Makalah Sejarah Perkembangan Zakat
Makalah Sejarah Perkembangan Zakat
Makalah Sejarah Perkembangan Zakat
Disusun oleh:
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 1
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
PENUTUP................................................................................................................................ 12
A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 12
1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zakat
Al-Zakah berasal dari kata zaka. Ibn Manzhur menyebutkan dua definisi al-
Zakat. Pertama, al-Zakah bermakna al-shalah (kesalehan) dengan empat beentuk
kata kerja yaitu zaka, zakiya, zakka, dan tazakka. Kedua, al-Zakah bermakna
zakat harta atau penyucian harta dengan satu bentuk kata kerja yaitu zakka. Al-
Zakah adalah harta yang dikeluarkan untuk menyucikan harta itu dengannya.
Zakat menurut Bahasa berarti “tumbuh dan bertamba”. Sedangkan zakat
menurut istilah agama islam zakat ialah ukuran atau kadar harta yang harus
dikeluarkan oleh pemiliknya untuk diserahkan kepada golongan atau orang-orang
tertentu yang dikeluarkan dari orang yang telah dikenal kewajiban untuk
mengeluarkan zakat.
2
C. Perkembangan Zakat Pada Masa Rasulullah
Peradaban islam adalah cerminan cultural dari kalangan-kalanagan elit yang
dibangun dalam kekuatan-kekuatan ekonomi dan perubahan sosial. Peradaban
Islam terbentuk berkat penaklukan bangsa Arab selama delapan tahun masa
pertempuran. Nabi Muhammad saw. berusaha meraih kekuasaan atas suku-suku
dalam rangka menundukkan Mekah. Sejumlah utusan dan duta dikirim ke seluruh
penjuru Arabia. Sementara suku-suku bangkit untuk menyampaikan kesetiaan,
membayar zakat dan pajak, sebagai simbol keanggotaan dalam komunitas muslim
dan simbol menerima Muhammad sebagai Nabi dan Utusan Allah swt.
Rasulullah saw. pernah mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa
sahabat sebagai 'amil zakat (pengumpul zakat) di tingkat daerah. Mereka
bertanggung jawab membina berbagai neger guna mengingatkan para pendudukya
tentang kewajiban zakat. Zakat diperuntukkan untuk mengurangi kemiskinan
dengan menolong mereka yang membutuhkan. Pada masa Nabi Muhammad saw,
ada lima jenis kekayaan yang dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang
dagangan, hasil pertanian (gandum dan padi) dan buah-buahan, dan rikaz (barang
temuan). Selain lima jenis harta yang wajib zakat di atas, harta profesi dan jasa
sesungguhnya sejak periode kepemimpinan Rasullah saw. juga dikenakan wajib
zakat. Dalam bidang pengelolaan zakat Nabi Muhammad saw. memberikan
contoh dan petunjuk oprasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis
tersebut dapat dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari:
1. Katabah, petugas yang mencatat para wajib zakat
2. Hasabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat
3. Jubah, petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki
4. Khazanah, petugas yang menghimpun dan memelihara harta
5. Qasamah, petugas yang menyalurkan zakat pada mustahiq.
3
suku Arab Baduwi. Suku-suku Arab Baduwi ini menganggap pembayaran zakat
sebagai hukuman atau beban yang merugikan.
2. Periode "Umar ibn al-Khattab ra. "Umar ra. adalah salah satu sahabat Nabi saw.
la menetapkan suatu hukum berdasarkan realitas sosial. Di antara ketetapan
"Umar ra adalah menghapus zakat bagi golongan mu'allaf, enggan memungut
sebagian 'usyr (zakat tanaman) karena merupakan ibadah pasti, mewajibkan
kharraj (sewa tanah), menerapkan zakat kuda yang tidak pernah terjadi pada masa
Nabi Muhammad saw. Tindakan 'Umar ra. menghapus kewajiban zakat pada
mu'allaf bukan berarti mengubah hukum agama dan mengenyampingkan ayat-ayat
alQur'an. la hanya mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang jelas
berbeda dari zaman Rasulullah saw. Sementara itu 'Umar tetap membebankan
kewajiban zakat dua kali lipat terhadap orang-orang Nasrani Bani Taglab, hal ini
disebut zakat muda afah. Zakat mudarafah it adalah terdiri dari jizyah (cukai
perlindungan) dan beban tambahan. Jizyah sebagai imbangan kebebasan bela
negara, kebebasan Hankamnas. yang diwajibkan kepada warga negara muslim.
