafas menjadi efektif
30
b. Diagnosa 2
1) Tujuan: Cemas klien berkurang/hilang
31
c. Diagnosa 3
1. Tujuan: nyeri berkurang atau hilang
32
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 IDENTITAS KLIEN
Nama : Nn. A
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Tjilik Riwut KM 29
TGL MRS : 11 Oktober 2020
Diagnosa Medis : Epistaksis
Keterangan:
: meninggal
: laki-laki
: perempuan
: pasien
: tinggal serumah
: garis keturunan
6. Persyarafan (Brain)
Nilai GCS E:2 ( terhadap nyeri ), V:3 ( kacau ), M 4 ( menghindari nyeri )
dan total Nilai GCS:15 normal, kesadaran Nn.A somnolen, pupil isokor
tidak ada kelainan, reflex cahaya kanan dan kiri positif.
Hasil dari uji syaraf kranial, saraf kranial I (Olfaktorius): pada
pemeriksaan menggunakan minyak kayu putih dengan mata tertutup
pasien mampu mengenali bau minyak kayu putih tersebut. Saraf
kranial II (Optikus): pasien kurang mampu membaca nama perawat dengan
baik pada saat perawat meminta pasien untuk membaca namanya.
Saraf kranial III (Okulomotor): pasien dapat mengangkat kelopak
matanya dengan baik. Saraf kranial IV (Troklearis): pasien dapat
menggerakkan bola matanya (pergerakan bola mata normal). Saraf
kranial V (Trigeminalis): pada saat pasien makan pasien dapat
mengunyah dengan lancar. Saraf kranial VI (Abdusen): pasien mampu
menggerakan bola matanya ke kiri dan kekanan. Saraf kranial VII
(Fasialis): pasien dapat membedakan rasa manis dan asin. Saraf kranial
VIII (Auditorius): pasien dapat menjawab dengan benar dimana suara
petikan jari perawat kiri dan kanan. Saraf kranial IX (Glosofaringeus):
pasien dapat merasakan rasa asam. Saraf kranial X (Vagus): pada saat
makan pasien dapat mengontrol proses menelan. Saraf kranial XI
(Assesorius): pasien dapat menggerakkan leher dan bahu. Saraf kranial XII
(Hipoglosus): pasien mampu mengeluarkan lidahnya.
Hasil uji koordinasi ekstremitas atas jari ke jari positif, jari ke hidung
positif. Ekstremitas bawah tumit ke jempol kaki, uji kestabilan positif;
pasiendapat menyeimbangkan tubuhnya, refleks bisep dan trisep kanan dan
kiri postif dengan skala 5, refleks brakioradialis kanan dan kiri positif
dengan skala 5, refleks patela kanan dan kiri positif dengan skala 5, refleks
akhiles kanan dan kiri positif dengan skala 5, refleks babinski kanan dan kiri
positif dengan skala 5.
Keluhan Lainya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan : Tidak Ada
6. Eliminasi Uri (Bladder)
Produksi urine 2500 ml dalam 2 hari, warna urine kuning, bau urine berbau
khas dan tidak ada masalah/lancar.
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
7. Eliminasi Alvi (Bowel)
Mulut dan faring bibir lembab, tidak ada karies gigi dan ada yang
berlubang, gusi baik tidak ada perdangan, warna lidah merah agak
kepucatan, mukosa kering, untuk buang air besar (BAB) 2 kali sehari
,kuning lembek dan tidak ada diare, konstipasi (-), Fases berdarah (-),
Kembung (-), bising usus 8x menit/menit, tidak ada benjolan, dan tidak ada
nyeri tekan pada perutnya.
