Sosiologi Perkotaan PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 454

SOSIOLOGI PERKOTAAN

Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya


Dr. Adon Nasrullah Jamaludin,M.Ag.

SOSIOLOGI PERKOTAAN
Memahami Masyarakat Kota dan
Problematikanya

Pengantar

Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si.

Penerbit CV Pustaka Setia


Bandung
SOSIOLOGI PERKOTAAN
Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya
ISBN 978–979–076–518–4
Cet. I: Mei 2015, 16 × 24 cm., xvi + 474 hlm.

Penulis: Dr. Adon Nasrullah Jamaludin, M.Ag.


Kata Pengantar: Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si.
Desain Sampul: Tim Desain Pustaka Setia
Setting, Montase, Layout: Tim Redaksi Pustaka Setia
Cetakan ke-2: Mei 2017

Diterbitkan oleh:
CV PUSTAKA SETIA
Jl. BKR (Lingkar Selatan) No. 162–164
Telp. (022) 5210588, Faks. (022) 5224105
e-mail: [email protected]
Bandung 40253
(Anggota IKAPI Cabang Jawa Barat)

Copyright © 2015 CV PUSTAKA SETIA


Dilarang mengutip memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin
tertulis dari penerbit.
Hak penulis dilindungi undang-undang.
All right reserved.
KATA PENGANTAR
Masyarakat terdiri dari berbagai lapisan sosial yang di dalamnya
terdapat beragam kelas sosial, status sosial, dan strafikasi sosial.
Hal ini menjadi pemicu lahirnya implikasi positif dan negatif untuk
kelangsungan kehidupan masyarakat sendiri, terlebih kehidupan
itu dibentuk oleh kompleksitas perkotaan yang tidak mampu
membendung kemajuan modernisasi, industrialisasi, dan globalisasi
dari semua sektor kehidupan.
Emi l e Du rkhei m mendef i ni sik an masyar akat sebagai
kenyataan objektif kumpulan individu sebagai struktur yang
saling membutuhkan, karenanya masyarakat dianggap sebagai
sesuatu yang sakral. Berbeda dengan Karl Marx, yang memandang
masyarakat senantiasa terdiri atas dua kelas yang saling bertentangan,
memunculkan ketegangan sebagai akibat pertentangan antarkelas
sosial dan akibat pembagian nilai-nilai ekonomi yang tidak merata.
Pada sisi lain, masyarakat juga merupakan kelompok individu yang
diorganisasikan mengikuti cara hidup tertentu. dengan realitas
baru yang berkembang membentuk kepribadian yang khas bagi
manusia, sehingga masyarakat sebagai satu kesatuan hidup manusia
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama.
Lalu, bagaimana dengan masyarakat perkotaan? Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt (1992:139) menjelaskan bahwa kota

Pengantar Ilmu Komunikasi v


yang merupakan tempat transit berbagai aktivitas masyarakat dari
berbagai wilayah cenderung mengalami perkembangan karena
adanya perkembangan industri dan perdagangan yang menciptakan
daya tarik kota. Sementara itu, perubahan tekno logi dan tingginya
tingkat kelahiran desa menciptakan kelebihan penduduk desa
yang tidak diimbangi oleh perkembangan industri yang memadai
sehingga menimbulkan urbanisasi. Bahkan, mata pencaharian
bidang pertanian tidak mampu mengimbangi kenaikan penduduk,
sehingga penduduk beramai-ramai pindah ke kota meskipun sulit
memperoleh pekerjaan dan perumahan. Akhirnya, jumlah penduduk
kota meningkat dua kali lipat.
Wilayah perkotaan bersifat konsentratif karena terdapat
kecenderungan manusia dan kegiatannya untuk berkumpul
di tempat yang kondisinya menyenangkan. Kecenderungan
ini menyebabkan pertumbuhan kota —karena mendatangkan
investor— dan menjadikan pengembangan perkotaan sebagai pusat
rekreasi. Di kota pun terjadinya proses sentralisasi, yaitu terjadinya
pengelompokan kegiatan ekonomi dan pelayanan jasa di dalam
kota. Kompleks pusat dunia usaha merupakan contoh jelas dari
sentralisasi. Orang-orang pergi bersama untuk bekerja, bermain,
dan berbelanja. Setelah semua kegiatan itu usai, mereka kembali
ke tempat tinggalnya di wilayah lain. Kompleks pertokoan, pabrik,
dan hiburan menjadi sepi pada waktu tertentu atau pada malam
hari. Adapun desentralisasi adalah kecen derungan manusia dan
organisasinya untuk meninggalkan pusat kota menuju ke daerah
terpencil yang tingkat kepadatan penduduknya lebih rendah dan
harga tanahnya lebih murah. Peranan mobil, truk, dan tenaga listrik
sangat menunjang terjadinya desentralisasi tempat kediaman,
wilayah perdagangan dan kompleks industri— kecenderungan
yang sangat menyulitkan tugas seseorang yang berupaya membuat
diagram pola kota.
Masyarakat kota mengalami segregasi, artinya konsentrasi
tipe kelompok orang atau kegiatan tertentu di wilayah tertentu.
Segregasi dapat tercipta secara sukarela atau sebaliknya. Banyak
kelompok imigran memisahkan diri secara sukarela karena kehidupan
demikian terasa lebih menyenangkan. Invasi terjadi ketika suatu
kelompok orang, organisasi, atau kegiatan baru masuk ke dalam
suatu wilayah. Mereka memasuki kegiatan bisnis, menjadi pedagang

vi Pengantar Ilmu Komunikasi


baru, dan pindah ke suatu wilayah tempat tinggal. Pada umumnya,
invasi dilakukan oleh kelompok sosial yang lebih rendah terhadap
wilayah kelas sosial atas. Kecenderungan invasi ini akibat dari adanya
proses pertumbuhan kota. Jadi, suatu wilayah tempat tinggal yang
dahulu pernah merupakan tempat tinggal mewah kemudian dimasuki
oleh ke lompok orang berkelas sosial satu jenjang di bawah kelas
sosial para penghuni lamanya. Satu generasi setelah itu, tempat itu
mungkin dimasuki lagi oleh kelompok orang yang kelas sosialnya
lebih rendah satu jenjang lagi.
Secara fisik, orang-orang kota hidup dalam keramaian, tetapi
secara sosial mereka hidup berjauhan. Jarak sosial merupakan akibat
dari anonimitas, impersonalitas, dan heterogenitas. Perbedaan etnis
merupakan salah satu bentuk heterogenitas yang memisahkan manusia
dalam beberapa kelompok. Sering masing-masing kelompok tersebut
tidak menyukai dan meremehkan satu sama lainnya. Perbedaan
pekerjaan mungkin merupakan penyebab utama dari terjadinya
jarak sosial. Berbeda dengan komunitas pertanian, masyarakat kota
tidak memiliki bidang pekerjaan tertentu yang dapat memenuhi
semua kepentingan bersama penduduk kota. Kota merupakan
tempat konformitas luar, keberatan dalam hati, pola konsumsi yang
mencolok mata, dan tempat persaingan materialitis. Hal inilah yang
semakin menjauhkan hubungan antarmasyarakat.
Perkotaan dengan segala unak-uniknya, dengan seluruh
peristiwa yang dialami oleh penduduknya diuraikan oleh penulis
buku ini. Kehadiran buku ini tentu menambah pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang sosiologi yang menjadi literatur penting
untuk mahasiswa yang mendalami kajian sosiologi. Saya menyambut
baik dengan karya kolega saya ini. Semoga bermanfaat untuk semua
mahasiswa dan para pembaca lainnya.

Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si.

Pengantar Ilmu Komunikasi vii


viii Pengantar Ilmu Komunikasi
PENGANTAR PENULIS

Bismillahirrahmanirrahim,
Atas nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, penulis
memanjatkan puji dan syukur tiada terhingga. Berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku ini yang diberi
judul Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan
Problematikanya. Buku ini adalah pengembangan dari buku daras
mata kuliah sosiologi perkotaan, sebagai salah satu mata kuliah
wajib yang disajikan pada Jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sosiologi
perkotaan adalah ilmu sosiologi yang mengkaji atau menganalisis
segi-segi kehidupan bermasyarakat dalam kawasan komunitas kota
(urban).
Buku ini dimaksudkan sebagai pengantar mahasiswa Program
Studi Sosiologi yang berminat memahami masyarakat kota beserta
problematikanya. Sajian materi buku ini diperoleh dari problematika
kota yang paling aktual, seperti PKL, penggusuran, kemiskinan,
pengangguran dan lainnya.
Kehidupan masyarakat kota sangat menarik dan terus berubah
sesuai perkembangan zaman yang menyertainya, dan sosiologi
perkotaan menjadi penting untuk terus mencermati perubahan dan
pertumbuhan (perkembangan) tersebut. Sejarah mencatat bahwa

Pengantar Ilmu Komunikasi ix


kehidupan masyarakat kota (urban) selalu banyak dikritik orang.
Sejumlah persoalan kehidupan kota menyertai geliat kemajuan yang
terus berjalan. Istilah “krisis kota” disematkan sebagai salah satu
kritik terhadap keadaan kota masa kini dengan cara membandingkan
dengan mitos zaman keemasan ketika kehidupan komunitas masih
rukun, bersahabat, dan tanpa gangguan. Untuk itu, sosiologi
perkotaan sangat menarik untuk dipelajari guna memahami
masyarakat kota beserta problematikanya.
Terlepas dari kekurangan, penulis mengucapkan banyak terima
kasih terutama, Dr. Beni A. Saebeni, M.Si yang telah memfasilitasi
terbitnya buku ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca semua, penulis nantikan agar buku ini dapat menjadi
karya terbaik. Mudah-mudahan apa yang penulis suguhkan dalam
buku yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak. Simplex Veri
Siggilum, demikian sang filsuf berkata bahwa kesederhanaan adalah
tanda kebenaran. Mudah-mudahan bermanfaat. Aamiin

Dr. Adon Nasrullah Jamaludin, M.Ag.

x Pengantar Ilmu Komunikasi


DAFTAR ISI

BAGIAN PERTAMA
MASYARAKAT KOTA DAN RUANG LINGKUPNYA

BAB 1
RUANG LINGKUP MASYARAKAT ............................................. 2
A. Pengantar ................................................................................... 2
B. Pengertian Masyarakat ............................................................. 5
C. Mengapa Manusia Hidup Bermasyarakat. ............................ 15
D. Perkembangan Masyarakat... ................................................... 19
E. Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota.. ............................... 28

BAB 2
MASYARAKAT KOTA .....................................................................
A. Pengantar .. ................................................................................. 30
B. Pengertian Kota. ......................................................................... 32
C. Sejarah dan Perkembangan Kota............................................. 38
D. Fungsi Kota.. ............................................................................... 49
E. Struktur Perkembangan Kota.. ................................................ 51

Pengantar Ilmu Komunikasi xi


F. Kota Sebagai Masyarakat Modern.. ........................................ 59
G. Karakteristik Masyarakat Kota... ............................................. 69

BAB 3
POLA EKOLOGI KOTA ...................................................................
A. Pengantar.. .................................................................................. 79
B. Problem: Lingkungan Perkotaan............................................. 80
C. Ekologi Manusia dan Sosial ..................................................... 81
D. Ekologi Kota. .............................................................................. 83
E. Ruang Terbuka Hijau. ............................................................... 89
F. Taman Kota................................................................................. 94

BAB 4
TATA RUANG KOTA .......................................................................
A. Pengantar . .................................................................................. 105
B. Kota yang Defresi: Problem Tata Ruang Kota....................... 106
C. Pengertian Perencanaan, Ruang dan Tata Ruang. ................ 108
D. Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning) ........................... 109
E. Penataan Ruang Kawasan Perkotaan ..................................... 114
F. Pengembangan Wilayah. .......................................................... 123
G. Penyusunan Tata Ruang Kota.. ............................................... 128
H. Kawasan Perkotaan dan Pedesaan.......................................... 131
I. Kawasan Budidaya Kota.. ........................................................ 132

BAB 5
STRUKTUR PEMERINTAHAN KOTA .........................................
A. Pengantar . .................................................................................. 136
B. Problem: Good Governance Sebuah Keharusan. ..................... 137
C. Pengertian Pemerintah Daerah. ............................................... 140
D. Pembagian Urusan Pemerintahan: Pusat dan Daerah ......... 144
E. Penyelenggara Pemerintah....................................................... 146
F. Kepala Daerah ............................................................................ 147
G. Perangkat daerah. ...................................................................... 148
H. DPRD. .......................................................................................... 150

xii Pengantar Ilmu Komunikasi


I. Pilkada.. ....................................................................................... 151
J. Peraturan Daerah (Perda) ......................................................... 156
K. Perencanaan Pembangunan.. ................................................... 163
L. Keuangan Daera......................................................................... 164
M. Otonomi Daerah ........................................................................ 166

BAGIAN KEDUA
MASYARAKAT KOTA DAN PROBLEMATIKANYA

BAB 6
KOTA DAN URBANISASI ..............................................................
A. Pengantar . .................................................................................. 177
B. Problem: Urbanisasi Tak Terkendali (over-urbanization). ..... 178
C. Urbanisasi dan Daya Tarik Kota.. ........................................... 179
D. Kependudukan .......................................................................... 181
E. Urbanisasi.. ................................................................................. 187
F. Migrasi......................................................................................... 197

BAB 7
KOTA DAN MASYARAKAT INDUSTRI ....................................
A. Pengantar . .................................................................................. 205
B. Industrialisasi: Proses Menjadi Masyarakat Industri ........... 207
C. Pengertian Industri dan Industrialisasi.. ................................ 209
D. Konsep Industrialisasi............................................................... 212
E. Industrialisasi di Indonesia. ..................................................... 215
F. Struktur Ekonomi Indonesia. ................................................... 217
G. Perubahan Sosial Masyarakat Agraris (Desa) ke
Industri (Kota) ............................................................................ 218

BAB 8
KOTA DAN KEMISKINAN.............................................................
A. Pengantar. ................................................................................... 224

Pengantar Ilmu Komunikasi xiii


B. Problem: Potret Kemiskinan di Indonesia ............................. 227
C. Pengertian Kemiskinan. ............................................................ 230
D. Indikator Kemiskinan. .............................................................. 235
E. Model Perhitungan Kemiskinan. ............................................ 238
F. Penyebab Kemiskinan ............................................................... 242
G. Ciri-Ciri Kemiskinan. ................................................................ 248
H. Jenis-Jenis Kemiskinan.. ............................................................ 249
I. Strategi Penanggulangan Kemiskinan ................................... 250
J. P2KP: Model Pemberdayaan Kemiskinan di Perkotaan...... 255

BAB 9
KOTA DAN TRANSPORTASI........................................................
A. Pengantar .................................................................................... 262
B. Problem: Kemacetan.................................................................. 263
C. Transportasi. ............................................................................... 265
D. Prasarana dan Kebutuhan Transportasi................................. 275
E. Proses Perencanaan Transportasi.. .......................................... 275

BAB 10
KOTA DAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) ............................
A. Pengantar .................................................................................... 279
B. Pengertian Sektor Formal dan Informal ................................. 281
C. Ciri-ciri Sektor Informal ............................................................ 284
D. Pengertian Pedagang Kaki Lima.. ........................................... 286
E. Karakteristik Pedagang Kaki Lima ......................................... 288
F. Pola Aktivitas Pedagang Kaki Lima ....................................... 289

BAB 11
KOTA DAN ANAK JALANAN DAN GEPENG
(GELANDANGAN DAN PENGEMIS) ..........................................
A. Pengantar . .................................................................................. 298
B. Pengertian Anak Jalanan .......................................................... 299
C. Proses Terjadinya Anak Jalanan. ............................................. 305
D. Faktor Penyebab Timbulnya Anak Jalanan ........................... 306

xiv Pengantar Ilmu Komunikasi


E. Pengertian Gelandangan dan Pengemis ................................ 311
F. Penyebab Masalah Sosial Gelandangan dan Pengemis. ...... 313

BAB 12
KOTA DAN PENGANGGURAN ...................................................
A. Pengantar . .................................................................................. 315
B. Pengertian Pengangguran.. ...................................................... 318
C. Sebab-Sebab Terjadinya Pengangguran. ................................ 320
D. Jenis-Jenis Pengangguran ......................................................... 323
E. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Jumlah
Pengangguran. ........................................................................... 324
F. Dampak (Akibat) Pengangguran. ........................................... 329
G. Strategi dan Program Penanggulangan Pengangguran. ..... 331

BAB 13
KOTA DAN PEMUKIMAN KUMUH ............................................
A. Pengantar. .. ................................................................................ 335
B. Problem: Pemukiman dan Kemiskinan.................................. 337
C. Pengertian Pemukiman Kumuh .............................................. 338
D. Faktor Penyebab Tumbuhnya Pemukiman Kumuh ............ 343
E. Dampak Urbanisasi Terhadap Perkembangan
Pemukiman Kumuh. ................................................................. 345

BAB X14
KOTA DAN KRIMINALITAS .........................................................
A. Pengantar .. ................................................................................. 362
B. Pengertian Kriminologi.. .......................................................... 365
C. Pengertian Kejahatan. ............................................................... 368
D. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan. ................................. 369
E. Upaya Penanggulangan Kejahatan ......................................... 374

BAB 15
KOTA DAN KENAKALAN REMAJA ...........................................
A. Pengantar .. ................................................................................. 377

Pengantar Ilmu Komunikasi xv


B. Pengertian Remaja ..................................................................... 379
C. Pengertian Kenakalan Remaja.. ............................................... 384
D. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja....................................... 387
E. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja. ......................................... 392
F. Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja.. ............................. 398
G. Kenakalan Remaja: Tawuran Pelajar (Perkelahian
Antarkelompok).. ....................................................................... 402
H. Kenakalan Remaja: Geng Motor.... .......................................... 405
I. Kenakalan Remaja: Narkoba.. .................................................. 412
J. Penanggulangan Kenakalan Remaja. ..................................... 415

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................


LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................

xvi Pengantar Ilmu Komunikasi


BAGIAN PERTAMA

MASYARAKAT KOTA
DAN RUANG LINGKUPNYA
BAB 1
RUANG LINGKUP MASYARAKAT
“Masyarakat terdiri atas individu-individu,
tanpa mereka tidak ada masyarakat”
(Murtadha Muthahhari)

A. Pengantar
Dalam kajian sosial, manusia adalah makhluk yang paling
unik sekaligus menarik untuk diperbincangkan. Banyak istilah
yang dialamatkan untuk manusia. Ada istilah makhluk individu
dan sosial; makhluk berbudaya; makhluk berpikir; zoon politocon
(makhluk sosial yang menyukai hidup bergolongan), social animal
atau gregariuosness (manusia mempunyai naluri hidup untuk
berkawan); man is a social and political being” (makhluk sosial yang
dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam
masyarakat). Istilah kekinian yang berkembang adalah manusia
seutuhnya, sebagai sosok manusia yang mencakup istilah-istilah di
atas, yaitu manusia sebagai pribadi yang merupakan perwujudan
manunggalnya berbagai ciri atau karakter hakiki atau sifat kodrati
manusia yang seimbang antaraberbagai segi, yaitu segi individu,
sosial, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Harmonisasi model
ini menggambarkan keselarasan hubungan antara manusia dan
dirinya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam
sekitar (lingkungan), dan manusia dengan Tuhannya.

2 Sosiologi Perkotaan
Penggambaran istilah-istilah di atas menunjukkan bahwa
manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain,
melainkan berkelompok (bermasyarakat). Hidup berkelompok ini
merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya, serta
untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam
maupun yang datang dari luar. Ini menunjukkan bahwa dalam diri
manusia terdapat dua keinginan yang selalu melekat, yaitu keinginan
untuk menyatu dengan alam lingkungannya dan keinginan untuk
menyatu dengan manusia lain dalam rangka memudahkan proses
hidupnya. Untuk mewujudkan keinginan tersebut dibangunnya
interaksi sosial, di antara mereka.
Soerjono Soekanto (2004: 61) mengatakan interaksi sosial adalah
menjadi faktor utama sekaligus menjadi syarat utama terbentuknya
kehidupan sosial. Tanpa interaksi sosial, tidak mungkin ada
kehidupan bersama. Interaksi adalah proses hubungan sosial atau
relasi sosial (social relation) saat manusia saling kontak; mengenal;
adaptasi (menyesuaikan diri) sikap, perilaku dan pemikiran hingga
akhirnya saling mewarnai dan memengaruhi satu sama lain.
Produk interaksi sosial di atas memunculkan sistem hidup,
yaitu tata hubungan yang bertujuan mengatur antarmanusia agar
terjadi ketertiban dan keamanan untuk melestarikan keberlangsungan
hidupnya. Produk tersebut berupa nilai dan norma (kaidah) serta
peraturan hidup lainnya yang disepakati secara bersama. Apabila
sistem hidup ini telah terbangun, dengan sendirinya, terbentuklah
sebuah masyarakat.
Untuk membudayakan tata kelakuan menjadi aturan dan hukum
bagi masyarakat dibentuklah norma dan nilai dalam masyarakat
tersebut. Hal ini karena tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat
yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai
alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat
terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan, pada satu pihak
memaksakan suatu perbuatan dan pada pihak lain melarangnya,
sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat
menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
Soerjono Soekanto (2004: 201) menjelaskan pentingnya
pembudayaan tata kelakuan dalam masyarakat, yaitu sebagai
berikut.

Sosiologi Perkotaan 3
1. Tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu.
Tata kelakuan juga merupakan alat yang memerintahkan dan
sekaligus melarang seorang anggota masyarakat melakukan
suatu perbuatan. Dalam hal ini, setiap masyarakat mempunyai
tata kelakuan masing-masing yang sering berbeda satu
dengan lainnya, karena tata-kelakuan timbul dari pengalaman
masyarakat yang berbeda-beda.
2. Tata kelakuan mengidentifikasi individu dengan kelompoknya.
Pada satu pihak, tata kelakuan memaksa seseorang untuk
menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata kelakuan
kemasyarakatan yang berlaku. Pada pihak lain, tata kelakuan
ini mengusahakan agar masyarakat menerima seseorang karena
kesanggupannya untuk menyesuaikan diri. Contohnya adalah
tindakan-tindakan yang menyimpang, misalnya melakukan
kejahatan. Masyarakat akan menghukum orang tersebut dengan
maksud agar mereka menyesuaikan tindakan-tindakannya
dengan tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat.
3. Tata kelakuan menjaga solidaritas antaranggota masyarakat.
Seperti telah diuraikan di atas, setiap masyarakat mempunyai
tata kelakuan, misalnya perihal hubungan antara laki-laki dan
wanita, yang berlaku bagi semua orang, semua usia, semua
golongan masyarakat dan selanjutnya tata kelakuan menjaga
keutuhan dan kerja sama antaranggota masyarakat itu.

Berikut ini adalah sejumlah norma dan nilai yang menjadi


standar tata kelakuan yang berlaku di masyarakat.
1. Norma agama, yaitu peraturan hidup yang harus diterima
manusia sebagai perintah, larangan dan ajaran yang bersumber
dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini
akan mendatangkan hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa
berupa “siksa” kelak di akhirat.
2. Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang berasal dari suara
hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan adalah
pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma
kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh
seluruh umat manusia.

4 Sosiologi Perkotaan
3. Norma kesopanan, yaitu norma yang timbul dan diadakan oleh
masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga
masing-masing anggota masyarakat saling menghormati. Akibat
pelanggaran terhadap norma ini adalah dicela sesamanya
karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang
bersangkutan. Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan,
kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama,
atau adat-istiadat. Norma kesopanan tidak berlaku bagi
seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan
setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan
masyarakat tertentu. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan
masyarakat, bagi masyarakat lain tidak demikian. Kebiasaan
merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat
diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak
ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku
dalam masyarakat yang dilakukan berulang-ulang mengenai
sesuatu hal yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup.
Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan dengan adat-
istiadat. Adat-istiadat adalah kebiasaan sosial yang sejak lama
ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib.
Ada pula yang menganggap adat-istiadat sebagai peraturan
sopan santun yang turun-temurun Pada umumnya, adat-istiadat
merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci
(sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah
turun-temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi
rakyat.
4. Norma hukum, yaitu peraturan yang timbul dan dibuat oleh
lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan
pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan
oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan
agama keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang
memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan
dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum
bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan
dari luar, yaitu kekuasaan negara.

Sosiologi Perkotaan 5
Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat dan kebudayaan
saling mengisi dan melengkapi, walaupun keduanya dibedakan.
Masyarakat adalah kumpulan manusia sebagai pengisinya yang
saling berhubungan (berinteraksi) satu sama lain, sedangkan
kebudayaan merupakan sistem norma dan nilai yang terorganisasi
dan menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut (Paul B. Horton,
1984: 59). Dengan kata lain, manusia dalam hidup kesehariannya
tidak akan lepas dari kebudayaan, karena manusia adalah pencipta
dan pengguna kebudayaan itu sendiri. Hubungan yang erat antara
manusia (terutama masyarakat) dan kebudayaan, telah diungkapkan
oleh Melvilie J. Herkovits dan Bronislaw Malllinowski, yang
mengemukakan bahwa cultural determinism berarti segala sesuatu yang
terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu. Untuk itu pada bab ini, akan
dibahas tentang masyarakat dan ruang lingkupnya.

B. Pengertian Masyarakat
Kata masyarakat berasal dari Bahasa Arab “syaraka” yang
artinya ikut serta, berpartisipasi, atau “musyaraka”, yang artinya
saling bergaul. Dalam bahasa Inggris, dipakai istilah “society”. Kata
tersebut berasal dari bahasa Latin “socius”, yang artinya kawan
(Koentjaraningrat, 2000: 143). Pendapat lainnya juga dijelaskan oleh
Abdul Syani (1987: 1), bahwa kata masyarakat berasal dari bahasa
Arab, yaitu “musyarak”, yang artinya bersama-sama. Kemudian, kata
tersebut berubah menjadi kata masyarakat, yang artinya berkumpul
bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling
memengaruhi. Akhirnya, disepakati menjadi kata masyarakat (bahasa
Indonesia). Pendapat lainnya menyebutkan istilah masyarakat, yaitu
dengan kata society dan community.

1. Society
Masyarakat dalam istilah society, diterjemahkan sebagai
suatu badan atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai
anggota masyarakat. Anggota masyarakat yang bersama biasanya
dianggap sebagai suatu golongan, terbagi dalam berbagai kelas
menurut kedudukan dalam masyarakat itu (Hasan Shadely, 1993:
59-60). Pengertian lain society adalah hubungan sosial, tingkah laku

6 Sosiologi Perkotaan
atau cara hidup manusia di dalam masyarakat dari kalangan tinggi,
kaum elite, dan sebagainya, yang biasanya menduduki kelas tinggi
dalam masyarakat. Di negeri-negeri Barat umumnya, upper-class
yang kaya menentukan corak hidup yang dianggap pantas untuk
ditiru (fashion, mode) oleh umum. Kata society sering juga dipakai
sebagai nama kumpulan keagamaan, kesusastraan, politik, studi,
dan sebagainya, seperti Fabian Society, Royal Society, dan sebagainya
(Hasan Shadely, 1993: 60).

2. Community
Soerjono Soekanto (2004: 149) menjelaskan bahwa istilah
community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat seperti
warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Apabila anggota suatu
kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup bersama
sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut
dapat memenuhi kepentingan hidup yang utama, kelompok itu
disebut masyarakat setempat. Ciri utama masyarakat setempat ini
adalah adanya social relationships antara anggota kelompoknya.
Dari uraian ini, dapat disimpulkan secara singkat bahwa
masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial
yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu.
Dasar-dasar masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan
semasyarakat setempat tersebut.
Pengertian lain, istilah community lebih mengarah pada
pengertian masyarakat dalam arti paguyuban. Kalau society berarti
masyarakat umum, community menunjukkan arti masyarakat yang
terbatas, misalnya masyarakat Jakarta, masyarakat Bandung, dan
lainnya. Masyarakat model community ini lebih menunjukkan rasa
sentimen yang sama seperti halnya terdapat dalam masyarakat
gemeinschaft. Hanya, pada umumnya masyarakat dalam arti
community, selain karena sentimen yang sama, juga menunjukkan
suatu lokalitas, pembatasan letak kediamannya, karena itu dinamakan
juga masyarakat setempat, masyarakat sini (Hasan Shadely, 1993:
60).
Basrowi (2005: 37-38) menjelaskan bahwa masyarakat dalam
arti community dapat dilihat dua sudut pandang.

Sosiologi Perkotaan 7
a. Sebagai unsur statis, artinya community terbentuk dalam
suatu wadah atau tempat dengan batas-batas tertentu maka
ia menunjukkan bagian dari kesatuan masyarakat sehingga
dapat pula disebut sebagai masyarakat setempat, misalnya
kampung, dusun, atau kota-kota kecil. Masyarakat setempat
adalah wadah dan wilayah dari kehidupan sekelompok orang
yang ditandai oleh adanya hubungan sosial. Di samping itu,
dilengkapi pula oleh adanya perasaan sosial, nilai, norma yang
diambil atas akibat dari adanya pergaulan hidup atau hidup
bersama manusia.
b. Sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses-
(nya) yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan
antarmanusia, maka di dalamnya ada yang sifatnya fungsional.
Dalam hal ini dapat diambil contoh tentang masyarakat pegawai
negeri sipil, masyarakat ekonomi, masyarakat mahasiswa, dan
lainnya.

Dalam beberapa literatur juga sering ditemukan istilah


lain tentang masyarakat. Lazimnya sering digunakan istilah
“masyarakat” untuk menjelaskan wujud kesatuan kolektif manusia,
tetapi ada pula istilah lain untuk penyebutan masyarakat, seperti
kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok, dan perkumpulan
(Koentjaraningrat, 2003: 119). Berikut ini penjelasan mengenai
istilah-istilah tersebut.

a. Komunitas
Istilah komunitas diartikan sebagai wujud masyarakat yang
konkret, yang selain memiliki ikatan berdasarkan suatu sistem
adat-istiadat yang sifatnya kontinu, dan berdasarkan rasa identitas
bersama yang dimiliki semua kesatuan masyarakat, juga terikat oleh
lokasi yang nyata dan kesadaran wilayah yang konkret. Kesatuan
wiiayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas, dan
loyalitas terhadap komunitas merupakan ciri-ciri komunitas. Wujud
suatu komunitas yang paling besar adalah negara. Selain negara,
kesatuan seperti kota, desa, RW, atau RT juga tepat dengan definisi
yang berkaitan dengan komunitas, yaitu kesatuan hidup manusia
yang menempati wilayah yang nyata, dan berinteraksi secara

8 Sosiologi Perkotaan
kontinu sesuai dengan suatu sistem adat-istiadat, dan terikat oleh
rasa identitas komunitas.
Sekalipun demikian, kesatuan hidup manusia dalam suatu
negara, desa, atau kota juga disebut masyarakat. Apakah sama konsep
masyarakat dengan komunitas? Memang keduanya agak tumpang-
tindih. Istilah masyarakat adalah istilah umum bagi kesatuan hidup
manusia (karena itu sifatnya lebih luas), yang bersifat mantap
dan terikat oleh satuan adat-istiadat serta rasa identitas bersama,
sedangkan komunitas bersifat khusus karena adanya ikatan lokasi
dan kesadaran wilayah.
Untuk membedakan kedua istilah tersebut, antarakomuniti
yang tumbuh sendiri, mulai dari kehidupan berkelompok para
nenek-moyang pendirinya yang kemudian berkembang menjadi
makin besar secara kontinu selama beberapa generasi, ada pula
kehidupan berkelompok yang dengan sengaja dibentuk karena
berbagai alasan, baik yang dipaksakan maupun yang tidak, yang
kemudian berkembang menjadi besar selama beberapa generasi.
Kelompok pertama dapat disebut sebagai komuniti, sedangkan
kelompok kedua dapat disebut sebagai komunitas. Dengan demikian,
desa kecil yang merupakan desa tradisional di Bali sejak beberapa
generasi, merupakan komuniti, sedangkan desa transmigrasi atau
kompleks perumahan di kota yang dibangun oleh suatu perusahaan
pengembang adalah komunitas.

b. Kategori Sosial
Masyarakat sebagai kolektif manusia yang sangat umum
sifatnya, mengandung kesatuan yang sifatnya lebih khusus, tetapi
belum tentu memiliki syarat pengikat yang sama. Kesatuan sosial
yang tidak memiliki syarat-syarat pengikat itu —sehingga mirip
dengan “kerumunan”— adalah “kategori sosial”.
Kategori sosial adalah kesatuan manusia yang terjadi karena
adanya ciri atau kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan
pada para warga atau anggotanya. Ciri-ciri objektif itu biasanya
dikenakan oleh pihak luar dan sering tidak disadari oleh orang yang
bersangkutan sendiri, untuk suatu maksud tertentu. Sebagai contoh,
dalam hukum suatu negara ditentukan bahwa untuk membedakan

Sosiologi Perkotaan 9
antarawarga negara yang mempunyai hak pilih dalam pemilihan
umum dan yang tidak ada kategori warga yang berumur di atas
18 tahun dan kategori warga yang berumur di bawah 18 tahun.
Ada pula kategori untuk menentukan siapa yang harus mernbayar
sumbangan wajib dan siapa yang tidak, yaitu orang yang memiliki
mobil dan orang yang tidak memilikinya. Demikian pula, beragam
penggolongan berdasarkan ciri-ciri objektif untuk berbagai maksud
yang berbeda, misalnya kategori pegawai negeri untuk menentukan
banyaknya hadiah lebaran yang harus disediakan, atau kategori
anak di bawah umur 17 tahun untuk larangan menonton film orang
dewasa, dan sebagainya. Dengan demikian tidak hanya negara atau
kota saja yang dapat mengadakan berbagai macam penggolongan
terhadap masyarakatnya, tetapi untuk keperluan analisis, seorang
peneliti pun dapat melakukan berbagai penggolongan terhadap
penduduk dari masyarakat yang ditelitinya, tanpa disadari oleh
orang-orang yang bersangkutan.

c. Golongan Sosial
Berbeda dengan kategori sosial, konsep “golongan sosial”
jarang dipisahkan dari konsep “kategori sosial”, dan disebut dengan
istilah social category. Kedua konsep itu memiliki unsur-unsur
perbedaan yang jelas. Suatu golongan sosial merupakan kesatuan
manusia yang memiliki ciri tertentu yang bahkan sering dikenakan
oleh pihak luar kepada mereka. Sekalipun demikian, suatu kesatuan
manusia seperti itu memiliki ikatan identitas sosial karena kesadaran
identitas itu tumbuh sebagai respons terhadap penilaian pihak luar
terhadap mereka, atau karena golongan itu memang terikat oleh
suatu sistem nilai, norma, atau adat-istiadat tertentu.
Dalam msyarakat Indonesia, misalnya ada konsep “golongan
pemuda”. Golongan sosial ini terdiri atas orang-orang yang oleh
pihak luar disatukan karena mereka semua memiliki satu ciri,
yaitu usia mereka yang muda. Selain ciri objektif, golongan sosial
digambarkan sebagai golongan orang-orang yang penuh idealisme,
belum terikat oleh kewajiban hidup yang membebani mereka,
sehingga sanggup mengabdi dan berkorban bagi masyarakat, penuh
semangat dan vitalitas, memiliki kekuatan serta kreativitas untuk
melakukan pembaruan, dan sebagainya.

10 Sosiologi Perkotaan
Dalam suatu masyarakat, ada juga kesatuan manusia yang
termasuk “golongan sosial”, yaitu yang disebut “lapisan” atau
“kelas sosial”. Pada zaman dahulu, kita mengenal lapisan kaum
bangsawan, lapisan orang biasa, lapisan budak, dan sebagainya;
dan sekarang ada lapisan petani, lapisan buruh, lapisan pegawai,
lapisan pegawai tinggi, lapisan cendekiawan, lapisan usahawan,
dan sebagainya. Lapisan atau golongan sosial semacam itu terjadi
karena orang-orang yang dimasukkan ke dalam suatu golongan
mempunyai gaya hidup yang khas, sehingga mereka dipandang
oleh orang lain sebagai orang-orang yang menduduki lapisan
tertentu dalam masyarakat. Sebabnya karena keduanya tidak
memiliki syarat pengikat masyarakat, yaitu prasarana yang khusus
untuk melakukan interaksi sosial. Semua anak di bawah usia 17
tahun dalam suatu masyarakat tidak berinteraksi melalui sistem
prasarana khusus. Demikian juga, tanpa kecuali, pemuda yang
dalam masyarakat Indonesia berjumlah jutaan orang, tidak hanya
berinteraksi melalui suatu sistem prasarana khusus yang tersedia.
Organisasi-organisasi pemuda dengan tujuan khusus seperti
studi, diskusi, pergaulan, olahraga, kesenian, dan sebagainya,
pada umumnya dibentuk berdasarkan ideologinya masing-masing
(misalnya ideologi agama, ideologi nasional, ideblogi internasional),
dan bukan karena organisasi itu merupakan sistem jaringan yang
berlaku bagi semua pemuda, hanya karena mereka memenuhi syarat
untuk disebut pemuda.

d. Kelompok dan Perkumpulan


Suatu kelompok (dalam bahasa Inggris disebut group) juga
memenuhi syarat sebagai suatu masyarakat karena memiliki
sistem interaksi antaranggota, adat-istiadat, dan sistem norma
yang mengatur interaksi, kesinambungan, dan rasa identitas yang
mempersatukan semua anggota. Kelompok juga mempunyai ciri
tambahan, yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan. Suatu
kelompok selalu tampil sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas
individu-individu yang berkumpul pada waktu-waktu tertentu
saja.
Kedua ciri khas itu sebenarnya juga dimiliki oleh kesatuan
manusia yang terbesar, yaitu negara. Sekalipun demikian, kita tidak

Sosiologi Perkotaan 11
mengatakan “kelompok Indonesia” apabila yang kita maksudkan
adalah negara Republik Indonesia, karena kelompok selalu lebih
kecil daripada negara. Kota dan desa yang memiliki organisasi
dan sistem kepemimpinan juga tidak dapat disebut kelompok.
Apabila kita mendengar tentang “kelompok Cibodas” misalnya,
istilah “kelompok” itu hanya menandakan lokasi saja, sehingga
ada Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram, karena lokasinya di
Mataram. Sebaliknya, ada kelompok yang tidak mempunyai lokasi
tertentu, misalnya kelompok kekerabatan, sehingga warga Marga
Tarigan tidak hanya terdapat di Kaban Jahe di Tanah Karo saja,
tetapi juga di berbagai kota dan daerah lain di Indonesia. Dengan
demikian, unsur lokasi sebagai syarat terjadinya komunitas bukan
unsur mutlak.
Dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa secara khusus, ada
beberapa jenis kelompok yang berbeda-beda. Kalau contoh di atas,
yaitu perkumpulan sepak bola dan kelompok kekerabatan dianalisis
sifat organisasi dan sistem kepemimpinannya, tampak dua macam
organisasi, yaitu:
1) organisasi yang sengaja dibentuk, lengkap dengan aturannya
serta sistem norma yang mengikat para anggotanya;
2) organisasi yang terbentuk karena adanya ikatan alamiah dan
keturunan, yang mengikat para warganya dengan adat-istiadat
serta sistem norma yang telah tumbuh sejak dulu.

Kelompok yang berdasarkan organisasi, seperti Marga Tarigan,


dalam bahasa Inggris adalah group atau primary group, sedangkan
sistem organisasinya adalah informal organization. Kelompok
seperti PSIM, dalam bahasa Inggris disebut association, dan sistem
organisasinya disebut formal organization.
Apabila istilah-istilah group, informal organization, association,
dan formal organization kita terjemahkan secara harfiah ke dalam
bahasa Indonesia, akan kita peroleh istilah-istilah yang tidak jelas,
seperti asosiasi, organisasi resmi, kelompok, dan organisasi tidak resmi.
Karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman, digunakan istilah
lain yang dalam bahasa Indonesia mempunyai makna yang lebih
jelas, yaitu “perkumpulan” sebagai pengganti association, yang
dasar organisasinya adalah “organisasi buatan”. Group sebaiknya

12 Sosiologi Perkotaan
diterjemahkan dengan “kelompok”, atau kalau perlu “kelompok
primer”.
Sebenarnya pembedaan antara”kelompok” dan “perkumpulan”
dalam antropologi dan sosiologi sudah dilakukan sejak lama, tetapi
ada aspek-aspek lain. C.H. Cooley, misalnya membedakan aspek asas
hubungan antaraprimary group dan association (Cooley menyebutnya
secondary group). Dalam abad yang lalu, ahli sosiologi F. Tonnies
membedakan antara dua macam masyarakat yang berdasarkan
asas hubungan, yaitu Gesellschaft dan Gemeinschaft. Sementara ahli
antropologi dan sosiologi Prancis terkenal E. Durkheim memerhatikan
aspek solidaritas dari hubungan antaraindividu dalam kelompok
dan perkumpulan, dan membedakan antara solidaritas mekanik
yang menjiwai kelompok, dan solidaritas organik yang menjiwai
perkumpulan. Dengan demikian, tiap-tiap istilah di atas, memiliki
pengertian, ciri serta karakteristik masing-masing. Akan tetapi,
istilah masyarakat merupakan hal yang paling lengkap untuk
menggambarkan seluruh istilah di atas. Sekalipun demikian, tidak
ada definisi tunggal tentang masyarakat karena sifat manusia
dalam sebuah kelompok yang dinamis, selalu berubah dari waktu
ke waktu. Hal ini menyebabkan perbedaan persepsi para pakar
tentang masyarakat. Berikut ini beberapa definisi masyarakat dari
para pakar sosiologi (Ely M. Setyadi, 2011: 35-36).
1) Emile Durkheim mendefinisikan masyarakat sebagai kenyataan
objektif individu-individu yang merupakan anggota-
anggotanya.
2) Karl Marx melihat masyarakat sebagai struktur yang
terdapat ketegangan akibat pertentangan antarkelas sosial
karena pembagian nilai-nilai ekonomi yang tidak merata di
dalamnya.
3) M.J. Herskovits mendefinisikan masyarakat sebagai kelompok
individu yang diorganisasikan dan mengikuti cara hidup
tertentu.
4) John Lewis Gillin dan John Philip Gillin lebih sering disebut
Gillin dan Gillin (1954) menjelaskan bahwa masyarakat adalah
kelompok manusia yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap,
dan perasaan persatuan yang sama. Pengertian ini menunjukkan

Sosiologi Perkotaan 13
bahwa persamaan kesatuannya tidak berdiri sendiri, tetapi
dibangun dalam waktu yang cukup lama sehingga membentuk
persamaan pandangan di antara kelompok masyarakat tersebut.
Lamanya pembentukan kelompok tersebut menimbulkan
kebiasaan atau tradisi, kemudian sikap serta pola perilaku
yang unik dibangun masyarakat tersebut, yang membedakan
dengan masyarakat lainnya.
5) Ralph Linton (1936) mengemukakan bahwa masyarakat adalah
sekelompok manusia yang telah cukup lama dan bekerja sama,
sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya sebagai salah
satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. Pengertian
ini menunjukkan adanya syarat-syarat sehingga yang disebut
masyarakat adalah adanya pengalaman hidup bersama dalam
jangka waktu cukup lama dan adanya kerja sama di antara
anggota kelompok, memiliki pikiran atau perasaan menjadi
bagian dari satu kesatuan kelompoknya. Pengalaman hidup
bersama menimbulkan kerja sama, adaptasi terhadap organisasi
dan pola tingkah laku anggota-anggota. Di sini, faktor waktu
memegang peran penting sebab setelah hidup bersama dalam
waktu cukup lama, terjadi proses adaptasi terhadap organisasi
tingkah laku serta kesadaran berkelompok.
6) Melville J. Herskovits atau akrab dipanggil Herkovits (1955)
mengatakan, bahwa masyarakat adalah kelompok individu
yang diorganisasikan yang mengikuti satu cara hidup tertentu.
Definisi ini menekankan adanya ikatan anggota kelompok
untuk mengikuti cara-cara hidup tertentu yang ada di dalam
kelompok masyarakat.
7) Auguste Comte (1896) mengatakan bahwa masyarakat
merupakan kelompok makhluk hidup dengan realitas baru
yang berkembang menurut pola perkembangan tersendiri.
Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi
manusia, sehingga manusia dengan sendirinya bertalian
secara golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang
mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lainnya.
8) Koentjaraningrat (2000: 146) mendefinisikan masyarakat sebagai
satu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu

14 Sosiologi Perkotaan
sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat
oleh rasa identitas bersama.

Dari berbagai pendapat tentang pengertian masyarakat, dapat


disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang
bertempat tinggal di daerah tertentu dalam waktu yang relatif lama,
memiliki norma yang mengatur kehidupannya menuju tujuan yang
dicita-citakan bersama dan di tempat tersebut, anggota-anggotanya
melakukan regenerasi (beranak pinak).
Dari beberapa uraian tersebut pun secara substansial terdapat
titik temu bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia yang
memiliki unsur-unsur berikut.
1) Terdapat sejumlah orang yang jumlahnya relatif besar, saling
berinteraksi antara satu dan lainnya, baik antarindividu,
individu dan kelompok, maupun antarkelompok dalam satu
kesatuan sosial yang menghasilkan produk kehidupan, yaitu
kebudayaan.
2) Menjadi struktur dan sistem sosial budaya, baik dalam skala
kecil (mikro) maupun dalam skala besar atau luas (makro)
antarkelompok.
3) Menempati kawasan tertentu dan hidup di dalam kawasan
tersebut.

C. Mengapa Manusia Hidup Bermasyarakat?


Ibnu Khaldun memberikan alasan bahwa manusia hidup
secara bersama karena tiga alasan, yaitu alasan ekonomi, alasan
keamanan, dan alasan otoritas. Adapun Murtadha Mutahari (1995:
15-19) menjelaskan teori tentang mengapa manusia ingin hidup
secara bersama, yaitu sebagai berikut.
1. Manusia bersifat kemasyarakatan. Menurut teori ini, kehidupan
manusia bersifat kemasyarakatan. Artinya, secara fitri ia bersifat
kemasyarakatan. Kehidupan bermasyarakat manusia sama
dengan kerekanan seorang pria dan seorang wanita dalam
kehidupan berumah tangga. Masing-masing merupakan bagian
dari suatu keseluruhan, dan masing-masing bersifat ingin

Sosiologi Perkotaan 15
bersatu dengan keseluruhan itu. Oleh karena itu, menurut teori
ini, kebutuhan, keuntungan, kepuasan, karya dan kegiatan
manusia pada hakikatnya bersifat kemasyarakatan, dan sistem
kemasyarakatan akan tetap maujud selama ada pembagian
kerja, pembagian keuntungan, dan rasa saling membutuhkan
satu sama lainnya. Pada sisi lain, idealisme manusia serta khas
lainnya yang menguasai manusia dengan memberi mereka
suatu rasa kesatuan dan kebersamaan.
2. Manusia terpaksa bermasyarakat. Menurut teori ini, kehidupan
bermasyarakat ibarat kerja sama, seperti suatu fakta antara
dua negara yang tidak mampu mempertahankan diri terhadap
musuh, sehingga terpaksa membuat suatu persetujuan kerja
sama.
3. Manusia bermasyarakat berdasarkan pilihannya. Menurut teori
ini, kehidupan bermasyarakat serupa dengan persekutuan dua
orang bermodal yang membentuk suatu badan usaha untuk
memperoleh keuntungan lebih besar.

Dari ketiga teori di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan


teori pertama, faktor utamanya adalah melekat pada fitrah manusia
itu sendiri; pada teori kedua, faktor utamanya adalah sesuatu
yang berada di luar dan lepas dari manusia, sedangkan pada teori
ketiga, faktor utamanya adalah kemampuan akal dan kemampuan
memperhitungkan manusia.

1. Faktor Pembentuk (Unsur-unsur) Masyarakat


Secara umum, Soerjono Soekanto (2004;24-25) menjelaskan
bahwa masyarakat terdiri atas beberapa unsur sebagai faktor
pembentuk masyarakat, yaitu sebagai berikut.

a. Manusia Hidup secara Bersama


Kehidupan bersama ditandai dengan hidup secara berkelompok,
dalam wilayah atau tempat yang sama dan bersatu serta saling
melindungi dan memelihara agar terjalin dan terjaga kebersamaan di
antara mereka secara permanen. Kebersamaan adalah fitrah manusia.
Sebab eksistensi manusia akan bisa dibangun serta memiliki kekuatan

16 Sosiologi Perkotaan
apabila ada kesatuan di antara mereka. Sebaliknya, kesendirian
manusia adalah kehancuran bagi keberadaan dirinya sebab diri
manusia adalah kumpulan potensi yang harus dikembangkan
dan ditumbuhkan di tengah-tengah kumpulan manusia lain.
Dengan kesendirian, potensi itu akan mati dengan sendirinya.
Dengan demikian, manusia tidak dapat hidup dengan menyendiri.
Sebagaimana dijelaskan Hasan Shadily (1993: 51-56) bahwa manusia
memiliki ciri hakikatnya di antaranya:
1) memiliki hasrat yang berdasarkan naluri (kehendak biologis
yang ada di luar penguasaan akal) untuk mencari teman
hidup;
2) kelemahan manusia selalu mendesak untuk mencari kekuatan
bersama;
3) Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah zoon politicon,
yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup bergolongan;
4) Bergeson berpendapat bahwa manusia hidup bersama bukan
karena persamaan, melainkan karena perbedaan yang terdapat
dalam sifat, kedudukan, dan sebagainya.

b. Bercampur dalam Waktu yang Cukup Lama


Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masyarakat adalah
kumpulan individu manusia yang dapat hidup secara bersama,
dan proses menjadi kesatuan manusia membutuhkan waktu yang
cukup lama. Salah satunya diawali tumbuhnya keluarga-keluarga.
Oleh karena itu, keluarga dianggap sebagai satuan masyarakat
primer atau unsur utama. Dari unsur utama atau masyarakat
primer, muncul satuan-satuan masyarakat yang lebih kompleks, di
antaranya masyarakat lokal, masyarakat nasional, dan masyarakat
internasional (masyarakat dunia).
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan
masyarakat. Dari keluarga tersebut, berkembangnya keluarga lainnya,
yang lambat laun dalam waktu yang cukup lama akan terbentuk
sebuah masyarakat. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2007: 227)
menambahkan bahwa keluarga adalah lembaga sosial dasar tempat
semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang.

Sosiologi Perkotaan 17
Proses pembentukan masyarakat dari keluarga-keluarga ini
tidak sebentar, tetapi membutuhkan waktu dan ruang yang lama.
Diawali dengan keluarga batih (nuclear family), yaitu kelompok yang
terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum memisahkan
diri dan membentuk keluarga sendiri. Keluarga batih ini dikatakan
sebagai unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat
(Soerjono Soekanto, 1990: 22). Keluarga model ini disebut juga
keluarga konjugal, yaitu keluarga yang terdiri atas pasangan suami
istri dan anak-anaknya.
Menurut Soerjono Soekanto (1990: 23), keluarga batih
mempunyai peranan tertentu, yaitu:
1) pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, dan
ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara
materil memenuhi kebutuhan anggotanya;
2) menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan
hidup;
3) tempat manusia mengalami proses sosialisasi awal, yaitu
proses manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah
dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Lambat laun, proses keluarga batih semakin besar sehingga


terbentuklah keluarga luas (extended family), yaitu keluarga batih
ditambah keluarga lain (hasil perkawinan anak-anaknya) atau kerabat
lain yang memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan.
Keluarga luas ini ditemukan di desa-desa dan bukan pada daerah
industri. Kehidupan masyarakat desa kebanyakan adalah keluarga,
sanak kerabat, atau famili sehingga kekerabatan di desa sangat
kuat dan terpelihara karena didasarkan pada persaudaraan yang
sedarah dan sama. Keluarga luas ini akhirnya membentuk satuan
atau kelompok besar dalam suatu tempat yang membentuk satuan
masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat adalah kumpulan individu
manusia yang saling berinteraksi dan saling membutuhkan serta
hidup dalam suatu tempat dengan kurun waktu yang lama. Hanya,
setiap masyarakat tidak memiliki data historis yang utuh yang

18 Sosiologi Perkotaan
merekam sejarah pertumbuhan dan perkembangan mereka sehingga
setiap kali memotret kehidupan masyarakat tersebut, kita sering
kehilangan sejarahnya. Akan tetapi, bagi masyarakat yang dianggap
tradisional dan menjadi objek wisata, data historis dibuat sedemikian
rupa untuk melengkapi kunjungan para wisatawan dalam melihat
sejarah masyarakat tradisonal tersebut.

c. Satu Kesatuan
Sebagai social animal, manusia mempunyai naluri hidup untuk
berkawan atau disebut juga gregariuosness (Soerjono Soekanto, 2004:
25). Keinginan hidup bersama dan berkelompok dibangun dalam
rangka menjaga kesatuan dan keutuhan di antara mereka. Untuk
keutuhan kelompoknya, manusia senantiasa menghindari pertikaian
atau permusuhan di antara sesama.
Bagaimana pun, sikap kesadaran menjaga keutuhan kelompok-
nya menjadi naluri yang kuat dalam diri manusia, sebagaimana
dijelaskan oleh Soerjono Soekanto (2004: 25), yaitu keinginan untuk
menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain (misalnya
masyarakat); dan keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan
alam sekelilingnya. Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri
dengan kedua lingkungannya, baik lingkungan sosial dan lingkungan
alam, manusia senantiasa menggunakan pikiran, perasaan, serta
kehendaknya secara baik.

d. Sistem Hidup Bersama


Inilah keunikan sebuah masyarakat. Kesadaran akan kesatuan
kelompoknya serta untuk menjaga keutuhan kelompoknya, dibuatlah
sebuah sistem hidup bersama. Biasanya sistem hidup berupa nilai-
nilai dan norma yang disepakati secara bersama untuk menjadi
patokan bagi berperilaku dalam masyarakat. Sistem hidup dibangun
untuk mewujudkan pelbagai kebutuhan hidup yang harus dipenuhi,
agar masyarakat dapat hidup terus. Di antara berbagai kebutuhan
hidup itu, seperti sistem hukum (nilai dan norma), sistem komunikasi,
sistem produksi, sistem distribusi, sistem organisasi sosial, sistem
pengendalian sosial, serta perlindungan warga masyarakat terhadap
ancaman-ancaman yang tertuju pada jiwa dan harta bendanya
(Soerjono Soekanto, 2004: 26).

Sosiologi Perkotaan 19
D. Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat pada akhirnya menyebabkan
terjadinya pengelompokan (penggolongan) atau klasifikasi tipologi
masyarakat.
Soerjono Soekanto (1984: 49-51) menjelaskan bahwa tahap
perkembangan masyarakat Indonesia terdiri atas tiga tahap, yaitu
mayarakat sederhana, madya dan pra modern/modern.

1. Mayarakat Sederhana, Madya dan Pra Modern/


Modern
a. Masyarakat Sederhana/Bersahaja
Masyarakat sederhana adalah masyarakat yang mengalami
perkembangan lambat dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut.
1) Hubungan dalam keluarga maupun dalam masyarakat sangat
erat.
2) Organisasi sosial didasarkan pada adat-istiadat yang berbentuk
tradisi secara turun-temurun.
3) Percaya adanya kekuatan gaib yang memengaruhi kehidupan
mereka, tetapi mereka tidak sanggup menghadapi kekuatan
tersebut.
4) Tidak ada lembaga khusus yang mengatur bidang pendidikan
dalam masyarakat, tetapi keterampilan yang mereka miliki
diperoleh melalui pendidikan luar sekolah dari keluarga
maupun masyarakat sendiri secara perlahan-lahan dilakukan
secara turun-temurun dengan praktik langsung (sedikit atau
tanpa teori). Pengetahuan mereka yang didapatkan bukan
hasil pemikiran secara empiris maupun hasil eksperimen,
melainkan hasil pengalaman yang kebenaran secara umum
diperoleh secara kebetulan.
5) Tingkat buta huruf tinggi karena tidak ada pendidikan sekolah
yang masuk dalam kehidupan mereka.
6) Hukum yang berlaku di masyarakat dapat dipahami dan
dimengerti oleh anggotanya yang sudah dewasa.

20 Sosiologi Perkotaan
7) Kegiatan perekonomian masyarakat sebagian besar dalam
bidang produksi yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
sendiri atau sedikit dipasarkan. Harga barang-barang kebutuhan
yang dihasilkan masyarakat mempunai nilai terbatas.
8) Kegiatan perekonomian dan sosial memerlukan kerja sama
yang dilakukan oleh orang banyak dan secara tradisional
dengan sistem gotong royong. Hubungan kerja sama dengan
sistem ini tanpa adanya hubungan buruh dengan majikan.

b. Masyarakat Madya
Masyarakat ini telah mengalami perkembangan dibandingkan
dengan masyarakat sederhana, dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1) Hubungan dengan keluarga tetap kuat, tetapi hubungan
antaranggota masyarakat mulai mengendur dan mulai
didasarkan pada kepentingan untuk memenuhi untung-rugi
atas dasar kepentingan ekonomi.
2) Adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat masih dihormati,
dan masyarakat mulai terbuka dengan adanya pengaruh dari
luar.
3) Timbulnya pemikiran yang rasional, menyebabkan kepercayaan
terhadap kekuatan gaib sudah mulai berkurang, tetapi akan
muncul kembali apabila masyarakat sudah kehabisan akal dalam
menghadapi masalah yang terdapat di lingkungannya.
4) Lembaga-lembaga pendidikan mulai muncul dengan adanya
pendidikan dasar dan menengah, tetapi belum tampak adanya
pendidikan luar sekolah.
5) Karena mulai masuk lembaga pendidikan sekolah, tingkat
buta huruf bergerak turun.
6) Hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis berdampingan
dengan serasi.
7) Ekonomi yang berorientasi pasar mulai menambah persaingan
di bidang produksi. Hal ini memengaruhi perbedaan struktur
sosial dalam masyarakat, sehingga nilai uang memegang
peranan penting.

Sosiologi Perkotaan 21
8) Gotong-royong masih berlaku, tetapi di kalangan keluarga
besar atau tetangga-tetangga terdekat, sedangkan pem-
bangunan prasarana dan sarana untuk kepentingan umum
sudah didasarkan pada upah. Nilai komersial sudah diper-
hitungkan.

c. Masyarakat Pramodern atau Modern


Masyarakat ini telah mengalami perkembangan atau mengalami
kemajuan karena hubungan dengan masyarakat yang lain telah
intensif, banyak menerima informasi dari luar melalui media
elektronik, bahkan masyarakat yang bersangkutan sering berusaha
di luar wilayahnya, sehingga mengalami perkembangan sejalan
dengan perubahan-perubahan yang datang dalam kehidupan mereka.
Masyarakat pramodern-modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Hubungan antarmasyarakat didasarkan pada kepentingan
pribadi dan kebutuhan-kebutuhan individu.
2) Hubungan antarmasyarakat dilakukan secara terbuka dalam
suasana saling mepengaruhi, kecuali dalam menjaga rahasia
hasil penemuan baru.
3) Masyarakat sangat percaya terhadap manfaat ilmu pengetahuan
dan teknologi, karena sebagai sarana untuk meningkatkan
kesejahtreraan hidup.
4) Masyarakatnya terdiri atas berbagai macam profesi dan keahlian
yang dapat ditingkatkan atau dipelajari melalui pendidikan
luar sekolah atau pendidikan sekolah kejuruan.
5) Tingkat pendidikan sekolah relatif tinggi dan merata.
6) Hukum yang berlaku di masyarakat adalah hukum tertulis
yang sangat kompleks; dan ekonomi hampir seluruhnya
berorientasi pada pasar yang didasarkan kepada penggunaan
uang dan alat pembayaran lain (kartu kredit, cek, giro, dan
sebagainya).

22 Sosiologi Perkotaan
2. Masyarakat Primitif (Suku Terasing), Masyarakat
Sederhana (Masyarakat Pedesaan), dan Masyarakat
Maju (Masyarakat Kota)
Asmuni Syukir (1983: 78) menjelaskan bahwa ditinjau
dari peradabannya, masyarakat dibagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu masyarakat primitif (suku terasing), masyarakat sederhana
(masyarakat pedesaan), dan masyarakat maju (masyarakat kota).

a. Masyarakat Primitif (Suku Terasing)


Masyarakat primitif adalah kelompok masyarakat yang
masih asli peradaban atau kebudayaannya, artinya kebudayaan
yang dimiliki tidak bercampur atau pengaruh dari dunia luar.
Masyarakat primitif ini pada umumnya terdapat di daerah pedalaman
(pegunungan atau pedesaan). Ciri-ciri masyarakat primitif, yaitu
sebagai berikut.
1) Isalamet, terasing dari dunia luar. Pengaruh dari luar sangat
sedikit sehingga jalan hidup mereka statis tidak ada kemajuan.
Hidup menggantungkan diri dengan alam, mereka menerima
apa adanya baik menguntungkan maupun merugikan tanpa
ada usaha untuk mengatasinya atau untuk mengolahnya
(pengembangan dengan baik).
2) Konservatif. Akibat adanya kebergantungan pada alam
dan isalamet, kebudayaan atau peradabannya berkembang
lamban sekali. Dengan kata lain, mereka selalu melestarikan
kebudayaan yang mereka miliki tanpa ada pengembangan
(statis).
3) Kurang deferensiasi (pembagian atau pemisahan). Masyarakat
primitif sukar membedakan antaramasalah satu dan masalah
yang lain, sehingga mencampuradukan antara satu dan lainnya,
seperti urusan agama, ekonomi, kesehatan, pemerintahan dan
sebagainya.

Adapun sifat-sifat masyarakat primitif adalah sebagai


berikut.

Sosiologi Perkotaan 23
1) Rasa solidaritas yang tinggi. Masyarakat primitif pada umumnya
memiliki peraturan yang tidak tertulis, tetapi selalu taat pada
peraturan yang ada, bahkan menjadikannya sebagai adat-
istiadat atau budaya. Dengan keadaan seperti itu, masyarakat
primitif memiliki sifat setia kawan (solidaritas) yang kuat dan
tinggi.
2) Uniformitas anggota masyarakat sangat besar. Tradisi yang
sangat sulit diubah. Kelompok masyarakatnya banyak
memiliki persamaan antaranggota, baik yang bersifat materian
maupun koherian ideologi. Maksudnya, masyarakat primitif
senantiasa memiliki persamaan pemikiran dan secara materi
atau benda.
3) Hak milik perseorangan tidak tampak. Tradisi gotong royong
masyarakat primitif sangat kuat. Mereka yang kaya membantu
anggota yang miskin sehingga di antara anggota yang satu
dengan yang lainnya tidak ada perbedaan mencolok (Asmuni
Syukir, 1983: 80-82).

b. Masyarakat Sederhana (Masyarakat Pedesaan)


Masyarakat desa adalah masyarakat community (masyarakat
setempat) artinya suatu kelompok teritoral yang menyelenggarakan
kegiatan hidup di suatu wilayah sesuai dengan tingkat peradabannya.
Karakteristik masyarakat desa adalah sebagai berikut.
1) Pola hidup masyarakat desa erat hubungannya dengan alam.
Mata pencahariannya bergantung pada alam, hidup sederhana,
rukun, dan gotong royong.
2) Masyarakat religius/animisme/dinamisme. Masyarakat desa
masih sangat patuh terhadap agama dan kepercayaan yang
dianutnya. Masyarakat desa sebagian besar masih bertautan
dengan adat-istiadat, kaidah kuno, benda-benda gaib atau
magis dan mereka tidak pernah meninggalkan ritualnya
karena takut akan sanksi atau hukuman. Hal ini diturunkan
dari generasi ke generasi sehingga sampai batas waktu yang
tidak tentu akan terus mengakar.

24 Sosiologi Perkotaan
3) Mata pencaharian sebagian besar hidup dengan mata
pencaharian agraris. Mereka yang pemberani merantau ke
kota besar untuk mencari nafkah. Hal ini didorong oleh adanya
keinginan untuk mengubah nasib ke arah yang lebih baik
serta meningkatkan status mereka dalam masyarakat secara
ekonomi.

c. Masyarakat Maju (Masyarakat Kota)


Masyarakat kota sebagai community juga merupakan masyarakat
society. Pada masyarakat kota, anggota-anggotanya berpisah-pisah,
saling tidak kenal, dan lebih terikat kontak kekeluargaan, hubungan-
nya serba lugas, lepas dari pribadi dan sentimen serta ikatan tradisi
dengan tanpa kepemimpinan mapan. Ciri-ciri masyarakat kota
adalah sebagai berikut.
1) Heterogenitas sosial. Dampak kepadatan penduduk kota,
maka timbul beberapa persaingan dalam kehidupannya baik
perumahan, ekonomi, politik, status sosial, dan lain-lain.
2) Hubungan sekunder. Hubungan kemasyarakatan hanya
sangat terbatas pada bidang hidup tertentu sehingga banyak
ahli sosiologi mengatakan bahwa masyarakat kota memiliki
hubungan sekunder.
3) Toleransi sosial. Letak geografis kota mengakibatkan masyarakat
kota tidak memedulikan tingkah laku pribadi sesamanya asal
tidak merugikan bagi kepentingan umum.
4) Kontrol (pengawasan sekunder). Masyarakat kota secara fisik
berdekatan, tetapi secara sosial justru berjauhan dan kadang-
kadang dapat berdekatan bila ada acara khusus (tertentu)
misalnya pesta ulang tahun.
5) Mobilitas sosial. Masyarakat kota sangat ambisi untuk
meningkatkan status sosialnya, untuk meningkatkan status
masyarakat segalanya diprofesionalkan sebab melalui
profesinya, seseorang dapat naik statusnya.
6) Ikatan sukarela. Masyarakat kota secara sukarela menggabungkan
dirinya pada suatu perkumpulan (organisasi) yang disukainya,
walaupun sebagian organisasi memropagandakan organisasinya

Sosiologi Perkotaan 25
untuk mencari anggota, yang terpenting adalah masyarakat
kota masih juga mengutamakan perkumpulan (hubungan)
dengan orang lain, meskipun hanya terbatas pada hubungan
organisasi saja.
7) Karakteristik (ciri khas). Karakteristik yang mencolok dari
masyarakat adalah bersifat individualistik. Ini mungkin
disebabkan oleh lingkungan yang serba bersaing dan memiliki
tingkat heterogenitas yang tinggi dalam beragam aspek.
8) Segresi atau keruangan (spatial segretion). Persaingan tersebut
menimbulkan pola pemisahan (segregasi) ruang, baik ber-
dasarkan suku maupun penghidupannya, meskipun ada
sebagian wilayah kaum pendatang. Selain itu, masyarakat kota
sangat terpengaruh pola pikir rasional dan arus sekulerisasi
(Asmuni Syukir, 1983: 90).

3. Masyarakat solidaritas mekanik dan solidaritas


organik
Graham C. Kinloch dalam Dadang Kahmad (2005: 92) menyebut-
kan bahwa tipologi Emile Durkheim dalam mengklasifikasikan
masyarakat ke dalam dua bagian, yaitu dengan membandingkan
sifat-sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas
mekanik dan solidaritas organik.
a. Masyarakat dengan tipe solidaritas mekanik
1) pembagian kerja rendah;
2) kesadaran kolektif tinggi;
3) hukum resesif dominan (menekan);
4) individualitas rendah;
5) konsensus terhadap pola-pola normatif penting;
6) keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang
menyimpang;
7) secara relatif saling kebergantungan itu rendah;
8) bersifat primitif dan pedesaan.

26 Sosiologi Perkotaan
b. Masyarakat dengan tipe solidaritas organik
1) pembagian kerja tinggi;
2) kesadaran kolektif rendah;
3) hukum restetutif dominan (memulihkan);
4) individualitas tinggi;
5) konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum itu
penting;
6) badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang
yang menyimpang;
7) saling kebergantungan tinggi;
8) bersifat industrial-perkotaan (Doyle Paul Johnson, 1986:
188).

Jadi, masyarakat dengan tipe solidaritas mekanik bisa disamakan


dengan tipe masyarakat pedesaaan karena karakteristik-karakteristik
yang disebutkan di atas sama dengan karakteristik yang dimiliki
masyarakat pedesaan. Begitu pula, dengan masyarakat tipe orgnik
bisa disamakan dengan masyarakat perkotaan.

4. Masyarakat Kuno, Feodal, Borjuis, dan Komunis


Dalam pandangan Karl Marx, masyarakat (struktur sosial),
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu kelompok masyarakat
borjuis (kaum kaya) dan kelompok masyarakat proletariat (kaum
miskin). Dalam perkembangan dua bagian besar struktur sosial
(masyarakat) ini, Marx melihat tahapan sejarah perkembangan
masyarakat (Anthony Giddens, 1986: 32-42), yaitu:
a. masyarakat kuno, umumnya didominasi oleh perbudakan;
b. masyarakat feodal, umumnya didominasi oleh tuan-tanah;
c. masyarakat borjuis, umumnya didominasi oleh buruh-
upahan;
d. masyarakat komunis, dengan inndikasinya manusia menjadi
pribadi-pribadi bebas yang melaksanakan fungsinya dengan
alat produksi milik bersama.