Sedangkan beban tambahannya adalah scbagai imbangan zakat yang diwajibkan
secara Khusus kepada umat Islam. Umar ra. tidak merasa ada yang salah dalam
menarik pajak atau jizyah dengan nama zakat dari orang-orang Nasrani karena
mereka tidak setuju dengan istilah jizyah tersebut.
3. Preriode 'Usman in 'Affan ra. Pengelolaan zakat pada masa 'Usman dibagi
menjadi dua macam yaitu:
4
4. Periode Ali in Abi Thalib ra. Situasi politik pada masa kepemimpinan Khalifah
Ali ibn Abi Thalib ra. berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan
darah. Akan tetapi. Ali ibn Abi Thalib ra. tetap mencurahkan perhatiannya yang
sangat serius dalam mengelola zakat. la melihat bahwa zakat merupakan urat nadi
kehidupan bagi pemerintahan dan agama. Ketika Ali ibn Abi Talib ra. bertemu
dengan orang-orang fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non-
muslim (Nasrani), ia menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung oleh
Baitul Mal. Khalifah Ali ibn Abi Talib ra. juga ikut terjun langsung dalam
mendistribusikan zakat kepada para mustahiq (delapan golongan yang berhak
menerima zakat). Harta kekayaan yang wajib zakat pada masa Khalifah Ali ibn
Abi Talib ra. ini sangat beragam. Jenis barang-barang yang wajib zakat pada
waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan jenis kekayaan apapun tetap dikenai
kewajiban zakat.
5
(yang berorientasi kepada kepentingan) penguasa/kelompok, sehingga kebijakan yang
diambil hanya akan mementingkan keuntungan segelintir kelompok saja.
Pemerintahan Bani Umayyah, seperti diketahui, merupakan periode
pengembangbiakkan benih-benih feodalisme-nepotisme. Pola demikian sebenamya,
akar-akarya telah tertanam pada periode Usman bin Affan. Usman, atas permintaan
Muawiyah bin Abi Sofyan di Syria, menyerahkan harta kekayaan dan tanah
peninggalan bangsawan Syria sebagai milik pribadi Muawiyah. Demikian pula, dia
memberikan tanah-tanah yang lain kepada teman-teman Muawiyah sebagai khumus.
Pola kebijakan seperti itu, kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya (kecuali
pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis). Tanah-tanah tersebut sebenamya adalah
kekayaan umat dan untuk Kepentingan bersama. Dan situ Kemudian muncullah tuan-
tuan tanah besar di lingkungan kerajaan, misalnya, Muawiyah, Abdul Malik Al-
Walid, serta para wali mereka seperti Al-Hajjaj. Maslamah dan Walid Al-Qasari. Pada
masa tersebut telah terjadi pemusatan kekayaan kepada sekelompok golongan tertentu
yang dekat dengan pusat kekuasaan pada masa tersebut.
Sistem pertanahan seperti itu, sebagai salah satu ilustrasi kebijakan pemerintah
Bani Umayyah menyangkut kekayaan negara, di satu sisi telah menimbulkan
kecemburuan sosial di kalangan kaum muslimin Mekkah, Madinah dan Irak yang
merasa tidak puas dengan status istimewa keluarga-keluarga Syria. Masyarakat di
Mekkah, Madinah dan Irak merasa telah terjadi ketidakadilan dengan munculnya
pemusatan kekayaan yang diberikan kepada kelompok tertentu di Syria. Di sisi lain,
hal tersebut telah mempercepat proses urbanisasi masyarakat desa yang kehilangan
tanah menuju kota, dan menimbulkan problem tersendiri. Hal ini tidak ubahnya
dengan urbanisasi pada masa ini, yang pasti akan menimbulkan permasalahan sosial
di masyarakat.
Pergeseran substansial sistem pemerintahan tersebut telah mengundang reaksi
rakyat yang tak kalah mendasarnya. Rakyat yang semula bersikap partisipasi dan
mendukung pemerintah, lalu berubah, sebagian besar bersikap apatis dan pesimis
terhadap pemerintahan yang ada. Muncul kelompok kecil baik sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan bertekad terus memusuhi. Mayoritas umat yang bersikap
apatis inilah yang kemudian dikenal dengan faksi sunni, kelompok ini sudah bersikap
pasrah atas kondisi yang ada serta pesimis akan terjadi perubahan berarti bagi
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan yang bersikap konfrontatif dikenal sebagai
faksi khawarij. mereka bersikap memusuhi dan bahkan rela membunuh kelompok
6
yang dekat dengan pemerintahan. Selebihnya adalah kelompok oportunis yang secara
bulat dapat menerima model pemerintahan tersebut. Mereka terdiri dari para birokrat
yang umumnya terdiri dari orang-orang Persia.