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
8. Tulang – Otot – Integumen (Bone)
Kemampuan pergerakan sendibebas, parese tidak ada, paralise tidak ada,
hemiparese tidak ada, krepitasi tidak ada ,nyeri tidak ada ,kekakuan tidak
ada, flasiditas tidak ada, spastisitas tidak adaukuran ototsimetris
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
9. Kulit-kulit Rambut
Pasien tidak ada riwayat alergi, suhu badan hangat, warna kulit normal,
tugor cukup baik, tekstur halus, tidak ada lesi, tekstur rambut kasar,
distribusi rambut tidak merata bentuk kuku pasien simetris.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
10. Sistem Penginderaan
2. Bahasa sehari-hari
Baik. Pasien dapat bekerja sama dengan perawat dalam pemberian tindakan
5. Orang berarti/terdekat
7. Kegiatan beribadah
Sebelum sakit, pasien selalu menjalankan ibadah
( Armia Silviani )
ANALISA
DATA
2 Ds : peningkatan stresor kurang Deficit pengetahuan
Do : pengetahuan terhadap
- Pasien tampak gelisah penyakitnya
↓
merasakan ketidaknyamanan
atas penyakitnya
PRIORITAS MASALAH
1. Perdarahan berhubungan Setelah dilakukan 1. Kaji keadaaan umum klien 1. Untuk mengetahui perkembangan
dengan tipisnya mukosa tindakan 2. Kaji tanda vital klien kesehatan klien
keperawatan selama 1 × 7 Jam 3. Kaji jumlah perdarahan 2. TTV merupakan acuan untuk
hidung
diharapkan pasien mengalami 4. Kolaborasi dengan dokter terkait melihat progress kondisiiklien
peningkatan kesadaran perdarahan yang keluar dan menentukan intervensi
Dengan kriteria hasil : selanjutnya
- Pasien sadar 3. Perdarahan yang terlalu bayak
- tidak ada perdarahan lagi dapat meyebabkan anemia
- TTV dengan batas normal 4. Proses penyembuhan lebih cepat
2. deficit pengetahuan Setelah diberikan asuhan 1. Observasi tingkat 1. Menegtahui sejauh mana pasien
keperawatan 1 x 7 jam diharapkan
berhubungan dengan pengetahuan pasien memahami dan mengerti tentang
pengetahuan klien meningkat,
kurang terpaparnya dengan kriteria hasil : 2. Ajarkan tehnik menenangkan penyakitnya
informasi 1. Pasien dan keluarga tidak diri 2. Meminimalkan ke khawatiran
tampak gelisah 3. Ajarkan peningkatan koping dan ketakutan terhadap penyakit
4. Berikan pendidikan kesehatan yang di derita
tentang penyakit epistaksis 3. Dengan tehnik menenangkan diri
dapat meredakan kecemasan
pada pasien
4. Dapat membantu pasien untuk
beradaptasi dengan persepsi
stresor dan perubahan yang
menghambat pemenuhan
tuntutan dan peran hidup.
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
40
Hari/Tanggal dan Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan
Jam perawat
11 Oktober 2020 Diagnosa 2 S: Pasien mengatakan ”saya sudah
1. Mengobservasi tingkat pengetahuan mengetahui dan paham tentang penyakit
2020 epistaksis”
Pukul 14.45 wib pasien
2. Mengajarkan tehnik menenangkan diri
O: Armia Silviani
3. Mengajarkan peningkatan koping - Pasien mendapatkan dukungan dari
4. Memberikan pendidikan kesehatan keluarga
tentang penyakit epistaksis - Pasien dapat berkooperatif dengan
perawat
- Pasien tampak memahami tentang
penyakit katarak yang ditandai dengan
pasien dapat menjawab apa yang
ditanyakan oleh perawat seputar
epistaksis.
- Pasien tampak tenang
A: Masalah sudah teratasi
P: Hentikan intervensi
4
GEJALA KLINIS Sumber
Apa itu EPISTAKSIS
(Mimisan)...? Perdarahan
Didapati adanya perdarahan dari
Epistaksis lubang hidung berwarna merah
atau mimisan
merupakan terang
perdarahan Ada riwayat penyebab lokal dan
akut yang sistemik seperti yang telah
berasal dari disebutkan
lubang
Pasien biasa tampak pucat akibat
hidung,
rongga anemia yang disebabkan oleh
hidung atau kehilangan darah yang banyak.
nasofaring.
Penyakit ini disebabkan oleh
kelainan lokal maupun sistemik Epistaksis
yang dapat terjadi pada semua anterior
golongan umur.
Apa
Penyebabnya..?
?
Lokal: Demam kelainan darah, dll
Trauma,
Pahan Perubaha
iritan, n udara, SISTEMIK:
dll
Penyakit kardiovaskular
kelain
,
an
kelainan hormonal,
anato
Obatan,
mi
infeksi istemik,
Tumor
Epistaksis posterior
anemia
Apa itu Penuruna
KOMP n
LIKASI tekanan
nya...?
darah
yang
Pendarahan
hebat: shok mendadak
LEMBAR KONSUL
Nama Mahasiswa : Armia Silviani
Program Studi : S1 Keperawatan
Tingkat / Semester : III A / V
Preseptor Akademik :Rimba Aprianti, S.Kep., Ners
Hari /
TTD TTD
NO Tang Hasil Konsultasi
Preseptor Mahasiswa
gal