Sosiologi Perkotaan 27
Dalam keterangan lain disebutkan, sejarah perkembangan
masyarakat adalah masyarakat primitif; pindah atau berkembang
menjadi masyarakat perbudakan; masyarakat feodal; berkembang
lagi menjadi masyarakat kapitalis; dan berakhir menjadi masyarakat
komunis. Ciri-ciri atau karakteristik masyarakat sebagaimana
pandangan Karl marx, adalah sebagai berikut.

a. Masyarakat Kuno atau Primitif


Disebut juga dengan komunisme primitif karena mencakup
kepemilikan tanah bersama. Kegiatan ekonomi yang pokoknya adalah
berburu, memancing, memelihara ternak sampai pada pertanian.
Spesialisasi pekerjaan tidak ada, bahkan sangat sedikit, sehingga
unit sosialnya didasarkan pada keluarga. Suku-suku terdiri atas
sejumlah keluarga dan kepala sukunya bersifat patrialkal. Dengan
demikian, tidak ada kelas-kelas karena tidak ada hak milik pribadi
atas sarana-sarana produksi. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan
sebuah negara, sebab hubungan sosial adalah hubungan kekerabatan
dan pembagian kerja secara spontan dalam kelompok keluarga.

b. Masyarakat Perbudakan
Dengan adanya pertambahan penduduk, produksi pertanian,
bahkan proses jual beli, mulailah masyarakat memperkembangkan
sistem perbudakan. Sistem perbudakan sebagai alat untuk meng-
organisasikan sistem produksi yang lebih terspesialisasi. Dengan
cara ini, akan diperoleh devisa untuk pertumbuhan daerahnya
dengan kesatuan suku-suku. Oleh karena itu, hal ini dianggap
sebagai cikal bakal kelas-kelas dan dimulainya konflik kelas bagi
para budak sebagai bagian dari dimulainya sistem produksi.
Perbudakan bukan saja dianggap sebagai bagian penjajahan atau
menjajah, tetapi merupakan konsekuensi dari perkembangan di
dalam cara-cara produksi.

c. Masyarakat Feodal
Muncul di daerah pedesaan dengan proses produksi pertanian
yang dilaksanakan oleh budak. Pada tahap ini, kegiatan produksi
menjadi usaha individu atau keluarga. Ia mengumpulkan bahan

28 Sosiologi Perkotaan
mentah dan menggarapnya sendiri sampai jadi. Pembagian kerja
terjadi dalam keluarga meluas sampai tingkat spesialisasi tertentu.
Hasil produksinya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri dan keluarganya, kemudian sisanya dijual kepada pengusaha
feodal sehingga penguasa feodal menguasai para petani dalam
wilayah tersebut. Bahkan, sampai tingkat tertentu, feodal menguasai
wilayah tersebut dengan memperkerjakan petani untuk mengelola
produksinya dan menjulanya ke penguasa tersebut. Timbullah istilah
majikan-perajin atau lainnya.

d. Masyarakat Kapital
Perubahan dari feodal ke kapital diawali dengan produksi
yang melebihi konsumsi yang lama-lama menyebabkan individu
berproduksi untuk maksud-maksud pertukaran dan menjual
dengan keuntungan tidak lagi untuk sekadar mencukupi kebutuhan.
Muncullah kelas para saudagar. Untuk mendapatkan keuntungan
lebih cepat dan besar dari produksinya, dimulailah pengumpulan
sejumlah tenaga kerja untuk bekerja menjalankan alat-alat produksi
yang besar. Karena sarana produksi harus disediakan, muncullah
kelas borjuis, yang menyediakan bahan-bahan mentah, alat-alat, dan
pemikiran yang diperlukan, yang kemudian membayar upahnya.
Konsekuensinya, kelas-kelas baru itu langsung dari alat-alat baru
dan seluruh proses perubahan tersebut didorong oleh perluasan
pasar-pasar dan penemuan bahan mentah baru. Di sini terlihat
pertentangan antara aristokrasi feodal dengan kapitalis borjuis
sebuah contoh konflik sosial. Hasilnya ditentukan oleh kenyataan-
kenyataan ekonomis situasi itu. Tampaknya, sistem kerja pabrik
lebih memberikan banyak kemakmuran pada satu sisi, sehingga
diberinya kekuasaan politis kepada kaum borjuis yang kemudian
mampu mengontrol negara.
Dalam sistem kapitalis, sarana produksi bersifat sosial (karena
dijalankan oleh banyak orang), sehingga dalam situasi demikian,
manusia diperlakukan semata-mata menurut kegunaan mereka oleh
mereka yang memiliki sarana produksi. Di sini hanya ada ikatan
uang (bayar buruh), tanpa ikatan lain. Sistem ekonomi demikian
menghancurkan hubungan produsen individualnya dengan produk
indivualnya. Kemudian menjadikan manusia teralienasi atas karya
sesungguhnya.

Sosiologi Perkotaan 29
e. Masyarakat Komunis
Manusia dihargai karena manusianya, yaitu kemampuan
produktif manusia diperkembangkan secara seimbang dan
memuaskan. Di saat ia menjadi seorang produsen, ia menentukan
sendiri tindakan-tindakannya dan memilih untuk berbuat apa saja
yang ia inginkan menurut kemauannya. Dengan demikian, tidak
akan terjadi kerja yang dipaksakan, didehumanisasikan dan tidak
bermakna maka ia teralienasi. Adapun dengan bekerja, manusia
bisa bebas, manusiawi, memuaskan dan kreatif dan ini yang ia cita-
citakan dalam gerbong masyarakat komunisnya. Oleh karena itu,
menurutnya, hak milik pribadi dalam sarana produksi dan seluruh
kelas borjuis dihapuskan. Tidak ada kelas proletarit karena semua
orang sama-sama pemilik dan karenanya bebas dari eksploitasi
dan kontrol dari luar. Dengan tidak adanya kelas-kelas, tidak ada
konflik kelas. Visi Marx mengenai masyarakat komunisnya adalah
visi tentang kemakmuran material karena ia percaya bahwa produksi
ilmiah modern tidak hanya menyediakan sarana kelangsungan
hidup yang memadai, tetapi lebih dari memadai. Nilai utama yang
ia inginkannya adalah nilai kebebasan, yang ia artikan kemampuan
untuk mengontrol lingkungan manusia dan membuatnya melayani
kebutuhan-kebutuhan manusia.

4. Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota


Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat
pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban
community). Perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai
hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena
dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti
ada pengaruh-pengaruh dari kota. Sebaliknya, pada masyarakat
bersahaja, pengaruh dari kota secara relatif tidak ada. Pembedaan
antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan, pada
hakikatnya bersifat gradual. Agak sulit untuk memberikan batasan
yang dimaksudkan dengan perkotaan karena adanya hubungan
antara konsentrasi penduduk dan gejala-gejala sosial yang dinamakan
urbanisasi (akan diuraikan kemudian).
Seseorang boleh saja berpendapat bahwa semua tempat dengan
kepadatan penduduk yang tinggi, merupakan masyarakat perkotaan.

30 Sosiologi Perkotaan
Akan tetapi, pendapat tersebut keliru karena banyak pula daerah yang
berpenduduk padat, tidak dapat digolongkan ke dalam masyarakat
perkotaan. Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan
yang lebih erat dan lebih mendalam daripada hubungan mereka
dengan warga masyakarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan
biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan.
Antara kota dan desa pada umumnya terlihat ada perbedaan
sosial dan kebudayaan yang besar. Bagi orang desa, kota dianggap
berbahaya, harus waspada, banyak pengetahuan, dan muslihatnya.
Dan segi akhlak juga, kota adalah pusat kekuasaan, kekayaan, dan
sekaligus pengetahuan. Sebaliknya, desa menurut pikiran orang
kota, juga bermacam-macam. Dikatakan bodoh, kurang pengetahuan,
dan membiarkan dirinya disalahgunakan. Akan tetapi, desa juga
memiliki kelebihan, yaitu kebudayaan yang asli dan menghayati
kehidupan yang baik dan sederhana. Karena ada perbedaan sosial
dan kultural, diperlukan tokoh perantara untuk menjembataninya.
Misalnya tokoh di bidang politik adalah kepala desa; di bidang
ekonomi adalah para pedagang, tengkulak, lintah darat, dan tuan
tanah; di bidang budaya dan agama adalah ulama, kiai, pendeta,
ahli seni, dan sastra.

Sosiologi Perkotaan 31
HIJRAH
Perjalanan indah, namun berliku
Tidak selamanya sebuah perubahan akan diterima oleh
orang-orang di sekitar kita, sekalipun perubahan yang
dilakukan adalah perubahan yang mengarah pada
kebaikan.
Masih saja banyak orang yang menyepelekan,
merendahkan, menghujat, menghina, dan menuduh hal
yang tidak-tidak ....
Apa sebenarnya salahku?
Bagian manakah letak kesalahanku?
Jelaskan, apa yang menurut kau benar?
Tolong ....
Jangan kau hakimi aku
Jangan kau hina perubahanku
Jangan kau patahkan semangatku
Jangan kau hujat aku dengan mudahnya
Jangan kau sepelekan hijrahku
Kau tak pernah tau bagaimana aku meminta agar aku cepat
dipermudah mendapat hidayah-Nya
Kau tak pernah tau bagaimana aku mengemis pada-Nya
Kau tak pernah tau bagaimana aku memohon kepada-Nya
agar hijrah ini diridhoi-Nya
Kau tak pernah tau bagaimana perjuanganku melawan
ujian ini
Kau tak pernah tau seperti apa aku menangis dalam
penyesalan
Dan kau tak pernah tau, bahwa aku tetap mendoakanmu
agar Allah segera membuka hati dan mempermudah kau
agar segera mendapat hidayah-Nya
Tolong ....
Bantu aku, rangkul aku, agar hijrah ini tidak berhenti walau
seribu ujian dan cobaan datang menghampiri.
Hargailah setiap perubahanku untuk menjadi pribadi yang
lebih baik ....

32 Sosiologi Perkotaan
BAB 2
MASYARAKAT KOTA
“Kota merupakan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya manusia
yang paling rumit sepanjang peradaban. Kota dapat dikatakan
sebagai tempat yang padat dan dihuni oleh orang-orang
yang heterogen (beragam).”

A. Pengantar
Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community.
Pengertian ini lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupan serta
ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Perhatian khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek,
seperti pakaian, makanan, dan perumahan, tetapi lebih luas lagi.
Lahirnya peradaban sebuah kota serta perkembangan pemu-
kiman dalam bentuk kota diketahui muncul pada masa Neolitikum
yang berlangsung sekitar 5.500-7.500 tahun lalu. Sebelum masa
tersebut, pemukiman manusia bersifat sementara karena harus
mengikuti gerak hewan buruan, serta alasan menghindari musim
yang keras (Eko A. Meinarno, 2011: 220). Bentuk huniannya adalah
rumah di atas pohon atau gua.
Setelah ada upaya manusia untuk melakukan pembudidayaan
tetumbuhan dan domestikasi hewan, pemukiman yang bersifat
perman en mul ai muncul . Hal i ni di dukun g fakta dengan
ditemukannya area pertanian awal di Timur Tengah, Cina, Amerika

Sosiologi Perkotaan 33
Selatan, dan Asia Barat Daya dengan usia yang sama dengan masa
Neolitikum (Eko A. Meinarno, 2011: 220).
Daerah-daerah pertanian tersebut membuka peluang untuk
proses saling bertukar hasil produksi di suatu tempat yang akan
menjadi kota. Di sini, pranata (institution) pasar secara berangsur-
angsur berkembang dan dimanfaatkan sebagai sarana untuk
melakukan pertukaran dan transaksi. Pertukaran ini berlangsung
dalam keadaan produksi yang sudah berlebih (surplus) maupun
kurang lengkap. Sebagai contoh, ada bahan makanan yang kurang dan
dapat disediakan oleh kelompok lain, kelompok yang membutuhkan
harus datang membawa hasil lebih dari pertanian atau ternaknya
untuk ditukar. Dengan adanya kegiatan pertukaran, hasil produksi
berkembang menjadi transaksi jual beli. Transaksi mensyaratkan
tempat pertemuan yang sesuai strategis dan aman.
Tempat yang strategis mensyaratkan sarana transportasi untuk
pengangkutan yang berupa jalan darat ataupun sungai. Di sekitar
lokasi transaksi secara berangsur-angsur tumbuh pemukiman
penduduk yang permanen dan juga berfungsi untuk menyimpan.
Untuk persyaratan tersebut, dibutuhkan lokasi dan orang-orang
tertentu yang dapat memelihara keadaan tempat tersebut agar
selalu terjaga. Dalam kemantapan ini, lokasi tersebut dihuni oleh
sejumlah orang yang mengelolanya dan umumnya acara tersebut
dikelilingi oleh tembok. Perkembangan tempat pertemuan tersebut
mengarah dan menjadi penjagaan berbentuk benteng. Tempat
yang dijaga dengan benteng itu terbentuk untuk melindungi dan
akhirnya menjadi kota. Letak benteng ini tidak jauh dari pasar. Di
dalamnya terdapat penguasa dengan istananya. Benteng dan pasar
secara berangsur-angsur membentuk kota.
Terbentuknya pemukiman masyarakat dengan jumlah penduduk
yang besar, padat, dan beragam merupakan ciri peradaban manusia
yang maju. Beberapa keunikan, tempat pertemuan tersebut ada
yang dekat dengan tempat upacara agama. Para pembaca penyuka
permainan komputer tentunya tidak asing dengan permainan,
misalnya The Sims (perkotaan), Age of Empire, atau bahkan Warcraft.
Permainan-permainan ini mencoba mensimulasikan perkembangan
masyarakat dari desa hingga menjadi kota.

34 Sosiologi Perkotaan
Dengan demikian, kota pada akhirnya suatu ciptaan peradaban
umat manusia yang lahir dari pedesaan. Pedesaan merupakan ibu
yang melahirkan sebuah perkotaan. Kota adalah pemukiman baru
bagi warga desa yang tinggal di perkotaan. Sebab orang-orang kota
pada mulanya adalah orang-orang pedesaan. Orang-orang desa lebih
bersifat sama (homogen), sedangkan setelah pindah ke tempat lain
(kota), lebih bersifat campuran (heterogen) sebab orang yang pindah
ke kota, tidak berasal dari satu desa tetapi dari banyak desa, yang
ingin bermukim.

B. Pengertian Kota
Kota berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu “kotta” yang
dalam ungkapan lain disebut sebagai kita atau kuta. Berdasarkan
kamus Bahasa Sangsekerta-Indonesia dan Sangsekerta-Inggris,
kota berarti kubu atau perbentengan (stronghold) (Eko A. Meinarno,
2011: 221). Adapun dalam literatur Anglo-Amerika, terdapat dua
istilah untuk memaksudkan “kota”, yaitu “town” dan “city”. Dalam
bahasa lndonesia, “town” cenderung disepadankan dengan “kota
kecil”, sedangkan “city” diartikan dengan “kota besar” (S. Menno
dan Mustamin Alwi, 1992: 26). Town merupakan bentuk tengah
di antara kota dan desa. Penduduk town masih saling mengenal
dengan akrab. Perilaku sosial dalam town lebih mirip dengan pola
pedesaan apabila dibandingkan dengan pola di kota besar (city)
atau metropolitan.
Ada banyak definisi yang berkaitan dengan kota. Definisi kota
yang agak komplet (refresentatif) dijelaskan oleh Wirth (Safari Imam,
1993: 19), kota adalah sebuah pemukiman yang penduduknya relatif
besar, padat, permanen, dan dihuni oleh orang yang heterogen.
Pengertian ini menunjukkan bahwa kota memiliki jumlah penduduk
yang sangat besar dan padat. Kawasan perkotaan berdasarkan
jumlah penduduknya dapat diklasifikan menjadi:
1. Kawasan perkotaan kecil, yaitu kawasan perkotaan dengan
jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000
jiwa;

Sosiologi Perkotaan 35
2. Kawasan perkotaan sedang, yaitu kawasan perkotaan dengan
jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000
jiwa;
3. Kawasan perkotaan besar, yaitu kawasan perkotaan dengan
jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000
jiwa;
4. Kawasan perkotaan metropolitan, yaitu kawasan perkotaan
dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari
1.000.000 jiwa.

Berikut ini adalah data tentang kota-kota di Indonesia dengan


jumlah penduduk lebih dari 100.000 jiwa (sensus penduduk tahun
2010).

Tabel 1
Jumlah Penduduk Kota-Kota di Indonesia

Jumlah
Ranking Nama Kota Provinsi
Penduduk

1. Jakarta Jakarta 9.586.705


2. Surabaya Jawa Timur 2.765.487
3. Bandung Jawa Barat 2.394.873
4. Bekasi Jawa Barat 2.334.871
5. Medan Sumatera Utara 2.097.610
6. Tangerang Banten 1.798.601
7. Depok Jawa Barat 1.738.570
8. Semarang Jawa Tengah 1.520.481
9. Palembang Sumatera Selatan 1.440.678
10. Makassar Sulawesi Selatan 1.331.391
11. Tangerang Selatan Banten 1.290.322
12. Bogor Jawa Barat 950.334
13. Batam Kepulauan Riau 917.998

36 Sosiologi Perkotaan
14. Pekanbaru Riau 882.045
15. Bandar Lampung Lampung 881.801
16. Malang Jawa Timur 820.243
17. Padang Sumatera Barat 799.750
18. Denpasar Bali 788.589
19. Samarinda Kalimantan Timur 685.859
20. Banjarmasin Kalimantan Selatan 612.849
21. Serang Banten 611.897
22. Tasikmalaya Jawa Barat 578.046
23. Pontianak Kalimantan Barat 554.764
24. Cimahi Jawa Barat 541.177
25. Balikpapan Kalimantan Timur 526.508
26. Jambi Jambi 515.901
27. Surakarta Jawa Tengah 499.337
28. Mataram Nusa Tenggara Barat 402.843
29. Manado Sulawesi Utara 394.683
30. Yogyakarta Yogyakarta 388.627
31. Cilegon Banten 360.125
32. Kupang Nusa Tenggara Timur 315.768
33. Palu Sulawesi Tengah 310.168
34. Ambon Maluku 305.984
35. Tarakan Kalimantan Utara 301.398
36. Cirebon Jawa Barat 296.389
37. Bengkulu Bengkulu 296.378
38. Pekalongan Jawa Tengah 274.839
39. Kediri Jawa Timur 268.507
40 Tegal Jawa Tengah 239.599
41. Binjai Sumatera Utara 235.450

Sosiologi Perkotaan 37
42. Pematangsiantar Sumatera Utara 234.698
45. Jayapura Papua 233.859
46. Banda Aceh Aceh 223.446
47. Palangkaraya Kalimantan Tengah 200.608
48. Probolinggo Jawa Timur 196.957
49. Banjarbaru Kalimantan Selatan 192.309
50. Pasuruan Jawa Timur 186.262
51. Tanjungpinang Kepulauan Riau 177.396
52. Gorontalo Gorontalo 173.951
53. Dumai Riau 173.866
54. Madiun Jawa Timur 170.964
55. Batu Jawa Timur 170.948
56. Salatiga Jawa Tengah 170.332
57. Pangkalpinang Bangka Belitung 162.930
58. Lubuklinggau Sumatera Selatan 158.824
59. Ternate Maluku Utara 158.418
60. Bitung Sulawesi Utara 155.385
61. Tanjungbalai Sumatera Utara 154.445
62. Tebingtinggi Sumatera Utara 145.248
63. Metro Lampung 142.733
64. Bontang Kalimantan Timur 140.238
65. Padang Sidempuan Sumatera Utara 136.275
66. Blitar Jawa Timur 131.968
67. Lhokseumawe Aceh 129.251
68. Singkawang Kalimantan Barat 128.297
69. Parepare Sulawesi Selatan 125.207
70. Langsa Aceh 124.270
71. Banjar Jawa Barat 123.341

38 Sosiologi Perkotaan
72. Prabumulih Sumatera Selatan 121.137
73. Mojokerto Jawa Timur 120.196
74. Magelang Jawa Tengah 118.227
75. Sorong Papua Barat 118.017
76. Palopo Sulawesi Selatan 116.152
77. Bima Nusa Tenggara Barat 112.130
78. Bukittinggi Sumatera Barat 111.312
79. Bau-Bau Sulawesi Tenggara 106.63
Data: BPS, Sensus Penduduk Tahun 2010

Daldjoeni (1997: 44-45) mengatakan bahwa kota pada awalnya


bukanlah tempat pemukiman, melainkan pusat pelayanan. Sejauh
mana kota menjadi pusat pelayanan bergantung pada sejauh mana
pedesaan sekitarnya memanfaatkan jasa-jasa kota. Sjoberg dalam
Daldjoeni (1997: 30) melihat lahirnya kota lebih dari timbulnya suatu
golongan spesialisasi nonagraris, bahwa orang yang berpendidikan
merupakan bagian penduduk yang terpenting. Pengertian ini bisa
kita lihat bahwa kota telah menjadi pusat pelayanan (pelayanan
pemerintahan, pendidikan, jasa, rekreasi dan lainnya) sekaligus pusat
kegiatan sosial, kegiatan perekonomian, dan pusat-pusat hunian.
Oleh karena itu, ada istilah pusat kota. Pusat kota adalah titik
atau tempat atau daerah pada suatu kota yang memiliki peran sebagai
pusat dari segala pelayanan kegiatan kota, antara lain politik, sosial
budaya, ekonomi dan teknologi (Hadi Yunus, 2002: 107). Peran
tersebut dijalankan melalui jasa pelayanan yang diberikan oleh
fasilitas-fasilitas umum maupun sosial yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu, suatu pusat kota harus memiliki kelengkapan fasilitas
yang baik dan memadai. Dalam kaitannya dengan peran dari sebuah
pusat kota, teori Christaller tentang ambang penduduk (Threshold
Population) wilayah cakupan layanan (Market Range) mengambil
peranan penting. Fasilitas-fasilitas tersebut harus dapat melayani
seluruh penduduk kota, dan juga mencakup seluruh bagian wilayah
kota.

Sosiologi Perkotaan 39
Pertumbuhan maupun perkembangan yang terjadi pada suatu
kota sangat memengaruhi kinerja dari pusat kota. Semakin luas
suatu kota, semakin besar “beban” yang ditanggung oleh pusat
kota. Hal tersebut berdampak langsung terhadap perkembangan
pemanfaatan lahan yang semakin terbatas di pusat kota, maka dari
itu perlu diketahuinya mengenai pusat pertumbuhan kota.
Wirth dalam Daldjoeni (1997: 29) merumuskan kota sebagai
pemukiman yang relatif besar padat dan permanen dengan
penduduk yang heterogen kedudukan sosialnya. Oleh karena itu,
hubungan sosial antar-penghuninya serba longgar, tidak acuh, dan
relasi yang terbangun tidak bersifat pribadi (impersonal relation).
Pengertian ini menunjukkan adanya keragaman atau perbedaan
kelompok sosial di kota yang bias ditelusuri dalam hal lingkungan
umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran komunitas,
kepadatan penduduk, heterogenitas, diferensiasi sosial, pelapisan
sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola
kepemimpinan, ukuran kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau
sistem nilainya.
Bintarto (1984: 36) menjelaskan bahwa kota adalah jaringan
kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang
tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen
dan coraknya materialistis. Secara fisik, kota selalu berkembang, baik
melaui perembesan wilayah perkotaan maupun pemekaran kota.
Wilayah perkotaan adalah suatu kota dengan wilayah pengaruhnya.
Seperti hubungan kebergantungan antarasuatu wilayah perkotaan
dengan kota-kota kecil atau desa-desa dan sebaliknya. Wilayah
kota adalah kota yang secara administratif berada di wilayah yang
dibatasi oleh batas adminiatratif yang berdasarkan kepada peraturam
perundangan yang berlaku.
Hadi Yunus (2005: 40) menjelaskan definisi kota dalam enam
tinjauan terhadap kota, di antaranya: (1) tinjauan dari segi yuridis
administratif, (2) segi fisik morfologis, (3) jumlah penduduk, (4)
kepadatan penduduk, (5) fungsi dalam suatu wilayah organik, dan
(6) segi sosial-kultural.
Melihat beberapa definisi tentng kota di atas, tampaknya ada
variasi sudut pandang definisi tentang kota, yaitu ada dari segi
fisik, jumlah penduduk, serta demografis.

40 Sosiologi Perkotaan
Dilihat dari segi fisik, kota di definisikan sebagai suatu
pemukiman yang mempunyai bangunan-bangunan perumahan
yang berjarak relatif padat dan yang mempunyai sarana-sarana dan
prasarana-prasarana serta fasilitas-fasilitas yang relatif memadai
guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduknya. Rumusan ini
terlepas dari besarnya jumlah penduduk, tetapi lebih dilihat pada
sisi fisiknya, yaitu gedung-gedung dan bangunan-bangunan yang
letaknya berdekatan, dan memiliki sarana dan prasarana umum
seperti jalanan, air dan penerangan, sarana ibadah, pemerintahan,
rekreasi dan olah raga, ekonomi, komunikasi, serta lembagal-lembaga
yang mengatur kehidupan bersama penduduknya.
Dari segi jumlah penduduk, kota didefinisikan berdasarkan
kesepakatan mengenai jumlah minimum populasi yang dapat
digunakan untuk mengualifikasikan pemukiman sebagai suatu
kota. Karena sulit mencapai kesepakatan, kota dapat dilihat pada
cirinya, yaitu:
1. Peranan besar yang dipegang oleh sektor sekunder (industri)
dan tersier (jasa) dalam kehidupan ekonomi;
2. jumlah penduduk yang relatif besar;
3. heterogenitas susunan penduduknya;
4. kepadatan penduduk yang relatif besar.

Dari sudut demografis, kota dirumuskan sebagai pengelompokan


orang atau penduduk dalam ukuran jumlah tertentu, dan wilayah
tertentu Karena itu, sebagai suatu prosedur yang umum, kota (urban)
adalah tempat pemukiman yang mempunyai jumlah penduduk
besar.

C. Sejarah dan Perkembangan Kota


Setiap kota mengalami sejarah pertumbuhan dan perkembangan
sehingga menjadi kota besar. Proses pembentukan kota tidak lepas
dari segala aktivis manusia. Banyak kota di dunia berawal dari desa.
Desa adalah pemukiman yang penghuninya terikat dalam kehidupan
dan bergantung pada wilayah di sekelilingnya. Dalam perjalanan
waktu, karena keadaan topografis dan lokasinya, desa berkembang

Sosiologi Perkotaan 41
menjadi kota (pemekaran kota). Kemudian sejarah terbentuknya
sebuah kota yang berada di suatu negara biasanya bervariasi, tetapi
memiliki inti yang sama. Terbentuknya kota juga bisa dikatakan
sebagai awal sebuah tempat pertemuan antarapenduduk desa dengan
penduduk di sekitar desa itu baik untuk transaksi keperluan hidup,
tempat pengumpulan barang, atau tukar menukar barang. Lama-
kelamaan ada yang bermukim di sekitar tempat itu dan kemudian
pemukiman itu menjadi semakin besar. Berdatangan pula penduduk
dari daerah sekitar ke tempat itu serta daerah lainnya, kemudian
membentuk sebuah kota atau bahkan menjadi kota besar.
Gideon Sjoberg dalam S. Meno dan Mustamin Alwi (1992:
18) menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan pergerakan masyarakat
manusia hingga menuju menjadi masyarakat kota, yaitu:
1. preurban feudal society, yaitu masyarakat feodal sebelum adanya
atau menjadi kota-kota;
2. preindustrial feudal society, yaitu masyarakat feodal sebelum
adanya industri;
3. moderen industrial feurial society, yaitu masyarakat feodal dengan
industri maju.

Lebih lanjut, JH. De Goode dalam S. Meno dan Mustamin Alwi


(1992: 18) menjelaskan sebuah masyarakat berkembang menjadi
kota apabila memiliki beberapa faktor berikut:
1. jumlah penduduk keseluruhan;
2. penguasaan atas alam lingkungan;
3. kemajuan teknologi; dan
4. kemajuan dalam organisasi sosial.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kota bisa berkembang


apabila ada jumlah penduduk yang cukup besar untuk mendukung
kegiatan kota itu sendiri. Kemudian, mampu menguasai sumber-
sumber daya alam di sekelilingnya sehingga sanggup memanfaat-
kannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Ditunjang
bidang teknologi dan ilimu pengetahuan, tercipta inovasi dan
invensi dalam rangka kemajuan ke arah yang lebih maju dan lebih

42 Sosiologi Perkotaan
baik. Dilihat dari pemanfatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
perkembangan kota terdiri atas tiga tahap, yaitu:
1. fase teknik, yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya tenaga
air dan angin oleh manusia (kincir-kincir yang digerakkan
oleh tenaga air dan angin);
2. fase palaeo teknik, yaitu tahap pengembangan uap sebagai
sumber tenaga, dengan batu bara sebagai bahan bakarnya;
dan
3. fase neoteknik, di mana sumber tenaganya adalah listrik dan
bahan bakarnya adalah bensin. Saat ini dikembangkan tenaga
matatrari dan nuklir.

Dari urutan atau fase perkembangan kota di atas, dari


pemanfaatan kincir, gerakan angin hingga pemanfataan tenaga
matahari, jelas bahwa bahwa kemajuan kota dapat dilihat dari
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu
menguasai sumber daya alam untuk kemanfaatan manusia. Oleh
karena itu, hampir setiap kota selalu mencirikan tingginya tingkat
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kawasan kota tersebut sudah
beralih, yaitu bukan bermata pencarian yang berkaitan langsung
dengan alam, melainkan bermata pencarian yang berhubungan
dengan bidang pemerintahan, industri, dan jasa.
Kota-kota di Indonesia ternyata memiliki sejarah dan
perkembangannya tersendiri. Menurut Koentjaraningrat dalam S.
Meno dan Mustamin Alwi (1992: 21) menjelaskan bahwa kota-kota
di Indonesia bermula dari adanya kota-kota istana, kemudian kota
pusat keagamaan, dan terakhir kota pelabuhan. Kemudian, muncul
pula istilah kota administrasi.
Kota istana. Dicirikan oleh susunan spatialnya yang men-
cerminkan konsepsi rakyat tentang alam semesta. Raja dan istananya
dipandang sebagai pusat alam semesta dan penjaga keseimbangan.
Contoh kota-kota istana ini adalah Gianyar dan Klungkung di Bali,
Yogya dan Solo di Jawa Tengah).
Kota pusat keagamaan. Susunan spatialnya berkisar di makam
raja-raja, sebuah bangunan suci berupa candi, stupa, dan lain-lain.
Bangunan itu dikelilingi oleh perumahan para pandita, biksu, atau

Sosiologi Perkotaan 43
mereka yang bertugas memelihara bangunan-bangunan suci dan
pusat-pusat keagamaan. Contohnya kota Gede dekat Yogyakarta.
Kota pelabuhan. Susunan spatialnya terdiri atas bagian-bagian
tempat tinggal para penguasa pelabuhan, yang dekat dengan
pelabuhan, dan beberapa perkampungan tempat bermukimnya
para pedagang asing, yang terpisah-pisah, dan disebut kampung
menurut nama negeri asal mereka. Seperti kampung Arab, kampung
Cina kampung Parsi, kampung Keling, kampung Melayu, kampung
Maluku, dan lainnya. Contoh kota pelabuhan adalah Banten, Demak,
Gresik, dan Ujung Pandang (Makassar).
Kota administrasi. Masuknya bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia,
khususnya ketika Belanda mulai menjajah negeri ini, maka muncullah
kota-kota bentuk baru, yaitu berupa kota-kota administrasi. Kota-
kota ini mengambil lokasi di kota-kota sebagaimana penjelasan di
atas. Susunan spatial kota administrasi ini berkisar disekeliling
sebuah lapangan atau alun-alun. Pada lingkaran depan atau
pertama sekeliling alun-alun itu tedapat rumah kediaman kepala
pemerintahan daerah itu (gubernur, residen, kontrolir, bupati, dan
sebagainya). Juga terdapat gedung-gedung penting seperti gedung
pemerintahan, gedung gereja, mesjid, bank, dan penjara. Pada
lingkaran berikutnya terdapat rumah-rumah para pamong praja
atau pejabat-pejabat eselon dalam pemerintahan.
Lain lagi dengan Lewis Mumford dalam Daldjoeni (1997:
141-142). Ia menjelaskan enam tahap perkembangan sejarah kota,
yaitu sebagai berikut.
1. Eopolis. Kota ini menempati suatu pusat dari daerah pertanian
dengan adat-istiadat yang bercorak kedesaan dan serba
sederhana,.
2. Polis. Sebutan ini berasal dari zaman Yunani dan Romawi.
Kota merupakan pusat hidup keagamaan dan pemerintahan.
Bentuknya saja semacam benteng yang kuat; di dalamnya
terdapat tempat khusus untuk peribadatan, pasar yang ramai
yang bertalian erat dengan kegiatan macam industri kecil.
Penduduknya terdiri atas beragam tukang dengan macam
keahliannya. Ada pula berbagai lembaga pendidikan, tempat-
tempat hiburan dan stadion besar untuk olahraga.

44 Sosiologi Perkotaan
3. Metropolis. Dalam kota besar ini bertemulah orang dari berbagai
bangsa untuk berdagang dan tukar-menukar harta budaya
rohani. Juga terdapat percampuran perkawinan antarbangsa
dan ras dengan akibat munculnya filsafat dan kepercayaan
baru. Selain keagungan kota secara fisik kota menyajikan
kontras yang menonjol antaragolongan kaum kaya dan kaum
miskin. Contoh kota metropolis adalah Amsterdam, Paris, dan
Tokyo.
4. Megalopolis. Sebenarnya ini suatu peningkatan dari tahap
sebelumnya. Gejala sosiopatologis merajalela; pada satu pihak
ada kekayaan dan kekuasaan dengan birokrasi yang amat
menonjol, sedangkan pada pihak lain meluas kemiskinan dan
berontaklah kaum proletar. Contoh-contoh megalopolis adalah
Alexandria (abad ke-3), Roma (abad ke-2), Konstantinopel
(abad ke-10), kemudian New York dalam abad sekarang.
5. Tyranopolis. Kota besar dilanda oleh kepincangan yang berupa
degenerasi dan korupsi. Moral pada penduduknya merosot;
ada relasi erat antarapolitik, ekonomi dan kriminalitas, dan
di samping itu kaum proletar menjadi kekuatan yang tidak
diremehkan.
6. Necropolis. Aartinya peradaban kota runtuh, kota menjadi
bangkai (nekros). Misalnya Babylon, Nineve dan Roma kuno,
yang runtuh dan hilang lenyap dari permukaan bumi.

Perkembangan kota kekinian pada hakikatnya menyangkut


berbagai aspek kehidupan. Perkembangan adalah proses perubahan
keadaan dari keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang
berbeda. Perkembangan dan pertumbuhan kota berjalan sangat
dinamis.
Menurut Branch (1995: 37), beberapa unsur yang memengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kota adalah sebagai berikut.
1. Keadaan geografis, yaitu pengaruh letak geografis terhadap
perkembangan fisik dan fungsi yang diemban oleh kota. Kota
pantai misalnya akan berkembang secara fisik pada bagian
daratan yang berbatasan dengan laut dengan perkembangan
awal sekitar pelabuhan. Oleh karena itu, kota memiliki fungsi

Sosiologi Perkotaan 45
sebagai kota perdagangan dan jasa serta sebagai simpul
distribusi jalur transportasi pergerakan manusia dan barang
2. Tapak (site), merujuk pada topografi kota. Sebuah kota akan
berkembang dengan memperhitungkan kondisi kontur bumi.
Dengan demikian, pembangunan saran dan prasarana kota
akan menyesuaikan dengan topografinya agar bermanfaat
secara optimal.
3. Fungsi yang diemban kota, yaitu aktivitas utama atau yang
paling menonjol yang dijalankan oleh kota tersebut. Kota
yang memiliki banyak fungsi, seperti fungsi ekonomi dan
kebudayaan, akan lebih cepat perkembangannya daripada
kota berfungsi tunggal.
4. Sejarah dan kebudayaan yang melatarbelakangi terbentuknya
kota juga berpengaruh terhadap perkembangan kota karena
sejarah dan kebudayaan memengaruhi karakter fisik dan
masyarakat kota.
5. Unsur-unsur umum, yaitu unsur-unsur yang turut memengaruhi
perkembangan kota seperti bentuk pemerintahan dan organisasi
administratif, jaringan transportasi, energi, pelayanan sosial
dan pelayanan lainnya.

Semua unsur tersebut saling berkaitan dan memengaruhi dan


dalam tampilan fisik tercermin dari bentukan fisik perkotaan yang
mengemban fungsi-fungsi tertentu.
Ada juga yang mengatakan bahwa perkembangan kota lebih
cenderung dianalisis dari pertumbuhan penduduk perkotaan.
Dimensi perkembangan dan pertumbuhan kota dapat ditinjau dari
pengaruh pertumbuhan penduduk yang tidak terlepas dari proses
yang disebut urbanisasi. Menurut Herlianto (1986: 5), urbanisasi
ditinjau dari konsep keruangan (spasial) dan ekologis sebagai
suatu gejala geografis. Konsep pemikirannya didasarkan pada
adanya gerakan atau perpindahan penduduk dalam suatu wilayah
atau perpindahan penduduk keluar dari suatu wilayah tertentu.
Gerakan atau perpindahan penduduk tersebut disebabkan salah satu
komponen dari ekosistem yang kurang atau tidak berfungsi dengan
baik, sehingga terjadi ketimpangan dalam ekosistem setempat, serta

46 Sosiologi Perkotaan
terjadinya adaptasi ekologis baru bagi penduduk yang pindah dari
daerah asalnya ke daerah baru (perkotaan).
Menurut Catanese (1998), faktor yang dapat memengaruhi
perkembangan kota ini dapat berupa faktor fisik maupun nonfisik.
Faktor-faktor fisik akan memengaruhi perkembangan suatu kota
di antaranya:
1. Faktor lokasi. Faktor lokasi dimana kota itu berada akan sangat
memengaruhi perkembangan kota tersebut, hal ini berkaitan
dengan kemampuan kota tersebut untuk melakukan aktivitas
dan interaksi yang dilakukan penduduknya.
2. Faktor geografis. Kondisi geografis suatu kota akan memengaruhi
perkembangan kota. Kota yang mempunyai kondisi geografis
yang relatif datar lebih cepat berkembang dibandingkan dengan
kota di daerah bergunung-gunung yang akan menyulitkan
dalam melakukan pergerakan, baik orang maupun barang.

Adapun faktor-faktor nonfisik yang berpengaruh terhadap


perkembangan suatu kota dapat berupa berikut ini.
1. Faktor perkembangan penduduk. Perkembangan penduduk dapat
disebabkan oleh dua hal, yaitu secara alami (internal) dan
migrasi (eksternal). Perkembangan secara alami berkaitan
dengan kelahiran dan kematian yang terjadi di kota tersebut,
sedangkan migrasi berhubungan dengan pergerakan penduduk
dari luar kota masuk ke dalam kota sebagai urbanisasi.
Urbanisasi mempunyai dampak positif maupun negatif.
Perkembangan dikatakan positif apabila jumlah penduduk
yang ada tersebut merupakan modal bagi pembangunan, dan
berdampak negatif apabila jumlah penduduk membebani kota
itu sendiri.
2. Faktor aktivitas kota. Kegiatan yang ada di dalam kota, terutama
kegiatan perekonomian. Perkembangan kegiatan perekonomian
ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam kota itu
sendiri (faktor internal) yang meliputi faktor produksi seperti
lahan, tenaga kerja, modal serta faktor-faktor yang berasal dari
luar daerah (faktor eksternal), yaitu tingkat permintaan dari

Sosiologi Perkotaan 47
daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh
daerah yang bersangkutan

Dari waktu ke waktu, perkembangan kota terus berubah.


Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta
meningkatnya jumlah kebutuhan kehidupan, meningkat pula
kebutuhan ruang kekotaan yang besar. Karena ketersediaan ruang
di dalam kota tetap dan terbatas, meningkatnya kebutuhan akan
mengambil ruang di pinggiran kota. Gejala pengambil alihan lahan
ke arah luar disebut “urban sprawl” (Hadi Yunus, 2002: 125). Secara
garis besar, ada tiga macam proses perkembangan kota dengan cara
perluasan areal kekotaan (urban sprawl), yaitu sebagai berikut.
1. Perembetan konsentris (concentric developmant/low density
continous development). Tipe ini merupakan jenis perembetan
areal kekotaan yang paling lambat. Perembetan berjalan
perlahan-lahan terbatas pada semua bagian luar kenampakan
fisik kota. Peran transportasi terhadap perembetan tidak terlalu
besar
2. Perembetan memanjang (ribbon development/linier development/
axial development). Tipe ini menunjukkan ketidamerataan
perembetan areal kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar
daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat
di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang
bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah sepanjang
rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat
dari perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada
kawasan ini telah memojokkan lahan pertanian, dengan makin
banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan nonpertanian.
3. Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkerboard
developmemt). Tipe ini dianggap paling merugikan, tidak efisien
dalam arti ekonomi maupun estetika. Perkenbangan lahan
kekotaanya terjadi berpencar secara sporadis. Keadaan ini
sangat menyulitkan dalam membangun prasarana-prasarana/
fasilitas. Pembiayaan untuk pembangunan jaringan-jaringannya
sangat tidak sebanding dengan penduduk yang diberi fasilitas.
Khususnya apabila dibandingkan dengan penduduk yang
tinggal di areal kekotaan yang kompak.

48 Sosiologi Perkotaan
Hingga akhirnya perkembangan dan sejarah kota, jika
dirangkum terbagi kepada beberapa tipe kota berikut.
Kota kuno merupakan pengertian kota yang paling sederhana.
Di kota kuno ini didapati pada gua, lembah atau tempat berlindung,
beberapa jalur tepi sungai yang letaknya strategis yang menjadi cikal
bakal terbentuknya kota. Ciri utama kota ini adalah mata pencaharian
penduduknya non-agraris dan penduduknya memiliki pekerjaan
dan kebutuhan yang relatif heterogen. Di kawasan kota kuno ini
juga dapat ditemui prasarana dan sarana umum serta beberapa
pusat pemerintahan yang hidup dengan nilai-nilai tertentu. Pada
kota kuno ini, kotanya mulai terbentuk pada tahap pastoral/tahap
menetap. Tahap-tahap perkembangan manusia dimulai dari hunting
and fishing, pastoral, agricultural, handicraft, dan industrial.
Kota praindustri merupakan kota yang lebih berkembang dari
kota kuno yang telah memiliki ciri seperti tahap agricultural yang
menonjol sehingga penduduk mulai mengenal teknik bertanam yang
baik. Perpindahan penduduk juga mulai terlihat, kebutuhan dikota
semakin beragam dengan berdatangannya kelompok masyarakat ke
kota maka pemukiman di kota semakin menonjol serta pembangunan
fisik dan prasarana kota pada kota ini menjadi lebih teratur dan
meluas. Pola perkotaan di kota pra-industri memiliki gejala yang
biasa ditemui empat pusat kegiatan, seperti pusat pemerintahan,
ruang publik (tempat masyarakat berinteraksi), tempat beribadah,
pasar tradisional (tempat distribusi barang dari desa ke kota atau
sebaliknya), dan tempat pemenuhan barang-barang kebutuhan sehari-
hari bagi masyarakat desa dan kota. Keempat pusat kegiatan ini
letaknya relatif berdekatan dan itu merupakan kegiatan pokok dari
suatu kota praindustri. Pada masa ini status seseorang didasarkan
pada keturunan (ascribed status), yaitu seseorang yang dilahirkan
dari kelompok bangsawan, ia memiliki status sebagai bangsawan.
Dikarenakan status dan strata sangat kuat dipertahankan oleh
masing-masing kelompok strata, pola pemukiman masyarakat kota
pra-industri ini cenderung berkelompok-kelompok (pengelompokan
berdasarkan status, etnis/suku bangsa, dan ragam pekerjaan).
Kota Industri merupakan kota yang lebih berkembang dari
kota pra-industri. Kelahiran dunia industri di kota ini memerlukan
banyak tenaga kerja, baik tenaga terampil tingkat atas, menengah,

Sosiologi Perkotaan 49
maupun kasar. Teknologi mulai berkembang dan pusat-pusat
industri yang bertebaran di kota, sehingga lebih menunjukkan
adanya surplus kapital pada masyakarat dan mereka memiliki
kemampuan dalam pengumpulan modal untuk mendirikan suatu
industri. Kota industri lahir karena masyarakat kota memiliki
surplus tertentu. Surplus ini tidak hanya surplus kapital tetapi juga
teknologi, sumber daya manusia, dan manusia. Pola pemukiman di
kota industri ini tidak memiliki keteraturan sehingga penataan kota
berjalan lambat. Pada kota ini, kegiatan industri sangat menonjol,
sistem kemasyarakatan agraris berubah menjadi industris. Sistem
ekonomi natural berganti menjadi kapital dan pada masa perubahan
yang drastis ini menyebabkan kota mengalami kekacauan fisik dan
manajemen.
Kota modern terbentuk setelah adanya masa industrialisasi pada
abad 17. Adanya pengaruh ini menyebabkan munculnya semangat
revolusi industri dan menumbangkan kekuasaan raja yang absolut.
Kemenangan rakyat atau penduduk atas raja ini menandai perhatian
teknologi dan ilmu pengetahuan untuk kepentingan rakyat banyak.
Sistem pemerintahan pada masa ini berubah dari sistem kekuasaan
absolut ke bentuk baru yang lebih berpihak pada rakyat, seperti
sistem demokrasi, sistem pemerintahan republik, atau federal. Pada
kota ini, sisi negatif pada masa kota industri di atasi dengan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan etika. Kota post-modern modernisasinya
lebih berkembang. Masyarakat lebih menghargai nilai pluraritas,
muncul ide-ide baru, teknologi dan ilmu pengetahuan yang lebih
canggih, beragam, dan digunakan untuk kegiatan seolah di luar
pikiran masyarakat awam sebelumnya. Kota post-modern memiliki
tingkat globalisasi yang tinggi, interaksi dan kerja sama yang saling
menguntungkan dapat terjadi dengan kota lain. Kota post-modern
ini diisi dengan era informasi, jasa, dan pelayanan. Kebutuhan hidup
dipenuhi secara teknologis dan komputerisasi yang canggih.
K ot a G l o b a l bi sa di k at a k an s eb a g ai s u a tu k o t a y an g
masyarakatnya memiliki kebiasaan untuk melakukan relasi dengan
kota lain antarnegara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang pesat di dunia berakibat semakin pesatnya perkembangan
teknologi dan penemuan dalam berbagai bidang dan skala yang
diperkenalkan pada dunia. Kota global memiliki kekuatan politik,
menduduki posisi nasional dan internasional, perdagangan dunia,

50 Sosiologi Perkotaan
dan organisasi perusahaan tingkat dunia. Aktivitas tertentu mewarnai
kota di bidang sosial dan ekonomi yang menunjukkan status sebagai
pusat-pusat aktivitas yang profesional dan potensi kota yang
satu sering berdampak pada kota yang lain di antara dua negara
atau lebih. Ciri kota global, yaitu sebagian masyarakatnya dalam
pemenuhan kebutuhan tidak selalu berorientasi pada kotanya sendiri.
Masyarakat ini juga harus siap menerima kedatangan orang asing
dengan segala potensi yang dimiliki kota itu. Jadi, interaksi yang
bersifat timbal balik dibutuhkan untuk mencapai status sebagai
kota global.
Kota kosmopolitan merupakan kota yang masyakaratnya memiliki
pandangan alam secara utuh menyeluruh. Kota kosmopolitan
terben tuk dengan prasyarat tertentu, yaitu penduduknya
mampu menghargai dan menghormati keragaman alam beserta
isinya. Masyarakat kosmopolitan akan menjaga secara seimbang
antarakepentingan dirinya dengan kepentingan msyarakat. Ada
kecenderungan masyarakat kosmopolitan merupakan kelompok
bangsawan baru, yang memiliki tujuan hidup yang mapan serta
menjaga citra. Gejala kosmopolitan tampak pada dominasi individu
penduduk kota yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dan
pemilikan industri berskala besar. Teknologi pada era ini berkembang
lebih jauh dan kota ini adalah kota dengan kebutuhan desain yang
bersifat neo-universal (modernisme yang disentuh dengan seni
modern). Budaya dan seni lokal yang bersifat agraris-religius pada
masa ini akan ditinggalkan apabila tidak disertai inovasi atau
dijaga keasliannya. Kosmopolitan merupakan akomodasi peradaban
dari post-modernisme yang tumbuh secara linier, liar, dan tidak
terkendali. Kota ini merupakan kota masa depan yang masih
merupakan impian, yaitu kota berusaha ditata secara sempurna.
Namun, pada awalnya, kota ini masih dihantui dengan masalah
kesenjangan sosial ekonomi antarnegara antara kota.
Kota juga dikatakan sebagai tempat pertemuan yang berorientasi
keluar. Sebelum menjadi tempat pemukiman yang tetap, awalnya
kota adalah tempat orang pulang-balik untuk berjumpa secara
teratur sehingga menimbulkan daya tarik para penghuni yang
ada di luar kota untuk mengadakan kontrak, memberi dorongan
untuk kegiatan rohaniah dan perdagangan, serta kegiatan lain yang
memiliki dinamika yang berbeda dengan keadaan di desa.

Sosiologi Perkotaan 51
Kota juga sebagai pusat pemerintahan pada umumnya banyak
dijumpai pada zaman sebelum Revolusi Industri. Kebanyakan kota
ini merupakan kota lama bekas kerajaan yang mampu bertahan
sebagai ibukota sampai pada zaman modern. Pada zaman modern,
kota menjadi pusat industri, produksi, dan jasa. Pada dasarnya,
kota terbentuk karena diikuti dengan kepadatan penduduknya.
Penyebab kepadatan penduduk terjadi karena ada aktivitas tertentu
yang menyebabkan orang-orang berdatangan. Kota dapat dipandang
sebagai gaya hidup, yang memungkinkan penduduknya berkontak
dengan orang asing, mengalami berbagai perubahan pesat, dan
perubahan mobilitas sosial. Kota akan muncul ketika jika kelebihan
yang berada di daerah pedalaman, tetapi terbentuknya menjadi
sebuah kota yang “baru” harus mengalami perkembangan teknologi
untuk menghasilkan sarana transportasi. Setelah kota baru itu
berdiri, barulah kota itu mampu memberikan jasanya kepada
wilayah yang lain.
Memang dari sudut karakter, perkembangan dan pertumbuhan
kota-kota yang semakin besar, menunjukkan berbagai karakter pada
kota-kota tersebut. Kota metropolitan atau kota primat, yaitu kota
yang sangat besar, misalnya cenderung memperlihatkan watak
parasitismenya terhadap masyarakat nasional, dan berusaha menarik
bagian modal yang relatif besar sehingga dapat menjadi hambatan
bagi daerah pedesaan maupun kota-kota yang lebih kecil. Gejala itu
dapat kita jumpai pada kota Jakarta. Pembangunan berbagai sarana
dan prasarana (jalan-jalan tol bertingkat, gedung, tempat rekreasi
dan olahraga) terus digalakkan. Hal ini terjadi karena kedudukannya
yang ganda, yaitu sebagai ibukota negara dan sekaligus pusat
perdagangan dan niaga serta industri.

D. Fungsi Kota
Kota dapat memberikan pelayanan penting bagi mereka yang
ada di dalam kota maupun yang tinggal di sekeliling kota, atau juga
bagi mereka yang melakukan perjalanan yang singgah serta berdiam
sementara di kota tersebut. Kegiatan fisik dalam kota memerlukan
perhatian dan perancangan sesuai fungsi masing-masing. Kota
terkadang memiliki fungsi yang sangat majemuk antara lain menjadi

52 Sosiologi Perkotaan
pusat populasi, perdagangan, pemerintahan, industri, maupun
pusat budaya dari suatu wilayah.
Untuk melakukan fungsi tersebut, kota perlu ditunjang oleh
sarana dan prasarana yang memadai, seperti kawasan permukiman,
perdagangan, pemerintahan, industri, sarana kebudayaan, kesehatan,
rekreasi. dan lainnya. Menurut Hatt dan Reiss (1959) bahwa adanya
kota untuk memenuhi kebutuhan sosial dan kegiatan ekonomi
penduduk yang selalu berkembang. Hal ini untuk mendukung
dan melayani fungsi-fungsi kota yang saling memengaruhi, yaitu
sebagai berikut.
1. Pusat berbagai kegiatan untuk daerah sekitarnya. Kota-kota
model ini menjadi ruang produktif yang luas.
2. Pusat penyedia transportasi merupakan break-of-bulk.
Transportasi kota sebagai break-of-bulk, merupakan pelayanan
sepanjang rute transportasi mencapi daerah-daerah terpencil
pun dapat dilalui dengan mudah karena letak jalur transportasi
kota yang strategis.
3. Titik konsentrasi pelayanan khusus. Fungsi kota sebagai titik
konsentrasi pelayanan khusus, antara lain sebagai tempat
perdagangan, perindustrian, rekreasi, dan tempat menjamu
tamu dari kota lain dan sebagainya.

Kemudian. kota juga berfungsi sebagai pelayan serta fasilitator


masyarakat sekitarnya yang memanfaatkan jasa perkotaan,
sebagaimana dijelaskan oleh Safari Imam (1990: 29), yaitu sebagai
berikut.
1. Production center, yaitu pusat produksi, barang setengah jadi
maupun barang jadi. Kota memiliki fungsi sebagai pusat
poduksi atau pemasok, baik berupa bahan mentah, barang
setegah jadi, maupun barang jadi. Contoh kota produsen bahan
mentah, yaitu kota-kota pertambangan, seperti, Soroako (Niel),
Bukitasam dan Ombilin (Batubara), Arun da Bontang (LNG),
dan lainnya. Contoh kota produsen barang jadi dan setengah
jadi, yaitu kota-kota industri seperti, Cilegon, Gresik, Surabaa,
Jakarta, Bandun, dan lain-lain.

Sosiologi Perkotaan 53
2. Center of trade, yaitu pusat perdagangan dan niaga yang
melayani daerah sekitarnya.
3. Political capitol, yaitu pusat pemerintahan atau sebagai pusat
ibu kota Negara.
4. Cultural center, yaitu pusat budaya.
5. Health and recreation, yaitu pusat pengobatan dan rekreasi
(wisata).
6. Divercified cities, yaitu memiliki fungsi ganda atau beraneka,
seperti kota pendidikan, kota industri, kota perdagangan, dan
lainnya.

E. Struktur Perkembangan Kota


Struktur adalah susunan sesuatu (fisik atau nonfisik) yang
bersatu secara teratur atau tatanan yang menunjukkan keterkaitan
antarbagian dan memperlihatkan sifat (Kamus Tata Ruang, 1998:
103). Struktur kota adalah tatanan beberapa bagian yang menyusun
suatu kota yang menunjukkan keterkaitan antarbagian. Penjabaran
struktur kota membentuk pola kota yang menginformasikan
kesesuaian lahan, kependudukan, guna lahan, sistem transportasi,
dan sebagainya, yang kesemuanya berkaitan satu sama lain.
Menurut Bourne (1982), kota dapat diketahui lebih lanjut dari
struktur tata ruangnya. Struktur kota terbentuk dari tiga kombinasi
elemen berikut.
1. Bentuk kota, merupakan pola atau penataan ruang dari tiap-
tiap elemen kota, seperti bangunan dan penggunaan lahan,
kelompok sosial, kegiatan ekonomi dan kelembagaan di dalam
kota.
2. Interaksi dalam kota, terbentuk dari sejumlah hubungan kaitan
dan aliran pergerakan yang mengintegrasikan elemen-elemen
dalam kota tersebut.
3. Mekanisme pengaturan yang ada di dalam kota, merupakan
mekanisme yang menghubungkan kedua elemen sebelumnya
ke dalam struktur kota yang berbeda, misalnya berdasarkan
penggunaan lahan dan aliran pergerakan dalam kota yang

54 Sosiologi Perkotaan
terbentuk mekanisme harga lahan yang berbeda-beda di dalam
kota

Herbert dalam Hadi Yunus (20002: 76) mengemukakan tiga


model klasik berkaitan dengan struktur kota yang dibedakan menjadi
teori zona konsentris, teori sektoral dan konsep multiple-nuclei. Secara
umum, model-model tersebut menjelaskan tata guna lahan yang
mungkin terbentuk di dalam perkembangan suatu kota.

1. Teori Zona Konsentris


Teori zona konsentris dikemukakan oleh E.W Burgess yang
menggambarkan struktur kota sebagai pola lima zona lingkaran
konsentris. Menurut model ini, dinamika perkembangan kota akan
terjadi dengan meluasnya zona pada setiap lingkaran. Sejalan dengan
perkembangan masyarakat, berkembang pula jumlah penduduk dan
jumlah struktur yang dibutuhkan masyarakat dalam menunjang
kehidupannya. Sementara itu, proses segregasi dan diferensiasi terus
berjalan, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah. Daerah
pemukiman dan institusi akan terdepak keluar secara “centrifugal”
dan “business” semakin terkonsentrasi pada lahan yang paling baik
di kota. Dengan kata lain, sektor yang berpotensi ekonomi kuat
akan merebut lokasi strategis dan sektor yang berpotensi ekonomi
lemah akan terdepak ke lokasi yang derajat aksesibilitasnya jauh
lebih rendah dan kurang bernilai ekonomi. Dengan kata lain, apabila
“landscape”nya datar sehingga aksesibilitas menunjukkan nilai sama
ke segala penjuru dan persaingan bebas untuk mendapatkan ruang,
penggunaan lahan suatu kota cenderung berbentuk konsentris dan
berlapis-lapis mengelilingi titik pusat. Teori konsentris dapat dilihat
dalam gambar di bawah ini:

Sosiologi Perkotaan 55
Keterangan:
Zona 1 : Daerah Pusat Kegiatan (DPK)
atau Central Business District
(CBD).
Zona 2 : Peralihan (zona perdagangan
beralih ke permukiman).
1
Zona 3 : Permukiman kelas pekerja atau
2 buruh.
3 Zona 4 : Permukiman kelas menengah.
4 Zona 5 : Penglaju (zona permukiman
beralih ke zona pertanian).
5

Gambar 1
Struktur Kota Menurut Teori Konsentris

Karakteristik setiap zona dapt diuraikan sebagai berikut.


a. Zona 1: daerah pusat kegiatan (DPK) atau central business district
(CBD). Daerah ini merupakan pusat dari segala kegiatan kota,
antara lain politik, sosial-budaya, ekonomi dan teknologi.
Zona ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian paling inti yang
disebut retail business district (RBD) dan bagian luarnya yang
disebut wholesale business district (WBD). Pada bagian paling inti,
kegiatan dominan antara lain pusat perbelanjaan, perkantoran,
pusat hiburan dan kegiatan sosial-politik. Adapun bagian
di luarnya ditempati oleh bangunan yang digunakan untuk
kegiatan ekonomi dalam jumlah yang yang besar, antara lain
pasar dan pergudangan (warehouse).
b. Zona 2: daerah peralihan atau transition zone. Zona ini merupakan
daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan
permukiman yang terus-menerus dan semakin lama semakin
hebat. Penyebabnya adalah adanya intrusi fungsi yang berasal
dari zona pertama sehingga perbauran permukiman dengan
bangunan bukan untuk permukiman seperti gudang kantor dan
lain-lain, sehingga sangat mempercepat terjadinya deteriorisasi
lingkungan pemukiman.
c. Zona 3: perumahan para pekerja bebas. Zona ini paling banyak
ditempati oleh pekerja-pekerja, baik pekerja pabrik ataupun

56 Sosiologi Perkotaan
industri. Di antaranya adalah pendatang baru dari zona
2, yang menginginkan tempat tinggal yang dekat dengan
tempat kerjanya. Belum terjadi invasi dari fungsi industri dan
perdagangan ke daerah ini karena letaknya masih dihalangi
oleh zona peralihan. Kondisi permukimannya lebih baik
dibandingkan dengan zona 2 walaupun sebagian besar
penduduknya masih masuk dalam kategori “low-medium
status”.
d. Zona 4: permukiman lebih baik. Zona ini dihuni oleh penduduk
yan g berstatus ekon omi menen gah-ti nggi , walaupun
tidak berstatus ekonomi sangat baik, mereka kebanyakan
mengusahakan sendiri bisnis kecil-kecilan, para profesional,
para pegawai, dan sebagainya. Kondisi ekonomi umumnya
stabil sehingga lingkungan permukimannya menunjukkan
tingkat keteraturan yang cukup tinggi. Fasilitas permukiman
terencana dengan baik, sehingga kenyamanan tempat tinggal
dapat dirasakan pada zona ini.
e. Zona 5: penglaju atau commuter zone. Zona ini tercipta akibat
interaksi-interaksi dan interelasi elemen sistem kehidupan
perkotaan dan mengenai kehidupan manusia maka sifatnya pun
sangat dinamis dan tidak statis. Timbulnya penglaju merupakan
suatu akibat adanya proses desentralisasi permukiman sebagai
dampak sekunder dari aplikasi teknologi di bidang transportasi
dan komunikasi.

2. Teori Sektoral
Teo ri sektor al di rum uskan ol eh Hommer Hoy t yang
mengemukakan bahwa perkembangan suatu kawasan tidak akan
selalu membentuk lingkaran konsentris, tetapi terdistribusi sesuai
dengan perbedaan potensi pengembangannya. Hal ini membentuk
struktur sektoral, mengingat perkembangan suatu kawasan tidak
akan terjadi secara merata ke segala arah. Secara konsep, model teori
sektor yang dikembangkan oleh Hoyt dalam beberapa hal masih
menunjukkan persebaran zona-zona konsentrisnya. Jelas terlihat di
sini bahwa jalur transportasi yang menjari (menghubungkan pusat
kota ke bagian bagian yang lebih jauh) diberi peranan yang besar

Sosiologi Perkotaan 57
dalam pembentukan pola struktur internal kotanya. Teori sektoral
dapat dilihat dalam gambar berikut ini:

Gambar 2
Struktur Kota Menurut Teori Sektoral

Secara garis besar, zona yang ada dalam teori sektor dapat
dijelaskan sebagai berikut.
a. Zona 1: central business district (CBD). Deskripsi anatomisnya
sama dengan zona 1 dalam teori konsentris. Seperti halnya teori
konsentris, CBD merupakan pusat kota yang relatif terletak
di tengah kota yang berbentuk bundar.
b. Zona 2: wholesale light manufacturing. Apabila dalam teori
konsentris, zona 2 berada pada lingkaran konsentris, berbatasan
langsung dengan zona 1, pada teori sektor, zona kedua
membentuk pula seperti taji (wedge) dan menjari ke arah
luar menembus lingkaran-lingkaran konsentris, sehingga
gambaran konsentris mengabur adanya. Jelas terlihat peranan
jalur transportasi dan komunikasi yang menghubungkan
CBD dengan daerah luarnya yang mengontrol persebaran
zona 2 ini. Hal ini wajar karena kelangsungan kegiatan pada
“wholesaling “ ini sangat ditentukan oleh tingkat aksesbilitas
zona yang bersangkutan.
c. Zona 3: pemukiman kelas rendah. Zona 3 adalah zona yang
dihuni oleh penduduk yang mempunyai kemampuan ekonomi

58 Sosiologi Perkotaan
lemah. Dengan hanya melihat persebaran keruangan zona ini
saja “seolah-olah” terlihat adanya kontradiksi antarateori dan
kenyataan. Sebagian zona 3 ini membentuk persebaran yang
memanjang “radial centrifugal” yang biasanya bentuk seperti
ini sangat dipengaruhi oleh rute transportasi dan komunikasi.
Dengan kata lain, menunjukkan derajat aksesibilitas yang
tinggi. Daerah-daerah dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi
pada kota akan selalu identik dengan daerah yang bernilai
ekonomi tinggi, tetapi dalam model sektor ini, zona 3 yang
penghuninya berstatus ekonomi rendah justru mempunyai pola
persebaran yang seperti ini, atau menempati daerah-daerah
bernilai ekonomi tinggi.
d. Zona 4: pemukiman kelas menengah. Zona 4 ini menurut Hoyt
agak menyimpang, khususnya dalam pembentukan sektornya.
Tidak seperti zoana 2, 3, dan 5 yang sifat “radiating sector” nya
sangat mencolok. Kemapanan ekonomi yang semula berasal
dari zona 3 memungkinkannya tidak perlu lagi bertempat
tinggal dekat dengan tempat kerja. Golongan ini dalam taraf
kondisi kemampuan ekonomi yang menanjak dan semakin
mapan. Kelompok pemukiman baru akan membentuk sektor
tersendiri.
e. Zona 5: pemukiman kelas tinggi. Zona 5 ini merupakan tahap
terakhir “residential mobility” penduduk kota. Daerah ini
menjanjikan kepuasan, kenyamanan bertempat tinggal.
Penduduk dengan penghasilan tinggi mampu membangun
tempat hunian yang sangat mahal atau mewah.

3. Teori Pusat Berganda (Multiple Nuclei)


Teori ini dirumuskan oleh C. Harris dan E. Ullman yang dikenal
dengan teori “multiple nuclei”. Pola ini pada dasarnya merupakan
modifikasi dan kombinasi dari dua pendekatan sebelumnya, yaitu
bahwa kota tidak selalu terbentuk dari satu pusat, tetapi dari
beberapa pusat lainnya dalam satu kawasan. Lokasi zona-zona
keruangan yang terbentuk tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh
faktor jarak dari CBD serta membentuk persebaran zona-zona ruang
yang teratur, tetapi berasosiasi dengan sejumlah faktor. Pengaruh

Sosiologi Perkotaan 59
faktor-faktor ini akan menghasilkan pola-pola keruangan yang khas.
Teori pusat berganda dapat dilihat dalam gambar berikut ini:

Gambar 3
Struktur Kota Menurut Teori Pusat Berganda

Zona-zona keruangan pada teori pusat berganda ini dapat


dijelaskan sebagai berikut.
a. Zona 1: central business district (CBD). Seperti halnya dengan
teori konsentris dan sektor, zona ini berupa pusat kota yang
menampung sebagian besar kegiatan kota. Zona ini berupa
pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik
spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus
perbankan, pusat hiburan, dan lain-lain.
b. Zona 2: wholesale light manufacturing. Karena keberadaan fungsi
sangat membutuhkan jasa angkutan besar, fungsi ini banyak
mengelompok sepanjang jalan kereta api dan dekat dengan
CBD. Zona ini tidak berada di sekeliling zona 1, tetapi hanya
berdekatan. Sebagaimana “wholesaling”, “light manufacturing”
juga membutuhkan persyaratan yang sama, yaitu transportasi
yang baik, ruang yang memadai, dekat dengan pasar dan
tenaga kerja.
c. Zona 3: pemukiman kelas rendah. Pemukiman membutuhkan
persyaratan khusus. Dalam hal ini ada persaingan mendapatkan
lokasi yang nyaman antaragolongan berpenghasilan tinggi dan

60 Sosiologi Perkotaan
golongan berpenghasilan rendah. Zona ini mencerminkan daerah
yang kurang baik untuk pemukiman sehingga penghuninya
umumnya dari golongan rendah dan pemukimannya juga
relatif kurang baik dibandingkan zona 4. Zona ini dekat dengan
pabrik-pabrik dan jalan kereta api.
d. Zona 4: pemukiman kelas menengah. Zona ini tergolong lebih
baik daripada zona 3, baik dari segi fisik maupun penyediaan
fasilitas kehidupannya. Penduduk yang tinggal di sini pada
umumnya mempunyai penghasilan yang lebih tinggi dari
penduduk zona 3.
e. Zona 5: pemukiman kelas tinggi. Zona ini mempunyai kondisi
paling baik untuk pemukiman dalam arti fisik maupun
penyediaan fasilitas. Lingkungan alamnya juga menjanjikan
kehidupan yang tenteram, aman, sehat, dan menyenangkan.
Hanya golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi yang
mampu memiliki lahan dan rumah di zona ini. Lokasinya
relatif jauh dari CBD dan daerah industri, dan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari di dekatnya dibangun “business district”
baru yang tidak kalah dengan CBD. Pusat-pusat baru seperti
kampus, pusat rekreasi dan taman-taman sangat menarik
perkembangan pemukiman menengah dan tinggi.
f. Zona 6: heavy manufacturing. Zona ini merupakan konsentrasi
pabrik-pabrik besar. Pemukiman yang berdekatan dengan zona
ini biasanya mengalami berbagai permasalahan lingkungan,
seperti pencemaran, kebisingan, kesemerawutan lalu-lintas
dan sebagainya, sehingga untuk kenyamanan tempat tinggal
tidak baik. Sekalipun demikina, di daerah ini terdapat berbagai
lapangan kerja yang banyak. Wajar apabila kelompok penduduk
berpenghasilan rendah bertempat tinggal dekat dengan zona
ini.
g. Zona 7: business district. Zona ini muncul untuk memenuhi
kebutuhan penduduk zona 4 dan 5 dan sekaligus menarik
fungsi-fungsi lain untuk berada di dekatnya. Sebagai salah
satu pusat, zona ini akan menciptakan pola tata ruang yang
berbeda pula, sehingga tidak mungkin terciptanya pola
konsentris, tetapi membentuk persebaran lagi sesuai dengan
karakteristiknya masing-masing.

Sosiologi Perkotaan 61
h. Zona 8: tempat tinggal daerah pinggiran (suburban). Zona ini
membentuk komunitas tersendiri dalam arti lokasinya.
Penduduk di sini sebagian besar bekerja di pusat-pusat kota
dan zona ini digunakan untuk tempat tinggal semata. Proses
perkembangannya serupa dengan kota lama.
i. Zona 9: industri daerah pinggiran (suburban). Sebagaimana
perkembangan industri-industri lainnya, unsur transportasi
selalu menjadi persyaratan untuk hidupnya fungsi ini.
Walaupun terletak di daerah pinggiran, zona ini dijangkau
oleh jalur transportasi yang memadai. Sebagai salah satu pusat,
pada perkembangan, selanjutnya zona ini dapat menciptakan
pola-pola persebaran keruangan tersendiri dengan proses yang
serupa.

F. Kota sebagai Masyarakat Modern


Masyarakat perkotaan sering diidentikkan dengan masyarakat
modern (maju) dan dipertentangkan dengan masyarakat pedesaan
yang akrab dengan sebutan masyarakat tradisional terutama dilihat
dari aspek kulturnya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang
sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang
terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya
masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan sehingga disebut
masyarakat kota.
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat
pedesaan (desawi) dengan masyarakat perkotaan (kotawi). Akan
tetapi, perbedaan tersebut tidak mempunyai hubungan dengan
pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat modern,
seberapa pun kecilnya desa, pasti ada pengaruh dari kota. Pembedaan
antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada
hakikatnya bersifat gradual. Agak sulit untuk memberikan batasan
yang dimaksudkan dengan perkotaan karena adanya hubungan
konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan
urbanisme.
Masyarakat perkotaan yang kita ketahui itu selalu identik
dengan sifat yang individual, egois, matrealistis, penuh kemewahan,
dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang

62 Sosiologi Perkotaan
mewah, dan pabrik-pabrik yang besar. Asumsi dasar kita tentang
kota adalah tempat kesuksesan seseorang (S. Meno dan Mustamin
Alwi, 1992: 34-35).
Daldjoeni (1997: 51-57) mengatakan kaitannya dengan
kehidupan masyarakat kota, lebih melihat kota pada dua sisi,
yaitu aspek fisik (pengkotaan fisik) dan aspek mental (pengkotaan
mental).

