2016 Bje
2016 Bje
2016 Bje
BENEDIKTUS JEUJANAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Rumpon sebagai Alat
Pengelolaan Perikanan Pelagis di Perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dan penulis lainnya telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Benediktus Jeujanan
NIM C461110011
RINGKASAN
FAD is one of the fishing tools to catch pelagic fish. The use of FADs with
a variety of fishing equipment has increased the effectiveness and efficiency of
fishing activities. The fast development of the use of FADs in the waters of the
Kei Islands has brought about great concern to the sustainability of marine
resources. Therefore, FAD fisheries management in the waters of the Kei Islands,
Southeast Maluku Regency should consider ecological, technological, economic
and social aspects.
This study aimed to (a) review regulations and policies that affected the
sustainability of FADs-based fisheriesin the last 5 years, including current
regulations and policies, in the waters of the Kei Islands, Southeast Maluku
Regency, using a method of Multidimensional Scaling (MDS) of RAPFISH
application and (b) to analyze FAD fisheries management that integrated
ecological, technological, economic and social dimensions to determine the status
of sustainability and sensitive attributes in the waters of the Kei Islands, Southeast
Maluku Regency.
The analysis results of the evaluation of the use of FAD fisheries and the
government’s regulations and policies on the utilization and performance of the
capture fishery in the waters of the Kei Islands showed that the number of FADs
included 243 fishermen of bobo nets, 12 units of bobo nets, 52 units of bobo net
boats, 15 units of troll lines boats, 12 units of drift long lines boats, 214 units of
FADs and 581 FAD guards. Based on the calculations, the FADs installation area
in the waters of the Nerong Strait in the Kei Islands covered an area of 211,131
km2 with a per unit area of 5,864 km2 with an average area between FADs
reaching 3,16 seamiles.
The analysis results of the Multidimensional Scaling (MDS) indicated that
the sustainability status of FAD fisheries management in the waters of the Kei
Islands, Southeast Maluku Regency was categorized as "sufficient" based on the
integration of ecological, technological, economic and social dimensions (53.71
on a scale of 1-100).The attributes that greatly influenced the management of
FADs in the waters of the Kei Island were the zone of FADs management, the
flow of water, the depth of FAD attractors in the waters and salinity waters
(ecological dimension); the use of fuel (BBM) for fishing at FADs, the benefits of
fishing around the FADs, the application of environmentally friendly technology
and the distance between FADs (technological dimension), the value of B / C ratio
of catching at FADs, the income of FAD guards, the values of production and
investment of FADs (economic dimension), the potential of stakeholders conflicts
especially among the fishermen of FADs, the effects on the habitat, the status of
the use of hazardous materials and the effects on the fish that are protected (social
dimension).
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RUMPON SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN PERIKANAN
PELAGIS DI PERAIRAN KEPULAUAN KEI
BENEDIKTUS JEUJANAN
DISERTASI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Perikanan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc
Dr Ir Victor PH Nikijuluw, MSc
Puji dan Syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul: Rumpon sebagai
Alat Pengelolaan Perikanan Pelagis di Perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 sampai
Desember 2014 dapat diselesaikan. Publikasi yang telah di hasilkan adalah:
Sustainability of Fad-Based Pelagic Fisheries Around Kei Islands, South-East
Maluku Regency. International Jounal of Sciences Basic and Applied Research
(IJSBAR), vol 26, No 1,pp 331-340 tahun 2016, Pengelolaan Rumpon
Berkelanjutan pada Dimensi Ekonomi di Perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, vol. 7, No, 2.
Desember 2015.
Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada:
1. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual yang telah memberi ijin belajar
untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB;
2. Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis studi di IPB. Terima
kasih kepada pimpinan PS: Teknologi Perikanan Tangkap (TPT), staf
pengajar dan tata usaha dalam proses pembelajaran selama ini
3. Dr Suleman Martasuganda, B.fish.Sc, MSc, Dr. Ir. M. Fedi A Sondita, MSc,
Dr. RozaYusfiandayani, S.Pi dan Prof. Ir Daniel R Monintja, MSc selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan banyak
masukan dan arahan demi perbaikan penulisan ini sejak penyusunan
proposal sampai penyelesaian disertasi.
4. Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc dan Dr Ir Victor PH Nikijuluw, MSc.
Selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian promosi yang telah
memberikan banyak masukan demi penyempurnaan disertasi ini.
5. Pihak sponsor (NUFFIC-Belanda) melalui Proyek Fish-4 yang dikelolah
oleh MDF Pacific Indonesia di Bali dalam pembiayaan studi dan penelitian.
6. Nelayan penjaga rumpon, jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur dan
Desa nelayan serta Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual yang telah memberikan
banyak informasi/data yang dibutuhkan untuk penyelesaian disertasi ini.
7. Teman-teman angkatan 2011 (Pak Wawan Otarisa, Pak Nasirin, Pak
Sahwal, Pak Eis Almarhum, Ibu Lina dan Ibu Yanti) atas dukungan dan
persahabatan yang dibangun.
8. Teman-teman Persatuan Mahasiswa Maluku dan NTT di Bogor atas
kekeluargaan yang dibina serta dukungan yang diberikan.
9. Kakak-kakaku: Ibu Sintah bersama suami dan anak-anak (Ferdi dan
Richardo), Bung Ande bersama istri dan anak-anak (skifo), Bung Boby
bersama Istri dan anak-anak (Titin dan Ai), Bung Ateng bersama Istri dan
Anak-anak dan adik Tomo bersama istri dan anak-anak.
10. Romo Patris dan keluarga besar di Bombay serta Jayapura yang selama ini
selalu memberikan dorongan dan doa serta finansial membantu saya dalam
penyelesaian studi ini.
11. Istri (Paskalina Maria) dan anak tersayang (Yuliana Jeujanan) atas
dukungan dan doa yang selalu diberikan. Terima kasih untuk pengorbanan
yang dilakukan sebagai sumber motivasi dan dorongan dalam meraih semua
kesuksesan, termasuk penyelesaian studi ini. Semoga semua perjuangan
yang telah dilakukan bersama, menjadi berkat untuk kemuliaan Tuhan.
Benediktus Jeujanan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
Kebaharuan 7
Kerangka Pikir 7
Metode Penelitian 9
2 KERAGAAN PERIKANAN RUMPON DI PERAIRAN KEPULAUAN KEI
KABUPATEN MALUKU TENGGARA 11
Pendahuluan 11
Metode Penelitian 13
Hasil dan Pembahasan 13
Produksi Perikanan 15
Rumpon 16
Unit penangkapan jaring bobo 17
Pemilihan lokasi penempatan rumpon 18
Hak ulayat 19
Unsur – unsur hak ulayat 20
Peraturan pemasangan rumpon 21
Penetapan lokasi pemasangan rumpon 21
Penetapan peraturan dan kebijakan 24
Jumlah penduduk dan letak astronomi 25
Jumlah pulau, luas daratan dan panjang garis pantai 26
Luas perairan laut 27
Rumah tangga perikanan (RTP) penduduk nelayan 27
Kapal penangkapan 28
Alat tangkap 29
Produksi penangkapan 31
Potensi ikan pelagis kecil 31
Potensi ikan pelagis besar 32
Daerah penangkapan 33
Potensi perikanan tangkap 34
Penangkapan ikan pelagis pada rumpon 35
Kesimpulan 37
3 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI
EKOLOGI 38
Pendahuluan 38
Metode Penelitian 41
Pengambilan data 41
Analisis data 41
Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi ekologi menurut Code of
Conduct Responsible Fisheries (CCRF) 42
Hasil dan Pembahasan 45
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon pada dimensi ekologi 45
Tingkah laku ikan 45
Suhu perairan 47
Salinitas perairan 47
Arus perairan 48
Zona kawasan pengelolaan rumpon 48
Jarak atraktor rumpon di perairan 50
Batas wilayah 51
Perubahan ukuran ikan 52
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekologi 53
Kesimpulan 57
4 KEBERKELANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI
TEKNOLOGI 58
Pendahuluan 58
Metode Penelitian 60
Pengambilan data 60
Analisis data 60
Penentuan atribut dan analisis skorsing dimensi teknologi 61
Hasil dan Pembahasan 63
Penerapan teknologi ramah lingkungan 63
Rasio hasil tangkapan terhadap TAC 65
Keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon 66
Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon 68
Ukuran kapal penangkapan 69
Tingkat akuntabilitas 72
Jarak rumpon yang dioperasikan 74
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi teknologi 75
Kesimpulan 79
5 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI
EKONOMI 80
Pendahuluan 80
Metode Penelitian 82
Pengambilan data 82
Analisis data 83
Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi ekonomi 83
Analisis kelayakan usaha 84
Hasil dan Pembahasan 85
Nilai investasi rumpon 85
Konsumsi rumah tangga nelayan jaring bobo dan rumpon 88
Pendapatan nelayan jaring bobo dan nelayan rumpon 90
Nilai produksi 93
Nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon 94
Kelayakan usaha berdasarkan Net Present Value (NPV) 94
Kelayakan usaha berdasarkan Internal Rate Return (IRR) 95
Kelayakan usaha berdasarkan Benefit-Cost (B/C Ratio 96
Kelayakan usaha berdasarkan Return of Investment (ROI) 97
Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan 98
Rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung rumpon 100
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekonomi 101
Kesimpulan 104
6 KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN RUMPON PADA DIMENSI SOSIAL
Pendahuluan 105
Metode Penelitian 105
Analisis data 107
Penentuan atribut dan analisis skoring dimensi sosial 108
Hasil dan Pembahasan 110
Status tingkat pendidikan nelayan 110
Mendapatkan pelayanan kesehatan 113
Status penggunaan bahan berbahaya 115
Pengaruh terhadap habitat 117
Pengaruh terhadap kehidupan nelayan 119
Keamanan hasil tangkapan di sekitar rumpon 123
Potensi konflik stakeholders (antar nelayan) 124
Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati 127
Habitat utama/ekosistem pesisir dan laut di perairan Kepulauan Kei 128
Pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi 135
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi sosial 137
Kesimpulan 141
7 PEMBAHASAN UMUM 142
Aspek keberlanjutan pada dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial 143
Analisis kebijakan pengelolaan rumpon berkelanjutan di perairan
Kepulauan Kei 146
Strategi implementasi pengelolaan rumpon berkelanjutan di perairan
Kepulauan Kei 149
8 KESIMPULAN DAN SARAN 151
Kesimpulan 151
Saran 151
DAFTAR PUSTAKA 152
LAMPIRAN 160
DAFTAR TABEL
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
EKONOMI
EKOLOGI
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan
Kerangka Pikir
Mengacu kepada latar belakang dan tujuan penelitian ini, maka perlu
dikembangkan pemikiran penelitian sebagai gambaran apa yang akan dilakukan
sekaligus menjadi acuan penting dalam pengembangan kebijakan pengelolaan
rumpon yang berkelanjutan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara. Mengingat perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
mempunyai potensi dalam pemasangan dan pemanfaatan rumpon sebagai alat
bantu penangkapan jenis ikan pelagis, maka kemungkinan pemasangan dan
pemanfaatan rumpon di perairan Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara
tersebut akan semakin berkembang dalam usaha penangkapan ikan.
Saat ini keberadaan rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara tahun 2010 meningkat 53 unit dan menurun pada tahun 2014 sebanyak
36 unit. Jumlah rumpon dari tahun ke tahun menurut karena hasil tangkapan yang
diperoleh pada setiap rumpon menurun dan juga jumlah penyebaran rumpon tidak
mempertimbangkan luasan Selat Nerong serta jarak antara pemasangan rumpon
yang satu dengan rumpon yang lain. Hal ini jika dikaitkan dengan Permen Nomor
26/PERMEN/2014 tentang rumpon menetap dan hanyut serta jarak antara rumpon
minimal 10 mil maka penyebaran rumpon di perairan Kepulauan Kei masih ilegal.
Aturan yang selama ini digunakan nelayan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dalam pengelolaan perikanan adalah hak ulayat perairan.
Perangkat kebijakan pengelolaan rumpon merupakan hal yang sangat penting
untuk maksud tersebut karena menjadi panduan bagi stakeholders terkait dengan
mengelola, memanfaatkan, dan menindak pelanggaran pemanfaatan. Kebijakan
pengelolaan yang tegas dan jelas akan melindungi semua komponen pengelolaan
8
Permasalahan:
Jumlah rumpon
Jarak dan kedalaman
Hasil tangkapan menurun
Aturan dan kebijakan rumpon
KETERPADUAN
DIMENSI
Pengelolaan rumpon
Metode Penelitian
Dimensi pengelolaan
Pengambilan data/
Ekologi Teknologi Ekonomi Sosial
Input
Analisis
Analisa
Analisis
Analisa Keberlanjutan
Multidimensional
Kebijakan Scaling (MDS)
Pendahuluan
dari kegiatan yang paling sederhana, yaitu pendaftaran atau registrasi rumpon atau
pemilik atau penggunannya. Pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang
penggunaan rumpon ini, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
26/PERMEN/2014 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon, yaitu rumpon
hanyut dan rumpon menetap.
Pemasangan rumpon juga menunjukkan adanya hak pemilikan (rights)
sumber daya ikan pada nelayan-nelayan yang memiliki atau memasang rumpon
(Pollnac et al. 1998). Hak pemilikan sumber daya ikan ini merupakan suatu
kesepakatan umum yang dihormati oleh kalangan nelayan (customary practice).
Sudah umum, porsi tertentu dari hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di sebuah
rumpon diberikan kepada pemilik rumpon. Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan
yang terjadi bergerak bebas sebagai hewan liar dapat menjadi milik nelayan yang
memasang rumpon ketika ikan-ikan tersebut memijah atau berpindah tempat
maka tidak ada suatau nelayan pun mengklaim pemilikan ikan karena ikan-ikan
tersebut dianggap sudah menjadi hewan liar kembali, yaitu hewan yang tidak ada
pemiliknya. Customary practice seperti ini maka pemilik ikan sebenarnya dapat
diperkirakan jika di suatu perairan para nelayan pemasang rumpon sebanyak-
banyaknya Sondita (2011). Nelayan yang tidak memiliki rumpon atau nelayan
atau nelayan pendatang perlukan melakukan negoisasi untuk memanen ikan yang
berkumpul di rumpon-rumpon yang diimiliki oleh penduduk setempat.
Umumnya nelayan di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten
Maluku Tenggara dan Kota Tual 90% berada pada wilayah pesisir dan mata
pencarian adalah nelayan tradisional. Nelayan menggunakan Selat Nerong sebagai
tempat pengoperasiaan rumpon dan alat tangkap jaring bobo, pancing tonda dan
pancing ulur. Jarak dari fishing base ke fishing ground dengan membutuhkan
waktu 30-60 menit sedangkan kedalaman perairan pemasangan rumpon 150-200
meter, masih berada pada wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Maluku
Tenggara dan Kota Tual. Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 23
Tahun 2014 terjadi perubahan kewenangan pengelolaan laut Provinsi yang semula
4-12 mil kini menjadi 0-12, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumya oleh
pemerintah Kabupaten/Kota diambil alih oleh pemerintah Provinsi, salah satunya
kewenangan zonasi, laut yang dahulu 0-4 mil, kini menjadi 0-12 mil. Hal ini
apabila tidak di sosalisasi undang-undang tersebut dengan baik kepada pemerintah
Kabupaten/kota serta nelayan yang ada di daerah Kepulauan akan dampak
terhadap pengoperasian alat tangkap dan rumpon. Nelayan yang ada di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara masih menggunakan hak ulayat
untuk menentukan wilayah perairan pengelolaan.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui sebaran jumlah perikanan rumpon lima tahun terakhir.
2) Merumuskan masalah kebijakan berkaitan dengan perikanan rumpon di
perairan Kepulauan Kei.
3) Menganalisis keragaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.
13
Metode Penelitian
Tabel 1 Jumlah nelayan jaring bobo, jaring bobo, kapal dan rumpon serta nelayan
penjaga rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah nelayan jaring bobo, kapal dan rumpon
serta nelayan penjaga rumpon dari tahun 2010 sampai 2014 berfluktuasi. Tahun
2013 jumlah nelayan jaring bobo meningkat 80 orang (32.9%), untuk satu trip
operasi penangkapan membutuhkan nelayan 20 orang sedangkan tahun 2014
jumlah nelayan menurun karena satu trip operasi penangkapan membutuhkan
nelayan 17 orang (7%). Jaring bobo dari tahun 2010 sampai 2011 tidak ada
penambahan sedangkan pada tahun 2012 sampai 2014 masing-masing ada
penambahan satu unit jaring bobo. Kapal jaring bobo dan kapal pengangkut
nelayan penjaga rumpon pada tahun 2013 terjadi peningkatan sebanyak 13 unit
(25%) sedangkan menurun pada tahun 2014 yaitu 8 unit (15.38%). Terjadi
perubahan dari tahun ke tahun karena 1 unit jaring bobo membutuhkan 2 unit
kapal untuk satu trip penangkapan yaitu kapal utama berfungsi untuk pengangkut
jaring bobo dan pengoperasian jaring bobo sedangkan 1 unit kapal berfungsi
untuk pengangkut hasil tangkapan ke fishing base. Kapal pengangkutan nelayan
penjaga rumpon berfungsi mengangkut nelayan penjaga rumpon dari fishing base
ke fishing ground. Jumlah rata-rata 6-8 unit rumpon biasanya 1 unit kapal yang
membawa nelayan penjaga rumpon ke rumpon. Jumlah rumpon pada tahun 2010
meningkat sebanyak 53 unit (24.8%) dan pada tahun 2014 menurun sebanyak 36
unit (16.8%). Hal ini disebabkan karena jumlah nelayan penjaga rumpon dari
tahun 2010 sampai 2014 juga berfluktuasi pada tahun 2013 jumlah nelayan
penjaga rumpon untuk satu unit rumpon 4 orang 152 (26.16%) dan tahun 2011
jumlah rumpon meningkat 46 unit (21.49%) sedangkan jumlah nelayan penjaga
rumpon menurun karena untuk satu unit rumpon 2 orang nelayan penjaga rumpon
92 orang (15.83%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah nelayan jaring
bobo berkisar antara 15-25 orang untuk setiap kapal sedangkan jumlah nelayan
penjaga rumpon berkisar antara 1-4 orang setiap rumpon. Hal lain yang dapat
mempengaruhi terhadap jumlah nelayan jaring bobo dan nelayan penjaga rumpon
yaitu hasil yang diperoleh dari tahun ke tahun semakin menurun sehingga
mempengaruhi terhadap jumlah nelayan.
Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) pada perikanan rumpon di perairan
Pasauran seluas 115.4 km2 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan diperoleh dari
sebuah kapal payang tergantung dari jumlah rumpon yang dimiliki kapal tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat jumlah rumpon masih sedikit hasil
tangkapan terus meningkat. Hasil tangkapan bertambah terus sampai suatu ketika
akan mencapai maksimum, yaitu ketika penambahan rumpon tidak lagi diikuti
dengan penambahan jumlah hasil tangkapan melainkan dengan penurunan yang
15
cukup signifikan. Apabila jumlah rumpon terus ditambah, maka hasil tangkapan
cenderung menurun. Hal ini dikarenakan usaha perikanan berbasis rumpon
bersifat open access yang mempunyai ciri khas yaitu perkembangan jumlah
rumpon tidak terkontrol, penangkapan ikan secara de facto berlangsung tanpa ada
yang mengendalikan sehingga nelayan yang ada bebas melakukan penangkapan
ikan baik secara teknologi maupun daerah penangkapan. Oleh karena tidak
terkendalinya penangkapan tersebut, maka penambahan rumpon terus dilakukan
meskipun secara ekonomi sudah tidak memberikan keuntungan lagi.
Luasunaung (1999) menggunakan model Hilborn dan Medley dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa keuntungan pengusahaan soma pajeko
menjadi maksimum dengan jumlah rumpon yang dipasang sebanyak 55 unit pada
perairan sekitar Molibagu seluas 695 km2 yang berarti sebuah rumpon mencakup
luasan 13.69 km2 dengan jarak minimum antar rumpon sekitar 3.7 km.
Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah optimum kapal yang beroperasi di
perairan tersebut memberikan keuntungan maksimum dengan kombinasi antara 4
kapal dan 20 unit rumpon, dengan kombinasi ini nelayan tidak hanya mengejar
catching more untuk kepentingan sepihak tetapi juga mengacu pada efisiensi
ekonomi, sumber daya ikan dan masyarakat itu sendiri. Hal yang sama dilakukan
(Widodo et al., 1998) jika kepadatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa
dan Selat Sunda sebesar 1.70 ton/km2 maka jumlah ikan yang ada di perairan
Pasauran dengan luasan 115.4 km2.