Implikasi dari perkembangan politik di atas adalah bahwa kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah sebagai imam yang berwenang mengelola zakat, kian lama kian
memudar. Dengan daya kepemimpinan yang otoriter dan gaya hidup penguasa yang
serba mewah, umat semakin sulit untuk bisa diyakinkan bahwa zakat bahwa zakat
yang mereka tunaikan dengan niat ikhlas karena Allah itu benar-benar dibelanjakan
untuk tujuan yang dikehendaki Allah. Pada sisi lain rakyat waspada bahwa
penycrahan zakat kepada pemerintahan yang dzalim bisa berarti pengakuan atas
kedzaliman yang dilakukan. Alasan lain keengganan masyarakat untuk membayar
zakat kepada pemerintah adalah faktor ketidakpercayaan karena tidak adanya
transparansi dalam pengelolaan dana, dan dikhawatirkan hanya dipergunakan untuk
memperkaya diri dan kelompoknya sendiri saja.
Perhatian pada pendapatan non-zakat itu misalnya tergambar pada masa Al-
Makmur, salah satu khalifah terkemuka Bani Abbasiyah. Pada masa Al-Makmur
terdapat berbagai macam jenis pajak. Ini karena semakin luas wilayah kekuasaan Al-
Makmur dan muncul berbagai macam jenis usaha yang dapat dijadikan sebagai objek
pajak bagi pemasukan dan pendapatan pemerintah. Pajak-pajak resmi yang terdapat
pada masa Al-Makmun antara lain sedekah (termasuk zakat). Jizyah, Kharaj. pajak
awak kapal dan ikan, pajak tambang galian, pajak barang yang memasuki perbatasan,
pajak pemiagaan dan pembuatan wang. pajak perdagangan (ckspor). dan pajak
pembuatan produk. Pendapatan terbesar dari semua jenis pajak tersebut adalah
Kharaj.
Kharaj dan jizyah Secara ekonomis dikatakan memadai, karena pemasukan
dari dua sektor in saja sudah cukup melimpah untuk sekedar mencukupi kebutuhan
belanja negara yang hanya diperlukan untuk membiayai pegawai dan tentara serta
kebutuhan rutin kerajaan. Bagaimanapun majunya pemerintahan pada saat itu belum
ada program pembangunan besar-besaran yang memerlukan mobilisasi dana secara
habis-habisan seperti dewasa in. Karena pendapatan dari kharaj dan jizyah saja sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan negara, maka zakat kurang menjadi prioritas utama
sumber pendanaan negara pada masa itu.
Dikatakan lebih murah secara politis, karena berbeda dengan zakat, sasaran
kewajiban kharaj dan jizyah adalah rakyat yang dilihat dari sudut psiko-politik
7
cenderung tidak akan berani menuntut hak yang macam-macam. Sasaran jizyah
adalah warga non-muslim, sedangkan sasaran kharaj adalah rakyat muslim dan non-
mulim yang di mata kerajaan adalah warga negara taklukan. Selain faktor ekonomi
dan politik, dari sudut agama juga ada kelebihannya. Berbeda dengan zakat yang
karena kedudukanya sebagai rukun Islam dipandang sakral, schingga menuntut sikap
kehati-hatian, sementara jizyah dan kharai tidaklah demikian.
8
Demikian sejak Indonesia merdeka, di beberapa daerah di tanah air kita,
pejabat-pejabat pemerintah yang menjadi penelenggara negara telah ikut serta
membantu pemungutan dan pendayagunaan zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan
pula dengan pelaksanaan pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin
dan anak- anak terlantar di pelihara oleh negara. Kata-kata " fakir miskin " yang
dipergunakan dalam pasal tersebut jelas menunjukkan pada para mustahiq yaitu
mereka yang berhak menerima bagian zakat.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat in secara kualitatif, mulai
meningkat pada tahun 1962. Pada tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan
Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 / 1968. Masing-masing tentang pembentukan
Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat
pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya, yakni pada tahun
1967, pemeritah telah pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada DPR
untuk disahkan menjadi undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam
jawabannya kepada Menteri Agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat
tidak perlu dituangkan dalam undang-undang. cukup dengan peraturan Menteri
Agama saja. Karena pendapat itu, Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri
Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah
itu, pada peringatan Isra' dan Mi' raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968,
Presiden Socharto manganjurkan untuk menghimpun zakat secara sistematis dan
terorganisasi seperti Badan Amil Zakat Nasional yang dipelopori oleh Pemerintah
Daerah khusus Ibukota Jakarta.
