LP Dan Askep Epistaksis - Aemia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Nn. A DENGAN DIAGNOSA MEDIS EPISTAKSIS


SISTEM PENGINDERAAN

Oleh :

Nama : Armia Silviani

NIM : 2018.C.10a.0926

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh :


Nama : Armia Silviani
NIM : 2018.C.10a.0926
Program Studi : Sarjana Keperawatan
Judul : Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan
Pada Nn. A Dengan Diagnosa Medis Epistaksis Sistem
Penginderaan.

Telah Melakukan Asuhan Keperawatan Sebagai Persyaratan Untuk


Menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan II Program Studi Sarjana
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1
Keperawata Pembimbing
n Akademik

Meilitha Carolina, Ners,


Rimba Aprianti, S.Kep.,
M.Kep
Ners
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan kasih dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan Laporan ini

dengan judul “Asuhan Keperawatan Epistaksis Pada Nn. A Sistem Penginderaan.”

Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas (PPK 2).

Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Rimba Aprianti, S.Kep.,Nersselaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini.
4. Ibu Meida Sinta Araini, S.Kep.,Ners selaku Koordinator Praktik Pra Klinik
Keperawatan 2.
5. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palangka Raya, 12 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
1.4 Manfaat.......................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit............................................................................. 3
2.1.1Anatomi Fisiologi......................................................................... 3
2.1.2 Definisi ........................................................................................ 10
2.1.3 Etiologi ........................................................................................ 10
2.1.4 Klasifikasi.................................................................................... 10
2.1.5 Patofisiologi(pathway) ................................................................ 15
2.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)....................................... 19
2.1.7 Komplikasi .................................................................................. 20
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang............................................................... 20
2.1.9 Penatalaksanaan Medis ............................................................... 21
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan .................................................. 23
2.3.1 Pengkajian Keperawatan ....................................................... 23
2.3.2 Diagnosa Keperawatan .......................................................... 25
2.3.3 Intervensi Keperawatan ......................................................... 28
2.3.4 Implementasi Keperawatan ................................................... 29
2.3.5 Evaluasi Keperawatan ........................................................... 29
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN............................................................ 30
3.1 Pengkajian ...................................................................................... 30
3.2 Diagnosa......................................................................................... 32
3.3 Intervensi ........................................................................................ 44
3.4 Implementasi ................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian
lebih dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh
terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian
depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga
bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang
cukup besar, antara lain dari arteri sphenopalatina. Epistaksis merupakan
perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada
segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua.
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya
dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat
pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun ke
atas. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan
yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Walaupun kebanyakan kasus yang
terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat
dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius.
Umumnya, laki-laki yang sedikit terkena dibanding wanita sampai usia 50
tahun, tapi setelah 50 tahun tidak ada perbedaan yang signifikan seperti data yang
telah dilaporkan. Epistaksis biasanya dibagi menjadi epistaksis anterior dan
posterior, tergantung pada lokasi asalnya. Epistaksis anterior timbul dari
kerusakan pleksus Kiesselbach pada bagian bawah dari septum hidung anterior,
dikenal sebagai daerah Little, sedangkan epistaksis posterior timbul dari
kerusakan arteri septum nasal posterior.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan pengkajian pada klien dengan epistaksis
2. Apa yang dimaksud dengan intervensi pada klien dengan epistaksis
3. Apa yang dimaksud dengan implemtasi pada klien dengan epistaksis

1
4. Apa yang dimaksud dengan evaluasi pada klien dengan konjungtivitis
vernalis

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengkajian pada klien mengenai pengkajian pada klien
mengenai epistaksis.
1. Untuk mengetahui dengan diagnosa pada klien dengan epistaksis
2. Untuk mengetahui dengan intervensi pada klien dengan epistaksis
3. Untuk mengetahui dengan implemtasi pada klien dengan epistaksis
4. Untuk mengetahui dengan evaluasi pada klien dengan epistaksis

1.3.2 Tujuan Khusus


Untuk memenuhi salah satu tugas PPKI 2

1.4 Manfaat
1.4.1 Untuk Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
epistaksis.
1.4.2 Untuk Klien Dan Keluarga
Klien dan keluarga dapat mengetahui tentang epistaksis.
1.4.3 Untuk Institusi ( Pendidikan dan Rumah Sakit )
Instituasi ( Pendidikan dan RS ) dapat mengembangkan pengetahuan
mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan epistaksis.
1.4.4 Untuk IPTEK
Memberikan informasi dalam pengembangan ilmu keperawatan terutama
dalam keperawatan komunitas yang menjadi masalah kesehatan pada
masyarakat.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1 Anatomi Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung bagian luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur
hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas
ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak
hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os
nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ,
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.
2.1.2 Anatomi Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior.
Gambar 1 - Anatomi Hidung Dalam
(dikutip dari Schlosser RJ, 2013)

1. Septum
nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista
sfenoid.

2. Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
- Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
- Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
- Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial.
- Konka
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas
konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka
keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior,
dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superior dan palatum.
3. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel
-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di
depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya
sinus sfenoid.
4. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara
atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-
sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.

5. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.