Produksi perikanan
Rumpon
3
2 5
Keterangan:
1. Rumah
2. Badan rumpon
6
3. Pelampung
4 4. Atraktor
5. Pelampung tanda
6. Tali Nilon (PE)
7. Pemberat cor
semen
5 3 6 1
2
4 Sayap Perut Kantong Perut Sayap
7
13
77
4
5 penelitian
ini tergolong 8
10 tipe 9
11 12
Amerika
Keterangan : berbentuk
empat
1. Tali selembar atas persegi
9. Pemberat
2. Tali ris atas panjang 10. Tali color
3. Pelampung dengan 11. Tali ring
4. Sayap 12. Cincin
tubuh jaring
5. Perut 13. Selvedge
terdiri atas
6. Kantong sayap
7. Tali selembar bawah (wing),
8 Tali ris bawah kantong
(bunt), dan
badan
Gambar 5 Konstruksi jaring bobo di perairan Kepulauan Kei
(body).
Pemilihan lokasi penempatan rumpon Panjang
jaring
Pemilihan lokasi penempatanadalahrumpon750 harus memperhatikan aspek-aspek
sebagai berikut meter dan
1) Sumberdaya dalam 120
Faktor-faktor yang mempengaruhimeter keberhasilan
(2400 pengumpulan ikan di sekitar
rumpon tanpa mengganggu kelestarian sumberdayanya. Perairan mempunyai
mata)
denganlintasan migrasi ikan.
kesuburan yang tinggi dan merupakan
ukuran
2) Lingkungan perairan jaring 2
Aspek-aspek yang harus diperhatikan
inch. meliputi kedalaman dan topografi, arus,
gelombang dan angin. Tipe rumpon dan jenis alat tangkap yang dioperasikan
Spesifikasi
di rumpon harus memperhatikanalat kedalaman perairan.
3) Sosial ekonomi tangkap
Secara sosial ekonomi tidakpurse akanseine
mengakibatkan terjadinya benturan
secara rinci
kepentingan dan konflik antara sesama nelayan pemakai rumpon. Mudah
disajikan
dicapai dan diawasi atau dikontrol
padaserta
Tabelmemberikan manfaat ekonomi besar
bagi nelayan secara keseluruhan.2
4) Peraturan dan aksesibilitas sedangkan
Pemilihan lokasi harus memperhatikan
konstruksi peraturan dan perundang-undangan
tentang penggunaan perairan laut,alat
baik yang tertulis maupun secara adat. Harus
disesuaikan dengan ijin lokasi penangkapan yang diberikan bagi alat tangkap
tangkap
tertentu. Jarak antara satu rumpon purse
dengan seine
yang lainnya harus memenuhi aturan.
dapat dilihat
pada
Gambar
2.Kantong
19
Hak ulayat
Beberapa bentuk hak ulayat laut yang dikenal di nusantara, aturan
pemasangan dan pemanfaatan rumpon memiliki keunikan sebab lokasinya
mencakup laut lepas. Tidak mengutamakan tanda-tanda di darat (landmark)
sebagai alat penanda. Berbeda dengan bentuk hak ulayat laut di Maluku (sasi),
Papua, dan Sulawesi Utara.
Rumpon pada dasarnya adalah sebuah benda atau teknologi, namun pada
prakteknya berlaku aturan yang bersifat abstrak untuk itulah dikenal istilah hak
ulayat rumpon. Sebagai salah satu bentuk pengelolaan wilayah laut yang
prakteknya sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir ini, pengelolaan rumpon
di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara juga
memiliki beberapa aturan tidak tertulis yang berlaku di kalangan nelayan yang
tetap dihormati. Aturan-aturan tersebut menjadikan pengelolaan rumpon oleh
nelayan sebagai salah satu bentuk hak ulayat laut yang ada di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara.
Variabel-variabel pokok di dalam hak ulayat laut adalah: wilayah; unit
sosial pemilik hak; dan legalitas beserta pelaksanaannya. Sudirman Saad (2000)
menyimpulkan bahwa hak ulayat (laut) paling sedikit memiliki 3 unsur pokok,
yaitu: masyarakat hukum sebagai subyek hak ulayat; institusi kepemimpinan yang
memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat; dan wilayah yang
merupakan obyek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
Merujuk pada pengertian hukum adat, maka dapat dikatakan bahwa klaim
penguasaan perairan di sekitar rumpon termasuk hukum adat, karena merupakan
hukum yang hidup sebagai peraturan yang dipertahankan di dalam pergaulan
hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan rumpon di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, aturan-aturan nelayan rumpon
memenuhi aturan untuk dijadikan hukum adat atau hak ulayat, yaitu: rumpon
memiliki hak menguasai untuk menangkap ikan dalam wilayah di sekitar
rumponnya, pengecualian terhadap monopoli ini ialah penangkapan ikan oleh
nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa jaring bobo harus ada
persetujuan dari desa-desa pesisir yang memiliki hak ulayat perairan.
Adapun kewajiban para nelayan rumpon adalah memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah klaimnya itu. Selain itu, ia juga
berkewajiban memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menangkap ikan,
apabila hanya menggunakan alat tangkap pancing sedangkan alat tangkap jaring
bobo harus ada kesepakatan bersama atas hak kepemilikan wilayah perairan
penanaman rumpon.
Menurut Hanaf (1994), hak ulayat adalah hak menguasai
(beschikkingsrecht) dari masyarakat hukum adat atas tanah, air, sungai-sungai,
pantai-pantai tumbuhan-tumbuhan liar (pohon-pohon kayu), satwa-satwa liar di
dalam lingkungan wilayah (beshikkingkring) guna kepentingan masyarakat
hukum sendiri dan anggota-anggotanya serta juga bagi orang luar yang membayar
uang pemasukan (retribusi). Hak ulayat dan hak-hak masyarakat hukum adat
merupakan bagian dari hukum adat (adatrecht), yang elemen atau unsur-unsurnya
terdiri dari:
20
Lanjutan Tabel 5
keperluan orang luar yang sendiri (subsisten maupun komersial,
pemanfaatanya terbatas dengan orang luar memanfaatkan sumberdaya
membayar uang pemasukan ikan harus membayar sejumlah uang
(retribusi atau recognitie) pemasukan. Misalnya nelayan harus
berasal dari desa yang memiliki
wilayah perairan serta pemilik usaha
harus membayar uang retribusi kepada
pemerintahan desa.
23
24
Wilayah Jumlah
Letak Astronomis
Administratif Penduduk
Kecematan
Anak
LS BT Desa
Desa
Kei Basar 05009’-05r-36’ 132055’-33r-10’ 21 40 22 529
Kei Besar 05046’-06r-00’ 132049’-132r-58’ 14 8 7 602
Selat
Kei Besar 05016’-05r-47’ 133004’-133’-12’ 9 21 9 595
UtaraTimur
Kei Kecil 05032’-05r-48’ 132032’-132r-51’ 22 15 40 407
Kei Kecil 05r45’-06r-04’ 132025’-132r- 44’ 8 2 5 628
Barat
Kei Kecil 05046’-05r-57’ 132042’-132r-49’ 13 16 10 668
Timur
Kabupaten 03032’06r04’ 132025’-133r-12’ 87 102 96 429
Maluku
Tenggara
Sumber: Dinas Keluatan dan Perikanan (2014)
Kecamatan Kei Kecil sebesar 40 407 jiwa dan jumlah penduduk terendah
kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 5 628 jiwa. Hal ini jika dihat dari jumlah desa
yang tertinggi pada Kecamatan Kei Kecil sebesar 22 buah dan jumlah anak desa
tertinggi pada Kecamatan Kei Besar sebesar 40 buah. Jumlah desa terendah
terdapat pada Kecamatan Kei Kecil barat sebesar 8 buah dan anak desa terendah
juga terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 2 buah. Hasil analisis
menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan jumlah desa terbanyak terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil karena Kecamatan Kei Kecil merupakan Ibu Kota
Kabupaten Maluku Tenggara yaitu Desa Langgur. Hal tersebut jika dilihat dari
jumlah jiwa dan jumlah desa maupun anak desa terendah terdapat pada
Kecamatan Kei Kecil Barat karena baru terjadi pemakaran kecamatan dari
Kecamatan Kei Kecil pada tahun 2013. Hasil pengamatan dan wawancara di
lapangan menunjukkan bahwa jumlah nelayan perikanan pelagis yang
menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan pelagis tersebar di
tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kei Kecil Desa Sathean, Kecamatan Kei Kecil
Timur Desa Danbuk, Desa Mastur dan Desa Mastur Lama, sedangkan pada
Kecamatan Kei Besar yaitu Desa Lerohoilim, Desa Udar dan Desa Nerong serta
Desa Ngan.
Tabel 7 Jumlah pulau, luas daratan dan panjang garis pantai berdasarkan
Kecamatandi Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Berdasarkan Tabel 8 nilai luas perairan 0-4 mil laut yang tertinggi terdapat
pada Kecamatan Kei Besar 781.38 mil laut 25.33% dan luas perairan terendah
terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur 158.39 mil laut 5.13%. Pada luas
perairan 4-12 mil laut nilai luas perairan tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei
Besar 1 250.40 mil laut 27.26% dan nilai luas perairan terendah pada Kecamatan
Kei Kecil 116.20 mil laut. Luas total perairan Kabupaten Maluku Tenggara
tertinggi terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Barat sebesar 2 084.92 mil laut
27.18% dan luas total perairan terendah terdapat pada Kecamatan Kei Kecil
Timur sebesar 335.81 mil laut 4.37.
Rumah Tangga
Kecamatan Nelayan Kelompok
Perikanan
Kei Besar 415 832 7
Kei Besar Utara Timur 230 463 10
Kei Besar Selatan 150 301 26
Kei Kecil 327 737 36
Kei Kecil Barat 225 550 2
Kei Kecil Timur 135 276 4
Total 1 482 3 160 82
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)
Kapal penangkapan
Perkembangan armada tangkap nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara
tahun 2014 sesuai data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku
Tenggara dapat dilihat pada Tabel 10. Secara keseluruhan jumlah jenis kapal
penangkap ikan rata-rata per tahun 2014 didominasi oleh perahu tanpa motor 3
796 unit (79.51%), motor tempel 861 unit (18.04%) dan kapal motor 117 unit
(2.45%). Peningkatan rata-rata per tahun jumlah kapal motor terbesar terjadi pada
6 Kecamatan yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara yaitu Kecamatan Kei
Besar dengan nilai tertinggi 30.25% sedangkan Kecamatan Kei Kecil Timur
dengan nilai terendah 11.33%.
Peningkatan dan penurunan jumlah unit kapal penangkapan ikan tersebut
pada dasarnya sejalan dengan program motorisasi dan pengadaan kapal
penangkap ikan yang penangkapannya dapat menjangkau perairan yang lebih jauh
(di sekitar pulau Kei Kecil dan Pulau Kei Besar) baik dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Maluku, maupun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 10.
29
Armada Unit %
Kecamatan Tampa Motor Jumlah
Kapal Motor
Motor Tempel
Kei Kecil 647 196 2 845 17.70
Kei Kecil barat 231 223 89 543 11.37
Kei Kecil Timur 417 120 4 541 11.33
Kei Besar 1 281 161 1 1 444 30.25
Kei Besar 589 64 4 657 13.76
Selatan
Kei Besar Utara 631 96 17 744 15.58
Timur
Total 3 796 861 117 4 774 100.00
Persentase 79.51 18.04 2.45 100.00
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)
Alat tangkap
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku
Tenggara terdapat 14 217 jenis alat tangkap yang dioperasikan nelayan di 6
Kecamatan wilayah perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Dilihat
dari alat tangkap yang dioperasikan, terdapat 6 jenis alat tangkap yang memiliki
jumlah unit yang paling sedikit yaitu alat tangkap jaring bobo 12 unit 0.8, sero
tancap 4 unit 0.3, bagan apung 49 unit 0.34%, pengumpul kerang 48 unit 0.34%
dan pengumpul teripang 85 unit 0.60%. Alat tangkap paling dominan
dioperasikan nelayan di perairan Kepuluann Kei tersebar pada 6 Kecamatan
sebanyak 9 unit yaitu ; alat tangkap pancing ulur 3 509 unit 24.68%, pancing
tegak 3 373 unit 23.73%, pancing tonda 2 452 unit 17.25%, jaring insang tetap 1
296 unit 9.12%, alat tangkap lainnya 1 170 unit 8.23%, jaring insang hanyut 765
unit 5.38%, jaring insang lingkar 642 unit 4.52%, pancing lainya 489 unit 3.44%
serta bubu 323 unit 2.27%. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kepulauan Kei
Kabupataen Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 11.
30
2014 yang memiliki jumlah trip terbesar di operasikan di alat bantu rumpon yaitu
alat tangkap jaring bobo, alat tangkap pancing tonda, alat tangkap pancing ulur
dan alat tangkap pancing tegak. Hal ini dikarenakan dari hasil tangkapan dari
berbagai alat tangkap yang dioperasikan pada alat bantu rumpon hasil tangkapan
yang paling banyak diperoleh melalui alat tangkap jaring bobo dan pancing tonda.
Produksi penangkapan
Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara
(2014), perkembangan produksi perikanan tangkap yaitu ikan pelagis kecil dan
ikan pelagis besar serta ikan demersal yang tersebar pada 6 Kecamatan dapat
disajikan pada Gambar 7.
1000
Pelagis Kecil
900
Kemampuan Produksi (Ton/Tahun)
Pelagis Besar
800 Demersal
700
600
500
400
300
200
100
0
Kei Kecil Kei Kecil Kei Kecil Kei Besar Kei Besar Kei Besar
Barat Timur Selatan Utara Timur
perairan 0-4 NMI (km2) 3 084.17, kepadatan ikan, biomassa ton/tahun 8 957 dan
JTB ton/tahun 3 575 dapat disajikan pada Tabel 12.
Luas
Kepadatan Ikan Biomass JTB
Kecamatan Perairan 0-4
(Kg/km2) (Ton/thn) (Ton/thn)
NMI (km2)
Kei Kecil Barat 2 084.92 455.06 948.77 379.51
Kei Kecil 548.50 455.08 249.61 99.84
Kei Kecil Timur 335.81 455.08 152.82 61.13
Kei Besar 2 031.78 455.06 924.58 369.84
Kei Besar Selatan 1 359.20 455.05 618.51 247.41
Kei Besar Utara Timur 1 309.36 455.05 595.83 238.34
Jumlah 7 669.57 2 730.39 3 490.12 1 016.56
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2014)
Daerah penangkapan
Umumnya nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara melakukan aktivitas
penangkapan ikan di daerah penangkapan yang merupakan wilayah perairan
sekitar perairan Kepulauan Kei. Luas perairan pada batas surut terendah hingga 4
mil laut Kabupaten Maluku Tenggara adalah seluas 3 084.17 km2, namun
kadangkala nelayan juga melakukan aktivitas penangkapan hingga pada perairan
yang merupakan wilayah kelola Provinsi Maluku yakni pada batas wilayah
perairan 4-12 mil laut yang memiliki luas perairan 4 585.41 km2. Perairan yang
dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan Kabupaten Maluku
Tenggara adalah seluas 7 669.58 km2 dapat disajikan padaTabel 14.
34
Kesimpulan
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengambilan data
Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara, yang meliputi kawasan perairan pulau Kei Besar, yaitu
perairan Udar, Lerohoilim, Nerong dan desa Ngan, sedangkan Pulau Kei Kecil
meliputi perairan Pulau Watsit, Pulau Daar, Mastur Lama, Mastur Baru, Denfet
dan Sathean Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini berlangsung selama 12
bulan (Januari 2014 - Januari 2015). Pengambilan data lapangan terhadap data
ekologi perairan dilakukan pada tanggal 25-27 Februari 2014 dengan
mengunakan alat carrent meter, thermometer batang, PH meter, BOD meter,
COD meter, hand GPS garmin, GPS garmin. Data yang lain di peroleh melalui
wawancara langsung terhadap nelayan rumpon pada desa-desa nelayan yang
ditentukan sebagai sampel.
Tekanan pemanfaat perairan atau tingkat intensitas pemanfaatan perairan
oleh berbagai kegiatan secara langsung akan mempengaruhi kondisi ekologi
perairan pemasangan rumpon. Semakin tinggi tingkat pemanfaatan (tekanan)
perairan maka akan menyebabkan semakin menurunnya kualitas perairan
tersebut. Tekanan perairan ini dapat berupa pemanfaatan laut sebagai lahan
budidaya laut, jalur-jalur sarana lalu lintas transportasi laut, tempat pembuangan
sampah, daerah penangkapan ikan padat dan sebagainya.
Perubahan ukuran ikan dan jenis ikan dalam satutahun terakhir akan
menggambarkan dampak akibat terjadinya perubahan ekologi. Jika ukuran ikan
semakin kecil maka dapat dikatakan lingkungan perairan dan sumberdaya
perikanan pelagis kecil mengalami kerusakan (degradasi), begitu juga yang
terjadi pada perubahan jenis ikan yang tertangkap dimana ikan yang tertangkap
semakin kecil dari masa kemasa. Kondisi yang demikian dapat dikategorikan
growth overfishing yaitu terjadi manakala stok ikan yang ditangkap rata-rata
ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada
tingkat per recruit yang maksimum Fauzi (2005).
Analisis data
Kajian dimulai dengan analisis keberlanjutan dari kondisi saat ini
pemasangan rumpon di lokasi penelitian melalui proses ordinasi menggunakan
algoritma The Rapid Appraisal of The Status Of Fisheries (RAPFISH) (Kavanagh
2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Menggunakan MDS,
diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji terhadap
42
dua titik acuan yaitu titik “baik (good)” dan titik “buruk (bad)”. Analisis
keberlanjutan dilakukan melalui tahapan penentuan atribut atau kriteria
pengelolaan rumpon berkelanjutan mencakup dimensi ekologi. Analisis MDS,
sekaligus dilakukan leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai Stress, dan
nilai Koefisien Determinasi (R2)). Analisis Leverage digunakan untuk mengetahui
atribut yang sensitif, ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut
yang sensitive untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam
proses analisis yang dilakukan, pada selang kepercayaan 95%. Nilai stress dan
keefesien determinasi (R2) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya
penambahan atribut, untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat.
Menurut Kavanagh et al. (2004), model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress
dibawah nilai 0.25, dan nilai R2 di atas kepercayaan 95% sehingga kualitas dari
analisis MDS dapat dipertangung jawaban.
besar dan tidak terlalu kecil, dan diutamakan merupakan wilayah pertemuan
arus. Kekuatan arus diperlukan juga untuk mempertimbangkan kesesuaian
keberadaan rumpon di sekitar lokasi pemasangan.
- Kedalaman laut dan atraktor rumpon. Kedalaman perairan menentukan jenis
rumpon yang dipasang dan kedalaman atraktor rumpon karena berkaitan
dengan jenis ikan target yang ditangkap. Kedalaman juga akan
mempengaruhi kecerahan yang tinggi, sehingga cahaya matahari bisa tembus.
- Kawasan lokasi pengelolaan rumpon dapat dilakukan pada lokasi kawasan
pemanfaatan atau kawasan pengelolaan bukan pada kawasan lindung dengan
status kawasan perlindungan, kawasan rehabilitasi, kawasan inti atau
sejenisnya yang disterilkan dari aktivitas pemanfaatan. Kemudian juga
diperhatikan zona yang berkaitan dengan aktivitas lainya seperti palayaran
dan wisata bahari.
- Batas wilayah lokasi pengelolaan rumpon perlu dihindari pada wilayah laut
yang menjadi perbatasan negara dengan negara lain. Pengelolaan dapat
dilakukan pada wilayah laut perbatasan antara provinsi atau antar kabupaten
asalkan ada kesempatan antara pihak-pihak di kedua provinsi atau di kedua
kabupaten. Hal ini penting untuk menghindari klaim pengelolaan dan konflik
pemanfaatan.
Skor yang diberikan untuk setiap atribut dalam analisis dimensi ekologi dari
pengelolaan rumpon disajikan pada Tabel 17.
44
tersebut kembali lagi ke rumpon semula (Cayre 1991). Hasil pengamatan vertikal
menunjukkan bahwa kedalaman renang ikan cakalang pada malam hari cederung
berada di perairan lebih dalam (100-150 m) sedangkan pada siang hari berada
pada kedalaman 0-20 m. Ikan madidihang pada siang hari mencapai kedalaman
antara 70 - 100 m dengan suhu > 25-270C dan pada malam hari 40-70 m dengan
suhu >270C, pada umumnya ikan madidihang berenang mendekati permukaan
pada malam hari dan mulai cenderung berenang semakin dalam pada pagi hari
sesudah matahari terbit. Nilai tengah kedalaman ikan madidihang yang berasosiasi
dengan rumpon sekitar 5.3 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 85.2 meter.
Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) menyatakan bahwa rumpon akan
menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di perairan.
