Sejarah Zakat Masa Nabi Dan Sahabat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

Pengelolaan zakat pada masa Rasulullah dan dan sahabat

A. Sejarah pengelolaan zakat

Sejarah pengelolaan zakat di zaman rasulullah dan para sahabat di zaman


rasulullah dan para sahabat terdapat perbedaan di kalangan para sejarah islam
tentang waktu pengsyari’ atan zakat. Ada yang mengatakan pada tahun ke 2
hijriah yang berarti 1 tahun sebelum pengsyar’i atan puasa tetapi ada juga yang
berpendapat bahwa zakat disyari’atkan pada tahun ke 3 hijriah. Terlepas dari
perbedaan pendapat tersebut Nabi Muhammad SAW menerima perintah zakat
setelah beliau hijrah ke madinah.1

Pembayaran zakat dalam islam mulai efektif dilaksanakan setelah hijrah dan
terbentuknya pemerintah di Madinah. Orang-orang yang beriman dianjurkan
untuk membayar sejumlah tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Zakat
mempunyaiperanan penting dalam sistem perekonomian islam. Zakat berfungsi
sebagai sumber dana dalam menciptakan pemerataan kehidupan ekonomi dan
pembangunan masyarakat. Disamping sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah, zakat juga berfungsi membersihkan diri dan harta dari kotoran akhlaq
penyelewenangan qidah.

1. Pada masa Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini dengan tujuan antara
lain memperbaiki akhlaq manusia yang ketika itu sudah mencapai ambang
batas kerusakan. Pengsyari’atan zakat tampak seiring dengan upaya

1
Kementrian agama republik Indonesia, direktorat jenderal bimbingan masyarakt islam, direktorat
pemberdayaan zakat, 2013, hal.19

1
pembinaan tatanan sosial yang baru dibangun oleh Nabi Muhammad SAW
setelah beliau berada Madinah. Pada periode madinah, Nabi melakukan
pembangunan dalam segala bidang tidak saja bidang aqidah dan akhlaq, akan
tetapi juga memperlihatkan bangunan mua’amalat dengan konteksnya yang
sangat luas dan menyeluruh.2

Nabi Muhammad SAW tercatat membentuk baitul maal yang melakukan


pengumpulan dan pendistribusian zakat dengan amil sebagai pegawainya
dengan lembaga ini, pengumpulan zakat dilakukan secara wajib bagi orang
yang sudah mencapai batas minimal. Pengelolaan zakat di zaman Rasulullah
SAW, banyak ayat Al-Qur’an juga menegaskan bahwa zakat harus dimbil
oleh para petugas untuk melakukan hal tersebut. Ayat-ayat yang turun di
madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan
instruksi pelaksanaan yang jelas.

Hal ini yqng diterapkn periode awal islam, dimana pengumpulan dan
pengelolaan zakat dilakukan secara terpusat dan ditangani sepenuhnya oleh
negara lewat baitul maal. Nabi Muhammad sebagai pemimpin negara
menunjuk beberapa sahabatnya untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat
muslim yang telah terindentifikasi layak memberi zakat serta menentukan
bagian zakat yang terkumpul sebagai pendapatan dari amil.3

Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang pemuda suku Asad,


yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus zakat bani Sulaim. Pernah pula
mengurus Ali bin Abi Thalib ke yaman untuk menjadi amil zakat, menurut
Yusuf Al-Qardawi Nabi Muhammad telh mengutus lebih dari 25 amil ke
pelosok negara dengan memberi perintah pengumpulan sekaligus
mendistribusikan zakat sampai habis sebelum kembali ke Madinah.

2 Kementrian agama republik, modul penyuluhn zakat, hal. 19


3 Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Abdullah ibn Majah Al-Quzwaini, Sunan Abi Majah ( maktabah
al-ma’arif linnatsir Wa At-Tauzi’lishohibiha ibn Sa’id A bdur Rahman Ar-Rasyid) hal. 316

2
Pada zaman Nabi SAW pengelolaan zakat pada saat itu secara
institusional dianggap sederhana dan masih terbatas dengan sifatnya yang
teralokasi dan sementara, dimana jumlah zakat terdistribusi akan tergantung
pada jumlah zakat yang terkumpul pada daerah atau kawasan tertentu, dan
uang zakat yang terkumpul langsung didistribusikan kepada para mustahiq
tanpa sisa.