6. Nares
Nares terdirio dari anterior dan posterior, nares anterior /lubang hidung,
menghubungkan dunia luar dengan rongga hidung, sedangkan nares posterior atau
koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan
terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya
dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian
atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang iregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-
sel goblet.
Vaskularisasi rongga hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang – cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis
superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Gambar 2 - Vaskularisasi septum dan dinding lateral hidung


(dikutip dari Kucik,CJ, Timothy C, 2005)

Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
[1,2,5]

Fisiologi Hidung
Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang
canggih untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi
penyaringan partikel-partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel
bertingkat torak semu bersilia (pseudostratified ciliated columnar epithelium).
Lapisan hidung, terutama pada konka inferior dan media mengandung lamia
propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan melewati tulang konka
dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat memblok
aliran balik vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.
a. Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
0
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 C. Fungsi pengatur
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
b. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi
hidung untuk membantu indera pencecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan.
c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis
rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis
atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke, dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda
cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang
menyumbat.
d. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

2.1.2 Definisi Epistaksis


Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung
dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior
umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat.
2.1.3 Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh
darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum
nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh
darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab
lokal dan umum atau kelainan sistemik.
1. Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras,
atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau
kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat
menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior.
Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa
konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.
Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan
terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan
erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. Benda asing
yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal, misalnya pada
pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada
mukosa hidung. Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis.
Jika perdarahan disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa, biasanya
perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa.
Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena
pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan
pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.

Gambar 3 - Epistaksis pada pasien neoplasma


(dikutip dari Kucik,CJ, Timothy C, 2005)
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia / Osler's
disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease.
Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh
darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan. Jika ada cedara jaringan, terjadi
kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah
melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat
permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh
sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.

Gambar 4 - Osler’s Disease


(dikutip dari Kucik,CJ, Timothy C, 2005)
e. Deviasi Septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu
dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan
terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh
trauma yang sangat ringan seperti menggosok-gosok hidung.
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat
menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang
kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi
mukosa nasal, selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat
korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah.

2. Sistemik
a. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah
bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan
melepaskan serotonin dan tromboksan A (prostaglandin), hal ini
menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada
awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit
membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen
dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit.
Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain,
sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari
150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan
memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di
seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan
trombositopenia. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter
yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur
intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau
defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B).
Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya
secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. Leukemia adalah jenis penyakit
kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum
tulang (bone marrow). Sumsum tulang dalam tubuh manusia
memproduksi tiga tipe sel darah, diantaranya sel darah putih (berfungsi
sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi
membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah
yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi
peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan
atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang
termasuk trombosit, sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang
menyebabkan perdarahan mudah terjadi. Obat-obatan seperti terapi
antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi
epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan
menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan
mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada
dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses
pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan.
Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis.

b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak
baik.
o Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis
sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan
pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang
kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
o Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari
pembuluh darah.
c. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin,
faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis, fungsi sintesis
protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga mudah terjadi perdarahan yang dapat menyebabkan
epistaksis pada penderita sirosis hepatis.
d. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang menyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa
lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi
lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus.

e. Infeksi akut (Demam berdarah)


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticuloendothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam
berdarah.
f. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh
termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan
akhirnya terjadinya epistaksis.
g. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi
epistaksis.
2.1.4 Patofisiologi

Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian


depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga
bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang
cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak.
Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti
sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

Gambar 5 - Epistaksis anterior


(dikutip dari Schlosser RJ, 2013)

2. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid


posterior yang disebut pleksus Woodruff’s. Perdarahan cenderung lebih
berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia,
hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
[5,7,8,]
kardiovaskular.
Gambar - Epistaksis posterior
(dikutip dari Schlosser RJ, 2013)

Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir
keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat
belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung
dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior
umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis (mimisan) pada anak-anak umumnya berasal dari little’s
area/pleksus kiesselbach yang berada pada dinding depan dari septum hidung.
Dua faktor yang paling penting dari epistaksis pada anak-anak adalah :
- Trauma minor : mengorek hidung, menggaruk, bersin, batuk atau mengedan
- Mukosa hidung yang rapuh : terdapat infeksi saluran napas atas, pengeringan
mukosa, penggunaan steroid inhalasi melalui hidung
Penyebab epistaksis lainnya adalah adanya benda asing di dalam rongga
hidung, polip hidung, kelainan darah, kelainan pembuluh darah dan tumor pada
daerah nasofaring
WOC
Pedarahan hidung yang terjadi akibat sebab
lokal atau sebab umum(kelainan sistemik)

Epistaksis Anterior Epistaksis Posterior

Trauma Minor Sistemik

Mukosa hidung yg rapuh Tekanan vaskuler Hipertensi,


benda asing, dll meningkat influenza,tumor
hidung, dll

Fleksus Kiesselbach MK : Nyeri Arteri


Akut Sfenopalatina

Posisi Duduk
Posisi Influenza,
Hipertensi,
Terbaring/Terlentang
Tumor Hidung dll

MK : Resiko
Perdarahan (Depan/Belakang)
Perdarahan

Lewat Hidung Masuk Tenggorokan

Lambung
Paru

Mual /Muntah Darah Darah Menumpuk MK :


di Faring Ketidakefekti
fan bersihan
MK : Ansietas jalan nafas
Kematian
2.1.5 Manifestasi Klinik
Perdarahan dari hidung, gejala yang lain sesuai dengan etiologi yang
bersangkutan.
Epitaksis berat, walaupun jarang merupakan kegawatdaruratan yang
dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal jika tidak
cepat ditolong. Sumber perdarahan dapat berasal dari depan hidung maupun
belakang hidung. Epitaksis anterior (depan) dapat berasal dari pleksus kiesselbach
atau dari a. etmoid anterior. Pleksus kieselbach ini sering menjadi sumber
epitaksis terutama pada anak-anak dan biasanya dapat sembuh sendiri.

Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa


perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
Epitaksis posterior (belakang) dapat berasal dari a. sfenopalatina dan a.
etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti sendiri. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit jantung. Pemeriksaan yang diperlukan adalah darah Lengkap dan fungsi
hemostasis.

