Konsep Dan Teknik Sea Ranching Pada Kerang Abalon
Konsep Dan Teknik Sea Ranching Pada Kerang Abalon
Konsep Dan Teknik Sea Ranching Pada Kerang Abalon
Indonesia merupakan negara maritim, mempunyai jumlah pulau sekitar 17.508 buah,
dan 931 buah pulau diantaranya sudah berpenduduk (ditempati). Pulau-pulau tersebut tersebar
diantara 95° BT - 141° BT dan 6° LU -11° LS.
Sampai saat ini produksi perikanan laut di Indonesia masih didominasi oleh hasil
tangkapan alam, baik sebagai komoditas pasar lokal maupun ekspor. Produksi hasil tangkapan
alam tersebut sampai saat ini juga masih didominasi oleh jenis-jenis ikan. Sebagai contoh,
jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis penting dan berpotensi ekspor antara lain ikan tuna
(Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), kerapu (Cromileptes altivalis, Epinephelus
spp), kakap (Lutjanus spp), dan sebagainya. Sedangkan untuk kekerangan, mayoritas hasil
tangkapan alam masih digunakan untuk konsumsi sendiri (kerang pasir, siput mata bulan, dan
siput berukuran kecil lainnya), sebagian dijual untuk konsumsi lokal (kerang darah, kerang hijau,
kerang bakau dan oyster), dan hanya sebagaian kecil untuk diekspor (batu laga, lola, kima,
abalon) (Setyono, 2007).
Kekerangan merupakan kelompok hewan yang berhasil hidup dan berkembang secara
luas di muka bumi ini. Jumlah jenis kekerangan hampir dua kali lipat jumlah hewan bertulang
belakang. Kelompok kekerangan tersebut sebagian besar merupakan jenis-jenis yang hidup di
perairan asin (laut), baik di wilayah pantai maupun daerah perairan yang lebih dalam (deep
zone). Di muka bumi ini diketahui lebih dari 100 ribu jenis kekerangan, tersebar dari daerah
dingin, subtropis dan tropis, pada perairan dangkal (kerang darah, kerang hijau) hingga daerah
yang lebih dalam (batu laga, kima) (Setyono, 2007).
Ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan dan kawasan
tesebut memiliki isolasi alamiah sehingga ikan yang ditebar (restocking) biasa dipastikan tidak
bisa berpindah tempat dan dapat ditangkap kembali (recapture) (Effendi, 2004). Kegiatan
ranching di perairan laut disebut sea ranching. Sea ranching berbeda dengan maricultur,
namum dalam pelaksanaanya ada pentahapan dimana prinsip maricultur dipertimbangkan
sebagai bagian yang penting dalam konsep sea ranching, karena sebelum pelepasan
ikan/udang/kerang-kerangan ke perairan dilakukan kegiatan budidaya pada stadia dimana ikan/
udang/kerang-kerangan masih dianggap lemah (Azwar, 1990).
Dalam sea ranching pengendalian manusia mulai berkurang dimana segala sesuatu
kehidupan tergantung kepada daya dukung kehidupan setempat. Pengendalian dalam sea
ranching hanya terletak pada pengontrolan dan pengaturan penangkapan melalui pengawasan
alat tangkap daerah musim tangkap dan ukuran ikan yang boleh ditangkap.
Abalon (Haliotis spp.) saat ini telah mulai dibudidayakan di Indonesia. Abalon
merupakan hewan bersifat low trophic level saat larva Abalon memakan bentik diatom dan
mikroalga saat dewasa Abalon memakan rumput laut atau makroalga kegiatan budidaya Abalon
di Indonesia biayanya relatif murah. Hal ini terkait dengan kondisi geografis dan ekologis
Indonesia yang mendukung pertumbuhan makroalga sebagai pakan alami Abalon (Setyono,
2004). Oleh karena itu, dari sisi ekonomis biaya produksi komoditas ini relatif murah. Hal inilah
yang menarik dari komoditas abalon. Produksi benih yang berkelanjutan dan terkontrol memberi
kesempatan bahwa budidaya abalon dapat dikembangkan di masa yang akan datang.
Azwar ZI. 1990. A Study Report on The Traning Course on Marine Ranch System.
Marine Biologycal Institute Kochi University. USA.
Azwar ZI. Ismail W. 2001. Peningkatan Produktivitas Perikanan Pantai dengan
Metoda Sea Ranching. Pusat Penelitian Eksplorasi
laut. Jakarta.
Effendi I, W. Oktariza, Taryono. 2003. Penataan Kawasan Budidaya laut
(Penyusunan Rencana Budidaya Laut Pulau
Semak Daun, Pulau Karang, Pulau Congkak, Pulau
Karang Bangkok, dan Pulau Karang Beras).
Pemkab Kepulauan Seribu-LPM IPB. Bogor.