Keluarga Sebagai Komunitas Basis Gerejani

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Gereja Katolik merupakan sebuah Gereja yang besar dan luas. Besar dan luas Gereja sendiri,
merupakan sebuah ukuran yang dipakai untuk menunjukkan keanggotaan dari Gereja itu
sendiri. Di samping itu, Gereja Katolik juga dapat hidup dan tetap eksis hingga saat ini adalah
karena adanya anggota di dalamnya. Karena itu, anggota merupakan suatu aspek yang sangat
penting di dalam Gereja Katolik. Tetapi bukan hanya dalam Gereja Katolik. Kelompok
manapun, atau organisasi apa pun, membutuhkan anggota untuk tetap bertahan hidup.
Dapat dilihat bahwa anggota merupakan hal yang penting di dalam suatu kelompok,
khususnya dalam hal ini Gereja Katolik. Tetapi secara lebih mendasar, setiap anggota dari suatu
kelompok besar, merupakan individu-individu yang berasal dari keluarga-keluarga tertentu.
Karena itu, keluarga juga memiliki peran yang penting, dalam membentuk Gereja. Keluarga
sendiri adalah kelompok paling mendasar dalam masyarakat, yang mana membentuk suatu
masyarakat lewat interaksinya dengan keluarga-keluarga yang lain. Hal ini membuat sehingga
keluarga mempunyai suatu kemampuan untuk membangun sebuah kelompok.
Di samping itu, meskipun memiliki kemampuan untuk membentuk suatu perkumpulan atau
kelompok yang lebih luas, keluarga sendiri adalah sebuah kelompok. Karena itu, sebagai
sebuah kelompok, keluarga merupakan kelompok paling mendasar, yang berperan sangat
penting dalam pembentukan kelompok-kelompok lain yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat
dalam hubungannya dengan Gereja, di mana keluarga menjadi komunitas basis yang paling
basis1. Gereja merupakan bentuk paling konkret dari Gereja, dalam menghadapi permasalahan-
permasalahan yang kontekstual. Hal ini membuat sehingga pastoral yang dilakukan terhadap
keluarga, dapat juga secara langsung berdampak kepada Gereja.
Karena itu, karya tulis ini akan mencoba untuk melihat tentang bagaimana sebuah pastoral
dilakukan terhadap keluarga, yang mana dapat membantu untuk melihat keluarga sebagai
sebuah kelompok basis, yang memiliki pengaruh yang besar terhadap Gereja. Selain itu,
keluarga sebagai kelompok yang paling kecil dan mendasar dari Gereja, akan dilihat
peranannya dalam menghadapi tantangan zaman terutama sekularisasi dan pluralisme iman.

1
Bdk. A. Margana, Komunitas Basis – Gerak Menggereja Kontekstual (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 106.

1
Keluarga sebagai Komunitas Basis Gerejani (KBG)

Sebagai sebuah kelompok atau komunitas yang kecil, secara sosiologis, keluarga merupakan
sebuah Inner Group, juga kelompok primer. Itu adalah kelompok yang dipandang oleh setiap
anggotanya sebagai kelompok utama, di mana semua anggota dari kelompok itu menyadari
keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Kelompok ini terdiri hanya dari beberapa orang,
dan cenderung kecil. Karena itu, relasi di antara anggota kelompok ini lebih intens, sehingga
berdampak terhadap pengenalan setiap anggota, yang mana masing-masing anggota kelompok
ini juga saling mengenal satu sama lain secara lebih dekat.
Dengan jumlah anggota yang kecil, keluarga dengan sendirinya memenuhi kriteria sebagai
Komunitas Basis Gerejani. Tetapi tidak hanya berpusat pada jumlah anggota yang kecil.
Keluarga juga dapat diidentifikasi sebagai Komunitas Basis Gerejani, sebab keluarga
merupakan suatu kelompok yang di dalamnya terdapat suatu kemandirian dalam menghidupi
iman. Maksudnya adalah bahwa di dalam Gereja, selain kehidupan beragama yang cenderung
terpusat dan berorientasi pada kaum hierarki, dalam hal ini Imam, Uskup, dan Paus, ada juga
ditemukan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu di mana tidak dimungkinkan untuk
mendapat pelayanan iman dari kaum hierarki, umat awam juga turut berperan aktif dalam
pelayanan iman. Ini adalah salah satu ciri yang khas dari Komunitas Basis Gerejani.
Kemandirian dalam menghidupi iman ini telah lama dipraktekkan oleh keluarga. Hal itu
kelihatan dalam praktek-praktek doa bersama, yang dipimpin oleh kepala keluarga, atau juga
dilakukan secara bergiliran. Dapat dilihat bahwa tidak perlu seorang Imam atau Uskup hadir
secara terus menerus untuk memimpin ibadat atau doa-doa bersama di dalam sebuah keluarga.
Setiap keluarga telah belajar untuk dapat menghidupi iman mereka secara mandiri. Selain itu,
hal-hal praktis menyangkut iman dan kehidupan menggereja pun, diajarkan oleh orang-orang
yang lebih tua di dalam keluarga itu, kepada anggota keluarga yang lebih muda.
Selain dari pada ibadat-ibadat bersama, sebuah keluarga Katolik juga hidup dengan tetap
menghadirkan Kristus di tengah-tengah mereka, lewat sharing Kitab Suci. Karena itu, Kristus
dan Sabda ALLAH, menjadi landasan dari keluarga Katolik ini. Hal ini membuat sehingga
keluarga dapat belajar untuk menjadi murid-murid TUHAN melalui pengalaman hidup dan
iman yang telah diterangi oleh Injil.
Sifat mandiri dari keluarga ini, adalah sesuatu yang di satu sisi berdampak positif, tetapi di
sisi lain, harus juga diperhatikan dengan jeli. Yang mana, jika kemandirian keluarga tersebut
mengorbankan kesatuan mereka dengan paroki dan Gereja universal, maka, hal ini tidak dapat
dipandang sebagai salah satu dari ciri Komunitas Basis Gerejani. Tetapi jika kemandirian dari