2.1.7 Komplikasi
Kematian akibat pendarahan hidung adalah sesuatu yang jarang. Namun, jika
disebabkan kerusakan pada arteri maksillaris dapat mengakibatkan pendarahan
hebat melalui hidung dan sulit untuk disembuhkan. Tindakan pemberian tekanan,
vasokonstriktor kurang efektif. Dimungkinkan penyembuhan struktur arteri
maksillaris (yang dapat merusak saraf wajah) adalah solusi satu-satunya.
Komplikasi yang dapat timbul: 
a. Sinusitis
b. Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
c. Deformitas (kelainan bentuk) hidung
d. Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
e. Kerusakan jaringan hidung infeksi
2.1.8 Penatalaksanaan

Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC


a. airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk
menunduk
b. breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau
keluarkan darah yang  mengalir ke belakang tenggorokan
c. circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah
tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat
gangguan sirkulasi

kemudian perawatan berlanjut :


a. hentikan perdarahan
1) tekan pada bagian depan hidung selama 10 menit
2) tekan hidung antara ibu jari dan jari telunjuk
3) jika perdarahan berhenti tetap tenang dan coba cari tahu apa faktor
pencetus epistaksis dan hindari
b. jika perdarahan berlanjut :
1) dapat akibat penekanan yang kurang kuat
2) bawa ke fasilitas yang lengkap dimana dapat diidentifikasi lokasi
perdarahan
3) dapat diberikan vasokonstriktor (adrenalin 1:10.000, oxymetazolin-
semprot hidung) ke daerah perdarahan
4) apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia
(perak nitrat) atau pemasangan tampon hidung,
Pemasangan tampon hidung anterior dilakukan dapat menggunakan
kapas yang ditetesi oleh obat-obatan vasokonstriktor (adrenalin),
anastesia (lidocain atau pantocain 2%) dan salap antibiotik/vaselin atau
menggunakan kassa yang ditetesi dengan obat vasokonstriktor dan
anastesia dan salap antibiotik/vaselin.
Apabila terdapat keadaan dimana terjadi tampat perdarahan yang
multipel, perembesan darah yang luas/difus maka diperlukan
pemeriksaan profil darah tepi lengkap, protrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), golongan darah dan
crossmatching.

Pedoman lain menjelaskan diberikan tampon kapas yang telah


dibasahi dengan adrenalin
1:10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga
hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat
tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit. Dengan cara ini
dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau
posterior. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan kearah septum selama beberapa menit (metode Trotter). Penelitian
lain mengatakan bahwa pemakaian topikal oxymetazoline spray dapat
menghentikan perdarahan pada 65% pasien epistaksis di ruang
emergensi.Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical
vasokonstriktor membutuhkan tindakan kauterisasi. Setelah mempersiapkan
hidung untuk di anastesi dan pemberian dekongestan, kauterisasi kimia (chemical
cautery) dengan mengunakan silver nitrate dapat dikerjakan. Hanya satu sisi
septum yang dikauterisasi pada satu waktu agar menurunkan resiko perforasi
septum iatrogenik. Kauterisasi kimia dapat dilakukan pada epistaksis dengan
perdarahan ringan aktif atau setelah perdarahan aktif yang telah berhenti dan
sumber perdarahan telah teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi
bilateral, penanganannya harus dilakukan terpisah 4-6 minggu agar terjadi
penyembuhan mukosa terlebih dahulu. Epistaksis berat yang tidak berespon
[8,11,12]
dengan kauterisasi kimia memerlukan kauterisasi elektrikal.
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4%
topikal dengan epinefrin 1:100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan
penilefrin 0,5 %. 10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan
selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.
Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak
nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan
larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber
perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna
kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan
pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain
menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser. Yang (2005)
menggunakan elektrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya. Apabila
perdarahan masih berlanjut walaupun setelah dilakukan tindakan diatas,
diperlukan pemasangan anterior nasal pack / tampon hidung anterior. Produk
packing tradisional mengandung materi yang non-degradasi seperti kasa yang
dilapisi jeli petroleum, spons yang terbuat dari hydroxylated polyvinyl
acetate yang akan mengembang apabila basah (Merocel, Medtronic), dan
inflatable pack dilapisi hydrocolloid yang masih kontak dengan mukosa setelah
bagian tengah pack yang telah mengempis dan dibuang (Rapid Rhino,
ArthroCare). Tampon- tampon ini dipakai selama 1-3 hari sebelum dilepas.
Pemasangan anteriornasal packing / tampon hidung anterior harus
dilakukan dengan hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps bayonet dan
spekulum nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam mungkin pada
kavum nasi. Setiap lipatan harus di tekan
sebelum lembaran baru tambahkan
diatasnya. Setalah cavun nasi tersisi
dengan kasa, ujung kasa dapat
ditempelkan diatas lubang hidung dan di
ganti berkala. Selain mengunakan kasa
untuk anteriornasal packing, dapat juga di
gunakan spons (Merocel atau Doyle
Sponge). Tampon dimasukan dengan hati-
hati pada dasar cavum nasi karena akan
mengembang apabila terkena darah atau
cairan lain. Pemberian jel lubrikan pada
ujung tampon mempermudah pemasangan.
Setelah tampon terpasang, tetesi tampon
dengan sedikit cairan vasokonstriktor
untuk mempercepat perhentian
perdarahan. Tetesi saline kedalam lubang
hidung agar tampon dapat mengembang
sempurna. Tampon dapat dilepas setelah
3-5 hari terpasang dengan memastikan
telah terjadi formasi pembekuan darah
yang adekuat. Komplikasi dari
pemasangan nasal packing ini adalah
Gambar 9 - Anterior Nasal
Packing / Tampon Hidung Anterior (dikutip dari Kucik,CJ, Timothy C,2005)
hematoma septum dan abses dari trauma packing, sinusitis, singkop neurogenic selama
pemasangan, dan nekrosis jaringan
karena penekanan dari tampon itu sendiri.
Karena adanya kemungkinan terjadi sindrom syok toksik pada pemasangan
tampon yang lama, pemberian salep antibiotik topikal pada tampon diperlukan.
Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya
ditangani oleh dokter spesialis. Posterior nasal packing atau tampon posterior
dilakukan dengan memasukkan kateter melalui salah satu lubang hidung atau
keduanya ke nasofaring dan keluar melalui mulut. Tampon kasa dikaitkan diujung
kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari hidung
sehingga tampon kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran rogga
hidung posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan.
Prosedur ini memerlukan keterampilan khusus dan biasanya dilakukan oleh dokter
spesialis. Semua pasien dengan tampon posterior ini harus dilakukan monitoring
di rumah sakit.