Ikan-ikan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab antara lain mencari
makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference point bagi ikan pelagis
kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan tersebut. Perairan selat sunda
dan Samudera Hindia, rumpon sudah dapat dipasang pada kedalaman 25-30 m,
dan lebih jauh dan dalam tergantung ukuran rumpon dan armada nelayan yang
menangkap ikan serta ikan target di sekitar rumpon tersebut. Hal ini ditunjang
hasil penelitian Soedharma (1994) tentang tingkah laku ikan membentuk
komunitas di sekitar rumpon berdasarkan kelengkapan rantai makanan yang
tersedia. Ikan kelompok besar akan datang bila ada ikan kecil atau sedang yang
menjadi mangsanya di lokasi, begitu juga hal dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-
ikan tersebut akan datang dan pergi secara berkelompok dengan periode dan lama
menetap tergantung jumlah makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut.
Hasil penelitian Jeujanan (2008) rumpon di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa untuk menghadang
ikan pelagis kecil yang sedang beruaya agar terkonsentrasi di sekitar rumpon. Hal
tersebut sangat mendukung kesuksesan pengoperasian alat tangkap jaring bobo
,pancing ulur dan pancing tonda karena alat tangkap ini dapat menangkap lebih
dari satu jenis ikan pelagis kecil dengan jumlah ikan yang lebih banyak. Nelayan
di desa Sathen, Danbuk, Mastur lama, Mastur baru, Lerohoilim, Udar, Nerong
serta desa Ngan dalam mengoperasikan jaring bobo menggunakan rumpon
sebagai alat bantu penangkapan. Masing-masing armada penangkapan
mempunyai sekitar 1-5 buah rumpon. Rumpon dipasang pada 1 sampai 2 mil laut
dari pantai dan bergantung pada kecerahan perairan. Rumpon dilengkapai dengan
bendera tanda dengan jarak pemasangan rumpon kurang dari 10 mil laut dari
fishing base ke fishing ground. Daerah penangkapan berdasarkan pada rumpon
yang telah dipasang pada perairan. Nelayan jaring bobo dan pancing tonda dan
pancing ulur bisa saja melakukan operasi penangkapan ikan pada rumpon yang
bukan milik mereka,berdasarkan kesepakatan antara nelayan yang bersangkutan
dengan pemilik rumpon.
Komponen material rumpon yang digunakan terdiri atas pelampung rakit
yang terbuat dari batangan bambu, yang dilengkapi dengan alat pengumpul ikan
(atraktor) yang terbuat dari daun kelapa, tali pengikat dan tali pemberat dari
polyethylene, tali kawat dan swivel serta pemberat atau jangkar yang terbuat dari
drum yang dicor beton. Sebaliknya pada rumpon drum plastik sebagian besar
bahan yang digunakan bukan dari alam melainkan berasal dari buatan seperti
bahan sintesis drum plastik, bambu, daun kelapa serta semen cor.
47
Suhu perairan
Suhu perairan, salinitas serta arus merupakan parameter yang umumnya
digunakan dalam pendekatan untuk melihat hubungan antara lingkungan dan
tingkah laku ikan serta distribusinya. Parameter tersebut diatas sangat dipengaruhi
oleh kondisi meteorologi perairan. Suhu permukaan perairan di Indonesia
umumnya berkisar antara 25-300C dan mengalami penurunan satu atau dua derajat
dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (8 m), sedangkan salinitas
permukaan laut berkisar antara 31.5-34.5 psu (Tomascik et al. 1997).
Suhu air laut di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara menunjukkan nilai cukup beragam. Sebaran suhu permukaan saat
pengamat pada posisi pemasangan rumpon dan pengoperasian alat tangkap jaring
bobo menunjukkan 28.7 sedangkan suhu minimum di bagian timur pulau Kei
Kecil 26.17-26.240C dan bagian utara pulau Kei Besar 29.82-30.020C, hangatnya
suhu permukaan perairan ini disebabkan pengaruh pemanasan pada permukaan
sekitarnya, dan juga diduga karena pengaruh massa air pada permukaan laut
Banda yang hangat pada musim barat (Desember-Februari). Ilahude et al. (1996)
mengatakan bahwa suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim Barat
berkisar antara 29.61-30.320C, lebih tinggi dari suhu pada musim timur berkisar
antara 25.70-26.100C.
Perbedaan sebaran suhu secara spasial pada setiap lapisan kedalaman ini
diduga karena pengaruh pasang surut, letak geografi, perubahan musim maupun
perubahan kontur kedalaman perairan. Fenomena ini menunjukkan bahwa suhu
perairan dekat daerah pemasangan rumpon dan daerah terbuka sangat berpengaruh
terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil.
Kondisi penangkapan yang berfluktuasi dalam beberapa kondisi suhu serta
hubungannya dengan sebaran suhu permukaan laut di perairan Kepulauan Kei.
Kecenderungan ikan pelagis kecil memiliki kemampuan beradaptasi pada kisaran
suhu hasil pengukuran yakni 280C-300C. Namun kecenderungan penangkapan
optimal berada pada kisaran suhu 290C-300C. Reddy (1993) menyatakan bahwa,
ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan
dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai
kemampuan untuk mengenali dan memilih kisaran suhu tertentu yang
memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada
akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.
Salinitas perairan
Salinitas juga merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi ikan
pada perairan, Menurut Laevastu et al. (1981) salinitas mempengaruhi
osmoregulasi dalam tubuh ikan dan berpengaruh besar terhadap fertilisasi dan
perkembangan telur. Spesies yang berbeda pada umunya memiliki kemampuan
adaptasi yang berbeda pula terhadap perubahan pada salinitas. Volume air dan
kosentrasi garam-garam dalam tubuh ikan atau kerang-kerangan dipengaruhi oleh
kosentrasi garam-garam dari lingkungan. Toleransi salinitas yang disukai oleh
organisme laut berbeda sesuai dengan fase hidupnya seperti untuk telur, larva,
juvenil, dan dewasa. Salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup
(Reddy 1993). Nybakken (1982) menyatakan bahwa salinitas di daerah paparan
48
lebih bervariasi dari pada di laut terbuka atau laut dalam, kecuali di daerah dekat
sungai-sungai besar yang mensuplai sejumlah besar air tawar, salinitas tidak
berubah banyak sehingga banyak menimbulkan berbedaan ekologi.
Sebaran salinitas permukaan perairan Selat Nerong Kepulauan Kei saat
pengamat 34 psu dengan nilai rata sebesar psu. Salinitas maksimum teramati di
bagian Timur Pulau Kei Kecil dan sebelah Utara Barat Pulau Kei Besar kawasan
perairan pada posisi pemasangan rumpon 132° 44.70’ BT 5° 40.07’ LS.
Rendahnya salinitas perairan disebabkan oleh aliran air tawar dari sumber mata air
di daratan Pulau Kei Besar melalui celah bebatuan dan masuk ke perairan pantai
hingga ke laut setiap harinya, maupun turunnya hujan sehingga dapat
mempengaruhi salinitas perairan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa salinitas permukaan mengalami
peningkatan hingga lapisan kedalaman 100 m walaupun peningkatannya sangat
sempit antara setiap lapisan kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan
homogen atau tercampur mencapai kedalam 100 m.
Arus perairan
Faktor penting lain yang turut mempengaruhi penyebaran ikan di laut adalah
arus. Sikulasi arus yang baik dapat mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan
dari daerah peminjahan ke daerah pembesaran dan ke tempat mencari makan.
Ikan-ikan dewasa memanfaatkan arus sebagai alat orentasi dan bentuk rute alami.
Arus pasut secara langsung mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan tidak
langsung mempengaruhi pengelompokan makanan (Levastu dan Hayes 1981).
Reddy (1993) menyatakan bahwa ikan bergerak secara langsung terhadap
perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya
secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ yang ada pada
organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam
lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan.
Kecepatan dan arah arus di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara memperlihatkan variasi cukup beragam. Kecepatan
arus pada daerah pemasangan rumpon atau permukaan perairan saat pengamatan
berkisar antara 0.15-0.91 cm/detik dengan nilai rata-rata 0.26 cm/detik. Kecepatan
dan arah arus berubah-ubah pada setiap lapisan kedalaman hingga kedalaman 100
m. Kecepatan maksimum di Bagian Timur ke arah Utara perairan Pulau Kei Kecil
dengan arah arus dominan ke arah Barat ke Selatan Pulau Kei Besar. Pada saat
pengamatan arus terhadap pemasangan rumpon dengan mengunakan jaring bobo
untuk menangkap ikan pelagis kecil faktor yang sangat dominan mempengaruhi
adalah arus, angin dan musim. Nurhayati (2002) menyatakan bahwa sirkulasi arus
yang terjadi di suatu perairan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: musim,
angin, topografi perairan, morfologi pantai dan kedalaman laut.
Selanjutnya pada ayat (12) dinyatakan bahwa zonasi adalah suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan
potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang
berlansung sebagai satu kesatuan dalam ekosistim pesisir. Rencana zonasi adalah
rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan
perencanaan disertai dengan penetapan stuktur dan pola ruang pada kawasan
perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.02/Men/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
pasal 1 ayat (1) mendefinisikan kawasan konservasi perairan adalah kawasan
perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan
pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan. Selanjutnya
pada pasal 2 ayat (1), dimana pelaksanaan penetapan kawasan konservasi perairan
dilaksanakan dengan tujuan:
a) Melindungi dan melestarikan sumberdaya ikan serta tipe-tipe ekosistem
penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya.
b) Mewujudkan pemanfaatkan sumberdaya ikan dan ekosistem serta jasa
lingkungan secara berkelanjutan;
c) Melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan di dalam
dan/atau di sekitar kawasan konservasi perairan
d) Meningkatkan kesejahtreaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi
perairan.
Sasaran kawasan konservasi sendiri pada ayat (2) adalah pemanfaatan
berkelanjuatan sumberdaya ikan dan ekosisistimnya, serta jasa lingkungan yang
ada di dalamnya, dengan tetap menjaga kearifan lokal yang ada, sehingga dapat
menjamin ketersediaan, kesinambungan dan peningkatan kualitas nilai serta
keanekaragamannya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di
sekitar kowasan konservasi perairan. Zonasi kawasan merupakaan pembagian
kawasan (zona) yang mencerminkan ada suatu perlakuan tertentu di masing-
masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan
peruntukkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem pada setiap bagian
kawasan.
Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku
dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah
dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini
dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi
secara jelas untuk menegaskan batasnya Laffoley (1995). Memahami peranan
sonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah dengan memahami
fungsinya. Suatu kawasan dilindungi harus dapat menggambarkan tiga fungsi
dasar yang biasanya di jelaskan ke dalam tiga peran Laffoley (1995), yaitu peran
konservasi (konservasi terhadap genetik dan ekosistem), peran logistik (partisipasi
dalam penelitian dan monitoring), dan peran pembangunan (kerjasama dengan
masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi untuk mempromosikan bentuk
pembangunan berkelanjutan yang cocok dengan tujuan konservasi). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sistim zonasi yang digunakan dalam kawasan konservasi harus
mengandung ketiga peranan tersebut, yang dijelaskan sebagai: zona inti (core
area), yaitu wilayah dengan tujuan utama konservasi; zona penyangga (buffer
50
zone), yaitu wilayah yang membatasi maksud dari pengelolaan; dan zona transisi
(transition area), yaitu wilayah kerjasama dengan masyarakat sekitarnya.
Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark
1974). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan
pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik pengguna sumberdaya
dan lingkungan sehinga keberlanjutan pembangunan dapat tercapai. Secara umum
sangat sedikit alasan ekologis yang dijadikan dasar untuk menentukan batasan dan
zonasi kawasan konservasi, karena selama ini batas kawasan konservasi didasrkan
pada karakteristik geologis kawasan batas administratif atau faktor biaya. Tidak
ada aturan baku yang menetapkan ukuran optimal dan rancangan dari suatu
kawasan konservasi, yakni: kategori disagregasi (sekelompok kawasan konsevasi
berukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri. Kawasan
konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis
biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan
konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan koservasi yang
berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung
pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Adanya
zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna
mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi.
Zona pengelolaan rumpon di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten
Maluku Tenggara dapat dibagi dalam lima zona yaitu zona budidaya rumpun laut
yaitu zona ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelayaran transfortasi dari
Kei Kecil ke Kei Besar dan menghambat aktivitas penangkapan nelayan
tradisinal, zona budidaya mutiara merupakan zona yang dilakukan oleh pengusaha
dan zoni ini dalam pemasangan long line masuk ke wilayah perairan desa taar dan
desa Sathean sehingga terjadi konflik antar pengusaha mutiara dan anggota
masyarakat, zona bagan apung zona ini juga menggangu alur pelayaran aktifitas
dari kedua pulau tersebut yaitu pulau Kei Kecil dan pulau Kei Besar dan juga
dalam pemasangannya dekat dengan daerah pemasangan rumpon sehingga
berpengaruh cahaya lampu petromaks terhadap tingkah laku ikan pada rumpon.
Zona penempatan rumpon merupakan zona inti dalam penelitian ini namun dalam
penempatan rumpon di Selat Nerong dari segi zona perairan sangat menghambat
arus pelayaran di Selat Nerong karena jarak penampatan rumpon sangat dekat dan
ditempatkan di daerah pesisir perairan Desa Udar, Leroholim, Nerong dan Desa
Ngan sehingga banyak menggalami konflik antar nelayan rumpon dan nelayan
jaring bobo terhadap area perairan petuanan desa tersebut. Hal ini jika tidak
ditangani dengan baik maka lima tahun kedepatan akan terjadi overfishing dan
nelayan akan lebih jauh untuk mencari daerah operasi penangkapan. Oleh karena
itu perlu ada dukungan dari pemerintah daerah maupun instansi teknis dalam hal
ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara dan akademisi
yang dapat melakukan kegiatan penelitian sehingga dapat mengatasi masalah
tersebut.
potongan vertikal dengan arah ke bawah, (4) melindungi ikan-ikan kecil serta (5)
terbuat dari bahan yang kuat dan murah. Atraktor yang banyak digunakan berupa
daun-daunan alami seperti daun kelapa, jaring dan kumpulan tali-tamali yang
diikatkan bagian rakit telah berhasil meningkatkan efektivitas rumpon dalam
memikat kelompok ikan.
Nelayan tradisional di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara memilih daun-daun alami sebagai atraktor, hal ini dikarenakan jauh
lebih murah dibandingkan dengan daun buatan. Daun yang banyak digunakan
sebagai atraktor adalah dari famili Cycadaceae seperti daun kelapa, jumlah daun
kelapa yang digunakan nelayan untuk satu buah rumpon sebanyak 50 sampai 100
pelepah daun kelapa. Kedalaman daerah pemasangan rumpon rata-rata 150-200 m
dan untuk kedalaman pemasangan atraktor pada rumpon rata-rata 15-25 m.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap nelayan di perairan Selat Nerong
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa daya tahan dari
atraktor daun kelapa adalah 3-4 minggu sedangkan daya tahan rumpon 1-2 tahun.
Setelah 7 hari pemasangan rumpon, maka nelayan dapat melakukan kegiatan
penangkapan di rumpon tersebut. Atraktor yang terlalu lama diletakan pada
rumpon akan meyebabkan semakin sedikit ikan-ikan berkumpul di sekitarnya, hal
ini terlihat jelas dari hasil penangkapan menurun sedangkan nelayan kebanyakan
mendatangkan pelepah daun kelapa berasal dari Pulau Kei Besar.
Batas wilayah
Luas wilayah Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara 4 212.51 km2
dengan luas daratan 1 081.81 km2 dan luas perairannya 3 180.70 km2. Kabupaten
Maluku Tenggara/Kepulauan Kei menurut Astronomi terletak antara 50 sampai
6,50 Lintang Selatan dan 1320 sampai 1 3350 Bujur Timur. Adapun letak menurut
georafisnya antara lain: Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah
Utara dengan Irian Jaya Bagian Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan
Kepulauan Aru dan sebelah Barat berbatasan dengan Kota Tual dan Laut Banda
bagian Utara Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara hanya terdiri atas 3 gugusan
Kepulauan yaitu gugusan Kepulauan pulau Dullah merupakan tempat Ibu Kota
Tual, sedangkan pulau Kei Kecil merupakan Ibu Kota Kabupaten Maluku
Tenggara dan kepulauan Kei Besar. Selat Nerong merupakan tempat lokasi
penelitian Selat Nerong dapat memisakan antara Pulau Dullah, Pulau Kei Kecil
dan Pulau Kei Besar jika dilihatan dari aktivitas penduduk yang mendiami ketiga
pulau tersebut sebagian besar melakukan aktivitas di Pulau Dullah dan Pulau Kei
Kecil menggunakan kapal laut sebagai transportasi pulang pergi antara 3 pulau
tersbut.
Nelayan yang berada di ketiga pulau tersebut menggunakan Selat Nerong
sebagai tempat aktivitas penangkapan maupun budidaya yaitu tempat budidaya
mutiara, budidaya rumput laut dan tempat operasi penangkapan bagan apung,
sedangkan tempat untuk penampatan rumpon lebih banyak ditempatkan di daerah
pesisir pulau Kei Besar. Dilihat dari aktivitas nelayan yang menggunakan rumpon
sebagai tempat operasi penangkapan jaring bobo banyak berasal dari pulau Kei
Besar dan Pulau Kei Kecil yaitu desa Sathean, Mastur Lama, Mastur baru Danfet,
52
Lerohoilim, Udar, Nerong serta desa Ngan. Hasil obsevasi lapangan dan
wawancara terhadap nelayan yang berada di desa-desa tersebut mereka
mengungkapkan bahwa apabila dari pengusaha rumpon maupun alat tangkap
jaring bobo jika ditempatkan di wilayah perairan petuwanan desa A maka perlu
ada kesepakan antara desa A dengan pihak pengusaha rumpon maupun jaring
bobo. Hasil kesepakatan antara pihak desa dan nelayan yang berada di desa
tersebut adalah apabilah pengusaha menggunakan perairan sebagai tempat
pemasangan rumpon dan operasi penangkapan jaring bobo maka perlu ada
dispensasi tertentu yakni pengusaha rumpon menyediakan bahan rumpon dan
dikerjakan oleh nelayan setempat maupun ABK jaring bobo juga berasal dari desa
setempat. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan pengelolaan berkelanjutan
yang lebih jelas dari pihak pemerintah daerah sehingga tindak mengganggu alur
pelayaran transporatsi laut dari pulau Kei Besar ke Pulau Kei Kecil maupun
aktivitas penangkapan ikan di Selat Nerong sehingga tidak menimbulkan konflik
antara desa yang menggunakan Selat Nerong sebagai tempat operasi rumpon dan
jaring bobo terhadap ikan pelagis kecil.
Berdasarkan panjang ikan (Tabel 18) dan distribusi panjang total empat
jenis ikan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ikan hasil tangkapan
nelayan dengan alat tangkap jaring bobo pada alat bantu rumpon di Selat Nerong
sudah mencapai ukuran dewasa jika dibandingkan dengan ukuran pada saat
dewasa jenis-jenis ikan tersebut terbanyak ditemukan pada ukuran 23-26 cm.
Hasil penelitian Jeujanan 2008 di perairan Kepulauan Kei ukuran minimum 12.0
cm dan ukuran maksimum 24-26 cm, sedangkan hasil penelitian Tanjaya 2011 di
perairan Kepulauan Kei panjang ikan-ikan yang tertangkap berkisar mulai dari
15.5-15.9 cm hingga 27-27.9 cm.
60,00
UP
40,00
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya
20,00
Real Fisheries
0,00 BAD GOOD
References
0,00 20,00 40,00 60,00
62,87 80,00 100,00
Anchors
-20,00
-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon
14,94
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Gambar 9 Peran atribut dari dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk
perubahan nilai RMS di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
TEKNOLOGI
100
80 71,57
60
40
62,87 20
EKOLOGI 0 EKONOMI
62,17
53,92
SOSIAL
Sembilan atribut pada dimensi ekologi yang dianalisis, terdapat lima atribut
yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan status
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara. Atribut atribut yang sensitif
tersebut adalah seperti yang dapat disajikan pada Tabel 19.
56
Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi ekologi
(multidimensional) layak dan menyurupai kondisi sebenarnya kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di periran Kepulauan Kei Selat
Nerong Kabupaten Maluku Tenggara maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien
diterminasi (R2) dan nilai stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang
dipersyaratkan, maka perlu dilakukan kroscek dan penambahan atribut baru dalam
analisis. Adapun hasil uji statistik terhadap koefisien diterima (R2) dan nilai stress
di dapat disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan Stress
Hasil Uji
Dimensi Ekologi
Stess 13.54
R2 94.08
Kesimpulan
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengambilan data
Rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan pelagis kecil dengan
menggunakan alat tangkap jaring bobo, pancing ulur dan pancing tonda yang
sering digunakan nelayan di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Jika dilihat dari atribut yang digunakan untuk menganalisis
rumpon dan alat tangkap tersebut dalam penelitian ini ada 7 atribut yaitu
penerapan teknologi ramah lingkungan, rasio hasil tangkapan terhadap TAC,
keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon, tingkat investasi
pengusahaan rumpon, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, ukuran
kapal penangkapan dan tingkat akuntabilitas.