2
keluarga tersebut tetap terikat pada kesatuan dengan Gereja Universal, maka itu adalah ciri
yang mutlak dari suatu Komunitas Basis Gerejani. Sifat kesatuan dengan Gereja Universal ini,
secara langsung menunjuk kepada perayaan Ekaristi sebagai pusat atau orientasi hidup dari
Komunitas Basis Gerejani2
Hal ini membuat sehingga jika dilihat secara umum, maka keluarga-keluarga yang mandiri
dalam menghidupi tersebut, membentuk semacam pola-pola tersendiri, di dalam Gereja
Universal yang besar dan luas. Pola-pola tersebut menyebar di setiap tempat, dan tidak terpusat.
Tetapi meskipun mandiri dalam menghidupi iman, hal itu tidak mengorbankan kesatuan
keluarga-keluarga Katolik dengan Gereja Universal. Karena itu, pola-pola otonom dan mandiri
dari keluarga-keluarga yang menyebar dan tidak terpusat tersebut, selalu berada dalam
kesatuan dengan Gereja Universal. Maksudnya adalah bahwa di mana pun keluarga-keluarga
Katolik ini berada, mereka membawa bersama mereka, nama dari Gereja Katolik, dan karena
itu, juga ikut mempengaruhi luas territorial dari wilayah pelayanan Gereja.

Keluarga sebagai Komunitas Basis paling Basis

Di atas telah dibahas mengenai ciri-ciri spesifik dari keluarga sebagai Komunitas Basis
Gerejani. Karena itu, dalam bagian ini, akan dilihat tentang bagaimana keluarga-keluarga itu
menjadi semacam komunitas basis yang paling. Maksudnya adalah bahwa keluarga-keluarga
Katolik, menampilkan di dalam diri mereka, suatu gambaran nyata dari Gereja Universal, yang
tersebar secara particular. Kelompok ini begitu mendasar, sehingga dikatakan bahwa keluarga
menjadi tulang punggung Gereja dalam menghadapi tantangan yang nyata dan kontekstual.3
Pertama-tama, keluarga Katolik menghadirkan di dalam dirinya, suatu persekutuan iman
akan Yesus Kristus, antara lain dengan menempatkan Yesus sebagai pusat dari keluarga.
Maksudnya adalah bahw kegiatan-kegiatan rohani yang dilakukan di dalam setiap keluarga
Katolik, adalah untuk menjadikan persekutuan keluarga tersebut hidup berdasarkan iman akan
Yesus Kristus. Hal-hal yang dilakukan untuk menunjang aspek ini adalah dengan mengadakan
doa-doa bersama, yang dipimpin secara bergiliran. Selain itu ada juga waktu-waktu di mana
seluruh anggota keluarga juga berkumpul untuk membaca dan mensharingkan Kitab Suci.
Sharing ini bertujuan untuk membantu setiap anggota keluarga untuk dapat melihat setiap
pengalaman hidup mereka dalam terang iman.

2
Bdk. Yanuarius Seran, Pengembangan Komunitas Basis – Cara baru Menjadi Gereja dalam Rangka
Evangelisasi Baru (Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusantara, 2007), hlm 46.
3
Bdk. A. Margana, Komunitas Basis – Gerak Menggereja Kontekstual (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm.107.