1. Aspek Fisik Kota


Pada aspek fisik ini, Daldjoeni lebih melihat pada aspek
struktur sosial kota yang dapat diperinci dalam beberapa gejala
sebagai berikut.
a. Heterogenitas sosial. Kepadatan penduduk mendorong terjadinya
persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak
memilih-milih mana yang paling menguntungkan baginya,
sehingga tercapai spesialisasi. Demi berhasilnya kapilaritas
sosial (membuat karier), orang mengurangi jumlah anak dalam
keluarga. Kota juga merupakan melting pot bagi aneka suku
ataupun ras. Masing-masing minoritas ada kecenderungan
untuk mempertahankan diri dengan memelihara jumlah anak
yang banyak untuk tidak hilang terdesak.
b. Hubungan sekunder. Jika hubungan antarapenduduk di desa
disebut primer, hubungan antarpenduduk di kota disebut
sekunder. Pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada
bidang hidup tertentu. lni karena tempat tinggal juga cukup
terpencar dan saling mengenal hanya menurut perhatian
antarpihak.
c. Kontrol (pengawasan sekunder). Di kota orang tidak memedulikan
perilaku pribadi sesamanya. Meskipun ada kontroi sosial,
sifatnya nonpribadi. Selama tidak merugikan bagi umum,
tindakan dapat ditoleransikan.
d. Toleransi sosial. Orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi
secara sosial berjauhan. Dapat saja di sini orang berpesta dan
pada saat yang sama tetangga menangisi orang mati.

Sosiologi Perkotaan 63
e. Mobilitas Sosial. Di sini yang dimaksudkan adalah perubahan
status sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan dalam
jenjang kemasarakatan (social climbing). Dalam kehidupan kota,
segalanya diprofesionalkan, dan melalui profesihya orang
dapat naik posisinya. Selain usaha dan perjuangan pribadi
untuk berhasil, secara kelompok seprofesi juga ada solidaritas
klas. Terjadilah perkumpulan-perkumpulan orang seprofesi,
seperti guru, dokter, wartawan, pedagang, tukang becak, dan
lainnya.
f. lkatan sukarela (voluntary association). Secara sukarela orang
menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya,
seperti sport, aneka grup musik, klub filateli, perkumpulan
filantropi. Meskipun sifatnya serba sukarela, ada pula gejala
bahwa berbagai perkumpulan bersaing mencari anggota
melalui tekhnik memikat dan propaganda, misalnya partai
politik, gerakan anti merokok, gerakan keluarga berencana.
g. lndividualisasi. lni merupakan akibat dari sejenis atomisasi. Orang
dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan
kariernya tanpa desakan orang lain. lni berlatar belakang corak
sekunder dari kehidupan kota, sifat sukarelanya ikatan dan
banyaknya kemungkinan yang tersedia.
h. Segregasi keruangan (spatial segregation). Akibat kompetisi
ruang terjadi pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat
tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis. lni distudi
oleh ekologi manusia (human ecology). Terjadilah pemisahan
(segregation) berdasarkan ras. Misalnya ada wilayah kaum
Cina, Arab, orang patuh beragama (kauman), kaum elite,
kaum gelandangan, daerah operasi pelacuran, pencopetan,
kegiatan olahraga, hiburan, pertokoan dan pasar, kompleks
kepegawaian tertentu dan lainnya.

2. Aspek Mental Kota


Pada aspek mental ini, Daldjoeni lebih melihat pada aspek
kejiwaan (mental) masyarakat kota. Adapun kejiwan masyarakat
kota dapat diperinci atas beberapa gejala berikut.

64 Sosiologi Perkotaan
a. Atomisasi dan pembentukan massa. Dalam kota besar, manusia
menjadi sendirian seperti suatu atom di dalam massa yang
terdiri atas atom-atom. Kota hanya dapat menerima manusia
sebagai atom, itu di dalam proses pembentukannya. Sebagai
atom, manusia mendapatkan koran. memasuki toko atau
restoran, naik bus atau trem, bereaksi terhadap tanda lalu-
lintas, reklame, kecelakaan. Proses atomisasi yang dijalani oleh
orang kota berarti pula proses pembentukan masa baginya.
Kota berusaha melayani manusia sebagai massa melalui
perkunjungan bioskop, pertandingan sepak bola, penerbitan
koran, penjualan kaset musik, dan sebagainya.
b. Kepekaan terhadap rangsangan dan sikap masa bodoh. Atom-
atom manusia dalam kota selalu dirangsang oleh berbagai
rangsangan yang jumlahnya tidak terhitung banyaknya.
Berbeda dengan petani di pedesaan yang setiap hari menerima
jenis rangsangan yang sama, penghuni kota besar setiap hari
dipaksa untuk menelaah kesan baru. Segalanya berubah,
misalnya etalasi toko, iklan bioskop, aneka pertunjukan,
berita utama dalam surat kabar, dan keramaian lalu lintas.
Siapa yang tidak mengikuti perubahan, ia menjadi tertinggal.
Akibat bertubinya rangsangan ini, manusia kota menjadi
ceroboh dan bersikap masa bodoh. la menjadi tidak cermat
dalam banyak hal karena tidak mampu lagi mencerna dengan
baik apa yang ditangkap oleh pancaindranya. Untuk teliti
diperlukan konsentrasi yang sungguh-sungguh, sedangkan
waktu tidak ada. Jika waktu diadakan untuk itu semua, ia
bingung karena tidak mampu menahan beban jiwani. Akibat
kedua dari keterbukaan terhadap rangsangan yang terus
meningkat adalah sikap masa bodoh. Berbagai rangsangan
itu menjadikan orang kota tidak peka lagi. Ketidakpekaannya
berbeda dengan yang ada pada petani di pedesaan. Petani tidak
peka terhadap rangsangan yang disajikan oleh kota karena
ia tidak mudah bereaksi atasnya. ltu semuanya hanya akan
menjadikan ia lelah dan bingung. Sebaliknya, bagi orang kota,
rangsangan-rangsangan itu semua harus menjadi kebiasaan
bagi-nya. Lama kelamaan, menjadi tidak terasa lagi, dan oranq
bersikap masa bodoh terhadapnya, kecuali jika rangsangan
diperhebat seperti gambar-gambar yang porno, iklan masakan

Sosiologi Perkotaan 65
dan minuman yang me-mancing selera menikmatinya, ia
tergugah lagi oleh rangsangan tersebut.
c. Egalisasi dan sensasi. Proses egalisasi mengandung tendensi
penyamaan, yang di dalamnya peranan uang sangat penting
dalam kehidupan kota. lni berlatar belakang pada proses
tehnisi dan industrialisasi. Dengan memiliki uang, orang dapat
menyamai orang lain. dalam arti ia dapat membeli apa saja
yang diinginkannya. Hidup perkotaan berisi kecendrungan
sensasi, karena kepekaan manusia menjadi semakin luntur
seperti disebutkan di atas. Hal-hal yang menimbulkan sensasi,
misalnya di bidang sport, meskipun ini terasa lebik kuat pada
kaum muda. Melalui kegiatan sport orang muda mencari
prestasi, dan caranya dengan metode yang sportif. Sikap
sportif ini keudian mewujudkan suatu sikap yang terpuji,
yang diharapkan akan berlaku juga dalam pergaulan secara
kemasyarakatan.
d. lndustri kesenangan dan pengisian waktu Iuang. Semakin
maju suatu kota besar, semakin bermunculan masalah yang
bertalian dengan penggunan waktu luang. Waktu luang ini
ditimbulkan oleh proses teknisasi sehingga sebagian besar
tenaga manusia tergantikan oleh mesin dan tata kerja manusia
dapat dijadwal secara ketat. Akibatnya, manusia bekerja dengan
penuh ketegangan sehingga setelah selesai diperlukan suasana
yang mengandung santai. Waktu luang akan menjadi masalah
penting setelah bersama dengan majunya teknisasi, jumlahnya
makin bertambah. Pada negara berkembang, orang bekerja
tujuh hari atau enam hari dalam seminggu, sedangkan di dunia
Barat, orang bekerja lima hari kerja. Hal ini meningkatkan
mereka untuk menciptakan kegiatan bersama yang produktif
semakin berkurang. Karena itu, mereka membutuhkan usaha
pengisian waktu luang secara organisasi. Sehubungan itu
diaadakan industri kesenangan.

Melihat penjelasan di atas, ciri utama suatu masyarakat modern,


yaitu memiliki tingkat rasionalitas yang tinggi, dibandingkan dengan
yang sifatnya primordial, seremonial, atau tradisional. Tingkat
rasionalitas yang tinggi itu digerakkan oleh perkembangan ilmu

66 Sosiologi Perkotaan
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan
teknologi sering disebut sebagai kekuatan pendorong (driving force)
bagi proses modernisasi. Dengan tingkat rasionalitas yang tinggi itu,
berkembang antara lain ciri-ciri yang kurang lebih berlaku umum
bagi masyarakat kota, yaitu sebagai berikut.

3. Tindakan-tindakan Sosial
Dalam masyarakat tradisional, tindakan-tindakan sosial
(social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi, atau
prescribed action. Adapun dalam masyarakat modern, tindakan-
tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena
itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah
kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihan
dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri. Misalnya,
dalam masyarakat tradisional atau pramodern, seorang anggota
keluarga mengikuti jejak pekerjaan orangtuanya. Bahkan, dalam
masyarakat yang lebih tradisional tidak dimungkinkan menerobos
sekat-sekat sosial. Dalam masyarakat yang lebih modern, pilihan-
pilihan lebih terbuka.

4. Orientasi terhadap Perubahan


Dalam masyarakat pramodern, perubahan berjalan lambat.
Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak
terjadi selama ribuan tahun. Makin maju masyarakat makin cepat
perubahannya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang
senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti
sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah
adalah perubahan itu sendiri.
Perubahan ini merupakan ciri tetapi sekaligus masalah yang
senantiasa dihadapi masyarakat modern, karena frekuensinya yang
makin cepat, sehingga acapkali tidak bisa diikuti oleh seluruh lapisan
masyarakat. Akibatnya, maka terjadi ketegangan-ketegangan dan
bahkan disintegrasi dalam masyarakat yang lebih berat bebannya dan
lebih traumatis akibatnya dibandingkan dengan pada masyarakat
tradisional yang langka perubahan. Perubahan itu sendiri didorong
dan dipercepat oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

Sosiologi Perkotaan 67
yang sepertinya roda percepatannya bergerak dengan intensitas
yang makin tinggi.

5. Berkembangnya Organisasi dan Diferensiasi


Masyarakat tradisional membutuhkan organisasi yang sangat
sederhana, cakupannya terbatas, tugasnya juga terbatas. Diferensiasi
dalam organisasi dan pekerjaan kalau pun ada sedikit sekali
dan masih bersifat umum.Dalam masyarakat modern, organisasi
berkembang, cakupannya makin luas dan makin
rumit. Bersamaan dengan itu, berkembang spesialisasi. Makin
maju suatu masyarakat makin tajam spesialisasi yang diperlukan.
Berkembangnya spesialisasi atau diferensiasi baik dalamkelembagaan
maupun pekerjaan juga didorong oleh berkembangnya ilmu
pengetahuan danteknologi yang menyebabkan tidak bisa seseorang
atau lembaga menguasai atau menangani semua hal atau terlalu
banyak hal. Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa “orang
modern” adalah “orang organisasi” (organization man).
S e l a n j u t n ya , m o de r n i ta s d en ga n b e be r ap a c i r i y an g
dikemukakan di atas, mencakup semua aspek kehidupan, yang
masing-masing memiliki ciri-ciri sendiri. Suatu masyarakat modern,
dalam pengertian yang dewasa ini banyak dianut harus tercermin
dalam berbagai aspek berikut.

a. Sistem Ekonomi
Masyarakat modern lebih berorientasi pada ekonomi modern
dan efisiensi (maksimum atau optimum). Ciri utamanya adalah
kemampuan untuk memelihara pertumbuhan yang berkelanjutan
(self sustaining growth). Mekanisme ekonomi modern adalah pasar.
Sistem ekonomi tersebut memiliki ciri-ciri berikut. Pertama, memiliki
daya yang memungkinkan pengembangan dan penyerapan teknologi
(atau gagasan-gagasan) baru. Peran industri dan jasa lebih besar
dibandingkan pertanian. Oleh karena itu, proses modernisasi acap
disinonimkan dengan industrialisasi. Kegiatan-kegiatan yang sarat
modal dan teknologi yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi,
lebih besar dibandingkan dengan yang sarat tenaga kerja yang
berharga murah. Ada keseimbangan antaramodal manusia (yang

68 Sosiologi Perkotaan
berkualitas) dengan modal fisik. Sektor formal lebih dominan
dibandingkan dengan sektor informal. Dengan demikian, organisasi
dan manajemen produksi menjadi wahana yang penting dalam
sistem ekonomi modern. Sebagai konsekuensinya, ada pemisahan
antarapemilikan dan pengelolaan (manajemen) aset dan kegiatan
produksi. Pada masyarakat yang lebih modern atau pascamodern,
peran informasi dan teknologi informasi semakin besar dan pada
akhirnya menjadi dominan. Sebagai akibatnya ekonomi modern
makin tidak mengenal tapal batas negara.
Oleh karena itu, kemampuan (dan options) negara untuk
mengadakan intervensi menjadi makin berkurang. Sistem ekonomi
modern bersifat mandiri. Mandiri tidak berarti keterisolasian karena
dalam hubungannya dengan ekonomi-ekonomi lainnya, ekonomi
yang modern mempunyai keunggulan yang membuatnya memiliki
kekuatan tawar-menawar (“bargaining position”)dalam hubungan
saling kebergantungan antarekonomi. Dengan demikian, ekonomi
yang modern bukan merupakan “vassal” dari ekonomi lainnya.

b. Sistem Politik
Sistem politik modern juga mempunyai beberapa ciri yang
membedakannya dengan sistem tradisional atau pramodern, antara
lain, individu dan masyarakat tidaklah merupakan objek, tetapi
subjek yang turut menentukan arah kehidupan. Berkaitan dengan
itu, masyarakat modern ditandai oleh partisipasi masyarakat yang
luas dalam proses politik. Sistem politiknya, yaitu nilai-nilai dasar
dan instrumental, organisasi, mekanisme dan prosedur, bersifat
terbuka dan dapat diikuti oleh siapa pun. Sistem politik modern
berlandaskan aturan dasar yang disepakati bersama, yang disebut
konstitusi, dan kehidupan diselenggarakan berdasarkan aturan yang
ditetapkan bersama pula dan berlaku buat semua secara adil.
Oleh karena itu, negara modern adalah negara yang berdasarkan
hukum. Rakyat adalah yang berdaulat, dan mekanisme yang
menunjukkan kedaulatan itu, diwujudkan melalui perwakilan.
Proses itu berjalan secara terbuka dan menjamin hak setiap warga
untuk turut serta di dalamnya sehingga dilengkapi oleh mekanisme
komunikasi sosial yang efektif. Penyelenggara negara tunduk pada
kedaulatan rakyat dan hukum, seperti juga semua warga negara.

Sosiologi Perkotaan 69
Penyelenggara negara terbentuk tidak atas dasar keturunan, ras,
agama, kesetiaan perseorangan, tetapi atas dasar kecakapan,
integritas, dan kesetiaan kepada tugas dan tujuan organisasi.
Sistem politik yang modern mampu mewadahi perbedaan
paham dan pandangan, dan mengatasinya dengan cara yang adab
dan damai, dalam aturan yang disepakati bersama (hukum). Dalam
masyarakat modern terdapat penampilan individu (individuation)
yang nyata (distinct), sehingga manusia berwajah, berkepribadian,
bermartabat, dan bukan hanya bagian dari masyarakat. Pada pihak
lain, dalam masyarakat modern, betapa pun bebasnya individu,
kebebasan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh hak individu
yang lain, hak masyarakat, dan kepentingan masyarakat. Namun,
pembatasannya itu diatur pula secara jelas dan berlaku buat semua.
Dan akhirnya sistem politik modern, lebih terdesentralisasi, dengan
diferensiasi struktural dan spesifikasi fungsi-fungsi, tetapi dengan
derajat integrasi dan koordinasi yang tinggi.

c. Sistem Sosial
Dalam masyarakat modern, hubungan primer antarindividu
telah jauh berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat
impersonal menjadi lebih predominan. Dalam masyarakat tradisional
atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan sosial lebih
didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga
atau keturunan, suku atau ras, gender (pria atau wanita), dan usia
(yang antara lain melahirkan paternalisme).
Dalam masyarakat tradisional, di samping pertimbangan-
pertimbangan itu, ada juga pertimbangan kemampuan (capability),
tetapi lebih bersifat fisik (jagoan, misalnya) atau magis (paranormal).
Dalam masyarakat modern apa dan siapa bukannya sama sekali
diabaikan, tetapi bobotnya kurang dibandingkan dengan prestasi
yang telah dicapai dan potensi yang dapat dicapai. Penghargaan
terhadap kemampuan fisik tidak juga diabaikan, seperti pahlawan-
pahlawan olahraga, tetapi penghargaan lebih besar diberikan kepada
kemampuan intelektual. Sukses seseorang karena prestasinya
dihargai tinggi dalam masyarakat modern (contoh: penghargaan
kepada Bill Gates padahal ia adalah seorang yang putus sekolah).

70 Sosiologi Perkotaan
Manusia modern ingin memperoleh pengakuan sebagai
individu, selain sebagai anggota masyarakat. Juga ia senantiasa
berupaya untuk terus maju, tidak statis, dan berusaha menampilkan
dan mencari yang terbaik. Oleh karena itu, profesionalisme adalah
cirinya manusia modern. Pada umumnya ciri personalitas manusia
modern adalah manusia yang mampu membimbing dirinya sendiri,
mampu mengambil keputusan sendiri (menetapkan pilihan-pilihan)
dan mampu menghadapi perubahan. Selanjutnya, untuk lebih
terperinci, Alex Inkeles (1980: 87-99) menyebutkan sembilan ciri
manusia modern, yaitu sebagai berikut.
1) Terbuka terhadap inovasi, perubahan, penanggungan risiko,
dan terhadap gagasan-gagasan baru.
2) Tertarik dan memiliki kemampuan membentuk pandangan
mengenai isu-isu yang berada di luar lingkungannya.
3) Lebih demokratis, terutama dalam hal pengakuan dan toleransi
terhadap perbedaan pendapat.
4) Lebih berorientasi terhadap masa kini dan masa depan daripada
masa lalu.
5) Menempatkan masa depan dirinya ke dalam suatu perencanaan,
visualisasi, dan pengorganisasian untuk mewujudkannya.
6) Cenderung tidak menerima keadaan sebagai nasib dan
berpandangan bahwa keadaan dunia ini dapat diperkirakan
dan terbuka untuk kendali manusia.
7) Menghargai hak-hak orang lain tanpa memandang status
tradisionalnya sehingga pandangannya terhadap peran wanita
dan anak-anak menjadi positif.
8) Menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi instrumen
untuk mengendalikan alam.
9) Memiliki pandangan bahwa manusia harus dihargai berdasarkan
kontribusinya terhadap masyarakat, bukan berdasarkan
status.

Sosiologi Perkotaan 71
d. Struktur Sosial
Struktur yang mewarnai suatu masyarakat tradisional berintikan
kekerabatan, kesukuan, atau keagamaan. Struktur yang bersifat
primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan
itu dan tidak bersifat sukarela. Dalam masyarakat modern, struktur
sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang
dan menjadi tiang-tiang masyarakat adalah organisasi politik,
organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasuk organisasi profesional
dan fungsional. Dalam masyarakat tradisional atau pramodern,
organisasi-organisasi serupa itu sekalipun sudah ada, dasarnya masih
tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup. Akan tetapi,
apabila kita berbicara mengenai struktur sosial, ada ciri-ciri yang
nyata dalam masyarakat modern, yaitu: (1) sebagian besar anggota
masyarakat berada pada lapisan menengah; lapisan atas dan bawah
adalah minoritas. Pada masyarakat tradisional dan pramodern,
sebagian besar masyarakat berada di lapisan bawah; (2) dalam
masyarakat modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas),
tetapi stratanya lebih bersifat suatu kontinum. Dalam masyarakat
tradisional, pembatas antarstrata sangat tegas, bahkan acapkali tabu
atau ada sangsi bagi yang melewati batas itu; (3) dalam masyarakat
modern, mobilitas sosial tinggi baik ke atas maupun ke bawah.
Sebaliknya, dalam masyarakat tradisional mobilitas itu rendah,
yang di bawah betapa pun potensinya tetap di bawah, dan yang
di atas betapa pun rendah kemampuannya tetap berada di atas; (4)
dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak,
dan kewajiban menjadi kredo, berarti juga kesamaan kesempatan.

G. Karakteristik Masyarakat Kota


Ada dua hal yang berkaitan dengan ciri atau karakteristik dari
masyarakat kota atau modern. Ada ciri yang berskala kelompok
atau masyarakat dan ada ciri berskala individu. Ciri yang berskala
masyarakat, yaitu sebuah masyarakat disebut telah modern (maju)
antara lain:
1. Hubungan antara sesama nyaris hanya didasarkan pada
pertimbangan untuk kepentingan pribadi.

72 Sosiologi Perkotaan
2. Hubungan dengan masyarakat lain berlangsung secara terbuka
dan saling memengaruhi.
3. Mereka yakin bahwa iptek memiliki kemanfaatan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya.
4. Masyarakat kota berdeferensi atas dasar perbedaan profesi
dan keahlian sebagai fungsi pendidikan serta pelatihan.
5. Tingkat pendidikan masyarakat kota relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan.
6. Aturan-aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat
perkotaan lebih berorientasi pada aturan atau hukum formal
yang bersifat kompleks.
7. Tata ekonomi yang berlaku bagi masyarakat kota umumnya
ekonomi-pasar yang berorientasi pada nilai uang, persaingan,
dan nilai-nilai inovatif lainnya.

Adapun karakteristik yang berskala individu sebagai manusia


modern (maju) adalah sebagai berikut.
1. Selalu bersikap menerima perubahan setelah memahami adanya
kelemahan-kelemahan dari situasi yang rutin.
2. Memiliki kepekaan pada masalah yang ada di sekitarnya
dan menyadari bahwa masalah tersebut tidak terlepas dari
keberadaan dirinya.
3. Terbuka bagi pengalaman baru (inovasi) dengan disertai sikap
yang tidak apriori atau prasangka.
4. Untuk setiap pendiriannya selalu dilengkapi informasi
akurat.
5. Lebih berorientasi pada masa mendatang yang didukung oleh
kesadaran bahwa masa lampau sebagai pengalaman dan masa
sekarang sebagai suatu fakta, sedangkan masa mendatang
sebagai harapan yang mesti diperjuangkan. Artinya, ketiga
pengalaman waktu itu merupakan suatu sekuen.
6. Sangat memahami akan potensi dirinya, dan potensi tersebut
ia yakin dapat diicernbangkan.

Sosiologi Perkotaan 73
7. Selalu berusaha untuk terlibat dan peka terhadap perencana-
an.
8. Selalu menghindar dari situasi yang fatalistik dan tidak mudah
menyerah pada keadaan atau nasib.
9. Meyakini akan manfaat iptek sebagai sarana dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan manusia.
10. Memahami dan menyadari serta menghormati akan hak-hak
dan kewajiban serta kehormatan pihak lain.

Jorge Hardoy dalam Elly M Setyadi (2011: 854) memberikan ada


10 kriteria untuk merumuskan sebuah kota, yaitu sebagai berikut.
1. Memiliki ukuran dan penduduk yang besar dilihat dari zaman
dan lokasinya.
2. Bersifat permanen.
3. Mencapai kepadatan tertentu (menurut zaman dan lokasi).
4. Jelas struktur dan tata ruangnya seperti dari jalur-jalur jalan
di dalamnya.
5. Merupakan tempat manusia tinggal dan bekerja.
6. Memiliki fungsi minimum seperti adanya pasar, administrasi
dan politik, militer, keagamaan, dan cendekia.
7. Mempunyai penduduk heterogen yang dikrasifikasikan secara
hierarkis.
8. Merupakan pusat ekonomi yang memiliki hubungan dengan
daerah pertanian di tepi kota dan yang memproses bahan
mentah dari daerah pertanian itu.
9. Merupakan pusat pelayanan bagi daerah-daerah yang berada
di sekitarnya.
10. Merupakan pusat penyebaran falsafah hidup yang dimiliki
(sesuai zaman dan lokasi).

Lebih lanjut, Elly M. Setyadi (2011: 854) menjelaskan ciri yang


menonjol dari masyarakat kota adalah:

74 Sosiologi Perkotaan
1. Kehidupan keagamaan berkurang apabila dibandingkan dengan
kehidupan keagamaan di desa.
2. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri
tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting adalah
manusia perseorangan atau individu.
3. Pembagian kerja di antara warga kota juga lebih tegas dan
mempunyai batas yang nyata.
4. Kemungkinan untut mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak
diperoleh warga kota daripada warga desa.
5. Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada
faktor kepentingan daripada faktor pribadi.
6. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk
dapat mengejar kebutuhan individu.
7. Perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota sebab
kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.

Secara umum, suatu lingkungan perkotaan mengandung lima


unsur (Elly M. Setyadi, 2011: 855) berikut.
1. Wisma. Unsur ini merupakan bagian ruang kota yang digunakan
untuk tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya, serta
melangsungkan kegiatan-kegiatan sosial dalam keluarga.
Unsur wisma ini berfungsi:
a. mengembangkan daerah perumahan penduduk yang
sesuai dengan pertambahan kebutuhan penduduk untuk
masa mendatang;
b. Memperbaiki keadaan lingkungan perumahan yang telah
ada agar dapat mencapai standar mutu kehidupan yang
layak, dan memberikan nilai-nilai lingkungan yang aman
dan menyenangkan.

2. Karya. Unsur ini merupakan syarat yang utama bagi eksistensi


suatu kota karena unsur ini merupakan jaminan bagi kehidupan
bermasyarakat.

Sosiologi Perkotaan 75
3. Marga. Unsur ini merupakan ruang perkotaan yang berfungsi
untuk menyelenggarakan hubungan antarasuatu tempat dan
tema atau dapat lainnya di dalam kota, serta antara kota itu
dengan kota lainnya atau daerah lainnya.
4. Suka. Unsur ini merupakan bagian dari ruang perkotaan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk terhadap fasilitas hiburan,
rekreasi, pertamanan, kebudayaan, dan kesenian.
5. Penyempurna. Unsur ini merupakan bagian yang penting bagi
kota, tetapi belum secara tepat tercakup ke dalam keempat
unsur termasuk fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas
keagamaan, pekuburan kota, dan jaringan utilitas kota.

Secara fisik, masyarakat di perkotaan kehidupannya ditandai


dengan adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk
pikuknya kendaraan, pabrik, kemacetan, kesibukan warga
masyarakatnya, persaingan yang tinggi, polusinya, dan sebagainya.
Adapun secara sosial, kehidupannya cenderung heterogen, individual,
persaingan yang tinggi yang sering menimbulkan pertentangan
atau konflik. Munculnya asumsi bahwa masyarakat kota itu pintar,
tidak mudah tertipu, cekatan dalam berpikir, dan bertindak, dan
mudah menerima perubahan, tidak selamanya benar karena secara
implisit, di balik semua itu masih ada masyarakatnya yang hidup
di bawah standar kehidupan sosial. Untuk lebih memahami secara
terperinci mengenai kehidupan masyarakat perkotaan, berikut
diuraikan beberapa ruang lingkup kehidupan dari perkotaan (Elly
M. Setyadi, 2011: 858-864).
1. Lingkungan umum dan orientasi terhadap alam. Masyarakat
kota cenderung mengabaikan kepercayaan yang berkaitan
dengan kekuatan alam serta pola hidupnya lebih mendasarkan
pada rasionalnya. Apabila dilihat dari mata pencahariannya,
masyarakat kota tidak bergantung pada kekuatan alam,
mel a i nk an ber gan tun g pad a t i ng kat kema mpu an ny a
(kapabilitas) untuk bersaing dalam dunia usaha. Gejala alam
itu bisa dipahami secara ilmiah dan secara rasional dapat
dikendalikan.

76 Sosiologi Perkotaan
2. Pekerjaan atau mata pencaharian. Kebanyakan masyarakatnya
bergantung pada pola industri (kapitalis), bentuk mata
pencaharian yang primer seperti sebagai pengusaha, pedagang,
dan buruh industri. Namun ada sekelompok masyarakat yang
bekerja pada sektor informal misalnya pemulung, pengemis
dan pengamen.
3. Ukuran komunitas. Umumnya masyarakat perkotaan lebih
heterogen dibandingkan masyarakat pedesaan. Karena
mayoritas masyarakatnya berasal dari sosiokultural yang
berbeda-beda, dan masing-masing dari mereka mempunyai
tujuan yang bermacam-macam pula, di antaranya mencari
pekerjaan atau menempuh pendidikan. Jumlah penduduknya
masih relatif besar.
4. Kepadatan penduduk. Tingkat kepadatan di kota lebih tinggi
dibandingkan di desa. Hal ini disebabkan kebanyakan penduduk
di daerah perkotaan awalnya dari berbagai daerah.
5. Homogenitas dan heterogenitas. Dalam struktur masyarakat
perkotaan yang sering tampak adalah heterogenitas dalam ciri-
ciri sosial, psikologis, agama, dan kepercayaan, adat-istiadat,
dan perilakunya. Dengan demikian, struktur masyarakat
perkotaan sering mengalami interseksi sosial, mobilitas sosial,
dan dinamika sosial.
6. Diferensiasi sosial. Di daerah perkotaan, diferensiasi sosial
relatif tinggi, sebab tingkat perbedaan agama, adat-istiadat,
bahasa, dan sosiokultural yang dibawa oleh para pendatang
dari berbagai daerah cukup tinggi.
7. Pelapisan sosial. Lapisan sosialnya lebih didominasi oleh
perbedaan status dan peranan di dalam struktur masyarakatnya.
Di dalam struktur masyarakat modern lebih menghargai
prestasi daripada keturunan.
8. Mobilitas sosial. Mobilitas pada masyarakat perkotaan lebih
dinamis daripada masyarakat pedesaan. Kenyataan itu adalah
sebuah kewajaran sebab perputaran uang lebih banyak terjadi
di daerah perkotaan daripada di pedesaan.

Sosiologi Perkotaan 77
9. Interaksi sosial. Dalam interaksi pada masyarakat perkotaan lebih
kita kenal dengan yang namanya gesseslchaft, yaitu kelompok
patembayan. Yang mana ada hubungan timbal balik dalam
bentuk perjanjian-perjanjian tertentu yang orientasinya adalah
keuntungan atau pamrih. Sehingga hubungan yang terjadi
hanya seperlunya saja.
10. Pengawasan sosial. Dikarenakan masyarakatnya yang kurang
mengenal satu sama lain dan juga luasnya wilayah kultural
perkotaan ditambah keheterogenitasan masyarakatnya yang
membuat sistem pengawasan sosial perilaku antaranggota
masyarakatnya makin sulit terkontrol.
11. Pola kepemimpinan. Kepemimpinanya didasarkan pada
pertanggung-jawaban secara rasional atas dasar moral dan
hukum. Dengan demikian, hubungan antarpemimpin dan warga
masyarakatnya berorientasi pada hubungan formalitas.
12. Standar kehidupan. Standar kehidupannya diukur dari barang-
barang yang dianggap memiliki nilai (harta benda). Mereka
lebih mengenal deposito atau tabungan. Karena menurut
mereka, menyimpan uang dalam bentuk deposito dianggap
lebih praktis dan mudah. Ditambah lagi kepemilikan barang-
barang mewah lainnya.
13. Kesetiakawanan sosial. Ikatan solidaritas sosial dan kesetiakawanan
lebih renggang. Ikatan ini biasa disebut dengan patembayan.
Artinya, pola hubungan untung rugi lebih dominan daripada
kepentingan solidaritas dan kesetiakawanan.
14. Nilai dan sistem nilai. Nilai dan sistem nilai dalam struktur
masyarakat perkotaan lebih bersifat formal, berdasarkan
aturan-aturan yang resmi seperti hukum dan perundang-
undangan.

Apabila dirangkum perbedaan antara masyarakat kota dengan


desa dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

78 Sosiologi Perkotaan
Sosiologi Perkotaan 79
80 Sosiologi Perkotaan
Sosiologi Perkotaan 81
82 Sosiologi Perkotaan
Sosiologi Perkotaan 83
84 Sosiologi Perkotaan
BAB 3
POLA EKOLOGI KOTA
“Lingkungan perkotaan adalah wujud interaksi
antarasubsistem sosial, subsistem alam,
dan subsistem buatan pada suatu wilayah.”

A. Pengantar
Sosiolog Robert Park (1950) dari Universitas Chicago,
menyebutkan bahwa di daerah perkotaan terdapat daerah tertentu
yang dihuni oleh kelompok etnis tertentu pula. Ia menyebutkan jika
berjalan kaki, kita akan melihat perubahan dan perbedaan bagian
kota yang membentuk mozaik. Ada bagian kota yang dihuni oleh
kelompok tertentu, ada yang menjadi pusat komersial, dan ada yang
dipakai untuk daerah industri. Menurut Park, kota adalah organisme
hidup. Pernyataan ini mengingatkan pada pendapat filsuf Prancis J.J.
Rouseau bahwa kumpulan rumah tanpa manusia hanyalah sebuah
pemukiman dan manusialah yang membuatnya menjadi kota (Eko
A. Meinarno, 2011: 224). Park mengajukan gagasan yang disebut
sebagai ekologi kota (urban ecology).
Ekologi kota adalah kajian atas hubungan antaradimensi sosial
dan fisik dari berbagai kota. Menurut Park, pada awalnya, kota
berkembang karena berada di daerah subur. Kemudian, berbagai
kegiatan manusia mengubahnya menjadi bentuk kota seperti saat

Sosiologi Perkotaan 85
ini. Beberapa pola penggunaan ruang di perkotaan muncul dari
kelompok Chicago ini. Tafsiran mengenai tata ruang di perkotaan
menurut Ernest Burgess dan Robert Park (1950) menyebutkan bahwa
pola kota dengan selalu ada pusatnya yang dilingkari oleh berbagai
daerah disebut sebagai concentric.
Pada pertumbuhannya kemudian, kota sebagai lingkungan
hidup buatan dapat dilihat sebagai hasil dari proses interaksi
antarmanusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Kota,
sebagai pusat kegiatan dan konsentrasi kehidupan manusia, saat
ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pertumbuhan
dan perkembangan penduduk menuntut berbagai sarana dan
prasarana untuk mencukupi kebutuhannya. Pembangunan dapat
optimal apabila didukung oleh perencanaan yang memadai. Salah
satu dampak pembangunan terjadi pada sumber daya alam dan
lingkungan. Dampaknya berupa degradasi lingkungan, yang
apabila dibiarkan akan merusak lingkungan dan selanjutnya akan
menurunkan kualitas lingkungan. Untuk menangani masalah
perkotaan ini diperlukan perangkat pengaturan pengelolaan yang
memadai, terutama penataan ekologi kota.

B. Problem: Lingkungan Perkotaan


P ara ah l i per kotaan sep akat bah wa kota m eru pakan
pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya manusia. Adapun
lingkungan perkotaan adalah wujud interaksi antarasubsistem
sosial, subsistem alam, dan subsistem buatan pada suatu wilayah.
Sering disebutkan bahwa kota merupakan suatu ekosistem yang
berada di dalam makrokosmos. Ekosistem kota merupakan salah
satu bentuk lingkungan buatan (man-made environment). Bentuk lain
dari lingkungan buatan adalah desa. Disebut lingkungan buatan
karena desa terbentuk dari berbagai kegiatan (aktivitas) manusia.
Kegiatan manusia tersebut, selain meningkatkan kualitas alam, juga
mengakibatkan penurunan kualitas alam (udara, air, dan tanah).
Peningkatan suhu iklim mikro, banjir serta erosi merupakan dampak
yang diakibatkan oleh kegiatan manusia yang terjadi di kota-kota
besar saat ini. Jika tidak diantisipasi dan ditanggulangi, dampak-
dampak tersebut akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang
permanen terhadap suatu kota. tampaknya, saat ini banjir merupakan

86 Sosiologi Perkotaan
salah satu dampak kerusakan permanen, yang terjadi pada beberapa
wilayah kota di Indonesia, bahkan dunia.
Semakin meningkatnya kegiatan kota, terutama kegiatan
ekonomi, semakin terjadi peningkatan terhadap perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Kondisi ini meningkatkan penggunaan
lahan kota sebagai lahan ekonomi produktif. Akibatnya, lahan
sebagai fungsi lindung (hutan kota, hutan lindung, sempadan
sungai) semakin berkurang atau semakin tidak diprioritaskan.
Padahal, kota merupakan suatu ekosistem, yang harus tetap
terjaga keseimbangannya dan mana kerusakan lingkungan kota
yang disebabkan oleh kegiatan manusia harus sama dengan upaya
perbaikan kerusakan lingkungan kotanya agar kota tersebut tetap
berkelanjutan dalam kondisi yang berkualitas.

1. Ekologi Manusia dan Sosial


Pada awalnya ekologi khusus untuk dunia tetumbuhan dan
hewan, sehingga ada istilah ekologi tumbuhan dan ekologi hewan.
Kemudian, belakangan muncul pula ekologi manusia (human
ecology) yang tugasnya mempelajari hubungan manusia dengan
lingkungannya.
Zipf dalam Daldjoeni (1997: 88) menjelaskan bahwa manusia
pada satu sisi merupakan makhluk individu dan pada sisi lain sebagai
makhluk sosial. Nelissen, seorang Belanda, menyatakan bahwa
ekologi yang mempelajari manusia sebagai makhluk disebut ekologi
manusia (mens ecologie), sedang ekologi yang mempelajari manusia
sebagai makhluk sosial disebut ekologi sosial (sociale ecologie).
Ekologi manusia bertalian dengan biologi, fisiologi, dan ilmu
kedokteran, sedangkan ekologi sosial berkaitan dengan sosiologi,
geografi, dan biologi. Dalam literatur Amerika memang tidak
ada pemisahan antaraekologi manusia dan ekologi sosial karena
keduanya disebut human ecology.
Beberapa definisi tentang ekologi sosial dalam Daldjoeni (1997:
89-90), adalah sebagai berikut.
a. Ekologi sosial merupakan studi tentang relasi subsosial
antarmanusia. Aspek subsosial masyarakat adalah keseluruhan
relasi yang non-personal antarmanusia, yang muncul dari rasa

Sosiologi Perkotaan 87
nasib sosial yang sama yang tidak dapat diterangkan dari
interaksi manusia yang disadari.
b. Ekologi sosial merupakan studi tentang daerah-daerah sosial
budaya (culture areas).
c. Ekologi sosial berfungsi menggambarkan sebaran keruangan
dari gejala sosial, mirip geografi sosial, sehingga ditelaah para
ahlinya dengan banyak kartogram dan diagram, sebagai teknik
penggambaran sebaran gejala sosial.

Masarakat manusia dalam ekologi sosial disebut community,


yaitu kehidupan bersama yang berdasarkan teritorial, sehingga dapat
berupa desa, kota, metropol, benua, bahkan seluruh dunia. Menurut
Alihan dalam Daldjoeni (1997: 92) community lebih bersifat alami
dan harus dilihat sebagai tata subsosial yang diatur oleh prinsip
kompetisi. Akibat kompetisi tersebut, masyarakat membentuk
pola keruangan yang konkret dan bersama dengan itu mengalami
berbagai proses. Adapun society merupakan tata-subbudaya dalam
masyarakat yang diatur oleh komunikasi, konsensus, beragam nilai,
norma, konflik, dan tujuan.
Suatu community dalam ekologi sosial dapat dipandang sebagai
struktur yang unsur-unsurnya terdiri atas tiga macam, yaitu: populasi
(banyaknya manusia), habitat (lingkungan), dan kebutuhan (segala
yang dikejar melalui kegiatan hidup). lnteraksi antarketiga unsur
tersebut mendorong berfungsinya struktur tersebut dalam arti
perkampungan, kota, desa, daerah maupun negeri.
Populasi tidak hanya ditandai oleh banyaknya orang saja,
tetapi juga aspek-aspek lain, seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan,
kepercayaan, pendapatan, kelas sosial, keaslian, kelompok teknik
ataupun rasial. Habitat juga tidak selalu dibatasi oleh batas-batas
administratif. Habitat dapat merupakan kompleks alami (seperti
pegunungan, perawaan, persungaian) ataupun kompleks teknis
(seperti jaringan jalan raya, jalan kereta api, dan perpabrikan).
Adapun kebutuhan mencakup semua harta budaya materiil yang
telah diciptakan oleh manusia dalam hidupnya, seperti fasilitas
listrik, air ledeng, gedung sekolah, rumah sakit, pertokoan, dan
tempat rekreasi, sport, dan lainnya.

88 Sosiologi Perkotaan
2. Ekologi Kota
Akhir-akhir ini masalah ekologi menjadi perhatian jika
dikaitkan dengan persoalan lingkungan dan manusia. Ekologi
adalah ilmu yang mempeiajari pengaruh faktor lingkungan terhadap
jasad hidup atau suatu ilmu yang mencoba mempelajari hubungan
antaramakhluk hidup dan lingkungan tempat mereka hidup,
bagaimana kehidupannya, dan mengapa mereka ada di situ.
Makhluk hidup terdiri atas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia,
sedangkan lingkungan adalah sejumlah unsur dan kekuatan di luar
organisme yang memengaruhi kehidupan organisme.
Ekologi berasal dari bahasa Yunani (oikos artinya rumah
atau tempat hidup). Secara harfiah, ekologi adalah pengkajian
hubungan organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap
lingkungannya (Zoer’ani Djamal Irwan, 2005: 19). Prinsip-prinsip
ekologi dapat menerangkan dan mengilhami kita dalam mencari
jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Saat ini manusia
sangat peka dengan masalah lingkungan.
Kaitannya dengan perkotaan, ekologi kota berarti mempelajari
lingkungan perkotaan. Mengapa lingkungan kota dipelajari?
Dalam situasi seperti sekarang dengan tingkat pertumbuhan
kota begitu pesat, maka pola pertumbuhan kota juga terpaksa
mengikuti pertumbuhan yang dipengaruhi oleh sosial, ekonomi,
dan perdagangan yang begitu kuat. Munculnya bangunan-bangunan
fisik mengakibatkan semakin sedikitnya lahan terbuka hijau kota,
dan memberi andil terhadap pemanasan temperatur kota.
Kota sebagai lingkungan hidup buatan dapat dilihat sebagai
hasil dari proses interaksi antarmanusia dan antara manusia dengan
lingkungannya. Saat ini, kota sebagai pusat kegiatan dan konsentrasi
kehidupan manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Pertumbuhan dan perkembangan penduduk menuntut berbagai
sarana dan prasarana untuk mencukupi kebutuhannya. Pembangunan
dapat optimal apabila didukung oleh perencanaan yang memadai.
Salah satu dampak pembangunan terjadi pada sumber daya alam
dan lingkungan. Akibat dampak berupa degradasi lingkungan, yang
apabila dibiarkan akan merusak lingkungan dan selanjutnya akan
menurunkan kualitas lingkungan.

Sosiologi Perkotaan 89
Kota sebagai lingkungan hidup bukan hanya untuk manusia
saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan serta benda fisik
lainnya yang saling terkait serta timbal balik sebagai satu kesatuan
sistem ekologi yang sering disebut ekosistem (Sapari Imam, 1993:
37).
Ekologi kota mempunyai pola tertentu, sesuai dengan tujuan
penduduknya dalam membina atau membangun kota mereka,
seperti ada “kota” di wilayah pantai, kota pegunungan, atau kota
yang berada di dataran rendah. Ada pula kota pelabuhan, kota
perdagangan, atau kota industri serta kota sebagai pusat rekreasi
dan lainnya, tentu mempunyai pola pengaturan tertentu.
Banyaknya fungsi kota tersebut, yang menyebabkan kepadatan
aktivitas manusia, baik dari dalam maupun luar, penataan lingkungan
kota harus mempertimbangkan pula tentang prinsip ekologi.
Oleh karena itu, ekologi kota mempunyai pola tersendiri dengan
mempertimbangkan tujuan pembangunan kota tersebut. Sebab
lambat laun pendirian kota baru akan menjadi sebuah kota besar
yang sangat komplek dengan ragam masalah, maka penataannyapun
disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang ada.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan ekologi kota,
pembangunan perkotaan atau desain perkotaan (urban design) tidak
saja harus memenuhi elemen-elemen fisik yang bersifat ekspresif dan
suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota, tetapi
juga harus mendukung terciptanya citra lingkungan yang kondusif.
Di antara elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tata Guna Lahan


Tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal, yaitu
pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang
akan menciptakan ruang yang manusiawi. Peruntukan lahan suatu
tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang
terkait, cara mengembangkan daerah zona. Shirvany mengatakan
bahwa zoning ordinace merupakan mekanisme pengendalian yang
praktis dan bermanfaat dalam urban design. Penekanan utama
terletak pada masalah tiga dimensi, yaitu hubungan keserasian
antara bangunan dan kualitas lingkungan.

90 Sosiologi Perkotaan
b. Bentuk dan Masa Bangunan
Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik
yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar
bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan,
skala proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan
bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunan
lain di sekitarnya. Prinsip dan teknik urban design yang berkaitan
dengan bentuk dan massa bangunan meliputi:
1) scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi, dan
dimensi bangunan sekitar;
2) urban space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota,
batas dan tipe-tipe ruang;
3) urban mass, meliputi bangunan, permukaan tanah, dan objek
dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban
space dan pola aktivitas dalam skala besar dan kecil.

c. Sirkulasi dan Parkir


Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk
struktur lingkungan perkotaan. Tiga prinsip utama pengaturan
teknik sirkulasi adalah:
1) jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki
dampak visual yang positif;
2) jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi
dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca;
3) sektor publik harus terpadu dan saling bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama.

d. Ruang Terbuka dan Tertutup


Pembagian ruang menurut dasar arsitekstural, yaitu: (1) ruang
terbuka, yaitu ruang yang dibatasi oleh batas-batas semu, seperti
langit atau tajuk pohon yang diibaratkan sebagai atap atau elemen
yang biasanya dilupakan atau ditiadakan, kemudian dinding
pembatas diibaratkan sebagai pagar hidup, perbedaan ketinggian,
batas-batas fungsional lainnya; dan tanah yang kita pijak merupakan

Sosiologi Perkotaan 91
lantai; (2) ruang tertutup, yaitu ruang yang dibatasi oleh batas-batas
nyata dengan batas arsitekstural, seperti atap diwakili oleh plafon
dan bagian-bagian penutup atap, dinding serta lantai, dan (3) ruang
mati, yaitu ruang yang tidak terpakai (useless space).
Secara umum, ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan
terdiri atas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau.
Sedangkan ruang terbuka hijau (RTH) kota meliputi ruang terbuka
hijau makro, ruang terbuka hijau medium, dan ruang terbuka hijau
mikro (Hakim; Utomo, 2008: 14). Ruang Terbuka Hijau (RTH)
perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces)
suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan
vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat
ekologis, sosial-budaya dan arsitekstural yang dapat memberikan
manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang
terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras
(paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan
sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai
genangan retensi
Secara sosial, ruang terbuka hijau (RTH) berfungsi sebagai
sarana rekreasi, berintegrasi sosial, sarana olahraga, dan sebagainya.
Selain itu ruang terbuka hijau (RTH) juga dapat memberi manfaat
ekonomi akibat naiknya citra kota yang ramah lingkungan dan
ruang visual yang indah sehingga kota tersebut memiliki nilai jual
pariwisata.
Ruang terbuka hijau yang terdapat di kota, baik kota besar
maupun kota kecil, merupakan suatu jalur yang teratur, jalur-jalur
hijau yang merangkai suatu jalinan berupa satu kesatuan dalam
wilayah kota disebut jalur hijau. Pada dasarnya, ruang terbuka
hijau adalah ruang yang terdapat dalam lingkup tertentu dengan
bentuk area atau kawasan atau area yang memajang atau jalur
dengan batas-batas tertentu (batas semu maupun batas nyata)
dengan salah satu batas atau seluruh batasnya terdapat tanaman
hijau. Batas ini dapat digambarkan dengan berbagai macam seperti
perkerasan, perbedaan ketinggian, batas area hijau, dan lain-lain.
Ruang terbuka hijau ini bermacam-macam jenisnya, seperti taman,
kawasan konservasi (hutan kota), kawasan hijau pemakaman,
kawasan hijau pemukiman, kawasan hijau perkantoran, kawasan

92 Sosiologi Perkotaan
hijau pekarangan rumah, jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, jalur
hijau tegangan tinggi, jalur hijau kawasan industri, jalur kereta api,
kawasan hijau pertanian, kawasan hijau perkebunan dan lain-lain.
Ruang terbuka memiliki fungsi berikut:
1) menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan,
terutama di pusat kota;
2) menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan
kota (urban scane) terutama di kawasan pusat kota yang
padat;
3) menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktivitas
khusus;
4) melindungi fungsi ekologi kawasan;
5) memberikan bentuk solid foid pada kawasan;
6) sebagai area cadangan untuk penggunaan untuk masa depan
(cadangan area pengembangan).

d. Jalur Pejalan Kaki


Sistem pejalan kaki yang baik adalah:
1) mengurangi kebergantungan dari kendaraan bermotor dalam
areal kota;
2) meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan
skala manusia;
3) lebih mengekspresikan aktivitas PKL mampu menyajikan
kualitas udara.

e. Activity Support
Activity support muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas
ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut
penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-
ruang umum kota. Kegiatan dan ruang umum bersifat saling mengisi
dan melengkapi. Pada dasarnya, activity support adalah: (1) aktivitas
yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of
movement); (2) kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent).

Sosiologi Perkotaan 93
Keberadaan aktivitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya
fungsi-fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan
ruang-ruang umum kota. Semakin dekat dengan pusat kota,
semakin tinggi intensitas dan keberagamannya. Bentuk actifity
support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua
atau lebih pusat kegiatan umum yang ada di kota, misalnya open
space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan
PKL, dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi
kepentingan umum.

f. Simbol dan Tanda


Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk:
1) menciptakan kesesuaian;
2) mengurangi dampak negatif visual;
3) menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda
lalu lintas atau tanda umum yang penting;
4) tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter
pada fasade bangunan dan menghidupkan street space dan
memberikan informasi bisnis;
5) dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada
perlindungan permukiman yang ada dan urban place, sama
seperti tempat atau bangunan sejarah. Hal ini berarti pula
mempertahankan kegiatan yang berlangsung di tempat itu.

g. Ruang Terbuka Hijau


Tingkat kualitas hidup suatu kota, pada dasarnya dapat
ditentukan berdasarkan ketersediaan fasilitas umum yang mudah
dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Artinya semakin lengkap
fasilitas umum yang dapat terjangkau oleh semua penduduk kota,
semakin baik kualitas hidup kolektif penduduk, yaitu kualitas hidup
kota tersebut. Salah satu fasilitas umum perkotaan yang dapat
digunakan sebagai indikator dalam mengetahui kualitas lingkungan
hidup suatu kota adalah ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH).

94 Sosiologi Perkotaan
Kota yang mempunyai kualitas hidup baik adalah kota yang
dapat menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) sesuai dengan
kebutuhan penduduknya, atau minimal sesuai dengan standar
minimum tertentu agar setiap penduduk dapat memanfaatkan
fasilitas tersebut dengan mudah. Menurunnya kuantitas dan
kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa
ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah
mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti
seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara,
dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis
sosial), menurunnya produktivitas masyarakat akibat stres karena
terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk interaksi sosial.
Sebagai subsistem dari sistem keseluruhan kota, ruang terbuka
hijau (RTH) memiliki peran dan fungsi penting bagi kota dan
masyarakatnya, baik ditinjau secara ekologi, sosial maupun ekonomi.
Secara ekologi, ruang terbuka hijau (RTH) memberikan fungsi
dalam pengaturan iklim mikro kota, menyegarkan udara atau
sebagai paru-paru kota ; mengambil CO² dalam proses fotosintesis
dan menghasilkan oksigen (O²) yang sangat diperlukan makluk
hidup untuk bernafas, menurunkan suhu kota dan meningkatkan
kelembaban, sebagai daerah resapan dan tangkapan air, sebagai
ruang hidup satwa, penyangga dan perlindungan permukaan air
dari erosi, menyuburkan tanah, dan lain sebaginya.
Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988
yang dikutip dari Laporan Final Dinas Pertamanan dalam Panduan
Ruang Terbuka Hijau Kota menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau
di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota
yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan
hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan
olah raga, kawasan hijau pemakaman, kawasan hijau pertanian,
kawasan jalur hijau jalan, dan kawasan hijau pekarangan rumah.
Dengan terwujudnya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan,
terbuka peluang terciptanya kawasan hijau yang bersifat alami dengan
vegetasi jenis tanaman yang khas daerah, sehingga menciptakan
tata lingkungan kota yang serasi, nyaman, indah dan mendukung
kehidupan masyarakat kota. Ruang terbuka hijau adalah ruang
terbuka (open space) di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik

Sosiologi Perkotaan 95
dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/
jalur yang pada dasarnya bersifat terbuka (tanpa bangunan) dengan
batas-batas tanaman atau tumbuh-tumbuhan hijau secara alamiah
atau budi daya tanaman, seperti lahan pertanian, pertamanan,
perkebunan, dan sebagainya.
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian penting dari
struktur pembentuk kota. Fungsi utamanya adalah sebagai penunjang
ekologis kota yang juga diperuntukkan sebagai ruang terbuka
penambah dan pendukung nilai kualitas lingkungan dan budaya
suatu kawasan. Keberadaan ruang terbuka hijau kota sangatlah
diperlukan dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan
kualitas lingkungan.
Ruang terbuka hijau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi
intrinsik sebagai penunjang ekologis dan fungsi ekstrinsik, yaitu
fungsi arsitekstural (estetika), fungsi sosial dan ekonomi. Ruang
terbuka hijau dengan fungsi ekologisnya bertujuan menunjang
keberlangsungan fisik suatu kota, yaitu bentuk ruang terbuka hijau
yang berlokasi, berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dalam
suatu wilayah kota. Adapun ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi
lainnya (sosial, ekonomi, arsitekstural) merupakan ruang terbuka
hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan
budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan,
rekreasi, dan pendukung arsitekstur kota.
Dalam amanat UU Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa dalam perencanaan
tata ruangwilayah kota harus ditambahkan rencana penyediaaan
dan pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH). Salah satunya adalah
proporsi ruang terbuka hijau paling sedikit 30 (tiga puluh) persen
dari luas wilayah kota, proporsi ruang terbuka hijau publikpada
wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah
kota.
Molnar (1986) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
ruang terbuka hijau bagi masyarakat perkotaan ada beberapa aspek
utama yang harus dipertimbangkan, yaitu hubungan antarruang
terbuka hijau dengan lingkungan sekitar, ruang terbuka hijau harus
ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang tetap memerhatikan

96 Sosiologi Perkotaan
aspek estetika dan fungsional, mengembangakan pengalaman
substansial dari ruang terbuka hijau (efek dari garis, bentuk, tekstur
dan warna), disesuaikan dengan karakter lahan dan karakter
pengguna, memenuhi semua kebutuhan teknis dan pengawasan
yang mudah.
Melalui penjabaran referensi tentang ruang terbuka hijau
tersebut untuk dapat mewujudkan ruang terbuka hijau di dalam suatu
wilayah perkotaan yang mampu berfungsi secara ekologis, estetis
dan memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi maka dibutuhkan
adanya proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau yang ideal
terhadap wilayah perkotaan, tetapi tetap memerhatikan kebutuhan
masyarakat sebagai pengguna serta kebutuhan kota tersebut.

h. Taman Kota
Isu global warming yang seru berkumandang sekitar tahun
2008-2009 menunjukkan menurunnya kualitas udara di muka
bumi. Untuk mempertahankan ekosistem alami secara seimbang,
di wilayah perkotaan dapat dibangun ruang-ruang terbuka hijau,
seperti taman kota.
Michael Laurie (1994: 9) menyebutkan asal mula pengertian kata
taman (garden) berasal dari bahasa Ibrani gan yang berarti melindungi
atau mempertahankan, hal pemagaran atau lahan berpagar; dan
oden atau eden yang berarti kesenangan atau kegembiraan. Jadi,
dalam bahasa Inggris, kata garden memiliki gabungan dari kedua
kata-kata tersebut yang berarti sebidang lahan yang memiliki batas
yang digunakan untuk kesenangan, kegembiraan, dan kenyamanan.
Dalam konsep Barat, taman kota lebih terarah pada konsep estetika
visual dan keseimbangan ekologi.
Taman diartikan sebagai sebidang tanah terbuka dengan
luasan tertentu di dalamnya ditanami pepohonan, perdu, semak,
dan rerumputan yang dapat dikombinasikan dengan kreasi dari
bahan lainnya. Taman (Landscape) adalah wajah dan karakter atau
tapak bagian muka bumi dengan segala kehidupan dan apa saja
yang ada di dalamnya, baik yang bersifat alami maupun buatan
manusia, yang merupakan bagian atau total lingkungan hidup
manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang,

Sosiologi Perkotaan 97
sejauh segenap indera dapat menangkap, dan sejauh imajinasi dapat
membayangkan.
Taman kota secara tradisioanal merupakan alun-alun dan
taman raja, pamong praja yang terbuka juga untuk umum. Baru
pada zaman modern dengan perancangan tata kota, taman kota
merupakan tempat umum yang dikehendaki masyarakat untuk
beristirahat dekat perumahan dan sebagai pengatur iklim di kampung
(Mulyani, 2006: 97).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/
PRT/M/2008, Ruang Terbuka Hijau (RTH) taman kota adalah taman
untuk melayani penduduk kota atau bagian dari wilayah perkotaan.
Taman kota ini dapat melayani minimal 480.000 penduduk dengan
stándar minimal 144.000 m2. Taman kota ini merupakan lapangan
hijau yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi, dan olahraga dengan
minimal RTH 80%-90%. RTH taman kota dapat dimanfaatkan
penduduk untuk melakukan berbagai kegiatan sosial pada satu kota
atau bagian wilayah kota yang dilengkapi dengan fasilitas olahraga,
taman bermain anak dan balita, fasiltas rekreasi, taman khusus
lansia, taman bunga, semua fasilitas ini terbuka untuk umum.
Dengan demikian, taman kota merupakan suatu bentuk aksi
dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota. Fungsi taman
kota, selain merupakan elemen estetika ruang kota, juga berfungsi
sebagai elemen ekologi kota. Sebagai elemen ekologi kota, taman
kota berfungsi sebagai penjaga dan pengatur iklim mikro (kota).
Vegetasi dalam lahan taman berguna untuk menyerap zat-zat
beracun di udara akibat pembakaran dan asap kendaraan bermotor,
dan menyerapkan air ke dalam tanah, serta sebagai fasilitas sosial
masyarakat.
Fungsi ekologi taman kota inilah yang menjadikan taman kota
sebagai elemen penting dalam keberlanjutan ekosistem perkotaan.
Oleh karena itu, bentuk dan jenis vegetasi yang digunakan sangat
memengaruhi keberadaan taman kota sebagai pengatur iklim mikro
kota. Jadi, tidak sekadar memilih tanaman yang terlihat indah,
tetapi tidak bermanfaat bagi peningkatan kualitas lingkungan
kota. Tanaman atau vegetasi harus bermanfaat bagi penyerapan
bahan-bahan pencemar di udara akibat kegiatan tranportasi kota
(misalnya) dan penyerapan air hujan ke dalam tanah.

98 Sosiologi Perkotaan
Secara keseluruhan, tanaman di dalam taman kota bermanfaat
untuk memperbaiki iklim mikro kota memfasilitasi hubungan timbal
balik antara manusia satu dengan yang lain (interaksi) karena taman
kota merupakan fasilitas umum tempat berkumpulnya masyarakat
kota, untuk saling berinteraksi satu dengan yang lain dan tidak
kalah pentingnya sebagai sarana bermain bagi anak-anak.
Jadi, taman kota adalah suatu lahan yang berisikan tanaman-
tanaman yang bermanfaat bagi ekologi dan estetika perkotaan yang
berguna bagi upaya memberlanjutkan ekosistem perkotaan. Taman
kota merupakan sarana umum yang ditata (didesain) serta dibentuk
untuk dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat kota sebagai sarana
sosial tanpa ada diskriminasi (perbedaan suku, relijius, rasial).

1) Elemen-Elemen Taman Kota


Berdasarkan aktivitasnya taman kota dikategorikan atas
tiga macam, yaitu: taman untuk rekreatif aktif, taman untuk
rekreatif pasif, dan taman untuk rekreatif pasif maupun aktif.
Taman untuk rekreatif aktif adalah taman yang di dalamnya
dibangun kegiatan pemakai taman, sehingga pemakai taman secara
aktif mengunakan fasilitas di dalamnya, sekaligus memperoleh
kesenangan, kesegaran, dan kebugaran. Contohnya adalah taman
olahraga, aerobik, fitness, camping ground, taman bermain anak,
taman jalur jalan, kebun binatang, danau, pemancingan, taman-
taman kota dan sebagainya.
Taman untuk rekreatif pasif adalah taman yang dibentuk
agar dinikmati keindahan dan kerindangannya, tanpa mengadakan
aktivitas apa pun, contohnya: waduk, hutan buatan, penghijauan
tepi kali, jalur hijau, dan sebagainya. Adapun taman untuk rekreatif
pasif dan aktif adalah taman yang bisa dinikmati keindahan sekaligus
dapat digunakan untuk mengadakan aktivitas, contohnya: taman
lingkungan. Taman lingkungan adalah taman yang dibuat dan
merupakan bagian dari suatu permukiman.
Katagori taman umum (public park) menurut skala pelayanan
terdiri atas empat kategori, yaitu taman nasional (national parks),
taman pusat kota (downtown parks), taman lingkungan (neighborhood
parks), taman kecil (mini parks). Penejlasannya adalah sebagai
berikut:

Sosiologi Perkotaan 99
Taman nasional (national parks) adalah taman dengan skala
pelayanan tingkat nasional, lokasinya berada di pusat kota. Bentuknya
berupa zona ruang terbuka yang memiliki peran yang sangat penting
dengan luasan melebihi taman-taman kota yang lain, dan kegiatan
yang dilaksanakan pun berskala nasional. Taman monumen nasional
(Monas) di Jakarta merupakan taman nasional. Di samping sebagai
landmark kota Jakarta, Monas juga dapat sebagai landmark nasional,
terutama tugu monumen yang didukung dengan elemen asesoris kota
lain, seperti air mancur, jalan pedestrian yang diatur dengan pola-
pola menarik, taman dan penghijauan sekitar kawasan tersebut.
Taman pusat kota (downtown parks) adalah taman yang berada
di kawasan pusat kota, berbentuk lapangan hijau yang dikelilingi
pohon-pohon peneduh atau berupa hutan kota dengan pola
tradisional atau dapat pula dengan desain pengembangan baru.
Areal hijau kota yang digunakan untuk kegiatan santai dan berlokasi
di kawasan perkantoran, perdagangan, atau perumahan kota.
Taman Lingkungan (neighborhood parks) adalah ruang terbuka
yang dikembangkan di lingkungan perumahan untuk kegiatan taman,
seperti bermain anak-anak, olahraga dan bersantai bagi masyarakat
di sekitarnya. Taman di kompleks perumahan merupakan taman
lingkungan.
Taman kecil (mini parks) adalah taman kecil yang dikelilingi
oleh bangunan-bangunan, termasuk air mancur yang digunakan
untuk mendukung suasana taman tersebut. Taman-taman di sudut-
sudut lingkungan/setback bangunan merupakan salah satu bentuk
taman kecil. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa elemen
taman kota adalah sebagai berikut.
a) Tanaman, di antaranya: pepohonan, perdu, semak, dan
rerumputan.
b) Tempat bermain, di antaranya bermain anak-anak.
c) Tempat bersantai,`seperti tempat duduk, beristirahat,
bercengkerama.
d) Tempat olahraga, seperti lintasan jogging track.

100 Sosiologi Perkotaan


e) Fasilitas pendukung lainnya, seperti tempat parkir, taman
air mancur, toilet, tempat air minum, dan elemen pendukung
taman kota lainnya (patung, lampu, petanda).

2) Fungsi Taman Kota


Fungsi taman kota sangat besar karena berusaha menciptakan
suatu ruang yang manusiawi bagi penduduk kota. Fungsi dari
taman kota terdiri atas 3 (tiga) yaitu: fungsi sosial, fungsi ekologi,
dan fungsi estetika (Mulyani, 2006: 97-99)
Fungsi sosial dari taman kota adalah tempat melakukan
aktivitas bersama; tempat komunikasi bersama; tempat peralihan
dan menunggu; tempat bermain dan berolahraga; sarana olahraga
dan rekreasi; sarana penghubung antara tempat satu dengan tempat
lainnya; pembatas di antara masa bangunan; sarana penelitian dan
pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk
kesadaran lingkungan hidup; sarana untuk menciptakan kebersihan,
kesehatan, keserasian, dan keindahan kota.
Fungsi ekologis dari taman kota antarlain penyegaran udara,
memengaruhi dan memperbaiki iklim mikro, penyerapan air hujan,
pengendalian banjir dan pengaturan tata air; memelihara ekosistem
tertentu dan perlindungan plasma nutfah; dan pelembut arsitekstur
bangunan.
Fungsi keindahan tanam-taman di perkotaan dengan warna
yang alami dan menarik serta tekstur yang bermacam-macam dan
perencanaan yang teratur akan menampakkan keindahan. Kelebihan
ini menjadikan tanaman sebagai salah satu elemen yang dapat
menunjang keindahan lingkungan. Karena keindahan merupakan
suatu kualitas yang sukar untuk dapat dinilai, diukur, dan ditimbang,
tetapi dapat dirasakan dan merupakan suatu nilai yang unik dari
dan terhadap seorang, suatu lingkungan, atau suatu karya seni.
Fungsi ekologi taman kota meliputi sarana kesehatan,
pengaturan iklim, perlindungan, pengaturan penyediaan air tanah,
dan penyeimpang alam. Sarana kesehatan tanaman sebagai unsur
utama penghijauan dapat mengatur serta membersihkan udara dari
polutan-polutan yang ada diudara seperti karbon dioksida, timah
hitam akibat dari transportasi, asap-asap industri, dan lainnya.

Sosiologi Perkotaan 101


Karena pepohonan dapat mengurangi polusi, menyerap CO2 dan
dalam proses respirasi menghasilkan oksigen yang diperlukan
manusia. Taman kota sangat berguna sekali karena unsur-unsur
taman adalah tanaman, yang dalam fotosintesis akan mengeluarkan
O2. Dengan bantuan sinar matahari, tanaman akan menyerap CO2
yang dihasilkan manusia dalam bernapas, dan tanaman mengasilkan
O2 dari proses fotosintesis yang kemudian oleh manusia melalui
pernafasan.
Pengaturan iklim dari tanaman dalam taman dapat melindungi
manusia dari panas matahari dan tekanan suhu panas serta peneduh.
Kerimbunan tanaman dapat menurunkan suhu setempat dan
menaikkan kelembapan udara. Pohon dan tanaman dalam proses
evapotranspirasi serta fungsinya sebagai penyerap radiasi, memerlukan
panas, sehingga akan menurunkan suhu lingkungannya. Perlindungan
alam taman kota terletak pada kerimbunan tanaman memberikan
perlindungan terhadap panas dan sinar matahari, angin, debu, dan
faktor lainnya.
Hamparan rumput dapat meredam silaunya sinar matahari
dan memantulkan cayaha hijau lembut, memberi keteduhan dan
kesehatan pada mata. Tanaman mempunyai fungsi yang melindungi,
yaitu dedaunan yang berair akan meredam suara, cabang-cabang
yang bergerak dan bergetar mampu
menyerap udara, daun yang lebat menjebak dan menahan
butiran debu, dedaunan sedangkan cabang-cabang dapat menghambat
cahaya matahari langsung, dan dedaunan yang jarang dapat
menyaring cahaya.
Pengaturan penyediaan air tanah dalam taman kota bermanfaat
untuk menyimpan air hujan yang jatuh ke tanah melalui pori-
pori tanah, sehingga pada musim kemarau dapat berfungsi atau
bermanfaat. Adapun pada musim penghujan kemampuan tanah
dapat menyimpan air tanah dan mengurangi bahaya banjir. Air
dalam proses fotosintesis sangat penting, air mengangkut bahan
makanan ke seluruh organ tanaman.
Penyeimbang alam dari taman kota terdapat pada tanaman
dapat memberikan lingkungan bagi makhluk hidup. Akar tanaman
menerobos tanah, menggemburkan tanah, dan memberi lindungan

102 Sosiologi Perkotaan


hidup bagi mikroorganisme. Mikroorganisme ini berguna untuk
menyuburkan tanah dan tanaman hal ini disebut simbiosis. Tanaman
juga memberikan kehidupan lain di atas tanah, sebagai tempat hidup
satwa pohon peneduh di taman kota, tempat hidup satwa burung
atau unggas dan serangga yang membantu keseimbangan alam.

3) Pemanfaatan Taman Kota


Taman pusat kota (city central park) merupakan tempat yang
luas dan besar guna mengurangi suasana kepadatan kota, dan untuk
mengasilkan kesegaran udara kota (paru-paru kota) serta memberi
suasana rural bagi penduduk kota (refreshment ofmind and nerves).
Dengan keberadaan taman pusat kota (city central park) memberi
dorongan untuk rekreasi di ruang terbuka dengan segala musim
bagi penduduk dan pendatang lainnya. Rencana taman umum
(public park) dengan sistem lalu lintasnya memberi pengaruh pada
struktur kota sehingga masyarakat sadar akan suatu kebutuhan
ruang terbuka (Hardi Utomo, 2008: 61).
Taman kota merupakan tempat umum yang dikehendaki
masyarakat untuk beristirahat dekat perumahan, dan sebagai paru-
paru kota bisa memperbaiki kualitas udara, sebagai ruang hidup
flora dan faunasetempat, sehingga memberi manfaat langsung
maupun tidak langsung yaitu: kesenangan, kenyamanan, kesehatan,
keamanan dan kesejahtraan.