Atribut alat bantu rumpon dan alat tangkap ramah lingkungan dapat
mengambarkan berapa jumlah alat bantu rumpon maupun alat tangkap yang
dioperasikan di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara. Atribut rasio hasil tangkapan terhadap TAC berapa besar hasil
tangkapn yang diperoleh atribut keuntungan nelayan dapat memberikan informasi
tentang keuntungan nelayan selama musim Barat yaitu bulan Januari-April, atribut
BBM dapat mengambarkan informasi tentang pengunaan bahan bakar minyak
satu kali trip dari fishing base ke fishing ground dan kembali ke fishing base,
atribut selektivitas alat tangkap mengambarkan tentang ukuran mata jaring
terhadap hasil tangkapan, atribut ukuran kapal penangkap mengambarkan tentang
panjang kapal, tinggi kapal dan volume kapal, atribut akuntabilitas
menggambarkan bagaimana hukum peraturan daerah sampai pusat tentang aturan
pemasangan rumpon dan atribut berapa jarak pemasangan rumpon
menggambarkan tentang berapa mil dari garis pantai dan berapa jarak antara satu
rumpon terhadap rumpon yang lain.
Analisis data
Penentuan indeks status keberlanjutan teknologi rumpon terhadap ikan
pelagis kecil dimulai dengan pembuatan skor setiap atribut pada dimensi
teknologi kondisi realita data di lapangan baik dengan wawancara dan
pengamatan langsung terhadap nelayan rumpon dan jaring bobo pancing ulur dan
pancing tonda pada saat operasi penangkapan. Penyusunan skor ini berdasarkan
acuan-acuan yang telah dibuat baik melalui literatur maupun judgment dari
penulis dengan asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh
kemudian dimasukkan ke dalam program microsoft excel dengan template
teknologi yang telah disiapkan sebelum kemudian di-run sehinga diperoleh nilai
Multidimensional Scaling dari RAPFISH yang lebih dikenal dengan indeks
keberlanjutan.
61
Nilai indeks keberlanjutan rumpon dan ikan pelagis kecil ini pada metode
Rapfish diketahui mempunyai reference dari bad (buruk) sampai good (baik)
dalam selang 0-100. Penentuan status keberlanjutan pengelolaan rumpon dan ikan
pelagis kecil di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut di bagi menjadi
beberapa bagian, yaitu dengan membagi empat selang 0 - 100 tersebut. Selang
indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50
dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76 - 100 dalam
status baik. Pembagian selang yang menggambarkan status indeks keberlanjutan
teknologi tersebut dapat disajikan pada Tabel 22.
Lanjutan Tabel 23
2) UU tentang dari 4 kriteria yang ada
perikanan 2 Pengelolaan rumpon memenuhi 3
3) Peraturan daerah dari 4 kriteria
dan 4) Hukum adat 3 Pengelolaan rumpon memenuhi
semua kriteria yang ada
Sumber : CCRF, Jusuf (1999)
a. Aspek berkelanjutan
Hasil seleksi aspek berkelanjutan dari setiap unit penangkapan ikan yang
beroperasi diperairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara disajikan pada
Tabel 24. Berdasarkan Tabel 24 diketahui bahwa alat tangkap pancing tonda
memperoleh nilai tertinggi (3.83) pada beberapa kriteria berdasarkan penangkapan
ikan yang berkelanjutan seperti menerapkan teknologi ramah lingkungan (nilai 4),
jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC (nilai 4), menguntungkan (nilai 4),
investasi rendah (nilai 3), penggunaan BBM rendah (nilai 4), memenuhi ketentuan
hukum yang berlaku (nilai 4) diikuti oleh alat tangkap pancing ulur, pancing tegak
(nilai 3.66), dan jaring insang permukaan (nilai 3) dan jaring insang lingkar serta
jaring insang dasar (nilai 3.5). Alat tangkap bubu (nilai 3) dan alat tangkap bagan
64
apung (nilai 2.5) menduduki urutan ketiga. Alat tangkap pukat tarik (nilai 2) serta
alat tangkap sero tancap (nilai 1.8), dari kedua alat tersebut tidak memperhatikan
kriteria-kriteria aspek berkelanjutan sehingga alat tangkap ini menduduki urutan
yang paling akhir dalam penilaian skoring berdasarkan aspek berkelanjutan dapat
disajikan pada Tabel 24.
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (2) jumlah hasil tangkapan tidak
melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) (3) produk mempunyai
pasar yang baik (4) investasi yang digunakan rendah (5) pengunaan bahan bakar
rendah (6) secara hukum alat tangkap tersebut legal.
Menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, maka ditentukan nilai TAC
sebesar 80% dari nilai potensi lestari maksimum (MSY). Usaha penangkapan,
informasi tentang lestari maksimum dari suatu sumberdaya sangat diperlukan.
Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual belum dapat
menghitungkan secara baik dalam penentuan TAC untuk daerah perairan di Selat
Nerong Kepulauan Kei. Penentuan bobot didasarkan pada jumlah hasil tangkapan
ikan pelagis kecil yang tertangkap pada rumpon dan ukuran ikan tiap bulan dan
tahun yang tercatat pada data statistik Kabupaten Maluku Tenggara.
000, sebanyak 60% bahkan lebih dari setengah populasi dan di atas Rp 4 000 000
- 6 000 000 sebesar 5%. Nelayan dengan pendapatan 6 000 000 - 9 000 000,
sebesar 4.28%. Nelayan yang memiliki pendapatan di atas Rp 9 000 000 /bulan
adalah nelayan yang menangkap dan menjual ikan layang. Selain pendapatan yang
diterima nelayan melalui penjualan ikan, ternyata ada anggota keluarga nelayan
juga yang ikut bekerja. Pendapatan yang diterima anggota keluarga lain yang
bekerja antara Rp 750 000 - 1 500.000/bulan.
Nelayan juga memanfaatkan waktu luang saat tidak melaut untuk berkebun,
umumnya nelayan yang berkebun adalah mereka yang memiliki dusun/tanah
terutama bagi penduduk asli. 40.45% nelayan memanfaatkan waktu luangnya
untuk berkebun, dengan demikian kebutuhan hariannya juga didapatkan dari
kebun. Nelayan yang tidak memiliki tanah untuk berkebun mereka menggunakan
waktu luang dengan bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek dan lainnya
dengan pendapatan sekitar Rp750.000/bulan. Nelayan yang berkebun, kebutuhan
konsumsi harian keluarga didapatkan dari kebun sedangkan bagi nelayan yang
tidak memiliki kebun semua kebutuhan konsumsi keluarga dibeli di pasar.
Rumah yang ditempati nelayan umumnya dimiliki sendiri, hasil penelitian
ini mendapati bahwa hanya 9.6% nelayan yang belum memilki rumah tetap,
mereka tinggal pada rumah orang lain atau pada orang tua, sedangkan 90.4%
nelayan sudah memiliki rumah tetap. Rumah yang ditempati nelayan 20.03%
adalah rumah parmanen, 68.43% semi parmanen dan 11.54% adalah non
parmanen. Rumah-rumah nelayan juga 60.60% diantaranya sudah memiliki
fasilitas MCK yang cukup memadai sedangkan 39.40% sisanya belum memiliki
fasilitas MCK. Semua rumah (100%) rumah yang ditempati nelayan sudah dialiri
listrik. Nelayan juga memiliki berbagai peralatan elektronik seperti TV, DVD,
radio dan lain-lain, hanya 5.54% keluarga nelayan yang tidak memiliki fasilitas
tersebut.
Sisi keuangan, nelayan juga sudah menggunakan jasa - jasa keuangan resmi
seperti perbankan. 120 responden yang bersedia memberikan informasi keuangan
keluarga, 70% diantaranya memiliki tabungan sedangkan 30% sisanya tidak
memiliki tabungan. 70% nelayan yang memiliki tabungan, 40.43% diantaranya
menyimpan uangnya di bank, 2.2% menyimpan uangnya di bank dan di rumah
sedangkan 37.37% menyimpan uangnya di rumah. Hasil analisis ini juga
mendapati bahwa nelayan yang menggunakan jasa perbankan untuk meminjam
uang sebesar 2%, yang meminjamkan uang ke majikan hanya 25% dan
meminjamkan ke tempat lain ada 30%, sedangkan 43% nelayan tidak pernah
meminjam uang ke pihak manapun.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa karakteristik nelayan yang miskin,
pendidikan rendah dan predikat negatif (rendah lainnya di masyarakat)
sebagaimana ditemukan pada nelayan perikanan pelagis kecil di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara. Mukaffi (2008) menjelaskan bahwa masyarakat
nelayan di Indonesia merupakan golongan masyarakat yang dianggap miskin
secara absolut, bahkan paling miskin diantara penduduk miskin (the poorest of the
poor), hal yang hampir sama disampaikan oleh Kusnadi 2002, Budi 2008 yang
dikutip Kinseng (2011), Kusnadi et al. (2002); Wahyono et al. (2001). Faktor
utama yang memungkinkan kondisi ekonomi keluarga nelayan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara dan sekitarnya memiliki pendapatan yang tinggi
68
nelayan kecil dan menengah dalam penangkapan ikan cukup jelas dan
memuaskan. Saat ini, tinggal diupayakan bagaimana pengelolaan rumpon di
perairan Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat
berkelanjutan dan apakah semua dimensi pengelolaan yang ada di Selat Nerong
mendukung keberlanjutan pengelolaan rumpon di kawasan.
Kapal utama dilengkapi dengan palka kapasitas dari kapal tersebut dapat
memuat hasil tangkapan sekitar 2-3 ton. Palka ini hanya dipergunakan jika pada
saat kegiatan penangkapan memperoleh hasil tangkapan yang banyak dan pada
kapal johnson tidak dapat lagi menampung hasil tangkapan, namun pada
umumnya hasil tangkapan yang diperoleh akan diletakkan pada kapal Johnson.
Kapasitas hasil tangkapan untuk kapal johnson berkisar antara 4-6 ton.
Perawatan kapal jaring bobo biasanya dilakukan setiap bulan pada saat tidak
melakukan kegiatan penangkapan, yaitu pada saat bulan purnama. Kapal jaring
bobo dalam sebulan tidak melakukan kegiatan penangkapan selama 7-10 hari.
Perawatan yang dilakukan meliputi pengecetan atau perbaikan-perbaikan jika
kerusakan pada kapal.
Gambar 14 Kapal yang terbuat dari fiberglass yang dipakai dalam penelitian
72
Tingkat akuntabilitas
Isu internasional tentang rumpon (FAD) sebagai alat bantu dalam
penangkapan ikan mengancam sumberdaya ikan di perairan berkembang sejak
Konferensi Internasional tentang FAD di Martinuque, Perancis pada tahun 1999.
Tentu saja isu ini berdasar pada Code of Conduct For Responsible Fisheries yang
dikeluarkan oleh FAO pada tahun 1995 Yusfiandayani (2004). Hal ini
dikarenakan alat tangkap purse seine yang berkembang dengan pesat di Samudera
Pasifik bagian Timur yang diopersikan pada drifting fish aggregating device
menekankan ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad. Terdapat pro
dan kontra tentang hal itu karena FAD merupakan alat bantu yang diyakini sangat
efektif dalam menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine
payang dan pancing.
Isu regional tentang perkembangan penggunaan rumpon yang pesat
menimbulkan berbagai masalah diantaranya (Direktorat Jenderal Perikanan 1996):
- Ketidak seimbangan produktivitas alat tangkap yang digunakan nelayan di
Philipina dengan nelayan plasma di maluku dan Irian Jaya, dimana
produktivitas purse seine Philipina jauh lebih tinggi dari pada pancing ulur
nelayan plasma di Maluku dan Irian Jaya.
- Lokasi pemasangan rumpon laut dalam tidak mencerminkan komposisi yang
seimbang antara kepentingan perikanan industri (Philipina) yang mengguasai
hampir seluruh kawasan ZEE Laut Sulawesi dan Pasifik, sedangkan BUMN
dan plasmanya terbatas di beberapa tempat perairan Maluku dan sebagian
kecil di Samudera Pasifik yeitu utara Irian Jaya dan Maluku.
- Pemasangan rumpon oleh nelayan Philipina bahkan semakin cederung tidak
terkontrol, walaupun pembatasan sudah dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Perikanan, sehingga menimbulkan situasi padat rumpon yang menimbulkan
keresahan nelayan-nelayan pole and line di Sulawesi Utara dan Maluku
kerena rumpon tersebut diduga telah menghalagi ruaya ikan dari Laut
Sulawesi dan pasifik yang menuju ke perairan Maluku dan Laut Banda.
- Pemasangan rumpon laut dalam oleh perusahan perikanan di lepas pantai Jawa
Barat dan lepas pantai Flores dan Timor telah menimbulkan gejolak sosial
(konflik sosial) karena telah mengganggu produktivitas nelayan-nelayan
setempat.
laut, (4) tidak boleh dipasang kurang dari 12 mil laut di ukur dari garis pasang
surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, (5) tidak bole dipasang
dengan cara pemasangan yang menggakibatkan efek pagar (zig-zag) yang
mengancam kelestarian jenis ikan pelagis. Kewenagan pusat Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap diatas 12 mil laut dan ZEE Indonesia mendapat usulan posisi
pemasangan rumpon dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi.
Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014 terjadi
perubahan kewenangan pengelolaan laut Provinsi yang semula 4-12 mil laut kini
menjadi 0-12, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya oleh pemerintah
Kabupaten/Kota diambil alih oleh pemerintah Provinsi, salah satu kewenangan
zonasi, laut yang dahulu 0-4 mil laut, kini menjadi 0-12 mil laut. Adapun
perorangan atau perusahan berbadan hukum yang akan memasang rumpon wajib
terlebih dahulu memperoleh izin.
Pengaturan Pemasangan rumpon:
- Dinas Perikanan dan Kelautan baik Provinsi dan Kabupaten harus terlebih
mengetahui betul lokasi tempat rumpon tersebut akan dipasang baik
menyangkut masalah biologis ikan (populasi dan migrasinya) maupun
masalah legalitas seperti misalnaya peruntukan wilayah perairan tersebut
termasuk juga kepentingan sektor/subsektor lain misalnya pelayaran, daerah
latihan militer, cagar alam dan lain-lain.
- bagi pengusaha perikanan/nelayan yang akan memasang rumpon mengajukan
permohonan izin pemasangan kepada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangan pemberi izin sesuai dengan Kepmen Kelautan dan Perikanan
Nomor 26/PERMEN/2014 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon.
- dalam pemasangan rumpon setelah memperhatikan pengajuan permohonan
izin pemasangan rumpon tersebut agar melakukan penilaian baik terhadap
administrasi permohonan tersebut penilaian terhadap lokasi dimana rumpon
tersebut akan dipasang.
Hukum atau aturan sasi di Kepulauan Kei sudah berlangsung sangat lama,
sejak zaman datuk-datuk (nenek moyang) namun susah dilacak informasi autontik
tahun pastinya. Penelusuran kepada tokoh masyarakat juga tidak ada yang
mengetahui asal usulnya, kecuali pada persoalan bahwa sasi adalah hukum adat
lokal yang sudah turun temurun sejak nenek moyang mereka mendiami wilayah
ini. Berdasarkan penelusuran literatur, sejarah sasi laut terbentuk lebih lama
dibandingkan sasi darat, karena negeri (desa) dipantai pesisir adalah perkem-
bangan baru negeri/desa di perairan Kepulauan Kei. Bentuk sasi di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara diperlakukan pada dua bentuk jenis sumberdaya,
yaitu untuk sumberdaya di darat disebut sasi darat dan sumberdaya di laut disebut
sasi laut. Sasi darat mengatur sumberdaya hutan batas wilayah tanah, kayu, dan
kelapa. Sasi laut mengatur batas wilayah perairan berupa ikan, teripang dan kima.
Hukum adat sasi ditemukan di semua desa pada enam Kecamatan di
Kabupaten Maluku Tenggara dan masih berjalan efektif. Sasi laut biasanya tidak
bermotif pengaturan kegiatan ekonomi, melainkan lebih kepada kepentingan
konservasi dan sosial. Hukum sasi laut di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara telah dipahami dan secara turun temurun berlaku. Implementasinya, sasi
menjadi mekanisme pengaturan yang sangat efektif karena masyarakat di
74
dan wawancara dengan nelayan rumpon menunjukkan bahwa jarak antara rumpon
saling berdekatan mengakibatkan terjadinya penurun hasil tangkapan yang
diperoleh oleh nelayan. Pemasangan rumpon saling berdekatan juga
pengoperasikan bangan apung (lift net) juga difokuskan di perairan Selat Nerong
dan berdekatan dengan daerah pemasangan rumpon menggakibatkan cahaya
lampu petromaks pada bagan apung dapat mempengaruhi ruaya ikan sehingga
hasil tangkapan pada rumpon menurun. Hal tersebut juga disampaikan oleh
beberapa pengusaha rumpon dan nelayan jaring bobo mereka mengeluh semakin
sedikit ikan di sekitar rumpon, sehingga harus melakukan penangkapan di tempat
yang lebih jauh, misalnya di perairan sebelah timur pulau Kei Besar dan perairan
pulau Kur.
Penelitian terhadap pengoperasian purse seine yang menggunakan cahaya
dan rumpon sebagai pemikat ikan serta dideteksi dengan sonar di perairan
Pekalongan telah dilakukan oleh Suryawan (1999). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan waktu setting di lokasi fishing ground yang sama
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan. Perbedaan waktu
setting hanya berpengaruh terhadap jenis ikan yang tertangkap, dimana pada
malam hari jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan adalah selar bentong
dan kembung, sedangkan pada dini hari adalah selar dan jepuh. Selanjutnya
dikatakan bahwa berbedaan kedalaman fishing ground berpengaruh terhadap
komposisi hasil tangkapan dimana selar bentong mendominasi pada fishing
ground dengan kedalaman 41-50 m, 50-60 m dan 81-90 m. Hasil tangkapan pada
kedalaman 71-80 m didominasi oleh selar.
Jumlah rumpon yang beroperasi di Selat Nerong memperlihatkan bahwa
telah over kapasitas sehingga memberikan dampak secara langsung kepada
nelayan bahwa hasil tangkapan yang diperoleh semakin sedikit. Jika operasi
penangkapan dilakukan terus menerus maka akan dapat membahayakan
kelestarian sumberdaya ikan.
pelagis di perairan Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari
dimensi teknologi dapat disajikan pada Gambar 15.
60,00
UP
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya
40,00
20,00 71,57
Real Fisheries
0,00 BAD GOOD References
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
Anchors
-20,00
-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan rumpon
0 2 4 6
Penerapan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah satu Atribut
Dihilangkan (pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)
TEKNOLOGI
100
80 71,57
60
40
62,87 20
EKOLOGI 0 EKONOMI
62,17
53,92
SOSIAL
Tujuh atribut pada dimensi teknologi yang dapat dianalisis, terdapat empat
atribut yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan
status keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara. Atribut-atribut yang sensitif
tersebut adalah seperti yang disajikan pada Tabel 29.
Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi teknologi
(multidimensional) layak dan menyurupai kondisi sebenarnya kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di periran Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien
diterminasi (R2) dan nilai stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang
dipersyaratkan, maka perlu dilakukandan penambahan atribut baru dalam analisis.
Adapun hasil uji statistik terhadap koefisien diterima (R2) dan nilai stress dapat
disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan Stress
Hasil Uji
Dimensi Teknologi
Nilai Stess 14.20
Nilai Square (R2 ) 94.76
Tabel 31 Analisis Monte Carlo dan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi
Kesimpulan
Pendahuluan
Metode Penelitian
Pengambilan data
Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2013 sampai Januari 2014
berlokasi di Selatan Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara yang
terdiri dari Pulau Kei Kecil yaitu Desa Sathean, Desa Danbuk, Desa Mastur
Lama, Desa Mastur Baru sedangkan di Pulau Kei Besar yaitu Desa Leroholim,
Desa Udar, Desa Nerong serta Desa Ngan Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi
Maluku. Desa-desa ini dipilih karena merupakan pusat nelayan rumpon dan
nelayan jaring bobo. Data primer berupa ekonomi masyarakat nelayan berupa
harga ikan, biaya produksi, dan pendapatan tiap unit rumpon dan alat tangkap
secara purposif. Data primer yang terkumpul dan kemudian diseleksi untuk
menghitung rata-rata biaya, harga ikan, pendapatan tiap-tiap dari masing-masing
unit rumpon dan alat tangkap jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur serta
kapal.