Gambar 10 - Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior


(dikutip dari Kucik,CJ, Timothy C,2005)

Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarah posterior dan


menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan prosedur
packing. Konsepnya tetap sama, dengan memasukkan udara atau cairan kedalam
balon, balon akan mengembang dan memberikan penekanan pada dinding lateral
hidung dan septum. Tipe terbaru dari balon nasal adalah double balloon,
gabungan dari balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan untuk tetap
berada di tempatnya setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal
dapat memberikan jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya. Ada
dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang
khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan.
Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter
Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di
nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley
ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika
dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu,
kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter
difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan
pemasangan tampon posterior. Sama seperti anterior nasal packing, nekrosis
jaringan dapat terjadi pada pemasangan posterior nasal packing yang salah
maupun pada pemasangan balon yang dikembangkan berlebihan.

Gambar 11 - Double Balloon Gambar 12 - Perbandingan Double


(dikutip dari Kucik,CJ, Timothy Balloon sebelum dan sesudah di
C,2005) kembangkan
(dikutip dari Kucik,CJ, Timothy
C,2005
Ketika tindakan konservatif gagal untuk menghentikan perdarahan,
embolisasi atau ligasi pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat
melakukan embolisasi pada cabang distal dari arteri maxillaris interna dan arteri
sphenopalatina untuk epistaksis posterior. Resiko terjadinya komplikasi mayor
seperti stroke, paralisis wajah, kebutaan, atau neuropati berhubungan dengan
administrasi material kontras adalah sebesar 4%. Komplikasi minor seperti
hematoma terjadi 10% dari kasus. Sedangkan angka kesuksesan dari kebanyakan
kasus adalah 80-90%.Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis
perdarahan adalah dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian
proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit
untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat
atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang menyuplai darah ke
mukosa hidung.
Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi a. karotis eksterna.
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi
horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir
anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma di
elevasi, m. Sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi
diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi
bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk
melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis
berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna
diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.
Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu
dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah
dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan
menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial
untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang,
lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope pada
daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak
25
arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi
dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar
electrocauter dan nervehook. Setelah a. Maksila interna diidentifikasi, arteri ini
diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap
antibiotik selama 24 jam. Pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna.
Plane of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal
dibuang, dan identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid
mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila
interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna
apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena trauma
sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak
lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih
memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini
adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan.
Shah (2005) menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine
untuk mengatasi epistaksis posterior.
Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik
diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi
dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan
posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior
berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen
etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. Sebelah anterior n. optikus. Insisi
etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan
untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan
disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem
arteri diletakkan pada a. Etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi
kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk
menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis
posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk
menghindari trauma.

Angiografi dan Embolisasi


26
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan
pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk
epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan
angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan
penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter,
epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan
penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi
a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan
ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri.
Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada
wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk
embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering
digunakan. Walaupun teknik ini masih kontroversi, ada kesepakatan
bahwaembolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal
dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.Epistaksis anterior yang gagal pada
kausterisasi ataupun packing jarang terjadi, tetapi intervensi bedah terkadang
dibutuhkan. Embolisasi pada arteri etmoidalis anterior dan posterior jarang
dilakukan karena adanya resiko kanulasi dari arteri karotis interna yang mana
meningkatkan resiko terjadinya strok, atau pada arteri ophtalmika yang
mana meningkatkan risiko terjadinya kebutaan. Kebanyakan otolaringologis
melakukan ligasi eksternal dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior melalui
insisi kecil di medial alis mata dan melakukan kauter bipolar atau mengklem
pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut keluar dari foramen etmoidalis
anterior dan posterior. Dengan begitu resiko stroke dan kebutaan dapat di
minimalisir. Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung
penting untuk diperhatikan agar menghindari rekurensi. Pemberian gel topikal,
lotion, dan salep dapat melembabkan mukosa dan mempercepat penyembuhan.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya
untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap.
b. Fungsi hemostatis
27
c. EKG
d. Tes fungsi hati dan ginjal
e. Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
f. CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.

2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian Keperawatan
a. Biodata
Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
b. Riwayat penyakit sekarangRiwayat kesehatan masa lalu
1) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
2) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
3) Pernah menedrita sakit gigi geraham
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
d. Riwayat psikososial
1) Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
2) Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
e. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
2) Pola nutrisi dan metabolisme
biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung
3) Pola istirahat dan tidur
selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering
pilek
4) Pola Persepsi dan konsep diri
klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri
menurun
28
5) Pola sensorik
daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek
terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
f. Pemeriksaan fisik
1) status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
2) Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan
bengkak).

2.3.2 Diagnosa
a. Perdarahan spontan berhubungan dengan trauma minor maupun mukosa
hidung yang rapuh..
b. Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan bersihan jalan nafas tidak
efektif.
c. Cemas berhubungan dengan perdarahan yang diderita.
d. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas dan
pengeringan mukosa hidung.