2. Pada masa khulafa’Al-Rasyidin


a. Masa Abu Bakar Ash-Shidiq

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan umat Islam


diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan
Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan
zakat yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul,
ketika ada orang atau kelompok yang enggan membayar zakat, di
antaranya Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah dan Sajah Tulaihah.4

Masalah ini berakar dari pemahaman sebagian umat Islam bahwa


perintah zakat yang tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103:

... ‫ص ِل َعلَ ۡي ِه ۡ ۖۡم‬


َ ‫ط ِه ُره ُۡم َوتُزَ ِكي ِهم ِب َها َو‬ َ ‫ُخ ۡذ ِم ۡن أَمۡ َٰ َو ِل ِه ۡم‬
َ ُ ‫صدَقَ ٗة ت‬

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. “

Bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena beliaulah


yang diperintahkan untuk memungut pajak.Mereka juga menilai hanya
pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan
menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi
kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah
wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat tersebut.

Pandangan tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar


mengambil kebijakan tegas dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar

4
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995), hlm.
89.

3
mereka dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan Abu Bakar ini
ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada
hadis nabi yang menyatakan, “Saya diutus untuk memerangi manusia
sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”.5

Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan


mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan
seseorang berhak memperoleh perlindungan.

Akan tetapi Abu Bakat beragumen bahwa teks hadis di atas memberi
syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu, “kecuali bila terdapat
kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.”

Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga
menganalogikan zakat dengan sholat, karena pentasyri’an keduanya
memang sejajar. Argumen tersebut akhirnya dapat diterima oleh Umar.

Dan Abu Bakar pun beragumentasi pada Alquran, dimana negara


diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat
yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan
negara.Ketegasan sikap Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan
suatu sikap yang membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Dia tidak
dapat sama sekali menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (salat)
dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat pula menerima pengurangan
sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah, walaupun hanya
berupa seekor kambing ataupun anaknya.

Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi


palsu dan sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari
tindakan tegasnya. Dia tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk
memerangi mereka, sehingga setiap warga negara yang melakukan
pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan
penyitaan terhadap aset yang dimiliki.

Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap


orang-orang yang membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian
pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang pada
mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkang itu

5
Abdul Aziz, Kapita selekta Ekonomi Islam Kontemporer, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2010), hlm.
111.

4
harus diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah
utama dalam Islam.

Dengan demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar


zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum
Islam. Negara Islam dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan
perang untuk membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan
ekonomi lemah.

Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat,


Abu Bakar pun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang berhak menerimanya,
menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Dia sendiri mengambil harta dari
Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada golongan
yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan
bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah.

Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu


dan terkemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh
zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk dalam
kelompok Asnaf penerima zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah
ayat 60.

‫ب َو ۡٱل َٰغَ ِر ِمينَ َوفِي‬ ِ ‫ين َو ۡٱل َٰ َع ِملِينَ َعلَ ۡي َها َو ۡٱل ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُ ُه ۡم َوفِي‬
ِ ‫ٱلرقَا‬ َ َٰ ‫صدَ َٰقَتُ ِل ۡلفُقَ َرآ ِء َو ۡٱل َم‬
ِ ‫س ِك‬ َّ ‫۞ ِإنَّ َما ٱل‬
ِۗ َّ َ‫ض ٗة ِمن‬
َّ ‫ٱَّللِ َو‬
‫يم‬ٞ ‫ٱَّللُ َع ِلي ٌم َح ِك‬ َ ‫س ِبي ۖۡ ِل فَ ِري‬َّ ‫ٱَّللِ َو ۡٱب ِن ٱل‬
َّ ‫س ِبي ِل‬
َ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,


orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”6

Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang terletak di


daratan tinggi Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau
6
Qur’an Word

5
pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat
penjaga, maka Abu Bakar menjawab. “Jangan takut, tidak ada sedikit pun
harta yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan.”

Ketika Abu Bakar meninggal, Umar bin Khatab memanggil sahabat


terpercaya, di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan
untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan
satu dirham pun di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan
dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham.

b. Masa Umar ibn Khatab

Pada masa Umar menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih
stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan
sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat
dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang
berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah.

Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan


yang kian kompleks, Umar kemudian membenahi struktur
pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat
akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah
Baitul Mal.

Kebijakan yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di


antaranya adalah dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara
menjadi empat, yaitu:7

a) Pendapatan zakat dan `ushr. Pendapatan ini didistribusikan di


tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut
disimpan di baitul mâl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnâf,
seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur`an.
b) Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan
kepada fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka
tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan.
7
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, September
2004), cet. Ke-1, edisi kedua, hlm. 74.

6
c) Pendapatan kharâj, fai, jizyah, `ushr, dan sewa tanah. Pendapatan
ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan
serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan
militer, dan sebagainya.
d) Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar
para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial
lainnya.