Metode yang digunakan dalam penelitian bab ini sama seperti pada bab-bab
yang dibahas sebelumnya, yaitu gabungan antara penelitian deskriptif dan survei
langsung (pengamatan dan wawancara). Data tentang pendapatan nelayan rumpon
skala kecil, rasio usaha perikanan tangkap bergantung rumpon, pertumbuhan
usaha pendukung penangkapan, konsumsi rumah tangga nelayan rumpon skala
kecil diperoleh melalui wawancara langsung dengan nelayan rumpon maupun
nelayan jaring bobo di lokasi penelitian. Data kontribusi perikanan terhadap nilai
produksi dan nilai B/C dengan nelayan rumpon diperoleh melalui laporan Dinas
Perikanan dan Kelautan, Badan Pusat Statistik, dan dinas-dinas terkait yang
berwewenang mengeluarkan data-data tersebut.
Metode penentuan indeks keberlanjutan ekonomi pengelolaan rumpon
terhadap ikan pelagis kecil dengan teknik RAPFISH dilakukan dengan sistimatika
yang sama dengan bab-bab yang sebelumnya. Indeks status keberlanjutan
83
ekonomi perikanan pelagis kecil dengan alat bantu rumpon di mulai dengan
pembuatan skor setiap atribut pada dimensi ekonomi berdasarkan kondisi realita
data di lapangan baik dengan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun
dengan mengunakan data sekunder. Penyusunan skor ini berdasarkan acuan-acuan
yang telah dibuat baik melalui literatur maupun judgment dari penulis dengan
asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh kemudian dimasukan
dalam program Microsoft Excel dengan template ekonomi yang telah dipersiapkan
sebelumnya kemudian di-run sehingga diperoleh nilai Multidimensional Scaling
dari RAPFISH yang lebih dikenal dengan indeks keberlanjutan.
Analisis data
Kajian dimulai dengan analisis keberlanjutan dari kondisi saat ini
pemasangan rumpon di lokasi penelitian melalui proses ordinasi menggunakan
algoritma The Rapid Appraisal of the Status of Fisheries (RAPFISH) (Kavanagh
2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Dengan menggunakan
MDS, diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji
terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik (good)” dan titik “buruk (bad)”. Analisis
keberlanjutan dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) tahapan penentuan
atribut atau kriteria pengelolaan rumpon berkelanjutan, mencakup dimensi
ekonomi; (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan
kriteria pengelolaan, setiap dimensi; (3) tahap analisis ordinal nilai indek
keberlanjutan dengan menggunakan metode MDS. Analisis MDS, sekaligus
dilakukan leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai Stress, dan nilai
Koefisien Determinasi (R2). Analisis Leverage digunakan untuk mengetahui
atribut yang sensitif, ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut
yang sensitif untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam
proses analisis yang dilakukan pada selang kepercayaan 95%. Nilai stress dan
koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya
penambahan atribut, untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat.
Menurut Kavanagh et al. (2004), model yang baik ditunjukan dengan nilai stress
di bawah nilai 0.25 dan nilai R2 di atas kepercayaan 95% sehingga kualitas dari
analisis MDS dapat dipertangungjawabkan.
termasuk pada kondisi produksi cederung turun. Menurut Gaspersz 1992 dan
Cahyono 1995, kelayan usaha dapat diukur dari parameter Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), Return of Investment (ROI) dan Benefit-
Cost Ratio (BCR).
sebagian kecil nelayan rumpon berasal dari Desa Sathean, Danbuk, Mastur Baru
dan Mastur Lama. Hasil pangamatan lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan
nelayan jaring bobo semua berasal dari pulau Kei Kecil serta tempat pendaratan
ikan di Desa Sathean dikarenakan pulau Kei Kecil dekat dengan pasar lokal dan
perusahaan-perusahaan perikanan.
Hasil penelitian Telaumbanua 2004 menunjukkan bahwa rumpon yang
dipasang di perairan Sumatera Barat oleh nelayan Sibolga (Sumatera Utara) telah
mempunyai teknologi yang baik, hal ini dapat terlihat dari material yang
digunakan seperti pengapung dari plat besi dan diisi dengan sterofoam cor, tali
pemberat dari rantai dan tali serat sintesis, pemberat dari coran beton seberat 1
800 kg (18 buah) dan material pemikat dari daun nibung yang dipasang pada
kedalaman perairan sekitar 2 000 meter. Biaya pembuatan atau pemasangan
rumpon ini sekitar Rp. 28 892 000.-
Hasil penelitian Handayani (2013) di Manggar Baru Balikpapan
menunjukkan bahwa investasi rumpon merupakan alat yang obyek dan
strukturnya bersifat permanen atau sementara yang didesain dan
dikonstruksi/dirangkai dari jenis material alami dan buatan yang berjangkar tetap
di laut atau dapat dipindahkan di laut dalam atau dangkal untuk maksud memikat
ikan dengan efek utama memusatkan ikan agar memudahkan dalam
penangkapannya. Material rumpon terdiri dari tali, karung pemberat, material
pemberat atau jangkar, pelepah daun kelapa serta pelampung. Selain material
rumpon, biaya transportasi dan tenaga kerja termasuk dalam biaya investasi
rumpon. Transportasi digunakan untuk membawa rangkaian rumpon yang sudah
jadi ke tengah laut untuk dipasang, sedangkan biaya tenaga kerja ialah biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan kegiatan penyelaman saat memasang rumpon sesuai
titik koordinat yang diinginkan. Total biaya pembuatan rumpon sekitar Rp. 11 410
000.
Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk pengoperasian pada rumpon
adalah alat tangkap jaring bobo. Investasi yang dikeluarkan untuk membangun
sebuah alat tangkap jaring bobo di perairan Kepulauan Kei dapat disajikan pada
Tabel 34.
Tabel 34 Biaya investasi jaring bobo di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara
No Uraian Volume Satuan Harga (Rp) Jumlah (Rp)
1 Kapal
a. Kapal utama 1 Buah 75 000 000 75 000 000
b. Kapal Jhonson 1 Buah 35 000 000 35 000 000
2 Alat tangkap
a. Jaring 36 Bal 85 000 3 060 000
b. pelampung 1 150 Buah 12 000 13 800 000
c. Timah 1 kg 60 Buah 35 000 2 100 000
d. Timah cincin 1.2 kg 115 Buah 35 000 4 025 000
e. Tali Pelampung 10 mm 5 Rol 600 000 3 000 000
f. Tali timah 5 mm 2 Rol 300 000 600 000
g. Tali cincin 16 mm 2 Rol 1 100 000 2 200 000
h. Benang jahit D16 3 Bal 125 000 375 000
i. Biaya kerja 1 Unit 15 000 000 15 000 000
3 Mesin Yamaha 40 PK 4 Buah 38 000 000 152 000 000
Total 306 160 000
88
Hasil analisis jaring bobo yang ditunjukkan pada Tebel 34 nilai investasi
yang dikeluarkan untuk membangun sebuah alat tangkap jaring bobo diperairan
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara sebesar Rp. 306 160
000. Investasi yang dikeluarkan dari pengusaha jaring bobo bertempat Desa
Sathean sedangakan untuk pengoperasian alat tangkap atau ABK sebagian kecil
berasal dari desa sathean. Nelayan sebagian besar berasal dari desa Danbuk,
Mastur Lama dan Mastur Baru, hasil wawancara dengan pengusaha rumpon dan
jaring bobo dapat menjelaskan bahwa untuk mengembalikan dana yang
dikeluarkan cukup satu kali musim penangkapan dalam satu tahun dana investasi
yang dikeluarkan bisa dikembalikan. Pengusaha rumpon dan jaring bobo yang ada
di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara sangat menguntungkan
dan dapat menggurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang ada di daerah
tersebut.
Tabel 35 Nilai pengeluaran rumah tangga nelayan jaring bobo dan nelayan
rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Biaya pengeluaran atau konsumsi yang dihitung adalah dalam kurun waktu
satu tahun, yang terdiri dari pengeluaran untuk kebutuhan pangan dan non
pangan. Biaya pengeluaran konsumsi lainnya yang tertera pada pengeluaran non
pangan adalah berbagai jenis biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga nelayan
dalam kurun waktu satu tahun yang terdiri dari biaya rekening listrik, PBB,
pendidikan anak, pembelian sandang pakian dan lain-lain. Rata-rata pengeluaran
rumah tangga nelayan jaring bobo dan rumpon dalam satu tahun adalah sebesar
90
Rp. 13 625 730/tahun. Hal ini disebabkan persentase pengeluaran atau konsumsi
pangan yang besar untuk masing-masing rumah tangga. Tidak adanya pengaruh
secara signifikan besarnya pendapatan terhadap pengeluaran untuk kebutuhan
primer, namun besarnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap kebutuhan
sekunder, seperti pendidikan, pembayaran pajak dan pembelian barang jasa.
Keuntungan Keuntungan
Musim Bulan Keuntungan Keuntungan
Jenis nelayan Pemilik
penang- Penang- musim nelayan jaring
Usaha rumpon Usaha
kapan kapan Penangkapan bobo (25%)
(25%) (50%)
Rumpon Puncak Jan-Apr 400 350 000 100 087 500 200 175 000 100 087 500
laut Sedang Mei-Agust 204 375 000 51 093 750 102 187 500 51 093 750
dangkal Panceklik Sept-Des 51 847 500 12 961 875 25 923 750 12 961 875
Total 656 572 500 164 143 125 328 286 250 164 143 125
Data pimer diolah (2014)
Tabel 37 Biaya opersional yang dikeluarkan untuk satu kali trip melaut pada alat
bantu rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Hasil
Laba bersih
Gambar 18 Sistem bagi hasil perikanan rumpon dan jaring bobo di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara
93
Sistem bagi hasil nelayan rumpon dan jaring bobo di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Handayani Boa, 2013 bahwa pendapatan merupakan hasil bersih setelah dikurangi
atau dikeluarkan biaya-biaya. Adapun penerimaan yang diperoleh nelayan dari
hasil jual ikan tangkapan perbulan setiap rumpon dengan asumsi semua hasil
tangkapan dijual yaitu sekitar Rp 31 334 000, kemudian biaya pengeluaran ke
fishing ground per bulan per rumpon dalam rupiah, terdiri dari biaya tetap dan
biaya tidak tetap atau biaya operasional. Estimasi biaya tetap pejala rumpon
Manggar Baru Rp. 1 038 600 perbulan setiap rumpon terdiri dari penyusutan
komponen rumpon, penyusutan pelampung, mesin, kapal dan jala serta biaya
pemeliharaan. Estimasi biaya operasional terdiri dari bahan bakar, lampu,
konsumsi dan es yakni sekitar Rp 1 740 000 sehingga kalkulasi pendapatan pejala
rumpon sekitar Rp 28 600 000 perbulan setiap rumpon. Asumsi pendapatan yang
diperoleh tersebut apabila kegiatan ke fishing ground dilakukan sekitar bulan
Oktober sampai dengan April, yaitu saat gelombang laut tidak tinggi atau tidak
berbahaya.
Nilai produksi
Pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum bisa dilakukan
dengan peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan yang ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan nelayan, produk domestik bruto, devisa negara,
pendapatan asli daerah, pemenuhan gizi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja,
tanpa menganggu dan merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi hasil
tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara cenderung lebih besar dibandingkan hasil tangkapan ikan demersal, ikan
lainnya, udang dan cumi-cumi.
Produksi hasil tangkapan ikan pelagis kecil oleh nelayan di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun 2010-2014 cenderung
mengalami peningkatan, dengan rata-rata produksi pertahunnya sebesar 599.42
ton. Berdasarkan data pada gambar 19, produksi hasil tangkapan terbanyak jenis
ikan selar 3 236.9 ton terjadi pada tahun 2013 dan terendah jenis ikan kembung
sebesar 1 789.7 ton pada tahun 2010. Rata-rata produksi tertinggi adalah jenis
ikan selar sebesar 998.54 ton dan yang terendah adalah jenis ikan kembung
367.39 ton. Hasil penelitian 2014 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi produksi hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei
yaitu musim penangkapan, jumlah kapal penangkapan ikan, dan efektivitas alat
bantu penangkapan ikan dapat disajikan pada Gambar 19.
94
1400
PRODUKSI (Ton/Tahun)
1200
1000
800
600
400
200
0
2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 19 Produksi hasil tangkapan ikan pelagis menurut jenis sumberdaya ikan
di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Tabel 38 Kondisi penerimaan dari operasi jaring bobo pancing tonda dan pancing
ulur di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
jaring bobo, pancing tonda di perairan Kepulauan Kei berdasarkan Net Present
Value (NPV) dapat disajikan pada Tabel 39.
Berdasarkan Tabel 39 tersebut, nilai NPV jaring bobo paling tinggi (Rp 2
036 965 551). Hal ini menunjukkan bahwa jaring bobo dapat memberikan
keuntungan bersih sebesar Rp 2 036 965 551 selama masa operasinya jika diukur
dari nilai sekarang yaitu setelah mempertimbangkan kondisi bunga bank sekitar 7
%. Hasil survei lapang menunjukkan bahwa usaha perikanan jaring boobo,
pancing tonda dan pancing ulur dapat dioperasikan secara layak/normal selama 5
tahun. Keuntungan bersih ini lebih disebabkan oleh penerimaan bersih jaring bobo
yang tinggi, yaitu mencapai Rp 656 572 250, sementara biaya operasional relatif
standar (Rp 436 000 per trip atau Rp 52 320 000 per tahun). Terkait dengan ini,
maka dari segi NPV, usaha perikanan jaring bobo mempunyai prospek yang
sangat baik untuk pengembangannya termasuk sebagai usaha perikanan unggulan
di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Menurut Hanley dan
Spash (1993), nilai NPV tersebut cerminan keuntungan bersih yang didapat
pelaku usaha pada kondisi terakhir saat keuntungan dihitung.
Terhadap kondisi tersebut, maka jaring bobo, pancing tonda dan pancing
ulur di perairan Kepulauan Kei tidak perlu diragukan lagi sumbangan
keuntungannya, meskipun ketiga menggunakan ABK yang cukup banyak dalam
setiap trip operasi penangkapan yang dilakukannya. Hal ini tentu sangat baik,
mengingat usaha perikanan tersebut telah dikuasai nelayan di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara tinggal melanjutkannya (Wudianto, 2001).
Nilai IRR untuk pancing ulur dan jaring bobo termasuk bagus, karena suku
bunga bank yang berlaku hanya 7% (bunga deposito). Oleh karena semua
parameter finansial penting dari analisis kelayakan usaha dapat dipenuhi dengan
baik oleh usaha perikanan pancing tonda, pancing ulur dan jaring bobo, maka
ketiga usaha perikanan ini sangat layak tanpa syarat finansial apapun dilanjutkan
termasuk menjadikannya sebagai usaha perikanan unggulan dan penopang
kesejahteraan nelayan di kawasan perairan Kepulauan Kei. Mekanisme operasi
yang dilakukan selama ini, termasuk waktu operasi, lama operasi per trip, dan
lainnya dapat terus dilanjutkan karena sudah termasuk efektif.
bobo mempunyai nilai paling baik untuk parameter NPV. Terkait dengan ini,
maka pengembangan ketiga usaha perikanan tersebut perlu dipertahankan karena
dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan perekonomian di kawasan perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 41.
Net B/C
Jaring bobo >1 5.62 Layak
Pancing Tonda >1 18.74 Layak
Pancing Ulur >1 14.73 Layak
Sumber : hasil analisis data lapang (2014)
ROI
Jaring bobo >1 1.37 Layak
Pancing Tonda >1 5.57 Layak
Pancing Ulur >1 4.59 Layak
Sumber : hasil analisis data lapang (2014)
98
a. Faktor internal
Faktor internal yang berpengaruh dalam pengembangan perikanan tangkap
jaring bobo dan alat bantu penangkapan ikan rumpon di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara, seperti kekuatan adalah tingkat pengusahaan
teknologi oleh nelayan cukup tinggi, sehingga dalam pengoperasian penangkapan
cukup untuk menghasilkan hasil tangkapan yang banyak. Hal ini dapat dilihat
dengan tingkat produksi yang cukup tinggi setiap tahun.
Perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara merupakan daerah
yang menyimpan potensi perikanan pelagis yang melimpah. Ini terlihat dengan
intensitas penangkapan ikan pelagis di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dari hasil produksinya tinggi. Di samping itu dengan kegiatan
perikanan tangkap dengan menggunakan alat bantu rumpon yang tinggi, jumlah
nelayan cukup besar mengindikasi bahwa potensi perikanan pelagis di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara cukup besar, jumlah armada jaring
bobo dan alat bantu penangkapan rumpon, teknologi penangkapan yang dikuasai
dan produksi hasil perikanan yang cukup besar merupakan suatu kekuatan internal
dalam pengembangan perikanan jaring bobo dan alat bantu penangkapan rumpon.
Selain itu, faktor internal yang juga menjadi kekuatan berdasarkan
penelitian ini yaitu jumlah hari penangkapan dan jumlah alat bantu rumpon.
Jumlah hari penangkapan dan jumlah rumpon yang dioperasikan akan
berpengaruh nyata terhadap produksi hasil tangkapan. Artinya bahwa setiap
penambahan hari operasi penangkapan ikan akan memberikan kontribusi positif
terhadap produksi hasil tangkapan. Juga dengan jumlah rumpon yang ditempatkan
di wilayah perairan fishing ground dan juga setiap penambahan rumpon akan
meningkatkan jumlah operasi penangkapan.
Faktor internal yang merupakan kelemahan dalam pengembangan perikanan
tangkap jaring bobo dan alat bantu penangkapan rumpon di perairan Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah jumlah alat tangkap jaring bobo tidak
seimbang dengan jumlah rumpon sehingga kebanyakan jaring bobo tidak
99
dioperasikan sebagian rumpon yang ada ikan, sedangkan sisi lain tidak
tersedianya tempat pendaratan ikan (TPI), yang sangat berpengaruh terhadap
kegiatan operasi penangkapan. Ini diindikasikan oleh kegiatan pendaratan ikan
dilakukan di tempat yang berdekatan dengan sang pemilik usaha masing-masing,
sehingga tidak dapat menyerap pembeli yang besar. Tingkat pendidikan anak
buah kapal (ABK) dan nelayan rumpon yang rendah juga merupakan kelemahan
yang dapat menghambat pengembangan perikanan jaring bobo dan alat bantu
rumpon, ini dapat berakibat langsung pada ABK. Keadaan ini menyebabkan ABK
tidak dapat mandiri dalam mengembangkan usahanya sendiri dan selalu
bergantung pada pemilik/pengusaha. Faktor-faktor internal yang berpengaruh
pada pengembangan jaring bobo dan alat bantu rumpon dapat disajikan pada
Tabel 43. Penelitian sama dilakukan Mustaruddin (2012) di Banyuwangi dengan
menggunakan analisis SWOT terhadap faktor internal dan eksternal terhadap
pengembangan perikanan tangkap bersinergi aspek lingkungan sosial dan
ekonomi dapat disajikan pada Tabel 43.
Tabel 43 Faktor-faktor internal perikanan jaring bobo dan alat bantu rumpon di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Faktor Internal
Kekuatan (Strength)
1 Teknologi jaring bobo dan alat bantu rumpon di kuasai nelayan
2 Produksi hasil perikanan pelagis yang cukup besar
3 Sumberdaya manusia sebagai nelayan banyak tersedia
4 Jumlah hari penangkapan dan jumlah alat tangkap serta alat bantu rumpon
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produksi hasil perikanan
5 Tinggi jaring/kedalaman jaring dan jumlah rumpon akan menentukan tingkat
produksi hasil tangkapan
Kelemahan (Weaknesses)
1 Tidak tersedianyaTPI
2 Tingkat pendidikan ABK yang rendah
3 Fasilitas permodalan tidak mendukung usaha perikanan
4 Jumlah jaring bobo tidak sebanding dengan jumlah rumpon
sumber : Data primer diolah, (2014)
b. Faktor-faktor eksternal
Ruang yang menjadi faktor eksternal untuk pengembangan jaring bobo dan
alat bantu rumpon di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah
potensi perikanan pelagis cukup tinggi, permintaan perikanan sangat tinggi baik
ditingkat lokal maupun nasional untuk konsumsi protein ikan. Hal ini ditandai
dengan peningkatan konsumsi ikan sebagai kandungan gizi. Peningkatan
konsumsi ikan mendukung pengembangan perikanan jaring bobo dan alat bantu
rumpon.
Selain potensi yang cukup besar ini, ternyata terdapat beberapa ancaman
anatara lain hasil produksi ikan tidak diimbangi dengan kemampuan pembeli
sehingga menyebabkan harga ikan tidak stabil. Seringkali daya beli masyarakat
tidak dapat mengimbangi tingkat produksi jaring bobo yang dihasilkan lewat alat
bantu penangkapan rumpon. Disamping itu, kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) yang cukup tinggi menggakibatkan para pengusaha sering mengeluarkan
100
biaya yang lebih besar untuk persediaan BBM setiap kali melakukan operasi
penangkapan. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan
perikanan jaring bobo dan alat bantu penangkapan rumpon di perairan kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara dapat disajikan pada Tabel 44.