29
2.3.3 Intervensi
a. Diagnosa 1
1) Tujuan: Bersihan jalan nafas menjadi efektif

No. Kriteria Intervensi Rasional


1 Frekuensi nafas Mandiri 1. Penurunan bunyi nafas
normal, tidak ada 1. Kaji bunyi atau dapat menyebabkan
suara nafas kedalaman pernapasan atelektasis, ronchi dan
tambahan, tidak dan gerakan dada. wheezing menunjukkan
menggunakan otot 2. Catat kemampuan akumulasi sekret
pernafasan mengeluarkan 2. Sputum berdarah kental
mukosa/batuk efektif atau cerah dapat
tambahan, tidak
3. Berikan posisi fowler diakibatkan oleh kerusakan
terjadi dispnoe dan
atau semi fowler tinggi paru atau luka bronchial
sianosis.
4. Bersihkan sekret dari 3. Posisi membantu
mulut dan trakea memaksimalkan ekspansi
5. ertahankan masuknya paru dan menurunkan
cairan sedikitnya upaya pernafasan
sebanyak 250 ml/hari 4. Mencegah
kecuali kontraindikasi obstruksi/aspirasi
Kolaborasi 5. Membantu pengenceran
6. Berikan obat sesuai secret
dengan indikasi 6. Mukolitik untuk
mukolitik, ekspektoran, menurunkan batuk,
bronkodilator ekspektoran untuk
membantu memobilisasi
sekret, bronkodilator
menurunkan spasme
bronkus dan analgetik
diberikan untuk
menurunkan
ketidaknyamanan

30
b. Diagnosa 2
1) Tujuan: Cemas klien berkurang/hilang

No Kriteria Intervensi Rasional


.
1 Klien akan 1. Kaji tingkat kecemasan klien i. Menentukan tindakan
menggambarkan 2. Berikan kenyamanan dan selanjutnya
tingkat kecemasan dan ketentaraman pada klien : ii. Memudahkan penerimaan
pola kopingnya dan - Temani klien klien terhadap informasi yang
Klien mengetahui dan - Perlihatkan rasa empati( datang dengan diberikan
mengerti tentang menyentuh klien ) iii. Meningkatkan pemahaman
penyakit yang 3. Berikan penjelasan pada klien klien tentang penyakit dan
dideritanya serta tentang penyakit yang dideritanya terapi untuk penyakit tersebut
pengobatannya perlahan, tenang seta gunakan sehingga klien lebih kooperatif
kalimat yang jelas, singkat mudah iv. Dengan menghilangkan
dimengerti stimulus yang mencemaskan
4. Singkirkan stimulasi yang akan meningkatkan
berlebihan misalnya : ketenangan klien.
-  Tempatkan klien diruangan yang v. Mengetahui perkembangan
lebih tenang klien secara dini.
- Batasi kontak dengan orang lain vi. Obat dapat menurunkan
/klien lain yang kemungkinan tingkat kecemasan klien
mengalami kecemasan
5. Observasi tanda-tanda vital.
6. Bila perlu , kolaborasi dengan tim
medis

31
c. Diagnosa 3
1. Tujuan: nyeri berkurang atau hilang

No Kriteria Intervensi Rasional


.
1 Klien 1. Kaji tingkat nyeri klien 1. Mengetahui tingkat
mengungkapakan 2. Jelaskan sebab dan nyeri klien dalam
nyeri yang akibat nyeri pada klien menentukan tindakan
dirasakan serta keluarganya selanjutnya
berkurang atau 3. Ajarkan tehnik 2. Dengan sebab dan
hilang dan Klien relaksasi dan distraksi akibat nyeri diharapkan
tidak menyeringai 4. Observasi tanda tanda klien berpartisipasi
kesakitan vital dan keluhan klien dalam perawatan untuk
5. Kolaborasi dngan tim mengurangi nyeri
medis 3. Klien mengetahui
- Terapi konservatif : tehnik distraksi dan
a. obat relaksasi sehinggga
Acetaminopen; dapat
Aspirin, mempraktekkannya
dekongestan bila mengalami nyeri
hidung 4. Mengetahui keadaan
umum dan
perkembangan kondisi
klien.
5. Menghilangkan
/mengurangi keluhan
nyeri klien

32
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Berdasarkan hasil pengkajian sistem penginderaan pada tanggal 11 Oktober


2020, jam 14.30 wib didapatkan hasil :

3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 IDENTITAS KLIEN
Nama : Nn. A
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Tjilik Riwut KM 29
TGL MRS : 11 Oktober 2020
Diagnosa Medis : Epistaksis

3.1.2 RIWAYAT KESEHATAN/PERAWATAN


1. Keluhan Utama
Guru klien mengatakan ‘Nn.A pingsaan dengan keluar darah dari
hidungnya setelah upacara bendera”
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 11 Oktober 2020, Nn.A
usia 14 tahun tahun dengan keluhan tiba-tiba pingsan setelah
melaksanakan upacara bendera dengan keluar darah pada hidung.
3. Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Ibu klien mengatakan bahwa sebulan yang lalu anaknya juga pingsan
dengan keluar darah dihidungnya setelah upacara bendera..
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit keluarga seperti
penyakit jantung, asma dan DM.
Gambar Genogram Keluarga

Keterangan:
: meninggal
: laki-laki
: perempuan
: pasien
: tinggal serumah
: garis keturunan