Klasifikasi sumber pendapatan negara di atas sangat penting untuk


diterapkan dalam pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya adalah agar
suatu sumber pendapatan tidak tercampur dengan sumber pendapatan
yang lain. Seperti zakat dan pajak. Redistribusi pendapatan hasil zakat,
sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada 8 golongan
(ashnâf) yang berhak menerima zakat. Dan jika terdapat sisa dari hasil
pengumpulan zakat, maka khalifah dapat mengambil kebijakan untuk
disesuaikan dengan kebutuhan social. Sedangkan redistribusi pajak dapat
ditentukan oleh khalifah. Dan umumnya hasil pemungutan pajak ditujukan
untuk pembangunan negara. Karena itulah, para pejabat baitul mâl tidak
mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta
baitul mâl yang berupa zakat.

Selanjutanya dalam mendistribusikan harta baitul mâl, Umar


mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:8

a) Departemen pelayanan militer. Departemen ini berfungsi untuk


mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat
dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh
jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
b) Departemen kehakiman dan ekeskutif. Departemen ini
bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan
pejabat ekskutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu
jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan
keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang
diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal itu tetap
dalam batas-batas kewajaran.

8
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid I, hlm. 169-
173.

7
c) Departemen pendidikan dan pengembangan Islam. Departemen ini
mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang
ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
d) Departemen jaminan sosial. Departemen ini berfungsi untuk
mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan
orang-orang yang menderita.

Di samping mendirikan beberapa departemen dalam


pendistribusian harta baitul mâl, Umar juga menerapkan prinsip
keutamaan dalam mendistribusikannya. Ia tidak senang memberikan
bagian yang sama kepada orang-orang yang pernah berjuang
menentang Rasulullah saw dengan orang-orang yang telah berjuang
membela beliau. Menurut pendapatnya bahwa kesulitan yang dihadapi
umat Islam harus diperhitungkan jika menetapkan bagian seseorang
dari kelebihan harta bangsa itu. Prinsip keadilan menghendaki bahwa
usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam
memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan
sebaik-baiknya.9

Karena hal itu, Umar membentuk sistem dîwân, yang menurut


pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun
20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite nassâb ternama
yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir
bin Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk.

Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan


beberapa golongan yang berbeda-beda dalam pendistibusian harta
baitul mâl sebagai berikut:

NO Penerima jumlah
1 Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib 12.000 dirham

2 Para istri Nabi selain Aisyah 10.000 dirham

3 Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr 5.000 dirham

4 Para Uhud dan migran ke Abysinia pejuang 4.000 dirham


5 Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathul 3000 dirham
Mekah

9
Ibid

8
6 Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang 2000 dirham
yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa
Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan
anshar, para pejuang perang Qadisiyyah,
Uballa, dan orang-orang yang menghadiri
perjanjian Hudaibiyyah.

7 Orang-orang Mekah yang bukan termasuk 800 dirham


kaum muhajirin mendapat tunjangan
8 warga Madinah 25 dirham
9 kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria 200-300 dirham
dan Irak memperoleh tunjangan sebesar
10 anak-anak yang baru lahir 100 dirham

Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun


berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap.
Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara
yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan
dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama
kali terjadi dalam sejarah dunia.10

c. Masa Utsman ibn Affan

Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya


melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan
dikembangan oleh Umar bin Khattab.

Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan


diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta
kharaz dan jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman
mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.
Usman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat.

Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-


bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu

10
Ra`ana dan Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997), hlm. 150.

9
Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk
membangun dan memakmurkan masjid Nabawi.

Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada


pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya,
dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas
dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang
terbatas.

Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang


memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam
pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang
besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang
besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.

Khalifah Utsman ibn Affan tetap mempertahankan system pemberian


bantuan dan santunan serta memeberikan sejumlah besar uang kepada
masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan
dalam memenuhi kebutuhan pikok masyarakat, ia memberikan bantuan
yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, dalam
pendistribusian harta Baitul Mal, Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan
prinsip keutamaan seperti halnya Umar ibn al-khattab.

Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah utsman ibn Affan


mendelegasikan kewenangan menksir harta yang dizakati kepada para
pemiliknya msiang-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat
dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang
tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.11

11
Azyumaryadi Azra, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramarta Publishing, 2010), hlm.
95.-96.

10
Untuk meningkatkan pengeluaran di bidang pertahanan dan kelautan,
meningkatkan dana pensiun, dan pembangunan berbagai wilayah taklukan
baru, Negara membutuhkan dana tambahan. Oleh karena itu, Khalifah
Utsman ibn Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas
dan pergantian beberapa gubenur. Ia juga menerapkan kebijakan
membagi-bagikan tanah-tanah Negara kepada individu- individu untuk
reklamasi dan kontribusi kepada Baitul Mal. Dari hasil kebijakannya ini,
Negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta
dirham juka dibandingkan pada masa Umar ibn al-Khattab yang tidak
membagi- bagikan tanah tersebut.

Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman Ibn Affan,


tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai
kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan yang banyak menguntungkan
keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada
sebagian besar kaum muslimin. Akibatnya, pada masa ini,
pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir
dengan terbunuhnya sang khalifah.12

d. Masa Ali ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)

Setelah diangkat sebagai khalifah Islam IV oleh segenap kaum


muslimin, Ali ibn Abi Thalib langsung mengambil beberapa tindakan,
seperti memberhentikan para pejabat yang korupsi, membuka kembali
lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan
Utsman dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan Umar ibn al-Khattab.

Masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang hanya


berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan

12
Ibid, hlm 96

11
kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair
ibn al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan.
Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api
permusuhan dengan keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh
Muawiyah ibn Abi Sofyan. Pemberontakan juga datang dari golongan
Khawariij, mantan pendukung Khalifah Ali Ibn Abu Thalib yang kecewa
terhadap keputusan tahkim pada perang shiffin.

Sekalipun demikian, khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk
melaksanakan berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan
kesejahteraan umat islam. Menurut sebuah riwayat, ia secara sukarela
menarik diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal. Selama masa
pemerintahannya Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak terhadap
hasil hutan dan sayuran.

Selama masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, system administrasi


Baitul Mal, baik diangkat pusat maupun daerah, telah berjalan dengan
baik. Kerjasama antara keduannya berjalan dengan lancer maka
pendaptaan baitul Mal mengalami surplus. Dalam pendistribusian harta
Baitul Mal, khalifah Ali Ibn AbinThalib menerapkan prinsip pemerataan.
Ia memberikan santunan yang sama kepada setiap orang tanpa
memandang status social atau kedudukannya di dalam Islam. Khalifah Ali
ibn Abi Thalib tetap berpendapat bahwa seluruh pendapatan Negara yang
disimpan dalam Baitul Mal harus didistribusikan kepada kaum muslimin,
tanpa ada sedikitpun dana yang tersisa. Distribusi tersebut dilakukan
sekali dalam sepekan. Hari kamis merupakan hari pendistribusian atau
hari pembayaraan. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan,
pada hari sabtu penghitungan baru dimulai.13

Kebijakan Ekonomi Ali Bin Ali Thallib antara lain :

13
Ibid.hlm.97.

12
a. Mengedepankan prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan
negara kepada masyarakat.
b. Menetapkan pajak terhadap para pemilik kebun dan mengijinkan
pemungutan zakat terhadap sayuran segar
c. Pembayaran gaji pegawai dengan system mingguan
d. Melakukan kontrol pasar dan pemberantas pedagang licik,
penimbunan barang , dan pasar gelap
e. Aturan konpensai bagi para pekerja jika kereka merusak barang-
barang pekerjaaannya.

13
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada masa Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW diutus Allah ke dunia ini dengan tujuan antara
lain memperbaiki akhlaq manusia yang ketika itu sudah mencapai ambang
batas kerusakan. Pengsyari’atan zakat tampak seiring dengan upaya
pembinaan tatanan sosial yang baru dibangun oleh Nabi Muhammad
SAW setelah beliau berada Madinah. Pada periode madinah, Nabi
melakukan pembangunan dalam segala bidang tidak saja bidang aqidah
dan akhlaq, akan tetapi juga memperlihatkan bangunan mua’amalat
dengan konteksnya yang sangat luas dan menyeluruh
2. Pada masa sahabat
Baitul Mal semakin mapan bentuknya pada zaman khalifah Umar bin
Khattab. Pada masanya system administrasi dan pembentukan dewan-
dewan dilakukan untuk ketertiban administrasi. Umar juga meluaskan
basis zakat san sumber pendapatan lainnya.
Kebijakan Umar diteruskan oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib, khalifah –khalifah berikutnya. Yang patut dicatat dalam periode
ini bahwa para khalifah itu amat serius dalam memikirkan kesejahteraan
rakyat, pendapatan dan penerimaan Baitul Mal. Fungsi Baitul Mal sebagai
instrument dalam kebijakan fiscal ini tentu hanha dapat terlaksana dengan
pribadi-pribadi yang jujur dan amanah tersebut.
Zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban
zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan
kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan
kaum Muslimin.

14
DAFTAR PUSTAKA

Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: Remaja


Rosdakarya. 1995.

Aziz, Abdul. Kapita selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung: Alfabeta


Bandung, 2010.

Azra, Azyumaryadi. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Gramarta


Publishing, 2010.

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali


Pers, September 2004, cet. Ke-1, edisi kedua.

Ra`ana dan Irfan Mahmud. Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn Khattab,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

15

Anda mungkin juga menyukai