4) Ruang Publik
Ruang publik secara singkat merupakan suatu ruang yang
berfungsi untuk kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan
sosial, ekonomi, dan budaya (Darmawan, 2009: 48). Menurutnya,
ruang publik dibagi menjadi beberapa tipe dan karakter, yaitu
taman umum (public parks), lapangan dan plaza (squares and plazas),
peringatan (memorial), pasar (markets), jalan (streets), tempat bermain
(play ground), ruang komunitas (community open space), jalan hijau
dan jalan taman (greenway and parkways), atrium/pasar di dalan
ruang (atrium/indoor market place), ruang lingkungan rumah (found/
neighborhood spaces), dan Water front.

Sosiologi Perkotaan 103


Taman umum (public parks) berupa lapangan/taman di pusat
kota dengan sekala pelayanan yang beragam sesuai dengan fungsinya.
Bentuknya berupa ruang terbuka yang memiliki empat macam tipe:
Taman Nasional (National Parks), Taman Pusat Kota (Downtwon Parks),
Taman Lingkungan (Neightborhood Parks) dan Taman Kecil (Mini
Parks), Tempat bermain (play ground), Ruang komunitas (community
open space), jalan hijau dan jalan taman (greenway and parkways).
Lapangan dan plaza (squares and plazas) merupakan bagian dari
pengembangan sejarah ruang publik kota, alun-alun, atau lapangan,
yang dikembangkan sebagai bagian dari perkantoran atau bangunan
komersial. Lapangan ini dapat dibedakan menjadi Lapangan Pusat
Kota (central square), dan plaza pengikat (corporate plaza).
Peringatan (memorial) ruang publik yang digunakan untuk
memperingati kejadian penting bagi umat manusia atau masyarakat di
tingkat lokal atau nasional. Ruang publik tipe ini biasanya berbentuk
tugu dan bentuk lainnya yang memberi karakter tentang peringatan
suatu kejadian/peristiwa yang mempunyai nilai bersejarah.
Pasar (markets) adalah ruang terbuka atau ruang jalan yang
dipergunakan untuk transaksi biasanya bersifat temporer atau hari
tertentu. Tingkat pelayanan pasar ini ada yang beberapa lingkup,
yaitu tingkat provinsi, kabupaten, kecamanatan, dan tingkat desa/
kelurahan. Jenis pasar melingkupi pasar khusus dan pasar umum.
Masing-masing pasar mempunyai karakteristik berbeda, bergantung
pada budaya setempat. Waktu beraktivitasnya pun bervariasi. Ada
yang buka pasarnya pagi hari, ada yang malam hari.
Jalan (streets) adalah ruang terbuka sebagai prasarana
transportasi. Tipe ini dibedakan menjadi pedestrian sisi jalan
(pedestrian sidewalk), mal pedestrian (pedestrian mall), mal transit
(mall transit), jalur lambat (traffic restricted streets) dan gang kecil
kota (town traill).
Tempat bermain (play ground) adalah ruang publik yang
berfungsi sebagai arena anak-anak yang dilengkapi dengan
sarana permainan, biasanya berlokasi di lingkungan perumahan.
Tipe ini terdiri atas tempat bermain (playground) atau halaman
sekolah (schoolyard). Nuansa tempat permainannya sangat ringan,
menyenangkan dan mendidik. Faktor keamanan dan kenyamanan
harus menjadi perhatian khusus, karena dipakai oleh anak-anak.

104 Sosiologi Perkotaan


Ruang komunitas (community open space) adalah ruang kosong
di lingkungan perumahan yang didesain dan dikembangkan serta
dikelola sendiri oleh masyarakat setempat. Ruang komunitas ini
berupa taman masyarakat (community garden). Ruang ini dilengkapi
fasilitas penataan taman termasuk gardu pemandangan, areal
bermain, tempat-tempat duduk, dan fasilitas estetika lain. Ruang
ini dikembangkan di tanah milik pribadi atau tanah tidak bertuan
yang tidak pernah dirawat.
Jalan hijau dan jalan taman (greenway and parkways) merupakan
jalan pedestrian yang mengubungkan antaratempat rekreasi dan
ruang terbuka, yang dipenuhi taman dan penghijauan. Pedestrian
pada jalur ini harus memberi keramahan dan keamanan.
Atrium/pasar di dalan ruang (atrium/indoor market place).
Tipe ini dibedakan menjadi dua, yaitu atrium dan pasar/pusat
perbelanjaan di pusat kota (market place/downtown shopping centre).
Pasar tipe ini cukup besar, dan ramai dengan jenis dagangan lebih
bervariasi dan kapasitas lebih banyak. Pasar ini terdapat di kota-
kota besar yang memiliki atrium.
Ruang lingkungan rumah (found/neighborhood spaces). Ruang
publik ini merupakan ruang terbuka yang mudah dicapai dari rumah,
seperti sisa kavling di sudut jalan atau tanah kosong yang belum
dimanfaatkan dapat dipakai sebagai tempat bermain bagi anak-anak
atau tempat komunikasi bagi orang dewasa atau orangtua.
Terakhir, water front. Ruang ini berupa pelabuhan, pantai,
bantaran sungai, bantaran danau, atau dermaga. Ruang terbuka ini
berada di sepanjang rute aliran air di dalam kota yang dikembangkan
sebagai taman untuk water front. Orientasi dari ruang publik
ini memanfaatkan pemandangan (view) sungai, pantai, danau,
atau dermaga. Karakternya sangat bergantung pada potensi
kawasan tersebut, dengan memamfaatkan potensinya semaksimal
mungkin.

5) Fungsi Taman Kota sebagai Ruang Publik


Taman kota sebagai ruang publik memaksimalkan fungsi sosial
dan estetika dari lahan terbuka hijau di antara bangunan yang berisi
tumbuhan, tanaman, dan vegetasi sebagai sarana kegiatan rekreasi,

Sosiologi Perkotaan 105


edukasi, atau kegiatan lain pada tingkat kota yang diperuntukan
untuk umum untuk kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya, serta
bisa diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum.
Selain itu, taman kota sebagai ruang publik memiliki empat
fungsi, yaitu: fungsi sosial, fungsi ekologi, fungsi estetika, dan
fungsi ekonomi. Salah satu fungsi taman kota adalah nilai estetis.
Nilai estetis dari taman diperoleh dari bentuk fisik tanaman, tekstur
tanaman, skala tanaman dan komposisi tanamam. Taman kota sebagai
ruang terbuka mempunyai beberapa fungsi sosial. Fungsi sosial
pada taman tersebut pada akhirnya mengundang kerumunan orang
untuk berdatangan yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti aktivitas pedagang kaki
lima (PKL).

106 Sosiologi Perkotaan


BAB 4
TATA RUANG KOTA
“Kota adalah salah satu ungkapan
kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks.”

A. Pengantar
Proses perubahan yang terjadi menjadikan kota sebagai tempat
tinggal, tempat kegiatan ekonomi (bidang jasa, perdagangan,
industri), serta tempat pusat pemerintahan (administrasi). Untuk
itu, diperlukan tata kota yang merupakan perwujudan alamiah
dari suatu permukiman perkotaan yang terus-menerus berkembang
pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk terus
bertambah dan diiringi karateristik dan persoalan yang berbeda serta
spesifik, yaitu dari persoalan kesempatan lapangan kerja, penyediaan
permukiman atau tempat tinggal, prasarana dan sarana transportasi
atau ekonomi perkotaan hingga pelestarian lingkungan.
Tujuan utama penyelenggaraan penataan ruang berkelanjutan
adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat sehingga dalam
proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Oleh
karena itu, peran serta masyarakat dengan kearifan lokalnya perlu
diberikan tools dan mekanisme yang jelas agar bisa berinteraksi
dalam penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini karena setiap

Sosiologi Perkotaan 107


langkah dalam suatu pembangunan, memerlukan rencana yang
matang agar menguntungkan di segala aspek dan berkelanjutan.
Dan setiap merencanakan suatu kota atau wilayah ditujukan untuk
menyejahterakan masyarakat, menyamankan masyarakat untuk
tinggal dan berkegiatan di kota, serta agar kota atau wilayah tersebut
berkelanjutan. Apa itu berkelanjutan? Kota yang berkelanjutan atau
sustainable city adalah kota yang dapat ditinggali dan dimanfaatkan
sumber daya nya oleh masyarakat hingga turun-temurun. Ini menjadi
bagian tanggung jawab para pelaku dan pemangku pemerintah
kita.

B. Kota yang Depresi: Problem Tata Ruang Kota


Dari waktu ke waktu, perkembangan kota begitu cepat, tetapi
hal ini tidak dibarengi oleh pola tata ruang yang tepat. Akibatnya,
timbul berbagai masalah, seperti degradasi lingkungan, kesumpekan,
kemacetan, krisis sosial, kerusuhan, kriminalitas merebak di mana-
mana, terutama di kota-kota besar, metropolis, dan megapolis.
Muncullah istilah “hyper-cities” yang juga disebut “macrocephaly”atau
kota dengan kepala yang membesar, dengan jumlah penduduk
lebih dari 15 juta jiwa, yang sangat tidak sehat. Fenomena “sick city,
sick people, sick world”, muncul karena kota telah menjadi sumber
ketegangan dan stress (baca: depresi), sebagai sumber penyakit
dalam pembangunan nasional.
Warga kota sangat terbebani dan menderita kesengsaraan
akibat “existential anxieties”, “employment worries”, dan “information
overload”, Kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok, kecemburuan
sosial, rasa tidak berdaya dan tertekan, sampai batas toleransi,
menyebabkan ledakan ketidakpuasan. Perusakan, pembakaran,
penjarahan, perkosaan merupakan sebentuk ekspresi perlawanan dari
kaum yang tersingkir dan tersungkur dalam proses pembangunan
kota. Meskipun ada juga dugaan karena permainan politik yang
kotor.
Apabila kecenderungan semacam ini berlangsung terus,
kematian manusia di dalam kota akan segera menjadi kematian kota
itu sendiri. Pada sisi lain, perkembangan kota tidak dapat dihambat,
karena kota merupakan “the single most complex product of the human

108 Sosiologi Perkotaan


mind”. Kota diibaratkan bagaikan jasad hidup yang akan selalu
tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan masalahnya,
atau sejalan dengan penanggulangan kendalanya.
Mencegah manusia untuk tidak lagi berbondong-bondong
menyerbu kota, merupakan tindakan sia-sia. Mereka memiliki
insting yang kuat dan tekad yang membara untuk meningkatkan
taraf hidupnya. Oleh karena itu, yang penting adalah bagaimana
mengelola kota dengan penataan ruang kota yang lebih adil dan
demokratis.
Kenyataan menunjukkan bahwa lebih dari 80% rencana kota
yang telah disusun, ternyata tidak terlaksana sebagaimana yang
direncanakan. Kesenjangan yang lebar antaraidealisme, harapan,
teori dan rencana tata ruang kota dengan pragmatise, kenyataan,
praktik dan implementasinya, merupakan masalah utama dalam
tata ruang kota. Penyebab pokok dari masalah yang diungkap di
atas, antara lain adalah kurangnya peran serta aktif dari masyarakat
luas dalam proses pembangunan kota.
Dalam penyusunan tata ruang kota, sering terlupakan bahwa
antarawarga dengan kotanya adalah ibarat siput dengan cangkangnya.
Istilah city dan citizen menunjukkan betapa erat keterkaitan antara
keduanya. Karena tata ruang kota dibuat secara deterministik, tidak
pelak lagi terciptalah rencana yang serba seragam. Keberagaman
manusia yang terabaikan menghasilkan lingkungan binaan yang
cenderung tinggal rupa.
Para pengelola pembangunan kota cenderung lebih men-
dambakan terciptanya kota yang indah, dengan memanfaatkan
teknologi tinggi dan perangkat keras yang kontemporer. Padahal,
mereka harus lebih mementingkan terciptanya kota yang demokratis,
manusiawi, dengan ada sentuhan rasa yang penuh kepekaan. Dalam
era reformasi ini, tata ruang kota mesti dipikirkan sebagai titik
masuk untuk pembangunan bangsa yang beradab. Sudah saatnya
kita semua melihat kota tidak sekadar sebagai “economic and business
battleground” atau sebagai ajang bagi “everyday war”, melainkan
memperlakukannya sebagai wadah dan wahana perkembangan
peradaban dan kebudayaan manusia.

Sosiologi Perkotaan 109


C. Pengertian Perencanaan, Ruang dan Tata Ruang
Pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 tahun 2007,
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ruang adalah wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya.
Tata ruang adalah wujud dari struktur ruang dan pola ruang.
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana ang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya (Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007).
Rencana tata ruang adalah rekayasa atau metode pengaturan
perkembangan tata ruang di kemudian hari. Rencana tersebut
berdimensi tiga, dan berdimensi empat jika unsur waktu dipandang
sebagai dimensi keempat. Rencana tata ruang disebut berorientasi
pada kecenderungan karena memerhatikan kecenderungan
perkembangan pada waktu yang lalu, masa kini, dan waktu yang
akan datang (Kamus Tata Ruang, 1998: 91). Penataan ruang adalah
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
Definisi lain, tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya land
use adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara
nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW)
tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota (RT/RWK). Sedangkan Pemahaman tentang “tata ruang” dalam
arti luas mencakup keterkaitan dan keserasian tata guna lahan,
tata guna air, tata guna udara serta alokasi sumber daya melalui
koordinasi dan upaya penyelesaian konflik antarkepentingan yang
berbeda (Eko Budihardjo, 1997: 68).

110 Sosiologi Perkotaan


D. Perencanaan Tata Ruang (Spatial Planning)
Tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua
pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah
perencanaan. Bentuk tata ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi
letak, luas, dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan)
yang direncanakan dapat dicapai pada akhir periode rencana. Selain
bentuk tersebut, tata ruang juga dapat berupa suatu prosedur belaka
(tanpa menunjuk alokasi letak, luas, dan atribut lain) yang harus
dipenuhi oleh para pelaku pengguna ruang di wilayah rencana.
Adapun perencanaan tata ruang merupakan bagian dari
proses penataan ruang. Apa itu penataan ruang? Penataan ruang
adalah sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara perencanaan
tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang
dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana
tata ruang (Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang).
Definisi lain, mengenai perencanaan tata ruang (spatial planning)
dimaknai beragam. Salah satu definisi awal perencanaan tata ruang
diambil dari European Regional/Spatial Planning Charter (disebut
juga Torremolinos Charter), yang diadopsi oleh Konferensi Menteri
Eropa yang bertanggung jawab atas Regional Planning (CEMAT),
bahwa perencanaan tata ruang memberikan ekspresi geografis
terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis.
Perencanaan tata ruang juga merupakan sebuah ilmu ilmiah, teknik
administrasi, dan kebijakan, yang dikembangkan sebagai pendekatan
lengkap dan antar-ilmu, yang mengarah pada sebuah keteraturan
ruang (European Regional/Spatial Planning Charter: 1983).
Definisi lain bahwa perencanaan tata ruang dirancang untuk
menyatukan kebijakan pembangunan dan penggunaan lahan dengan
kebijakan dan program lain yang memengaruhi. Perencanaan tata
ruang lebih dari sekadar perencanaan guna lahan tradisional.
Perencanaan tata ruang memasilitasi dan mempromosi keberlanjutan
dan keinklusifan pola pembangunan kota dan desa. Tidak hanya
perspektif teknik yang sempit, perencanaan tata ruang melibatkan
semua lapisan masyarakat dengan pertimbangan semua orang
berperan di tiap lokasi tempat tinggal, kerja dan lingkungannya.

Sosiologi Perkotaan 111


Oleh karena itu, dalam tata ruang tercakup distribusi tindakan
manusia dan kegiatannya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang
dirumuskan sebelumnya. Konsep tata ruang menurut Foley dalam
Kartasasmita (1996: 427), tidak hanya menyangkut suatu wawasan
yang disebut sebagai wawasan spasial, tetapi menyangkut pula
aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi
pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola
sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton dan Porteous
dalam Kartasasmita, 1996: 427).
Langkah awal penataan ruang adalah penyusunan rencana tata
ruang. Rencana tata ruang diperlukan untuk mewujudkan tata ruang
yang memungkinkan semua kepentingan manusia dapat terpenuhi
secara optimal. Oleh sebab itu, rencana tata ruang merupakan bagian
yang penting dalam proses pembangunan, bahkan merupakan
persyaratan untuk dilaksanakannya pembangunan, baik bagi daerah-
daerah yang tinggi intensitas kegiatannya maupun daerah-daerah
yang baru mulai tumbuh dan berkembang.
Oleh karena itu, ada beberapa usulan atau rekomendasi untuk
peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengelolaan
lingkungan hidup pada masa mendatang agar dapat berkelanjutan,
yaitu sebagai berikut.
1. Agar pengelolaan dan tata ruang kota tidak lagi sekadar dilihat
sebagai management of growth atau management of changes,
melainkan lebih sebagai management of conflicts.
2. Mekanisme development control yang ketat agar ditegakkan,
lengkap dengan sanksi (dis-insentif) buat yang melanggar dan
bonus (insentif) bagi mereka yang taat pada peraturan.
3. Penataan ruang kota secara total, menyeluruh, dan terpadu
dengan model-model participatory planning dan over the board
planning atau perencanaan lintas sektoral sudah dilakukan
secara konsekuen dan berkesinambungan.
4. Kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan profesional,
khususnya di bidang tata ruang kota dan lingkungan hidup
seyogianya lebih ditingkatkan melalui forum-forum, baik
secara formal maupun informal.

112 Sosiologi Perkotaan


5. Dalam setiap perencanaan tata ruang kota dan pengelolaan
lingkungan hidup agar lebih diperhatikan kekayaan khasanah
lingkungan alam.
6. Peran serta penduduk dan kemitraan dengan pihak swasta
agar lebih digalakkan.
7. Prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan pada
kepentingan rakyat agar dijabarkan dalam rencana dan
tindakan nyata.

Perencanaan tata ruang dapat memengaruhi proses pem-


bangunan melalui tiga alat utama, yaitu sebagai berikut (Cadman
dan Crowe, 1991: 143).
1. Rencana pembangunan, yang menyediakan pengendalian
keputusan melalui keputusan strategis dimana pemerintah
mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan
dan perubahan lingkungan.
2. Kontrol pembangunan, yang menyediakan mekanisme
administratif bagi perencana untuk mewujudkan rencana
pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol
pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang
dan investor.
3. Promosi pembangunan merupakan cara yang paling mudah
mengetahui interaksi antaraperencanaan tata ruang dengan
proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan, dengan
adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya
pembangunan dan investasi di daerahnya dengan cara
mempromosikan dan memasarkan lokasi, membuat lahan yang
siap bangun, dan menyediakan bantuan dana serta subsidi.

Pola pikir secara terpadu dalam penataan kota tidak saja


diperlukan, dalam pengertian komprehensif terhadap unsur-unsur
pembangunan kota, tetapi juga mengandung pengertian terhadap
pendekatan sistem yang tidak terpisahkan antaraperencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian (development cycle) dalam setiap tahap
penataan kota. Artinya pada tahap perencanaan, harus dipikirkan
tentang cara mencapai rencana yang disusun (pemanfaatan), sekaligus

Sosiologi Perkotaan 113


konsisten terhadap rencana yang dirumuskan (pengendalian).
Sebaliknya, pada tahap pengendalian, harus dilihat izin pelaksanaan
pembangunan (pemanfaatan) yang mengacu pada rencana yang
dibuat (Pasaribu dan Suprapto, 2004: 9).
Selain itu, rencana tata ruang hendaknya (Kiprah, 2001: 22)
memenuhi unsur-unsur berikut.
1. Quickly yielding, mampu menganalisis pertumbuhan dan
perkembangan daerah, menghasilkan langkah-langkah serta
tahapan-tahapan dan waktu pelaksanaan pembangunan untuk
kurun waktu tertentu.
2. Political friendly, demokratisasi dan transparansi sudah menjadi
kebutuhan dalam seluruh rangkaian proses penyusunannya.
Pengetahuan rencana tata ruang mulai dari rembug desa
hingga penetapan oleh DPRD sangat menentukan kewibawaan
rencana tata ruang.
3. User friendly, mudah dimengerti oleh segenap lapisan
masyarakat. Sosialisasi perlu dilakukan terus-menerus, sehingga
masyarakat mudah memahami rencana dan perkembangan
yang terjadi.
4. Market friendly, membuka peluang kepentingan dunia usaha dan
rencana penanaman investasi dengan memerhatikan rencana
tata guna tanah yang sesuai dengan peruntukannya.
5. Legal friendly, mempunyai kepastian hukum dan masyarakat
dapat memperoleh kemudahan-kemudahan untuk melakukan
investasinya.

Dengan demikian, dapat dirangkum beberapa hal penting,


berkaitan perencanaan tata ruang terkait (a) upaya mengalokasikan
beragam kegiatan dalam ruang, (b) upaya kompromi terhadap
berbagai sudut padang pemanfaatan ruang atau ‘mekanisme
mediasi ruang’, (3) alokasi ruang dipengaruhi oleh berbagai aspek,
yaitu fisik, lingkungan, politik, sosial dan ekonomi, (5) melibatkan
masyarakat dalam prosesnya, (6) dilaksanakan pada berbagai
tingkatan pemerintahan.

114 Sosiologi Perkotaan


E. Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Menurut Undang-Undang 24 tahun 1992, penataan ruang
berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Berdasarkan aspek administratif meliputi ruang
wilayah Nasional, wilayah Provinsi, dan wilayah Kabupaten/Kota.
Sedangkan berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi
kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Rencana tata ruang diperlukan mulai dari tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten sampai ke tingkat kawasan, sesuai dengan
kebutuhannya. Pada tingkat nasional, ada RT/RW Nasional yang
merupakan penjabaran secara keruangan arah pembangunan
nasional jangka panjang dan merupakan acuan dalam penyusunan
program-program pembangunan nasional jangka menengah dan
jangka pendek. RT/RW Provinsi merupakan penjabaran strategi
dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke
dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
Adapun RT/RW Kabupaten/Kota, merupakan penjabaran RT/
RW provinsi ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah kabupaten/kota. Selanjutnya pada kawasan-kawasan
di bawah wilayah kabupaten/kota serta kawasan-kawasan yang
diprioritaskan pembangunannya, diperlukan Rencana Umum Tata
Ruang Kawasan Perkotaan, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan
Perkotaan, Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan atau Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan.
Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan disusun
berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam
Pedoman Bidang Penataan Ruang. Perencanaan tata ruang kawasan
perkotaan, secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan
merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta
pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk
mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan.
Penanganan penataan ruang kawasan perkotaan yang merupakan
bagian dari Daerah Kabupaten, diakomodasikan perencanaannya
dalam RT/RW Kabupaten yang bersifat umum.

Sosiologi Perkotaan 115


Rencana tata ruang kawasan perkotaan dengan jenis ke
dalaman rencana umum adalah kebijakan yang menetapkan lokasi
dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta
diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan.
Fungsi rencana tata ruang wilayah kota/rencana umum tata ruang
kawasan perkotaan adalah: (1) menjaga konsistensi perkembangan
kota/kawasan perkotaan dengan strategi perkotaan nasional dan
arahan rencana tata ruang wilayah provinsi dalam jangka panjang;
(2) menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah
sekitarnya; (3) menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral
dan daerah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam hierarki perencanaan
tata ruangnya dibagi menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota yang mencakup ruang darat, ruang udara,
ruang laut, dan termasuk ruang dalam bumi. Berikut ini dijelaskan
tabel hierarki perencanaan tata ruang:

Tabel 3
Hierarki Perencanaan Tata Ruang

Sumber: Ditjen Penataan Ruang , Kementerian PU, 2011

Adapun penjelasan tiap-tiap Rencana Tata Ruang Wilayah,


adalah sebagai berikut.

116 Sosiologi Perkotaan


1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional
P e n yu s u n a n R en can a T a ta R u a n g Wi l ay a h N as i o n a l
memerhatikan:
1. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
2. Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil
pengkajian implikasi penataan ruang nasional.
3. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta
stabilitas ekonomi.
4. Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan
daerah.
5. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
6. Rencana pembangunan jangka panjang nasional.
7. Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
8. Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:


1. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
nasional.
2. Rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem
perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan
dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
utama.
3. Rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan
lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai
strategis nasional.
4. Penetapan kawasan strategis nasional.
5. Arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program
utama jangka menengah lima tahunan; dan
6. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional
yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional,

Sosiologi Perkotaan 117


arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman


untuk:
1. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
nasional.
2. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
nasional.
3. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah nasional.
4. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian
antarsektor.
5. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
6. Penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
7. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah


20 (dua puluh) tahun.

2. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi


Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu
pada:
1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
2. Pedoman bidang penataan ruang; dan
3. Rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus


memerhatikan:
1. Perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian
implikasi penataan ruang provinsi.

118 Sosiologi Perkotaan


2. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
provinsi.
3. Keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan
kabupaten/kota.
4. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
5. Rencana pembangunan jangka panjang daerah.
6. Rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan.
7. Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
8. Rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:


1. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
provinsi.
2. Rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem
perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan
perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana wilayah provinsi.
3. Rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis
provinsi.
4. Penetapan kawasan strategis provinsi.
5. Arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;
dan
6. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi,
arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.

Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman


untuk:
1. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Sosiologi Perkotaan 119


2. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
daerah.
3. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
dalam wilayah provinsi.
4. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian
antarsektor;
5. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
6. Penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
7. Penataan ruang wilayah kabupaten/kota

Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah


20 (dua puluh) tahun.

3. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten


Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu
pada:
1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang
wilayah provinsi.
2. Pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
dan
3. Rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus


memerhatikan:
1. Perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian
implikasi penataan ruang kabupaten.
2. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
kabupaten.
3. Keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten.
4. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
5. Rencana pembangunan jangka panjang daerah.

120 Sosiologi Perkotaan


6. Rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan;
dan
7. Rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten.

Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat:


1. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah
kabupaten.
2. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi
sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan
kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah
kabupaten.
3. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan
perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi.

Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman


untuk:
1. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah.
2. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
daerah.
3. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah kabupaten.
4. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
antarsektor.
5. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
6. Penataan ruang kawasan strategis kabupaten.

Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk


penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi
pertanahan. Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten
adalah 20 (dua puluh) tahun.

Sosiologi Perkotaan 121


4. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten berlaku
untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan
ditambahkan:
1. Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijauterdiri
atas ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit
30 (tiga puluh) persen dar luas wilayah kota.Proporsi ruang
terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua
puluh) persen dari luas wilayah kota.
2. Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau;
dan
3. Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana
jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor
informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan
sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.

Peran dan Fungsi Perencanaan Tata Ruang


Ada beragam peran dari perencanaan tata ruang, yaitu:
1. menghasilkan kondisi pencapaian kualitas kehidupan dan
penghidupan yang lebih baik;
2. memenuhi tujuan efisiensi dan demokrasi melalui partisipasi
masyarakat;
3. memenuhi tantangan pembangunan berkelanjutan.

Di Indonesia, Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai produk


perencanaan tata ruang mempunyai fungsi berikut.
1. Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD).
2. Acuan dalam pemanfaatan atau pengembangan wilayah.

122 Sosiologi Perkotaan


3. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam
wilayah.
4. Acuan lokasi investasi dalam wilayah yang dilakukan
pemerintah, masyarakat dan swasta.
5. Pedoman penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah.
6. Dasar pengendalian pemanfaatan ruang yang meliputi
penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif, pengenaan sanksi.
7. Acuan dalam administrasi pertanahan.

Tujuan dan Sasaran Perencanaan Tata Ruang


Tujuan Perencanaan Tata Ruang
Secara umum, tujuan perencanaan tata ruang adalah:
1. Menggapai visi masa depan dari sebuah wilayah atau lokasi
berdasar kondisi saat ini, kearifan lokal, dan keinginan
masyarakat;
2. Menerjemahkan visi menjadi seperangkat kebijakan, prioritas,
program dan alokasi lahan dengan memanfaatkan sumber
daya sektor publik untuk mewujudkannya;
3. Menciptakan kerangka kerja investasi swasta yang meningkatkan
perekonomian, lingkungan, dan kesejahteraan sosial dari
suatu daerah. Sedikit berbeda, tentunya disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing, tujuan perencanaan tata ruang
di negara Eropa yang terutama dikaitkan dengan upaya
meningkatkan kualitas hidup yang berkelanjutan, yaitu
(a) meningkatkan sistem kepemerintahan yang demokratis
dan bermakna yang menjawab kebutuhan masyarakat; (b)
memperbaiki kinerja lingkungan perkotaan; (c) memasilitasi
kohesi soisal dan keamanan; (d) meningkatkan reformasi pasar
perumahan dan perkotaan; (e) memperbaiki pasar lahan dan
real estate dan menjamin hak privat terhadap kepemilikan
tanah (UNECE, 2008).

Sosiologi Perkotaan 123


Adapun tujuan penataan ruang menurut Undang-undang
Nomor 26 tahun 2007 adalah mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
1. Terwujudnya keharmonisan antaralingkungan alam dan
lingkungan buatan,
2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya
alam dan sumber daya buatan dengan memerhatikan sumber
daya manusia; dan
3. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang. Lebih rinci, tujuan perencanaan tata ruang wilayah
provinsi adalah mewujudkan ruang wilayah provinsi yang
mengakomodasikan keterkaitan antarkawasan/kabupaten/
kota untuk mewujudkan perekonomian dan lingkungan yang
berkelanjutan.

Sasaran Perencanaan Tata Ruang


Sasaran utama perencanaan tata ruang adalah memastikan
pemanfaatan sumber daya lahan direncanakan dan diimplementasikan
secara baik untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan.
Secara implisit, pemanfaatan sumber daya lahan ini berkelanjutan
dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
Sasaran perencanaan tata ruang wilayah provinsi adalah:
1. Terkendalinya pembangunan di wilayah provinsi baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat;
2. Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan
budidaya;
3. Tersusunnya arahan pengembangan sistem pusat-pusat
permukiman perkotaan dan perdesaan;
4. Tersusunnya arahan pengembangan sistem prasarana wilayah
provinsi;
5. Terkoordinasinya pembangunan antarwilayah dan antarsektor
pembangunan

124 Sosiologi Perkotaan


F. Pengembangan Wilayah
Konsep tata ruang berkaitan dengan pengembangan wilayah
suatu daerah. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan
wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang
mewarnai keberadaannya. Pertama, Walter Isard sebagai pelopor
Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat
dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yaitu faktor
fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua, Hirschmann (era 1950-an)
yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect
dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi
secara bersamaan (unbalanced development).
Ketiga Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan
hubungan antarawilayah maju dan wilayah belakangnya dengan
menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat, Friedmann
(era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hierarki
guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang
kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Keenam,
adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model
keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages) dalam pengembangan
wilayah.
Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah
di atas diperkaya oleh gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran
cemerlang putra-putra bangsa di antaranya adalah Sutami (era
1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang
intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam
akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi
(era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hierarki kota-
kota dan hierarki prasarana jalan melalui Orde Kota.
Selanjutnya, Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memerkenalkan
konsep pola dan struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama
bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode
1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan
(SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sistem kota-kota nasional
yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam
perjalanannya, SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep
Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai

Sosiologi Perkotaan 125


upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan
peran kota yang diarahkan dalam SNPP.
Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan
untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI,
antarkawasan dalam wilayah pulau maupun antara kawasan
perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad
milennium, bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah
sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah
yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat
kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan
ruang yang terdiri atas tiga proses utama, yaitu:
1. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan
rencana tata ruang wilayah (RT/RW). Di samping sebagai
“guidance of future actions” RT/RW pada dasarnya merupakan
bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/
makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi,
selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/
makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability).
2. P r os e s p e m an f a at a n r u an g , y an g m e r u p ak a n w u j u d
operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan
pembangunan itu sendiri,
3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas
mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan
pembangunan agar tetap sesuai dengan RT/RW dan tujuan
penataan ruang wilayahnya.

Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama


ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Kajian
aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktivitas masyarakat
suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumber daya alam yang
dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih
menunjukkan arah kegiatan sektoral atau lokasi kegiatan sektoral
tersebut.

126 Sosiologi Perkotaan


Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial
tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah perkotaan
yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang
sesuai daya dukung, memberi kesempatan kepada sektor untuk
berkembang tanpa konflik, dan meningkatkan kesejahteraan secara
merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan
wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.
Kaitan dengan perihal tersebut, ada tiga kelompok konsep
pengembangan wilayah, yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep
integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi. Konsep
pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi
secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/
kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan
wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses
tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di
Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam
RT/RWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi
yang diciptakan secara sengaja di antara berbagai pusat pertumbuhan
karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan
suatu kota atau wilayah sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota
atau wilayah yang lain. Adapun konsep desentralisasi dimaksudkan
untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana
dan sumber daya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan.
Dari kondisi ini, muncullah beberapa konsep untuk menanggapi
kelemahan tersebut, tersebut antara lain people center approach yang
menekankan pembangunan sumber daya manusia, natural resources-
based development yang menekankan sumber daya alam sebagai
modal pembangunan, serta technology based development yang melihat
teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah.
Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang
berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antarwilayah, tren perdagangan
global yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing,
kemajuan teknologi yang telah mengubah dunia menjadi lebih
dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan,

Sosiologi Perkotaan 127


seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya
kreativitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam
pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah
tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola
pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang
dijelaskan di atas.
Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di
wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar
pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif
berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal
dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tidak tahan
terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif
tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor
produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak
pada faktor tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula
diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan
inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar
Pengembangan Wilayah, keunggulan komparatif telah dikalahkan
oleh kemajuan teknologi. Sekalipun demikian, setiap wilayah masih
mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada
biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yaitu adanya
inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan
daya saing melalui empat hal, yaitu keunggulan faktor produksi,
keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya
investasi.
Apabila dicermati, paradigma pengembangan wilayah telah
bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar, yaitu sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar
tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait
dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen
tersebut mencerminkan kinerja dari wilayah yang berbeda dengan
kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi
spesifik wilayah.

128 Sosiologi Perkotaan


Dengan demikian, terjadi persaingan antarwilayah untuk
menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara
nasional. Akan tetapi, pendekatan ini mempunyai kelemahan,
antara lain apabila salah mengelola spatial network, tidak mustahil
menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan
konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan
pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto
ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan
antarwilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada
wilayah perkotaan yang kurang berkembang.

G. Penyusunan Tata Ruang Kota


Kebijaksanaan penataan wilayah dalam pola tata ruang
terdiri atas rencana Umum, rencana detail dan rencana Teknik tata
ruang Kota. Untuk memahami itu semua, dapat dijelaskan sebagai
berikut.

1. Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)


Rencana Umum Tata Ruang Kota atau disingkat menjadi RUTRK
adalah rencana pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk menjaga
keserasian pembangunan antarsektor dalam rangka penyusunan
program–program pembangunan kota. RUTRK mempunyai wilayah
perencanaan yang terikat pada batas wilayah administrasi kota,
merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan ruang kota.
Rencana ini merupakan rencana struktur dan strategi
pengembangan kota, ditetapkan guna menjamin konsistensi
perkembangan kota secara internal, serta sebagai dasar bagi
penyusunan program pembangunan kota lintas sektoral dan
daerah dalam jangka panjang. RUTRK memuat rumusan tentang
kebijaksanaan pengembangan kota, rencana pemanfaatan ruang
kota, rencana struktur utama tingkat pelayanan kota, rencana sistem
utama transportasi, jaringan utilitas kota, rencana pemanfaatan
air baku, indikasi unit pelayanan kota dan rencana pengelolaan
pembangunan kota. RUTRK dilengkapi peta skala 1: 10.000 untuk
kota yang berpenduduk kurang dari 1.000.000 jiwa, dan skala 1:
20.000 untuk kota yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 jiwa.

Sosiologi Perkotaan 129


2. Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)
Rencana Detail Tata Ruang Kota atau disingkat RDTRK
adalah rencana pemanfaatan ruang kota secara terperinci yang
disusun untuk penyiapan perwujudan ruang kota dalam rangka
pelaksanaan proyek pembangunan kota. RDTRK mempunyai wilayah
perencanaan mencakup sebagian atau seluruh wilayah administrasi
kota yang dapat merupakan satu atau beberapa kawasan tertentu,
memuat rumusan kebijaksanaan pemanfaatan ruang kota, disusun
dan ditetapkan untuk menyiapkan perwujudan ruang bagian
wilayah kota dalam rangka pelaksanaan program dan pengendalian
pembangunan kota, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat dalam jangka panjang maupun menengah.
RDTRK berisikan rumusan kebijaksanaan pengembangan
penduduk, rencana pemanfaatan ruang bagian wilayah kota,
rencana struktur tingkat pelayanan bagian wilayah kota, rencana
sistem jaringan fungsi jalan bagian wilayah kota, rencana kepadatan
bangunan lingkungan, rencana ketinggian bangunan, rencana garis
sempadan, rencana indikasi unit pelayanan bagian wilayah kota dan
rencana tahapan pelaksanaan pembangunan bagian wilayah kota.
RDTRK dilengkapi peta-peta rencana dengan skala 1: 5.000 dengan
penggambaran geometrik yang dibantu dengan titik-titik kendali.
Menurut Sinulingga (1999: 141), RDTRK dapat dimanfaatkan
untuk pengendalian pemanfaatan ruang kota yang berkaitan dengan
izin membangun. Sebelum seseorang atau badan usaha memakai Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), seseorang harus memperoleh advis
planning ataupun KSB (Keterangan Situasi Bangunan) dari Dinas
Tata Kota, yang memuat keteraangan tentang peruntukan lahan
dari lokasi yang dimohon, lebar jalan yang terdapat pada lokasi,
dan garis sempadan bangunan depan, kiri dan kanan.

3. Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK)


Rencana Teknik Ruang Kota atau disingkat RTRK adalah
rencana geometris pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk
penyiapan perwujudan ruang kota dalam rangka pelaksanaan proyek
pembangunan kota. RTRK mempunyai wilayah perencanaan yang
mencakup sebagian atau seluruh kawasan tertentu yang terdiri atas

130 Sosiologi Perkotaan


satu atau beberapa unit lingkungan perencanaan, berisi rumusan
rencana tapak pemanfaatan ruang kota, rencana prakonstruksi
bangunan gedung, rencana prakonstruksi bukan bangunan gedung
dan ruang terbuka beserta rencana indikasi proyek-proyek.
RTRK dilengkapi dengan gambar rencana pada peta-peta
rencana dengan skala sama atau lebih besar dari 1: 1.000. Tugas dan
tanggung jawab perencanaan dan pelaksanaan RUTRK, RDTRK,
dan RTRK merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Tugas dan
tanggung jawab perencanaan kota meliputi kegiatan penelitian,
penyusunan, penetapan rencana dan peninjauan kembali rencana
kota. Tugas dan tanggung jawab pelaksanaan rencana tata ruang
kota meliputi pelaksanaan pembangunan kota, pengendalian tata
ruang.
Pelaksanaan kegiatan perencanaan dan pelaksanaan rencana tata
ruang kota tersebut di atas diselenggarakan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Dalam pelaksanaannya dituntut
koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan berbagai instansi yang
terkait serta diwajibkan memerhatikan aspirasi masyarakat.
Berkenaan dengan penataan ruang kota, Menteri Dalam
Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun
1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Rencana Kota
adalah rencana pembangunan kota yang disiapkan secara teknis
dan nonteknis, baik yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah yang merupakan rumusan kebijaksanaan
pemanfaatan muka bumi wilayah kota termasuk ruang di atas dan
di bawahnya serta pedoman pengarahan dan pengendalian bagi
pelaksanaan pembangunan kota.

H. Kawasan Perkotaan dan Pedesaan


Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang kegiatan
utamanya bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan
perkotaan yang besar dengan jumlah penduduk di atas satu juta orang
dan berdekatan dengan kota satelit disebut sebagai metropolitan.

Sosiologi Perkotaan 131


Kawasan perkotaan dibedakan atas:
1. kawasan perkotaan yang berstatus administratif daerah
kota;
2. kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah
kabupaten;
3. kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan
yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan
perkotaan;
4. kawasan perkotaan yang mempunyai bagian dari dua atau
lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial,
ekonomi dan fisik perkotaan.

Kawasan perdesaan (rural) adalah wilayah yang mempunyai


kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya
alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi. Ciri kawasan pedesaan adalah:
1. kepadatan penduduk rendah;
2. kegiatan di pedesaan didominasi oleh kegiatan pertanian
tanaman keras, tanaman tumpang sari, peternakan sapi,
kambing, unggas, kolam ikan;
3. masih banyak ditemukan hewan liar seperti burung, tikus,
tupai, ular dan sebagainya;
4. penduduk terkonsentrasi dalam bentuk kluster yang disebut
desa;
5. hubungan sosial masyarakat masih sangat akrab dan saling
bantu.

I. Kawasan Budi Daya Perkotaan


Dalam tata ruang kota, beberapa kawasan yang ada di wilayah
perkotaan dibagi dalam beberapa zona berikut:
1. perumahan dan permukiman;
2. perdagangan dan jasa;

132 Sosiologi Perkotaan


3. industri;
4. pelayanan umum (pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi
dan olah raga, perkantoran, dan transportasi/terminal);
5. wisata dan taman rekreasi;
6. pertanian dan perkebunan;
7. tempat pemakaman umum;
8. tempat pembuangan sampah.

Pola pengembangan atau pembudidayaan kawasan atau zona


di atas sebagai berikut.

1. Perumahan dan Permukiman


Dari hasil kajian terhadap ketersediaan lahan efektif yang layak
untuk pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman,
tidak semua wilayah kota memiliki kemampuan dan daya dukung
lahan yang baik, karena ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai
bahan kajian penentuan kelayakan lahan tersebut, yaitu:
a. tidak berada pada kawasan yang rawan terhadap bahaya
terjadinya bencana, seperti gunung berapi, tanah longsor,
gempa, dan banjir;
b. memiliki kemiringan lereng (slope) yang relatif datar atau tidak
berada pada daerah yang curam dan terjal;
c. bukan merupakan kawasan yang dilindungi atau dikonservasi,
seperti kawasan hutan, cagar alam dan budaya, kawasan DAS,
kawasan sekitar mata air, dan sebagainya.

2. Perdagangan dan Jasa


Rencana pola pemanfaatan dan pengembangan kawasan
perdagangan dan jasa di wilayah kota adalah sebagai berikut.
a. Pengaturan dan penataan pasar serta sarana perdagangan
lainnya.
b. Revitalisasi pasar beriman yang terpadu dengan pengembangan
kawasan pusat pelayanan primer lainnya.

Sosiologi Perkotaan 133


c. Relokasi pasar lingkungan kelurahan/kecamatan dan sekitarnya
yang dipandang tidak sesuai lagi dengan tata ruang kota serta
penambahan sarana pasar baru pada daerah-daerah yang
dianggap layak untuk dikembangkan.
d. Pemerataan fasilitas perdagangan.
e. Penetapan lokasi PKL.

3. Industri dan Pergudangan


Rencana pola pemanfaatan dan pengembangan industri dan
pergudangan di kota adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan industri kecil dengan dukungan sarana dan
prasarana lingkungan.
b. Pengarahan pengembangan industri berwawasan lingkung-
an.
c. Pengarahan pergudangan disekitar jalan lingkar.

4. Pelayanan Umum
a. Pendidikan
Rencana pengembangan dan pola pemanfaatan fasilitas
pendidikan di kota adalah sebagai berikut.
1) Pembatasan dan pengendalian pembangunan dan pengembangan
fasilitas pendidikan di kawasan yang rawan terhadap bahaya
terjadinya bencana.
2) Pengembangan sarana dan prasarana pendukung pendidikan
di seluruh wilayah kota, khususnya pada kawasan yang
direncanakan un tuk di kemban gkan sebagai kawasan
pengembangan baru.

b. Kesehatan
Rencana pengembangan dan pola pemanfaatan fasilitas
kesehatan di kota adalah sebagai berikut.
1) Pengembangan fasilitas kesehatan baru di wilayah lain.

134 Sosiologi Perkotaan


2) Pengembangan sarana pengolah limbah pada tiap rumah sakit
dan sarana kesehatan lainnya yang dinilai menimbulkan limbah
yang berbahaya bagi terjadinya degradasi lingkungan.
3) Merelokasi sarana-sarana kesehatan yang sudah tidak layak
lagi karena berada pada kawasan yang padat aktivitas serta
berada dalam lingkungan perumahan yang padat.

c. Peribadatan
Pada dasarnya, pengembangan sarana peribadatan dilakukan
secara merata di seluruh wilayah kota sebagai upaya untuk
menciptakan kemudahan dan pelayanan yang maksimal dari sarana
peribadatan tersebut tanpa ada yang merasa keberatan.

d. Rekreasi dan Olahraga


Rencana pola pemanfaatan ruang dan pengembangan sarana
rekreasi dan olahraga disesuaikan dengan rencana pengembangan
struktur tata ruang kota seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Hal mendasar yang harus diperhatikan adalah pelayanan yang
optimal dan efektif ke seluruh lapisan masyarakat Kota tanpa
terkecuali, termasuk penyediaan lapangan-lapangan olahraga dan
tempat bermain anak (rekreasi) pada unit-unit lingkungan kecil.

e. Perkantoran
Rencana pola pemanfaatan ruang dan pengembangan
perkantoran dipusatkan pada kawasan pengembangan baru dengan
mengoptimalkan penggunaan lahan. Akan tetapi, pada beberapa
bangunan perkantoran yang sudah ada dan dinilai memiliki
kelayakan untuk tetap dipertahankan dilakukan perbaikan dan
peningkatan mutu serta kualitas bangunan.

f. Transportasi
1) terminal
2) trayek angkutan umum dan lintasan
3) parkir

Sosiologi Perkotaan 135


4) taman pekuburan
5) Tempat Pembuangan Sampah Akhir(TPA).
3. Pariwisata

Untuk memaksimalisasi seluruh potensi pariwisata yang ada


yang memungkinkan wisatawan melakukan eksplorasi ke setiap
objek wisata.

4. Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan


a. Pertanian
1) Kawasan pertanian lahan basah
2) Kawasan pertanian lahan kering

b. Perkebunan/Tanaman Tahunan
Pengembangan tanaman tahunan/perkebunan bertujuan
untuk:
1) Meningkatkan produktivitas tanaman tahunan per perkebunan
yang berkelanjutan tanpa mengabaikan aspek pelestarian
sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2) Meningkatkan produksi perkebunan.
3) Meningkatkan sumber devisa negara.
4) Meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumber daya
alam.
5) Meningkatkan pendapatan masyarakat.
6) Meningkatkan peluang ekspor.
7) Menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kesempatan
berusaha bagi masyarakat pedesaan.

136 Sosiologi Perkotaan


BAB 5
STRUKTUR PEMERINTAHAN KOTA
“Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan seseorang
untuk memengaruhi orang lain, agar mau melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki
oleh pemimpin secara sukarela.”

A. Pengantar
Dibentuknya suatu pemerintahan, pada hakikatnya bertujuan
memberikan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan kemampuan
dan kreativitasnya untuk tujuan bersama. Pemerintah merupakan
manifestasi dari kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemerintah harus
memerhatikan kepentingan rakyat dan melaksanakan fungsi rakyat
melalui proses dan mekanisme pemerintahan.
Pemerintah memiliki peran untuk melaksanakan fungsi
pelayanan dan pengaturan warga negara. Untuk mengimplementasikan
fungsi tersebut, pemerintah melakukan aktivitas pelayanan,
pengaturan, pembinaan, koordinasi dan pembangunan dalam
berbagai bidang. Layanan itu disediakan pada berbagai lembaga
atau institusi pemerintah dengan aparat sebagai pemberi layanan
secara langsung kepada masyarakat.

Sosiologi Perkotaan 137


Pemerintah dan masyarakat memiliki hubungan, yaitu
ketika ada masyarakat di sana ada pemerintah yang diperlukan
masyarakat. Hubungan ini lebih didasarkan pada interaksi antarayang
menyediakan atau memberikan produk dengan yang membutuhkan
atau menerima produk. Pemerintah adalah semua badan yang
memproduksi, mendistribusi, atau menjual alat pemenuh kebutuhan
rakyat, sedangkan masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan,
menerima dan menggunakan produk dari pemerintah.
Lebih-lebih, saat ini bahwa sistem penyelenggara pemerintahan
dibingkai dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Diterbitkannya UU No. 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi
UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah
membawa pergeseran paradigma pemerintahan dari sebagai
pusat kekuasan (sentralistik) menuju negara dekat dengan rakyat
(desentralistik). Tata kelola pemerintahan tidak lagi berorientasi
pada aspek pemerintahan (government), tetapi beralih pada aspek
tata pemerintahan (governance). Di sinilah peran strategis birokrasi
pemerintah dalam mewujudkan good governance yang merupakan
conditio sine qua non bagi keberhasilan pembangunan.

B. Problem: Good Governance sebuah Keharusan


Citra pemerintahan buruk yang ditandai dengan saratnya
tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah melahirkan
sebuah fase sejarah politik bangsa Indonesia dengan semangat
reformasi. Salah satu isu reformasi yang diwacanakan adalah good
governance. Istilah good governance secara berangsur menjadi populer,
baik di kalangan pemerintahan, swasta, maupun masyarakat secara
umum. Di Indonesia, istilah ini secara umum diterjemahkan dengan
pemerintahan yang baik, meskipun beberapa kalangan konsisten
menggunakan istilah aslinya karena memandang luasnya dimensi
governance yang tidak bisa direduksi hanya menjadi pemerintah.
Istilah good governance pertama kali dipopulerkan oleh lembaga
dana internasional seperti World Bank, UNDP, dan IMF dalam rangka
menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan
kepada negara-negara sasaran bantuan. Pada dasarnya, badan-badan
internasional ini berpandangan bahwa setiap bantuan internasional

138 Sosiologi Perkotaan


untuk pembangunan di negara-negara dunia, terutama negara
berkembang, tidak akan berhasil tanpa adanya good governance di
negara sasaran tersebut. Oleh karena itu, good governance kemudian
menjadi isu sentral dalam hubungan lembaga-lembaga multilateral
tersebut dengan negara sasaran. (Wood dalam Saiful Mujani,
2001).
Wacana good governance mendapatkan relevansinya di Indonesia
dalam pandangan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI, 2002)
paling tidak dengan tiga sebab utama; Pertama, krisis ekonomi dan
politik yang masih terus-menerus dan belum ada tanda-tanda akan
segera berakhir; Kedua, masih banyaknya korupsi dan berbagai
bentuk penyimpangan dalam penyelenggaraan negara. Ketiga,
kebijakan otonomi daerah yang merupakan harapan besar bagi
proses demokratisasi dan sekaligus kekhawatiran akan kegagalan
program tersebut. Alasan lain adalah belum optimalnya pelayanan
birokrasi pemerintahan dan juga sektor swasta dalam memenuhi
kebutuhan dan kepentingan publik.
Meskipun istilah good governance sering disebut dalam berbagai
kesempatan, istilah tersebut dimaknai secara berlainan. Pada
satu sisi ada yang memaknai good governance sebagai kinerja
suatu lembaga, misalnya kinerja suatu pemerintahan, perusahaan
atau organisasi kemasyarakatan. Menurut MM. Billah, istilah ini
merujuk pada arti asli, kata governing yang berarti mengarahkan
atau mengendalikan atau memengaruhi masalah publik dalam satu
negeri. Oleh karena itu, good governance dapat diartikan sebagai
tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang
bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi masalah
publik untuk mewujudkan nilai-nilai dalam tindakan dan kehidupan
keseharian.
Dengan demikian, ranah good governance tidak terbatas
pada negara atau birokrasi pemeritahan, tetapi juga pada ranah
masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh organisasi non-
pemerintah (ornop), seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM)
dan sektor swasta. Singkatnya, tuntutan terhadap good governance
tidak selayaknya ditujukan hanya pada penyelenggara negara atau
pemerintahan, melainkan juga pada masyarakat di luar struktur
birokrasi pemerintahan yang secara berrsemangat menuntut

Sosiologi Perkotaan 139


penyelenggaraan good governance pada negara (MM. Billah, 1996:
40).
Pada sisi lain, good governance sebagai penerjemahan kongkrit
dari demokrasi. Tegasnya, menurut Taylor, good governance adalah
pemerintahan demokratis seperti yang dipraktikkan dalam negara-
negara demokrasi maju di Eropa Barat dan Amerika (Saiful Mujani,
2001). Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap
sebagai sistem pemerintahan yang baik karena paling merefleksikan
sifat-sifat good governance yang secara normatif dituntut kehadirannya
bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan dunia. Ia merupakan
alternatif dari sistem pemerintahan lain, seperti totalitarinisme
komunis atau otoritarianisme militer yang sempat populer di negara-
negara dunia ketiga pada masa perang dingin.
Pada dasarnya, konsep good governance memberikan rekomendasi
pada sistem pemerintahan yang menekankan kesetaraan antara
lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, sektor swasta,
dan masyarakat madani (civil society). Good governance berdasar
pandangan ini berarti kesepakatan menyangkut pengaturan negara
yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani
(civil society), dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup
keseseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga
yang di dalamnya warga dan kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban
dan menjembatani perbedaan di antara mereka.
S an tos a men j el a ska n ba hw a gov e r nan c e s e bag ai m an a
didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan
administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan
kewenangan tersebut bisa dikatakan baik (good atau sound) jika
dilakukan dengan efektif dan efisien, responsif terhadap kebutuhan
rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel, serta transparan (Mas
Ahmad Santosa, 2001: 86).
Sesuai dengan pengertian di atas, pemerintahan yang baik
adalah pemerintahan yang baik dalam ukuran proses maupun
hasil-hasilnya, semua unsur dalam pemerintahan bergerak secara
sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat
dan lepas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat
proses lajunya pembangunan. Pemerintahan juga dikatakan baik

140 Sosiologi Perkotaan


jika pembangunan dapat dilakukan menggunakan biaya yang
sangat minimal menuju cita kesejahteraan dan kemakmuran
sebagai basis model dari pemerintahan. Pemerintahan juga dapat
dikatakan baik, jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan
indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat baik dalam aspek
produktivitas maupun daya belinya, kesejahteraan spiritualitasnya
terus meningkat dengan indikasi rasa aman, tenang, dan bahagia serta
sense of nationality yang baik. Indikator itu diukur dengan paradigma
pemerataan, sehingga kesenjangan itu secara dini terus diperkecil.
Proses pelaksana pembangunan sebagai wujud pelaksanaan amanat
pemerintahan juga harus dilakukan dengan penuh transparan serta
didukung dengan manajemen yang akuntabel.
Good governance sebagai paradigma dapat terwujud apabila
ketiga pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik, yaitu
negara, sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society). Negara
dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola
pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Sektor
swasta sebagai pengelola sumber daya di luar negara dan birokrasi
pemerintahan pun harus memberikan kontribusi dalam usaha
pengelolaan sumber daya tersebut. Penerapan citra good governance
pada akhirnya mensyaratkan keterlibatan organisasi kemasyarakatan
sebagai kekuatan penyeimbang negara.

C. Pengertian Pemerintahan Daerah


Dasar dibentuknya penyelenggara pemerintah daerah adalah
UUD Tahun 1945 Pasal 18 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Negara
Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur Undang-Undang. Kemudian, Pasal 18 ayat (5) UUD
Tahun 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah daerah merupakan
daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan
seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan
pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.
Pembentukan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di atas, menjadi dasar

Sosiologi Perkotaan 141


dari berbagai produk undang-undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang mengatur mengenai pemerintah daerah.
Siswanto Sunarno (2008: 54) menjelaskan Undang-Undang tersebut
antara lain: Undang-undang Nomor 1 tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1948, Undang-undang Nomor 1 tahun 1957,
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965, Undang-undang Nomor 5
tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, dan terakhir
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.
Tujuan pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana pendidikan
politik ditingkat lokal.
Definisi pemerintah daerah dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah pasal 1 ayat 2 adalah sebagai berikut.
1. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Jadi penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah
daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi, yaitu
terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi.
Untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota,
yaitu terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau kota dan
DPRD kabupaten atau kota.

Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang


disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut
gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah
wali kota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten
disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil wali kota.
Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan
kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban
untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan

142 Sosiologi Perkotaan


pertanggung jawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten
dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata
cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antaraprovinsi
dan kabupaten dan kota, diatur oleh undang-undang dengan
memerhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Sosiologi Perkotaan 143


Dengan demikian, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
1. Pemerintahan Daerah Provinsi terdiri atas Pemerintah Daerah
Provinsi dan DPRD Provinsi.
2. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kotaterdiri atas Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota.

D. Pembagian Urusan Pemerintahan: Pusat dan Daerah


Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyeleng-
garakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi
urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat, sebagaimana diatur dalam PP RI No. 38 tahun
2007 Bab II tentang Urusan Pemerintahan pasal 2 ayat 2 meliputi:
1. Politik luar negeri;
2. Pertahanan;
3. Keamanan;
4. Yustisi;
5. Moneter dan fiskal nasional; dan
6. Agama.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan


kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memer-
hatikan keserasian hubungan antarsusunan pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan
wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi
16 buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan

144 Sosiologi Perkotaan


berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah kabupaten atau daerah kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten atau kota meliputi 16 buah urusan. Urusan
pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan
pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya
dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan
kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor
38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota disebutkan pada Bab 2 Urusan Pemerintah
Pasal 2 ayat 4 ada 31 urusan pemerintah, yaitu:
1. Pendidikan;
2. Kesehatan;
3. Pekerjaan umum;
4. Perumahan;
5. Penataan ruang;

Sosiologi Perkotaan 145


6. Perencanaan pembangunan;
7. Perhubungan;
8. Lingkungan hidup;
9. Pertanahan;
10. Kependudukan dan catatan sipil;
11. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
12. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13. Sosial;
14. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
15. Koperasi dan usaha kecil dan menengah;
16. Penanaman modal;
17. Kebudayaan dan pariwisata;
18. Kepemudaan dan olah raga;
19. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
21. Pemberdayaan masyarakat dan desa;
22. Statistik;
23. Kearsipan;
24. Perpustakaan;
25. Komunikasi dan informatika;
26. Pertanian dan ketahanan pangan;
27. Kehutanan;
28. Energi dan sumber daya mineral;
29. Kelautan dan perikanan;
30. Perdagangan dan perindustrian
31. Perindustrian.

146 Sosiologi Perkotaan


E. Penyelenggara Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan adalah presiden dibantu oleh
wakil presiden, dan menteri negara. Penyelenggara pemerintahan
daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan
daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD
provinsi. Untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota
terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau kota dan DPRD
kabupaten atau kota.
Dalam menyelenggarakan pemeri ntahan, pemerintah
pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan
dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/
kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai
hak dan kewajiban yang diwujudkan dalam bentuk rencana kerja
pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan,
belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem
pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut
dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil,
patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

Sosiologi Perkotaan 147


Kepala Daerah
Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang
disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut
gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota adalah
walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten
disebut wakil bupati, dan untuk kota disebut wakil walikota.
Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang,
dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan keterangan
pertanggung jawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan,
dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang
kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan
pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.
Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana
dimaksud, gubernur bertanggung jawab kepada presiden. Untuk
lebih jelasnya lihat dalam bagan berikut ini:

148 Sosiologi Perkotaan


Perangkat Daerah
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu
organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani.
Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan
pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Besaran
organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan
faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas
yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan
banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah
dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan
urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang
tugas. Oleh karena itu, kebutuhan organisasi perangkat daerah bagi
masing-masing daerah tidak selalu sama atau seragam.
Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah,
sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah,
sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan,
dan kelurahan. Susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan
dalam Perda dengan memerhatikan faktor-faktor tertentu dan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah. Sekretaris
daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu kepala daerah
dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan
lembaga teknis daerah. Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris
DPRD. Sekretaris DPRD mempunyai tugas:
1. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD;
2. menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD;
3. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan
4. menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan
oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah.

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.


Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah
melalui Sekretaris Daerah. Lembaga teknis daerah merupakan unsur

Sosiologi Perkotaan 149


pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor,
atau rumah sakit umum daerah. Kepala badan, kantor, atau rumah
sakit umum daerah tersebut bertanggung jawab kepada kepala
daerah melalui sekretaris daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda
berpedoman pada peraturan pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh
camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian
urusan otonomi daerah. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan
dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan
dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh
pelimpahan dari Bupati/Walikota. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam bagan berikut ini:

DPRD
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
DPRD mempunyai tugas dan wewenang. DPRD mempunyai hak:
(1) interpelasi; (2) angket; dan (3) menyatakan pendapat.

150 Sosiologi Perkotaan


Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (1) pimpinan; (2) komisi;
(3) panitia musyawarah; (4) panitia anggaran; (5) badan kehormatan;
dan (6) alat kelengkapan lain yang diperlukan. Anggota DPRD
mempunyai hak dan kewajiban dan juga mempunyai larangan
dan dapat diganti antarwaktu. Ketentuan tentang DPRD sepanjang
tidak diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah
berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan
hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan.
Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga
pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar,
artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat
kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan
bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah
sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing
sehingga antarkedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja
yang sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun
pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut .

Sosiologi Perkotaan 151


Pilkada
1. Pengertian Pemilukada
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip
demokrasi di daerah, karena di sinilah wujud bahwa rakyat sebagai
pemegang kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Ini
mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur
pemerintahan negara berada di tangan rakyat.
Melalui Pemilukada, rakyat dapat memilih pemimpin dan
wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya
menentukan arah masa depan sebuah negara. Pemilukada menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang “Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (1)
dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya
disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang diusulkan
oleh partai Politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi
persyaratan.
Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi,
pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus
harapan bagi pertumbuhan, pendalaman, dan perluasan demokrasi
lokal yaitu sebagai berikut.
1. Sistem demokrasi langsung melalui pemilukada langsung akan
membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam
proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di
tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang
lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruitmen
politik di tangansegelintir orang di DPRD (oligarkis).

152 Sosiologi Perkotaan


2. Dari sisi kompetensi politik. Pemilukada langsung
memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi
kandidat-kandidat berkompetensi dalam ruang yang lebih
terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam
demokrasi perwakilan. Pemilukada langsung bisa memberikan
sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam
demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetensi
yang tidak fair, seperti; praktik politik uang (money politics).
3. Sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi
warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih
baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan
elite politik seperti yang kasat mata muncul dalam sistem
demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi
langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan
untuk memperoleh semacam pendidikan politik, training
kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang
setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
4. Pemilukada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan
figur pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate.
Karena, melalui pemilukada langsung, kepala daerah yang
terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan
pada segelintir elite di DPRD. Dengan demikian, Pemilukada
mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan
kualitas tanggung jawab pemerintah daerah pada warganya
yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan
masyarakat.
5. Kepala daerah yang terpilih melalui pemilukada langsung
akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan
terbangun perimbangan kekuatan (check and balance) di daerah
antarakepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan
ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti
yang muncul dalam format politik yang monolitik.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, dalam pasal 56 sampai


dengan pasal 119 berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat. Beberapa hal yang perlu

Sosiologi Perkotaan 153


diperhatikan dalam rangka mempersiapkan pemilihan Kepala
Daerah secara langsung adalah sebagai berikut.
1. Mekanisme dan prosedur pemilihan. Mekanisme ini meliputi
seluruh tahapan pemilihan mulai penjaringan bakal calon,
pencalonan dan pemilihannya. Keterlibatan lembaga legislatif
dan masyarakat dalam setiap tahapan tersebut diatur jelas dan
tegas.
2. Peranan DPRD dalam pemilihan Kepala Daerah. Dominasi
peranan DPRD dalam Pemilukada seperti saat ini, tentu saja
akan mengalami degradasi. Peranan DPRD tidak mengurangi
fungsinya sebagai lembaga legislatif di daerah.
3. Mekanisme pertanggung jawaban Kepala Daerah. Perubahan
sistem pemilihan Kepala Daerah akan memengaruhi mekanisme
pertanggung jawaban kepala daerah.
4. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD. Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung akan berpotensi menimbulkan resistensi
terhadap hubungan antaraKepala Daerah dan DPRD.
5. Hubungan pelaksana pemilihan Kepala Daerah dengan
pemilihan Presiden, anggota DPR, DPRD dan DPD. Dalam
satu tahun, di suatu Kabupaten/Kota, mungkin terjadi tiga
kali pemilihan, yaitu Pemilu (presiden, DPR, DPRD), pemilihan
Gubernur dan Pemilihan Bupati/Walikota.

2. Pelaksanaan Pemilukada
Proses pelaksanaan Pemilukada diatur dalam Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya
pada pasal 65 dan 66, dimana dalam pasal 65 ayat (4) dikemukakan
bahwa “masa persiapan Pemilukada diatur oleh KPUD dengan
berpedoman pada Peraturan Daerah. Pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan
tahap pelaksanaan. Pelaksanaan dalam tahap tersebut meliputi
beberapa tahapan, yakni;
1. Penetapan daftar pemilih;
2. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala
daerah;

154 Sosiologi Perkotaan


3. Kampanye;
4. Pemungutan suara;
5. Penghitungan suara; dan
6. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah
terpilih, pengesahan, dan pelantikan.

3. Penetapan dan Pengumuman Dafar Pemilih Tetap


Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah daftar masyarakat yang telah
memiliki hak untuk memilih dan telah tercatat sebagai calon pemilih
dalam pesta demokrasi pada suatu daerah. Hal ini diatur dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 tahun 2010 tentang
“Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”
Pasal 3 menyebutkan bahwa “Warga Negara Republik Indonesia
yang pada hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah genap berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau lebih dan/atau sudah/pernah kawin mempunyai hak
memilih”. Dimana pemilih seperti juga tercantum pada pasal 4 ayat
(2) harus memenuhi syarat:
a. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
b. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
dan
c. Berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang
dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau dokumen
kependudukan dari instansi yang berwenang.

Pemutakhiran data pemilih diatur dalam pasal 8 ayat (1) yang


menyebutkan “KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota paling
lama 6 (enam) bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara
memberitahukan kepada Pemerintah Daerah untuk menyampaikan
data kependudukan kepada KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/
Kota yang akan digunakan dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil

Sosiologi Perkotaan 155


Kepala Daerah terperinci untuk tiap desa/kelurahan atau sebutan
nama lainnya.

F. Peraturan Daerah
1. Pengertian Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah merupakan bagian dari produk kebijakan
yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan
otonomi daerah, ada dua produk hukum yang dapat dibuat
oleh suatu daerah, yang salah satunya adalah Peraturan Daerah.
Kewenangan membuat peraturan daerah (Perda) merupakan wujud
nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah
dan sebaliknya, peraturan daerah merupakan salah satu sarana
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda ditetapkan oleh
Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, untuk
penyelenggaraan otonomi yang dimiliki oleh provinsi/kabupaten/
kota, serta tugas pembantuan.
Ada dua pengertian mengenai Peraturan Daerah, yaitu
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota. Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan menyatakan
bahwa Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk olehDewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 8, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/
Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Sementara itu
menurut Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Perda adalah Perda Provinsi dan/
atau Perda Kabupaten/Kota. Perda merupakan produk hukum
dari Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, yaitu melaksanakan hak dan wewenang untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan
memerhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda yang dibuat

156 Sosiologi Perkotaan


oleh satu daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan
baru mempunyai kekuatanmengikat setelah diundangkan dengan
dimuat dalam lembaran daerah(Rozali Abdullah, 2005: 131-132).
Perda merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Pembentukan suatu perda harus berdasarkan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, perda yang baik
itu adalah yang memuat ketentuan, antara lain:
a. memihak kepada rakyat banyak;
b. menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. berwawasan lingkungan dan budaya.

Tujuan utama perda adalah mewujudkan kemandirian daerah


dan memberdayakan masyarakat. Dalam proses pembuatan suatu
perda, masyarakat berhak memberikan masukan, baik secara lisan
maupun tertulis. Keterlibatan masyarakat sebaiknya dimulai dari
proses penyiapan sampai pada waktu pembahasan rancangan perda.
Penggunaan hak masyarakat dalam pelaksanaannya diatur dalam
peraturan tata tertib DPRD (Rozali Abdullah, 2005: 133).
Kewenangan membuat peraturan daerah merupakan wujud
nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan
sebaliknya, peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam
penyelenggaraan otonomi daerah (Rozali Abdulloh, 2005: 131).
Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat
persetujuan dari DPRD. Pembentukan suatu peraturan daerah harus
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
pada umumnya yang terdiri atas kejelasan tujuan, kelembagaan
atau organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antarajenis dan
materi yang muatan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan
rumusan dan keterbukaan.
Suatu peraturan daerah yang baik harus mengandung asas
pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kesamaan
kedudukan hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian
hukum dan keseimbangan dalam proses pembentukan suatu
peraturan daerah, masyarakat berhak memberikan masukan,
baik secara lisan, atau secara tertulis. Keterlibatan masyarakat ini

Sosiologi Perkotaan 157


dimulai dari proses penyiapan sampai pada waktu pembahasan
rencana peraturan daerah. Proses penetapan suatu peraturan daerah
dilakukan dengan penetapan sebagai berikut.
a. Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui oleh DPRD
kepada Bupati, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada
Bupati untuk ditetapkan sebagai peraturan daerah.
b. Penyampaian rancangan peraturan daerah oleh pimpinan
DPRD kepada Bupati, dilakukan dalam jangka waktu paling
lama tujuh hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama
diberikan.
c. Rancangan peraturan daerah ditetapkan Bupati paling
lambat tigapuluh hari sejak rancangan tersebut mendapat
persetujuanbersama. Peraturan daerah yang sudah ditetapkan
atau dinyatakan sah disampaikan kepada pemerintah pusat
selambat-lambatnya tujuh hari setelah ditetapkan. Apabila
peraturan daerah tersebut ternyata bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan umum dapat dibatalkan oleh
pemerintah pusat.