3.1.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum
Klien tampak gelisah, kesadaran compos mentis TD : 100/70 mmhg N : 85
o
x/menit RR :20x/menit S : 36, C . Masih menggunakan pakaian lengkap
seragam sekolah
2. Status Mental
Tingkat kesadaran somnolen, Ekspresi wajah lemas, Bentuk badan
semetris,Cara Berbaring/Bergerak Terlentang,.
 Orientasi Waktu : Pasien dapat membedakan waktu Pagi,
Siang dan malam
 Orientasi Orang : Pasien dapat mengenali keluarganya dan
petugas kesehatan
 Orientasi Tempat : Pasien mengetahui bahwa dia di rawat
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
3. Tanda-tanda Vital
Pada saat melakuakan pengkajian pada pasien Nn.A dengan tanda – tanda
vital
o
a. Suhu/T : 36. C Axilla
b. Nadi/HR : 85 x/menit
c. Pernapasan/RR : 20 x/menit
d. Tekanan Darah/BP : 100/70 mmHg
4. Pernapasan (Breathing)
Bentuk Dada Simetris , Kebiasaan Merokok tidak ada , Batuk Berdahak
tidak ada, Sianosis Tidak Ada , , tipe pernapasan menggunakan dada dan
perut, irama pernafasan teratur.
Keluhan Lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan : Tidak ada
5. Cardiovasculer (Bleeding)
Pada saat melakuakan pengkajian pada pasien Ny. J sistem pengindraan di
daerah kardiaovaskuler tidak ada nyeri, capillary refill time > 2 detik, tidak
ada, ictus cordis tidak terlihat, vena jugularis tidak meningkat, suara jantung
Lup Dup
Keluhan Lainnya :
Masalah Keperawatan :

6. Persyarafan (Brain)
Nilai GCS E:2 ( terhadap nyeri ), V:3 ( kacau ), M 4 ( menghindari nyeri )
dan total Nilai GCS:15 normal, kesadaran Nn.A somnolen, pupil isokor
tidak ada kelainan, reflex cahaya kanan dan kiri positif.
Hasil dari uji syaraf kranial, saraf kranial I (Olfaktorius): pada
pemeriksaan menggunakan minyak kayu putih dengan mata tertutup
pasien mampu mengenali bau minyak kayu putih tersebut. Saraf
kranial II (Optikus): pasien kurang mampu membaca nama perawat dengan
baik pada saat perawat meminta pasien untuk membaca namanya.
Saraf kranial III (Okulomotor): pasien dapat mengangkat kelopak
matanya dengan baik. Saraf kranial IV (Troklearis): pasien dapat
menggerakkan bola matanya (pergerakan bola mata normal). Saraf
kranial V (Trigeminalis): pada saat pasien makan pasien dapat
mengunyah dengan lancar. Saraf kranial VI (Abdusen): pasien mampu
menggerakan bola matanya ke kiri dan kekanan. Saraf kranial VII
(Fasialis): pasien dapat membedakan rasa manis dan asin. Saraf kranial
VIII (Auditorius): pasien dapat menjawab dengan benar dimana suara
petikan jari perawat kiri dan kanan. Saraf kranial IX (Glosofaringeus):
pasien dapat merasakan rasa asam. Saraf kranial X (Vagus): pada saat
makan pasien dapat mengontrol proses menelan. Saraf kranial XI
(Assesorius): pasien dapat menggerakkan leher dan bahu. Saraf kranial XII
(Hipoglosus): pasien mampu mengeluarkan lidahnya.
Hasil uji koordinasi ekstremitas atas jari ke jari positif, jari ke hidung
positif. Ekstremitas bawah tumit ke jempol kaki, uji kestabilan positif;
pasiendapat menyeimbangkan tubuhnya, refleks bisep dan trisep kanan dan
kiri postif dengan skala 5, refleks brakioradialis kanan dan kiri positif
dengan skala 5, refleks patela kanan dan kiri positif dengan skala 5, refleks
akhiles kanan dan kiri positif dengan skala 5, refleks babinski kanan dan kiri
positif dengan skala 5.
Keluhan Lainya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan : Tidak Ada
6. Eliminasi Uri (Bladder)
Produksi urine 2500 ml dalam 2 hari, warna urine kuning, bau urine berbau
khas dan tidak ada masalah/lancar.
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
7. Eliminasi Alvi (Bowel)
Mulut dan faring bibir lembab, tidak ada karies gigi dan ada yang
berlubang, gusi baik tidak ada perdangan, warna lidah merah agak
kepucatan, mukosa kering, untuk buang air besar (BAB) 2 kali sehari
,kuning lembek dan tidak ada diare, konstipasi (-), Fases berdarah (-),
Kembung (-), bising usus 8x menit/menit, tidak ada benjolan, dan tidak ada
nyeri tekan pada perutnya.
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
8. Tulang – Otot – Integumen (Bone)
Kemampuan pergerakan sendibebas, parese tidak ada, paralise tidak ada,
hemiparese tidak ada, krepitasi tidak ada ,nyeri tidak ada ,kekakuan tidak
ada, flasiditas tidak ada, spastisitas tidak adaukuran ototsimetris
Keluhan Lainnya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
9. Kulit-kulit Rambut
Pasien tidak ada riwayat alergi, suhu badan hangat, warna kulit normal,
tugor cukup baik, tekstur halus, tidak ada lesi, tekstur rambut kasar,
distribusi rambut tidak merata bentuk kuku pasien simetris.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
10. Sistem Penginderaan