Faktor Eksternal
Peluang (Opportunities)
1 Potensi sumberdaya ikan tersedia
2 Meningkatnya permintaan ikan
3 Adanya dukungan Pemda untuk pembangunan usaha perikanan
Ancaman (Threats)
1 Harga ikan tidak stabil
2 Harga BBM yang tinggi
3 Harga ikan masih dikuasai pedangang pengumpul
Sumber : data primer diolah, (2014)
60,00
UP
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya
40,00
20,00
Real Fisheries
References
0,00 BAD GOODAnchors
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00
-20,00 62,17
-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon
dari dimensi ekonomi adalah pendapatan nelayan rumpon dengan skor nilai 6.44,
nilai produksi dengan skor nilai 5.30,nilai investasi rumpon dengan skor nilai
4.94. Secara jelas kontribusi setiap atribut terkait dengan dimensi ekonomi dapat
disajikan pada Gambar 21.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 21 Peran atribut dari dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk
perubahan nilai RMS di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara
103
TEKNOLOGI
80 71,57
60
40
20
62,87 62,17
EKOLOGI 0 EKONOMI
50,6
SOSIAL
Tujuh atribut pada dimensi teknologi yang dianalisis, terdapat empat atribut
yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan status
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong. Atribut atribut yang sensitif tersebut adalah seperti yang dapat
disajikan pada Tabel 45.
Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi ekonomi
(multidimensional) layak dan menyerupai kondisi sebenarnya dengan kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien determinasi (R2) dan nilai
stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang disyaratkan, maka perlu
dilakukan dan penambahan atribut baru dalam analisis. Adapun hasil uji statistik
terhadap koefisien diterima (R2) dan nilai stress dapat disajikan pada Tabel 46.
104
Tabel 46 Hasil uji statistik terhadap koefisien determinasi (R2) dan Stress
Hasil Uji
Dimensi Ekonomi
Nilai Stress 14.04
Nilai R2 94.47
Kesimpulan
1) Ketiga usaha perikanan tangkap yang dioperasikan pada rumpon layak untuk
dikembangkan di perairan Kepulauan Kei kerena mempunyai nilai NPV,IRR,
ROI dan nilai B/C lebih baik dari yang dipersyaratkan.
2) Secara umum, status keberlanjutan dimensi ekonomi terhadap tujuh atribut
pengelolaan rumpon yang dikaji mempunyai rata-rata nilai indeks
keberlanjutan 62.17 (cukup berkelanjutan). Namun, dari ketujuh atribut yang
dianalisis atribut B/C ratio penangkapan pada rumpon memiliki tingkat
sensifitas yang tinggi tingkat keberlanjutan. Pengembangan yang berpeluang
dilakukan melalui suatu kebijakan yangdiarahkan untuk perbaikan nilai atribut-
atribut keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon dimensi ekonomi terutama
pada atribut pendapatan nelayan rumpon, nilai produksi dan nilai investasi
rumpon dengan tidak mengecilkan pengembangan dari atribut lainnya.
105
Pendahuluan
dilokasi yang telah ditentukan. Kajian perikanan pelagis berbasis rumpon pada
dimensi sosial dilakukan untuk menggambarkan kehidupan nelayan sebagai
manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sumberdaya
perikanan sebagai sumber kehidupannya. Aspek sosial selama ini terabaikan perlu
mendapatkan perhatian serius dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan laut,
sehingga upaya pencapaian distribusi, pemerataan pendapatan, dan penanganan
konflik yang proporsional diantara berbagai kelompok pengguna sumberdaya
dapat tercapai.
Analisis RAPFISH pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari
sembilan atribut yaitu tingkat pendidikan nelayan, kemudahan mendapatkan
pelayanan kesehatan, status penggunaan bahan berbahaya, pengaruh terhadap
habitat, pengaruh terhadap kehidupan nelayan, keamanan hasil tangkapan nelayan
rumpon bagi konsumen, potensi konflik stakeholdrs antar nelayan, pengaruh
terhadap keanegaragaman hayati, dan pengaruh terhadap ikan-ikan yang
dilindungi.
Atribut tentang tingkat pendidikan nelayan berguna untuk mengetahui
tingkat pendidikan nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo dalam tingkat
penerapan alat penangkapan. Atribut status penggunaan bahan berbahaya yaitu
untuk mengetahui sejauh mana nelayan yang ada di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara terutama di kawasan Selat Nerong apakah dalam penangkapan
ikan menggunakan bahan berbahaya seperti bom, potasium, dan bahan kimia yang
lain, atribut pengaruh terhadap habitat yaitu untuk mengetahui sejauh mana
tingkat penerapan alat tangkap dan alat bantu penangkapan apakah ramah
terhadap habitat dan selektif terhadap hasil tangakapn atau tidak, atribut pengaruh
terhadap kehidupan nelayan yaitu untuk mengetahui sejauh mana tingkat
kehidupan nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo dari tingkat pendapatannya,
atribut keamanan hasil tangkapan nelayan rumpon bagi konsumen yaitu untuk
mengetahu bagaimana dalam tingkat keamanan nelayan dalam menjaga rumpon
dan hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap jaring bobo untuk tingkat
penanganan hasil tangkapan sampai ke tingkat konsumen, atribut potensi konflik
stakeholders antara nelayan yaitu untuk menjaga keseimbangan antara nelayan
rumpon dan nelayan jaring bobo dalam penggunaan kedua alat tersebut dalam
pengelolaan wilayah perairan sehingga tindak menimbulkan konflik antar
nelayan, atribut pengaruh terhadap keanekaragaman hayati yaitu untuk
mengetahui tingkat penerapan alat tangkap dan alat bantu penangkapan dalam
penerapan tidak merusak keanekaragaman sumberdaya yang ada dan juga
menjaga wilayahnya sehingga dapat berkelanjutan, dan atribut pengaruh terhadap
ikan-ikan yanng dilindungi yaitu untuk mengetahu sejauh mana ikan yang
dilindungi turut tertangkap dengan alat tanggkap jaring bobo pada alat bantu
rumpon.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menentukan status keberlanjutan perikanan rumpon dalam perspektif
keberlanjutan menurut dimensi sosial.
2) Mengkaji atribut-atribut yang sensitif terhadap pengelolaan perikanan rumpon
di perairan Kepulauan Kei.
107
Metode Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada dimensi sosial dilakukan pada bulan April
2013 sampai Juni 2014 difokuskan di 3 lokasi yaitu Kecamatan Kei Kecil Timur
yaitu Desa Sathean, Desa Danbuk, Desa Mastur Lama dan Desa Mastur Baru.
Kecamatan Kei Besar yaitu Desa Lerohoilim, Desa Udar, Desa Nerong serta Desa
Ngan. Data sekunder yang diperuntukkan untuk mendukung analisis ini di telusuri
baik di ibu kota Provinsi (Kota Ambon), Ibu Kota Kabupaten (Kota Langgur), Ibu
Kota Kota Tual (Tual). Disamping itu data pendukung lainya juga ditelusuri dari
nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo, nelayan pancing ulur serta nelayan
pancing tonda di berbagai desa-desa tersebut.
Jenis data penelitian yang digunakan dalam pengambilan data dimensi sosial
budaya adalah merupakan jenis penelitian survei, yang mana data informasi utama
dikumpulkan dari responden melalui kuisioner. Pengambilan data dilakukan
melalui dua pendekatan yakni: pertama: pendekatan kelompok diskusi terfokus
(focus group discusions) yang diperuntukan bagi tokoh agama, tokoh adat, dan
pemerintah desa. Data dan informasi yang ingin diperoleh dari kelompok diskusi
ini adalah pengelolaan rumpon dan alat tangkap jaring bobo, alat tangkap pancing
ulur serta alat tangkap pancing tonda berbasis kearifan lokal, sejarah
perkembangan pembangunan desa, bentuk-bentuk implementasi kebijakan baik
ditingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan maupun pada tingkat Desa serta
arahan dan harapan pengembangan masyarakat ke depan. Kedua metode
wawancara langsung (tatap muka) dengan responden, yang dilengkapi dengan
kuesioner. Tahapan ini penentuan sampel dilakukan dengan pendekatan
pengambilan sampel secara acak dengan jumlah responden yang sama pada
seluruh desa sampel (proporsive random sampling) yakni total jumlah responden
yang diharapkan adalah sebanyak 130 responden yang dilakukan pada 7 desa,
dimana masing-masing desa ditentukan sebanyak 15 responden. Jenis dan jumlah
responden telah ditentukan sesaran proposional yakni nelayan rumpon (7 orang ),
nelayan jaring bobo (5 orang), nelayan pancing ulur (3 orang) serta nelayan
pancing tonda (3 orang) petani (3 orang). Desa-desa yang menjadi target
pengambilan sampel ini adalah desa-desa yang masyarakatnya selama ini
mengakses mata pencahariannya adalah nelayan rumpon dan nelayan jaring bobo,
nelayan pancing ulur serta nelayan pancing tonda.
Analisis data
Kajian dimulai dengan analisis keberlanjutan dari kondisi saat ini
pemasangan rumpon di lokasi penelitian melalui proses ordinasi menggunakan
algoritma RAPFISH (The Rapid Appraisal of the Status of Fisheries) (Kavanagh
2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Dengan menggunakan
MDS, diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji
terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik (good)” dan titik “buruk (bad)”.
Analisis keberlanjutan dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) tahapan
penentuan atribut atau kriteria pengelolaan rumpon berkelanjutan, mencakup
dimensi sosial (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan
kriteria pengelolaan, setiap atribut, (3) tahap analisis ordinal nilai indek
keberlanjutan dengan menggunakan metode MDS. Analisis MDS, sekaligus
108
dilakukan leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai stress, dan nilai
Koefesien Determinasi (R2)). Analisis leverage digunakan untuk mengetahui
atribut yang sensitif, ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap atribut
yang sensitif untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam
proses analisis yang dilakukan, pada selang kepercayaan 95%. Nilai stress dan
koefisien determinasi (R2) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya
penambahan atribut. Mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat. Menurut
Kavanagh et al. (2004), model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress di bawah
nilai 0.25, dan nilai R2 di atas kepercayaan 95% sehingga kualitas dari analisis
MDS dapat dipertangung jawabkan.
Tabel 48 Atribut dan skor analisis dimensi sosial pengelolaan perikanan rumpon
di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Lanjutan Tabel 48
konsumen
2 Relatif aman bagi konsumen
3 Aman bagi konsumen
7 Potensi konflik 0 Menimbulkan konflik dan 0 3
stakeholders (antar tidak terselesaikan
nelayan) 1 Menimbulkan konflik, tapi
terselesaikan
2 Tidak menimbulkan konflik
namun tidak menyelesaikan
konflik yang sudah ada
3 Tidak menimbulkan konflik,
dan menyelesaikan konflik
yang sudah ada
8 Pengaruh terhadap 0 Menyebabkan kematian semua 0 2
keanekaragaman makluk hidup dan merusak
hayati habitat
1 Menyebabkan kematian
beberapa species dan merusak
habitat
2 Menyebabkan kematian
beberapa spesies tetapi tidak
merusak habitat
3 Aman bagi biodiversity
9 Pengaruh terhadap 0 Ikan yang dilindungi sering 0 3
ikan-ikan yang tertangkap
dilindungi 1 Ikan yang dilindungi beberapa
kali tertangkap
2 Ikan dilindungi pernah
tertangkap
3 Ikan dilindungi tidak pernah
tertangkap
Sumber : Monintja (2001)
Tabel 49 Pendidikan usia dan status pernikahan dari nelayan perikanan pelagis
pada rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Usia nelayan juga bervariasi, antara 21-60 tahun, dengan persentasi yang
berbeda menurut tingkat umur. Didapati nelayan dengan usia kurang dari 60 tahun
namun masih aktif bekerja, walaupun demikian aktivitas penangkapan ikan
dilakukan pada waktu malam dan pagi hari dengan jarak daerah penangkapan
dekat dengan lokasi pemukiman. Lebih banyak nelayan berada pada usia 21-30
tahun sebesar 93.33%, selanjutnya 30-40 tahun sebesar 60 % dan umur 40-50
tahun sebesar 16.6 % sedangkan yang paling sedikit di bawah 60 tahun sebesar
112
11.66 %. Hasil ini menunjukkan bahwa tenaga kerja yang bekerja sebagai nelayan
pada usaha perikanan pelagis pada rumpon dan alat tangkap jaring bobo di
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara adalah orang-orang
produktif dengan komposisi tenaga-tenaga masih muda jauh lebih banyak dari
yang tua. Hal ini membuktikan bahwa pekerjaan sebagai nelayan membutuhkan
orang-orang dengan kemampuan kerja dan daya tahan yang tinggi. Kondisi ini
dimungkinkan karena kadang mereka berhadapan dengan kondisi lingkungan
terutama angin dan ombak yang cukup mengancam walaupunhanya di wilayah
pesisir. Selain itu, aktivitas penangkapan yang mereka lakukan umumnya pada
malam hari, sehingga membutuhkan tenaga kerja dengan daya tahan yang kuat
yang terseleksi secara alamiah.
Hasil penelitian mendapatkan juga bahwa tenaga kerja yang bekerja sebagai
nelayan perikanan pelagis pada rumpon dan alat tangkap jaring bobo di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara 89.23 % sebagai kepala keluarga dan
10.76% sisanya belum berkeluarga. Jumlah anak dari nelayan yang telah
berkeluarga antara 1-7 orang. Ada 17.64% nelayan yang sudah menikah belum
punya anak, sedangkan 42,15% jumlah anak 1-2 orang, 31.7% jumlah anak 3-4
orang dan 8.82% jumlah anak 5-7 orang. Anak-anak nelayan ada yang belum
bersekolah dan ada yang bersekolah dari SD sampai perguruan tinggi, ada juga
yang putus sekolah. Hasil penelitian ini mendapati bahwa anak-anak nelayan yang
putus sekolah tidak berhubungan dengan biaya pendidikan tetapi dari anak itu
sendiri, terutama karena menikah. Hasil penelitian ini mendapati bahwa dari 90
responden yang memiliki anak sekolah, 15 responden atau 16.66% diantaranya
memiliki tanggungan anak yang sementara studi di perguruan tinggi (kuliah), 28
responden atau 31.11% sekolah lanjutan atas (SMA) dan sisanya SMP, SD dan
TK, dengan jumlah tanggungan anak sekolah 1-6 orang. Hasil ini menunjukkan
bahwa kesadaran nelayan terhadap pendidikan sudah cukup tinggi, hal ini terbukti
dengan tingkat pendidikan nelayan itu sendiri dan tanggung jawabnya dalam
menyekolahkan anak dapat disajikana pada Tabel 50.
Tabel 50 Jumlah anak, tangungan anak sekolah dan anggota keluarga para nelayan
yang berkerja di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Data pada Tabel 50 di atas menunjukkan bahwa ada 102 responden nelayan
yang berstatus kepala keluarga, dan 90% diantaranya punya tanggung jawab
terhadap pendidikan anak-anaknya. Dengan demikian jika pendapatan mereka
rendah, kemungkinan tanggung jawab pendidikan anak menjadi terabaikan jika
tidak ditunjang oleh yang lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari
113
102 responden yang berstatus kepala keluarga, jumlah anggota keluarga lain yang
bekerja atau yang turut membantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga
adalah 44 responden atau 61.11% sedangkan 28 atau 38.88% belum bekerja. Bagi
nelayan yang lain, semua tanggung jawab ekonomi keluarga berada pada nelayan
itu sendiri. Dengan demikian jika pendapatan mereka rendah maka kemungkinan
kondisi ekonomi keluarga menjadi terpuruk.
Tabel 51 dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota rumah tangga nelayan
buruh rumpon tergolong baik (< 25% sering sakit) yaitu sebesar 66.04%. Penyakit
yang dialami hanya penyakit ringan seperti batuk, flu, pusing dan sakit perut.
27.84% anggota rumah tangga pedagang tergolong cukup (25-50% sering sakit)
biasanya sakit yang dialami yang harus dilakukan perawatan intersif. 4.12%
anggota rumah tangga buruh nelayan rumpon tergolong kurang ( >5% sering
sakit) biasanya sakit yang dialami sudah parah hingga menyebabkan kematian.
Kriteria-kriteria yang mendukung dalam indikator kemudahan mendapatkan
pelayanan kesehatan meliputi jarak rumah sakit terdekat, jarak ke
poliklinik/puskesmas/posyandu, biaya berobat, penanganan berobat, alat
kontrasepsi, konsultasi KB, dan harga obat-obatan. Tabel 52 menjelaskan
indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan pada rumah tangga buruh
nelayan rumpon di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Berdasarkan
Tabel 52 terdapat 41.24% rumah tangga buruh nelayan rumpon yang memiliki
jarak terdekat antara 0.01 - 3 km dengan rumah sakit, sedangkan 58.76% rumah
tangga buruh nelayan rumpon memiliki jarak terdekat dengan rumah sakit. Buruh
nelayan rumpon yang memiliki jarak terdekat antara tempat tinggal dengan
poloklinik/puskesmas/posyandu yaitu 0.01-2 km sebanyak 24.74%, dan yang
memiliki jarak terdekat sebanyak 75.26%. Hal ini ditunjang dengan fasilitas yang
diberikan pemerintah dalam melayani kesehatan bagi masyarakat. Selain itu,biaya
berobat yang ditetapkan oleh suatu lembaga bagi 31% responden terjangkau,
48.45% responden yang merasa cukup terjangkau dan kurang terjangkau 20.62%.
Sebanyak 46.39% responden mengatakan bahwa penanganan tenaga medis
sudah baik, namun 53.61% responden lainnya mengatakan cukup baik. Mengenai
alat kontrasepsi responden yang menyatakan mudah didapat terdapat sebanyak
26.8% responden dan 50.52% responden lainnya menyatakan cukup mudah
didapat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan respon nelayan tentang konsultasi KB
sebanyak 23.71% responden menyatakan mudah, 38.14% responden cukup
mudah dan 15.46% responden menyatakan sulit dalam melakukan konsultasi KB
kepada tim medis. Harga obat-obatan yang harus dikeluarkan oleh responden
apabila mengalami sakit terbilang terjangkau bagi 39.18% responden dan 60.82%
responden menyatakan cukup terjangkau.
Berdasarkan penilaian akan kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan
seperti yang ditujukkan pada Tabel 52 77.32% responden menyatakan mudah
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan sedangkan 22.68% responden lain
mengatakan cukup mudah mendapatkan pelayanan kesehatan dapat disajikan pada
Tabel 52.
115
Jumlah Nelayan
No Kriteria Presentase (%)
(orang)
1 Mudah (Skor 8-9) 75 77.37
2 Cukup (Skor 6-7) 22 22.68
3 Sulit (Skor 3-5 ) - -
Jumlah 97 100
kegiatan terlarang tersebut. Dinas terkait dan aparat kepolisisan juga telah
melakukan kegiatan penyuluhan kepada nelayan agar dapat menghentikan
kegiatan penangkapan ikan dengan cara tidak bertanggung jawab tersebut.
Bom/peledak atau dinamit adalah sejenis alat tangkap tidak ramah
lingkungan yang sudah dilarang oleh pemerintah, namun alat ini secara sembunyi
-sembunyi masih banyak digunakan oleh nelayan pada hampir seluruh wilayah di
Indonesia. Alat ini mulanya diperkenalkan oleh tentara Jepang pada Perang Dunia
II di Filipina. Tentara Jepang menggunakan alat sejenis granat untuk menangkap
ikan. Nelayan lokal meniru penggunaan alat ini karena dirasakan relatif murah,
mudah dan efektif walaupun dengan risiko kecelakaan yang cukup besar.
Berakhirnya PD II, nelayan kesulitan untuk mendapatkan bahan-bahan peledak.
Akhirnya, mereka mencari bahan-bahan yang tersedia secara lokal, seperti
campuran pupuk nitrat dan minyak tanah sebagai bahan dasar.
Beberapa nelayan mengkhususkan untuk menciptakan sumbu ledak.
Pengalaman ini dibawa secara berantai dari Filipina menuju Kalimantan dan
Sulawesi. Sekarang, jenis alat ini sudah menyebar pada hampir seluruh wilayah di
Indonesia. Bom utamanya digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang
bergerombol, seperti ikan-ikan pelagis kecil (lemuru, tembang, layang dan selar
atau ekor kuning). Informasi dari nelayan Nusa Tenggara Timur mendapatkan
bahwa alat ini juga bisa digunakan untuk menangkap ikan tongkol dan tuna. Pada
operasi di daerah terumbu karang, bom ditujukan untuk menangkap ikan-ikan
seperti ekor kuning dan beronang. Hasil wawancara dengan nelayan dan
pengamatan di lapangan ternyata sebagian nelayan yang ada di perairan
Kepulauan Kei menggunakan bom untuk menangkap ikan pelagis kecil seperti
ikan kembung dan ikan tongkol.