Misalnya suatu pemerintahan kota, dalam usaha meningkatkan


citra kotanya sebagai kota bersih, indah, tertib, nyaman serta
menjamin hak masyarakat dalam berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan tetap melindungi kepentingan
masyarakat, Pemerintah Daerah Kota tersebut perlu menata dan
memberdayakan masalah kota, seperti pedagang kaki lima yang
melakukan usahanya di kota tersebut. Untuk mencapai maksud
di atas perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
D en g an de mi ki an , P er a tu r a n Da er a h y an g d i be n t uk
Pemerintah Daerah Kota tersebut, yaitu dalam rangka Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima dimaksudkan untuk mengatur
dan menata pedagang kaki lima agar keberadaan pedagang kaki
lima mampu menunjang pertumbuhan perekonomian daerah dengan
tetap mewujudkan dan memelihara lingkungan yang bersih, indah,
tertib, aman, dan nyaman. Ruang lingkup peraturan daerah adalah
kebijakan pemerintah daerah dalam rangka penataan, pemberdayaan,
pengawasan dan penertiban pedagang kaki lima di luar lingkungan

158 Sosiologi Perkotaan


pasar dan terminal. Tujuan dibentuknya peraturan daerah ini adalah
dalam rangka perlindungan hukum kepada pedagang kaki lima,
pemberdayaan pedagang kaki lima, menjaga ketertiban umum,
kebersihan dan keindahan lingkungan.

2. Kedudukan dan Fungsi Peraturan Daerah


Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat ini Peraturan Daerah
mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan
landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal
18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah,2011: 8).
Berdasarkan ketentuan di atas, Pasal 18 ayat (6) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan
Daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan. Hal tersebut terlihat jelas bahwa dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah, Pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk membuat Perda Sementara itu,
fungsi Perda sebagai produk hukum yang ada di daerah dalam
menyelenggarakan Pemerintahan di daerah adalah sebagai
berikut.
a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi
daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;
b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan
Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-
undangan. Dengan demikian, Peraturan Daerah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi;

Sosiologi Perkotaan 159


c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah
serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam
pengaturannya tetap dalam koridor Negara kesatuan Republik
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan
daerah (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah, 2011:
8).

3. Materi Muatan Peraturan daerah


Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Peraturan Daerah terdiri atas:
a. Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut.
Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi
dengan persetujuan bersama Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/
kotatersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh
DPRD Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/
Walikota.

Sementara itu, dalam ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000


tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan, Peraturan Daerah telah secara resmi telah menjadi sumber
hukum danmasuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan. KetetapanMPR tersebut menegaskan bahwa Peraturan
Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum
di atasnya danmenampung kondisikhusus dari daerah yang
bersangkutan(Ni’matul Huda, 2009: 235).

160 Sosiologi Perkotaan


Setelah dikeluarkan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang menggantikan Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000, ditegaskan dalam Pasal 12, bahwa materi muatan
Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi (Ni’matul Huda, 2009: 235-236).
Digantikannya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menjadi UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 14 menyatakan
bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah: “Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan DaerahKabupaten/Kota
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang undangan
yang lebih tinggi”.
Kewenangan membuat Peraturan Daerah (Perda), merupakan
wujudnyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu
daerah. Sebaliknya, Peraturan Daerah merupakan salah satu sarana
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda ditetapkan oleh
kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, untuk
penyelenggaraan otonomi yang dimiliki oleh provinsi/kabupaten/
kota, serta tugas pembantuan. Perda pada dasarnya merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Perda yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
dan baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan
dengan dimuat dalam lembaran negara. Perda yang baik adalah
yang memuat ketentuan, antara lain:
a. Memihak kepada kepentingan rakyat banyak;
b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Berwawasan lingkungan dan budaya (Rozali Abdullah, 2007:
131-133).

Sosiologi Perkotaan 161


Pasal 137 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Perda dibentuk berdasarkan pada asas
pembentukan perundang-undangan yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antarajenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.

Menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 Pasal 138 ayat (1)


tentang Pemerintahan Daerah, materi muatan Perda mengandung
asas:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka tunggal ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

4. Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah


Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari
DPRD atau Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota).
Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada
DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan

162 Sosiologi Perkotaan


oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah. Pembahasan Raperda
di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau Bupati/
Walikota. Pembahasan bersamatersebut melalui tingkat-tingkat
pembicaraan, dalam rapat komisi, panitia, alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur
atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada
Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan.
Sedangkan tujuan utama dari suatu peraturan daerah adalah
untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan
masyarakat. Dalam proses pembuatan suatu peraturan daerah,
masyarakat berhak memberikan masukan, baik secara lisan maupun
secara tertulis. Keterlibatan masyarakat, sebaiknya dimulai dari proses
penyiapan sampai pada waktu pembahasan rancangan peraturan
daerah. Penggunaan hak masyarakat dalam pelaksanaannya diat ur
dalam peraturan tata tertib DPRD (Rozali Abdullah, 2005: 133).

G. Perencanaan Pembangunan
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun
perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan
daerah disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten
atau daerah kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan
oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP Daerah)
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang ditetapkan
dengan Perda.
2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM Daerah)
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang ditetapkan dengan
Perda.
3. Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan
penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah
pusat.

Sosiologi Perkotaan 163


H. Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana
secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti
dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada
daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur
Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah dan Daerah. Semua
sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang
diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan
yang antara lain berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari
Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan;
kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi
daerah, dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber
daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya;
hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-
sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan.
Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah
menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi.
Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara,
terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa
kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan
negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/
walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan
daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan
keuangan daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/
walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
dan bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan
kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh
kekuasaan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.
Dengan demikian, pengaturan pengelolaan dan pertanggung jawaban
keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan

164 Sosiologi Perkotaan


pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai
Pemerintahan Daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
1. Pendapatan asli daerah (PAD), yang meliputi: (a) hasil pajak
daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah;
2. Dana perimbangan yang meliputi: (a). Dana Bagi Hasil; (b).
Dana Alokasi Umum; dan (c). Dana Alokasi Khusus; dan
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal


dari penerusan pinjaman utang luar negeri dari Menteri Keuangan
atas nama Pemerintah pusat setelah memperoleh pertimbangan
Menteri Dalam Negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan
penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/
atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang
pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau
pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada
peraturan perundangundangan.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan
dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung
mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah
mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh
persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang APBD
yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur
tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling
lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD
yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/
Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/
Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur
untuk dievaluasi.
Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah
dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas

Sosiologi Perkotaan 165


daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Penyusunan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan
pertanggung jawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan
Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

I. Otonomi Daerah
Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur
tentang pemerintahan daerah pasca-Proklamasi Kemerdekaan
adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang
ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang
sejarah pemerintahan pada masa kerajaan-kerajaan serta pada masa
pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada
aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan
Badan perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam undang-undang tersebut ditetapkan 3 (tiga) jenis
daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode
berlakunya undang-undang ini sangat terbatas sehingga dalam
kurun waktu 3 (tiga) tahun belum ada peraturan pemerintah yang
mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada
daerah. undang-undang ini berumur lebih kurang tiga tahun
karena diganti dengan undang-undang Nomor 22 tahun 1948.
undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan
tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam
undang-undang ini ditetapkan 2 (dua) jenis daerah otonom, yaitu
daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga)
tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar
dan desa/kota kecil.
Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun
1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah
mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah
berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah
diperinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan
tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada
daerah. Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu
ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang

166 Sosiologi Perkotaan


menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu
sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia
dari masa ke masa.
Pada sisi lain, hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari
“eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Periode otonomi daerah Indonesia pasca-UU Nomor 22 tahun 1948
diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah,
yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama
yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18
tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya),
dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah
Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi
kepada daerah bukan lagi “otonomi yang real dan seluas-luasnya”,
tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya,
pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan
kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan
maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan
prinsip-prinsip yang digariskan dari GBHN yang berorientasi pada
pembangunan daiam arti luas. Undang-undang ini berumur paling
panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang
nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999
setelah tuntutan reformasi dikomandangkan.
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas
dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, ketika rezim
otoriter Orde Baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk
melakukan reformasi pada semua aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang
Istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menentapkan ketetapan MPR
Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah;
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional,
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian undang-undang
No. 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999

Sosiologi Perkotaan 167


adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah
dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari
kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal
pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung
di dalam kedua undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999
dan No. 25 tahun 1999) secara teoretis akan menghasilkan suatu
kesimpulan bahwa desentralisasi dalam undang-undang nomor 5
tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi sedangkan
desentralisasi dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih
cenderung pada corak devolusi.
Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan
kepala daerah. Berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1974,
kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan
kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan
pemerintahan daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai
kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih
dominan disbanding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan
karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri, bukan kepada DPRD sebagai representasi
dari rakyat di daerah yang memilihnya.
Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan
tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18
UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit
menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi
dan desentralisasi kekuasaan politik.

1. Pengertian
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks
bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan
secara campur aduk (interchanngeably). Kedua istilah tersebut secara
akademik bisa dibedakan, tetapi secara praktis dalam penyelenggaraan
pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, masalah
otonomi daerah tidak mungkin dibahas tanpa memperbandingkannya
dengan desentralisasi. Bahkan, menurut banyak kalangan, otonomi
daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Itulah sebabnya buku-buku
referensi, pembahasan otonomi daerah diulas dengan memakai
istilah desentralisasi. Kedua istilah tersebut bagaikan dua mata

168 Sosiologi Perkotaan


uang yang saling menyatu, tetapi dapat dibedakan. Desentralisasi
pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada
organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak
mengikuti pembagian wewenang tersebut.
Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks pembahasan
mengenai sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Pada saat ini, hampir setiap negara bangsa (nation state) menganut
desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Desentralisasi bukan merupakan sistem
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan
dari suatu sistem yang lebih besar. Suatu negara bangsa menganut
desentralisasi bukan karena alternatif dari sentralisasi. Desentralisasi
dan sentralisasi tidak dilawankan, dan karenanya tidak bersifat
dikotomis, melainkan merupakan subsubsistem dalam kerangka
sistem organisasi negara. Oleh karena itu, suatu negara bangsa
merupakan payung desentralisasi dan sentralisasi.
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah
telah banyak dikemukakan oleh para pakar sebagai bahan
perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang
mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi
desentraiisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai
“mandiri”, sedangkan dalam makna yang luas berarti “berdaya”.
Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah
dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai
kepentingan daerah sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai
kondisi tersebut, daerah tersebut dapat dikatakan sudah berdaya
untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar
(external intervention).
M. Turner dan D. Hulme (Teguh Yuwono ed, 2001: 27)
berpandangan bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan
untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari
seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau
agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan
yang mendasari transfer ini adalah teritorial dan fungsional. Teritorial
yang dimaksud adalah menempatkan kewenangan kepada level
pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah hierarkis yang
secara geografis lebih dekat kepada penyedia layanan dan yang

Sosiologi Perkotaan 169


dilayani. Adapun fungsional artinya transfer kewenangan kepada
agen yang secara fungsional terspesialisasi.
Transfer kewenangan secara fungsional ini memiliki tiga
tipe:
a. apabila pendelegasian kewenangan itu di dalam struktur politik
formal misalnya, dari pemerintah pusat kepada pemeriniah
daerah;
b. jika transfer itu terjadi di dalam struktur administrasi publik,
misalnya dari kantor pusat sebuah kementerian kepada kantor
kementerian yang ada di daerah;
c. jika transfer tersebut dari institusi negara kepada agen
nonnegara, misalnya penjualan aset pelayanan publik seperti
telepon atau penerbangan kepada sebuah perusahaan.

Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer


tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen, dan alokasi
sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada
unit kementerian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level
pemerintah, otoritas, atau korporasi publik semi otonomi, otoritas
regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga
privat nonpemerintah dan organisasi nirlaba (Teguh Yuwono, 2001:
28).
Desentralisasi menunjukkan adanya proses perpindahan
kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit pemerintah
subnasional. Oleh karena itu, yang terpenting menurutnya adalah
pemerintah daerah yang terpilih melalui pemilihan lokal (clected
subnational govermenf). Jika tidak, negara tersebut tidak dapat
dianggap sudah terdesentralisasikan. Ia menekankan pentingnya
pemerintah daerah yang terpilih ini karena dua alasan.
a. Alasan yang mungkin paling ambisius dan paling berisiko
bahwa reformasi ketiga struktur (desentralisasi, dekonsentrasi,
dan privatisasi) tersebut berlangsung di daerah.
b. Implikasi behavioral yang unik dari desentralisasi. Desentralisasi
mengubah struktur akuntabilitas lokal dari pemerintah pusat
kepada penduduk lokal. Sebaliknya, dekonsentrasi memelihara

170 Sosiologi Perkotaan


hubungan hierarkhis antarpemerintah pusat dan jajarannya
yang berada di daerah privatisasi menunjukkan adanya
motivasi profit yang akan memengaruhi perilaku. Dengan
demikian, bahwa desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan
dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.

2. Tujuan Otonomi Daerah


Memasuki abad ke-21, Indonesia berada dalam kondisi
yang kurang menguntungkan. Krisis ekonomi dan politik yang
melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memorak-morandakan
hampir seluruh sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah
dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik
yang berlanjut menjadi multikrisis telah mengakibatkan semakin
rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin
kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya
diakibatkan oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan
yang sentralistik, yaitu kewenangan dan pengelolaan segala sektor
pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat,
sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola
dan mengatur daerahnya.
Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi
dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan
yang cukup penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan
pengaturan perimbangan keuangan antarapusat dan daerah.
Paradigma lama dalam manajemen negara dan pemerintahan yang
berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan
otonomi yang berpusat pada desentralisme. Dalam pada itu,
kebijakan otonomi darah tidak dapat dilepaskan dari upaya politik
Pemerintah Pusat untuk merespons tuntutan kemerdekaan atan
negara federal dari beberapa wilayah yang memiliki aset sumber
daya alam melimpah, tetapi tidak mendapatkan haknya secara
proposional pada masa pemerintahan Orde Baru.
Desentralisasi dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan,
pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. sebab desentralisasi
menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat.

Sosiologi Perkotaan 171


Beberapa alasan kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia
saat ini dirasakan sangat mendesak adalah sebagai berikut. Pertama,
kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di
Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa
wilayah lain diabaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak
adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan
alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan,
dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut
dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna
seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lainnya sangat
terasa. Pembangunan fisik pada satu daerah berkembang pesat
sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban,
bahkan terbengkalai.
Alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus
memberikan landasan filsufis bagi penyelengggaraan pemerintahan
daerah (desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie
adalah sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001: 8).
a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan,
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekhasan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat
menimbulkan tirani.
b. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi
dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik
rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
mempergunakan hak-hak demokrasi.
c. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan
mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah
semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang
efisien. Hal-hal yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh
pemerintah setempat diserahkan kepada daerah.
d. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya
perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan
sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan
ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.

172 Sosiologi Perkotaan


e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi
diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan
secara langsung membantu pembangunan tersebut.

Pilihan terhadap desentralisasi harus dilandasi argumentasi


yang kuat, baik secara teoritis maupun empiris. Kalangan teoretisi
pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang
menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung
jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoretis. Di antara
beberapa argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi
(Syaukani, et.al., 2002: 20-30), adalah sebagai berikut.
a. Untuk terciptanya efesiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan,
seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi,
keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam
negeri, dan lain-lainnya. Selain itu, pemerintah juga mempunyai
fungsi distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi
regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa
maupun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka
penyediaan tersebut, dan fungsi ekstraktif, yaitu memobilisasi
sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktivitas
penyelenggaraan negara. Selain itu, memberikan pelayanan
dan perlindungan kepada masyarakat, menjaga keutuhan
negara-bangsa, serta mempertahankan diri dari kemungkinan
serangan dari negara lain, merupakan tugas pemerintahan
yang bersifat universal. Oleh karena itu, tidaklah mungkin
hal itu dapat dilakukan dengan cara yang sentralistik, dan
pemerintahan negara menjadi tidak efesien dan tidak akan
mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
b. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuwan
politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan
kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan
demokrasi dalam sebuah negara. John Stuart Mill dalam
tulisannya “Representative Government” menyatakan bahwa
pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi
warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam
rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu

Sosiologi Perkotaan 173


jabatan politik. Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk
terlibat dalam politik nasional dan memilih pemimpin nasional
akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal,
baik dalam pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka
pembuatan kebijakan pubrik. Dengan demikian, pendidikan
politik pada tingkat lokal sangat bermaanfaat bagi warga
masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
c. Pemerintahan daerah sebngai persiapan untuk karir politik Ianjutan.
Banyak kalangan ilmuwan politik sepakat bahwa pemerintah
daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier
lanjutan, terutama karier di bidang politik dan pemerintahan
di tingkat nasional. Keberadaan institusi lokal, terutama
pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan
wahana yang banyak dimanfaatkan guna menapak karir
poiitik yang lebih tinggi. Presiden Amerika Serikat sepelti
George Bush, Bill Clinton, Ronald Reagan, Jimmy Carter dan
lain-lainnya, sebelumnya adalah gubernur di negara bagian
tempat mereka berasal.
d. Stabilitas politik. Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas
politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada
tingkat lokal menjadinya pergolakan daerah pada tahun
1957-1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI
dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan
pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Demikian juga, yang
terjadi di Philipina, yang mengakibatkan masyarakat Muslim di
Mindanao berjuang untuk melepaskan diri dari pemerintahan di
Manila. Hal yang sama dapat kita temukan di Thailand. Warga
Muslim di Daerah Selatan yang dikenal sebagai masyarakat
Patani juga berjuang melawan pemerintahan nasional di
Bangkok karena mereka menganggap bahwa Bangkok tidak
memperlakukan mereka dengan baik. Gejolak disintegrasi
yang terjadi di beberapa daerah merupakan contoh yang
sangat konkret hubungan antara pemerintahan daerah dan
ketidakstabilan politik kalau pemerintah nasional tidak
menjalankan otonomi dengan tepat.
e. Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya
pemerintahan daerah, kesetaraan politik di antara berbagai

174 Sosiologi Perkotaan


komponen masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian?
Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan
masyarakat di pusat pemerintahan, mempunyai kesempatan
untuk terlibat dalam politik, baik melalui pemberian suara pada
waktu pemilihan kepala desa, bupati, walikota, dan gubernur.
Di samping itu, warga masyarakat baik secara sendiri-sendiri
maupun secara berkelompok ikut terlibat dalam memengaruhi
pemerintahannya untuk membuat kebijakan, terutama yang
menyangkut kepentingan mereka.
f. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang
kepada masyarakat, termasuk daerah, untuk berpartisipasi
dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak dari awal
tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi.
Dengan demikian, kebijakan yang dibuat akan dapat diawasi
secara langsung dan dapat dipertanggung jawabkan karena
masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
pemerintahan.

Sosiologi Perkotaan 175


176 Sosiologi Perkotaan
BAGIAN KEDUA

MASYARAKAT KOTA
DAN PROBLEMATIKANYA
BAB 6
KOTA DAN URBANISASI
“Thomas Malthus mengemukakan gagasan bahwa kesejahteraan
masyarakat senantiasa diganggu oleh kenyataan
bahwa pertambahan manusia lebih cepat
dari pertumbuhan makanan.”

A. Pengantar
Urbanisasi merupakan salah satu gejala yang banyak
menarik perhatian karena tidak hanya berkaitan dengan masalah
demografi, tetapi juga mempunyai pengaruh penting terhadap
proses pertumbuhan ekonomi (Davis, 1987, Pernia, 1984). Dengan
kata lain, perekonomian dapat tercermin melalui jumlah penduduk
dan pendapatan perkapita di suatu negara.
Thomas Malhtus menyatakan tentang hubungan antara
pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi bahwa
jumlah populasi di suatu negara akan meningkat cepat sesuai pada
deret ukur atau tingkat geometrik, sedangkan persediaan pangan
meningkat menurut deret hitung. Artinya penduduk menjadi
unsur penting dalam kegiatan ekonomi dan usaha membangun
suatu perekonomian. Jumlah penduduk biasanya dikaitkan dengan
pertumbuhan “income per capita” suatu Negara, yang secara kasar
mencerminkan perekonomian Negara tersebut.

178 Sosiologi Perkotaan


Malthus juga menyebutkan tiga faktor penyebab terjadinya
laju pertumbuhan penduduk seperti, kelahiran (fertilitas), kematian
(mortalitas), dan migrasi (perpindahan penduduk). Jumlah penduduk
Indonesia pada saat ini menempati urutan ke-4 dari total penduduk
dunia, dan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah
perkotaan terus mengalami peningkatan. Proyeksi penduduk tahun
2020 menyebutkan bahwa akan terdapat 23 kota yang memiliki
jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa, 11 kota terdapat di Pulau
Jawa dan 5 dari 23 kota tersebut berpenduduk di atas 5 juta jiwa
(Prijono dkk, 2002).
Salah satu motivasi seseorang untuk berpindah ke kota
(urbanisasi) adalah motif ekonomi (Todaro,1979). Harapan yang ingin
diperoleh dari migrasi ke perkotaan adalah pekerjaan dan pendapatan
yang tinggi yang bisa diperoleh di perkotaan. Pesatnya pertumbuhan
industri dan sektor perdagangan secara langsung menyebabkan
tingkat upah di kota lebih tinggi dibandingkan upah di pedesaan
yang umumnya bergerak dalam bidang pertanian. Di samping itu,
sempitnya lapangan pekerjaan, fasilitas dan infrastruktur yang tidak
memadai juga mendorong terjadinya migrasi ke perkotaan. Tingkat
urbanisasi yang tinggi di suatu negara dapat mengindikasikan
tingkat perekonomian yang tinggi. Demikian juga, sebaliknya.
Tingkat perekonomian yang tinggi pada suatu negara umumnya
dapat mendorong terjadinya pembangunan negara tersebut.

B. Problem: Urbanisasi tidak Terkendali (Over-


Urbanization)
Proses urbanisasi yang tidak terkendali menunjukkan adanya
ketidakseimbangan demografi secara keruangan, yang sering
disebut dengan istilah urbanisasi berlebih atau over urbanization,
dalam istilah lain sering disebut juga sebagai urbanisasi semu atau
pseudo-urbanization. Hal ini menjadi penyebab yang menghambat
pembangunan. Berkenaan dengan hal itu, Smith dan Nemeth (1988)
menyatakan bahwa urbanisasi harus dikendalikan, sebab jika tidak
terkendali akan timbul dampak negatif, baik terhadap penduduk
kota, penduduk pedesaan maupun pengaruh makro terhadap
negara.

Sosiologi Perkotaan 179


Sekalipun demikian, jika proses urbanisasi bisa dikendalikan
akan memberikan dampak positif. Laporan Bank Dunia (1994)
yang dikutip oleh Keban (1996) menyebutkan, adanya hubungan
positif antara tingkat urbanisasi pada suatu negara dengan tingkat
pendapatan per kapita. Korelasi positif tersebut telah didukung
dengan data empiris, sehingga memberikan keyakinan bahwa
urbanisasi mempunyai peranan penting dalam pembangunan, artinya
peningkatan urbanisasi dapat mempercepat pembangunan.
Salah satu sebabnya adalah penduduk merupakan modal
dasar dalam pembangunan. Jumlah penduduk yang besar di
suatu daerah merupakan potensi pembangunan, dalam arti daerah
mempunyai sumber daya manusia yang cukup. Sebaliknya, walaupun
jumlah penduduk yang banyak jika tidak berkualitas tidak akan
menjadi potensi pembangunan, tetapi menjadi ancaman bagi
pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, jika di suatu wilayah
memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, perlu
dilakukan upaya penanganan pengendalian dan peningkatan
kualitas agar tidak menjadi beban bagi proses pembangunan yang
akan dilaksanakan.

C. Urbanisasi dan Daya Tarik Kota


Pada negara maju, perkembangan kota yang telah menyulap
aktivitas ekonomi telah mengubah pedesaan menjadi perkotaan, yaitu
pada sektor industri dan jasa. Adapun di negara berkembang, seperti
halnya Indonesia, ekonomi pertanian menjadi aktivitas yang penting
dan masih dianggap menjadi lapangan kerja yang cukup. Sekalipun
demikian, negara sedang berkembang pun pada umumnya sedang
berusaha untuk mengembangkan industri dan jasa sebagai basis
ekonominya karena pertumbuhan sektor pertanian pada umumnya
terbatas, hanya bisa ditingkatkan sekitar 3% per tahun, sedangkan
pertumbuhan sektor industri dan jasa dapat mencapai pertumbuhan
sampai 75% atau 20% per tahun. Akhirnya sektor industri dan jasa
ini berada di kota, maka laju penduduk kota pun menjadi lebih
tinggi. Negara industri maju telah menjadi kota, sementara negara
sedang berkembang dalam proses menjadi kota.
Daya tarik kota yang mendorong terjadinya urbanisasi ini
disebut sebagai faktor penarik (pull factor). Pemicunya bukan saja

180 Sosiologi Perkotaan


masalah ekonomi, tetapi juga sosial budaya dan pelayanan kehidupan
kota. Bayangan tentang kemajuan dan gemerlapnya kota menjadi
daya tarik terjadinya migrasi ke kota. Di Indonesia, diperkirakan
perpindahan penduduk yang disebabkan oleh pekerjaan hanya
sekitar 40%, selebihnya karena alasan nonekonomi dan nonlapangan
kerja seperti misalnya ikut keluarga, mendapatkan pendidikan lebih
tinggi, dan tanpa tujuan yang jelas (Tjuk Kuswartojo, 2005: 98).
Perpindahan penduduk desa ke kota, selain karena faktor
daya tarik kota, juga bisa disebabkan oleh dorongan kemiskinan
dan kelangkaan lapangan kerja pedesaan (disebut dengan push
factor). Karena pedesaan tidak lagi dapat memberikan sumber
penghidupan, penduduk pedesaan pindah ke kota dengan harapan
dapat menemukan sumber penghidupan yang baru. Struktur
pemilikan tanah yang tidak seimbang, dan adanya konsentrasi usaha
ekonomi nonpertanian pada petani pemilik tanah yang luas, sering
mempersempit usaha dan lapangan kerja di pedesaan. Selain itu, tidak
adanya rotasi penanaman dan pemanenan, karena kegiatan tersebut
dilakukan secara serempak, menyebabkan ketidakseimbangan
penyerapan tenaga kerja pula.
Semua itu merupakan faktor yang mendorong perpindahan
penduduk dari pedesaan ke kota. Sekalipun demikian, migrasi
penduduk tersebut di Indonesia tidak terjadi secara serempak dan
tiba-tiba, seperti yang terjadi di Amerika Latin. Oleh karena itu,
urbanisasi di Indonesia sering dianggap lamban. Walaupun tercatat
40% migrasi karena pekerjaan, keluarga, kerabat atau kenalan tetap
menjadi saluran terjadinya proses migrasi. Bagaimana pun, migrasi
penduduk yang disebabkan oleh kemiskinan pedesaan, akhirnya
menjadi beban kota. Terlebih lagi, karena pihak kota pun sering
tidak siap dan tidak mempunyai kemampuan untuk menyiapkan
prasarana dan fasilitas yang memadai untuk menampung lapisan
penduduk ini.
Beberapa tantangan yang dihadapi kota dengan adanya migrasi
penduduk desa yang miskin ini sebagaimana dijelaskan oleh Tjuk
Kuswartojo (2005: 98) adalah sebagai berikut.
1. Golongan masyarakat ini masih harus belajar berperilaku dan
menyesuaikan diri dengan kondisi perkotaan yang bergantung
pada lingkungan buatan yang serba berongkos. Padahal,

Sosiologi Perkotaan 181


golongan masyarakat ini tidak mempunyai kemampuan untuk
mengeluarkan ongkos tersebut.
2. Lapangan kerja tercipta atau diciptakan oleh lapisan masyarakat
ini. Dari pekerjaan menjadi kurir, tukang lem amplop, tukang
jok, menjadi lapangan kerja di perkotaan yang tidak pernah
ada di pedesaan.
3. Keterikatan batin pada kota tempat tinggal lemah, bahkan
tidak ada. Tanggung jawab pada lingkungan tempat tinggalnya
sangat kurang. Banyaknya kebakaran di Jakarta, misalnya,
disebabkan oleh ketidakpeduliannya pada lingkungan. Mereka
juga bersedia hidup seadanya, karena apa yang diperoleh
justru digunakan untuk membantu keluarganya yang miskin
di kota.

D. Kependudukan
Awal tulisan ini sengaja menyoroti masalah kependudukan.
Ada keterkaitan yang signifikan antaraproses kependudukan dangan
proses sosial, salah satunya adalah urbanisasi. Ada dua proses dasar
kaitannya dengan sistem kependudukan, yaitu jumlah orang yang
masuk dan jumlah orang yang keluar dari suatu populasi. Besar dan
perubahan jumlah penduduk pada waktu tertentu hanya ditentukan
oleh proses-proses kumulatif tersebut. Orang dapat masuk ke dalam
suatu populasi melalui kelahiran yang lazim disebut dengan istilah
fertilitas atau dapat pula dengan cara pindah ke populasi tersebut.
Jika unit analisisnya adalah negara, perpindahan itu disebut imigrasi
(J. Dwi Narwoko, 2007: 309).
Kemudian, apabila unit analisisnya lebih sempit (misalnya
antarnegara bagian, antarwilayah, atau antardaerah yang berdekatan),
maka perpindahan itu disebut migrasi masuk. Keluarnya penduduk
mungkin terjadi karena kematian yang biasa kita sebut mortalitas;
atau dapat pula dengan perpindahan penduduk dari suatu populasi.
Kalau unit analisisnya negara, perpindahan itu disebut emigrasi.
Kalau unitnya leblih kecil lagi dari negara disebut migrasi keluar.
Jadi, masuk atau keluar dari suatu populasi memerlukan tiga
unsur sistem kependudukan, yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi.
Berbeda dengan fertitiras dan mortalitas, migrasi mencakup proses

182 Sosiologi Perkotaan


“masuk” dan “keluar” dari suatu populasi. Jika satuan analisisnya
adalah sistem “kependudukan dunia” atau satuan sosiodemografis
yang lebih sempit dan satuan ini tidak pernah mengalami imigrasi
(atau migrasi masuk), atau emigrasi (atau migrasi keluar) berarti
hanya ada dua unsur yang harus dipertimbangkan, yaitu fertilitas
dan mortalitas. Kedua komponen ini sering disebut komponen
vital, bukan karena jauh lebih penting dari migrasi, tetapi karena
menunjukkan proses biologis dari kelahiran dan kematian dan
karenanya bersifat universal.
Untuk tujuan analisis, komponen migrasi dari sistem
kependudukan “dilupakan” dan penduduk yang sedang diteliti
dianggap sebagai sistem “tertutup”, artinya tertutup dari pengaruh
migrasi. Setidaknya ada tiga faktor lain yang sering dimasukkan
sebagai unsur integral dari sistem kependudukan, yaitu: (1) struktur
penduduk, yaitu distribusi umur dan jenis kelamin; (2) komposisi
penduduk, yaitu “ciri-ciri” sosiodemografis penduduk yang luas
lingkupnya, antara lain status perkawinan, pendapatan, ras,
pendidikan, pekerjaan, atau agama; (3) distribusi penduduk, yaitu
persebaran dan lokasi penduduk dalam suatu wilayah tertentu.
Proses masuk dan keluarnya penduduk yang berhubungan
dengan fertilitas, mortalitas, dan migrasi adalah komponen sistem
kependudukan yang paling dasar. Sementara penting untuk diteliti
cara komponen-komponen itu memengaruhi jumlah penduduk dan
cara elemen-elemen tersebut saling berkaitan.
Caranya bisa dimulai dengan proposisi sederhana: antara
dua periode waktu, jumlah penduduk bisa bertambah, berkurang,
atau tetap stabil. Apabila sistem kependudukan yang dipandang
sebagai sistem tertutup untuk migrasi, maka akan menghasilkan
model perubahan jumlah penduduk berdasarkan atas interaksi
dari unsur-unsur vital, yaitu: (1) jumlah penduduk hanya dapat
bertambah Jika fertilitas lebih tinggi dari mortaliras; (2) jumlah
penduduk hanya bisa berkurang jika mortalitas lebih tinggi dari
fertilitas; dan (3) apabila fertilitas sama dengan mortaiiras, jumlah
penduduk akan tetap stabil.
Jika kita tidak hanya meneliti interaksi dari unsur-unsur
vital dalam suatu penduduk tertutup, tetapi kita “membuka”
sistem kependudukan tersebut, sumbangan migrasi neto kepada

Sosiologi Perkotaan 183


jumlah penduduk juga harus ikut dipertimbangkan. Perpindahan
neto mungkin akan menyebabkan jumlah penduduk bertambah,
berkurang, atau tidak berubah. Apabila satuan analisisnya suatu
bangsa, ketiga pola migrasi neto tersebut merupakan akibat dari
migrasi internasional. Apabila satuan geografisnya lebih sempit
daripada suatu bangsa, migrasi neto adalah akibat dari migrasi
internal atau eksternal.
Apabila ketiga tipe perpindahan neto rersebut dikombinasikan
dengan pola-pola perubahan penduduk yang terjadi karena ada
interaksi antarafertilitas dan mortalitas, akan diperoleh 12 buah
model perubahan. Untuk lebih jelasnya bias dilihat dalam tabel
berikut ini.

Tabel 3
Model-model Perubahan Penduduk Berdasarkan
Beberapa Komponen Kependudukan

Migrasi Neto
Keterangan
Positif Negatif Zero
Mortalitas lebih tinggi dari fertilitas T, K, S K K
Mortalitas lebih rendah dari fertilitas T T, K, S T
Mortalitas sama dengan fertilitas T K S

Keterangan:
T = Penduduk bertambah
K = Penduduk berkurang
S = Penduduk stabil

Pertambahan penduduk dapat terjadi, apabila memenuhi hal-


hal berikut.
1. mortalitas leblh tinggi daripada fertilitas, tetapi selisih
kekurangan fertilitas ini ditutup oleh migrasi neto positif;
2. mortalitas lebih rendah dari fertilitas, meskipun terdapat
migrasi neto positif;
3. tidak ada migrasi neto;

184 Sosiologi Perkotaan


4. ada migrasi neto negatif, tetapi tidak cukup besar untuk
mengimbangi lebihan fertilitas;
5. mortaliras sama dengan fertilitas dan terdapat migrasi neto
positif;

Penurunan jumlah penduduk dapat terjadi, apabila memenuhi


hal-hal berikut.
1. mortalitas lebih tinggi daripada fertilitas, dan terdapat migrasi
neto negatif;
2. tidak ada migrasi neto;
3. migrasi neto positif tidak dapat menutup kekurangan penduduk
akibat mortalitas yang lebih tinggi;
4. moralitas leblh rendah dari fertilitas dan migrasi neto negatif
cukup besar untuk menghapus tambahan penduduk yang
disebabkan oleh keseimbangan dari elemen-elemen vital;
5. mortalitas dan fertilitas sama dan migrasi neto adalah
negatif.

Jumlah penduduk tidak akan berubah, apabila:


1. mortalitas lebih tinggi dari fertilitas dan migrasi neto
positif menutup berkurangnya penduduk akibat kelebihan
mortalitas;
2. mortalitas lebih rendah dari fertilitas dan migrasi neto negatif
menghapus pertambahan penduduk yang disebabkan oleh
kelebihan fertilitas; yang terakhir adalah apabila mortalitas
dan fertilitas sama dan tidak ada migrasi neto.

Gambaran tersebut sangatlah sederhana dan elementer dari


sistem kependudukan. Kesulitan pertama dengan model-model
kependudukan timbul dari pembahasan migrasi yang dipandang dari
segi pertambahan neto. Pertambahan penduduk neto karena migrasi
atau migrasi neto positif mungkin disebabkan oleh perpindahan
penduduk satu jurusan, hanya ada perpindahan masuk ke dalam
suatu populasi penduduk tanpa ada perpindahan ke luar dari
populasi tersebut, atau merupakan akibat perpindahan ke dalam

Sosiologi Perkotaan 185


atau ke luar populasi yang menunjukkan bahwa yang masuk lebih
banyak daripada yang keluar.
Demikian juga, migrasi neto negatif atau berkurangnya
penduduk disebabkan hanya ada perpindahan keluar dari suaru
populasi tanpa ada perpindahan masuk maupun perpindahan
penduduk dua-jurusan, perpindahan ke dalam dan ke luar dari
suatu populasi, tetapi migrasi keluarnya lebih besar daripada migrasi
masuk. Akhirnya, tidak adanya migrasi mungkin diakibatkan oleh
arus masuk dan arus ke luar dari suatu populasi sama besarnya
atau tidak ada perpindahan dalam dan ke luar.
Analisis berikutnya menelaah hubungan antara sistem
kependudukan dan sistem sosial yang berdiri sendiri, unsur-unsur
sistem migrasi harus diteliti secara terperinci. Misalnya, kalau
kita tidak hanya tertarik pada peranan migrasi dalam perubahan
penduduk pedesaan, tapi juga pada masalah mengapa orang pindah
dari daerah pedesaan, kita harus mempertimbangkan berbagai
arus migrasi termasuk migrasi keluar dari desa, migrasi, masuk
ke desa, dan migrasi kembali (yaitu migran yang dulunya ke luar
dan kemudian kembali lagi ke daerah asalnya). Jadi, kita harus
menemukan elemen-elemen perpindahan-masuk dan perpindahan-
keluar, dan tidak hanya puas dengan migrasi neto saja.
Begitu pula, dengan ahli sosiologi sering lebih tertarik kepada
orang yang pindah daripada perpindahan neto. Apabila dalam
suatu tahun tertentu ada 3.000 orang yang pindah ke suatu desa
dan 2.500 orang keluar dari desa itu, migrasi masuk neto adalah
500 orang. Apabila titik beratnya terletak pada peranan migrasi
dalam perubahan jumlah penduduk, angka neto sebesar 500 adalah
relevan. Akan tetapi, apabila yang diteliti adalah jumlah orang
yang pindah, jumlahnya adalah 5.500 orang. Jadi, apabila satuan
analisisnya adalah individu yang pindah, yang relevan adalah
jumlah total orang pindah.
Dalam semua model elementer perubahan penduduk ini,
pertambahan, penurunan, dan stabilitas penduduk diperlakukan
tanpa memandang kondisi demografis secara keseluruhan. Oleh
karena itu, masalah rumit berikutnya yang akan dibahas adalah cara
tingkat proses-proses penduduk memengaruhi perubahan jumlah

186 Sosiologi Perkotaan


penduduk. Umumnya, perubahan jumlah penduduk terjadi di antara
dua keadaan yang ekstrem, yaitu dalam keadaan dengan elemen-
elemen vital yang “tinggi” atau “tak terkendali”, dan dalam keadaan
dengan elemen-elemen vital yang “rendah” atau “terkendali. Jadi,
misalnya, pertumbuhan penduduk dalam suatu sistem tertutup bisa
terjadi apabila fertilitas lebih tinggi dari mortalitas, apabila fertilitas
dan mortaliras relatif tinggi, atau keduanya relatif rendah.
Hal ini berlaku pula untuk penurunan dan stabilitas penduduk.
Singkatnya, jumlah dan perubahan penduduk dalam suatu sistem
tertutup mencerminkan keseimbangan fertilitas dan mortalitas dalam
dua kondisi khas ideal yang terkendali dan yang tidak terkendali.
Hal ini bisa juga dan umum terjadi dalam konteks yang bersifat
historis dan komparatif bahwa salah satu unsur vital mungkin lebih
terkendali, sedangkan yang lain kurang terkendali. Pola dasarnya
masih dapat diterapkan meskipun menyebabkan perubahan jumlah
penduduk yang lebih menonjol.
Dari penjelasan singkat tentang sistem kependudukan,
timbul dua prinsip yang saling berhubungan, yaitu: (1) jumlah
penduduk hanya dapat berubah melalui pengaruh kombinasi dari
mortalitas, fertilitas dan migrasi; (2) dalam setiap analisis perubahan
jumlah penduduk, langkah pertama yang harus ditempuh adalah
mengidentifikasi struktur komponen perubahan tersebut. Kedua
prinsip ini sama-sama memberikan titik tolak bagi penelaahan kita
selanjutnya. Apabila kita akan mencari hubungan antara sistem
kependudukan dan sistem sosial, analisis kita harus bertitik berat pada
proses elementer sistem kependudukan, yaitu fertilitas, mortalitas,
dan migrasi, baik secara terpisah-pisah maupun dikombinasikan.
Sistem kependudukan telah dianggap sebagai suatu sistem
yang lepas dari pengaruh-pengaruh luar yang nondemografis.
Membicarakan tiga unsur sistem kependudukan secara tersendiri
dan melihat kai tannya satu sama lain, maupun kaitannya
dengan pertumbuhan penduduk, hanyalah langkah pertama
untuk mengidentifikasi dan menganaiisis interaksi antara sistem
kependudukan dan sisrem sosial. Berdasarkan sistem kependudukan
yang elementer ini, kita dapat membuat pisau analisis sosiologi
demografi, salah satunya adalah fenomena urbanisasi masyarakat
desa pindah ke kota.

Sosiologi Perkotaan 187


E. Urbanisasi
1. Pengertian
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Urbanisasi merupakan masalah yang cukup serius bagi kita semua
karena persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan
kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan
tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan,
fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan
pangan, dan sebagainya tentu menjadi masalah yang harus segera
dicarikan jalan keluarnya.
Beberapa definisi tentang urbanisasi sebagaimana dikemukakan
oleh pendapat para ahli, adalah sebagai berikut.
a. Urbanisasi diartikan sebagai berikut.
1) Proses pertumbuhan daerah pertanian atau pedesaan
menjadi perkotaan.
2) Daerah pedesaan yang berkembang menuju kota atau
desa yang mempunyai ciri-ciri seperti kota.
3) Proses yang dialami manusia dari bentuk kehidupan agraris
pedesaan menjadi kehidupan industri perkotaan.
4) Proses perpindahaan penduduk dari desa ke kota atau
dari pekerjaan pertanian di desa ke pekerjaan industri
di kota.

b. Menurut J.H De Goede urbanisasi (S. Menno dan Mustamin


Alwi, 1992: 69) memiliki pengertian berikut.
1) Adanya perpindahan penduduk ke kota.
2) Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja pada sektor
industri dan jasa.
3) Tumbuhnya pemukiman menjadi kota.
4) Munculnya pemukiman kumuh.

188 Sosiologi Perkotaan


5) Mulusnya pengaruh kota di daerah pedesaan meliputi
segi ekonomi, sosial, psikologi, politik dan kebudayaan
dalam arti luas.

c. Bintarto (1986: 15) menyatakan bahwa urbanisasi dapat


dipandang sebagai proses berikut.
1) Meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk kota.
Kota menjadi lebih padat sebagai akibat dari pertumbuhan
penduduk, baik oleh hasil kenaikan fertilisasi penghuni
kota maupun karena adanya tambahan penduduk dari
yang bermukim dan berkembang di kota.
2) Bertambahnya jumlah kota dalam suatu negara atau
wilayah sebagai akibat dari perkembangan ekonomi,
budaya, dan teknologi.
3) Berubahnya kehidupan desa atau suasana desa menjadi
suasana kehidupan kota

Urbanisasi biasanya dilihat dari persentase penduduk yang


tinggal di daerah perkotaan. Tingkat urbanisasi di suatu daerah
dapat diukur dengan membandingkan jumlah penduduk di daerah
perkotaan dengan jumlah penduduk seluruhnya pada suatu wilayah.
Perhitungan urbanisasi dapat dicari dengan rumus:

U
PU = ´ 100%
P

Di mana:
U = besarnya jumlah penduduk urban (perkotaan)
P = populasi/jumlah penduduk keseluruhan
Pu = persentase penduduk yang tingggal di perkotaan

Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi


urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah

Sosiologi Perkotaan 189


satu penyebab urbanisasi. Perpindahan itu sendiri dikategorikan
dua macam, yaitu migrasi penduduk dan mobilitas penduduk.
Perbedaannya, migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan
penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di
kota, sedangkan mobilitas penduduk berarti perpindahan penduduk
yang bersifat sementara atau tidak menetap.

2. Faktor Penyebab
Urbanisasi menurut Philip M. Hauser adalah pertambahan
proporsi penduduk yang tinggal di daerah kota. Konsentrasi
penduduk di daerah kota sebagai akibat banyaknya penduduk yang
datang dari luar kota. Menurut Tjiptoherijanto (1999), pertambahan
penduduk yang tinggal di perkotaan dapat disebabkan beberapa
faktor berikut:
a. kelahiran alamiah yang terjadi di daerah tersebut;
b. perpindahan penduduk, baik dari perkotaan lainnya maupun
dari perdesaan;
c. anexatie (pencaplokan). suatu bangsa berdiri di suatu wilayah
yang dikuasai (dicaplok) oleh bangsa lain tanpa perlawanan
yang berarti. Seperti pembentukan negara israel tahun tahun
1948, wilayahnya banyak mencaplok wilayah Palestina,
Yordania, Suriah, dan Mesir;
d. reklasifikasi (pemecahan kembali) suatu kota yang sudah
dianggap sangat padat penduduknya.

Dengan demikian, perpindahan penduduk dari desa menuju


kota hanyalah sebagian dari faktor yang memengaruhi tingkat
urbanisasi. Berbagai studi tentang urbanisasi menemukan adanya
hubungan antarakemajuan tingkat ekonomi dan tingkat urbanisasi.
Semakin maju tingkat perekonomian suatu daerah, semakin tinggi
pula tingkat urbanisasinya. Dengan demikian, urbanisasi merupakan
gejala alamiah sejalan dengan perkembangan ekonomi dan tingkat
kesejahteraan penduduk di suatu daerah, adanya konsentrasi
penduduk yang tinggi atau berlebihan di suatu wilayah dapat
menimbulkan aglomerasi atau primacy (Tjiptoherijanto, 1999).

190 Sosiologi Perkotaan


Di negara berkembang termasuk Indonesia, urbanisasi lebih
berfungsi sebagai faktor penghambat daripada faktor pendorong
bagi pembangunan nasional. Urbanisasi dapat menimbulkan
masalah di perkotaan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
public utilitas dan kesempatan kerja. Gejala yang selama ini terjadi
sudah sangat jelas dengan berbagai indikator, misalnya munculnya
perumahan kumuh (slums) dan pemukiman liar, kemiskinan dan
pengangguran yang tinggi di perkotaan (Sukardi, 2001). Adapun
menurut Green (1992) dalam Wiyono, (1998) pertumbuhan penduduk
yang cepat di perkotaan berdampak langsung terhadap lingkungan
melalui berbagai cara, seperti berikut:
a. karena luas perkotaan terus berkembang, pemerintah mengubah
lahan pertanian menjadi lahan industri dan pemukiman;
b. penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan air dan
energi, serta lebih banyak membuang limbah atau sampah
dibandingkan dengan penduduk pedesaan,
c. penduduk perkotaan yang padat akan menyebabkan polusi
udara dan air. Selain itu, terkonsentrasinya penduduk dan lokasi
industri menyebabkan meningkatnya polusi di perkotaan.

Selanjutnya, Keban (1996) mengemukakan, dilihat dari


pendekatan demografis, urbanisasi dapat diartikan sebagai proses
peningkatan konsentrasi penduduk di perkotaan sehingga penduduk
yang tinggal di perkotaan secara keseluruhan meningkat. Biasanya,
konsep konsentrasi tersebut dapat diukur dari proporsi penduduk
yang tinggal di perkotaan, kecepatan perubahan proporsi tersebut,
atau kadang-kadang perubahan jumlah pusat kota. Kesulitan yang
sering timbul dari konsep tersebut adalah menyepakati definisi
kota atau perkotaan.
Dari pendekatan ekonomi-politik, urbanisasi dapat didefinisikan
sebagai transformasi ekonomi dan sosial yang timbul sebagai akibat
pengembangan ekspansi kapitalisme (Drakakis dan Smith, 1988).
Dengan demikian, sering disebut sebagai capitalist urbanization.
Batasan ini terasa memberi takanan terhadap konsep political
economy yang biasanya menuduh kapitalisme sebagai penyebab
awal timbulnya suatu permasalahan.

Sosiologi Perkotaan 191


Dilihat dari konsep modernisasi, urbanisasi merupakan
perubahan orientasi tradisional ke orientasi modern tempat terjadinya
difusi modal, teknologi, nilai-nilai, pengelolaan kelembagaan dan
orientasi politik dari dunia barat (kota) ke masyarakat yang masih
tradisional (desa). Pada mulanya, banyak yang menilai urbanisasi
sebagai suatu kesuksesan pembangunan nasional, karena dalam
proses tersebut terjadi replikasi pola Barat dan perluasan nilai-nilai
Barat dalam bidang teknologi, politik, ekonomi, dan budaya. Pada
tataran seperti ini, urbanisasi identik dengan modernisasi (Smith
dan Nemeth, 1988), dan proses tersebut meningkatkan intensitas
kontak sosial per unit waktu sehingga dapat menyebabkan perubahan
sosial.
Dari sisi legal formal, urbanisasi dapat dilihat dari perkembangan
kota yang telah ada. Secara hukum, kota memiliki batas-batas
admistratif tertentu, dan hanya dapat berubah melalui prosedur
legal formal. Konsep ini berbeda dengan konteks fungsional yang
batas-batas kotanya lebih ditentukan oleh fungsi atau karakteristik
suatu lokasi. Misalnya ada desa yang memiliki batas-batas wilayah
administratif tertentu, tetapi sebagian besar wilayahnya terklasifikasi
sebagai perkotaan.
Pendapat lain bahwa ada beberapa faktor penyebab seseorang
untuk urbanisasi adalah:
a. lapangan pekerjaan di kota lebih beragam;
b. fasilitas sosial di kota lebih memadai;
c. berpotensi sebagai tempat pemasaran;
d. tingkat upah yang tinggi;
e. tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan
jiwa (bakat) dan pengetahuan (sekolah);
f. kehidupan yang lebih modern dan mewah;
g. sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap;
h. banyak lapangan pekerjaan di kota.

Adapun faktor pendorong terjadinya urbanisasi adalah:


a. lahan pertanian yang semakin sempit;

192 Sosiologi Perkotaan


b. tidak cocok dengan budaya tempat asalnya;
c. tidak banyak lapangan pekerjaan;
d. terbatasnya sarana dan prasarana;
e. memiliki impian kuat menjadi orang kaya;
f. menyempitnya lapangan pekerjaan pada sektor pertanian,
serta pemilihan lahan pertanian semakin sulit dan sempit;
g. kurangnya fasilitas sosial;
h. tingkat upah relatif rendah;
i. tekanan adat-istiadat.

Adapun keuntungan urbanisasi adalah:


a. memodernisasikan warga desa;
b. menambah pengetahuan warga kota;
c. menjalin kerja sama yang baik antarwarga suatu daerah;
d. menyeimbangkan masyarakat kota dengan masyarakat
desa.

3. Teori-teori Urbanisasi
Evers dan Korff (2002) mengemukakan, riset mengenai proses
urbanisasi di negara berkembang sangat dipengaruhi oleh teori-
teori urbanisasi Eropa dan Amerika yang berpendapat bahwa
kota kecil (town) atau kota besar (city) adalah pusat kemajuan dan
pembangunan serta pusat perubahan sosial. Kritik terhadap teori
urbanisasi ini dikemukakan oleh Castells yang mengatakan kota
tidak otomatis sebagai pusat modernisasi dan belum tentu pula
menghimpun semua struktur modernitas.
Lima macam teori klasik dan neo-klasik tentang urbanisasi,
yaitu sebagai berikut.
a. Teori demografis tentang urbanisasi dan migrasi. Teori-teori
ini didominasi oleh model faktor pendorong-penarik (push-
pull factor), yang memandang kota sebagai faktor penarik
(pull factor), sedangkan desa sebagai faktor pendorong (push

Sosiologi Perkotaan 193


factor). Teori-teori ini cenderung bersifat deskriptif-analitis,
yang terbatas pada framework demografis.
b. Teori mengenai sistem kota. Teori ini mencakup antara lain kajian-
kajian tentang hierarki kota dan tempat-tempat sentral.
c. Teori kultural kota. Teori ini lebih memfokuskan diri pada aspek-
aspek seperti “petani di perkotaan” atau budaya miskin, atau
aspek-aspek yang berhubungan dengan kesadaran sosial dan
perubahan citra ruang di kota.
d. Teori tentang diferensiasi ruang dan sosial serta segregasi
(pemencilan) di perkotaan, yaitu ekologi sosial dalam pengertian
luas. Analisis wilayah sosial diperkenalkan oleh Shevky
dan Bell, sedangkan ekologi faktorial yang dikembangkan
Brian Berry. Model analisis tersebut banyak diterapkan
dengan menggunakan teknologi komputer terbaru. Dengan
metode ekologi faktorial dapat dilakukan analisis data yang
meragukan secara efektif dengan tingkat kesalahan yang relatif
kecil. Masalah utama dengan pendekatan ini adalah sulitnya
menafsirkan hasil-hasilnya atau memasukkannya ke dalam
konteks teoretis. Sampai sejauh ini, pendekatan ini belum
terbukti dapat menjelaskan fenomena khas underdevelopment
(keterbelakangan) kota atau membedakannya dari struktur
ruang kota-kota yang sudah maju dengan menggunakan
metode ekologi faktorial.
e. Teori neo-dualis. Dengan menggunakan karya-karya penulis
ekonomi politik perkotaan mazhab Prancis (Castell, Lojkine,
rangkumannya dalam versi bahasa Inggris ditulis oleh
Pickvance, 1976) dan tulisan para teoretis dualis lain, Milton
Santos berupaya mengembangkan teori kota Dunia Ketiga,
yaitu teori urbanisasi dependen. Penulis lain, Terry McGee,
menaruh perhatian terutama pada ekonomi bazar atau “sektor
informal” dan ia berhasil menunjukkan hasil penelitiannya
yang berskala besar tentang pengasong yang merupakan unsur
utama dari sector informal (McGee dan Yeung, 1978).

Secara keseluruhan, di kawasan Asia Tenggara, proses


urbanisasinya berjalan lambat, dan tingkatnya pun lebih rendah
dibandingkan kawasan lainnya. Pada kebanyakan negara Asia

194 Sosiologi Perkotaan


Tenggara, sebagian besar angkatan kerja masih bergerak dalam
sektor pertanian yang tinggal di desa-desa dan menganggap tinggal
di kota sebagai hal yang istimewa. Pada pihak lain, beberapa negara
seperti Indonesia (Jakarta), Filipina (Manila) dan Thailand (Bangkok)
memiliki kota besar dengan penduduk jutaan orang.
Urbanisasi yang cepat dan terpusat hanya pada satu kota
utama mengakibatkan timbulnya sejumlah masalah, seperti
kemacetan, polusi dan daerah kumuh. Dominasi berlebihan kota
utama menghambat pertumbuhan kota-kota yang lebih kecil, bahkan
dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, kota utama berekspansi
lebih cepat dibandingkan kota kecil.
Rendahnya tingkat urbanisasi keseluruhan, ditambah dengan
terkonsentrasinya penduduk pada satu kota utama yang memiliki
karakter heterogen, metropolitan, dan internasional bukan karakter
nasional, serta adanya fakta bahwa kota-kota utama (primate cities)
ini masih muda (usia di bawah 200 tahun) memperkuat kesan
bahwa urbanisme memang asing bagi budaya dan masyarakat Asia
Tenggara.
Pada masa kini, perkembangan urbanisasi di Asia Tenggara
tampak rancu dan cenderung ruwet untuk dianalisis. Salah satunya
adalah karena di Asia Tenggara sulit untuk menunjuk suatu gerakan
yang benar-benar gerakan sosial kota, gerakan yang berbasis pada
permasalahan kota, sebab antaragerakan yang bertujuan untuk
mencapai perubahan politik secara umum dan gerakan kota sulit
sekali dibedakan.

4. Dampak Urbanisasi
Akhir-akhir ini, urbanisasi menjadi fenomena yang mengglobal.
Bukan saja di negara berkembang seperti Indonesia, urbanisasi juga
terjadi di negara-negara maju sekalipun.
Menurut laporan State of World Population, pada tahun
2008, sekitar 3,3 miliar, atau lebih dari separuh penduduk dunia
warga dunia menjadi bagian dalam proses urbanisasi. Angka
itu diperkirakan akan meningkat menjadi lima miliar pada 2030
berdasarkan perkiraan Badan PBB yang mengurusi kependudukan
(UNFPA). Laporan tahunan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk

Sosiologi Perkotaan 195


Asia dan Pasifik (UNESCAP) juga menunjukkan, urbanisasi di
kawasan Asia Pasifik mencapai tingkat tertinggi di dunia, khususnya
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Masalah urbanisasi di Asia
Pasifik didorong oleh fakta bahwa kemajuan ekonomi umumnya
terjadi di kota, sementara aspek pertanian di perdesaan tidak
tergarap secara optimal.
Di Indonesia, berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS),
urbanisasi akan mencapai 68% pada 2005. Proyeksi itu mengacu
pada perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan
daerah perdesaan (urban rural growth difference/URGD). Dalam data
itu, terlihat provinsi di Pulau Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya
lebih tinggi daripada provinsi lain di Indonesia secara total. Bahkan,
tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2005 berada
di atas 80%, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan
Banten.
Secara teori, urbanisasi memang merupakan isu yang
multisektor dan kompleks. Dari aspek demografi, urbanisasi
merupakan proses adanya perubahan persebaran penduduk di
suatu wilayah. Hal ini menimbulkan dampak adanya kepadatan
penduduk, yang berimplikasi pada masalah-masalah kesehatan.
Secara ekonomi, urbanisasi terlihat dari adanya perubahan struktural
dalam sektor mata pencaharian. Dalam pengertian sosiologi, terlihat
adanya perubahan sikap hidup dari perdesaan menuju sikap hidup
orang kota.
Dampak urbanisasi yang biasanya menjadi perhatian adalah
masalah kemiskinan kota. Potret ini umumnya terekam melalui
wajah perkotaan, dengan sudut-sudut pemukiman kumuh. Hal ini
dikarenakan sebagian besar kaum urban adalah tenaga tidak terdidik
yang biasanya menjadi buruh kasar dan memperoleh penghasilan
minim. Akibatnya, mereka hanya mampu tinggal di kawasan kumuh
dengan segala permasalahannya.
Dampak yang terkait kesehatan adalah masalah air bersih
dan sanitasi. Berdasarkan laporan UNESCAP, dua dari tiap lima
penduduk kota tinggal di kawasan kumuh atau sekitar 40% warga
di tiap kota. Indonesia, Cina, dan Filipina adalah tiga negara yang
mengalami penurunan secara signifikan, tingkat ketersediaan air

196 Sosiologi Perkotaan


bersih bagi warga kota, yang paling merasakan dampak ini adalah
kaum miskin kota.
Akhirnya urbanisasi adalah masalah bersama. Beberapa
dampak positif, khususnya dalam konteks ekonomi dapat terus
dioptimalisasikan. Akan tetapi, dampak-dampak negatif yang muncul
mestinya menjadi perhatian serius. Bukan saja menjadi tanggung
jawab kementerian terkait di tingkat pusat, tetapi juga memerlukan
dukungan dan kapasitas pemerintahan di daerah. Apalagi, jika
menyangkut masalah kaum miskin kota. Oleh karena itu, dampak
urbanisasi desa ke kota adalah:
a. kepadatan penduduk tinggi;
b. kurang tenaga kerja;
c. tingkat kriminalitas tinggi;
d. terhambatnya pembangunan desa;
e. bertambahnya jumlah pengangguran;
f. menurunnya produktivitas pertanian;
g. menurunnya produktivitas pertanian;
h. sering terjadi kemacetan lalu-lintas.

Adapun upaya penanggulangan masalah urbanisasi, adalah:


a. mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di
desa;
b. melancarkan program kb baik di desa maupun di kota;
c. memperlancar pembangunan di bidang transportasi dan
komunikasi antarkota-desa;
d. pembangunan perumahan rakyat di pinggiran kota.

F. Migrasi
1. Pengertian
Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu
wilayah ke wilayah lain dengan tujuan untuk menetap. Pemahaman

Sosiologi Perkotaan 197


wilayah dalam hal ini menyangkut administrasi, seperti provinsi,
kabupaten, kecamatan, atau kelurahan/desa. Akan tetapi, dengan
adanya kemudahan dan perkembangan sarana, terutama sarana
transportasi, berkembanglah migrasi yang bersifat nontransimigrasi
atau migrasi mandiri, yaitu atas inisiatif sendiri karena faktor-faktor
dan pertimbangan tertentu.
Migrasi adalah proses berpindahnya penduduk dari suatu
tempat ke tempat lain melewati batas wilayah administrasi tertentu
yang dilalui dalam perpindahan tersebut. Perpindahan yang melewati
batas desa/kelurahan saja disebut sebagai migrasi antardesa/
kelurahan. Perpindahan yang melewati batas kecamatan disebut
migrasi antarkecamatan, yang melewati batas kabupaten/kota
disebut migrasi antarkabupaten/kota dan yang melewati batas
provinsi disebut migrasi antarprovinsi. Penduduk yang melakukan
perpindahan disebut migran.
Berdasarkan jenisnya, migrasi dapat dibedakan dalam tiga
kategori berikut.
a. Migrasi seumur hidup, (life time migrant) adalah mereka yang
pindah dari tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau
mereka yang tempat tinggalnya sekarang bukan di wilayah
provinsi tempat kelahirannya. Penghitungan jumlah migran
masuk dan migran ke luar seumur hidup menggunakan matrik
tabel silang antaratempat tinggal sekarang dan tempat lahir.
Jumlah migran masuk seumur hidup ke suatu provinsi adalah
banyaknya penduduk yang tempat lahirnya di luar provinsi
tersebut. Adapun jumlah migran ke luar seumur hidup dari
suatu provinsi adalah banyaknya penduduk provinsi lain yang
tempat lahirnya di provinsi tersebut.
b. Migran risen (risen migrant) adalah mereka yang pindah
melewati batas provinsi dalam kurun 5 tahun terakhir sebelum
pencacahan. Jumlah migran masuk risen ke suatu provinsi
adalah banyaknya penduduk yang tempat tinggalnya 5 tahun
lalu di luar provinsi tersebut. Adapun jumlah migran ke luar
risen dari suatu provinsi adalah banyaknya penduduk provinsi
lain yang 5 tahun yang lalu tinggal di provinsi tersebut.

198 Sosiologi Perkotaan


c. Migran total (total migrant) adalah mereka yang pernah
pindah antarprovinsi tanpa memerhatikan kapan pindahnya,
sehingga provinsi tempat tinggal sebelumnya berbeda dengan
provinsi tempat tinggal sekarang. Tingkat migrasi (migration)
di suatu daerah dapat diketahui dari migrasi neto, yaitu selisih
antaramigrasi ke luar (out migration) dengan migrasi masuk
(in migration). Jika migrasi ke luar lebih banyak dari migrasi
masuk, migrasi neto negatif. Artinya jumlah penduduk di suatu
daerah itu berkurang. Sebaliknya bila migrasi ke luar lebih
sedikit, maka migrasi neto positif. Artinya jumlah penduduk
di suatu daerah itu bertambah.

Tingkat migrasi masuk adalah banyaknya migran masuk ke


suatu daerah per 1.000 penduduk daerah tersebut. Angka migrasi
ke luar adalah banyaknya migran ke luar dari suatu provinsi per
1.000 penduduk provinsi tersebut. Tingkat migrasi netto adalah
banyaknya migran netto (masuk dikurangi ke luar) per 1.000
penduduk daerah tersebut.
Ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam studi migrasi
penduduk, (Lee: 1987), yaitu: (1) faktor daerah asal; (2) faktor yang
terdapat pada daerah tujuan; (3) rintangan antara; (4) faktor-faktor
individual. Adapun ukuran-ukuran migrasi, adalah:
a. Angka migrasi masuk (mi), yang menunjukkan banyaknya
migran yang masuk per 1.000 penduduk di suatu kabupaten/
kota tujuan dalam satu tahun.
b. Angka migrasi keluar (mo), yang menunjukkan banyaknya
migran yang keluar dari suatu kabupaten/kota per 1.000
penduduk di kabupaten/kota asal dalam satu tahun.
c. Angka migrasi neto (mn), yaitu selisih banyaknya migran
masuk dan keluar ke dan dari suatu kabupaten/kota per 1.000
penduduk dalam satu tahun.

Untuk perhitungan angka migrasi, populasi yang dihitung


adalah penduduk usia 5 tahun ke atas. Oleh karena itu, dalam
perhitungan angka migrasi menurut kelompok umur, penduduk
usia 0-4 tahun datanya tidak tersedia. Untuk mengatasi hal ini,

Sosiologi Perkotaan 199


khusus kelompok umur 0-4 tahun, digunakan data migrasi seumur
hidup.

2. Teori Migrasi
a. Teori Migrasi Everett S. Lee
Keinginan dan keputusan bermigrasi terjadi akibat hasrat
untuk memperbaiki salah satu aspek kehidupan, sehingga keputusan
seseorang melakukan migrasi dapat disebabkan oleh berbagai
macam faktor. Lee (1987) menyebutkan empat faktor yang perlu
diperhatikan dalam studi migrasi penduduk, yaitu:
1) faktor-faktor daerah asal;
2) faktor-faktor yang terdapat pada daerah tujuan;
3) rintangan antara (rintangan yang menghambat);
4) faktor-faktor individual.

Setiap daerah memiliki faktor-faktor yang menahan seseorang


untuk tidak meningggalkan daerahnya atau menarik orang untuk
pindah ke daerah tersebut. Ada faktor-faktor yang memaksa mereka
untuk meningggalkan daerah tersebut. Ada pula faktor yang tidak
memengaruhi penduduk untuk bermigrasi. Di antara keempat faktor
tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam penentuan untuk bermigrasi. Penilaian positif atau negatif
terhadap suatu daerah bergantung pada individu itu sendiri. Semakin
maju kondisi sosial ekonomi, semakin mendorong terciptanya
berbagai faktor pendorong dan penarik, seperti perkembangan
industri, perdagangan, perumahan dan transportasi. Hal tersebut
merupakan kondisi yang diminati oleh banyak penduduk dengan
harapan dapat memenuhi kebutuhannnya.

b. Teori Migrasi Todaro


Teori ini berasumsi bahwa perpindahan penduduk dari desa ke
kota sebenarnya merupakan fenomena ekonomi. Dengan demikian,
keputusan bermigrasi merupakan keputusan yang dirumuskan
secara rasional dan para imigran tetap saja bermigrasi meskipun
tahu risiko bermigrasi. Teori ini juga mendasarkan pemikiran

200 Sosiologi Perkotaan


bahwa arus migrasi berlanjut dan berlangsung sebagai anggapan
adanya perbedaan pendapatan antara kota dan desa. Premis dasar
dalam model ini adalah bahwa para migran menimbang dan
membandingkan jenis-jenis pasar tenaga kerja pada sektor perdesaan
dan perkotaan, serta memilih dan memaksimalkan keuntungan
yang diharapkan dari migrasi. Para migran akan memutuskan
untuk melakukan migrasi jika penghasilan bersih di kota melebihi
penghasilan bersih yang tersedia di desa. Teori ini menitikberatkan
pengaruh faktor selisih pendapatan sebagai penentu keputusan
akhir untuk bermigrasi. Para migran ini biasanya bermigrasi guna
mencari upah di kota yang lebih tinggi. Model migrasi ini hanya
cocok untuk dikembangkan dalam konteks perekonomian industri
maju sehinggga secara implisit mengasumsikan adanya kesempatan
kerja penuh atau hampir penuh.
Arus migrasi ini akan berhenti dengan sendirinya jika selisih
pendapatan di desa dan kota mengecil (upah di kota menurun
karena jumlah pekerja yang tersedia bertambah, sedangkan upah
di desa meningkat karena jumlah tenaga kerja menyusut) sampai
akhirnya sama. Berdasarkan pemikiran ini, migrasi dianggap bukan
suatu masalah yang perlu perlu dikhawatirkan karena mekanisme
pasar akan mampu menghentikan atau meningkatkannya sesuai
dengan kebutuhan yang ada. Akan tetapi, analisis seperti ini tidak
realistis apalagi jika dikaitkan dengan kerangka kelembagaan dan
ekonomi di sebagian negara berkembang, seperti di Indonesia.
Sejumlah alasan yang kuat untuk mengatakan analisa itu tidak
realistis, adalah sebagai berikut.
1) Negara-negara berkembang pada umumnya menghadapi
masalah penganggguran yang serius dan kronis sehinggga
seorang migran tidak dapat berharap segera mendapatkan
pekerjaan dengan gaji yang tinggi di kota.
2) Banyak migran yang tidak terdidik dan tidak mempunyai
keahlian, menjadi pengangguran atau mencoba mencari
pekerjaan lepas, misalnya menjadi pekerja di bidang informal
yang relatif mudah dimasuki, beroperasi pada skala kecil dan
dengan upah yang relatif bersaing.
3) Penduduk migran yang terdidik memiliki peluang yang lebih
baik. Beberapa di antaranya akan menemukan pekerjaan pada

Sosiologi Perkotaan 201


sektor formal lebih cepat. Akan tetapi, pekerja terdidik hanya
bagian kecil dari aliran penduduk migran secara total. Itu
berarti sebelum ada keputusan untuk bermigrasi, para calon
migran harus mempertimbangkan kemungkinan dan risiko
menganggur dalam jangka waktu yang cukup lama.

Apabila para calon migran memperkirakan bahwa nilai-nilai


kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan tetap relatif rendah
pada periode awal, bobot kemungkinan tersebut diharapkan akan
meningkat seiring dengan berjalannya waktu dan semakin kuasnya
hubungan atau koneksinya. Dengan demikian, tetap rasional baginya
untuk bermigrasi meskipun penghasilannya yang diharapkan pada
periode awal mungkin lebih rendah daripada pendapatan yang
diperolehnya di pedesaan. Dengan demikian, migrasi dari desa ke
kota bukanlah proses positif yang menyamakan tingkat upah di
perkotaan dan di desa, melainkan kekuatan yang menyeimbangkan
jumlah pendapatan yang diharapkan di desa dan di kota.

202 Sosiologi Perkotaan


BAB 7
KOTA DAN MASYARAKAT
INDUSTRI
“Industrialisasi adalah jalan keluar dari kemiskinan
yang bersumber dari kebergantungan pada sector agraris”
(Sumitro Djojohadikusumo).