Pada saat pengkajian ditemukan Pengembunan seperti mutiara keabuan


pada kedua pupil mata. Penurunan ketajaman penglihatan fungsi ,
pendengaran klien baik, bentuk hidung simetris, tidak ada lesi, tidak ada
patensi, tidak ada obstruksi, tidak ada kelainan pada cavum nasal dan septum
nasal, dan tidak ada polip. Keluhan Lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan : Gangguan persepsi sensori : penglihatan
11. Leher dan Kelenjar Limfe
Tidak terdapat adanya massa, jaringan parut tidak ada, kelenjar limfe tidak
teraba, kelenjar tyroid tidak teraba, mobilitas leher bebas.
3.1.4 POLA FUNGSI KESEHATAN
1. Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit:
Pasien mengatakan sehat itu penting, dimana saya dapat beraktivitas secara
mandiri semetara jika saya sakit saya tidak bisa beraktivitas secara mandiri,
dan pasien mengatakan ingin cepat pulang.
2. Nutrisida Metabolisme
TB : 148 cm
BB sekarang : 58Kg
BB sebelum sakit:59 Kg
Diet:
 Biasa  Cair  Saring  Lunak
Diet Khusus:
 Rendah garam  Rendah kalori  TKTP
Rendah lemak  Rendah purin  Lainnya: Tidak Ada
 Mual
 Muntah - kali/hari
Kesukaran menelan  Ya  Tidak
Keluhan Lainnya: Tidak ada
Pola Makan Sehari-hari Sesudah Sakit Sebelum Sakit
Frekuensi/hari 3x1 sehari 3x1 sehari
Porsi 1 porsi 1 porsi
Nafsu makan Baik Baik
Jenis makanan Nasi, sayur, lauk, buah Nasi, sayur, lauk
Jenis minuman Air putih dan susu Air putih
Jumlah minuman/cc/24 jam ± 650cc ± 700cc
Kebiasaan makan Pagi, siang, malam Pagi, siang, malam
Keluhan/masalah Tidak Ada Tidak Ada

Masalah Keperawatan: Tidak Ada


3. Pola istirahat dan tidur:
Pasien tampak agak susah tidur.
Pola tidur malam: 4 jam (Selama sakit)
8 jam (Sebelum sakit)
Pola tidur siang: 30menit(Selama sakit)
30 menit(Sebelum sakit)
Masalah Keperawatan:
4. Kognitif:
Pasien tidak mengetahui tentang penyakit yang di deritanya dan baru
pertama kali mengalami penyakit seperti ini
Masalah Keperawatan : Kurang pengetahuan
5. Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran):
Gambaran diri : Pasien dapat menerima kekurangannya sekarang
Ideal diri : Pasien ingin cepat sembuh
Identitas diri : Pasien seseorang perempuan
Harga diri : Pasien sangat diperhatikan oleh keluarga
Peran diri : Pasien adalah seorang ibu rumah tangga
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
6. Aktivitas Sehari-hari
Pasien dapat beraktivitas seperti biasanya tetapi tidak bisa terlalu banyak
gerak di karenakan kondisi pasien masih lemas untuk aktivitas pasien
mampu untuk ke kamar mandi sendiri.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada
7. Koping-Toleransi terhadap stress
Pasien Mengatakan bila ada masalah pasien berbicara kepada suami dan
keluarganya
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
8. Nilai Pola Keyakinan
Pasien meyakini agamanya sendiri.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.5 SOSIAL – SPIRITUAL
1. Kemampuan berkomunikasi

Pasien mampu berkomunikasi dengan baik

2. Bahasa sehari-hari

Bahasa Dayak dan Indonesia.

3. Hubungan dengan keluarga

Baik dan harmonis.

4. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain

Baik. Pasien dapat bekerja sama dengan perawat dalam pemberian tindakan

keperawatan. Hubungan dengan teman dan orang lain juga baik.

5. Orang berarti/terdekat

Suami dan keluarga.

6. Kebiasaan menggunakan waktu luang

Sebelum sakit, pasien selalu bersama keluarga.

Sesudah sakit, pasien hanya berbaring ditempat tidur.

7. Kegiatan beribadah
Sebelum sakit, pasien selalu menjalankan ibadah

3.1.6 DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATORIUM, DAN


DATA PENUNJANG LAINNYA)
1. Tabel pemeriksaan laboratorium
Parameter Hasil Nilai Normal
Natrium (Na) 133 135 – 148 mmol/L
Kalium (K) 3,5 3,5 – 5,3 mmol/L
Calsium (Ca) 0,9 0,95 – 1,2 mmol/L
3.1.7 PENATALAKSANAAN MEDIS
Terapi Obat Dosis Rute Indikasi
Inj. Cefrtadizime 2 x 1 gr IV Digunakan untuk mengobati
infeksi bakteri
Inj. Ketorolak 3 x 30 mg IV Digunakan untuk mengurangi
rasa nyeri

Palangka Raya, 11 Oktober 2020


Mahasiswa

( Armia Silviani )
ANALISA
DATA

No DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH


DATA OBYEKTIF PENYEBAB
1 Ds : - Perdarahan hidung akibat Perdarahan
kelainan sistemik
DO: ↓
-k/u klien tampak lemas Epitaksis posterior/anterior
-Tidak ada luka jejas ditubuh ↓
-tampak perdarahan keluar dari Sistemik/trauma minor
hidung ↓
-GCS E2V3M4 mukosa hidung yang rapuh
-kesadaran somnolen ↓

 
2 Ds : peningkatan stresor kurang Deficit pengetahuan
Do : pengetahuan terhadap
       - Pasien tampak gelisah penyakitnya

merasakan ketidaknyamanan
atas penyakitnya
PRIORITAS MASALAH

1. Perdarahan berhubungan dengan tipisnya mukosa hidung


2. deficit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
keadaan klien
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien : Nn. A
Ruang Rawat : Sistem Penginderaan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1. Perdarahan berhubungan Setelah dilakukan 1. Kaji keadaaan umum klien 1. Untuk mengetahui perkembangan
dengan tipisnya mukosa tindakan 2. Kaji tanda vital klien kesehatan klien
keperawatan selama 1 × 7 Jam 3. Kaji jumlah perdarahan 2. TTV merupakan acuan untuk
hidung
diharapkan pasien mengalami 4. Kolaborasi dengan dokter terkait melihat progress kondisiiklien
peningkatan kesadaran perdarahan yang keluar dan menentukan intervensi
Dengan kriteria hasil : selanjutnya
- Pasien sadar 3. Perdarahan yang terlalu bayak
- tidak ada perdarahan lagi dapat meyebabkan anemia
- TTV dengan batas normal 4. Proses penyembuhan lebih cepat