Ternyata tidak semua barang-barang bekas bisa dijadikan rumpon di dalam
laut. Ban bekas misalnya, dulu yang dipercaya mampu meningkatkan populasi
ikan disuatu wilayah, kini keberadaannya justru berbahaya. Menurut Kepala Pusat
Data, Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Soenan
H. Poernomo. Rumpon dari bahan ban bekas ini ini diduga mengandung racun
dioxin yang dapat menyerang syaraf manusia. Ternyata tidak semua barang-
barang bekas bisa dijadikan rumpon di dalam laut. Ban bekas misalnya, dulu yang
dipercaya mampu meningkatakan populasi ikan disuatu wilayah, kini
keberadaannya justru berbahaya.
Menurut Poernomo (2011) Rumpon dari bahan ban bekas ini diduga
mengandung racun dioxin yang dapat menyerang syaraf manusia.“ Kami sudah
melakukan sosialisasi, supaya tidak membuat rumpon dari ban bekas, sebab
sangat berbahaya. Amerika Serikat saja melarang pembuatan rumpon dari ban
bekas,” tegasnya.
Ban bekas mengandung senyawa dioksin, yaitu 2.3.7,8 toxic strong TCDD
yang membahayakan kesehatan makhluk hidup. Studi Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) itu menyebutkan, senyawa itu mengandung racun yang berbahaya
dan memicu penyebab kanker.
Amerika Serikat, pemakaian rumpon ban bekas gencar dilakukan pada
tahun 1970-an, tapi kini mulai berupaya untuk mengangkatnya kembali dari laut.
tahun 1997 di AS masih ada nelayan yang menggunakan ban sebagai rumpon,
namun mulai tahun 2005 negara ini mulai melakukan pengangkatannya hingga
117
kini. Tidak kurang dari US$ 34 juta untuk mengambil rumpon ban bekas dari laut
Poernomo (2011).
Tingkat bahaya atau risiko yang diterima oleh nelayan dalam
mengoperasikan alat tangkap sangat tergantung pada jenis alat tangkap dan
keterampilan yang dimiliki oleh nelayan. Risiko tingkat bahaya yang dialami oleh
nelayan didasarkan pada dampak yang mungkin diterima, yaitu: (1) Bisa berakibat
kematian pada nelayan; (2) Bisa berakibat cacat permanen pada nelayan; (3)
Hanya bersifat gangguan kesehatan yang bersifat sementara; (4) Aman bagi
nelayan.
c. Pukat harimau
Pukat harimau merupakan cara penangkapan yang merusak lainnya.
Pukat harimau merusak terumbu karang, karena biasanya digunakan di dasar
(substrat) yang lunak untuk menjaring udang. Pukat harimau dilarang
digunakan di Indonesia karena jaring/pukat ini dapat merusak hamparan laut
dan menangkap organisme yang bukan sasaran penangkapan (by-catch).
Namun demikian, meskipun kini penangkap ikan dengan pukat harimau jarang
dijumpai, kegiatan ini masih ditemukan, terutama di wilayah perbatasan.
Berdasarkan definisinya, pukat harimau tidak termasuk dalam jenis alat
tangkap ikan yang merusak. Namun demikian alat tangkap ini memberikan
pengaruh yang luar biasa buruk terhadap sumberdaya laut khususnya terumbu
karang, karena kemampuannya mengeruk sumberdaya perikanan tersebut.
Pukat harimau dengan model yang baru, yang dioperasikan di Selat Lembeh
pada tahun 1996 hingga 1997 selama 11 bulan.
Pukat ini menggunakan jerat-jaring yang sangat besar dan menangkap 1
400 ikan pari (manta), 750 marlin, 550 paus, 300 ikan hiu (termasuk hiu paus),
dan 250 lumba-lumba (Pet-Soede dan Erdmann, 30 Oktober 2006. Dampak
penangkapan ikan dengan menggunakan pukat tersebut terhadap kegiatan
ekowisata mulai terasa, karena berkurangnya kelimpahan organisme laut yang
menjadi modal utama industri ekowisata ini.
d. Pukat dasar
Pukat dasar/lampara dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya
ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini karena pukat dasar yang sering
digunakan untuk menangkap udang, juga .menangkap. ikan dan organisme lain
serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan
kerusakan ekosistem yang parah. Pukat dasar berinteraksi secara langsung
dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang
organisme hidup tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Pukat
dasar, dengan kemampuan pengerukkannya, dapat pula membongkar terumbu
karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur,
pukat ini dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi
kelangsungan hidup terumbu karang. Terhadap jenis (spesies), kerugian
utama yang ditimbulkan pukat dasar adalah tertangkapnya organisme kecil dan
jenis-jenis yang bukan sasaran penangkapan (non-target), yang biasanya
dibuang begitu saja di laut. Dampak terhadap spesies ini dapat dikurangi
dengan menggunakan jaring dengan ukuran tertentu yang dapat mengurangi
peluang tertangkapnya organisme yang berukuran kecil.
bahkan waktu-waktu tertentu semua hasil tangkapan dijual dan untuk konsumsi
keluarga mereka membeli ikan-ikan pelagis dengan nilai jual yang lebih rendah.
Hasil tangkapan dijual di pasar lokal di Kota Langgur dan Kota Tual yang ada di
Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Hasil tangkap ikan lebih dari satu
ton biasanya di jual di kapal penampung atau perusahan Sinar Jaya yang berada di
Kota Langgur dan Maluku Banda Sejahtera di Kota Tual. Hasil ini menunjukkan
bahwa orientasi menangkap ikan oleh nelayan-nelayan perikanan pelagis di
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara adalah untuk kepentingan komersal
bukan untuk konsumsi sehingga dapat melengkapi kebutuhan hidup sehari-hari
maupun memperbaiki perumahan, pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian
mereka bukan lagi termasuk nelayan subsisten atau tergolong nelayan komersal.
Charles (2001), menggolongkan nelayan ke dalam empat tipe yaitu 1)
Nelayan subsisten (subsistence fishery), nelayan yang menangkap ikan hanya
untuk konsumsi sendiri; 2) Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers),
yaitu nelayan yang sedikit banyaknya memiliki karakter yang sama dengan
kelompok pertama, namun sebagian hasil tangkapannya untuk dijual; 3) Nelayan
rekreasi (recreational fishers) yaitu orang yang menangkap ikan untuk tujuan
rekreasi atau bersenang-senang; 4) Nelayan komersial (commercial fishers) yaitu
mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial yang hasil tangkapannya
dipasarkan di pasar lokal maupun ekspor. Nelayan skala kecil menurut UU No 45
Tahun 2009 tentang perikanan adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
mengunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
Sebelumnya Smith (1983) membuat klasifikasi skala usaha perikanan dengan cara
membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan
dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan nelayan
tradisional.
Kesteven (1973) yang diacu dalam Smith (1983) mengelompokkan nelayan
ke dalam tiga kelompok yaitu nelayan industri, artisanal dan subsisten, dimana
nelayan industri dan artisanal berorientasi komersal sedangkan hasil tangkapan
nelayan subsistem biasanya tidak dijual di pasar tetapi lebih mengutamakan
pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri beserta keluarganya atau untuk dijual
secara barter. Berdasarkan pembagian ini, maka Smith (1983) membuat rincian
perbandingan perikanan tradisional dan industri berdasarkan technico-socio-
economic seperti pada Tabel 53.
Mengacu pada berbagai pendapat ahli dan UU No 45 tahun 2009, maka
perikanan pelagis di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara
dikatagorikan sebagai nelayan skala kecil. Berdasarkan technico-socio-economic
sebagaimana dikemukakan oleh Smith (1983), perikanan pelagis di Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dikategorikan sebagai nelayan
artisanal. Selanjutnya dari sisi komersal, sesuai kategori yang disampaikan oleh
Kesteven (1973) dan Charles (2001) maka dapat disimpulkan bahwa semua
nelayan perikana pelagis di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku
Tenggara dikategorikan sebagai nelayan komersal, karena semua hasil tangkapan
mereka untuk kepentingan komersial, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal
maupun untuk kepentingan ekspor dapat disajikan pada Tabel 53.
122
dan lebih mengguntungkan nelayan. Hasil tangkapan yang diperoleh dari alat
tangkap yang tidak menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan dari
hasil yang diperoleh lebih sedikit dan kwalitas mutu tidak terjamin membutukan
waktu yang lama baru mendapatkan hasil yang memuaskan. Hal ini jika
dibandingkan dengan alat tangkap jaring bobo dengan menggunakan alat bantu
rumpon sebagai tempat penangkapan ikan pelagis waktu yang diperoleh lebih
singkat dan hasil sangat memuaskan tingkat kesegaran dapat terjamin sampai ke
pasar lokal maupun perusahan dan dapat mengguntungkan nelayan rumpon dan
nelayan jaring bobo.
jaring bobo mereka mengatakan bahwa memang sudah terjadi pengrusakan alat
tangkap dan rumpon sudah dua kali namun ada jalan keluar untuk mengatasi
masalah tersebut adalah kesepakan dari pemilik alat tangkap dan pihak desa yang
memiliki wilayah perairan.
Konflik antar nelayan adalah salah satu fonemena konflik yang marak
terjadi dalam kurun lima tahun terakhir. Terkait dengan konflik nelayan, identitas
nelayan yang berkonflik sering dikategorikan berdasarkan alat atau teknologi
yang digunakan. Konflik kenelayanan bisa saja terjadi antar nelayan yang
memiliki alat sama. Meskipun benar kesenjangan atau perbedaan teknologi telah
memicu konflik, tetapi isu identitas sosial, dalam hal ini etnisitas dan asal daerah
nelayan menjadi sangat penting untuk diperhitungkan dalam memahami konflik
kenelayanan.
Pertanyaan-pertanyaan pokok diajukan, meliputi (1) peristiwa konflik
nelayan apa saja yang telah terjadi, (2) bagaimana tipologi konfliknya, (3) faktor
identitas sosial (identitas asal kampung dan etnisitas) dalam mempengaruhi
terjadinya konflik, serta (4) bagaimana nelayan menyelesaikan konflik-konflik
yang terjadi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
di wilayah Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Berdasarkan hasil
penelitian disimpulkan bahwa : pertama, peristiwa konflik yang terjadi di lokasi
penelitian, umumnya dilatarbelakangi oleh tiga aspek yaitu : (a) alat tangkap, (b)
pelanggaran aturan wilayah penangkapan dan penampatan rumpon, dan (c)
dampak penegakan hukum. Kedua, tipologi konflik kenelayanan di Kepulauan
Kei Kabupaten Maluku Tenggara didominasi oleh : (a) konflik internal "perang
alat tangkap", (b) konflik eksternal "nelayan tangkap vs alat bantu penangkapan
rumpon", (c) konflik yurisdiksi perikanan "openacces vs 'common property'
berbasis masyarakat" dan (d) konflik mekanisme pengelolaan, terkait penegakan
yang "eksensif (berlebihan) ringan".
Ketiga, pengaruh identitas sosial, (a) asal daerah nelayan terlihat dari aturan
pelarangan yang dibuat nelayan lokal terhadap nelayan pendatang atas perbedaan
asal daerah nelayan "desa" dan "kabupaten", sedangkan (b) pengaruh etnisitas
terkait dengan adanya perbedaan budaya, sifat dan karakter dalam proses
penangkapan nelayan pendatang, yang dianggap mengkhawatirkan oleh nelayan
lokal. Keempat, usaha penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai
pendekatan. Baik melalui pendekatan aparat hukum, pemerintah lokal, tokoh-
tokoh nelayan, dan hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, usaha penyelesaian
konflik terkendala oleh berbagai hal seperti: penegakan hukum yang tidak
konsisten, masih kurangnya aturan-aturan antar pengguna sumberdaya, kurangnya
alternatif mata pencaharian dan permodalan, serta lainnya. Oleh karena itu,dalam
rangka penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara, nelayan mengusulkan perlunya penegakan hukum yang konsisten,
bantuan permodalan, pembangunan usaha alternatif mata pencaharian, aturan-
aturan baik di lokasi penangkapan maupun aturan antar nelayan lokal dan
pendatang.
Studi yang dilakukan pada komunitas nelayan yang ada di Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara, terlihat bahwa alat tangkap dan alat bantu
penangkapan rumpon, pelanggaran aturan wilayah penangkapan, dampak
penegakan hukum serta masalah yurisdiksi perikanan yang open acces merupakan
127
aspek yang utama dalam konflik masyarakat nelayan. Studi yang dilakukan oleh
peneliti juga terkait dengan alat tangkap, wilayah penangkapan serta masalah
kepemilikan laut yang open acces. Studi yang dilakukan hanya melihat alat
tangkap saja yang menyebabkan konflik sedangkan aspek alat bantu penangkapan
juga dapat memicu konflik selain masalah kepemilikan laut yang masih open
acces.
oleh organisme laut untuk pertumbuhannya. Mereka yang berada pada suhu yang
cocok, memiliki selera makan yang lebih baik (Kitagawa. 2006).
Suhu di perairan dapat mempengaruhi kelarutan dari oksigen. Apabila suhu
meningkat maka kelarutan oksigen berkurang. Oksigen terlarut yang biasanya
dihasilkan oleh fitoplankton dan tanaman laut, keberadaannya sangat penting
bagi organisme yang memanfaatkannya untuk kehidupan, antara lain pada proses
respirasi dimana oksigen dibutuhkan untuk pembakaran bahan organik sehingga
terbentuk energi yang diikuti dengan pembentukan CO2 dan H2O. Oksigen
sebagai bahan pernafasan dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme.
Oleh sebab itu kelangsungan hidup organisme laut ditentukan oleh kemampuan
memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya. Berkurangnya oksigen
terlarut sudah tentu akan berpengaruh terhadap fisiologi respirasi dan hanya
organisme yang memiliki sistem respirasi yang sesuai dapat bertahan.
Keanekaragaman sumberdaya perairan di Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara dapat diuraikan sebagai sumberadaya dapat pulih (renewable
resources) yaitu sumberdaya hayati laut dengan ekosistem yang menyusunnya
meliputi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan
perikanan laut.
Tabel 54 Jenis-Jenis lamun yang ditemukan pada perairan pantai Kecamatan Kei
Kecil Timur
Total
Frekuensi Persen
No. Jenis Jumlah Kerapatan
Kehadiran Tutupan
Tegakan
1. Halodule pinifolia 2 100 210.00 0.50 65
2. Thalassia hemprichii 468 46.80 0.50 35
3. Halophila ovalis 428 42.80 0.20 15
4. Cymodocea 384 38.40 0.60 10
rotundata
5. Enhalus acoroides 104 10.40 0.20 10
6. Thalassodendrom 48 4.80 0.10 25
ciliatum
129
b. Alga
Dunia tumbuh-tumbuhan alga dikenal sebagai tumbuhan talus
(Thallophyta), karena organ-organ berupa akar, batang dan daunnya belum
terdiferensiasi dengan jelas. Alga (jamak) dan alga (tunggal), berasal dari bahasa
latin “algor” yang berarti dingin. Bahasa Yunani alga berasal dari kata “Phycos”.
ilmu yang mempelajari tentang alga disebut fikologi atau algologi. Berdasarkan
ukuran tubuhnya, alga dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu alga yang berukuran
besar (makro alga) dan alga berukuran kecil (mikro alga). Makro alga merupakan
tumbuhan makro fito bentik (besar dan melekat pada substrat di lautan). Menurut
Luning (1990), Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari
sekitar 8 000 jenis makro alga yang ada di seluruh dunia. Oleh Smith (1955),
makro alga dibagi menjadi 3 divisi berdasarkan pigmen fotosintesis yang
dimilikinya, yaitu: Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta.
Berdasarkan pengamatan terhadap keragaman jenis di perairan Kepulauam
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara ditemukan bahwa wilayah ini
cukup memiliki jenis-jenis makro alga yang beragam yaitu sebanyak 11 spesies,
yang dapat diklasifikasikan ke dalam 14 genus, 11 famili, 7 ordo, dan 3 devisi.
Secara keseluruhan spesies yang ditemukan tersebut dapat dikelompokan ke
dalam 3 devisi utama yaitu alga hijau (Chlorophyta) terdiri dari 6 spesies, alga
coklat (Phaeophyta) terdiri dari 3 spesies, dan alga merah (Rhodophyta) yang
terdiri dari 2 spesies. Kehadiran spesies Chlorophyta di perairan Kepulauan Kei
Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara ternyata lebih dominan daripada
spesies-spesies dari devisi lainnya. Semua jenis yang ditemukan, ada jenis-jenis
yang memiliki nilai ekonomis penting yaitu dari genus: Ulva, Caulerpa dan
Gracilaria.
c. Terumbu Karang
Hasil penelitian DKP Malra 2013 melalui analisis data citra satelit serta
pengecekan lapangan, diperoleh luas terumbu karang di perairan pesisir
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara mencapai 75.46 Km2.
Pengambilan data terumbu karang dilakukan di perairan pesisir Mastur, Raat dan
Danar. Karang batu yang menempati areal terumbu perairan pesisir Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 99 spesies, termasuk
dalam 40 marga dan 14 suku. Suku karang batu dengan kekayaan spesies
menonjol adalah Acroporidae (32 spesies) dan Faviidae (17 spesies). Sekitar
48,53% dari spesies karang di areal terumbu karang Kabupaten Maluku Tenggara
(204 spesies) bisa ditemukan di terumbu karang Selat Nerong. Terumbu karang di
pesisir pesisir Mastur memiliki kekayaan spesies karang batu relatif lebih tinggi
130
dibanding lokasi Danar dan terutama Raat. (Tabel 55). Spesies karang batu yang
umum ditemukan serta memiliki sebaran luas di perairan pesisir Kecamatan Kei
Kecil Timur adalah Acropora palifera, A. tenuis, A. hyacinthus, A. humilis, A.
microphthalma, Pocillopora verrucora, Stylophora pistillata, Porites lutea, P.
cylindrica, Favia pallida, Favites abdita, Diploastrea heliopora, Fungia repanda,
Lobophyllia corymbossa dan Herpolitha limax. Pada bagian lain, spesies karang
batu dengan sebaran tergolong terbatas atau hanya ditemukan di perairan pesisir
Kecamatan Kei Kecil Timur adalah Seriatopora chaliendrum, Hydnophora exesa
dan Symphyllia radian.
Hasil analisis menunjukkan nilai persen tutupan dasar terumbu oleh
komponen biotik di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur lebih tinggi
(55.08%) dari komponen abiotik (44.92%). Akan tetapi bila diamati secara
spasial, maka persen tutupan komponen abiotik di perairan pesisir Danar dan Raat
lebih tinggi dari komponen biotik. Sebaliknya, persen tutupan komponen biotik
pada perairan pesisir Mastur sangat tinggi (77.94%) dibanding komponen abiotik
(22.16%). Secara keseluruhan, sumbangan terbesar terhadap persen tutupan
komponen biotik di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur berasal dari
karang batu (karang hidup) dapat disajikan pada Tabel 55.
Tabel 55 Kekayaan spesies, persen tutupan karang batu dan komponen penyusun
terumbu karang di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
Data pada Tabel 55 diatas, nilai persen tutupan karang batu pada kondisi
terumbu karang di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur termasuk kategori
Rusak (Fair). Akan tetapi sesuai lokasi pengamatan, maka terumbu karang
perairan pesisir Mastur termasuk kategori Baik (Good). Sebaliknya, kondisi
terumbu karang di perairan pesisir Danar berada pada kategori Rusak (Fair) dan
lokasi Raat telah masuk kategori Sangat Rusak (Poor). Hasil analisis menunjukan
sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Acropora dan Non-
Acropora sama besar terhadap persen tutupan karang batu di perairan pesisir
Mastur. Bagian lain, sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Non-
Acropora tergolong besar terhadap persen tutupan karang batu lokasi Raat. Selain
itu, sumbangan persen tutupan karang batu bentuk tumbuh Acropora relatif lebih
besar terhadap persen tutupan karang batu di perairan pesisir Danar. Persen
tutupan fauna bentik lain tergolong besar di terumbu karang Raat, dimana karang
lunak (soft coral) memberi sumbangan yang besar, yaitu mencapai 19.56%.
131
Kecamatan Kei Kecil Timur memiliki perairan seluas 577.26 km2. Luas
perairan ini, biomassa sumberdaya ikan pelagis kecil dikalkulasi sebesar 1 518.20
ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebesar 607.28
ton/tahun.
Luas Perairan
Kepadatan Kec. Biomassa JTB
No Jenis Ikan
(ton/km2) Kei Kecil Timur (ton/tahun) (ton/tahun)
(km2)
1. Madidihang 84.06 577.26 48.52 19.41
2. Cakalang 235 577.26 135.66 54.26
3. Tongkol 136 577.26 78.51 31.40
Data pada tabel 57 di atas menunjukkan bahwa ikan cakalang memiliki nilai
JTB tertinggi (54.26 ton/tahun), kemudian diikuti oleh JTB ikan tongkol (31.40
ton/tahun) dan madidihang (19.41 ton/tahun).
tertinggi berada di terumbu karang Mastur dan terendah di terumbu karang Danar
dapat disajikan pada Tabel 59.