3
Berikutnya adalah bahwa selain menjadikan Kristus sebagai pusat dari keluarga, keluarga
Katolik juga perlu untuk membangun sebuah persekutuan yang bersemangat persaudaraan
sejati dalam kesamaan martabat. Hal ini dapat dilakukan dengan pertama-tama, bertindak jeli
terhadap sifat patriarki dari keluarga, di mana peran dari ayah dipandang sebagai hal yang
mutlak di dalam keluarga. Karena itu, setiap anggota keluarga yang lain pun, harus dipandang
setara, sesuai dengan fungsi mereka masing-masing. Hal ini juga berdampak dalam
pengambilan keputusan, yang mana bahkan anak pun dapat dilihatkan dalam sebuah
pengambilan keputusan menyangkut keluarga. Dengan demikian, anak-anak pun diberdayakan
di dalam keluarga sebagai anggota yang turut berpartisipasi secara aktif, dan bukan hanya
sebagai pelaksana perintah dari ayah dan ibu.
Selain dari pada dua aspek di atas, keluarga Katolik juga dapat menjadi gambaran yang
paling nyata dari Gereja yang terbuka. Hal ini terlihat dalam keikutsertaan keluarga-keluarga
katolik di dalam kegiatan-kegiatan bersama dengan keluarga-keluarga dari agama-agama yang
lain. Hal yang ditekankan dalam aspek ini adalah bahwa keluarga Katolik tidaklah bersifat
ekslusif.
Hal-hal di atas adalah gambaran nyata, bagaimana Gereja Katolik berhadapan dengan
dunia. Karena itu, tindakan-tindakan dari keluarga yang di satu sisi berusaha untuk tetap
mempertahankan iman dengan cara hidup mandiri, dan di sisi lain tetap berada di dalam
kesatuan dan persekutuan dengan Gereja Universal, menjadikan bagi keluarga sebagai
Komunitas Basis Gerejani yang paling dasar, sebab di sana, untuk pertamakalinya, seseorang
menghidupi dan mendapatkan gambaran tentang Gereja itu.

Relevansi Keluarga dalam Menghadapi Tantangan Zaman

Dewasa ini, perkembangan yang begitu pesat terjadi hampir di semua aspek kehidupan.
Perkembangan-perkembangan tersebut juga turut mengubah kehidupan manusia menjadi lebih
baik, namun juga lebih buruk. Karena itu, perubahan-perubahan tersebut juga menjadi suatu
tantangan tersendiri bagi Gereja. Tantangan-tantangan terhadap Gereja yang muncul sebagai
akibat dari perubahan-perubahan dewasa ini adalah sekularisme dan pluralisme iman.4
Secara umum, manusia zaman sekarang, dibutakan oleh kesombongan akan kehebatan
manusia dalam menciptakan dan mengembangkan teknologi. Karena itu, manusia merasa

4
Bdk. Yanuarius Seran, Pengembangan Komunitas Basis – Cara baru Menjadi Gereja dalam Rangka
Evangelisasi Baru (Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusantara, 2007), hlm 156.

4
bahwa jawaban dari segala sesuatu adalah ilmu pengetahuan, dan karena itu, agama dan
TUHAN disingkrikan. Dalam Bahasa yang lebih halus, dikatakan bahwa TUHAN dan agama
hanyalah masalah personal, dan karena itu bersifat relative, tergantung pada perasaan. Intinya
adalah bahwa manusia ingin mengotonomikan kemanusiaannya, terlepas dari campur tangan
TUHAN. Ini adalah sekularisme, yang menjadi suatu tantangan bagi Gereja. Sekularisme itu
sendiri pula pada gilirannya mendorong munculnya pluralisme iman, yang mana karena
dipandang hanya sebagai masalah feeling dan personal semata, agama hanya dipandang
sebelah mata. Sifat-sifat ekstrem yang muncul dalam menghadapi pluralitas agama ini adalah
ekslusifisme dan inklusifisme. Selain itu, jalan tengah yang terlalu menekankan toleransi juga,
membutakan mata orang akan kekhasan dan keunikan agalam lain.
Perubahan-perubahan tersebut di atas, jika dilihat secara jeli, merupakan permasalahan
yang dihadapi oleh Gereja secara langsung dan konkret. Karena itu, keluarga-keluarga Katolik,
adalah kelompok basis yang secara mendasar dan pertama-tama, berhadapan dengan
permasalahan-permasalahan ini semua. Karena itu, dapat dilihat bahwa berhadapan dengan
masalah-masalah ini, keluarga Katolik sebagai Komunitas Basis Gerejani yang paling
mendasar, dianggap masih relevan.
Pertama-tama mengenai sekularisme. Berhadapan dengan dunia sekarang yang terlalau
mengandalkan ilmu pengetahuan sehingga mengesampingkan agama dan TUHAN, keluarga-
keluarga Katolik dapat menghadapinya dengan apa yang telah disebutkan di atas, yakni
mengadakan doa-doa keluarga, yang melibatkan seluruh anggota keluarga di rumah itu. Doa-
doa keluarga tersebut dapat dipimpin secara bergantian oleh masing-masing anggota keluarga.
Hal ini mau menunjukkan bahwa di tengah kesibukan-kesibukan untuk menghidupi keluarga,
mengurus segala hal menyangkut rumah tangga dan kesejahteraan anak-anak, doa selalu
menjadi hal yang diutamakan. Selain itu, sharing pengalaman yang berlandaskan Kitab Suci
juga, dipandang sebagai suatu hal baik yang dapat dilakukan oleh keluarga, untuk
menempatkan Kristus sebagai pusat dari seluruh tindakan keluarga. Karena itu, setiap anggota
keluarga tidak hanya diajak untuk bercerita mengenai pengalaman-pengalamannya semata-
mata, melainkan pengalaman-pengalamannya yang telah diterangi oleh Injil. Hal ini membuat
sehingga setiap anggota keluarga tetap memiliki kesadaran bahwa Kristus dan Injil adalah
orientasi atau dasar untuk hidup. Selain itu, kesatuan setiap keluarga yang adalah Komunitas
Basis Gerejani dengan Gereja Universal, merupakan suatu hal dirasa mendukung, sebab
kesatuan tersebut secara langsung merujuk secara langsung kepada keterikatan keluarga-
keluarga terhadap Sakramen-sakramen. Secar lebih khusus adalah Sakramen Ekaristi. Melalui
Sakramen Ekaristi, setiap keluarga Katolik mendapatkan inspirasi dan kekuatan untuk dapat