2. deficit pengetahuan Setelah diberikan asuhan 1. Observasi tingkat 1. Menegtahui sejauh mana pasien
keperawatan 1 x 7 jam diharapkan
berhubungan dengan pengetahuan pasien memahami dan mengerti tentang
pengetahuan klien meningkat,
kurang terpaparnya dengan kriteria hasil : 2. Ajarkan tehnik menenangkan penyakitnya
informasi 1. Pasien dan keluarga tidak diri 2. Meminimalkan ke khawatiran
tampak gelisah 3. Ajarkan peningkatan koping dan ketakutan terhadap penyakit
4. Berikan pendidikan kesehatan yang di derita
tentang penyakit epistaksis 3. Dengan tehnik menenangkan diri
dapat meredakan kecemasan
pada pasien
4. Dapat membantu pasien untuk
beradaptasi dengan persepsi
stresor dan perubahan yang
menghambat pemenuhan
tuntutan dan peran hidup.
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Nama Pasien : Ny. J


Ruang Rawat : Sistem Penginderaan

Hari/Tanggal dan Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan


Jam perawat
11 September Diagnosa 1 S : Pasien mengatakan “masih lemas”
1. Mengkaji keadaaan umum klien O:
2020
2. Mengkaji tanda vital klien -Klien tampak berbaring
Pukul 14.30 wib - aktifitas yang dilakukan klien tampak
ringan dan terkadang dibantu keluarga
Tanda vital klien Armia Silviani
TD : 100/70 mmHg
N: 85 x/m
R :20x/m
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi di lanjutkan

40
Hari/Tanggal dan Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan
Jam perawat
11 Oktober 2020 Diagnosa 2 S: Pasien mengatakan ”saya sudah
1. Mengobservasi tingkat pengetahuan mengetahui dan paham tentang penyakit
2020 epistaksis”
Pukul 14.45 wib pasien
2. Mengajarkan tehnik menenangkan diri
O: Armia Silviani
3. Mengajarkan peningkatan koping - Pasien mendapatkan dukungan dari
4. Memberikan pendidikan kesehatan keluarga
tentang penyakit epistaksis - Pasien dapat berkooperatif dengan
perawat
- Pasien tampak memahami tentang
penyakit katarak yang ditandai dengan
pasien dapat menjawab apa yang
ditanyakan oleh perawat seputar
epistaksis.
- Pasien tampak tenang
A: Masalah sudah teratasi
P: Hentikan intervensi

4
GEJALA KLINIS Sumber
Apa itu EPISTAKSIS
(Mimisan)...? Perdarahan
Didapati adanya perdarahan dari
Epistaksis lubang hidung berwarna merah
atau mimisan
merupakan terang
perdarahan Ada riwayat penyebab lokal dan
akut yang sistemik seperti yang telah
berasal dari disebutkan
lubang
Pasien biasa tampak pucat akibat
hidung,
rongga anemia yang disebabkan oleh
hidung atau kehilangan darah yang banyak.
nasofaring.
Penyakit ini disebabkan oleh
kelainan lokal maupun sistemik Epistaksis
yang dapat terjadi pada semua anterior
golongan umur.

Apa
Penyebabnya..?
?
Lokal:  Demam  kelainan darah, dll
 Trauma, 
 Pahan Perubaha
iritan, n udara, SISTEMIK:
 dll
 Penyakit kardiovaskular
kelain
,
an
 kelainan hormonal,
anato
 Obatan,
mi
 infeksi istemik,
 Tumor
Epistaksis posterior
 anemia

Apa itu Penuruna
KOMP n
LIKASI tekanan
nya...?
darah
 yang
Pendarahan
hebat: shok mendadak

Penanganan Penangan di Rumah hidung bagian depan selama tiga


menit. Selama pemencetan
segera di Sakit sebaiknya bernapas melalui mulut.
Perdarahan ringan biasanya akan
ru Berikan posisi duduk, bila kondisi berhenti dengan cara ini. Lakukan
lemah dapat di baringkan dengan
m meletakkan bantal di belakang
hal yang sama jika terjadi
perdarahan berulang,
ah punggung digunakan kompres es untuk
Membersihkan/mengeluarkan
mengecilkan pembuluh darah.
Tekan bagian sebelah hidung bekuan
Jika masih tidak berhasil
yang mengalami mimisan selama d
digunakan tampon hidung.
a
+5 menit. Jika hanya mimisan Tampon dipertahankan hingga 2-
r
3 hari,
biasa, biasanya akan berhenti a atau jika perlu hingga 5 hari
dengan sendirinya. Jika h dengan
setelah 10 menit mimisan masih . dittambahkan
Pertolongan pertama jika antibiotik. Jika
berlanjut sebaiknya bawa ke
terjadi mimisan adalah perlu,
pusat pelayanan kesehatan dengan memencet u
terdekat. n
t EPISTA
u
KSIS
k
pence
gahan (MIMISA PENY
kompl
ikasi:
infus,
N) AK
tranfusi
IT
darah,
antbiotik
DA
N
PENAN
GA-
NAN
NYA
YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NERS
Jalan Beliang No.110 Palangka Raya Telp. (0536)3327707

LEMBAR KONSUL
Nama Mahasiswa : Armia Silviani
Program Studi : S1 Keperawatan
Tingkat / Semester : III A / V
Preseptor Akademik :Rimba Aprianti, S.Kep., Ners

Hari /
TTD TTD
NO Tang Hasil Konsultasi
Preseptor Mahasiswa
gal

Anda mungkin juga menyukai