9
semua manusia sehingga suasana vang menyebabkan di antara anugerah-anugerah itu
berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat
memanfaatkan anugerah- anugerah itu untuk mereka sendiri. Seseorang yang
memiliki harta berlebih harus selalu ingat bahwa harta tersebut hanya titipan dari
Allah sehingga ada hak-hak yang harus diberikan kepada yang berhak menerima
(mustahik). Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Bagarah ayat 261 yang artinya:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang dia kehendaki dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." Dari
ayat tersebut digambarkan secara implisit efek multiplier dari zakat.
Pelaksanaan ibadah zakat bila dilakukan secara sistematis dan terorganisasi
akan mampu memberikan efek pengganda yang tidak sedikit terhadap peningkatan
pendapatan nasional suatu negara dikarenakan percepatan sirkulasi uang yang terjadi
dalam perekonomian. Bagaimanakah mekanisme efek multiplier zakat ini? Zakat
dalam bentuk bantuan konsumtif yang diberikan kepada mustahik akan meningkatkan
pendapatan mustahik, yang berarti daya beli mustahik tersebut atas suatu produk yang
menjadi kebutuhannya akan meningkat pula. Peningkatan daya beli atas suatu produk
ini akan berimbas pada peningkatan produksi perusahaan. Imbas dari peningkatan
produksi adalah penambahan kapasitas produksi yang hal ini berarti perusahaan akan
menyerap tenaga kerja lebih banyak. Hal ini berarti tingkat pengangguran akan
semakin berkurang.
Sementara itu di sisi lain, 14 peningkatan produksi akan berakibat pada
meningkatnya pajak yang dibayarkan kepada negara, baik pajak perusahaan, pajak
pertambahan nilai maupun pajak penghasilan. Jika penerimaan negara dari pajak
bertambah, negara akan mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk
pembangunan serta mampu menyediakan fasilitas publik bagi masyarakat. Apabila
zakat mampu dikumpulkan secara signifikan, pendidikan dan kesehatan gratis dapat
diberikan kepada masyarakat. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa dari pembayaran
zakat mampu menghasilkan efek pengganda dalam bahasa ekonomi dikenal dengan
multiplier effect dalam perekonomian yang pada akhimya secara tidak langsung akan
berimbas pula kepada kita. Walaupun bantuan yang diberikan dalam bentuk bantuan
konsumtif saja, hal itu sudah mampu memberikan efek pengganda yang cukup
signifikan. Apalagi, zakat diberikan dalam bentuk bantuan produktif seperti modal
10
kerja tau dana bergulir, maka tentunya efek pengganda yang didapat akan lebih besar
lagi dalam suatu perekonomian, dikarenakan zakat memberikan efek dua kali lipat
lebih banyak dibandingkan zakat dalam bentuk bantuan konsumtif.
11
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah nabi hijrah ke madinah, dan menetap selama 17 bulan disana, pada
bulan sya'ban tahun ke 2 hijryah, turunlah ayat 183-184 surah al bagarah sebagai
syari' atkannya puasa ramadhan. Tidak lama setelah turunnya ayat itu, masih di
bulan ramadhan itu pula mulai di wajibkannya zakat kepada kaum muslimin,
sebagaimaa di terangkan oleh ibnu Umar dan sejak itulah mulia di sebut dengan
zakat. Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang di wajibkan Allah
SWT untuk di keluarkan dan di berikan kepada yang berhak menerimanya dengan
persyaratan tertentu pula. Zakat mal adalah zakat yang di kenakan atas harta yang
di miliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat tertentu dan ketentuan
yang telah di tetapkan hukum syara'. Dalam konteks keindonesiaan hal itu
tercermin dari undang-undang republik indonesia nomer 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat, dimana dalam undang-undang tersebut mengatur dengan cukup
terperinci mengenai fungsi peran dan tanggung jawab.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nuruddin Mhd. 2006. Zakat sebagai Instrumen dalam Kajian Fiskal. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
13