5
hidup sebagai suatu Komunitas Basis Gerejani. Karena itu, melalui keterikatan ini, meskipun
Gereja-gereja particular berdiri sendiri dan otonom, namun tetaplah bahwa Sakramen Ekaristi
menjadi pusat dari seluruh Gereja. Hal ini berhubungan pula dengan kekhasan identitas
keluarga sebagai Komunitas Basis Gerejani, dan bukanlah sebuah Komunitas Kristiani biasa
pada umumnya. Hal ini pula relevan dalam menghadapi pluralisme iman.
Tantangan yang berikut adalah pluralisme iman. Dalam menghadapi pluralisme iman, satu-
satunya hal yang dapat dilakukan oleh keluarga adalah melalui pengikatan dan kesadaran
penuh akan keterikatan dengan Gereja Universal, terutama karena Sakramen-sakramen.
Karena itu, setiap keluarga Katolik diharapkan untuk dapat menjadi tumpuan untuk membuat
setiap anggotanya cinta akan Ekaristi, dengan cara mengajak setiap anggota keluarga untuk
menghadiri Misa sekurang-kurangnya seminggu sekali. Hal ini membuat sehingga setiap
anggota keluarga tersebut tidak merasa bahwa Gereja Katolik hanya mengajarkan tentang
kebaikan dan cinta kasih, sama seperti agama-agama lainnya. Setiap anggota keluarga juga
diantar pada suatu kesadaran bahwa setiap manusia, dan makhluk ciptaan TUHAN perlu untuk
dicintai, dan karena itu terbebas dari sikap fanatisme iman.

Penutup

Keluarga adalah kelompok yang paling kecil dalam tatanan social. Begitu pun dalam
Gereja. Karena itu, Gereja selalu menjadi media paling awal bagi seseorang untuk mempelajari
tentang kehidupan. Selain itu, keluarga adalah sebuah kelompok yang biasanya terdiri dari
anggota yang relative kecil, sehingga setiap anggota di dalamnya dapat berelasi intens satu
sama lain. Hal ini berpengaruh langsung terhadap pengenalan dari masing-masing anggota,
yang mana setiap anggota keluarga saling mengenal satu sama lain secara mendalam. Hal
inilah yang membuat sehingga keluarga juga dapat diidentifikasi sebagai Komunitas Basis
Gerejani. Namun tidak hanya itu, keluarga juga menjadi sebuah Komunitas Basis Gerejani,
sebab di dalam keluarga Katolik juga, ada kegiatan-kegiatan doa bersama dan sharing Kitab
Suci, yang mana menjadikan Kristus dan Injil sebagai orientasi dan landasan untuk hidup.
Di tengah perkembangan zaman yang juga berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan
ini, Gereja berhadapan dengan tantangan sekularisasi dan pluralisme iman. Kedua tantangan
ini dirasa masih relevan untuk dihadapi oleh keluarga sebagai komunitas basis yang paling
basis dari Gereja, melalui kegiatan-kegiatan doa, sharing Kitab Suci, dan perayaan Ekaristi
bersama dengan seluruh anggota keluarga yang lain, dalam persekutuan dengan gereja

6
universal. Hal ini hendak menekankan bahwa agama Katolik itu khas dan tak dapat disamakan
dengan agama-agama yang lain, dan juga agama Katolik tidak mendukung fanatisme.

Anda mungkin juga menyukai