Tabel 60 Sediaan cadang dan potensi ikan karang di perairan pesisir Kecamatan
Kei Kecil Timur Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur ini memerlukan upaya pengelolaan
yang berkelanjutan.
a. Paus
Berdasarkan hasil penelitian DKP Malra (2013) tentang migrasi paus serta
pengamatan di lapangan menunjukkan setidaknya perairan pesisir dan laut
Kecamatan Kei Kecil Timur dilalui oleh 4 jenis paus, yaitu Balaenoplera borealis
(Sei whale), Balaenoplera musculatus (Blue whale), Balaenoplera physalis (Fin
whale), Physeter catodon (Sperm whale), dan Orcinus orca (Killer whale).
Diduga rute migrasi dari jenis paus biru dan Sei Whale dari samudera Pasifik
menuju samudera Indonesia atau sebaliknya melintasi perairan Laut Banda dan
membelok ke perairan Kabupaten Maluku Tenggara, kemudian tersebar ke
perairan Kecamatan Kei Kecil Timur. Jenis paus pembunuh yang habitat aslinya
di perairan kutub selatan atau perairan sekitar Australia, ditemukan hadir di
perairan pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur pada musim tertentu,
bertepatan dengan kondisi suhu perairan yang agak dingin akibat upwelling di
Laut Banda, dan juga bersamaan dengan musim peningkatan populasi cumi-cumi
serta ikan pelagis kecil di perairan pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur.
Semua jenis paus yang hadir di wilayah perairan pesisir dan laut Kecamatan ini
termasuk mamalia laut yang dilindungi, sehingga kehadirannya di perairan pesisir
dan laut Kecamatan ini sebagai ruang migrasi maupun kepentingan berbagai
aktivitas hidupnya perlu ditata dan selanjutnya dikelola secara baik.
b. Lumba-Lumba
Berdasarkan hasil pengamatan DKP Malra (2013), terdapat lima jenis
lumba-lumba di perairan pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur, yaitu
Globicephala macrorhynchus, Pseudorca crassidens, Delphinus delphis dan D.
capensis (lumba-lumba biasa), serta Tursiops truncatus (lumba-lumba hidung
botol). Jenis lumba-lumba yang umum ditemukan di perairan pesisir dan laut
Kecamatan ini adalah lumba-lumba biasa dan lumba-lumba hidung botol. Kedua
jenis lumba-lumba ini bermigrasi hingga ke perairan dangkal. Semua jenis lumba-
lumba yang menempati perairan pesisir dan laut Kecamatan ini adalah mamalia
laut yang dilindungi, sehingga kebutuhan ruang bagi eksistensinya menjadi
penting dan perlu mendapat perhatian dalam penyusunan rencana pengelolaan
wilayah pesisir dan laut Kecamatan ini.
c. Dugong (Duyung)
Salah satu jenis mamalia laut yang cukup penting dan diketahui hadir di
perairan pesisir yang relatif dangkal adalah Dugong dugon (duyung). Hasil
pengamatan DKP Malra (2013) dan laporan masyarakat yang bermukim di pesisir
menunjukkan Duyung hadir di beberapa bagian perairan pesisir Kecamatan Kei
Kecil Timur. Kehadiran duyung yang terbatas pada beberapa bagian perairan
pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur ini berkaitan dengan kehadiran lamun sebagai
sumber makananya. Hasil penelitian menunjukkan terdapat jenis lamun Halodule
pinifolia, Halophila ovalis dan Cymodecea rotundata yang merupakan sumber
makanan (nutrisi) utama Dugong. Informasi dari masyarakat mengindikasikan
populasi duyung telah menurun akibat intensitas penggunaan padang lamun untuk
berbagai kepentingan cenderung meningkat, sehingga menghambat tujuan migrasi
Duyung untuk aktivitas hidupnya, terutama mencari makan di padang lamun.
Duyung adalah jenis mamalia laut yang dilindungi, sehingga konservasi padang
lamun sebagai habitat utamanya menjadi sangat penting.
137
d. Penyu
Berdasarkan hasil pengamatan DKP Malra 2013 ternyata tiga jenis penyu
menempati perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil Timur, yaitu penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu belimbing
(Dermochelys coriacea). Penyu sisik lebih umum ditemukan menempati perairan
pesisir dan laut Kecamatan Kei Kecil Timur dibanding penyu hijau. Selain itu,
penyu belimbing (Dermochelys coriacea) yang tampak di perairan pesisir
Kecamatan ini hanya secara insidetil dalam migrasinya. Fakta lapangan
menunjukkan jenis penyu sisik menyebar di terumbu karang sebagai tempat
mencari makan, dan penyu hijau memanfaatkan padang lamun untuk mencari
makan. Kehadiran penyu belimbing di perairan pesisir Kecamatan Kei Kecil
Timur bersamaan dengan blooming ubur-ubur yang merupakan sumber makanan
utamanya.
Melalui pengamatan lapangan dan informasi dari nelayan maupun
masyarakat pesisir dengan pendekatan metode PRA, ternyata kehadiran penyu
sisik di perairan pesisir kecamatan Kei Kecil Timur sangat dominan. Jenis-jenis
penyu yang menempati perairan pesisir dan laut Kecamatan ini merupakan reptilia
laut yang dilindungi, karena populasinya di alam telah menurun akibat diburu
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup dan kepentingan ritual adat. Pada
bagian lain, frekuensi kehadiran penyu di perairan pesisir dan laut Kecamatan ini
telah berkurang seiring menurunnya areal dan kualitas terumbu karang serta
padang lamun akibat tekanan pemanfaatan. Uraian di atas menghendaki adanya
upaya konservasi terhadap sumberdaya penyu beserta habitatnya, serta rehabilitas
habitatnya menjadi sangat penting.
Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara dari dimensi sosial
dapat disajikan pada Gambar 23.
RAPFISH Ordination
60,00
UP
40,00
Nilai Tekanan Terhadap Sumberdaya
20,00
Real Fisheries
0,00 BAD GOOD
References
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
53,92 Anchors
-20,00
-40,00
DOWN
-60,00
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan rumpon
Perubahan Root Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
(Pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)
Gambar 24 Peran atribut dari dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk
perubahan nilai RMS Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara
TEKNOLOGI
100
80 71,57
60
40
62,87 20
EKOLOGI 0 EKONOMI
62,17
53,92
SOSIAL
Sembilan atribut pada dimensi sosial yang dianalisis, terdapat empat atribut
yang sensitif dan berpengaruh atau perlu diperhatikan untuk meningkatkan status
keberlanjutan pengelolaan rumpon pada ikan pelagis kecil di perairan Kepulauan
Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara. Atribut atribut yang sensitif
tersebut adalah seperti yang dapat disajikan pada Tabel 61.
140
Diketahui bahwa apakah hasil analisis MDS pada atribut dimensi sosial
(multidimensional) layak dan menyerupai kondisi sebenarnya kegiatan
pengelolaan rumpon pada ikan pelagis di periran Kepulauan Kei Selat Nerong
Kabupaten Maluku Tenggara maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien
diterminasi (R2) dan nilai stress. Bila uji hasil statistik tidak sesuai dengan yang
dipersyaratkan, maka perlu dilakukan pemeriksaan kembali dan penambahan
atribut baru dalam analisis. Adapun hasil uji statistik terhadap koefisien diterima
(R2) dan nilai stress dapat disajikan pada Tabel 62.
Tabel 62 Hasil uji statistik terhadap koefisien determinasi (R2) dan Stress
Hasil Uji
Dimensi Sosial
Stress 14.63
R2 94.65
Kesimpulan
7 PEMBAHASAN UMUM
cukup signifikan. Apabila jumlah rumpon terus ditambah, maka hasil tangkapan
cenderung menurun. Hal ini dikarenakan usaha perikanan berbasis rumpon
bersifat open access yang mempunyai ciri khas yaitu perkembangan jumlah
rumpon tidak terkontrol, penangkapan ikan secara de facto berlangsung tanpa ada
yang mengendalikan sehingga nelayan yang ada bebas melakukan penangkapan
ikan baik secara teknologi maupun daerah penangkapan. Oleh karena tidak
terkendalinya penangkapan tersebut, maka penambahan rumpon terus dilakukan
meskipun secara ekonomi sudah tidak memberikan keuntungan lagi.
Apabila pemasangan rumpon diatur oleh sebuah otoritas pengelolaan
perikanan keberadaan rumpon di suatu kawasan akan menunjukkan adanya
aktivitas pengelolaan perikanan. Adanya pengelolaan perikanan ini dapat dilihat
dari kegiatan yang paling sederhana, yaitu pendaftaran atau registrasi rumpon atau
pemilik atau penggunannya. Pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang
penggunaan rumpon ini, yaitu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
26/PERMEN/2014 yaitu rumpon hanyut dan rumpon menetap dengan jarak
pemasangan rumpon yang satu dengan rumpon yang lain 10 mil laut.
Kegiatan perikanan tangkap di perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku
Tenggara lebih didominasi usaha perikanan tangkap skala kecil, karena teknologi
penangkapan yang digunakan masih tergolong sederhana. Secara keseluruhan
jenis kapal penangkap ikan didominasi oleh perahu tanpa motor dan motor tempel
3-5 GT sebesar (80%). Menurut Charles (2001) mengatakan bahwa skala usaha
perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya berdasarkan ukuran kapal
yang dioperasikan. Armada penangkapan dengan jenis kapal penangkap ikan ini
dapat dikatakan bahwa kegiatan perikanan tangkap di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara sampai saat ini adalah usaha perikanan tangkap
skala kecil dan masih bersifat tradisional.
seperti daun kelapa, jaring dan kumpulan tali-tamali yang diikatkan bagian rakit
telah berhasil meningkatkan efektivitas rumpon dalam memikat kelompok ikan.
Atribut batas wilayah perairan juga merupakan atribut sensitif karena berkaitan
erat dengan batas wilayah pengelolaan rumpon. Berlakunya Undang-Undang
Otonomi Daerah Nomor. 23 Tahun 2014, terjadi perubahan kewenangan
pengelolaan laut Provinsi yang semula 4-12 mil laut kini menjadi 0-12 mil laut,
pengelolaan perairan yang di lakukan sebelumnya oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota diambil alih oleh pemerintah Provinsi, salah satunya kewenangan
zonasi laut yang dahulu 4-12 mil laut, kini menjadi 0-12 mil laut menjadi
kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pengelolaan perikanan rumpon di
perairan Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara sampai saat ini masih
menggunakan hak ulayat sebagai pengelolaan perikanan rumpon.
Atribut penggunaan bahan bakar minyak (BBM) menjadi atribut sensitif
karena biaya penggunaan bahan bakar minyak untuk penangkapan ikan 50-60%
dari biaya total operasional. Sesuai dengan CCRF (1995) hendaknya
mengkonsumsi bahan bakar minyak rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
operasional yang dikeluarkan untuk satu kali trip melaut membutuhkan biaya
bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 263 000. Penelitian Yeheskel (2015) di
perairan Malalayang Manado biaya bahan bakar minyak (BBM) per trip melaut ke
rumpon sebesar Rp. 175 000 lebih kecil dibandingkan dengan operasional bahan
bakar minyak (BBM) yang digunakan di perairan Kepulauan Kei Kabupaten
Maluku Tenggara. Atribut sensitif keuntungan nelayan dari penangkapan di
sekitar rumpon dengan nilai teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan
alat bantu rumpon. Secara umum, baik dalam operasi jaringg bobo, pancing tonda
dan pancing ulur dengan sistem operasi one day fishing, yaitu satu trip dilakukan
dalam satu hari. Hasil penelitian Jeujanan 2008 menunjukkan bahwa musim
penangkapan di perairan Kepulauan Kei terbagi 3 yaitu musim puncak/Barat
(Desember-Maret), musim paceklik/peralihan I (April-Juli), musim Timur (Juni-
Agustus) dan musim sedang/peralihan II (September-November). Atribut sensitif
penerapan teknologi ramah lingkungan, melalui selektifitas alat tangkap maka
rasio penangkapan akan tidak melebihi TAC sehingga keuntungan nelayan
menangkap ikan di sekitar rumpon selalu berkelanjutan. Semua atribut sensitif
harus menjadi perhatian berdasarkan dengan CCRF (1995) sehingga dapat
meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon di periran Kepulauan Kei.
Atribut sensitif jarak rumpon dilakukan dengan mempertimbangkan pula daya
dukung sumber daya ikan dan lingkungannya serta aspek sosial budaya
masyarakat setempat.
Atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon
sebagai atribut sensitif dengan nilai paling besar pada dimensi ekonomi
disebabkan karena dengan pemanfaatan rumpon sebagai alat bantu penangkapan
ikan rasio usaha penangkapan ikan yang bergantung pada rumpon semakin
meningkat. Usaha perikanan jaring bobo, pancing tonda dan pancing ulur layak
dilanjutkan di Selat Nerong Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara karena
mempunyai nilai B/C Ratio > 1. Atribut pendapatan nelayan yang memfaatkan
rumpon di perairan Selat Nerong Kepulauan Kei muncul sebagai atribut sensitif
karena dengan adanya rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan jumlah hasil
tangkapan meningkat. Hal ini juga dapat memberikanan keuntungan yang lebih
besar bagi nelayan jaring bobo pancing tonda dan pancing ulur bahkan satu
145
dan nelayan merupakan dua aktor yang bermitra dalam pengelolaan rumpon di
perairan Kepulauan Kei. Selain itu, pengusaha juga memegang peranan penting
dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya di lokasi penelitian.
Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat merupakan aktor
prioritas ketiga dalam pengelolaan perikanan rumpon karena memegang otoritas
dalam pengaturan keberlanjutan perikanan rumpon mulai dari perencanaan sampai
dengan evaluasi untuk menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya perikanan
untuk kesejahteraan masyarakat dengan didukung peran aktif ilmuwan dalam
membuat kajian ilmiah.
Hasil analisis rasio kepentingan setiap dimensi yang mempengaruhi
keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei yaitu
dimensi ekologi sebesar 62.87, teknologi sebesar 71.57, ekonomi sebesar 62.17
dan sosial sebesar 53.92. Hal ini merupakan indikator bahwa pada umumnya
stakeholder mementingkan aspek ekonomi karena tujuan dari keberadaan rumpon
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya nelayan yang memanfaatkan
rumpon dan mendukung usaha yang berkaitan dengan keberadaan rumpon dalam
usaha penangkapan ikan di perairan Kepulauan Kei.
Dimensi ekologi atribut zona/kawasan yang mempunyai kepentingan utama
dibandingkan dengan atribut lainnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan
zona/kawasan pengelolaan rumpon berkaitan dengan kelestarian sumberdaya ikan
khususnya bagi ukuran ikan yang tertangkap. Apabila ukuran ikan target
tangkapan tidak diperhatikan maka keberadaan rumpon tidak lestari dan
mengakibatkan ketidak berlanjutan perikanan rumpon dalam hal ini rumpon laut
dangkal karena daya dukung sumberdaya ikan menurun. Namun yang lebih
penting lagi, dengan adanya zona pengelolaan rumpon berbasis hak ulayat maka
rumpon yang dipasang dapat lebih bermanfaat dan dapat mengurangi konflik
sehingga dapat diterima oleh semua yang berkepentingan pemanfaatan lokasi
perairan Kepulauan Kei.
Atribut penggunaan BBM dari dimensi teknologi, merupakan paling utama
dan setelah itu baru atribut keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar
rumpon dalam keberlanjutan pengelolaan perikanan rumpon di perairan
Kepulauan Kei. Hal ini disebabkan karena penggunaan BBM yang rendah
merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan di laut tergantung
pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan komponen biaya
operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan penggunaan BBM
sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis rumpon. Penggunaan
BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh nelayan merupakan salah
satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab (Code of
Conduct for Responsible Fisheries). Keuntungan nelayan dari penangkapan di
sekitar rumpon merupakan hal yang penting dalam pengelolaan usaha perikanan
tangkap karena penggunaan teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan
dengan hasil yang diperoleh dalam operasi penangkapan serta dapat
meningkatkan kesejahterahan nelayan.
Dimensi ekonomi yang merupakan prioritas kepentingan utama, diperoleh
atribut nilai B/C ratio penangkapan pada rumpon memiliki kepentingan utama dan
kemudian diikuti oleh atribut pendapatan nelayan penjaga rumpon, atribut nilai
produksi dan nilai investasi rumpon. Nilai B/C ratio karena dengan melihat
perimbangan antara penerimaan dengan pembiyaan yang dikeluarkan untuk
148
1. Pemerintah dalam hal ini pusat dan daerah sebagai regulator menyediakan
kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon di perairan Kepulauan Kei
termasuk perairan Selat Nerong. Perlu adanya pengaturan kembali bentuk
pengelolaan perikanan rumpon di perairan Kepulauan Kei karena saat ini
jumlah rumpon yang ditempatkan di Selat Nerong sebanyak 36 unit. Hasil
kajian ilmiah terhadap luasan perairan Selat Nerong 542.00 km2 apabila
dikaitkan dengan Peraturan Menteri No.26/PERMEN/2014 dari jarak antar
rumpon minimal 10 mil maka rumpon yang ditempatkan di Selat Nerong hanya
sebanyak 5 unit rumpon dan pengelolaan rumpon selama ini masih
menggunakan hak ulayat perairan.
150
2. Permerintah pusat, daerah dan kepala desa serta para pengusaha yang memiliki
hak ulayat perairan perlu adanya kesepakan terhadap pengelolaan rumpon di
perairan Kepulauan Kei. Keadaan eksisting di perairan Kepulauan Kei Selat
Nerong dengan jumlah rumpon 36 unit rumpon yang dimiliki pengusaha
rumpon, dapat mempertimbangkan kembali dengan solusi yang ditawarkan
yaitu 12 unit rumpon yang disiapkan oleh pengusaha rumpon dan dapat
disepakati oleh 4 desa yang memiliki hak ulayat perairan dengan ketentuan
setiap desa mengelola 3 unit rumpon dan memberi kesempatan kepada jaring
bobo untuk dapat mengoperasikan pada setiap rumpon, nelayan penjaga
rumpon harus berasal dari 4 desa tersebut.
3. Perlu adanya pencatatan ukuran ikan hasil tangkapan yang diperoleh pada
setiap alat tangkap yang dioperasikan pada rumpon sehingga dapat mengontrol
ukuran ikan yang tertangkap. Apabila ukuran ikan yang tertangkap dominan
ukuran kecil maka perlu adannya penutupan penangkapan pada waktu tertentu
dengan mempertimbangkan musim penangkapan ikan pelagis.
4. Perlu adanya pengelolaan terhadap ikan pelagis di perairan selat dan teluk serta
daerah kepulauan sehingga tetap menjaga tingkat keberlanjutan bagi generasi
yang akan datang.
5. Monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan rumpon monitoring dilakukan
oleh pemerintah untuk memastikan rumpon yang dipasang berada pada zona
yang telah ditetapkan, sedangkan evaluasi dilakukan untuk mengetahui
kelestarian sumberdaya ikan yang ditangkap di perairan Kepulauan Kei
Kabupaten Maluku Tenggara.
6. Pembinaan oleh pemerintah terhadap nelayan pemanfaatan rumpon di perairan
Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Agar keberadaan rumpon dapat
berlanjut maka perlu dilakukan pembinaan terhadap pengelolaan rumpon
tersebut.
151
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
161
Lampiran 1 Data potensi produksi dan produksi jaring bobo pada rumpon di
perairan Kepulauan Maluku Tenggara
Keterangan :
Produksi (ton/tahun)
ABK : Jumlah Nenaga Kerja
BBM : Jumlah bahan Bakar Minyak
HP : (Hari Penangkapaan)
GT : Gross Tonage
162
Nilai
No Uraian Satuan Nilai Perubahan
Akhir
1 Produktivitas
Trip/musim puncak Trip/musim 85 0 85
Trip/musim sedang Trip/musim 25 0 25
Trip/musim paceklik Trip/musim 15 0 15
2 Pendanaan
Modal sendiri % 100 0 0
Pinjaman %/tahun 0 0 0
Jumlah waktu tahun 0 0 0
pengembalian
3 Sistim bagi hasil
Pemilik penjaga rumpon % 25 0 25
Pemilik Usaha % 25 0 25
Operasional % 25 0 25
Nelayan ABK % 25 0 25
4 Lain-lain
Pajak % 0 0 0
Retribusi % 0 0 0
Upah minimum regional Rp/tahun 0 0 0
Biaya perawatan Rp/tahun 15 000 000 0 15 000 000
5 Distribusi jumlah krew
Juragan laut orang - - 1
Juru mmesin orang - - 2
Nelayan rumpon orang - - 2
Nelayan ABK orang - - 13
Jumalah krew orang - - 18
163
Lampiran 4 Model dan pendapatan nelayan jaring bobo pada rumpon di perairan
Kepulauan Kei Maluku Tenggara
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11