A. Pengantar
Industrialisasi bagi negara-negara berkembang, seperti halnya
Indonesia merupakan keniscayaan. Bahkan, dianggap sebagai
pilihan strategi dalam model pembangunan yang bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi. Industrialisasi dianggap sebagai kunci ke arah
kemakmuran yang didambakan setiap bangsa. Salah satunya adalah
untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini karena pembangunan
ekonomi pada suatu negara pada dasarnya mempunyai keterkaitan
yang erat dengan industrialisasi. Kemajuan daerah perkotaan pada
dasarnya ditopang oleh industri sebagai sektor-sektor andalan.
Industri merupakan salah satu pembangunan yang mengarah
pada proses perubahan perekonomian dari yang sebagian besar
berupa pedesaan dan pertanian, menjadi perkotaan, industri dan
jasa-jasa dalam kompetisinya. Pembangunan ekonomi ini pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya transformasi struktural,
yaitu proses pergeseran pertumbuhan sektor produksi dari yang

Sosiologi Perkotaan 203


semula mengandalkan sektor primer (pertanian) menuju sektor
sekunder (industri) dan kemudian sektor jasa-jasa (Yustika,2000:
62). Pergeseran pertumbuhan sektor produksi ini secara langsung
juga berpengaruh pada perubahan komposisi tenaga kerja dari yang
semula bermata pencarian utama pada sektor pertanian, bergeser
pada sektor lain, seperti pada sektor industri serta perdagangan
dan jasa.
Hal tersebut dilakukan sebab industri sebagai salah satu strategi
pembangunan dianggap mampu memajukan proses pertumbuhan
suatu negara. Industrialisasi dianggap mampu meningkatkan
kemakmuran suatu negara secara lebih cepat dibandingkan dengan
strategi lain. Industrialisasi saat ini telah menjadi unsur utama
dalam ideologi pembangunan nasional di berbagai negara terutama
di negara-negara sedang berkembang (Yustika, 2000: 60). Sekalipun
demikian, industri bukanlah tujuan akhir dari pembangunan
ekonomi, melainkan hanya menjadi salah satu strategi dalam
mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat
pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan.
Kuntowijoyo (1991: 2) mengatakan bahwa industri merupakan
salah satu variabel pendorong perubahan sosial yang dominan dalam
abad-abad terakhir, sehingga kehadiran industri akan memunculkan
apa yang disebut dengan masyarakat industri (kota), yang berbeda
sekali dengan apa yang disebut dengan masyarakat agraris (desa).
Transformasi sosial menuju masyarkat industri (kota) merupakan
sunatullah yang tidak dapat dielakan. Namun, ia juga memberikan
rambu-rambu bahwa industrialisasi bukanlah perjalanan sejarah
yang unilineal dari masyarkat agraris ke masyarakat industri,
masyarakat desa ke masyarakat kota, tetapi merupakan evolusi
yang multilineal.
Oleh karena itu, hal yang tidak bisa dihindari dari adanya
industrialisasi adalah terjadinya urbanisasi (sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya). Menurut para ahli, urbanisasi berdampingan
dengan industrialisasi. Sebaliknya, industrialisasi akan mendorong
proses urbanisasi. Perkembangan industri dan perdagangan
akan menciptakan daya tarik kota. Kedatangan penduduk yang
menggerumuni pusat-pusat industri akan memperluas kota lebih
lanjut (Horton, 1984: 137). Dengan demikian, industri merupakan

204 Sosiologi Perkotaan


salah satu daerah inti dari perkembangan atau pertumbuhan sebuah
kota.
Sekali lagi, urbanisasi dekat dengan industrialisasi, modernisasi,
dan pembangunan ekonomi, untuk membawa perubahan mendasar
dalam masyarakat. Urbanisasi merupakan proses transformasi suatu
masyarakat dari yang semula memiliki dasar pedesaan menjadi
dominan bersifat perkotaan (Yeates & Garner,1980). Urbanisasi
umumnya tampak pada pertumbuhan bentuk muka kota serta pada
perkembangan jumlah, ukuran, dan luas areanya.
Perubahan secara fisik ditandai dengan adanya peningkatan
penggunaan lahan untuk kegiatan nonpertanian, seperti industri,
permukiman, serta perdagangan dan jasa. Segi ekonomi ditunjukkan
melalui peningkatan produksi pada sektor-sektor nonpertanian. Akan
tetapi, industri bukan hanya merupakan proses pertumbuhan kota,
industri merupakan proses yang kompleks dari berbagai perubahan
ekonomi, sosial dan politik, yang memunculkan nilai-nilai baru,
pemikiran, perilaku, lembaga dan organisasi dalam masyarakat
(Yeates & Garner,1980).
Perubahan sosial menuju masyarakat industri merupakan
sesuatu yang tidak terelakkan. Proses industrialisasi ini tidak hanya
berlaku di kota-kota besar, tetapi juga untuk kota-kota kecil yang
ada di Indonesia. Industrialisasi, seperti yang dikatakan Gunnar
Myrdal, yang diwujudkan dengan pendirian pabrik-pabrik besar dan
modern, dianggap sebagai simbol dari kemajuan (Rahardjo, 1984:
3). Di samping itu, industrialisasi sering dinilai sebagai ‘kunci’ yang
bisa membawa masyarakat ke arah kemakmuran, motor penggerak
pembangunan ekonomi.

B. Industrialisasi: Proses Menjadi Masyarakat Industri


Proses industrialisasi yang sebagian besar berlangsung di
perkotaan mengakibatkan kota kebanjiran imigran dari desa-desa
dengan segala aspeknya. Tentu saja, perbedaan budaya antara
desa dan kota dan proses adaptasi mengakibatkan terjadinya
akulturasi dan asimilasi budaya masyarakat urban perkotaan. Dalam
konteks industrialisasi, hubungan desa-kota bukan lagi hubungan
administratif an sich, melainkan sebagai transformasi budaya dan
sosial.

Sosiologi Perkotaan 205


Gulick (1969: 150) dalam Cultural Continuities in the Twentieth
Century Middle Eastern Cultures, menyebutkan pola hubungan antara
desa-kota setelah terjadi industrialisasi dalam kasus tentang adaptasi
migran pedesaan di kota-kota Timur Tengah yang mengalami
industrialisasi, yaitu Pemeliharaan ikatan-ikatan pedesaan secara
alamiah mencakup komunikasi, tetapi di balik hal tersebut ada
sejumlah pola budaya yang terkandung dalam hubungan transformasi
tersebut, yaitu: (1) secara teratur kembali ke desa asal untuk menikah,
pemakaman dan upacara-upacara lainnya; (2) pertukaran pemberian
secara teratur (seperti produk desa) dan kunjungan-kunjungan;
(3) perubahan tempat tinggal secara musiman; (4) pulang pergi ke
tempat tinggal secara berkala.
Ciri-ciri pedesaan yang dibawa oleh masyarakat urban di kota
menunjukkan pola yang berbeda didasarkan pada ciri-ciri desa
asal yang dibawa oleh migran. Laporan penelitian UNESCO (1959)
tentang desa-kota di Asia yang mengalami proses industrialisasi
dan urbanisasi menggambarkan beberapa kota di Asia dan Timur
Jauh, bertentangan dengan kota-kota yang ada di Barat. Kota–kota
itu masih memiliki ciri-ciri pedesaan yang kental atau kebiasaan
pengelompokan desa-desa.
Pada umumnya, kota-kota di negara berkembang cenderung
didikotomikan menjadi dua kawasan yang berbeda, yaitu: (1)
kawasan tipe Barat; dan 2) kawasan tipe pribumi yang terdiri atas
pengelompokkan desa-desa. Akibatnya, walaupun elite penduduk
pribumi yang minoritas itu muncul di kota-kota Asia, mereka
memiliki ciri yang sama dengan penduduk yang tinggal di pedesaan
dan cenderung mempertahankan ciri desa (folk). Ciri penduduk kota
diidentikkan dengan semacam dikotomi “kota-desa” atau kategori
“komunitas-masyarakat”. Artinya walaupun terjadi proses urbanisasi,
industrialisasi dan perkembangan ekonomi berkaitan serta kota-kota
masyarakat tradisional memainkan peranan dalam memodernkan
struktur sosial dan ekonomi, tetapi sistem-sistem budaya, sikap
individu dan tradisi tidak hancur secara keseluruhan.
Menurut Moore (1965: 201), munculnya industrialisasi tidak
hanya merupakan unsur pokok bagi pertumbuhan ekonomi secara
mendasar, tetapi juga mengarah pada penciptaan suatu budaya
umum. Proses ini berlangsung secara kontinu yang selalu melibatkan

206 Sosiologi Perkotaan


faktor ekonomi, urbanisasi, transformasi sosial budaya menuju
keseimbangan struktur sosial yang baru.

C. Pengertian Industri dan Industrialisasi


Dalam pengertian luas, industri mencakup semua usaha dan
kegiatan pada bidang ekonomi yang bersifat produktif. Adapun
pengertian secara sempit, industri atau industri pengolahan adalah
kegiatan yang mengubah barang dasar secara mekanis, kimia, atau
dengan tangan sehingga menjadi barang setengah jadi atau barang
jadi, dalam hal ini termasuk kegiatan jasa industri dan pekerja
perakitan (assembling). Dumairy (1996: 207) menjelaskan bahwa
industri mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. himpunan perusahaan sejenis, contoh industri kertas berarti
himpunan perusahaan penghasil kertas.
2. sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif
yang mengolah barang mentah menjadi barang setengah jadi
atau barang jadi.

Dalam pengertian kedua, kata industri sering disebut sektor


industri pengolahan atau manufaktur, yaitu salah satu faktor
produksi atau lapangan usaha dalam perhitungan pendapatan
nasional menurut pendekatan produksi.
Ketika satu negara telah mencapai tahap ketika sektor
industri menjadi leading sector, negara tersebut dapat dikatakan
telah mengalami industrialisasi (Ahmad Erani Yustika, 2000:
45). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa industrialisasi
merupakan transformasi struktural dalam suatu negara. Oleh
sebab itu, proses industrialisasi dapat didefinisikan sebagai proses
perubahan struktur ekonomi yang di dalamnya terdapat kenaikan
kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB,
ekspor dan kesempatan kerja. Industrialisasi dalam pengertian lain
adalah proses modernisasi ekonomi yang mencakup seluruh sektor
ekonomi yang mempunyai kaitan satu sama lain dengan industri
pengolahan. Artinya industrialisasi bertujuan meningkatkan nilai
tambah seluruh sektor ekonomi dengan sektor industri pengolahan
sebagai leading sektor.

Sosiologi Perkotaan 207


Industrialisasi dianggap sebagai satu-satunya jalan pintas
untuk meretas nasib kemakmuran suatu negara secara lebih cepat
dibandingkan apabila tanpa melalui proses tersebut. Dengan
pegangan itulah, hampir semua negara di dunia ini telah dan
sedang menempuh strategi industrialisasi tersebut, dengan beberapa
karakteristik yang berbeda antara satu negara dengan negara
lainnya. Karena pararelisme antarajalannya pembangunan dan
strategi industrialisasi itulah, dalam perjalanannya bisa dikatakan
pemaknaan pembangunan hampir identik dengan industrialisasi
sehingga di antara keduanya tidak terpisahkan.
Indonesia sebagai negara berkembang juga tidak luput dari
virus industrialisasi tersebut. Semenjak pembangunan ekonomi
dimulai secara terencana sejak tahun 1969, pendekatan yang
digunakan Indonesia adalah strategi industrialisasi. Ada dua
pertimbangan penting yang melandasi penggunaan strategi
industrialisasi tersebut. Pertama, pada tahun-tahun tersebut, negara-
negara di seluruh dunia juga mengerjakan proyek industrialisasi
di negara masing-masing dengan dukungan teori pembangunan
ekonomi yang memadai. Kedua, sejarah negara yang telah berhasil
memajukan ekonominya selalu melewati tahapan industrialisasi
pada proses pembangunannya. Strategi ini dianggap berhasil
karena secara perlahan-lahan menggeser kegiatan ekonomi dari
semula terkonsentrasi pada sektor primer (pertanian) menuju sektor
sekunder (industri/jasa).
Dengan pertimbangan itulah, proyek industrialisasi juga
dikerjakan di Indonesia dengan konsistensi yang cukup terjaga.
Sejarah mencatat bahwa industrialisasi di Indonesia pada akhirnya
juga menggeser aktivitas ekonomi masyarakat, dari yang semula
bertumpu pada sektor pertanian kemudian bersandar pada
sektor industri. Karena adanya kesadaran bahwa sebagian besar
masyarakat Indonesia bergulat pada sektor agraris dan sumber daya
ekonomi yang melimpah pada sektor pertanian, industrialisasi yang
dilaksanakan di Indonesia harus melibatkan sektor pertanian dalam
prosesnya. Dalam bahasa yang tegas, bahwa industrialisasi yang
dijalankan tersebut harus bertumpu dan berkaitan dengan sektor
pertanian; sehingga sektor industri yang sudah tumbuh pesat pun
tidak lantas mematikan sektor pertanian yang menjadi tumpuan
hidup masyarakat banyak.

208 Sosiologi Perkotaan


Salah satu aspek penting transformasi struktur perekonomian
Indonesia sepanjang era Orde Baru adalah peningkatan peranan
sektor industri yang tergolong sangat pesat. Meskipun sektor-sektor
lain juga mengalami pertumbuhan, pertumbuhannya cenderung
lebih lamban daripada sektor industri.

D. Konsep Industrialisasi
Jika sebuah negara telah mencapai tahapan sektor Industri,
negara tersebut dianggap telah mengalami tahap industrialisasi.
Dalam hal ini transformasi struktural diharuskan, karena sektor
primer dipandang tidak memiliki nilai tambah (value added) yang
tinggi serta nilai tukar (term of trade) yang rendah.
Menurut pendekatan ini, industrialisasi dianggap sebagai
proses pertumbuhan ekonomi dalam wujud akselerasi investasi
dan tabungan. Jika tingkat tabungan cukup tinggi, kemampuan
sebuah negara untuk mengadakan investasi juga meningkat sehingga
target pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja lebih
mungkin digapai secara cepat. Sebaliknya, jika tingkat tabungan
yang dihimpun tidak memadai untuk mengejar target investasi
yang dibutuhkan, sudah tentu pertumbuhan ekonomi tidak tercapai,
sekaligus meniadakan penyerapan tenaga kerja.
Dalam menjelaskan proses industrialisasi, model neoklasik
berpendapat lain. Tokoh-tokohnya seperti W. Arthur Lewis
dan Hollis Chenery, lebih menekankan perhatiannya kepada
mekanisme yang memungkinkan perekonomian negara terbelakang
mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka
dari sesuatu yang berat ke pertanian tradisional, untuk mencukupi
kebutuhan sendiri, kepada sesuatu perekonomian yang lebih modern,
lebih mengarah ke kota dan lebih beraneka di bidang industri dan
jasa. Jadi, model neoklasik lebih memusatkan terjadinya “mekanisme”
perubahan struktural tersebut. Untuk itu, piranti analisis yang
dipakai banyak menggunakan teori neoklasik tentang harga dan
alokasi sumber daya, serta model-model ekonometrik.
Dalam sudut pandang ini, yang terpenting dari industrialisasi
bukannya pergeseran aktivitas ekonomi maupun jumlah investasi
yang berhasil diakumulasi, melainkan yang lebih ditekankan

Sosiologi Perkotaan 209


adalah apakah pada saat yang bersamaan, faktor-faktor lain yang
terlibat dalam proses tersebut juga ikut bergeser. Faktor-faktor
tersebut meliputi tenaga kerja, modal, dan kontribusinya terhadap
pendapatan nasional.
Pada dekade 1980-an, pandangan mengenai pemaknaan
industrialisasi di atas mendapat kritik dari Joan Robinson (ekonom
dari Cambridge University), Cohen dan Zysman (ekonom dari
California University). Ketiganya mengemukakan argumentasi bahwa
transformasi ekonomi hendaklah dipahami dan diinterpretasikan
bukan hanya dalam konteks pergeseran struktural dari sektor
pertanian pada sektor manufaktur dan kemudian sektor jasa. Tahap-
tahap transformasi hendaklah dipahami dalam pergeseran proses
dinamika yang terjadi dalam sektor pertanian dan sector-sektor
pendukungnya. Dan kegiatan-kegiatan pendukung ini hendaklah
dilihat apakah mempunyai kaitan dengan sektor pertanian. Secara
spesifik, ekonom Cambridge tersebut telah meletakkan sektor
pertanian sebagai pondasi pembangunan dan sektor industry
sebagai motor pembangunan dengan saling keterkaitan yang kukuh.
Sebagai motor pembangunan, sektor industri merupakan off shoot
dari sektor pertanian.
Pandangan terakhir ini sangat cocok dan memadai untuk
melihat kasus Indonesia mengingat karakteristik potensi sektor
basis yang dimiliki, yaitu sektor pertanian. Dengan economic
endowment pada sektor pertanian, industrialisasi yang dijalankan
harus distimulus dan didasarkan pada sektor tersebut sehingga tidak
akan mengganggu kondisi ketenagakerjaan. Jika model industrialisasi
ini yang ditempuh, dua hal penting segera akan dicapai; pada satu
sisi akan diperoleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai
dan pada sisi lainnya jumlah tenaga kerja yang dapat terlibat dalam
proses industrialisasi sangat banyak. Dengan demikian, adanya
proses Industri alisasi yang diakselerasi di Indonesia tidak akan
menimbulkan banyak masalah seperti yang terjadi di banyak negara,
misalnya pengangguran dan ketimpangan pendapatan.
Berdasarkan pandangan semacam itu, paling tidak transformasi
ekonomi bisa dikarakteristikkan dalam dua hal. Pertama, sektor
pertanian harus terus mengalami dinamika internal (berupa
produktivitas yang terus meningkat) dan menjadi basis bagi

210 Sosiologi Perkotaan


sektor industri yang akan dikembangkan. Kedua, sektor industri
yang dikembangkan mempunyai saling keterkaitan dengan sektor
pertanian, di mana keterkaitan sektor industri dan pertanian yang
didinamisasikan secara luar biasa merupakan kunci bagi pertumbuhan
sektor manufaktur. Di samping konsep-konsep di atas, para ekonom
memiliki kesepakatan mendasar guna mengetahui kecenderungan
telah terjadinya proses industrialisasi di suatu negara. Dalam
model konvensional tersebut, karakterisrik industrialisasi biasanya
diukur dengan lima indikator. Pertama, pertumbuhan ekonomi
meningkat melebihi pertumbuhan penduduk. Kedua, share sektor
primer menurun. Ketiga, share sektor sekunder meningkat. Keempat,
share sektor jasa lebih kurang konstan sehingga sebuah negara
menjadi negara industri baru. Kelima , konsumsi pangan menurun.
Implikasinya, pada sisi produksi peran sektor primer berkurang
dan di sudut permintaan peran faktor konsumsi berkurang.

E. Industrialisasi di Indonesia
Pembangunan industri merupakan bagian dari pelaksanaan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam mencapai sasaran
Pembangunan Jangka Panjang yang bertujuan membangun industri,
sehingga bangsa Indonesia mampu tumbuh dan berkembang atas
kekuatan sendiri berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Menurut departemen perindustrian, industri nasional Indonesia
dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar berikut.
1. Industri Dasar yang meliputi kelompok industri mesin dan
logam dasar (IMLD) dan kelompok kimia dasar (IKD). IMLD
antara lain industri mesin pertanian, elektronika kereta api,
pesawat terbang, kendaraan bermotor, besi baja, aluminium,
tembaga, dan sebagainya. Adapun IKD antara lain industri
pengolahan kayu dan karet alam, industri pestisida, industri
pupuk, industri semen, industri batubara dan sebagainya.
Industri dasar mempunyai misi untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, membantu penjualan struktur industri
dan bersifat padat modal. Teknologi tepat guna yang digunakan
adalah teknologi maju, teruji dan tidak padat karya, tetapi
dapat mendorong terciptanya lapangan kerja baru secara

Sosiologi Perkotaan 211


besar sejajar dengan tumbuhnya industri hilir dan kegiatan
ekonomi lainnya.
2. Industri kecil yang meliputi industri pangan, industri sandang
dan kulit, industri kimia dan bahan bangunan, industri galian
bukan logam dan industri logam. Kelompok industri kecil ini
mempunyai misi melaksanakan pemerataan. Teknologi yang
digunakan teknologi menengah atau sederhana dan padat
karya. Pengembangan industri kecil ini diharapkan dapat
menambah kesempatan kerja dan meningkatkan nilai tambah
dengan memanfaatkan pasar dalam negeri dan pasar luar
negeri (ekspor).
3. Industri hilir, yaitu kelompok Aneka Industri (AI) yang
meliputi industri yang mengolah sumber daya hutan, industri
yang mengolah hasil pertambangan, industri yang mengolah
sumber daya pertanian secara luas dan lain-lain. Kelompok
AI ini mempunyai misi meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan atau pemerataan, memperluas kesempatan kerja, tidak
padat modal dan teknologi yang digunakan adalah teknologi
menengah dan atau teknologi maju. Adapun menurut Biro
Pusat Statistik (BPS), berdasarkan jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan, industri dibedakan menjadi empat, yaitu:
a. perusahaan/industri besar jika mempekerjakan 100 orang
atau lebih;
b. perusahaan/industri sedang jika mempekerjakan 20-99
orang;
c. perusahaan/industri kecil jika mempekerjakan 5-19
orang;
d. industri kerajinan rumah tangga jika mempekerjakan
kurang dari 3 orang (termasuk tenaga kerja yang tidak
dibayar).

Dari segi kesempatan kerja yang diciptakan, industri kerajinan


rumah tangga adalah yang paling penting. Adapun dari segi nilai
tambah yang dihasilkan, perusahaan-perusahaan industri besar
atau sedang adalah yang paling menonjol. Keragaman sektor
industri di Indonesia telah menghadapkan para perencana ekonomi

212 Sosiologi Perkotaan


Indonesia pada suatu dilema. Apabila tujuan yang diutamakan
adalah penciptaan lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan,
sumber-sumber ekonomi yang tersedia harus disalurkan pada
usaha-usaha yang membantu sektor kerajinan rumah tangga yang
tidak produktif dan tidak banyak diketahui ini. Apabila tujuan yang
diutamakan adalah pertumbuhan ekonomi, sumber-sumber tersebut
haruslah diarahkan pada usaha-usaha pengembangan perusahaan
industri besar.
Dalam operasionalisasi yang paling tampak, ada tiga
pemikiran strategi industrialisasi yang berkembang di Indonesia,
yang ketiganya pernah diaplikasikan secara tersendiri maupun
bersama-sama. Pertama, strategi industrialisasi yang mengembangkan
industri-industri yang berspektrum luas (broad-based industry).
Pada kenyataannya, strategi ini lebih menekankan pengembangan
industri-industri berbasis impor (footlose industry) industri negara
lain. Misalnya industri elektronik, tekstil, otomotif dan lain-lain.
Kedua, strategi industrialisasi yang mengutamakan industri-industri
berteknologi canggih berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri
pesawat terbang, industri peralatan dan senjata militer, industri
kapal dan lain-lain. Ketiga, industri hasil pertanian (agroindustri)
berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan pembangunan
pertanian. Ketiga, pemikiran tersebut mendapatkan legitimasi
yang sama-sama kuat mengingat adanya argumentasi-argumentasi
rasionalitasnya.

F. Struktur Ekonomi Indonesia


Istilah struktur dipakai untuk menunjukkan susunan atau
komposisi dari sesuatu. Dengan demikian, Struktur ekonomi
dipergunakan untuk menunjukkan komposisi atau susunan sektor-
sektor ekonomi dalam suatu perekonomian. Sektor yang dominan
atau yang diandalkan mempunyai kedudukan paling atas dalam
struktur tersebut dan menjadi ciri khas dari suatu perekonomian.
Sektor ekonomi yang dominan atau yang diandalkan adalah sektor
ekonomi yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian terbesar
penduduk serta menjadi penyerap tenaga kerja yang terbesar.
Sektor ekonomi yang dominan atau andal dapat juga berarti
sektor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap produk

Sosiologi Perkotaan 213


nasional dengan laju pertumbuhan yang tinggi, yang menjadi ciri
khas dari suatu perekonomian. Ada dua macam struktur ekonomi,
yaitu:
1. Struktur agraris, yaitu struktur ekonomi didominasi oleh sektor
pertanian. Sektor pertanian menjadi sumber mata pencaharian
sebagian terbesar penduduknya. Pada umumnya, negara-
negara berkembang (developing countries) termasuk Indonesia
disebut negara agraris dan negara-negara yang termasuk
negaranegara belum berkembang (under developed countries)
yang pertaniannya masih sangat tradisional dikategorikan
negara agraris tradisional.
2. Industri, yaitu struktur ekonomi didominasi oleh sektor
industri. Sebagian terbesar produk domestik disumbangkan
dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggal disumbangkan
oleh sektor industri. Negara Amerika Serikat, Jerman, Inggris,
Prancis, Italia, Jepang dan Kanada yang termasuk negara
industri maju negara-negara Eropa dan negara-negara lainnya
termasuk Negara

G. Perubahan Sosial Masyarakat Agraris (Desa) ke


Industri (Kota)
Perubahan masyarakat tradisional (agraris) ke masyarakat
industri (modern) merupakan akibat dari derasnya proses
modernisasi dengan berbagai nilai dan teknologi yang ditawarkan
(Munandar Soelaiman, 1998: 93). Hal ini karena modernisasi
melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku
sosial, termasuk di dalamnya industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi,
sekularisasi, sentralisasi, dan sebagainya (Suwarsono, 2006: 23).
Bahkan, modernisasi dianggap sebagai proses transformasi nilai.
Artinya untuk mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai
tradisional secara total harus diganti dengan seperangkat struktur
dan nilai-nilai modern (Suwarsono, 2006: 23).
Akhirnya, struktur masyarakat agraris yang memiliki nilai-nilai
sosial seperti gotong royong yang sangat kuat telah berubah. Pada
masyarakat industri terjadi pembagian kerja karena kebutuhan-
kebutuhan masyarakat industri sangat kompleks dan hanya dapat

214 Sosiologi Perkotaan


diselesaikan dengan pembagian tugas (Iihat Soesrodihardjo, 1991:
45).
Dampak perubahan dari daerah agraris menjadi industri,
yang signifikan meliputi perubahan mata pencaharian, yaitu terjadi
pergeseran orientasi dari sektor pertanian menjadi sektor industri,
jasa dan perdagangan. Kenyataan tersebut tidak bisa dielakkan,
bahwa industrialisasi pada masyarakat pertanian (agraris) yang ada
di wilayah pedesaan merupakan salah satu penyebab perubahan
sosial yang memengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakatnya.
Proses industrialisasi diyakini mampu mengubah pola hubungan
kerja tradisional (buruh tani atau petani) menjadi modern rasional
(buruh pabrik atau karyawan).
Nilai gemeinschaft antartenaga kerja dalam kehidupan pertanian
tradisional berubah menjadi gesselschaft. Hubungan antarapemilik
dan pekerja (atasan dan bawahan) yang semula bersifat kekeluargaan
(ataupun patron-clien) berubah menjadi utilitarian komersial (nilai
kebermanfaatan atau kegunaan).
Dengan demikian, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
pasca-industrialisasi merupakan sebuah keniscayaan. Akan tetapi,
tidak semua dampak perubahan sosial itu bernada negatif. Ada
pula dampak positifnya, terutama pada perkembangan tingkat
pertumbuhan pendapatan masyarakat pedesaan yang terkait
dengan perubahan pola mata pencaharian (kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha).
Dampak negatifnya adalah adanya pencemaran lingkungan
(terutama air limbah yang mengaliri lahan pertanian, sehingga hasil
pertanian menjadi kurang baik), meningkatnya kecemburuan sosial
(masyarakat desa yang semula hidup apa adanya, kemudian berubah
memiliki penghasilan yang akhirnya menimbulkan persaingan),
munculnya kesenjangan masyarakat desa-kota (khususnya persaingan
meraih kesempatan kerja dan pendapatan karena perbedaan
produktivitas pertanian dan nonpertanian akibat makin terbatasnya
lahan usaha tani, tingkat pendidikan dan ketrampilan).
Pengaruh masuknya industri ke kawasan agraris (desa),
telah menjadikan masyarakat tradisional, desa dan agraris secara
alami ikut berubah menjadi masyarakat modern, kota, kelurahan,

Sosiologi Perkotaan 215


dan industri. Salah satunya adalah perubahan status desa menjadi
kelurahan. Bahkan salah satu syarat dari perubahan status desa
menjadi kelurahan, adalah adanya kondisi sosial budaya masyarakat
berupa keanekaragaman status penduduk dan perubahan nilai
agraris ke jasa industri.
Di samping perubahan seperti halnya di atas, perubahan
juga terjadi pada pola perilaku ekonomi, pola pikir serta gaya
hidup masyarakat. Ini semua menggambarkan karakteritik dari
masyarakat modern atau masyarakat kota. Misalnya perubahan
dari perilaku ekonomi masyarakat, salah satunya adalah pola hidup
kesehariannya lebih konsumtif, hal ini diakibatkan dari pekerjaan
yang menghasilkan gaji tetap dan cukup dibanding sebelumnya
saat pekerjaannya sebagai petani.
Bahkan, berubahnya tingkat pendapatan masyarakat juga
berpengaruh pada pandangan masyarakat tentang menginventasikan
pendapatan yang diperolehnya. Jika dahulu masyarakat lebih
senang menginventasikan pendapatannya untuk membeli sebidang
tanah atau binatang ternak (sapi, kerbau, kambing, ayam atau itik)
sebagai tabungan masa depannya, sekarang mereka lebih senang
menginventasikan pendapatannya dalam tabungan dan bentuk
kendaraan (seperti sepeda motor, mobil atau lainnya), karena sepeda
motor dianggap lebih dapat meningkatkan prestise seseorang dalam
masyarakat dibandingkan dengan kepemilikan hewan ternak atau
menabung.
Lihat saja pada masyarakat kawasan industri menunjukkan
bahwa setelah masuknya kawasan industri kehidupan masyarakat
meningkat tajam terutama mengenai status mereka seperti
penampilan, penghasilan, perilaku hidup dan lainnya, dibanding
dengan sebelumnya. Perilaku ekonomi masyarakat lebih konsumtif,
seperti seringnya belanja atau shoping setelah gajian, menonton,
jalan-jalan atau lainnya. Hal ini dilakukan karena mereka telah
memiliki pekerjaan serta penghasilan, sehingga pola hidupnyapun
akhirnya berubah dibanding sebelum adanya industri yang masih
berpola kehidupan pertanian, lebih sederhana.
Begitu pun dengan pola pikir masyarakat, mereka mulai
mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi dari pergaulan atau
interaksi dengan dunia luar (kawasan pabrik dan lainnya). Orang

216 Sosiologi Perkotaan


mulai memperhitungkan pendidikan, yang sebelumnya tidak
dipikirkan secara serius. Ini artinya pola pikir masyarakat lebih
maju bahwa untuk memasuki dunia pekerjaan diperhitungkan
status pendidikan, beda halnya saat menjadi petani, pendidikan
tidak menjadi ukuran pekerjaan.
Semakin majunya tingkat pendidikan, semakin terspesialisasinya
bidang pekerjaan dan karir, artinya adanya kebutuhan untuk
keahlian khusus membuat masyarakat mengikuti kursus maupun
pelatihan. Ini pula yang memicu kebutuhan akan pendidikan dan
sekolah bagi masyarakat. Hingga masyarakat yang tadinya cukup
berpendidikan SD, lambat laun meningkat menjadi SMA dan
Perguruan Tinggi. Sebab pihak pabrik pun tidak menerima para
pekerja yang berpendidikan SD. Dengan demikian antarapihak
pabrik dan masyarakat berkorelasi dalam memajukan pendidikan
masyarakat secara tidak langsung.
Begitu pun dalam hal pakaian yang digunakannya. Pakaian
bermerek, terkenal, necis, gaya dan modis, sudah menjadi bagian
gaya hidup mereka. Juga dalam hal penggunaan alat teknologi seperti
HP, Laptop, permainan Game, PS atau sejenisnya. Perilaku-perilaku
demikian menunjukkan masyarakat semakin modern, serta orang
semakin hodenisme dalam hidupnya.
Pertemanan (persahabatan), pergaulan serta komunikasi sudah
banyak yang berubah. Gaya hidup masyarakat hanya berteman
dengan orang-orang pabrik dan sesama pekerja atau setingkat.
Kemudian pergaulan mereka tidak dibatasi waktu dan tempat, di
mana saja dan kapan saja oleh siapa saja dengan bebas. Komunikasi
yang dilakukannya tidak lagi menggunakan bahasa kampung
(daerah), tetapi memakai bahasa atau istilah kota atau juga bahasa
gaul yang sedang trend saat ini, melalui sms dan facebook.

Sosiologi Perkotaan 217


218 Sosiologi Perkotaan
BAB 8
KOTA DAN KEMISKINAN
Martin Luther King (1960) mengingatkan, “you are as strong
as the weakestof the people.”
“Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas
masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi
bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam
kemiskinan dan lemah”

A. Pengantar
Masalah kemiskinan hingga saat ini masih menjadi issu global.
Artinya, kemiskinan tidak saja menjadi masalah pokok di negara
dunia ketiga, tetapi masih menjadi persoalan di negara industri
maju. Hampir di semua negara berkembang, hanya sebagian
penduduknya yang dapat menikmati hasil pembangunan, sisanya,
mayoritas penduduk hidup miskin.
Kemiskinan merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak
dapat dielakkan oleh masyarakat. Kemiskinan selain dirasakan
langsung oleh orang miskin itu sendiri, juga berakibat buruk bagi
kehidupan umat manusia. Hal ini karena mata rantai kemiskinan
adalah timbulnya masalah lain seperti pengangguran, kelaparan,
kebodohan, dan lainnya. Oleh karena itu, untuk mengurangi masalah
itu, tidak sedikit masyarakat yang menyelesaikannya dengan cara

Sosiologi Perkotaan 219


yang bertolak dari norma yang berlaku, yaitu dengan cara tindak
kriminalitas.
Selain masyarakat desa, kemiskinan juga melanda masyarakat
kota. Kemiskinan pada masyarakat perkotaan lebih mengarah
pada mentalitas individualistik, persaingan yang tidak terpandu,
yang besar kecenderungannnya akan menambah dalam jurang
pemisah antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kemudian,
muncul konflik yang terjadi akibat seleksi alam (survival of the
fittes), yaitu yang kuat akan tetap bertahan hidup, dan yang lemah
akan tersisihkan. Ironisnya korban akibat dari persaingan tersebut
adalah masyarakat lokal, sebab pemilik modal dikuasai oleh pihak
asing yang mencoba merauk keuntungan dari tenaga kerja lokal
tersebut, seperti yang terjadi pada masa kolonialisme sebagai bukti
historis.
Kemiskinan merupakan suatu fenomena persoalan struktural
dan multidimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi,
aset, dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, dimensi-dimensi
kemiskinan muncul dalam berbagai bentuk berikut.
1. Dimensi politik yang sering muncul dalam bentuk tidak adanya
wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi
dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-
benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting
yang menyangkut diri mereka. Mereka juga tidak memiliki
akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang
dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara
layak, termasuk akses informasi.
2. Dimensi sosial dalam bentuk tidak terintegrasikannya
warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, serta
terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang merusak
kualitas manusia serta etos kerja mereka.
3. Dimensi lingkungan yang sering muncul dalam bentuk sikap,
perilaku, dan cara pandang yang tidak berorientasi pada
pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan
dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga
kelestarian dan perlindungan lingkungan serta pemukiman.

220 Sosiologi Perkotaan


4. Dimensi ekonomi yang muncul dalam bentuk rendahnya
penghasilan. Sehingga mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya sampai batas yang layak.
5. Dimensi aset ini ditandai dengan rendahnya penghasilan
masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal
hidup mereka, termasuk aset kualitas sumber daya manusia
(human capital). Peralatan kerja, modal dana, perumahan dan
pemukiman, dan sebagainya

Dari dimensi-dimensi di atas, kemiskinan dapat digolongkan


ke dalam dua kategori, yaitu:
1. kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh
kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan sumber daya
manusia.
2. kemiskinan struktural atau buatan, yaitu kemiskinan yang
secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan
kelembagaan yang memihak pada kepentingan pribadi atau
golongan tertentu yang menyudutkan pihak lain.

Orientasi berbagai program penanggulangan kemiskinan hanya


menitik beratkan pada salah satu dimensi dari gejala kemiskinan
ini, pada dasarnya mencerminkan pendekatan progam yang parsial,
sektoral, dan tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri.
Akibatnya, program-program tersebut tidak mampu menumbuhkan
kemandirian masyarakat serta mewujudkan aspek keberlanjutan
dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut.

B. Problem: Potret Kemiskinan di Indonesia


Sangat ironis. Kota selalu diidentikkan dengan kemajuan dan
kemakmuran, tetapi sisi lain kemiskinan dan kemakmuran bercampur
menjadi satu, berpadu dan tersaji sebagai potret kehidupan di
berbagai sudut kota. Di jalan-jalan kota, kita bisa menyaksikan
mobil-mobil mewah berseliweran, dan pada saat yang sama, para
pengemis menengadahkan tangan meminta belas kasihan.

Sosiologi Perkotaan 221


Kemiskinan telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam
pendidikan yang berkualitas; menghadapi kesulitan membiayai
kesehatan; kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi;
kurangnya akses ke pelayanan publik; kurangnya lapangan pekerjaan;
kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga;
menguatnya arus urbanisasi ke kota. Kemiskinan juga menyebabkan
jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan
secara terbatas.
Hampir 5 juta balita di Indonesia menderita kekurangan gizi
dan 1,8 juta yang kurang gizi tersebut bersifat irreversible. Salah satu
gejala dari kekurangan gizi yang irreversible itu adalah perkembangan
otak balita yang lambat. Akibatnya, banyak anak yang imbisil
dan debil (bodoh) di negeri ini. Sungguh sangat miris mendengar
kenyataan tersebut mengingat negara kita Indonesia adalah negara
kaya dengan hasil yang alamnya melimpah. Indonesia adalah negara
agraris, tapi lebih dari 37% anak Indonesia usia 0-5 tahun (balita)
kekurangan gizi yang ditandai dengan bentuk fisik stunted atau
tinggi badan tidak sesuai dengan umur. Selain itu, di beberapa
provinsi masih ada kasus gizi buruk pada balita di atas prevalensi
nasional (5,4%). Di bawah ini data tentang jumlah penduduk miskin
di Indonesia, berdasarkan data BPS bulan September 2014:

Tabel 5
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Menurut Provinsi di Indonesia

Jumlah Persentase
No. Nama Provinsi Penduduk Miskin Penduduk Miskin
Kota Desa Kota Desa
1 Aceh 158.04 679.38 11.36 19.19
2 Sumatera Utara 667.47 693.13 9.81 9.89
3 Sumatera Barat 108.53 246.21 5.41 7.84
4 Riau 159.53 338.75 6.53 8.93
5 Kepulauan Riau 91.27 32.90 5.61 10.54

222 Sosiologi Perkotaan


Jumlah Persentase
No. Nama Provinsi Penduduk Miskin Penduduk Miskin
Kota Desa Kota Desa
6 Jambi 109.07 172.68 10.67 7.39
7 Sumatera Selatan 370.86 714.94 12.96 13.99
8 Bangka Belitung 20.27 46.96 3.04 6.84
9 Bengkulu 99.59 216.91 17.19 17.04
10 Lampung 224.21 919.73 10.68 15.46
11 DKI Jakarta 412.79 0.00 4.09 0.00
12 Jawa Barat 2554.06 1684.90 8.32 10.88
13 Banten 381.18 268.01 4.74 7.18
14 Jawa Tengah 1771.53 2790.29 11.50 15.35
15 DI Yogyakarta 324.43 208.15 13.36 16.88
16 Jawa Timur 1531.89 3216.53 8.30 15.92
17 Bali 109.20 86.76 4.35 5.39
18 Nusa Tenggara Barat 385.31 431.31 19.17 15.52
19 Nusa Tenggara Timur 105.70 886.18 10.68 21.78
20 Kalimantan Barat 78.53 303.38 5.47 9.20
21 Kalimantan Tengah 39.45 109.37 4.75 6.74
22 Kalimantan Selatan 61.21 128.28 3.68 5.64
23 Kalimantan Timur 98.48 154.20 3.98 10.06
24 Sulawesi Utara 60.08 137.48 5.57 10.47
25 Gorontalo 23.88 171.22 6.24 23.21
26 Sulawesi Tengah 71.65 315.41 10.35 14.66
27 Sulawesi Selatan 154.40 651.95 4.93 12.25
28 Sulawesi Barat 29.87 124.82 9.99 12.67
29 Sulawesi Tenggara 45.79 268.30 6.62 15.17
30 Maluku 47.58 259.44 7.35 25.49
31 Maluku Utara 11.17 73.62 3.58 8.85

Sosiologi Perkotaan 223


Jumlah Persentase
No. Nama Provinsi Penduduk Miskin Penduduk Miskin
Kota Desa Kota Desa
32 Papua 35.61 828.50 4.46 35.87
33 Papua Barat 14.06 211.40 5.52 35.01
Sumber: BPS, September 2014

C. Pengertian Kemiskinan
Bank Dunia (1990) dan Chambers (1987) (dalam Mikkelsen,
2003: 193) memandang kemiskinan sebagai suatu kemelaratan dan
ketidakmampuan masyarakat yang diukur dalam suatu standar
hidup tertentu yang mengacu pada konsep miskin relatif yang
melakukan analisis perbandingan di negara-negara kaya maupun
miskin. Konsep absolut dari kemiskinan adanya wabah kelaparan,
ketidakmampuan untuk membesarkan atau mendidik anak dan
lain-lain.
Usman (2003: 33) mengatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi
kehilangan (deprivation) sumber-sumber pemenuh kebutuhan dasar
yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan
serta hidup serba kekurangan. Menurut Sumodiningrat (1999: 45),
masalah kemiskinan pada dasarnya bukan saja berurusan dengan
persoalan ekonomi, tetapi bersifat multidimensional yang dalam
kenyataannya juga berurusan dengan persoalan nonekonomi (sosial,
budaya, dan politik). Karena sifat multidimensionalnya tersebut,
kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi
(material well-being), tetapi berurusan dengan kesejahteraan sosial
(social well-being).
Dari pandangan ini, diperoleh suatu konsep pemahaman bahwa
kemiskinan pada hakikatnya merupakan kebutuhan manusia yang
tidak terbatas hanya pada persoalan ekonomi. Karena itu, program
pemberdayaan masyarakat miskin sebaiknya tidak terfokus pada
dimensi pendekatan ekonomi saja, tetapi juga memerhatikan dimensi
pendekatan lain, yaitu pendekatan peningkatan kualitas sumber
daya manusia dan sumber daya sosial.

224 Sosiologi Perkotaan


Pendapat lainnya, dikemukakan Supriatna (1997: 90),
kemiskinan merupakan kondisi yang serba terbatas dan terjadi bukan
atas kehendak orang yang bersangkutan. Penduduk dikatakan miskin
apabila ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas
kerja, pendapatan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraan hidupnya,
yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan.
Adapun menurut Kartasasmita (1996: 240-241) definsi miskin
berangkat dari penyebabnya, yaitu kondisi kemiskinan dapat
disebabkan empat hal berikut.
1. Rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah
mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan
menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki.
Dalam bersaing untuk mendapatkan lapangan kerja yang
ada, taraf pendidikan sangat menentukan. Taraf pendidikan
yang rendah membatasi kemampuan untuk mencari dan
memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang
rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir,
dan prakarsa.
3. Terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena
kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya
lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan
usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan
lingkaran kemiskinan itu.
4. Kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara
ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka
hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh
pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang
dinikmati masyarakat lainnya.

Keempat penyebab tersebut menunjukkan adanya lingkaran


kemiskinan. Rumah tangga yang miskin pada umumnya ber-
pendidikan rendah dan terpusat di daerah pedesaan. Karena
pendidikan rendah, produktivitasnya pun rendah sehingga imbalan
yang diterima tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,

Sosiologi Perkotaan 225


perumahan, dan pendidikan, yang diperlukan untuk dapat hidup
dan bekerja.
Kemiskinan dalam berbagai tampilan wajahnya, telah
memberikan dampak kepada perseorangan, keluarga, dan lembaga.
Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri bahwa yang paling esensial
adalah kemiskinan selalu bermula dari kondisi perseorangan, apakah
dia sebagai perseorangan, sebagai anggota lembaga keluarga, atau
sebagai anggota dari sebuah lembaga tertentu.
Tiga pendekatan ilmiah yang cukup popular dalam memahami
kemiskinan adalah sebagai berikut (Oman Sukmana, 2005: 149).

1. Pendekatan Kultural
Tokoh utama yang menggunakan pendekatan kultural adalah
Oscar Lewis dengan konsep cultural poverty. Lewis berpendapat
bahwa kemiskinan adalah suatu budaya yang terjadi karena
penderitaan ekonomi yang berlangsung lama.
Berdasarkan penelitian pada beberapa kelompok etnis,
Lewis menemukan bahwa kemiskinan adalah salah satu subkultur
masyarakat yang mempunyai kesamaan ciri antaretnis satu dengan
etnis yang lain. Akar timbulnya budaya miskin tersebut menurut
Lewis adalah budaya kemiskinan yang dipakai oleh orang miskin
untuk beradaptasi dan bereaksi terhadap posisi mereka yang
marginal dalam masyarakat yang memiliki kelas-kelas dan bersifat
individualistik dan kapitalistik. Budaya kemiskinan adalah desain
kehidupan bagi orang miskin yang berisikan pemecahan bagi
problema hidup mereka, yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya (Parsudi Suparlan, 2000: 5).
Untuk menghilangkan budaya kemiskinan tersebut, Lewis
menyarankan agar orang-orang miskin bersatu dalam suatu organisasi.
Sebagaimana Lewis, Oman Sukmana (2005: 151) mengatakan
setiap gerakan, baik gerakan bersifat religius, pasifis, ataupun
revolusioner yang mengorganisirkan dan memberikan harapan bagi
orang miskin dan secara efektif mempromosikan solidaritas dan
perasaan identitas yang sama dengan kelompok masyarakat yang
lebih luas dapat menghancurkan sifat-sifat utama yang merupakan
ciri orang-orang dari budaya kemiskinan. Oleh karena itu, untuk

226 Sosiologi Perkotaan


menanggulangi budaya miskin tersebut diperlukan lembaga yang
memihak masyarakat miskin tersebut.

2. Pendekatan Situasional
Charles A. Valentine menggunakan asumsi yang berbeda dari
asumsi Lewis. Ia mengatakan bahwa mengubah keadaan orang-orang
miskin ke arah yang lebih baik harus dilakukansecara stimultan
dalam tiga hal, yaitu penambahan resources (kesempatan kerja,
pendidikan, dan lain-lain), perubahan struktur sosial masyarakat,
perubahan di dalam subkultur masyarakat miskin tersebut. Sumber
perubahan yang paling mungkin dilakukan menurut pendapat
Valentine adalah gerakan-gerakan sosial untuk menghidupkan
kembali keyakinan atau rasa percaya diri para kelompok miskin.
Gerakan ini harus berasal dari dalam kelompok tersebut sehingga
hambatan-hambatan kultural yang merupakan ciri masyarakat
miskin akan terkikis (Oman Sukmana, 2005: 152).

3. Pendekatan Interaksional
Menurut Herbert J. Gans, perilaku dan ciri-ciri yang ditampil-
kan para kaum miskin merupakan hasil interaksi antarafaktor
kebudayaan yang sudah tertanam di dalam diri orang miskin dan
faktor situasi yang menekan. Gans berpendapat bahwa orang miskin
bersifat heterogen. Ia menolak anggapan bahwa kebudayaan itu
bersifat holistik yang elemennya hanya dapat berubah bilamana
semua sistem budaya tersebut berubah. Menurutnya, pemecahan
terakhir masalah kemiskinan terletak pada usaha untuk mengetahui
faktor-faktor yang menghambat orang miskin unutuk menggunakan
kesempatan yang tersedia, dan usaha untuk memberikan keyakinan
mereka untuk menggunakan kesempatan yang tersedia walaupun
kesempatan yang tersedia tersebut mungkin bertentangan dengan
nilai-nilai kebudayaan dalam sistem ekonomi, struktur kekuasaan,
dan norma-norma serta aspirasi kelompok orang kaya yang ikut
memungkinkan timbulnya kelompok orang miskin (Parsudi Suparlan,
2000: 46).
Dari ketiga pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kendati kemiskinan melekat kepada individu atau perseorangan,

Sosiologi Perkotaan 227


bukan berarti semata-mata merupakan tanggung jawab individu,
melainkan harus menjadi pekerjaan seluruh komponen negara
(bangsa), atau stakeholders (seluruh elemen masyarakat mulai dari
lembaga birokrat/aparat pemerintahan, lembaga swasta, dan sampai
kepada seluruh lapisan masyarakat). Kemiskinan termasuk pada
permasalahan sosial, tetapi hal-hal yang menyebabkannya dan cara
mengatasinya bergantung pada ideologi yang dipergunakan.

D. Indikator Kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari
sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar
dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha,
hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial
dan moral. Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai
kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,
tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar
tersebut, antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber
daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar seseorang atau sekelompok
orang miskin Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama,
antara lain pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach),
pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan
dasar (human capability approach), dan pendekatan objective and
subjective. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai
suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga
dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara
lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
penyediaan air bersih, dan sanitasi.
Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh
rendahnya penguasaan aset, dan alat-alat produktif, seperti tanah
dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung
memengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan

228 Sosiologi Perkotaan


ini menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang dalam
masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai
keterbatasan kemampuan dasar, seperti kemampuan membaca dan
menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat.
Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan
bagi orang miskin untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan objektif atau sering juga disebut sebagai
pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada
penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari
kemiskinan.
Pendekatan subjektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat
atau pandangan orang miskin sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa
kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana karena
tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan
material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan
manusia yang lain. Oleh karena itu, kemiskinan hanya dapat
ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan.
Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan
adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana, dan
prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan
bias sektor; (4) perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat
dan sistem yang kurang mendukung; (5) perbedaan sumber daya
manusia dan perbedaan antarasektor ekonomi (ekonomi tradisional
versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat
pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang
dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya
alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang
bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam
yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah
kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana
dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota,
perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan
sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas,

Sosiologi Perkotaan 229


budaya hidup yang buruk, tata pemerintahan yang buruk, dan
pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan. Indikator-indikator
tersebut dipertegas dengan rumusan yang konkret yang dibuat
oleh Bappenas, yaitu terbatasnya kecukupan dan mutu pangan,
dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori
penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
Sekitar 20% penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya
mengonsumsi 1.571 kali per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu
kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60% penduduk
berpenghasilan terendah.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa indikator
utama kemiskinan adalah; (1) kurangnya pangan, sandang, dan
perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah
dan alat-alat produktif; (3) kurangnya kemampuan membaca
dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5)
kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6)
ketidakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap
ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) terbatasnya kecukupan dan
mutu pangan; (9) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
kesehatan; (10) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan; (11) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha;
(12) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan
upah; (13) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (14)
terbatasnya akses terhadap air bersih; (15) lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah; (16) memburuknya kondisi
lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta terbatasnya akses
masyarakat terhadap sumber daya alam; (17) lemahnya jaminan rasa
aman; (18) lemahnya partisipasi; (19) besarnya beban kependudukan
yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (20) tata
kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi
dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan
rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

E. Model Penghitungan Kemiskinan


1. Model Tingkat Konsumsi
Pada awal tahun 1970-an, Sajogyo (1982) membuat model
penghitungan kemiskinan dengan menggunakan tingkat konsumsi

230 Sosiologi Perkotaan


ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Ia
membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan
dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya
mengonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per
tahun, yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan
untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras
per orang per tahun. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.

Tabel 4
Ekuivalen Konsumsi Beras

Desa Kota
Kriteria
(kg/per orang/tahun) (kg/per orang/tahun)
Melarat 180 270
Sangat Miskin 240 360
Miskin 320 480

2. Model Kesejahteraan Keluarga


Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan
dari sisi kemiskinan. Unit surveinya pun berbeda. BPS menggunakan
rumah tangga sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini
sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB), yaitu
“Keluarga yang Berkualitas”. Untuk menghitung tingkat kesejahteraan,
BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan
Keluarga. Pendataan Keluarga dilakukan oleh BKKBN setiap tahun
sejak tahun 1994.
Pendataan keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program
pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Data kemiskinan
dilakukan melalui penahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi
lima tahap, yaitu:
a. Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin);
b. Keluarga Sejahtera I (miskin);

Sosiologi Perkotaan 231


c. Keluarga Sejahtera II;
d. Keluarga Sejahtera III;
e. Keluarga Sejahtera III plus.

Tahapan Pra Sejahtera adalah keluarga yang belum dapat


memenuhi salah satu indikator tahapan Keluarga Sejahtera I.
Tahapan Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang baru dapat
memenuhi indikator berikut:
a. anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih;
b. anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di
rumah, bekerja/sekolah dan bepergian;
c. rumah yang ditempati mempunyai atap, lantai, dinding yang
baik;
d. bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan;
e. bila pasangan usia subur ingin ber-KB, mereka pergi ke sarana
pelayanan kontrasepsi;
f. semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.

Tahapan Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang sudah dapat


memenuhi indikator Tahapan Keluarga Sejahtera I (indikator 1-6)
ditambah indikator berikut ini:
a. anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing;
b. paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga
makan daging/ikan/telur;
c. seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu
pasang pakaian baru dalam setahun;
d. luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni
rumah;
e. tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat, sehingga
dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing;

232 Sosiologi Perkotaan


f. ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk
memperoleh penghasilan;
g. seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan
latin;
h. pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan
alat/obat kontrasepsi.

Tahapan Keluarga Sejahtera III adalah keluarga yang sudah


memenuhi indikator Tahapan keluarga Sejahtera I dan Indikator
Keluarga Sejahtera II (Indikator 1-8) dan ditambah indikator
berikut:
a. keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama;
b. sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang atau
barang; (17) Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang
seminggu sekali dimanfaatkan untuk berkomunikasi;
c. ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat
tinggal;
d. memperoleh informasi dari surat kabar/majalah/radio/tv.
Tahapan Keluarga Sejahtera III Plus adalah keluarga yang
memenuhi indikator Tahapan keluarga Sejahtera I, Indikator Keluarga
Sejahtera II dan Indikator Keluarga Sewjahtera III (Indikator 1-4)
dan ditambah indikator berikut ini:
a. secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan
materiil untuk kegiatan sosial;
b. ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan
sosial/yayasan/institusi masyarakat.

E. Penyebab Kemiskinan
Menurut pandangan penganut fungsionalisme, kemiskinan
timbul sebagai akibat dari tidak berfungsinya (disfungsional) salah
satu elemen sistem sosial (subsistem) yang ada dalam masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Merton, konsep disfungsi ini sangat
berguna dalam mengembangkan pendekatan fungsional terhadap
masalah sosial.

Sosiologi Perkotaan 233


Penganut aliran konflik yang lebih melihat kemiskinan melalui
kajian superioritas dan inferioritas masyarakat yang dikenalkan oleh
Marx sebagai golongan borjuis dan ploretal Akar dari ajaran Marx
berpangkal pada penganut aliran evolusionis yang menggunakan
logika Maltus-Darwin-Spencer yang menuding kaum miskin sebagai
penyebab kemiskinannya sendiri (Jusman Iskandar, 2002: 211).
Penganut aliran ini cenderung meremehkan kapasitas manusia
sehingga terjadi ketimpangan dan kesenjangan sosial.
Pendapat lain mengatakan bahwa penyebab kemiskinan
dilihat dari bentuk kemiskinannya. Kemiskinan terdiri atas
kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural
(Sumodiningrat, 1998).
Kemiskinan kultural merupakan kondisi kemiskinan yang terjadi
karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut
menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai,
baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya
pembangunan. Kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan,
mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah.
Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau bencana
alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996)
disebut sebagai “Persisten Poverty”, yaitu kemiskinan yang telah
kronis atau turun-temurun. Daerah seperti ini pada umumnya
merupakan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah
yang terisolir. Kemiskinan kultural merupakan kondisi kemiskinan
yang terjadi karena kultur, budaya atau adat istiadat yang dianut
oleh suatu kelompok masyarakat. Kemiskinan kultural mengacu
pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang
disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya yang
menjadikan mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa
kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk
diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk
memperbaiki dan mengubah tingkat kehidupannya. Akibatnya,
tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai
secara umum. Penyebab kemiskinan ini karena faktor budaya seperti
malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya. Kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor faktor buatan manusia

234 Sosiologi Perkotaan


seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi
yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia
yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.
Kemiskinan struktural disebabkan upaya menanggulangi
kemiskinan natural, yaitu dengan merencanakan bermacam-macam
program dan kebijakan, tetapi karena pelaksanaannya tidak seimbang,
pemilikan sumber daya tidak merata. Kesempatan yang tidak sama
menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula,
sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Faktor
yang menjadi penyebab kemiskinan masyarakat menurut Sutyastie
Remi dan P. Tjiptoherijanto (2002) adalah pendapatan yang rendah.
Jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan lain, dan tingkat pendidikan
merupakan karakteristik dari keluarga miskin yang berhubungan
dengan kemiskinan masyarakat.
Sementara Hugo dalam disertasi Wardi Bachtiar (1995: 141),
mengatakan, bahwa bertambahnya penduduk desa menimbulkan
kemiskinan dan mendorong terjadinya migrasi. Migrasi itu
menyebabkan kepadatan penduduk yang tidak merata dan tidak
teratur, akibatnya terjadilah kemiskinan di perkotaan.
Kemiskinan di perkotaan kebanyakan adalah para pendatang
dari desa yang migrasi ke kota tanpa memiliki keterampilan dan
pendidikan serta modal usaha. Mereka hanya menjadi pegawai
pabrik dengan upah yang sangat rendah sehingga menyebabkan
ketimpangan dan kesenjangan sosial.
Kesenjangan sosial ekonomi mengandung arti adanya perbedaan
tingkat kesejahteraan dan kemakmuran dalam suatu masyarakat.
Adanya kesenjangan sosial-ekonomi sangat berhubungan dengan
sistem pelapisan sosial yang membeda-bedakan masyarakat ke
dalam kelas-kelas, yaitu kelas sosial-ekonomi yang tinggi dan kelas
sosial-ekonomi yang rendah.
Adanya kesenjangan sosial-ekonomi menunjukkan perbedaan
tingkat kesejahteraan dalam masyarakat, yaitu pada satu pihak,
masyarakat memiliki tingkat kesejahteraan yang memadai dan
pada pihak lain, masyarakat memiliki tingkat kesejahteraan yang
tidak memadai. Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri bahwa pada saat
bersamaan, kemiskinan terutama kemiskinan relatif —terus bertahan,

Sosiologi Perkotaan 235


bahkan cenderung meningkat. Hal ini bisa kita lihat dari semakin
meluasnya jurang ketimpangan antarkelas. Sebagai contoh adalah
meningkatnya produktivitas pertanian sebagai akibat dari revolusi
hijau, yang dalam kenyataannya tidak diikuti dengan penurunan
jumlah kemiskinan di banyak negara berkembang, bahkan ada
indikasi bahwa revolusi hijau malah menyudutkan para petani kecil,
dan menguntungkan petani kaya.
Sejumlah fakta tersebut dapat kita simpulkan bahwa masalah
kemiskinan tidak sekadar kekurangan makan atau masalah
kesejahteraan semata, tetapi bisa saja hadir ditengah-tengah
masyarakat yang sudah secara teratur dapat memenuhi kebutuhannya
sehari-hari (M. Sitorus, 1994: 200). Jadi, tidak bisa dimungkiri
bahwa kemiskinan lahir ketika seseorang membandingkan anggota
kelompok lain yang hidup disekelilingnya. Dengan demikian,
kaum miskin tidak hanya terbatas pada orang-orang yang secara
real miskin, tetapi juga termasuk mereka yang oleh orang lain
dikategorikan miskin.
M. Sitorus (1994: 186) menjelaskan faktor penyebabnya
kemiskinan, terdiri atas dua bentuk kemiskinan.

1. Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang muncul
sebagai akibat kebutuhan sumber daya alamiah yang langka,
seperti tanah pertanian yang tidak subur atau perkembangan
teknologi yang sangat rendah.

2. Kemiskinan Buatan
Kemiskinan buatan adalah kemiskinan yang timbul
sebagai akibat perbuatan manusia itu sendiri. Dengan kata
lain, kemiskinan buatan merupakan kemiskinan yang sengaja
dibuat oleh manusia. Seperti kemiskinan akibat pengaruh
warisan kolonialisme.

Menurut Oscar Lewis, kemiskinan bukanlah semata-mata


berupa kekurungan dalam ukuran materi saja, tetapi juga melibatkan
kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (psikologis).

236 Sosiologi Perkotaan


Pada beberapa kasus, kemiskinan diperkuat oleh sikap nrimo
(pasrah pada nasib) dan tidak memedulikan (neglect). Sikap nrimo
memandang kemiskinan sebagai nasib atau kehendak yang sudah
digariskan, sedangkan sikap tidak memedulikan (neglect) merupakan
sikap masa bodoh terhadap kemiskinan yang diderita orang lain
(I.L Pasaribu dan B. Simandjuntak, 1986: 229).
Kemiskinan buatan sering juga disebut dengan kemiskinan
struktural, karena struktur sosialnya yang menyebabkan kemiskinan
tersebut terjadi. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang
diderita seseorang atau kelompok masyarakat karena struktur sosial
yang sengaja diciptakan sehingga seseorang atau kelompok tidak
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh kebutuhan hidup
yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Penyebab kemiskinan struktural ini antra lain kemajuan
industri yang mengakibatkan seseorang kehilangan pekerjaan,
peminjaman modal yang menuntut bunga yang tinggi, upah kerja
yang rendah, penguasaan tanah, dan penggusuran rumah penduduk.
Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang
diciptakan, khususnya lembaga yang berhubungan dengan bidang
ekonomi, membuat anggota masyarakat tidak menguasai sarana-
sarana ekonomi dan fasilitas lainnya secara merata. Pada satu pihak,
beberapa anggota masyarakat menguasai sarana fasilitas ekonomi
secara memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara
pada pihak lain, beberapa anggota masyarakat sama sekali tidak
menguasai sarana dan fasilitas ekonomi secara memadai.
Kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural juga timbul
sebagai dampak dari adanya modernisasi dan pembangunan.
Modernisasi dan pembangunan secara umum memang mendorong
tingkat pendapatan rata-rata (per kapita) meningkat, tingkat kesehatan
membaik, tingkat rata-rata pendidikan meningkat, dan sebagainya,
tetapi hasil modernisasi dan pembangunan itu tidak merata dinikmati
oleh semua warga. Faktor penyebab ketidakmerataan ini adalah
struktur sosial yang mengalami disfungsi yang berlaku dalam
masyarakat.
Hal-hal yang menyebabkan timbulnya ketimpangan sosio-
ekonomi akibat kemajuan modernisasi atau pembangunan adalah
sebagai berikut.

Sosiologi Perkotaan 237


1. Pada masyarakat pedesaan, terjadi akibat perubahan struktur
ekonomi pada masyarakat pertanian. Kemiskinan yang dialami
oleh masyarakat desa terjadi karena kesempatan untuk
mendapatkan sumber penghidupannya terhambat oleh struktur
sosial di bidang ekonomi yang diciptakan oleh kemajuan
modernisasi atau pembangunan. Pada kenyataannya, struktur
sosial yang dikembangkan ternyata belum didukung oleh
keadaan atau kondisi sosial masyarakat sehingga pengaruh
positif kemajuan itu tidak merata dinikmati masyarakat.
2. Pada masyarakat perkotaan, terjadi akibat perubahan struktur
sosial-ekonomi pada masyarakat industri. Industrialisasi selain
dapat menyebabkan kesejahteraan seseorang meningkat, dapat
pula meyebabkan tingkat kehidupan seseorang makin menurun.
Penyebabnya adalah struktur sosial ekonomi yang diciptakan
belum didukung oleh kondisi sosial masyarakat, dan bahwa
masuknya jumlah penduduk pendatang berbondong-bondong
ke kota tidak dibarengi dengan kesanggupan industri untuk
menampung tenaga kerja, dan perumahan yang memadai
akibat mahalnya tanah di perkotaan. Sehingga tidak sedikit
dari mereka yang hanya menjadi gembel, pengemis, dan
menghuni rumah-rumah yang tidak layak huni.

F. Ciri-ciri Kemiskinan
M. Sitorus (1994: 200) menjelaskan bahwa orang-orang yang
hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri berikut:
1. tidak mempunyai faktor produksi, seperti tanah yang cukup,
modal, dan keterampilan;
2. tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi
dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk
memperoleh tanah garapan atau modal usaha;
3. tingkat pendidikan rendah, tidak sampai tamat SD atau
SLTP;
4. waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah, sehingga
tidak ada waktu untuk belajar;

238 Sosiologi Perkotaan


5. kebanyakan tinggal di pedesaan. Banyak di antara mereka tidak
memiliki tanah, kalaupun ada, sangat kecil sekali. Umumnya,
mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar area
pertanian. Karena pertanian bersifat musiman, kesinambungan
kerja mereka kurang terjamin. Banyak di antara mereka menjadi
pekerja bebas (self-employed) atau berusaha apa saja;
6. kebanyakan yang hidup di kota, masih berusia muda dan tidak
mempunyai keterampilan (skill) atau pendidikan sehingga
mereka bekerja sebagai buruh kasar, pedagang musiman,
tukang becak, pembantu rumah tangga. Beberapa dari mereka
bahkan jadi pengangguran atau gelandangan.

Adapun Emil Salim (1984: 42-43) menyebutkan lima ciri


kemiskinan, yaitu:
1. tidak memiliki faktor produksi;
2. tingkat pendidikan rendah;
3. tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi
dengan kekuatannya sendiri;
4. kebanyakan tinggal di desa;
5. banyak hidup dikota berusia muda dan tanpa skill.

G. Jenis-jenis Kemiskinan
Kalangan pemerhati masalah kemiskinan mencoba memilah
kemiskinan dalam empat bentuk yang masing-masing bentuk
mempunyai arti tersendiri. Keempat bentuk tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatannya
di bawah garis kemiskinan, atau pendapatannya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan
pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang
diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif adalah kondisi yang pendapatannya berada
pada posisi di atas garis kemiskinan, tetapi relatif lebih rendah
dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif

Sosiologi Perkotaan 239


terjadi karena ketimpangan sosio-ekonomi yang menyebabkan
lapisan atau kelompok tertentu tidak mendapatkan dan
menikmati apa yang diperoleh dan dinikmati oleh pihak lain.
Kemiskinan relatif dapat juga disebut ketimpangan relatif
(relatife inequality).
3. Kemiskinan struktural adalah kondisi atau situasi miskin karena
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau
seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pada
pendapatan.
4. Kemiskinan kultural karena mengacu pada persoalan sikap
seseorang atau masyarakat yang disebabkan faktor budaya,
seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada
usaha dari pihak luar untuk membantunya (Oman Sukmana,
2005: 132).

Keempat bentuk kemiskinan harus dipandang sebagai alat


untuk mengukur kondisi aktual dari kemiskinan yang selama
ini berada disekitar kita. Mereka yang miskin saat ini tersebar di
perkotaan dan perdesaan. Semakin meningkatnya jumlah kemiskinan
ini mendorong semua elemen untuk berusaha menanggulanginya
dengan hadirnya sebuah lembaga alternatif yang berpihak pada
kaum miskin, bukan malah mengeksploitasi kaum miskin.

H. Strategi Penanggulangan Kemiskinan


Untuk menanggulangi masalah kemiskinan diperlukan upaya
yang memadukan berbagai kebijakan dan program pembangunan
yang tersebar di berbagai sektor. Kebijakan pengentasan kemiskinan
menurut Gunawan Sumodiningrat (1998) dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu kebijakan tidak langsung dan kebijakan yang
langsung. Kebijakan tidak langsung meliputi: (1) upaya menciptakan
ketenteraman dan kestabilan situasi ekonomi, sosial dan politik;
(2) mengendalikan jumlah penduduk; (3) melestarikan lingkungan
hidup dan menyiapkan kelompok masyarakat miskin melalui
kegiatan pelatihan. Adapun kebijakan yang langsung mencakup: (1)
pengembangan data dasar (base data) dalam penentuan kelompok

240 Sosiologi Perkotaan


sasaran (targeting); (2) penyediaan kebutuhan dasar (pangan,
sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan); (3) penciptaan
kesempatan kerja; (4) program pembangunan wilayah; dan (5)
pelayanan perkreditan.
Untuk menanggulangi masalah kemiskinan harus dipilih
strategi yang dapat memperkuat peran dan posisi perekonomian
rakyat dalam perekonomian nasional, sehingga terjadi perubahan
struktural yang meliputi pengalokasian sumber daya, penguatan
kelembagaan, pemberdayaan sumber daya manusia (Sumodiningrat,
1998). Program yang dipilih harus berpihak dan memberdayakan
masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan peningkatan
perekonomian rakyat. Program ini harus diwujudkan dalam
langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada
perluasan akses masyarakat miskin pada sumber daya pembangunan
dan menciptakan peluang bagi masyarakat paling bawah untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan, sehingga mereka
mampu mengatasi kondisi keterbelakangannya. Selain itu, upaya
penanggulangan kemiskinan harus didasarkan pada penentuan
garis kemiskinan yang tepat dan pemahaman yang jelas mengenai
sebab-sebab timbulnya persoalan itu.
Ada tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat
miskin.
1. Pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat
harus terarah yaitu berpihak kepada orang miskin. P
2. Pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk
memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi.
3. Pendekatan pendampingan, artinya selama proses pembentukan
dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu
didampingi oleh pendamping yang profesional sebagai
fasilitator, komunikator, dan dinamisator terhadap kelompok
untuk mempercepat tercapainya kemandirian (Soegijoko,
1997).

Tri Pranadji (2003) memberikan beberapa alternatif strategi


yang bisa dipertimbangkan untuk pemberdayaan masyarakat miskin,
antara lain adalah:

Sosiologi Perkotaan 241


1. Strategi Charitas (SC), yaitu strategi yang diarahkan langsung
untuk menutupi gejala ketidakberdayaan masyarakat, seperti
mengatasi gejala kurang pangan dan gizi pada anak balita dan
ibu menyusui dengan pemberian materi pangan yang sesuai
berharga murah atau gratis.
2. Strategi Produksi (SP), yaitu strategi yang diarahkan untuk
memproduksi bahan pangan sendiri (seperti: padi atau
jagung).
3. Strategi Ekonomi (SE), yaitu strategi yang diarahkan untuk
meningkatkan kegiatan ekonomi berbasis sumber daya setempat
di suatu wilayah.
4. Strategi Perbaikan Agroekosistem (SPA), yaitu strategi yang
diarahkan untuk memperbaiki kondisi agroekosistem yang
rusak dan tidak sehat.
5. Strategi Sosio Budaya (SB), yaitu strategi yang diarahkan untuk
memperbaiki tatanan masyarakat berpenghasilan rendah secara
khusus dan masyarakat luas dalam arti lebih umum.

Beberapa langkah konkret yang dilakukan pemerintah sebagai


upaya percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengurangan
pengangguran, dijabarkan dalam berbagai program yang diharapkan
menjadi instrumen utama kegiatan tersebut. Berbagai program yang
dilaksanakan adalah sebagai berikut.
1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-
MANDIRI) merupakan ekspansi dan integrasi program-
program penanggulangan kemiskinan.
2. Program Keluarga Harapan (PKH), berupa bantuan khusus
untuk Pendidikan dan Kesehatan;
3. Program pemerintah lain yang bertujuan meningkatkan akses
masyarakat miskin kepada sumber permodalan usaha mikro
dan kecil, listrik perdesaan, sertifikasi tanah, kredit mikro,
dan lain-lain.

242 Sosiologi Perkotaan


I. P2KP: Model Pemberdayaan Kemiskinan di
Perkotaan
1. Pengertian
Program penanggulangan kemiskinan di perkotaan atau
disingkat dengan P2KP, merupakan proyek penanggulangan
kemiskinan yang ada di perkotaan. Program ini telah dijalankan sejak
tahun 1999 yang berupaya menerapkan pendekatan pengokohan
kelembagaan masyarakat. Tujuannya adalah menciptakan wadah
organisasi yang mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin
dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka.
P2KP menempatkan masyarakat setempat sebagai pelaku
utama proyek, mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai
pengawasan, dengan intensitas sampai pada tingkat pengambilan
keputusan. Pelaksanaan kegiatan ini sedapat mungkin bersifat padat
karya dan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
miskin serta memperkuat kelembagaannya.
Visi P2KP adalah Terwujudnya masyarakat madani, yang
maju, mandiri, dan sejahtera dalam lingkungan permukiman
sehat, aman, produktif dan lestari. Misi P2KP adalah membangun
masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi
dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam
menanggulangi kemiskinan secara efektif dan mampu mewujudkan
terciptanya lingkungan permukiman yang tertata, sehat, produktif
dan berkelanjutan (Pedoman Umum P2KP, 2002: 13).
Tujuan P2KP adalah sebagai berikut.
a. Terbangunnya lembaga masyarakat berbasis nilai-nilai universal
kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan berorientasi
pembangunan berkelanjutan, yang aspiratif, representatif,
mengakar, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
miskin, mampu memperkuat aspirasi/suara masyarakat miskin
dalam proses pengambilan keputusan lokal, dan mampu
menjadi wadah sinergi masyarakat dalam penyelesaian
permasalahan yang ada di wilayahnya.
b. Meningkatnya akses bagi masyarakat miskin perkotaan ke
pelayanan sosial, prasarana dan sarana serta pendanaan

Sosiologi Perkotaan 243


(modal), termasuk membangun kerja sama dan kemitraan
sinergi ke berbagai pihak terkait, dengan menciptakan
kepercayaan pihak-pihak terkait tersebut terhadap lembaga
masyarakat (BKM).
c. Mengedepankan peran Pemerintah Kota/Kabupaten agar
mereka semakin mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
miskin, baik melalui pengokohan Komite Penanggulangan
Kemiskinan (KPK) di wilayahnya, maupun kemitraan dengan
masyarakat serta kelompok peduli setempat. (Pedoman Umum
P2KP, 2002: II.1)

Dampak yang diharapkan dari program P2KP ini adalah


mempercepat terjadinya upaya penanggulangan kemiskinan,
serta penguatan (pemberdayaan) penduduk miskin, terutama di
perkotaan. Hal ini dapat tercapai melalui implementasi dari tujuan
program P2KP di atas, yaitu melalui pengingkatan kualitas sumber
daya manusia dengan proses pemberdayaan masyarakat sebagai
fokus utamanya pada pengembangan institusi lokal, pengembangan
kapasitas, dan pengembangan kewirausahaan baik secara individu
maupun komunitas terorganisasi.
Melalui proses pemberdayaan tersebut diharapkan masyarakat
tidak saja mampu tidak saja mengembalikan berbagai persoalan dan
hambatan yang dihadapi tetapi juga mampu memecahkan berbagai
persoalan mereka dengan menyingkirkan berbagai hambatan melalui
pengembangan potensi diri.

2. Strategi program Penanggulangan Kemiskinan Di


Perkotaan (P2KP)
Agar terwujud tujuan yang hendak dicapai, strategi yang
dilaksanakan adalah (Pedoman Umum P2KP, 2005: II-6-9):
Pertama, mendorong proses transformasi sosial dari masyarakat
tidak berdaya/miskin menuju masyarakat berdaya. Strategi P2KP
untuk mewujudkan transformasi dari kondisi masyarakat tidak
berdaya menuju masyarakat berdaya, terdiri atas empat hal
berikut.

244 Sosiologi Perkotaan


a. Internalisasi nilai-nilai prinsip universal, sebagai fondasi
yang kokoh untuk memberdayakan masyarakat tidak berdaya
menuju masayarakat yang mandiri dan mampu mewujudkan
pembangunan pemukiman berkelanjutan.
b. P en g ua tan l em bag a ma sya rak at m el a l ui p en d eka tan
pe mbang un an ber tump u pada kel o mpok ( com mu ni ty
based development), yaitu masyarakat membangun dan
mengorganisasikan dari atas dasar ikatan pemersatu (common
bond), antara lain kesamaan kepentingan dan kebutuhan,
kegiatan, domisili, dan lain-lain, yang mengarah pada upaya
mendorong tumbuh kembangnya kesejahteraan sosial.
c. Pembelajaran penerapan konsep tridaya dalam penanggulangan
kemiskinan, menekankan proses pemberdayaan sejati (bertumpu
pada manusia-manusianya) dalam rangka membangkitkan
ketiga daya yang dimilki manusia, agar tercipta masyarakat
efektif secara sosial, tercipta masyarakat ekonomi produktif
dan masyarakat pembangunan yang mampu mewujudkan
lingkungan perumahan dan pemukiman yang sehat, produktif
dan lestari.
d. Penguatan akuntabilitas masyarakat, menekankan proses
membangun dan menumbuhkankembangkan segenap lapisan
masyarakat untuk peduli melakukan kontrol sosial secara
objektif dan efektif sehingga menjamin pelaksanaan kegiatan
yang berpihak pada masyarakat miskin dan mendorong
kemandirian serta keberlanjutan upaya-upaya penanggulangan
kmiskinan di daerah masing-masing.

Kedua, mendorong proses transformasi sosial dari masyarakat


berdaya menuju masyarakat mandiri. Strategi P2KP untuk mampu
mewujudkan transformasi dari kondisi masyarakat berdaya menuju
masyarakat mandiri, setidaknya terdiri atas dua hal berikut.
a. Pembelajaran kemitran antar-stakeholders strategis, yang
menekankan proses pembangunan kolaborasi dan sinergi
upaya-upaya penanggulangan kemiskinan antara masyarakat,
pemerintah kota/kabupaten, dan kelompok peduli setempat
agar kemiskinan dapat ditangani secara efektif, mandiri dan
berkelanjutan.

Sosiologi Perkotaan 245


b. Penguatan jaringan antarpelaku pembangunan, dengan
membangun kepedulian dan jaringan sumber daya dan
mendorong keterlibtan aktif dari para pelaku pembangunan
lain. Untuk itu, dapat dijalin kerja sama dan dukungan
sumber daya bagi penaggulangan kemiskinan, termasuk
akses penyaluran (chaneling) bagi keberlanjutan program-
program di masyarakat dan penerapan tridaya di lapangan.
Para pelaku pembangunan lain yang dimaksud antara lain:
LSM, perguruan tinggi setempat, lembaga-lembaga keungan
(perbankan), pengusaha, asosiasi profesi dan usaha sejenis,
dan lain-lain.

Ketiga. Mendorong proses transformasi sosial dari masyarakat


mandiri menuju masyarakat madani. Strategi P2KP untuk
mewujudkan transformasi dari kondisi masyarakat mandiri menuju
masyarakat madani lebih dititikberatkan pada proses penyiapan
landasan yang kokoh melalui penciptaan situasi dan lingkungan
yang kondusif bagi tumbuh kembangnya masyarakat madani,
melalui intervensi komponen pembangunan lingkungan kelurahan
terpadu menuju tata kepemerintahan dan pelayanan publik yang
baik, yaitu proses pembelajaran masyarkat dalam mewujudkan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berbasis nilai
menuju terwujudnya lingkungan pemukiman yang tertata, sehat,
produktif dan lestari.

246 Sosiologi Perkotaan


BAB 9
KOTA DAN TRANSPORTASI
“Kemacetan lalu lintas, polusi udara dan suara,
pemborosan energi dan lainnya, sering disebut-sebut
oleh para ahli sebagai kegagalan sistem transportasi.”

A. Pengantar
Jika dilihat dalam kerangka ekonomi makro, transportasi
merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan
lokal, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Bahkan, dianggap
sebagai urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong, dan penunjang
pembangunan. Keberhasilan pembangunan pun sangat ditentukan
oleh peran sektor transportasi sehingga sistem transportasi harus
dibina agar mampu menghasilkan jasa transportasi yang andal,
berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara terpadu, tertib,
lancar, aman, nyaman dan efisien dalam menunjang dan sekaligus
menggerakkan dinamika pembangunan, serta mendukung mobilitas
manusia, barang serta jasa.
Oleh karena itu, sudah saatnya diciptakan sistem transportasi
secara terpadu dan mampu menyediakan jasa perangkutan yang
seimbang dengan tingkat kebutuhan pelayanan jasa angkutan yang
memenuhi syarat aman, selamat, nyaman, cepat, lancar, tertib,
teratur, efisien, dan murah (Suwardjoko Warpani, 2002: 45).

Sosiologi Perkotaan 247


Prinsip pembangunan sistem transportasi berkelanjutan
adalah: (a) kesetaraan sosial; yaitu layanan transportasi mampu
menjangkau masyarakat yang paling miskin, (b) keberlanjutan
ekologi; yaitu dampak lokal transportasi, seperti kebisingan dan
polusi udara dan menggantikan kecenderungan ini dengan sistem
transportasi yang lebih kecil konstribusinya terhadap kerusakan
lingkungan, (c) kesehatan dan keselamatan; transportasi memiliki
dampak yang besar terhadap kesehatan dan keselamatan. Kenworthy
(2006: 66), mengatakan bahwa kota keberlanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup berkaitan erat dengan transportasi. Transportasi
yang baik merupakan jantung dari kota keberlanjutan hingga
ketingkat global.

B. Problem: Kemacetan
“Macet lagi, macet lagi”. Kalimat ini sering diucapkan banyak
orang saat menghadapi kemacetan. Kemacetan lalu lintas adalah
problematika perkotaan yang semakin marak dijumpai di kota-kota
besar. Kemacetan hampir merata di kota-kota besar di Indonesia.
Untuk mereduksi masalah kemacetan lalu lintas di perkotaan perlu
dibuat suatu kebijakan strategis dengan mempertimbangkan berbagai
aspek, yaitu aspek teknik, sosial, ekonomi, politik, keamanan dan
sebagainya. Salah satu aspek teknik yang harus dipertimbangkan
adalah tindakan antisipasi terhadap karakteristik lalu-lintas
perkotaan yang akan muncul pada masa mendatang, menyangkut
volume lalu-lintas, kerapatan lalu-lintas, tingkat pelayanan, derajat
kejenuhan.
Apa pun kebijakan pemerintah berkaitan dengan sistem
transportasi, pada akhirnya harus memihak kepada rakyat banyak
dengan mengendepankan mudah, aman dan lancar (tidak macet).
Di Indonesia, masalah kemacetan dapat dikelompokkan dalam
dua kategori yang saling berkaitan.
Pertama, berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur prasarana
transportasi darat. Tidak berimbangnya rasio pembangunan prasarana
jalan dengan tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan menyebabkan
jalan-jalan di perkotaan terasa semakin padat dengan kendaraan.
Sebagai contoh di Jakarta, tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan

248 Sosiologi Perkotaan


mencapai di atas 10%, lebih dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan
pembangunan prasarana jalan yang diperkirakan tidak lebih dari
5%. Konon, pada tahun 2016 nanti, semua jaringan jalan di Jakarta
akan macet total jika rencana pengoperasian transportasi massal
(busway) tidak berhasil. Pada saat itu orang bisa saja membeli
kendaraan, tetapi hanya untuk dipajang dan ditontoni tetapi tidak
dapat dikendarai.
Kedua, berkaitan dengan manajemen perkotaan dan manajemen
transportasi. Banyak kota besar di Indonesia yang belum memiliki
“master plan”. Jika sudah memiliki pun, implementasinya tidak
konsisten dengan isi rencana strategis yang ada di dalamnya.
Akibatnya, akan timbul kesemrawutan di dalam kota dan penyebaran
pergerakan lalu-lintas akibat adanya bangkitan dan tarikan lalu-
lintas sulit untuk dikendalikan.
Manajemen yang baik seharusnya menerapkan seluruh
fungsi-fungsi yang ada di dalamnya. Jika merujuk pada Deming
Circle, fungsi-fungsi manajemen merupakan rangkaian proses dari
P (Planning) – D (Do) – C (Check) – A (Action). Manajemen perkotaan
dan manajemen transportasi yang dijalankan di Indonesia apabila
enggan dikatakan tidak berjalan sesuai fungsi-fungsi PDCA di atas,
hanya berupa curative action (pencarian solusi permasalahan) yang
sifatnya tidak strategis. Contoh konkretnya ada di Jakarta, setelah
terjadi kemacetan di mana-mana, pemerintah daerah baru menoleh
pada penggunaan transportasi massal. Pada saat itu harga tanah
yang perlu dibebaskan sudah sedemikian tingginya. Ini hanyalah
sebuah contoh, tapi setidaknya dapat diperoleh suatu hikmah bahwa
manajemen perkotaan dan manajemen transportasi seharusnya
melalui proses perencanaan yang sifatnya strategis, lebih diarahkan
ke preventif action, bukan curative action. sebagaimana yang pada
umumnya dilakukan saat ini.
Masalah kemacetan lalu lintas di perkotaan yang merupakan
salah satu bagian dari permasalahan sistem transportasi perkotaan
memang sangat kompleks, penyebabnya sangat banyak dan saling
berkaitan. Sistem transportasi perkotaan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem perkotaan secara keseluruhan, yang
berarti kebijaksanaan transportasi perkotaan tidak dapat lepas dari

Sosiologi Perkotaan 249


keterkaitan dengan kebijaksanaan lain yang menyangkut pengaturan
dan penataan perkotaan.

C. Transportasi
1. Pengertian Transportasi
Transportasi sebagaimana dikemukakan oleh Nasution (1996:
121) adalah pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke
tempat tujuan. Kegiatan tersebut mengandung tiga hal, yaitu adanya
muatan yang diangkut, tersedianya kendaraan sebagai alat angkut,
dan terdapatnya jalan yang dapat dilalui. Ada proses pemindahan
dari gerakan tempat asal, kemudian ada kegiatan pengangkutan
dimulai dan ke tempat tujuan. Untuk itu, dengan adanya pemindahan
barang dan manusia tersebut, transportasi merupakan salah satu
sektor yang dapat menunjang kegiatan ekonomi (the promoting sector)
dan pemberi jasa (the servicing sector) bagi perkembangan ekonomi.
Jadi, transportasi merupakan pergerak tingkah laku orang dalam
ruang baik dalam membawa dirinya sendiri maupun membawa
barang-barang.
Menurut Ofyar Z. Tamin (1997: 68), prasarana transportasi
mempunyai dua peran utama, yaitu: (1) alat bantu untuk mengarahkan
pembangunan di daerah perkotaan dan (2) prasarana bagi pergerakan
manusia dan/atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di
daerah perkotaan tersebut. Peran pertama sering digunakan oleh
perencana pengembang wilayah untuk mengembangkan wilayahnya
sesuai dengan rencana. Misalnya akan dikembangkan wilayah baru
yang sebelumnya tidak ada peminatnya. Pada kondisi tersebut,
parsarana transportasi akan menjadi penting untuk aksesibilitas
menuju wilayah tersebut dan akan berdampak pada tingginya
minat masyarakat untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Hal ini
merupakan penjelasan peran prasarana transportasi yang kedua,
yaitu mendukung pergerakan manusia dan barang.
Kegiatan ekonomi dan transportasi memiliki keterkaitan yang
sangat erat, dan saling memengaruhi. Ofyar Z. Tamin (1997: 91)
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki keterkaitan
dengan transportasi. Hal ini karena akibat pertumbuhan ekonomi,
mobilitas seseorang meningkat dan kebutuhan pergerakannya pun

250 Sosiologi Perkotaan


meningkat melebihi kapasitas prasarana transportasi yang tersedia.
Dapat disimpulkan bahwa transportasi dan perekonomian memiliki
keterkaitan yang erat. Pada satu sisi transportasi dapat mendorong
peningkatan kegiatan ekonomi suatu daerah, karena dengan
adanya infrastruktur transportasi, suatu daerah dapat meningkat
kegiatan ekonominya. Pada sisi lain, akibat tingginya kegiatan
ekonomi dan pertumbuhan ekonomi meningkat timbul masalah
transportasi, karena terjadinya kemacetan lalu lintas, sehingga
perlunya penambahan jalur transportasi untuk mengimbangi
tingginya kegiatan ekonomi tersebut.
Pentingnya peran sektor transportasi bagi kegiatan ekonomi
mengharuskan sebuah sistem transportasi yang andal, efisien,
dan efektif. Transportasi yang efektif memiliki arti bahwa sistem
transportasi yang memenuhi kapasitas yang angkut, terpadu atau
terintegrasi tertib, lancar, cepat dan tepat, selamat, aman, nyaman
dan biaya terjangkau secara ekonomi. Adapun efisien dalam arti
beban publik sebagai pengguna jasa transportasi menjadi rendah
dan memiliki utilitas yang tinggi.

2. Klasikasi Transportasi
Klasifikasi transportasi dapat ditinjau dari empat unsur
transportasi, yaitu jalan, alat angkut, tenaga penggerak, dan terminal.
Sebelum mengklasifikasikan menurut cara dengan unsur-unsur ini,
terlebih dahulu dijelaskan pengertian keempat unsur transportasi
tersebut.
a. Jalan merupakan kebutuhan yang paling esensial dalam
transportasi. Tanpa ada jalan, tidak mungkin disediakan jasa
transportasi bagi penggunanya. Jalan ditujukan dan disediakan
sebagai basis bagi alat angkutan untuk bergerak dari tempat
asal ke tempat tujuan. Unsur jalan dapat berupa jalan raya,
jalan kereta api, jalan air, dan jalan udara.
b. Alat angkutan merupakan unsur transportasi yang paling
penting. Perkembangan dan kemajuan jalan dan alat angkutan
merupakan dua unsur yang saling memerlukan atau saling
berkaitan dengan yang lain. Alat angkutan ini dapat dibagi
dalam jenis-jenis alat angkutan jalan darat, alat angkutan jalan

Sosiologi Perkotaan 251


air dan alat angkutan jalan udara. Alat angkutan jalan darat
berupa gerobak, pedati, sepeda, sepeda motor, mobil, bus,
truk, kereta api, dan lain-lain.
c. Tenaga penggerak, yaitu tenaga atau energi yang digunakan
untuk menggerakkan alat angkutan tersebut. Untuk keperluan
ini dapat digunakan tenaga manusia, tenaga binatang, tenaga
uap, batubara, BBM, tenaga diesel, tenaga listrik.
d. Terminal, yaitu tempat di mana suatu perjalanan transportasi
dimulai maupun berhenti atau berakhir. Oleh karena itu, di
terminal disediakan fasilitas pelayanan penumpang, bongkar
muat dan penyimpanan barang. Terlebih lagi untuk terminal
yang dibuat seperti stasiun kereta api, stasiun bus, bandara
udara, dan pelabuhan.

Sehubungan dengan keempat unsur transportasi tersebut,


transportasi dapat diklasifikasikan dari sudut jalan atau permukaan
jalan yang digunakan, alat angkutan yang dipakai dan tenaga
penggerak yang digunakan. Klasifikasi transportasi ini adalah
sebagai berikut.
a. Transportasi darat. Transportasi darat terdiri atas 2, yaitu:
1) Transportasi jalan raya meliputi transportasi yang
menggunakan alat angkutan berupa manusia, binatang,
pedati sepeda, sepeda motor, becak, bus, truk, dan
kendaraan bermotor lainnya.
2) Transportasi jalan rel meliputi alat angkutan berupa
kereta api, yang terdiri atas lokomotif, gerbong, tangki,
boks khusus, trailer dan kereta penumpang. Jalan yang
digunakan berupa rel baja, baik dua rel maupun mono
rel.

b. Tranportasi melalui air dapat dibagi menjadi:


1) Transportasi air pedalaman, menggunakan alat angkutan
berupa sampan, kano, motor boat dan kapal.
2) Transportasi laut, menggunakan alat angkutan perahu,
kapal uap, kapal mesin.

252 Sosiologi Perkotaan


c. Transportasi udara merupakan alat angkutan mutakhir dan
tercepat. Transportasi udara ini menggunakan pesawat udara
sebagai alat angkutan dan menggunakan udara atau angkasa
sebagai jalannya. Yang dilengkapi dengan navigasi dan alat
telekomunikasi.

3. Karakteristik Sistem Transportasi


Faktor perbedaan karakteristik sistem transportasi merupakan
faktor penting yang memengaruhi pemilihan roda di antara berbagai
jenis roda angkutan umum. Faktor karakteristik sistem transportasi
adalah sebagai berikut.

a. Waktu Perjalanan Relatif


Dalam pengembangan model pemilihan moda saat ini,
waktu perjalanan relatif antaratransportasi yang ada berpengaruh
dalam pemilihan moda angkutan. Waktu perjalanan relatif dapat
diekspresikan sebagai suatu rasio waktu perjalan dari pintu ke
pintu di antara moda yang satu dengan moda yang lainnya.
Waktu perjalanan dari pintu ke pintu untuk angkutan umum,
meliputi waktu berjalan dan menunggu di tempat asal, waktu
dalam kendaraan, waktu berpindah moda, dan waktu berjalan ke
tempat tujuan. Pelayanan relatif yang disediakan oleh dua moda
diukur dengan rasio aksesibilitas masing-masing moda tersebut.
Ukuran relatif waktu perjalanan antaramoda yang berkompetisi
adalah perbandingan waktu perjalanan absolut antara satu moda
dan moda lainnya. Ukuran ini memiliki efek relative yang cukup
besar dalam suatu perjalanan yang pendek.

b. Biaya Perjalanan Relatif


Biaya perjalana relatif dapat diekspresikan sebagai perbandingan
biaya yang diperlukan untuk melakukan perjalanan antara satu
moda dan moda lainnya. Ortuzar (1994: 98) menyatakan bahwa
dalam transportasi, elemen-elemen biaya yang diperlukan berkaitan
dengan masalah jarak, waktu, dan jumlah uang. Elemen biaya terebut
generalized cost dari suatu perjalanan.

Sosiologi Perkotaan 253


c. Tingkat Pelayanan Relatif
Tingkat pelayanan relatif yang ditawarkan oleh setiap moda
angkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut
kebanyakan adalah hal yang subjektif dan sulit dikuantifikasikan,
misalnya: kecocokan (comfort), kenyamanan (convenience), dan
kemudahan perpindahan moda. Berdasarkan posisi pada model
peramalan permintaan secara bertahap, model pemilihan moda
dapat dikategorikan dalam dua kerangka utama berikut.
1) Trip end modal splitmodel, yaitu memberikan suatu pembagian
seluruh jumlah permintaan perjalanan ke dalam moda
transportasi yang ada, yang disebut juga predistribution model.
Model ini digunakan sebelum tahap distribusi perjalanan.
Dalam model ini ada implikasi perilaku bahwa pelaku
perjalanan memilih moda transportasi sebelum memutuskan
tempat tujuan perjalanan. Oleh karena itu, pemilihan tempat
perjalanan tidak mempunyai pengaruh dalam pemilihan
moda.
2) Trip interchange modal split model, yaitu model yang memberikan
pembagian perpindahan perjalanan yang dihasilkan dariproses
distribusi perjalanan ke dalam moda transportasi yang ada.
Model ini disebut juga post distribution model.

d. Manfaat Transportasi
Beberapa manfaat transportasi adalah sebagai berikut.
1) Manfaat ekonomi. Dalam Ikhsantono (2009: 135), kegiatan
ekonomi bertujuan memenuhi kebutuhan manusia. Transportasi
adalah salah satu jenis kegiatan yang menyangkut peningkatan
kebutuhan manusia dengan mengubah letak geografis barang
dan orang sehingga menimbulkan adanya transaksi.
2) Manfaat sosial. Transportasi menyediakan berbagai kemudahan,
di antaranya: (1) pelayanan untuk perseorangan atau kelompok,
(2) pertukaran atau penyampaian informasi, (3) perjalanan
untuk bersantai, (4) memendekkan jarak, (5) memencarkan
penduduk.

254 Sosiologi Perkotaan


3) Manfaat politis: (1) pengangkutan menciptakan persatuan
dan kesatuan yang semakin kuat dan meniadakan isolasi; (2)
pengangkutan menyebabkan pelayanan kepada masyarakat
dapat dikembangkan atau diperluas dengan merata pada
setiap bagian wilayah suatu negara; (3) keamanan negara
terhadap serangan dari luar negeri yang tidak dikehendaki
mungkin sekali bergantung pada pengangkutan yang efisien
yang memudahkan mobilitas segala daya (kemampuan dan
ketahanan) nasional, serta serta memungkinkan perpindahan
pasukan-pasukan perang selama masa perang; (4) sistem
pengangkutan yang mungkin efisien memungkinkan negara
memindahkan dan mengangkut pendududk dari daerah yang
mengalami bencana ke tempat yang lebih aman.
4) Manfaat kewilayahan. Selain dapat memenuhi kebutuhan
penduduk di kota, desa, dan pedalaman, keberhasilan
pembangunan pada sektor transportasi dapat memenuhi
perkembangan wilayah. Seiring dengan meningkatnya jumlah
habitat, dan semakin majunya peradaban komunitas manusia,
selanjutnya wilayah-wilayah pusat kegiatannya mengekspansi
ke pinggiran wilayah, sedangkan kawasan-kawasan terisolir
semakin berkurang dan jarak antarkota semakin pendek
dalam hal waktu. Selain itu, kuantitas dan kualitas baik
perkotaan besar maupun perkotaan kecil tumbuh, yaitu kota
kecil ditumbuh kembangkan, sementara kota besar semakin
berkembang, sehingga area perkotaan semakin meluas.

e. Konsep Perencanaan Transportasi


Konsep perencanaan transportasi yang telah berkembang
sampai saat ini dan paling populer adalah “Model Perencanaan
Transportasi Empat Tahap”. Model perencanaan ini merupakan
gabungan dari beberapa seri submodel yang masing-masing harus
dilakukan secara terpisah dan berurutan (Ofyar Z. Tamin, 1997:
112). Model ini mudah dipakai dan ditunjang pula dengan berbagai
(sejumlah) alat analisis statistik dan perangkat lunak program
komputer untuk studi-studi transportasi (Fidel Miro, 1997: 211).
Keempat dari submodel tersebut adalah:

Sosiologi Perkotaan 255


1) Pemodelan Bangkitan dan Tarikan Perjalanan (Trip eneration
and Trip Atraction).
2) Pemodelan Sebaran/Distribusi Perjalanan (Trip
Distribution).
3) Pemodelan Pemilihan Kendaraan (Model Split).
4) Model Pemilihan Rute Perjalanan (Trafic Assigment)

f. Kemacetan Lalu Lintas


Pada dasarnya, kemacetan terjadi akibat dari jumlah arus
lalu lintas pada suatu ruas jalan tertentu yang melebihi kapasitas
maksimum yang dimiliki oleh jalan tersebut. Peningkatan arus
dalam suatu ruas jalan tertentu berarti mengakibatkan peningkatan
kerapatan antarkendaraan yang dapat juga berarti terjadinya
kepadatan arus lalu lintas akan mengakibatkan antrian hingga
terjadi kemacetan lalu lintas.
Kemacetan itu sendiri dapat dibedakan menjadi 5 tipe menurut
biaya yangdikeluarkan, yaitu:
1) Simple interaction, yaitu kemacetan yang terjadi pada saat
arus lalu lintas rendah dengan jumlah pergerakan yang kecil.
Kemacetan ini disebabkan oleh cara mengemudi yang lambat
dan berhati-hati untuk menghindari kecelakaan.
2) Multiple interaction, yaitu kemacetan yang terjadi pada saat arus
lalu lintas lebih tinggi sehingga tiap bertambahnya kendaraan
akan lebih menghalangi satu sama lain, meskipun kapasitas
jalan belum digunakan secara optimal.
3) Bottleneck situation, yaitu kemacetan karena penyempitan
lebar jalan sehingga ruas jalan tersebut mengalami penurunan
kapasitas jalan dibanding ruas jalan sebelumnya/sesudahnya.
Apabila arusnya berada di bawah kapasitas “bottleneck”, pada
ruas jalan tersebut akan terjadi interaksi berganda, tetapi
jika memenuhi kapasitas, apalagi untuk beberapa lama, akan
menimbulkan kemacetan.
4) Triggerneck situation, yaitu kemacetan yang ditimbulkan oleh
kemacetan “bottleneck”.

256 Sosiologi Perkotaan


5) Network and control congestion, yaitu kemacetan yang terjadi
karena adanya upaya dan pengelola jalan untuk mengurangi
biaya kemacetan untuk beberapa waktu tertentu atau untuk
jenis lalu lintas tertentu, tetapi mengakibatkan kemacetan
pada waktu dan jenis lalu lintas yang lain.

Sementara itu, beberapa gangguan terhadap kelancaran lalu


lintas pada jalan-jalan di wilayah perkotaan adalah:
1) pedagang kaki lima;
2) parkir kendaraan di badan jalan;
3) angkutan umum berhenti disembarang tempat;
4) terjadinya penyempitan jalan, dan lainnya.

Menurut kebergantungannya, kemacetan dibagi menjadi dua


jenis:
1) Load independent, yaitu kemacetan yang terjadi karena
menurunnya kinerja sistem akibat dari interaksi
antarakomponen-komponen sistem, termasuk apabila sistem
akibat itu tidak digunakan.
a) Vehicle facility congestion, yaitu kemacetan yang disebabkan
oleh kendaraan dan fasilitas transportasi, seperti: terminal,
halte, dan sebagainya. Setiap fasilitas mempunyai
kecenderungan untuk menyebabkan kemacetan, baik
pada saat ada kendaraan maupun saat kosong.
b) Vehicle schedule congestion, yaitu kemacetan yang terjadi
ketika jumlah perjalanan yang telah terjadwal relatif
lebih besar dari jumlah armada yang ada.

2) Load dependent
a) Load vehicle congestion, yaitu kemacetan yang timbul
bila arus kendaraan yang bergerak melalui suatu rute
melewati sebuah terminal yang telah ada beban yang
menunggu.

Sosiologi Perkotaan 257


b) Load schedule congestion, yaitu kemacetan yang terjadi
bila volume yang harus dimuat memerlukan waktu yang
lebih lama daripada yang telah dijadwalkan.

g. Penyebab Masalah Lalu Lintas


Perkembangan aktivitas di perkotaan mengakibatkan
peningkatan beban jalan. Akibatnya berbagai macam jenis
permasalahan lalu lintas terjadi, mulai penundaan, kemacetan,
atau gangguan lainnya.
Secara umum, penyebab terjadinya masalah lalu lintas adalah
sebagai berikut.
1) Pertambahan penduduk di kota-kota besar, pertambahan ini
berkisar 4-5% per tahun.
2) Perkembangan kota yang tidak diikuti struktur guna lahan
yang sesuai.
3) Tidak seimbangnya jaringan jalan, fasilitas lalu lintas dan
angkutan dengan petumbuhan jumlah kendaraan.
4) Makin jauhnya jarak perjalanan karena masyarakat mengalami
pergeseran tempat tinggalnya ke arah luar kota/pinggiran,
sebagai akibat perkembangan aktivitas ekonomi di pusat
kota.
5) Penggunaan pribadi yang kurang efektif.
6) Kualitas dan kuantitas kendaraan umum yang belum
memadai.
7) Kurang termanfaatkannya secara maksimal peran alat angkutan
kurang mampu melayani massa yang baik dengan maksimal,
seperti kereta api.

Secara garis besar, elemen masalah transportasi dapat dibedakan


menjadi:
1) performance kendaraan umum;
2) tingkah laku pengemudi dan pejalan kaki;
3) pola jaringan jalan

258 Sosiologi Perkotaan


4) manajemen lalu lintas;
5) fasilitas parkir dan manajemen;
6) angkutan umum jalan;
7) koordinasi antarmoda;
8) koordinasi antartata guna lahan dan transportasi;
9) sumber pendanaan untuk sarana dan prasarana
transportasi.

Kemacetan, kecelakaan dan gangguan lalu lintas lainnya terjadi


karena ketidaksesuaian di antara komponen sistem lalu lintas.
Manheim (1979) menyatakan bahwa sistem lalu lintas didefinisikan
sebagai:
1) sistem transportasi (T);
2) sistem aktivitas sosial ekonomi (A);
3) pola pergerakan berupa sistem transportasi, asal, tujuan, rute,
volume lalu lintas, dan lain-lain (F).

Secara garis besar, hubungan komponen lalu lintas dapat


digambarkan sebagai berikut:
1) Pola pergerakan dalam sistem lalu lintas dibatasi oleh sistem
transportasi dan sistem aktivitas;
2) Pola pergerakan menyebabkan perubahan dalam selang aktu
dan sistem kegiatan, melalui pola pelayanan lalu lintas dan
sumber yang dikonsumsi untuk pelayanan tersebut;
3) Pola pergerakan langsung menyebabkan perubahan dalam
sistem transportasi.

E. Prasarana dan Kebutuhan Transportasi


Peranan perencanaan transportasi adalah memastikan bahwa
kebutuhanakan pergerakan dalam bentuk pergerakan manusia,
barang, atau kendaraan dapat ditunjang oleh sistem prasarana
transportasi yang ada dan harus beroperasi di bawah kapasitasnya.

Sosiologi Perkotaan 259


Kebutuhan pergerakan mempunyai ciri yang berbeda-beda, seperti
perbedaan tujuan perjalanan, moda transportasi yang digunakan,
dan waktu terjadinya pergerakan. Tamin (2000: 71) mengatakan
bahwa sistem prasarana transportasi terbentuk dari:
1. sistem prasarana (penunjang), misalnya sistem jaringan jalan
raya atau jalan rel termasuk terminal;
2. sistem manajemen transportasi, misalnya undang-undang,
peraturan, dan kebijakan;
3. beberapa jenis moda transportasi dengan berbagai macam
operatornya.

F. Proses Perencanaan Transportasi


Manurut Bruton J. Michael (1985), proses perencanaan
transportasi perkotaan dilandasi pada suatu cakupan asumsi dan
prinsip-prinsip yang paling mendasar, yaitu sebagai berikut.
1. Pola perjalanan adalah terukur, stabil, dan dapat diprediksi.
2. Kebutuhan pergerakan berhubungan langsung dengan
distribusi, dan intensitas tata guna lahan, yang mampu
ditetapkan secara akurat untuk beberapa waktu yang akan
datang (predictable).

Sebagai tambahan, untuk asumsi dasar ini, yang diperoleh


melalui pengalaman yang berharga adalah sebagai berikut.
1. Penentuan hubungan yang ada antarasemua model transportasi
dan model-model tertentu yang akan berperan pada masa yang
akan datang tidak dapat ditetapkan tanpa mempertimbangkan
semua model lainnya.
2. Pengaruh sistem transportasi terhadap pengembangan suatu
daerah, sebagaimana tingkat pelayanannya pada daerah
tersebut.
3. Daerah yang mengalami urbanisasi secara terus-menerus
membutuhkan wilayah yang luas dengan mempertimbangkan
situasi transportasinya.

260 Sosiologi Perkotaan


4. Studi masalah transportasi merupakan suatu bagian yang
terintegrasi dengan proses perencanaan menyeluruh, dan tidak
akan memadai untuk dipertimbangkan secara terpisah.
5. Proses perencanaan seharusnya berkelanjutan, dan memerlukan
pembaruan (updating), validasi dan pengembangan secara
konstan.

Rekomendasi yang dihasilkan dari proses perencanaan


transportasi dapat dibuat dalam banyak bentuk berbeda. Peningkatan
jalan atau manajemen lalu lintas dapat dihasilkan melalui suatu
studi transportasi yang terbatas. Studi-studi yang terbatas tersebut
biasanya mencakup pertimbangan dari hanya satu moda perjalanan.
Studi transportasi perkotaan, pada sisi lain, mencakup pertimbangan
dari beberapa moda perjalanan, dan interaksi satu dengan yang
lainnya, dan konsekuensinya jauh lebih kompleks. Secara tradisional,
perbedaan tipe-tipe studi transportasi ini, sekalipun dirancang untuk
memenuhi sasaran-sasaran yang berbeda, mempunyai kerangka
dasar yang sama yang mencakup hal-hal berikut.
1. Tahapan survei dan analisis yang menetapkan permintaan
sekarang untuk pergerakan dan cara memenuhinya, dan
hubungan antara kebutuhan pergerakan ini dengan lingkungan
perkotaan.
2. Tahapan peramalan dan rumusan perencanaan, yaitu proyek-
proyek untuk beberapa waktu akan datang, seperti permintaan
perjalanan berdasarkan pada pengumpulan data dan hubungan
yang ditetapkan dalam tahapan survei dan analisis dan
mengajukannya ke dalam proposal untuk memenuhi permintaan
ini.
3. Tahapan evalusi yang mencoba untuk menilai apakah
proposal transportasi yang diajukan memenuhi proyeksi
permintan untuk perjalanan dengan tingkat keamanan yang
memadai, kapastas dan tingkat pelayanan, dan memberikan
keuntungan maksimum kepada komunitas dengan biaya yang
minimum.

Sosiologi Perkotaan 261


Ketiga langka ini adalah suatu bagian yang esensial untuk
proses perencanaan transportasi. Sekalipun demikian, proses
perencanaan transportasi perkotaan, karena kompleksitasnya, harus
mencakup contoh-contoh dari prosedur dan teknis yang paling
komprehensif. Konsekuensinya, untuk memperoleh gambaran
yang selengkap mungkin dari proses perencanaan transportasi,
studi transportasi perkotaan harus diuraikan secara lengkap/detail.
Studi yang lebih terbatas, dengan sasaran yang terbatas, umumnya
cenderung terdiri atas bagian proses perkotaan secara keseluruhan.
Tahapan utama dalam proses perencanaan transportasi perkotaan
dapat didentifikasi sebagai berikut.
1. Formulasi sasaran dan tujuan yang eksplisit.
2. Pengumpulan data tata guna lahan, populasi, ekonomi, dan
pola perjalanan untuk situasi sekarang.
3. Menetapkan hubungan yang bisa dikuantifikasi antarapergerakan
waktu sekarang dn tata guna lahan, populasi dan faktor-faktor
ekonomi.
4. Prediksi dari tata guna lahan, populasi dan faktor-faktor
ekonomi untuk target waktu yang distudi, dan rencana
pengembangan tata guna lahannya.
5. Prediksi dari asal dan tujuan (MAT) dan distribusi dari
permintaan pergerakan waktu akan datang, menggunakan
hubungan tertentu untuk situasi sekarang, dan prediksi
populasi tata guna lahan dan faktor-faktor ekonomi (bangkitan
perjalanan dan sebaran perjalanan)
6. Prediksi dari pergerakan orng seperti oleh alat pengangkut
dengan moda perjalanan yang berbeda pada waktu target
(model split).
7. Pengembangan alternatif jaringan jalan raya dan transportasi
umum untuk memenuhi/sesuai dengan prediksi perencanaan
tata guna lahan dan mengakomodasikan estimasi pola
pergerakan.
8. Penetapan prediksi perjalanan untuk alternatif koordinasi
jaringan/sistem transportasi (traffic assignment).

262 Sosiologi Perkotaan


9. Evaluasi dari efesiensi dan kelayakan ekonomi untuk alternatif
jaringan transportasi dalam arti biaya keuntungan ekonom
dan sosial
10. Pemilihan dan implemenasi dari jaringan transportasi yang
paling cocok. Walaupun langkah-langkah individual dalam
proses perencanaan transportasi dapat segera diidentifikasi
dan dipisah-pisahkan, hubungan dan interaksi antara mereka
betul-betul penting.

Sosiologi Perkotaan 263


264 Sosiologi Perkotaan
BAB 10
KOTA DAN
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
“Pedagang Kaki Lima merupakan aset ekonomi bangsa Indonesia,
yang memberi andil besar dalam hal ketenaga kerjaan,
pengentasan kemiskinan dan menjadi katup pengaman ekonomi
kerakyatan.”

A. Pengantar
Sebagaimana telah dijelaskan tentang masyarakat kota bahwa
kota menjadi tempat aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan
pelayanan jasa, perdagangan dan industri. Kota juga menjadi daya
tarik bagi penduduk luar kota untuk pergi ke kota dengan tujuan
mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Akhirnya peningkatan
jumlah penduduk di perkotaan semakin tinggi dan padat. Kondisi
ini menimbulkan kurangnya ketersediaan lapangan kerja, terutama
pada sektor formal mengakibatkan penduduk mencari alternatif
pekerjaan lain dan sektor informal menjadi salah satu alternatif
penyediaan lapangan kerja di perkotaan. Salah satu usaha pada
sektor informal adalah sebagai pedagang kaki lima (PKL).
Keadaan ini diperburuk lagi dengan adanya krisis ekonomi
berkepanjangan yang telah menyebabkan terpuruknya perekonomian
di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali lndonesia sebagai
bagian dari komunitas dunia yang ikut merasakan imbasnya.

Sosiologi Perkotaan 265


Salah satunya adalah banyak perusahaan yang tidak sanggup lagi
beroperasi, hingga melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
para karyawannya. Akhirnya, banyak juga masyarakat bekerja atau
berusaha pada sektor informal, seperti menjadi pedagang kaki lima
atau disebut PKL di kota-kota besar di Indonesia.
Satu sisi kehadiran PKL di sudut-sudut kota memberikan
keuntungan bagi konsumen, pemerintah maupun untuk pedagang itu
sendiri seperti menekan jumlah pengangguran, serta menyediakan
berbagai keperluan masyarakat dengan harga relatif terjangka.
Akan tetapi, pada sisi lain, PKL sering dikaitkan dengan dampak
negatif bagi lingkungan perkotaan dengan munculnya kesan kotor,
kumuh dan tidak tertib. Tidak heran jika masyarakat sering kali
mengeluh akibat dari aktivitas PKL yang memanfaatkan fasilitas
publik untuk berjualan.
Fenomena tersebut menggambarkan masih kurang matangnya
perencanaan dan pengawasan pembangunan pada seluruh bagian
kota sehingga menyebabkan PKL berkembang dengan tidak terencana
dan liar. Inilah yang kemudian menimbulkan bentrok antarapedagang
PKL dengan aparat keamanan, sehingga sering PKL menjadi bulan-
bulan aparat keamanan. Padahal, kehadiran PKL jika dikelola dengan
baik, akan menjadi aset ekonomi bangsa Indonesia, yang memberi
andil besar dalam hal ketenagakerjaan, pengentasan kemiskinan
dan menjadi katup pengaman ekonomi kerakyatan.
Sekali lagi, sebagaimana pernyataan di atas bahwa pedagang
kaki lima di berbagai kota di negara berkembang merupakan
fenomena keseharian yang bersifat kontroversial. Pada satu sisi,
pemegang otoritas kota sering bersifat tidak ramah pada mereka,
bahkan mengusir mereka dari tata ruang kota, tetapi pada sisi
lain, mereka dijadikan sumber pendapatan bagi pemerintah kota
melalui pungutan retribusi dan dapat mengatasi permasalahan
ketenaga-kerjaan di perkotaan. Keberadaan Pedagang Kaki Lima
yang bersifat illegal dan tidak tertata sering dianggap sebagai
sumber problema dalam tata ruang kota yang lebih berorientasi pada
estetika. Sekalipun demikian, persoalan pedagang kaki lima tidak
dapat dibiarkan begitu saja, karena semakin hari jumlah mereka
semakin bertambah banyak dan mengganggu ruang gerak publik,
terutama pejalan kaki.

266 Sosiologi Perkotaan


Sudah tentu, kebijakan kota untuk mengatasi Pedagang Kaki
Lima harus berangkat dari karakteristik (profil) mereka, sehingga
dapat dirumuskan kebijakan yang tepat. Apabila, tidak memiliki
informasi tentang profil pedagang kaki lima, pemerintah kota tidak
dapat membuat kebijakan yang tepat. Untuk itu, diperlukan data
dan informasi tentang karakteristik Pedagang Kaki Lima, seperti
historis usaha mereka, motivasi memasuki sektor ini, dari mana
mereka berasal, latar belakang pendidikandan pengalaman, dan
sebagainya.

B. Pengertian Sektor Formal dan Informal


Antropolog Inggris bernama Keith Hart sekitar tahun 1971
pertama kali memperkenalkan gagasannya tentang kegiatan ekonomi
dibagi ke dalam sekotor formal dan sektor informal (Rachbini, 1994:
26). Istilah ini diperkenalkan untuk menjelaskan sejumlah aktivitas
tenaga kerja yang berada di luar pasar tenaga kerja formal yang
terorganisasi. Disebutkan dengan kalimat “di luar pasar” karena
sektor ini termasuk kelompok yang tidak permanen atau tidak
ada jaminan tentang keberlangsungan pekerjaan yang dimilikinya.
Bahkan, kelompok informal ini menggunakan teknologi produksi
yang sederhana dan padat karya, tingkat pendidikan dan ketrampilan
terbatas dan dilakukan oleh anggota keluarga.
Kedua istilah antaraformal dan Informal, digunakan untuk
menyatakan dua tipologi kesempatan memperoleh penghasilan di
kota, yaitu:
1. sektor formal, biasanya berupa gaji dari negara, gaji dari
sektor swasta, dan tunjangan-tunjangan pensiun, tunjangan
pengangguran;
2. Sektor Informal, biasanya meliputi yang sah dan tidak sah,
informal yang sah berupa kegiatan primer dan sekunder
(pertanian, perkebunan, penjahit), distribusi skala kecil
(pedagang kelontong, pedagang pasar, pedagang kaki lima,
dan lainnya). Adapun informal yang tidak sah berupa penadah
barang curian, perjudian, pengedar narkoba, pencurian, dan
lainnya.

Sosiologi Perkotaan 267


Jan Bremen (dalam Manning dan Effendi, 1996: 138-140)
memperjelas pengertian sektor informal dengan menyatakan bahwa
sektor informal menunjukkan fenomena perbedaan dua kegiatan
yang mempunyai ciri-ciri yang berlawanan. Tenaga kerja formal
adalah yang bergaji dalam suatu pekerjaan yang permanen. Sifat
semacam ini biasanya dimiliki oleh kegiatan yang saling berhubungan
dalam suatu sistem yang terjalin dengan organisasi yang baik. Pada
umumnya mereka yang terikat dalam kontrak kerja kelompok ini
mempunyai syarat-syarat bekerja yang dilindungi oleh hukum.
Sebaliknya mereka yang berada di luar kelompok ini dinamakan
sektor informal.
Studi mendalam tentang sektar informal di Indonesia dilakukan
oleh Hans Dieter Evers, yang menganalogikan sektor ini sebagai
bentuk ekonomi bayangan dengan Negara. Ekonomi bayangan
digambarkan sebagai kegiatan ekonomi yang tidak mengikuti aturan-
aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kegiatan ekonomi bayangan
ini merupakan bentuk kegiatan ekonomi yang bergerak dalam
unit-unit kecil sehingga bisa dipandang efisien dalam memberikan
pelayanan. Dilihat dari sisi sifat produksinya, kegiatan ini bersifat
subsistem yang bernilai ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari, khususnya bagi masyarakat yang ada di lingkungan
sektor informal (Rachbini, 1994: 3).
Adapun pengertian sektor formal, adalah sektor yang terdiri
atas unit usaha yang telah memperoleh berbagai proteksi ekonomi
dari pernerintah. Sedangkan sektor informal adalah unit-unit usaha
yang tidak memperoleh proteksi pemerintah dan sektor ini tidak
mempergunakan bantuan atau fasilitas pemerintah meskipun bantuan
itu telah tersedia. Kriteria adanya accessibility terhadap suatu fasilitas
yang disediakan pemerintah adalah yang dipakai sebagai ukuran
untuk membedakan usaha sektor formal dan informal.

C. Ciri-ciri Sektor Informal


Untuk membandingkan tentang ciri dari sector informal ini,
penulis mencantumkan beberapa pendapat berkaitan perbedaan
ciri tersebut.

268 Sosiologi Perkotaan


Menurut Todaro (2000: 351-352) ada beberapa ciri yang
menandakan dari sektor informal ini, di antaranya:
1. Sebagian besar memiliki produksi yang berskala kecil aktivitas
jasa dimiliki oleh perseorangan atau keluarga, dan dengan
menggunakan teknologi yang sederhana.
2. Umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit yang
memiliki pendidikan formal.
3. Produktivitas pekerja dan penghasilannya cenderung lebih
rendah daripada pada sektor formal.
4. Para pekerja pada sektor informal tidak dapat menikmati
perlindungan seperti yang didapat dari sektor formal dalam
bentuk jaminan kelangsungan kerja, kondisi kerja yang layak
dan jaminan pensiun.
5. Kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah
pendatang baru dari desa yang tidak mendapatkan kesempatan
untuk bekerja pada sektor formal.
6. Motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan penghasilan
yang bertujuan hanya untuk bertahan hidup dan bukannya
untuk mendapatkan keuntungan, dan hanya mengandalkan
pada sumber daya yang ada pada mereka untuk menciptakan
pekerjaan.
7. Mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota keluarga
mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang mendatangkan
penghasilan. Meskipun demikian, mereka bekerja dengan
waktu yang panjang.
8. Kebanyakan di antara mereka menempati gubuk-gubuk
yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh (slum area) dan
permukiman liar (schelter) yang umumnya kurang tersentuh
pelayanan jasa, seperti listrik, air, transportasi, serta jasa-jasa
kesehatan dan pendidikan.

Ciri lainnya dari sector informal sebagaimana dijelaskan oleh


Widodo (2002: 26), sebagai berikut.

Sosiologi Perkotaan 269


1. Kegiatan usaha yang tidak terorganisasi secsra baik, karena
timbulnya unit usaha tidak menggunakan fasilitas atau
kelembagaan yang tersedia pada sektor formal.
2. Pada umumnya tidak mempunyai izin.
3. Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi
maupun jam kerja.
4. Kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi
lemah tidak sampai ke sektor ini.
5. Satuan usaha yang mudah keluar dan masuk dari subsektor
yang satu ke subsektor yang lainnya.
6. Teknologi yang dipakai masih bersifat sangat sederhana.
7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil sehingga skala
operasinya juga kecil.
8. Untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan
formal karena pendidikan diperoleh dari pengalaman sambil
bekerja;
9. Satuan usaha termasuk dalam golongan one man enterprises dan
kalau mempekerjakan buruh biasanya berasal dari keluarga.
10. Sumber dan modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan
sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi.
11. Hasil produksi atas jasa lertentu dikonsumsi oleh golongan
masyarakat kota/desa yang berpenghasilan rendah dan
kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah.

Kemudian menurut Wirosardjono (dalam Sari, 2003: 27) ciri-


ciri sektor informal disebutkan antara lain sebagai berikut.
1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu,
permodalan maupun penerimaan.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah, sehingga kegiatannya sering dikatakan
“liar”.
3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya
kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian.

270 Sosiologi Perkotaan


4. Tidak mempunyai tempat tetap.
5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat
yang berpendapatan rendah.
6. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus,
sehingga dapat menyerap bermacam-macam tingkatan
tenaga.
7. Mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan
hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang
sama.
8. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan,
dan sebagainya.

Perbedaan antara sektor formal dan informal dari segi


karakteristik dan cirinya, (Hidayat, 1978: 10) dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.

Tabel 6
Perbedaan Karakteristik Sektor Formal dan Informal

No. Karakteristik Sektor Informal Sektor Formal

1 Modal Sukar peroleh Relatif mudah


diperoleh
2 Teknologi Padat karya Padat modal
3 Organisasi Seperti organisasi Birokrasi
keluarga
4 Sumber modal Lembaga keuangan Lembaga keuangan
tidak resmi resmi
5 Serikat buruh Tidak berperan Sudah berperan
6 Bantuan negara Tidak ada Diperlukan untuk
kelangsungan usaha
7 Hubungan dengan Saling One-way-trafc untuk
desa menguntungkan kepentingan sektor
formal

Sosiologi Perkotaan 271


8 Sifat wiraswasta Berdikari Sangat bergantung
pada perlindungan
pemerintah atau
impor
9 Persedian barang Jumlah sedikit dan Jumlah besar dan
kualitas berubah- kualitas baik
ubah
10 Hubungan kerja Berdasar atas saling Berdasarkan kontrak
dengan majikan percaya kerja

D. Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)


Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah adalah para pekerja pada
sektor informal yang banyak ditemui di perkotaan. PKL cerderung
menempati lokasi yang tidak permanen dan tersebar hampir di
setiap trotoar atau ruang-ruang “terbuka” yang bersifat umum.
Dari penjelasan karakteristiknya di atas, penampilannya tampak
dalam bentuk sarana dagangan yang sederhana yang umumnya,
masih bercirikan tradisional dan sederhana.
Secara definitif, pedagang kaki lima (PKL) adalah pedagang
yang menggunakan bahu jalan atau trotoar sebagai tempat untuk
berdagang (Dwiyanti, 2005: 33). Penyebutan pedagang kaki lima
atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan
yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena
jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua
kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya
adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Perkembangan
selanjutnya, istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan
pada umumnya.
Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda.
Peraturan pemerintahan Belanda pada waktu itu menetapkan bahwa
setiap jalan raya yang dibangun hendaknya rnenyediakan sarana
untuk pejalan kaki. Lebar luas untuk pejalan adalah lima kaki atau
sekitar satu setengah meter. Ada juga yang mengatakan bahwa
Asal mula kata pedagang kaki lima adalah berasal dari bahasa
Inggris “feet” yang artinya kaki, dan ukuran 1 feet adalah sekitar
2l cm. Dulu, lebar trotoar adatah 5 feet (sekitar 1,5 m). Selanjutnya

272 Sosiologi Perkotaan


pedagang yang berjualan di sepanjang trotoar disebut pedagang
pedagang kaki lima.
Pendapat lainnya, menurut Rusli Ramli (1992: 31), pedagang
kaki lima (PKL) pada umumnya adalah pekerjaan yang paling nyata
dan paling penting di kebanyakan kota pada negara berkembang.
Pedagang kaki lima di perkotaan mempunyai karakteristik dan
ciri-ciri yang khas dengan sektor informal, sehingga sektor informal
perkotaan sering diidentikkan sebagai pedagang kaki lima. Mc.
Gee dan Yeung (1977: 25), mendefinisikan pengertian PKL sama
dengan “hawkers”, yaitu orang-orang yang menjual barang atau jasa
di tempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian PKL menjadi
semakin luas, tidak hanya pedagang yang menempati trotoar atau
sepanjang bahu jalan saja. Ruang aktivitas usaha pedagang kaki
lima yang semakin luas, dimana tidak hanya menggunakan hampir
semua ruang publik yang ada, seperti jalur-jalur pejalan kaki, areal
parkir, ruang-ruang terbuka, taman-taman, terminal, perempatan
jalan, tetapi juga dalam melakukan aktivitasnya pedagang kaki lima
bergerak keliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kecil di
perkotaan.

E. Karakteristik PKL (Pedagang Kaki lima)


Seperti sudah dijelaskan di atas, pedagang kaki lima adalah
bagian dari sektor informal yang banyak ditemukan di perkotaan.
Sebagai bagian dari sektor informal, PKL mempunyai karakteristik
yang mirip dengan ciri-ciri pokok sektor informal. Berdasarkan
pendapat Widodo (2002: 29) ditemukan 2l karakteristik pedagang
kaki lima, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok pedagang yang kadang-kadang sebagai produsen,
yaitu pedagang makanan dan minuman yang memasaknya
sendiri.
2. Menjajakan barang dagangannya pada gelaran tikar di pinggir
jalan dan di depan toko yang dianggap strategis. Ada juga
yang menggunakan meja, kereta dorong, dan kios kecil.
3. Menjual barang secara eceran.

Sosiologi Perkotaan 273


4. Bermodal kecil, bahkan sering dimanfaatkan pemilik modal
dengan memberikan komisi sebagai jerih payah.
5. Kelompok marginal bahkan ada pula yang masuk dalam
kelompok submarginal;
6. Kualitas barang yang dijual relatif rendah, bahkan ada yang
khusus menjual barang-barang dengan kondisi sedikit cacat
dengan harga yang lebih murah lagi.
7. Omset penjualan tidak besar.
8. Pembeli pada umumnya berdaya beli rendah.
9. Jarang ditemukan kasus pedagang kaki lima yang sukses
secara ekonomi, sehingga kemudian meningkat dalam jenjang
hierarki pedagang.
10. Merupakan usaha “family enterprise”, dimana anggota keluarga
turut membantu dalam usaha tersebut.
11. Mempunyai sifat “one man enterprise”.
12. Barang yang ditawarkan tidak berstandar, dan perubahan
jenis barang yang diperdagangkan sering terjadi.
13. Tawar-menawar antarapembeli dan pedagang merupakan ciri
yang khas pada usaha perdagangan kaki lima.
14. Sebagian PKL melaksanakan secara penuh, yaitu berupa
“full time job”, sebagian lagi melakukannya setelah jam kerja
atau pada waktu senggang dalam rangka usaha mencapai
pendapatan tambahan.
15. Sebagian PKL melakukan pekerjaannya secara musiman, dan
terlihat jenis barang dagangannya berubah-ubah.
16. Barang-barang yang dijual merupakan barang yang umum,
jarang sekali PKL menjual barang khusus.
17. Berdagang dalam kondisi tidak tenang, karena takut sewaktu-
waktu usaha mereka ditertibkan dan dihentikan oleh pihak
yang berwenang.
18. Masyarakat sering beranggapan bahwa para PKL adalah
kelompok yang menduduki status sosial yang rendah dalam
masyarakat.

274 Sosiologi Perkotaan


19. Karena faktor pertentangan kepentingan, kelompok PKL yang
sulit bersatu dalam bidang ekonomi meskipun perasaan setia
kawan yang kuat di antara mereka.
20. Waktu kerja tidak menunjukkan pola yang tetap, hal ini
menunjukkan seperti pada ciri perusahaan perseorangan.
21. Mempunyai jiwa “entrepreneurship yang kuat.

F. Pola Aktivitas PKL (Pedagang Kaki lima)


1. Lokasi dan Waktu Berdagang
Beberapa ciri yang berkaitan dengan penentuan lokasi yang
diminati oleh para pedagang sektor informal atau pedagang kaki
lima, yaitu:
a. terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-
sama pada waktu relatif sama, sepanjang hari;
b. berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat
kegiatan perekonomian kota dan pusat nonekonomi perkotaan,
tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar;
c. mempunyai kemudahan untuk terjadi hubungan pedagang
kaki lima dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam
ruang yang relatif sempit;
d. tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan
umum.

Mc Gee dan Yeung (1977: 76) menyatakan bahwa pola aktivitas


PKL yang berkaitan dengan lokasi dan waktu, yaitu menyesuaikan
irama dari ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode
waktu kegiatannya didasarkan dengan perilaku kegiatan formal.
Adapun perilaku kegiatan keduanya cenderung sejalan, walaupun
pada saat tertentu, kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak ada
hubungan langsung antara keduanya. Temuan ini didasarkan pada
penelitian terhadap “hawkers” di kota-kota Asia Tenggara.
Saat teramai pada suatu waktu pelayanan dipengaruhi oleh
orientasi jasa terhadap pusat-pusat kegiatan di sekitarnya. Saat
teramai bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat pusat

Sosiologi Perkotaan 275


perbelanjaan akan berbeda dengan saat-saat teramai di dekat
kawasan wisata, kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan
sebagainya.

2. Jenis Dagangan
Jenis dagangan yang dijual pada umumnya disesuaikan dengan
lingkungan di sekitar lokasi tempat pedagang kaki lima tersebut
berdagang. Hal ini sesuai dengan pendapat Mc. Gee dan Yeung (1977:
82-83) yang menyatakan jenis dagangan pedagang kaki lima sangat
dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan pedagang
tersebut beraktivitas. Berdasarkan penelitiannya, ia menyatakan,
jenis dagangan pedagang kaki lima dapat dikelompokkan menjadi
empat, yaitu:
a. makanan yang tidak diproses dan semi olahan (unprocessed and
semi processed food), makanan yang tidak diproses termasuk
makanan mentah seperti buah-buahan, sayur-sayuran,
sedangkan makanan semi proses adalah beras;
b. Makanan siap saji (prepared food), yaitu pedagang makanan
dan minuman yang sudah dimasak;
c. Barang bukan makanan (non food items), kategori ini terdiri
atas barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil
hingga obat-obatan;
d. Jasa (service), terdiri atas beragam aktivitas seperti jasa perbaikan
sol sepatu dan tukang potong rambut. Jenis komoditas ini
cenderung menetap.

3. Bentuk Sarana Dagang


Bentuk sarana perdagangan yang dipergunakan oleh para PKL
dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977: 82-
83) di kota-kota di Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya
bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah
untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain
dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Bentuk sarana
perdagangan yang digunakan oleh PKL adalah sebagai berikut.

276 Sosiologi Perkotaan


a. Pikulan atau keranjang digunakan oleh para pedagang yang
keliling (mobile hawkers) atau semi menetap (semi static). Hal
ini dimaksudkan agar barang mudah dipindahkan ke suatu
tempat.
b. Gelaran atau alas, berupa kain, tikar, terpal, kertas dan
sebagainya.
c. Jongko atau meja, baik yang beratap maupun tidak beratap.
Sarana ini biasanya digunakan PKL yang menetap.
d. Gerobak atau kereta dorong yang beratap ataupun tidak beratap.
Biasa digunakan oleh PKL baik yang menetap maupun yang
tidak menetap. Pada umumnya digunakan untuk menjajakan
makanan, minuman, dan rokok.
e. Warung semi permanen terdiri atas beberapa gerobak yang
diatur berderet yang dilengkapi dengan bangku-bangku
panjang. Sarana ini menggunakan atap terpal atau plastik yanq
tidak tembus air. PKL dengan sarana ini adalah PKL yang
menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman.
f. Kios, pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini
dikategorikan pedagang yang menetap karena secara fisik
tidak bisa dipindahkan. Biasanya merupakan bangunan semi
permanen yang dibuat dari papan.

Tiap-tiap jenis bentuk sarana berdagang yang digunakan,


memiliki ukuran yang berbeda-beda, bergantung pada keinginan
dan kebutuhan pedagang yang bersangkutan. Umumnya sarana
yang digunakan untuk berdagang adalah gelaran atau alas dan
jongko atau meja rata-rata ukuran panjang x lebar adalah 1,42 x
1,54 (m). Tujuannya adalah mudah dan cepat dalam mengemasi
dagangannya atau berpindah tempat sesuai dengan kondisi dan
situasi jika ada penertiban pedagang kaki lima.

4. Pola Penyebaran
Bentuk penyebaran PKL dibagi dua kelompok, yaitu sebagai
berikut.

Sosiologi Perkotaan 277


a. Pola penyebaran mengelompok (focus aglomeration). Pedagang
informal pada tipe ini pada umumnya memanfaatkan aktivitas
pada sektor formal. Biasanya pusat-pusat perbelanjaan menjadi
salah satu daya tarik lokasi sektor informal untuk menarik
konsumennya. Selain itu, ujung jalan, ruang terbuka, sekeliling
pasar, ruang parkir, taman merupakan lokasi-lokasi yang
banyak diminati oleh sektor ini. Pola penyebaran seperti ini
biasanya dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi,
yaitu pemusatan atau pengelompokan pedagang sejenis atau
pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau
saling menunjang. Biasanya dijumpai pada para pedagang
makanan dan minuman.
b. Pola penyebaran memanjang (linier concentrution). Pada
umumnya, pola ini terjadi di sepanjang atau di pinggir .jalan
utama (main street) atau pada .jalan yang menghubungkan jalan
utama. Dengan kata lain, pola perdagangan ini ditentukan
oleh pola jaringan jalan itu sendiri. Pola kegiatan linier lebih
banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi
pada lokasi yang bersangkutan. Dilihat dari segi pedagang
informal itu sendiri, hal ini sangat menguntungkan, sebab
dengan menempati lokasi yang beraksesibilitas tinggi, ia
mempunyai kesempatan yang tinggi dalam meraih konsumen.
Jenis kamoditi yang biasa diperdagangkan adalah pakaian,
kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, dan lainnya.

5. Sifat Pelayanan
Sifat pelayanan PKL dibagi menjadi tiga kelompok berikut.
a. Pedagang menetap (static). Pedagang menetap adalah suatu
bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap
pada suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau
konsumen harus dating sendiri ke temapt pedagang dimana ia
berada. Sarana fisik berdagang dengan sifat seperti ini biasanya
berupa kios atau jongkol atau roda atau kereta beratap.
b. Pedagang semi menetap (semi static). Pedagang semi menetap
merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai
sifat menetap sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu

278 Sosiologi Perkotaan


saja. Dalam hal ini PKL akan menetap bila ada kemungkinan
datangnya pembeli cukup besar. Biasanya pada saat bubaran
bioskop, para pegawai masuk/keluar kantor atau saat ramainya
pengunjung di pusat kota. Apabila tidak ada kemungkinan
pembeli yang cukup besar, maka pedagang tersebut berkeliling.
Dengan kata lain ciri utama PKL yang memilih pola pelayanan
seperti ini adalah adanya pergerakan PKL yang menetap pada
suatu lokasi pada periode tertentu, setelah waktu berjualan
selesai (pada sore atau malam hari). Adapun sarana fisik yang
dipergunakan untuk berdagang berupa kios beroda, jongko
atau roda/kereta beratap.
c. Pedagang keliling (mobile), yaitu bentuk layanan pedagang
yang melayani konsumennya dengan cara mendatangi atau
mengejar konsumen. Biasanya pedagang yang mempunyai sifat
ini adalah pedagang yang mempunyai volume dagangan kecil.
Aktivitas PKL dalam kondisi ini ditunjukkan dengan sarana
fisik perdagangan yang mudah dibawa. Dengan kata lain, ciri
utama dari unit ini adalah PKL yang berjualan bergerak dari
satu tempat ke tempat lain. Bentuk sarana fisik perdagangan
mereka adalah kereta dorong dan pikulan/keranjang.

6. Para Pengguna Jasa PKL


Golongan pengguna jasa PKL umumnya terdiri atas golongan
pendapatan menengah dan rendah. Hal ini karena harga yang
ditawarkan oleh pedagang sektor informal relatif lebih rendah
sehingga terjangkau bagi golongan pendapatan rendah sekalipun.
Bagi golongan berpendapatan tinggi ada kecenderungan untuk
tidak mengunjungi lokasi aktiviias PKL. terutama untuk jenis
barang dagangan bukan makanan. Pertimbangannya adalah kualitas
barang yang biasanya lebih rendah, adanya kemungkinan penipuan
dalam hal kualitas barang dan sebagainya, sehingga golongan ini
lebih memilih untuk berbelanja di toko atau supermarket. Selain
alasan tersebut, dari sisi psikologis, ada kecenderungan gaya
hidup masyarakat kota yang selalu ingin menjaga gengsi, sehingga
mereka lebih percaya diri apabila berbelanja di tempal-tempat yang
dapat mewakili status mereka. Sekalipun demikian, tidak tertutup
kemungkinan bahwa masyarakat berpendapatan menengah ke atas

Sosiologi Perkotaan 279


mendatangi lokasi aktivitas perdagangan sector lnformal, tetapi ini
terjadi sekali waktu atau bersifal insidental.
Rachbini (1994: 92) menyatakan bahwa dari sekitar 2 juta
lebih atau pegawai sektor formal (swasta maupun negeri) di Jakarta
lebih kurang satu setengah juta membeli makanan dari sektor
informal. Hanya dengan cara ini, mereka dapat bertahan dalam
kondisi gaji pada sektor formal yang rata-rata rendah. Kondisi
ini juga menunjukkan adanya hubungan antarasektor formal dan
informal.

7. Pilihan Ruang Aktivitas


Trotoar dan bahu jalan, terutama di lokasi keramaian kota,
dipenuhi oleh pelaku sektor informal PKL. Hal ini karena PKL dalam
memilih lokasi bagi aktivitas usahanya akan berusaha untuk selalu
mendekati pasar atau pembeli. Mereka berusaha agar barang atau
jasa yang dijual terlihat oleh pembeli (Effendi, 1996: 236).
Oleh karena itu, mereka akan memilih lokasi-lokasi yang
strategis dan menguntungkan di pusat kota atau lokasi yang
merupakan lokasi aktivitas masyarakat. Itulah sebabnya, dapat
kita jumpai kehadiran PKL di sekitar lokasi aktivitas perdagangan,
pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya.
Dalam teori lokasi juga disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat
kecenderungan untuk berorientasi pada konsentrasi konsumen
dalam menentukan lokasi tempat usaha (Djojodipuro, 1992: 30).
Di samping faktor lokasi yang strategis dalam arti dekat
dengan keramaian atau mudah dijangkau pembeli, PKL juga
memperhitungkan faktor kedekatan. Dean Forbes (dalam Manning
dan Effendi, 1996: 348), menyatakan bahwa ada variasi pemusatan
ruang dalam PKL yang disebabkan oleh hubungan yang kompleks
antara suplai pekerja, keperluan produksi, perilaku pemasaran,
dan sarana serta prasarana fransportasi. Perlunya lokasi produksi
dan pemasaran dekat dengan sumber bahan baku telah mendorong
munculnya pemusatan sektor informal PKL.
Rachbini dan Hamid (1994: 101) berdasarkan hasil penelitiannya
mengenai PKL mengemukakan adanya korelasi yang tinggi antara
tingkat mobilitas tempat usaha dengan mobilitas tempat tinggal.

280 Sosiologi Perkotaan


Ini artinya, mobilitas tempat tinggal terjadi karena mobilitas tempat
usaha dan bukan sebaliknya. Massa pedagang dan jasa informal
harus mengikuti dan bertempat tinggal di mana saja. Mereka harus
dekat dengan tempat usahanya. Jika tidak, mereka akan dililit oleh
masalah ongkos transportasi dan kesulitan lain yang menyangkut
cara membawa dan menyimpan alat-alat usahanya.
Dalam teori lokasi yang mengemukakan transportasi disebutkan
bahwa penting untuk menentukan lokasi sedemikian rupa sehingga
diperaleh biaya angkutan yang minimum (Djojodipuro, 1992: 30).
Hal ini terkait pula dengan ketersediaan sarana transportasi, baik
bagi PKL bersangkutan maupun bagi pembeli atau konsumen.
Penempatan lokasi kegiatan ekonomi yang sulit dijangkau,
dalam arti sarana transportasi yang tersedia kurang atau tidak
memadai merupakan faktor penyebab kegagalan bagi pelaku yang
terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, sering relokasi PKL yang
dilakukan oleh pemerintah kurang mendapat respons yang baik,
karena tidak didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana
yang memadai, termasuk sarana transportasi. Tempat baru tersebut
tidak memenuhi kriteria sebagai lokasi bagi aktivitas perdagangan
sehingga PKL yang direlokasi baru tersebut kembali ke lokasi yang
lama.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
menentukan pilihan lokasi bagi aktivitas usahanya, PKL akan
mempertimbangkan beberapa hal berikut.
a. Orientasi kepada konsentrasi konsumen, dalam arti PKL akan
memilih lokasi sedekat mungkin dengan konsumennya.
b. Pertimbangan terhadap faktor kedekatan lokasi, baik dengan
pusat kegiatan masyarakat, tempat tinggal, sumber bahan
baku, permukiman penduduk terdekat.
c. Pertimbangan terhadap kemudahan transportasi.

Sosiologi Perkotaan 281


282 Sosiologi Perkotaan
BAB 11
KOTA DAN
ANAK JALANAN DAN GEPENG
(GELANDANGAN DAN PENGEMIS)
“Membuka mata tentang anak jalanan akan membangun
kepedulian kita terhadap masalah mereka.”

A. Pengantar
Kota penuh cerita. Ada cerita urbanisasi, industri, pedagang
kaki lima, kemacetan (transportasi), sebagaimana penjelasan
terdahulu. Cerita berikutnya adalah anak jalanan dan gepeng (gembel
dan pengemis). Anak jalanan dan gepeng merupakan kelompok
anak dan para tunawisma yang sering ditemui serta menghiasi
kota-kota besar dI Indonesia. Dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pada pasal 4 dijelaskan bahwa setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Begitupun dalam pasal 8 menyatakan setiap anak berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spritual, dan sosial. Ditambah Pada pasal
34 UUD 1945 juga sudah jelas ditegaskan fakir miskin dan anak

Sosiologi Perkotaan 283


terlantar pelihara oleh Negara. Jika kaitkan dengan UU No. 23 Tahun
2002 di atas, yang menjelaskan tentang perlindungan anak maka
lengkaplah suatu peraturan yang melindungi hak-hak anak.
Akan tetapi kenyataannya sungguh ironis. Sosok anak jalanan,
gepeng adalah kelompok yang selalu dipandang hina di mata
masyarakat. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan
tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir
di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan,
keramaian atau terminal-terminal. Penampilannya yang jorok,
ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di
daerah-daerah kumuh atau bahkan sama sekali tidak mempunyai
tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan
kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan
masyarakat terhadapnya sangat rendah.
Ironisnya lagi, masyarakat bahkan tidak menganggap mereka
sebagai manusia lazimnya. Anak jalanan adalah sampah yang
tidak lagi mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan sebagai
generasi penerus pembangunan dan tidak mempunyai manfaat
bagi masyarakat (Frans van Dijk, 1993: 11). Statusnya sebagai anak
jalanan, menyebabkan anak-anak itu harus rela dengan berbagai
hinaan, cacian, makian, kekejaman, kekerasan dan kesan buruk
masyarakat. Ini artinya ketika permasalahan sosial menimpa keluarga
dan dirinya, dengan sendirinya ia mengalami penghilangan hak
sebagai manusia dan hak sebagai anak oleh masyarakat.
Anak jalanan merupakan anak-anak marginal yang terpaksa atau
dipaksa mencari nafkah bagi diri, keluarga atau orang lain dengan
berjualan koran, mengamen, menyemir sepatu, pemulung, tukang
sapu atau lap mobil, pedagang asongan, pengemis dan berbagai
pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lainnya. Perampasan
terhadap hak-hak anak ini tanpa disadari telah terjadi secara besar-
besaran, dan anak-anak yang tengah menikmati pendidikan di
sekolah-sekolah formalpun; mulai terancam dan bahkan tidak sedikit
yang droup out. Kesempatan untuk bermain dan tumbuh kembang
sudah hilang. Kondisi itu merupakan akibat ketidakberdayaan
orangtua untuk melindungi anaknya, sehingga anak-anak dijadikan
tumpuan untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga (Frans
van Dijk, 1999: 12).

284 Sosiologi Perkotaan


B. Pengertian Anak Jalanan
Brazilia, Amerika Serikat sebagai Negara pertama kali yang
memperkenalkan istilah anak jalanan. “Meninos de Ruas” istilah
untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan
tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (B.S. Bambang, 1993:
9). Di beberapa negara lainnya, penyebutan istilah anak jalanan
berbeda-beda. Misalnya di Colombia, mereka disebut “gamin” (urchin
atau melarat) dan “chinches” (kutu kasur), di Rio dikenal dengan
“marginais” (kriminal atau marginal), di Peru dikenal dengan istilah
“pa ‘jaros frutero” (burung pemakan buah), di Bolivia dikenal istilah
“polillas” (ngrengat), di Honduras disebut dengan istilah “resistoleros”
(perampok kecil), di Vietnam dikenal dengan “Bui Doi” (anak
dekil), di Rwanda dengan istilah “saligoman” (anak menjijikkan),
atau disebut dengan “poussing” (anak ayam), di Camerun dikenal
dengan “moustique” (nyamuk), dan di Zaire atau Congo disebut
dengan istilah “balados” (pengembara).
Istilah-istilah tersebut menggambarkan posisi anak-anak
jalanan serta aktivitas mereka dalam masyarakat.
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh banyak ahli,
untuk menggambarkan kondisi anak jalanan yang sesungguhnya.
P B B m e n j e l as k a n b a h w a an a k j a l an a n a d a l a h a n a k y a n g
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untk bekerja,
bermain atau beraktivitas lainnya. Anak jalanan tinggal di jalanan
karena dicampakkan atau tercampak dari keluarga yang tidak
mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran
keluarganya.
Beberapa studi menyatakan bahwa anak jalanan adalah
anak usia antara7 sampai 15 tatrun yang bekerja di jalanan dan
tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan
keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya
atau anak yang berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah
lagi dan tidak tinggal bersama orangtua mereka, dan bekerja
seharian untuk memperoleh penghasilandi jalanan, persimpangan
dan tempat-tempat umum atau anak-anak yang berusia di bawah
2l tahun yang berada di jalanan untuk mencari nafkah yang dengan
berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di
toko/kios).

Sosiologi Perkotaan 285


Depsos (2001: 20) mendefiniskan bahwa anak jalanan adalah
anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari
nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum
lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, secara garis besar anak
jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Atwar Bajari, 2002: 18-20)
berikut.
1. Children on the street. Anak-anak yang mempunyai kegiatan
ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian
penghasilan mereka adalah untuk membantu memperkuat,
penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan
kemiskinan yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua
orangtuanya.
2. Children of the street. Anak-anak yang berpartisipasi penuh di
jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara
mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya,
tetapi frekeensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak
di antara mereka adalah anak-anak yang karena kekerasan,
lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap
perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun
seksual (Irwanto, 1995: 45).
3. Children from families of the street. Anak-anak yang berasal
dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak
ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat,
hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat
yang lain dengan segala resikonya. Salah satu ciri penting
dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan
sejak anak masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan.
Di Indonesia kategori ini dengan mudah ditemui diberbagai
kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api
dan pinggiran sungai (Surya Mulandar, 1996: 24)

Depsos (BKSN, 2000: 24) mengelompokkan anak jalanan


menjadi empat kategori berikut.

286 Sosiologi Perkotaan


1. Anak jalanan yang hidup dijalanan, dengan kriteria:
a. putus hubungan atau lama tidak ketemu dengan
orangtuanya;
b. sebanyak 8-10 jam berada di jalanan untuk “bekerja”
(mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya
menggelandang/tidur;
c. tidak lagi sekolah;
d. rata-rata berusia di bawah 14 tahun.

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:


a. berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya;
b. sebanyak 8-l6 jam berada di jalanan ;
c. mengontrak kamar sendiri, bersama teman ikut orangtua,
saudara, umumnya di daerah kumuh;
d. tidak lagi sekolah;
e. pekerjaannya sebagai penjual koran, pengasong pencuci
bus, pemulung penyemir, sepafu, dan lainnya;
f. rata-rata berusia di bawah 16 tahun.

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:


a. bertemu teratur setiap hari tinggal dan tidur dengan
keluarganya;
b. sebanyak 4-5 jam kerja di jalanan;
c. masih bersekolah;
d. pekerjaan: penjual koran, penyemir, pengamen, dan
lainnya;
e. usia rata-rata di bawah 14 tahun.

4. Anak jalanan berusia di atas 16 tatum, dengan kriteria:


a. tidak lagi berhubungan atau berhubungan tidak teratur
dengan orangtuanya;

Sosiologi Perkotaan 287


b. sebanyak 8-24 jam berada di jalanan;
c. tidur dijalan atau rumah orangtua;
d. sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah
lagi;
e. pekerjaan: calo, mencuci bis, menyemir, dan lainnya.

Pengelompokan lainnya berkaitan dengan anak jalanan, di


antaranya:
1. Anak jalanan yang hidup dijalanan, dengan cirinya sebagai
berikut:
a. lama tidak bertemu dengan orangtuanya minimal setahun
yang lalu;
b. berada di jalanan seharian untuk bekerja dan meng-
gelandang;
c. bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang
tempat, seperti emper, toko, kolong jembatan, taman,
terminal, stasiun, dan lainnya;
d. tidak bersekolah lagi.

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya adalah:


a. berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya, yaitu
pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan
sekali, dan tidak tentu, mereka umumnya berasal dari
luar kota yang bekerja dijalanan,
b. berada di jalanan sekitar 8 s.d. 12 untuk bekerja, sebagian
mencapai 16 jam;
c. bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau
bersama teman, dengan orangtua atau saudaranya atau
di tempat kerjanya di jalan;
d. tidak bersekolah lagi.

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan cirinya


adalah:

288 Sosiologi Perkotaan


a. setiap hari bertemu dengan orangtuanya (teratur);
b. berada di jalanan sekitar 4 sampai 6 jam untuk bekerja;
c. tinggal dan tidur bersama orangtua/wali;
d. masih bersekolah.

Berkaitan dengan karakteristik anak jalanan, di antaranya:


1. Kelompok anak yang hidup dan bekerja di jalanan, karakteristik-
nya:
a. menghabiskan seluruh waktunya di jalanan;
b. hidup dalam kelompok kecil atau perseorangan;
c. tidur di ruang-ruang atau cekungan di perkotaan,
seperti terminal, emper, toko, kolong jembatan, dan
pertokoan;
d. hubungan dengan orangtuanya biasanya sudah putus;
e. putus sekolah;
f. bekerja sebagai pemulung, pengamen, mengemis,
penyemir, kuli angkut barang;
g. berpindah-pindah tempat.

2. Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan masih pulang


ke rumah orangtua mereka setiap hari, karakteristiknya adalah:
a. hubungan dengan orangtua masih ada, tetapi tidak
harmonis;
b. sebagian besar dari mereka telah putus sekolah dan
sisanya rawan untuk meninggalkan bangku sekolah;
c. rata-rata pulang setiap hari atau seminggu sekali ke
rumah;
d. bekerja sebagai pengemis, pengamen, kernet, pedagang
asongan, koran, dan ojek payung;

3. Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan dan pulang ke desanya


antara satu hingga dua bulan sekali, karakteristiknya adalah:

Sosiologi Perkotaan 289


a. bekerja di jalanan sebagai pedagangan asongan, menjual
makanan keliling, kuli angkut barang;
b. hidup berkelompok bersama dengan orang-orang yang
berasal dari satu daerah dengan cara mengontrak rumah
atau tinggal di sarana-sarana umum atau tempat ibadat
seperti masjid;
c. pulang antara satu hingga tiga bulan sekali;
d. Ikut membiayai keluarga di desanya;
e. putus sekolah.

4. Anak remaja jalanan bermasalah (ABG), karakteristiknya


adalah:
a. menghabiskan sebagian waktunya di jalanan;
b. sebagian sudah putus sekolah;
c. terlibat masalah narkotika dan obat-obatan lainnya;
d. sebagian dari mereka melakukan pergaulan seks bebas,
beberapa anak perempuan mengalami kehamilan dan
terlibat prostitusi;
e. berasal dari keluarga yang tidak harmonis.

C. Proses Terjadinya Anak Jalanan


Tjuk Kasturi Sukiadi (1999: 10) menjelaskan bahwa proses
terjadinya anak jalanan dibagi dalam beberapa tahap.
Tahap I: pengetahuan sampai adanya ketertarikan. Ada kebiasaan
semakin berkelompok dari anak-anak di perkampungan. Bersama
kelompoknya, mereka berjalan-jalan ke tempat sebagaimana telah
disepakati bersama. Di perjalanan, mereka menjumpai anak-anak
jalanan sedang bekerja. Mereka sebatas melihat dan pengetahuan
mereka bahwa ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan
itu bisa dilakukan anak seusia mereka. Pada tahap ini, keinginan
menjadi anak jalanan masih bergantung pada masing-masing anak,
seberapa besar perhatian dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut.

290 Sosiologi Perkotaan


Pada tahap ini, anak tidak langsung turun ke jalan, melainkan
bergantung pada stimulus berikutnya (ada fasilitas).
Tahap II: ketertarikan sampai keinginan. Tahap ini merupakan
tahap ketertarikan yang telah mendapat “fasilitas”, atau faktor
pendorong, seperti kondisi ekonomi atau kondisi keretakan hubungan
orangtua. Fasilitas tersebut akan semakin memperkuat keinginan
anak untuk turun kejalan.
Tahap III: pelaksanaan. Anak mulai melaksanakan niatnya dengan
mendatangi tempat operasi. Jika ia menemukan teman yang sudah
dikenal, keinginan untuk menjadi anak jalanan segera terealisasi
meskipun agak malu-malu.
Tahap IV: memasuki kehidupan anak jalanan. Dalam tahap ini,
si anak akan diterpa berbagai pengaruh kehidupan jalanan. Hal
ini juga bergantung pada diri anak itu sendiri dan teman yang
membawanya. Yang tidak kalah penting, peranan orangtua untuk
tetap mengontrolnya. Bila ketiga pihak di atas masih ada dalam
dirinya, anak akan tetap positif dan tidak tercerabut dari norma
dan nilai yang telah dipegang sebelumnya.
Tahap V: terjerumusnya atau kembali pada kehidupan wajar. Apabila
dalam perkembangannya anak menyadari bahwa mencari nafkah di
jalanan semakin sulit maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama bertahan dengan tetap memegang norma kemasyarakatan
atau keluar dari komunitas jalanan. Kemungkinan kedua bila
menerima stimulus baik dan kawan maupun pihak lain untuk
berbuat negatif, anak sudah masuk dalam kategori anak jalanan
bebas norma agama dan kemasyarakatan cenderung ditinggalkan.
Pada tahap inilah, kecenderungan berperilaku menyimpang terjadi
seperti judi seks bebas, atau tindakan kriminal lainnya.

D. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Anak Jalanan


Banyak ahli telah meneliti tentang faktor-faktor penyebab
kemunculan anak jalanan. Menurut Surya Munandar (1996: 45) ada
sejumlah penyebab fenomena anak yang bekerja antara lain adalah
tekanan ekonomi keluarga, dipaksa orangtua, diculik dan terpaksa
bekerja oleh orang yang lebih dewasa, asumsi bahwa dengan bekerja

Sosiologi Perkotaan 291


bisa digunakan sebagai sarana bermain, dan pembenaran budaya
bahwa sejak kecil anak harus bekerja. Ada pula yang menyebutkan
bahwa faktor-faktor penyebab anak turun ke jalan adalah kemiskinan
keluarga, kesibukan orangtua, penolakan masyarakat karena cacat
atau anak haram, rumah tangga yang berkonflik, dan salah satu
atau kedua orangtua meninggal dunia.
Banyak orang mengira bahwa faktor utama yang menyebabkan
anak turun ke jalanan untuk bekerja dan hidup di jalan adalah
kemiskinan. Akan tetapi, data dari literatur yang ada menunjukkan
bahwa kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penyebab anak
turun ke jalan. Secara umum, ada tiga tingkatan penyebab keberadaan
anak jalanan (Depsos, 2001: 25-26):
1. mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan
anak dan keluarganya;
2. m e s s o ( u n d e r l yi n g c au s e s ) , y a i t u f a k t o r y a n g a d a di
masyarakat;
3. makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan
struktur makro.

Pada tingkat mikro, sebab yang bisa diidentifikasi dari anak


dan keluarga yang berkaitan, tetapi juga bisa berdiri sendiri, adalah
sebagai berikut.
1. Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah
atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak
teman.
2. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan
orangtua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orangtua, salah
perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan
dengan keluarga atau tetangga terpisah dengan orangtua
sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat
anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik,
psikologis, dan sosial.

Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi


meliputi:

292 Sosiologi Perkotaan


1. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk
membantu peningkatan keluarga. Anak-anak diajarkan bekerja
yang berakibat drop out dari sekolah.
2. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-
anak mengikuti kebiasaan itu.
3. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai
calon pelaku kriminal.

Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat


diidentifikasi adalah sebagai berikut.
1. Ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal
yang tidak terlalu membutuhkan modal keahlian, mereka
harus lama di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah,
ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi.
2. Pendidikan adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru
yang diskriminatif, dan ketentuan teknis dan birokratis yang
mengalahkan kesempatan belajar.
3. Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang
anak jalanan sebagai kelompok yang memerlukan perawatan
(pendekatan kesejahteraan) dan pendekatan yang menganggap
anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah
(security approach atau pendekatan keamanan).

Dengan kata lain, faktor-faktor yang membuat keluarga dan


anaknya terpisah, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor Pendorong
a. Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh
besarnya kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga
sehingga anak-anak disuruh ataupun dengan sukarela
membantu mengatasi kondisi ekonomi tersebut.
b. Ketidakserasian dalam keluarga sehingga anak tidak
betah tinggal di rumah atau anak lari dari keluarga.
c. Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orangtua
terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah.

Sosiologi Perkotaan 293


d. Kesulitan hidup di kampung. Anak melakukan urbanisasi
untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa.

2. Faktor penarik
a. Kehidupan jalanan yang menjadikan anak mudah
mendapatkan uang, bisa bermain dan bergaul dengan
bebas.
b. Diajak teman.
c. Adanya peluang pada sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal dan keahlian.

Di samping faktor-faktor tersebut, lingkungan komunitas


juga merupakan penyebab bagi gejala anak di jalanan terutama
yang erat kaitannya dengan fungsi stabilitas sosial dari komunitas
itu sendiri. Ada dua fungsi utama stabilitas komunitas, yaitu
pemeliharaan tata nilai, dan pendistribusian kesejahteraan dalam
kalangan komunitas yang bersangkutan. Dalam pemeliharaan tata
nilai, misalnya tetangga atau tokoh masyarakat tidak menasihati
ataupun melarang anak berkeliaran di jalan. Adapun berkenaan
dengan pendistribusian adalah kurangnya bantuan dari tetangga
atau organisasi sosial kemasyarakatan terhadap keluarga miskin di
lingkungannya. Dengan kata lain, belum memberikan perlindungan
terhadap anak yang terlantar di lingkungan komunitasnya.
Hal lainnya sebagai faktor pendorong yang saling memengaruhi
anak turun kejalan, adalah sebagai berikut.
1. Meningkatnya gejala masalah keluarga, seperti kemiskinan,
pengangguran, perceraian, kawin muda, kekerasan dalam
keluarga, dan lainnya.
2. Penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/
rumah mereka dengan alasan “demi pembangunan”. Mereka
semakin tidak berdaya dengan kebijakan ekonomi makro
pemerintah yang lebih menguntungkan segelintir orang.
3. Migrasi desa ke kota dalam mencari kerja akibatnya kesenjangan
pembangunan desa-kota, kemudahan transportasi dan ajakan
kerabat, membuat banyak keluarga dari desa pindah ke kota

294 Sosiologi Perkotaan


dan sebagian dari mereka terlantar, hal ini mengakibatkan
anak-anak mereka terlempar ke jalanan.
4. Melemahnya keluarga besar, yaitu tidak mampu lagi membantu
keluarga-keluarga inti. Hal ini diakibatkan oleh pergeseran nilai,
kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan pemerintah.
5. Adanya kesenjangan sistem Jaring Pengaman Sosial sehingga
keluarga dan anak menghadapi kesulian.
6. Pembangunan telah mengorbankan ruang bermain bagi anak
(lapangan, taman, dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat
terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan, yaitu anak-anak
menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja.
7. Meningkatnya angka anak putus sekolah karena alasan
ekonomi, telah mendorong sebagian anak untuk menjadi
pencari kerja dan menjadikan jalanan sebagai salah satu tempat
untuk mendapatkan uang.
8. Kesenjangan komunikasi antara orangtua dan anak, yaitu
orangtua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi
serta harapan anak-anak telah menyebabkan anak mencari
kebebasan.

E. Pengertian Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)


Istilah “gepeng” merupakan singkatan dari kata gelandangan
dan pengemis. Istilah gepeng, sering ditujukan kepada peminta-
minta, musafir, pekerja jalanan, dan sebagainya. Dalam Kamus umum
Bahasa Indonesia, pengemis diartikan “orang minta-minta”, yang
asal katanya dari kemis (W.J.S. Poerwadarminta, 2006: 866). Adapun
kata Pengemis oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia termasuk
pada PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).
Dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 10 Tahun 2012 disebutkan
beberapa hal yang dikategorikan sebagai PMKS di antaranya anak
balita terlantar; anak terlantar; anak berhadapan dengan hukum;
anak yang bermasalah sosial psikologis; anak jalanan; wanita rawan
sosial ekonomi; korban tindak kekerasan; lanjut usia terlantar;
penyandang cacat/penyandang disabilitas; tuna susila; pengemis;
gelandangan; kelompok minoritas; bekas warga binaan lembaga

Sosiologi Perkotaan 295


pemasyarakatan; korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktiv lainnya; keluarga fakir miskin; keluarga berumah
tidak layak huni; keluarga bermasalah sosial psikologis; komunitas
adat; korban bencana alam; korban bencana sosial atau pengungsi;
pekerja migran bermasalah sosial; orang dengan HIV/AIDS; keluarga
rentan; dan korban perdagangan orang (trafficking).
Menurut Depertemen Sosial RI (2007: 5) gelandangan adalah
orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan
norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat
serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap
di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Adapun pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan
dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Jadi, gelandangan
dan pengemis adalah seseorang yang hidup menggelandang dan
sekaligus mengemis.
Pengertian lain bahwa gelandangan berasal dari gelandang
yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Dengan
strata demikian, gelandangan merupakan orang-orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap
atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di
sembarang tempat. Jadi, ada tiga gambaran umum tentang gepeng
ini, yaitu:
1. sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh
masyarakat;
2. orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai;
3. orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam
kemiskinan dan keterasingan.

Engkus Kuswarno (197-198) membagi tiga kategori pengemis,


sebagai berikut.
1. Pengemis berpengalaman, yaitu pengemis yang menetapkan
hidupnya sebagai peminta-minta. Sebetulnya mereka masih
memiliki peluang lain, tetapi mengemis sudah menjadi pilihan
dalam pekerjaannya, sehingga sulit dilepaskan karena sudah
menjadi kebiasaan baginya.

296 Sosiologi Perkotaan


2. Pengemis kontemporer, yaitu pengemis masa kini. Kontemporer
artinya mengikuti perkembangan kebutuhan kekinian, hidup
untuk hari ini atau dalam taraf jangka pendek, misalnya untuk
kehidupan sehari-hari. Pengemis model ini terbagi dua, yaitu
kontinu dan temporer.
3. Pengemis berencana, yaitu pengemis ini melakukan kegiatannya
untuk tujuan atau rencana tertentu, misalnya hasil yang
mereka dapatkan ditabung atau digunakan untuk membeli
sesuatu yang dapat dijadikan investasi, seperti emas dan
sebagainya.

F. Penyebab Masalah Sosial Gepeng (Gelandangan


dan Pengemis)
Gepeng hingga saat ini menjadi masalah di kota-kota besar.
Permasalahannya sangat akumulatif, seperti kemiskinan, pendidikan
rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki, lingkungan,
sosial budaya, kesehatan dan sebagainya. Adapun gambaran
permasalah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Masalah kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan jangkauan
pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan
kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak.
2. Masalah pendidikan. Pada umumnya tingkat pendidikan
gelandangan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala
untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3. Masalah keterampilan kerja. Pada umumnya gelandangan dan
pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan
tuntutan pasar kerja.
4. Masalah sosial budaya. Ada beberapa faktor sosial budaya
yang memengaruhi seseorang menjadi gelandangan dan
pengemis.
5. Rendahnya harga diri. Rendahnya harga diri pada sekelompok
orang, mengakibatkan tidak adanya rasa malu untuk meminta-
minta.

Sosiologi Perkotaan 297


6. Sikap pasrah pada nasib. Mereka menganggap bahwa
kemiskinan dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan
pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk
melakukan perubahan.
7. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang. Ada
kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan
pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka merasa
tidak terikat oleh peraturan dan noma yang kadang-kadang
membebani mereka, sehingga mengemis adalah salah satu
mata pencaharian.
8. Masalah Kesehatan. Dari segi kesehatan, gelandangan dan
pengemis termasuk kategori warga Negara dengan tingkat
kesehatan fisik yang rendah akibatnya rendahnya gizi makanan
dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan.

Selain permasalahan di atas ada berbagai dampak yang


ditimbulkan oleh permasalahan gelandanganan dan pengemis,
yaitu sebagai berikut.
1. Masalah lingkungan. Gelandangan dan pengemis pada
ummumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di
wilayah yang sebenarnya dilarang dijadikan tempat tinggal,
seperti taman-taman, bawah jembatan, dan pinggiran kali.
Oleh karena itu, kehadiran mereka di kota-kota besar sangat
mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat, dan
kebersihan serta keindahan kota.
2. Masalah kependudukan. Gelandangan dan pengemis yang
hidupnya berkeliaran di jalan-jalan dan tempat umum,
kebanyakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang
tercatat di kelurahan (RT/RW) setempat dan sebagian besar
hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan pernikahan
yang sah.
3. Masalah keamanan dan ketertiban. Maraknya gelandangan dan
pengemis di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan
sosial, serta mengurangi keamanan dan ketertiban di daerah
tersebut.

298 Sosiologi Perkotaan


BAB 12
KOTA DAN PENGANGGURAN
“Kesempatan kerja penuh tidak selalu dicapai dalam perekonomian
sehingga perekonomian selalu menghadapi masalah pengangguran”
(John Maynard Keynes, 1936).

A. Pengantar
Pengangguran merupakan permasalahan yang sampai saat ini
masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat pada umumnya
dan pemerintah daerah pada khususnya. Berbagai cara untuk
mengatasi permasalahan ini sudah ditempuh oleh pemerintah,
tetapi masalah ini masih terus ada dan berkembang.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, pengangguran merupakan produk
dari situasi yang di dalamnya telah terjadi ketidakmampuan pasar
tenaga kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia, bahkan
terus bertambah, antara lain karena jumlah lapangan kerja yang
tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja, kompetensi pencari
kerja tidak sesuai dengan pasar tenaga kerja dan kurang efektifnya
informasi pasar tenaga kerja bagi pencari kerja.
Selain itu, pengangguran juga dapat disebabkan oleh Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi karena perusahaan menutup atau
mengurangi bidang usahanya sebagai akibat dari krisis ekonomi,
keamanan yang kurang kondusif, peraturan yang menghambat

Sosiologi Perkotaan 299


investasi, dan lain-lain. Jumlah pengangguran yang tinggi akan saling
berkaitan dengan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

B. Pengertian Pengangguran
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam indikator ketenaga-
kerjaan, pengangguran merupakan penduduk yang tidak bekerja,
tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu
usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena
sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran
adalah masalah makro ekonomi yang memengaruhi manusia secara
langsung dan merupakan yang paling berat. Bagi kebanyakan orang,
kehilangan pekerjaan berarti penurunan standar kehidupan dan
rekanan psikologis. Jadi, tidaklah mengejutkan jika pengangguran
menjadi topik yang sering dibicarakan dalam perdebatan politik
dan para politisi sering mengklaim bahwa kebijakan yang mereka
tawarkan akan membantu menciptakan lapangan kerja (N. Gregory
Mankiw, 2003: 150).
Ada beberapa pengertian tentang pengangguran, yang
dikemukakan para ahli, yaitu sebagai berikut.
1. Secara umum, pengangguran didefinisikan sebagai keadaan
seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja (labor
force), tetapi tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang
mencari pekerjaan (Muana Nanga, 2005: 253).
2. Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja sama sekali,
sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama
seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan.
3. Sadono Sukirno (2011: 59), mengatakan bahwa pengangguran
adalah suatu keadaan seseorang yang tergolong dalam angkatan
kerja ingin mendapatkan pekerjaan, tetapi belum dapat
memperolehnya. Oleh karena itu, seseorang yang tidak bekerja,
tetapi secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai
penganggur.

300 Sosiologi Perkotaan


Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran,
sebagaimana penjelasan Muana Nanga (2005: 26) adalah sebagai
berikut.
1. Tingkat upah; memegang peranan yang sangat besar dalam
kondisi ketenagakerjaan. Tingkat upah yang berlaku akan
memengaruhi permintaan dan penawaran tenaga kerja.
2. Teknologi; penggunaan teknologi yang tepat guna akan
me ng ur an gi pe rmi n ta an t en aga ke rj a seh i n gga a kan
meningkatkan jumlah pengangguran.
3. Produktivitas; peningkatan produktivitas tenaga kerja
akan mengurangi permintaan tenaga kerja dan hal ini akan
meningkatkan jumlah pengangguran.
4. Fasilitas modal memengaruhi permintaan tenaga kerja melalui
dua sisi. Pengaruh substitusi, dimana bertambahnya modal akan
mengurangi permintaan tenaga kerja. Pengaruh komplementer,
yaitu bertambahnya modal akan membutuhkan tenaga kerja
yang lebih banyak untuk mengelola modal yang tersedia.
5. Struktur Perekonomian; perubahan struktur ekonomi
menyebabkan penurunan tenaga kerja, terutama tenaga kerja
anak dan tenaga kerja tidak terdidik.

Menurut Zainab Bakir dan Cris Maning (1984: 35) untuk


mengelompokkan pengangguran perlu diperhatikan dimensi-dimensi
yang berkaitan dengan pengangguran itu sendiri, yaitu:
1. intensitas pekerjaan (yang berkaitan dengan kesehatan dan
gizi makanan);
2. waktu (banyak di antara mereka yang bekerja ingin bekerja
lebih lama);
3. produktivitas (kurangnya produktivitas sering disebabkan
oleh kurangnya sumber daya komplementer untuk melakukan
pekerjaan).

Sosiologi Perkotaan 301


C. Sebab-sebab Pengangguran
Beberapa faktor yang berkaitan terjadinya pengangguran,
sebagaimana dijelaskan oleh Yesmil Anwar dan Adang (2013: 268),
adalah sebagai berikut.
1. Inflasi. Dalam perekonomian yang sudah sangat maju, masalah
inflasi sangat erat kaitannya dengan tingkat penggunaan
tenaga kerja. Kenaikan upah yang terjadi akibat inflasi akan
mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerjanya
dalam rangka minimalisasi biaya produksi, karena upah
pekerja termasuk dalam biaya produksi. Inflasi sebagai
indikator ekonomi makro seperti halnya pengangguran,
dapat dikatakan sebagai proses kenaikan harga-harga yang
berlaku dalam suatu perekonomian. Inflasi yang tinggi
mendorong para produsen melakukan efisiensi terhadap
industrinya, di antaranya adalah restrukturisasi atau melakukan
perampingan organisasi perusahaan yang berakibat semakin
meningkatnya jumlah pengangguran. Selain itu, inflasi juga
mengakibatkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat, di
mana masyarakat akan mengalami kesulitan untuk memenuhi
segala kebutuhannya sehingga akan mendorong terjadinya
kenaikan upah. Peningkatan upah menyebabkan pengusaha
cenderung beralih pada teknologi padat modal yang berarti
mengurangi kesempatan kerja.
2. Pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan
sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang
menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.
Setiap negara menginginkan perekonomiannya mengalami
pertumbuhan. Akan tetapi, dalam mencapai pertumbuhan yang
tinggi terdapat hambatan-hambatan. Hambatan utama yang
dihadapi negara sedang berkembang adalah keterbatasan dana
untuk melaksanakan kegiatan pembangunan di negaranya,
kualitas input tenaga kerja, yaitu keterampilan, pengetahuan,
dan disiplin angkatan kerja yang kurang, serta teknologi yang
tertinggal.

302 Sosiologi Perkotaan


Masalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang implikasinya
berdampak pada naik turunnya tingkat pengangguran di Indonesia.
Efektivitas dari kebijakan yang nantinya akan diambil pemerintah
adalah tersebut akan bergantung pada banyak faktor lain di luar
wilayah kebijakan penanganan inflasi dan peningkatan pertumbuhan
ekonomi karena faktor-faktor tersebut sangat memengaruhi keputusan
pemerintah untuk mengambil kebijakan penanganan inflasi dan
peningkatan pertumbuhan ekonomi.

D. Jenis-jenis Pengangguran
Berdasarkan penyebabnya, pengangguran dapat dibagi empat
kelompok (Sadono Sukirno, 2011: 328-331), yaitu sebagai berikut.
1. Pengangguran friksional atau transisi, yaitu pengangguran
yang timbul karena adanya perubahan dalam syarat-syarat
tenaga kerja yang terjadi karena perkembangan perekonomian.
Pengangguran jenis ini dapat juga disebabkan karena
berpindahnya orang-orang dari suatu daerah ke daerah lain,
dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain, maupun melalui siklus
kehidupan yang berbeda.
2. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang terjadi
karena adanya perubahan dalam struktur pasar tenaga kerja
sehingga terjadi ketidaksesuaian antarapenawaran dan
permintaan tenaga kerja. Salah satu penyebab pengangguran
struktural adalah kemajuan teknologi, sehingga pengangguran
ini sering disebut dengan pengangguran teknologi.
3. Pengangguran alamiah, yaitu pengangguran yang terjadi pada
kesempatan kerja penuh atau tingkat pengangguran dimana
inflasi yang diharapkan sama dengan tingkat inflasi aktual.
Pengangguran alamiah terdiri atas pengangguran friksional
dan pengangguran struktural. Dalam negara maju, tingkat
penganggurannya biasanya berkisar antara2-3 persen, hal ini
disebut tingkat pengangguran alamiah. Tingkat pengangguran
alamiah adalah suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan
tidak mungkin dihilangkan. Artinya jika tingkat pengangguran
palin g tinggi 2-3 persen itu berarti bahwa perekonomian dalam
kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment).

Sosiologi Perkotaan 303


4. Pengangguran konjungtur dan siklis, yaitu jenis pengangguran
agregatif efektif lebih kecil dibandingkan penawaran agregat.
Para ahli ekonomi menyebut pengangguran ini sebagai demand
deficient unemployment. Pengangguran ini akan berkurang apabila
tingkat kegiatan ekonomi mengalami peningkatan (boom).
Dengan kata lain, pengangguran siklis adalah pengangguran
di atas tingkat alamiah atau pengangguran yang terjadi ketika
output berada di bawah tingkat kesempatan kerja penuh.

Menurut Muana Nanga (2005: 56), jenis pengangguran di


negara-negara sedang berkembang dapat pula dibedakan sebagai
berikut.
1. Pengangguran terselubung terjadi karena jumlah tenaga
kerja sangat berlebihan. Pengangguran jenis ini disebut juga
pengangguran tidak kentara. Sebagai akibat kelebihan tenaga
kerja tersebut, sebagian tenaga kerja dari kegiatan bersangkutan
dialihkan ke kegiatan lain. Pengangguran terselubung banyak
ditemukan di negara sedang berkembang, terutama pada sektor
pertanian. Menurut Sumitro Djojohadikusumo (1994: 70), bahwa
masalah pengangguran secara terbuka maupun terselubung,
menjadi pokok permasalahan dalam pembangunan ekonomi
negara-negara berkembang.
2. Pengangguran musiman banyak ditemukan pada sektor
pertanian di negara sedang berkembang. Pengangguran
musiman adalah pengangguran yang terjadi pada waktu-waktu
tertentu di dalam waktu 1 tahun.
3. Setengah Pengangguran. Kelebihan penduduk pada sektor
pertanian dan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi,
telah mempercepat proses urbanisasi. Kecepatan migrasi
yang lebih tinggi dari kemampuan kota-kota di negara
sedang berkembang untuk menciptakan lapangan kerja baru
menyebabkan tidak semua orang memperoleh pekerjaan di
kota. Hal ini menyebabkan banyak di antara mereka yang
menganggur dalam waktu yang cukup lama atau memperoleh
kerja dengan waktu kerja yang lebih rendah dari jam kerja
seharusnya. Pengangguran jenis ini disebut dengan setengah
pengangguran.

304 Sosiologi Perkotaan


Sadono Sukirno (2011: 328-331) mengatakan bahwa berdasarkan
cirinya, pengangguran dibagi dalam empat jenis, yaitu sebagai
berikut.
1. Pengangguran musiman, yaitu keadaan seseorang menganggur
karena adanya fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek.
Sebagai contoh, petani yang menanti musim tanam, tukang
jualan durian yang menanti musim durian, dan sebagainya.
2. Pengangguran terbuka, pengangguran yang terjadi karena
pertambahan lapangan kerja lebih rendah daripada pertambahan
pencari kerja.
3. Pengangguran tersembunyi, pengangguran yang terjadi karena
jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi lebih besar dari
yang diperlukan agar dapat melakukan kegiatannya dengan
efisien.
4. Setengah menganggur, yaitu pekerja yang jam kerjanya
di bawah jam kerja normal (hanya 14 jam sehari). Disebut
Underemployment.

E. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Jumlah


Pengangguran
Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai
peningkatan dalam kemampuan dari suatu perekonomian dalam
memproduksi barang dan jasa. Dengan kata lain, pertumbuhan
ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif
(quantitatif change) dan dan biasanya diukur dengan menggunakan
data produk domestik bruto (PDB) atau pendapatan output per
kapita. Produk domestik bruto (PDB) adalah total nilai pasar (total
market value) dari barang-barang akhir dan jasa-jasa (final goods and
services) yang dihasilkan di dalam suatu perekonomian selama kurun
waktu tertentu (biasanya satu tahun). Tingkat pertumbuhan ekonomi
menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional real pada
suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional
real pada tahun sebelumnya (Muana Nanga, 2005: 273-274).
Indikasi keberhasilan pembangunan suatu negara atau wilayah
yang banyak digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan

Sosiologi Perkotaan 305


ekonomi diukur dari tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB) untuk lingkup nasional dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) untuk lingkup wilayah. Selain dipengaruhi faktor internal,
pertumbuhan ekonomi suatu negara juga dipengaruhi faktor
eksternal, terutama setelah era ekonomi yang semakin mengglobal.
Secara internal, tiga komponen utama yang menentukan pertumbuhan
ekonomi tersebut adalah pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Secara teori, setiap peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi
Indonesia dapat menyerap tenaga kerja, sehingga mengurangi
jumlah pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat diukur melalui
peningkatan atau penurunan GDP yang dihasilkan suatu negara,
karena indikator yang berhubungan dengan jumlah pengangguran
adalah GDP.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang
berbeda, hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan jumlah pengangguran
bersifat positif dan negatif. Pertumbuhan ekonomi melalui GDP yang
bersifat positif dikarenakan pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi
oleh peningkatan kapasitas produksi, sehingga pengangguran tetap
meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi yang meningkat ini berorientasi pada padat modal,
yaitu kegiatan produksi untuk memacu output dan menghasilkan
pendapatan yang meningkat lebih diutamakan ketimbang
pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada padat karya.
Penelitian lain yang menyatakan hubungan negatif antara
pertumbuhan ekonomi dan jumlah pengangguran berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi yang meningkat di Indonesia memberikan
peluang kerja baru ataupun memberikan kesempatan kerja dan
berorientasi pada padat karya, sehingga pertumbuhan ekonomi
mengurangi jumlah pengangguran.

F. Dampak (Akibat) Pengangguran


Menurut Muana Nanga (2005: 64), dampak yang ditimbulkan
akibat pengangguran adalah sebagai berikut.

306 Sosiologi Perkotaan


1. Dampak pengangguran terhadap perekonomian
Tingkat pengangguran yang tinggi tidak memungkinkan
masyarakat untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang mantap.
Akibat buruk pengangguran terhadap perekonomian adalah
sebagai berikut.
a. Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat
memaksimumkan kesejahteraan yang dicapai karena
pengangguran menyebabkan pendapatan nasional yang
sebenarnya dicapai lebih rendah dari pendapatan nasional
potensial.
b. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak pemerintah
berkurang sehingga akan menghambat pembangunan.

c. Pengangguran tidak menggalakkan perekonomian karena


menyebabkan perusahaan kehilangan keuntungan dan
tidak akan mendorong perusahaan untuk berinvestasi.

2. Dampak pengangguran terhadap individu dan masyarakat


Selain berdampak buruk terhadap perekonomian,
pengangguran juga berdampak buruk terhadap individu
dan masyarakat, yaitu:
a. m en y e ba bk an h i l a n gn y a ma ta p en c ah a r i a n d an
pendapatan;
b. menyebabkan hilangnya keterampilan;
c. menimbulkan ketidak stabilan sosial dan politik.

Menurut Sadono Sukirno (2011: 541) beberapa akibat buruk


dari pengangguran dapat dibedakan dalam dua aspek berikut.

1. Akibat buruk ke atas kegiatan perekonomian


Ti ngkat penganggur an yang rel ati f ti nggi tidak
m e m u n g k i n k a n m a s y a r a k a t m e n ca p a i p e r t u m b u h a n
ekonomi yang teguh. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari
memperlihatkan berbagai akibat buruk yang bersifat ekonomi

Sosiologi Perkotaan 307


yang ditimbulkan oleh masalah pengangguran. Akibat-akibat
buruk tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:
a. masyarakat tidak memaksimumkan tingkat kemakmuran
yang mungkin dicapainya;
b. pendapatan pajak pemerintah berkurang. Pengangguran
diakibatkan oleh tingkat kegiatan ekonomi yang rendah,
dan dalam kegiatan ekonomi yang rendah pendapatan
pajak pemerintah semakin sedikit;
c. tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran
menimbulkan dua akibat buruk kepada kegiatan sektor
swasta. Pertama, pengangguran tenaga buruh diikuti
pula oleh kelebihan kapasitas mesin-mesin perusahaan.
Kedua, pengangguran yang diakibatkan kelesuan kegiatan
perusahaan menyebabkan keuntungan berkurang.
Keuntungan yang rendah mengurangi keinginan untuk
melakukan investasi.

2. Akibat buruk ke atas individu dan masyarakat


Pengangguran akan memengaruhi kehidupan individu
dan kestabilan sosial dalam masyarakat. Beberapa keburukan
sosial yang diakibatkan oleh pengangguran adalah:
a. menyebabkan kehilangan mata pencarian dan
pendapatan;
b. menyebabkan kehilangan keterampilan. Keterampilan
dalam mengerjakan suatu pekerjaan hanya dapat
dipertahankan apabila keterampilan tersebut digunakan
dalam praktik;
c. menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik. Kegiatan
ekonomi yang lesu dan pengangguran yang tinggi
dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat kepada
pemerintah.

308 Sosiologi Perkotaan


G. Strategi dan Program Penanggulangan
Pengangguran
Beberapa strategi serta program yang dilakukan oleh pemerintah
dalam menanggulangi pengangguran adalah sebagai berikut.

1. Strategi Penguatan Sisi Permintaan Tenaga Kerja


Strategi ini dimaksudkan untuk mengimbangi penawaran
tenaga kerja yang pertumbuhannya relatif tinggi. Penguatan sisi
permintaan diharapkan dapat mempercepat perluasan kesempatan
kerja melalui perluasan investasi. Strategi ini menjadi sangat
penting di tengah pertumbuhan ekonomi yang belum mantap.
Strategi penguatan sisi permintaan tenaga kerja pada intinya adalah
penguatan sektor ekonomi real melalui pengembangan usaha dan
perluasan kesempatan kerja baru. Pemantapan pengembangan
ekonomi rakyat melalui pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM).

2. Strategi Sisi Penawaran Tenaga Kerja


Strategi ini dijalankan melalui program berikut: (1) pengendalian
pertumbuhan penduduk melalui pengendalian kelahiran, kematian,
dan mobilitas penduduk; (2) pengembangan keterampilan pencari
kerja dengan perluasan pendidikan kewirausahaan dan bahasa asing,
termasuk di dalamnya Pengembangan Tenaga Kerja Muda Terdidik
(TKMT), melanjutkan program Tenaga Kerja Sukarela Terdidik (TKST)
dan lainnya; (3) pengembangan kluster penganggur guna peningkatan
efektivitas berbagai program pelatihan untuk para penganggur; (4)
pengembangan berbagai program pelatihan pencari kerja dengan
pendanaan berbasis partisipasi masyarakat dalam upaya mengubah
mindset masyarakat terhadap penganggur, bahwa tanggung jawab
penganggur adalah tanggung jawab bersama dan perlu pendekatan
manusiawi dan berbudaya dalam penyelesaiannya.

3. Strategi Pengembangan Pasar Kerja


Strategi ini diharapkan mampu menjembatani secara efektif
kebutuhan permintaan dan penawaran tenaga kerja. Beberapa
program yang dapat dilakukan di antaranya adalah pengembangan

Sosiologi Perkotaan 309


informasi pasar kerja, pengendalian dan pembinaan penyalur tenaga
kerja, dan juga penataan kinerja lembaga penyalur tenaga kerja.
Cara mengatasi pengangguran adalah sebagai berikut.
a. Pengangguran struktural
1) Menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk menarik
para investor baik dalam negeri maupun luar negeri.
2) Memberikan pelatihan keterampilan kepada tenaga kerja
sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
3) Menyediakan lapangan kerja guna menampung kelebihan
tenaga kerja sektor ekonomi lainnya pada wilayah/daerah
yang mengalami perubahan sektor ekonomi.

b. Pengangguran siklus
1) Peningkatan daya beli masyarakat.
2) Pemerintah harus membuka proyek yang bersifat umum,
seperti membangun jalan dan kegiatan lainnya.
3) Memperluas pasar barang dan jasa.

c. Pengangguran musiman
1) Memberikan informasi tentang lowongan pekerjaan
kepada masyarakat secara lintas sektoral.
2) Memberikan pelatihan keterampilan di luar bidang yang
telah dikuasai, sehingga bisa melakukan pekerjaan yang
lain.

d. Pengangguran teknologi
1) Memberikan pelatihan kepada para pendidik untuk
menguasai teknologi, sehingga dapat disampaikan kepada
anak didiknya.
2) Mengenalkan teknologi kepada anak sejak usia dini.
3) Memasukkan materi kurikulum tentang teknologi pada
sekolah guna mempersiapkan siswa agar dapat mengikuti
perkembangan teknologi.

310 Sosiologi Perkotaan


4) Training tenaga kerja ke luar negeri.

e. Pengangguran friksional
1) Mengusahakan informasi yang lengkap tentang permintaan
dan penawaran tenaga kerja sehingga proses pelamaran,
seleksi, dan pengambilan keputusan menerima atau tidak
berlangsung lebih cepat.
2) Melaksanakan program padat karya melalui pembangunan
fasilitas umum, membangun jalan raya, mendirikan
industri baru.
3) Mengembangkan program transmigrasi guna menambah
lapangan kerja di bidang agraris maupun bidang
lainnya.

f. Pengangguran deflasioner
1) Menarik investor baru untuk menggairahkan dunia usaha
melalui pendirian berbagai macam perusahaan industri
yang menyerap banyak tenaga kerja.
2) Memberikan pelatihan kepada tenaga kerja, khususnya
para TKI yang akan bekerja di luar negeri.

Langkah pemerintah untuk mengatasi pengangguran, adalah


menyusun hal-hal berikut.
1. Rencana pembangunan, terutama dalam menyusun prioritas
pembangunan.
2. Program pendidikan, supaya prioritas penyediaan fasilitas
pendidikan diarahkan pada penyediaan tenaga-tenaga yang
relatif langka.
3. Rencana kebutuhan latihan nasional, dengan demikian dapat
diprogramkan apa yang harus dilakukan sehingga apa yang
telah direncanakan dapat terpenuhi.
4. Rencana tenaga kerja nasional, maksudnya menyusun rencana
pelatihan yang diprogramkan secara nasional.

Sosiologi Perkotaan 311


5. Kebijaksanaan di bidang penanaman modal,perizinan usaha,
perpajakan, moneter dan perdagangan.
6. Program dan proyek-proyek perluasan kesempatan kerja
disektor pemerintah.

Adapun langkah perusahaan dalam membantu mengatasi


pengangguran:
1) Memperbanyak pemberian kesempatan magang kepada siswa
yang sedang sekolah.
2) Memberikan informasi yang jelas tentang adanya lowongan
pekerjaan di perusahaannya.
3) Mendirikan perusahaan yang padat karya.

Untuk mengatasi pengangguran secara umum dapat digunakan


cara berikut.
1) Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-
industri baru, terutama yang bersifat padat karya.
2) Deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang industri
untuk merangsang timbulnya investasi baru.
3) Pembukaan proyek-proyek umum oleh pemerintah, seperti
pembangunan jalan raya, jembatan, irigasi, PLTA dan PLTU
sehingga bisa menyerap tenaga kerja, baik secara langsung
maupun untuk merangsang investasi baru dari kalangan
swasta.
4) Pengembangan sektor informal, seperti pengembangan home
industry.
5) Pengembangan program transmigrasi untuk menyerap tenaga
kerja pada sektor agraris dan sektor informal lainnya.

312 Sosiologi Perkotaan


BAB 13
KOTA DAN PEMUKIMAN KUMUH
“Pemukiman kumuh identik dengan pemukiman yang padat,
kualitas kontruksi rendah, prasarana dan
pelayanan pemukiman minim
yang merupakan pengejawantahan dari kemiskinan.”

A. Pengantar
Kawasan kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan
ekonomi (perdagangan dan industri), pusat pemerintahan maupun
pusat kegiatan budaya dan pariwisata. Dengan adanya peningkatan
kegiatan atau aktivitas ekonomi, kota menjadi sasaran investasi atau
penanaman modal masyarakat, baik dalam skala besar maupun
kecil (sektor informal).
Hal ini mengakibatkan pula perkembangan kota menjadi daya
tarik tersendiri bagi masyarakat untuk mencari pekerjaan di pusat
kota tersebut. Masyarakat yang bekerja di pusat kota kemudian
mencari tempat tinggal tidak jauh dari tempat dia bekerja. Hal
inilah yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kawasan
pemukiman kota.
Jika diibaratkan bahwa perumahan dan pemukiman seperti
sarang dan habitat. Keduanya saling terkait dan mengisi. Sarang
adalah tempat tinggal makhluk hidup, tempat kembali, tempat

Sosiologi Perkotaan 313


membesarkan keturunan, serta menyimpan makanan. Sementara
habitat adalah lingkungan tempat makhluk itu beredar, mencari
makan, serta bergaul dan bertemu dengan lawan jenisnya atau
makhluk yang lain. Dengan demikian, istilah habitat dalam pergaulan
dunia digunakan untuk menandai permasalahan hubungan antara
manusia dengan lingkungan hidupnya.
Untuk memperjelas masalah manusia dan lingkungannya
bab ini, tidak menggunakan istilah habitat, tetapi pemukiman.
Pemukiman diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat
tinggal dengan segala unsur serta kegiatan yang ada di dalamnya.
Akan tetapi, belakangan disebutkan bahwa permasalahan pemukiman
berkaitan dengan dunia yang mengota. Sesuai dengan perkembangan
masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri, laju penduduk
kota pun semakin tinggi sehingga pertumbuhan pemukiman baru
bagi warga kota ikut meningkat.
Persoalannya kemudian adalah meningkatnya pertumbuhan
tempat tinggal (pemukiman) di perkotaan yang tidak terkendali
yang menyebabkan banyaknya pemukiman liar atau istilah lainnya
squatter. Pemukiman liar terjadi dari proses migrasi yang tidak sehat,
sehingga untuk mencari tempat tinggal, mereka dengan menempati
tanah-tanah negara.
Untuk menertibkan tindakan mereka, pemerintah melakukan
penggusuran tanah dan rumah. Tindakan ini dilakukan sebagai
penertiban terhadap mereka yang menduduki tanah bukan
miliknya.
Berbagai persoalan yang menyangkut masalah perkotaan
sering muncul bersamaan dengan perkembangan kota. Semakin
besar dan berkembang suatu kawasan, semakin berkembang pula
permasalahan yang muncul. Salah satu masalah yang melingkari
masyarakat kota adalah merosotnya kualitas lingkungan permukiman
di daerah perkotaan yang memunculkan:
1. lingkungan permukiman yang kondisinya amat jelek dan
dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah;
2. perkampungan yang tidak ditata dengan teratur, dengan
kondisi fisik, sosial, ekonomi, dan kesehatan yang tidak
memadai;

314 Sosiologi Perkotaan


3. kampung-kampung dengan prasarana lingkungan yang sangat
minim.

Permasalahan tentang menurunnya kualitas lingkungan


permukiman hingga saat ini telah diatasi dengan program perbaikan
kampung atau yang lebih dikenal dengan istilah “Kampong Improvement
Program” (KIP) yang bertujuan memperbaiki perkampungan miskin
atau permukiman yang kurang layak huni. Dalam program ini, KIP
melaksanakan penilaian terhadap kualitas lingkungan permukiman
dan menentukan skala prioritas perbaikannya.

B. Problem: Pemukiman dan Kemiskinan


Laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan,
membawa dampak beragam permasalahan seperti kemacetan
dan kesemrawutan kota, kemiskinan, meningkatnya kriminalitas,
dan munculnya pemukiman kumuh atau daerah slum (slum area),
terutama pada lahan-lahan kosong, seperti jalur hijau di sepanjang
bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman-taman kota maupun
di bawah jalan layang.
Pemukiman kumuh (slum area) adalah pemukiman yang tidak
layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian,
baik secara teknis maupun nonteknis. Tjuk Kuswartojo (2005: 184)
mengatakan, pemukiman kumuh, yaitu pemukiman yang padat,
kualitas kontruksi rendah, prasarana dan pelayanan pemukiman
minim merupakan akibat dari kemiskinan.
Meskipun ada pengecualian dan keadaan khusus, pada
umumnya kita sepakat bahwa pemukiman kumuh ditempati oleh
masyarakat miskin. Sekalipun demikian, penanganan pemukiman
kumuh tidak dengan sendirinya berarti menolong penduduk miskin.
Boleh jadi pemukiman kumuh akan menjadi lebih baik karena
diganti dengan rusun (rumah susun), atau lingkungan yang lebih
baik tetapi hal ini hanya ditujukan untuk memoles wajah kota.
Telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada umumnya
mencakup tiga segi, yaitu kondisi fisiknya, kondisi sosial ekonomi
budaya komunitas yang bermukim di pemukiman tersebut, dan
dampak oleh kedua kondisi tersebut. Pertama. Kondisi fisik tersebut

Sosiologi Perkotaan 315


tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan
kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak
diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi, serta
sampah belum dikelola dengan baik. Kedua. Kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang berada di kawasan pemukiman kumuh antara lain
mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar,
budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain
tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga. Kondisi tersebut
sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber
pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang,
yang berdampak pada kehidupan kota keseluruhannya. Oleh karena
itu, kawasan pemukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota
yang harus di atasi.

C. Pengertian Pemukiman Kumuh


Apa sebenarnya pemukiman kumuh itu? Pemukiman sering
disebut perumahan dan atau sebaliknya. Permukiman berasal dari
kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan
dan kata human settlement yang artinya permukiman. Perumahan
memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta
prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitikberatkan pada
fisik atau benda mati, yaitu house dan land settlement.
Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau
kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam
lingkungan, sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu
yang bukan bersifat fisik atau benda mati, yaitu manusia (human).
Dengan demikian, perumahan dan permukiman merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada
hakikatnya saling melengkapi (Sri Kurniasih, 2007: 30). Adapun
kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan
tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan
kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai
tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan
kepada golongan bawah yang belum mapan.
Hampir semua kota di negara berkembang menunjukkan adanya
permukiman kumuh pada bagian-bagian kotanya. Sebagian besar
permukiman kumuh merupakan tempat tinggal penduduk miskin

316 Sosiologi Perkotaan


di pusat kota dan pemukiman padat tidak teratur di pinggiran kota
yang penghuninya umumnya berasal dari para migran luar daerah.
Sebagian dari permukiman kumuh ini merupakan permukiman
ilegal pada tanah yang bukan miliknya, tanpa seizin pemegang hak
tanah sehingga disebut sebagai pemukiman liar (wild occupation
atau squatter settlement).
Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam
menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman.
Titi sari dan Farid Kurniawan (1999: 8-9) menjelaskan empat aspek
berikut:
1. kondisi bangunan atau rumah;
2. ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan, kerentanan
status penduduk; dan
3. berdasarkan aspek pendudukung, seperti tidak tersedianya
lapangan kerja yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi
masyarakat pada kegiatan sosial dan dapat dikatakan hampir
tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama swadaya
maupun nonswadaya oleh masyarakat.

Berdasarkan kriteria tersebut, aspek tersebut menentukan tiga


skala permukiman kumuh, yaitu tidak kumuh, kumuh dan sangat
kumuh.
Kemudian Rudiyantono (2000: 8) menentukan dua standar
permukiman kumuh, yaitu sebagai berikut.
1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat
dari stuktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan
hunian/rumah dan bangunan dan tatanan bangunan.
2. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti
pada air bersih, sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah,
pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada tidaknya ruang
terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan
kriteria nonfisik seperti kerentanan status penduduk untuk
melihat tingkat tingkat kekumuhan permukiman.

Sosiologi Perkotaan 317


Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitekstur dan
permukiman kumuh (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999: 8),
menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menentukan
permukiman kumuh (marjinal) adalah: apabila berada di lokasi
yang ilegal, dengan keadaan fisiknya yang substandard; penghasilan
penghuni amat rendah (miskin), tidak dapat dilayani berbagai
fasilitas kota; dan tidak diinginkan kehadirannya oleh publik (kecuali
yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut, aspek
legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk
menentukan kekumuhan suatu wilayah, selain buruknya kondisi
kualitas lingkungan yang ada.
Menurut Undang-Undang No.1 tahun 2011, pemukiman
adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari
satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan
perkotaan atau kawasan perdesaan. Sedangkan dalam UU No. 4 pasal
22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, disebutkan
bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak
huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat
tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial
dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak
terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan
keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.
Khomarudin (1997: 82) menjelaskan bahwa lingkungan
permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai lingkungan yang
memiliki hal-hal berikut. Lingkungan yang berpenghuni padat
(melebihi 500 orang per Ha); kondisi sosial ekonomi masyarakat
rendah; jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah
standar; sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat
teknis dan kesehatan, hunian dibangun di atas tanah milik negara
atau orang lain dan diatur perundang-undangan yang berlaku.
Adapun gambaran lingkungan kumuh, adalah sebagai berikut.
1. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau
tempat huniannya berdesakan.
2. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni.

318 Sosiologi Perkotaan


3. Rumah hanya tempat untuk berlindung dari panas dan
hujan.
4. Bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik
penghuni.
5. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa
perencanaan.
6. Prasarana kurang (MCK, air bersih, saluran buangan, listrik,
jalan lingkungan).
7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai
pengobatan).
8. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non-formal.
9. Pendidikan masyarakat rendah.

Menurut Budi Sinulingga (2005: 83), ciri-ciri kampung atau


permukiman kumuh adalah sebagai berikut.
1. Penduduk sangat padat antara250-400 jiwa/Ha. Pendapat
para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan
suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha, timbul masalah
akibat kepadatan ini, antaraperumahan yang dibangun tidak
mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan
perlindungan terhadap penyakit.
2. Jalan-jalan sempit yang tersembunyi di balik atap-atap rumah
yang sudah bersinggungan satu sama lain.
3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan biasa terdapat
jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan, kawasan
ini dengan mudah akan tergenang oleh air.
4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Di
antaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang
dekat dengan rumah.
5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan
air sumur dangkal, air hujan, atau membeli secara kalengan.
6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan
pada umumnya tidak permanen dan sangat darurat.

Sosiologi Perkotaan 319


7. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya
masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki
status apa-apa.

Berdasarkan asal atau proses terjadinya, pemukiman kumuh


terdiri atas tiga macam, sebagaimana dijelaskan Sutanto (1995: 67),
yaitu sebagai berikut.
1. Kumuh bangunan (created), daerah hunian masyarakat ekonomi
lemah dengan ciri fisik, yaitu bangunan mudah dipindah,
dibangun dengan bahan seadanya, dan sebagian besar dibangun
sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal).
2. Kumuh turunan (generated), cirinya adalah rumah-rumah yang
semula dibangun dengan izin, pada bagian kota yang lama,
kondisinya semakin memburuk sehingga menjadi rumah
kumuh; Desa lama yang terkepung oleh pemekaran kota
yang cepat; Banguan dan prasarana merosot oleh kurangnya
pemeliharaan.
3. Kumuh dalam proyek perumahan (in project housing), cirinya
adalah kelompok proyek perumahan yang disediakan oleh badan
pemerintah bagi masyarakat ekonomi lemah; rumah-rumah
diperluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat
jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.

D. Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh


Menurut Khomarudin (1997: 81), penyebab utama tumbuhnya
permukiman kumuh adalah sebagai berikut.
1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah.
2. Sulit mencari pekerjaan.
3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah.
4. Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan.
5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik
rumah serta disiplin warga yang rendah.

320 Sosiologi Perkotaan


6. Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga
tanah.

Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003: 3-5),


penyebab permukiman kumuh adalah:
1. karakter bangunan, yaitu umur bangunan yang sudah terlalu
tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan, dan sanitasi
yang tidak memenuhi syarat;
2. karakter lingkungan, yaitu tidak ada open space (ruang terbuka
hijau) dan tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga,
kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak
terencana dengan baik.

Mulyono Sadyohutomo (2005: 134-135) menjelaskan penyebab


munculnya pemukiman kumuh, yaitu:
1. pertumbuhan penduduk kota yang tinggi, tidak diimbangi
dengan tingkat pendapatan yang cukup;
2. keterlambatan pemerintah kota dalam merencana dan mem-
bangun prasarana (terutama jalan) pada daerah perkembangan
permukiman baru.

Menurut mereka, keadaan kumuh tersebut dapat mencermin-


kan keadaan ekonomi, sosial, budaya para penghuni permukiman
tersebut. Adapun ciri-ciri kawasan permukiman kumuh dapat
tercermin dari:
1. penampilan fisik bangunannya yang makin kontruksi, yaitu
banyaknya bangunan temporer yang berdiri serta tampak
tidak terurus maupun tanpa perawatan;
2. pendapatan yang rendah mencerminkan status ekonomi
penghuninya;
3. kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak
adanya jarak antara bangunan maupun siteplan yang tidak
terencana;

Sosiologi Perkotaan 321


4. kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya yang
heterogen;
5. sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang
baik;
6. kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat dengan banyaknya
tindakan kejahatan maupun kriminal;
7. banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat tinggal
dengan menyewah rumah.

Ciri atau karakteristik lainnya dari permukiman kumuh


dijelaskan oleh Silas (1996: 47) adalah sebagai berikut.
1. Keadaan rumah pada permukiman kumuh di bawah standar,
rata-rata 6m²/orang, sedangkan fasilitas kekotaan secara
langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun, karena
lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, fasilitas
lingkungan tersebut tidak sulit mendapatkannya.
2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu
dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga
rumah juga murah (asas keterjangkauan), baik membeli atau
menyewa.
3. Manfaat permukiman di samping pertimbangan lapangan
kerja dan harga
4. murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas
tinggi.

E. Dampak Urbanisasi terhadap Perkembangan


Pemukiman Kumuh
Salah satu masalah yang dihadapi kota-kota besar di Indonesia
adalah bertambahnya penduduk kota dengan sangat pesat, sebagai
akibat dari proses urbanisasi yang tidak terkendali. Sinulingga (1999:
88) memperkirakan bahwa pada tahun 2020, penduduk perkotaan
dunia akan menjadi 50% dan Asia akan menerima bagian sebesar
52%. Urbanisasi dapat diartikan tingkat kekotaan atau persentase
jumlah penduduk yang tinggal di kota dibanding dengan jumlah

322 Sosiologi Perkotaan


penduduk seluruhnya dan juga berarti suatu proses menuju bentuk
perkotaan (Kusumawijaya, 2006).
Jadi terdapat dua pengertian yang terkandung dalam istilah
urbanisasi, yaitu:
Pertama, menunjuk pada suatu proses terbentuknya ciri-ciri
kota yang kompleks karena terjadinya perpindahan penduduk atau
migrasi dari suatu daerah yang bersifat homogen (desa atau kota
kecil) menuju daerah yang bersifat heterogen (kota).
Kedua, menunjuk pada perkembangan suatu daerah yang
semula bersifat homogen berubah menjadi suatu kawasan yang
bersifat heterogen, baik disebabkan karena perkembangan masyarakat
dari kawasan itu sendiri maupun karena proses migrasi dari daerah
lain (Hariyono, 2007). Meskipun secara konseptual kedua pengertian
urbanisasi tersebut dapat dibedakan, tetapi dalam analisis sering
dicampuradukkan dan pengertian urbanisasi yang paling sering
digunakan adalah sebagai akibat dari terjadinya migrasi.
Grunfeld dalam Daldjoeni (2003), mengemukakan ada dua jenis
urbanisasi atau pengkotaan, yaitu pengkotaan fisik dan pengkotaan
mental. Pengkotaan fisik berarti perkembangan kota dalam arti luas
areal, jumlah dan kepadatan penduduknya, pembangunan gedung-
gedung (arah horizontal atau vertikal), variasi tata guna lahannya
yang nonagraris. Adapun pengkotaan mental berarti perkembangan
orientasi nilai-nilai dan kebisaan hidup meniru apa yang terdapat
di kota-kota besar. Berpindahnya penduduk meninggalkan desa
atau kota kecil menuju kota yang lebih besar karena adanya sesuatu
yang lebih menarik dan lebih menguntungkan untuk tinggal di kota
besar dibandingkan dengan desa atau kota kecil daerah asalnya.
Faktor-faktor penarik yang ada di kota besar ini disebut “faktor
penarik” (pull factor), sedangkan faktor-faktor yang ada di desa
atau kota kecil yang mendorong penduduk meninggalkan daerah
asalnya disebut “faktor pendorong” (push factor).
Akibat urbanisasi adalah meningkatnya jumlah penduduk
miskin di daerah perkotaan dan ini merupakan masalah krusial
yang dihadapi hampir semua kota di Indonesia. Yang paling mudah
dan terlihat jelas adalah banyaknya penduduk kota yang tinggal
di pemukiman liar dan kumuh, serta terbatasnya akses penduduk

Sosiologi Perkotaan 323


ini pada pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan sanitasi
(Soegijoko, 2005).
Pemukiman kumuh dan papa tersebut selain dipandang
merusak keindahan kota, juga menjadi pusat pengangguran dan
sumber penyakit, kejahatan, pelacuran serta borok sosial lainnya..
Keadaan runyam ini sudah semestinya tidak mampu memberi
kesempatan bagi proses transformasi pada para migran yang
berasal dari pedesaan ke dalam tata kehidupan urban yang dapat
berlangsung secara wajar (Daldjoeni, 2003).

324 Sosiologi Perkotaan


BAB 14
KOTA DAN KRIMINALITAS
“Kejahatan bukan perbuatan herediter atau warisan biologis,
tetapi bentuk perbuatan yang dilakukan secara sadar,
dan terkadang dilakukan untuk mempertahankan hidupnya.”

A. Pengantar
Masyarakat kota yang serba kompleks telah memunculkan
beragam masalah sosial, yang salah satunya adalah kriminalitas.
Kriminalitas atau tindak kejahatan adalah tingkah laku yang
melanggar hukum dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Bahkan, kriminalitas dapat dikatakan sebagai muara dari problematika
perkotaan. Hal ini karena terjadinya tindak kriminal secara sosiologis
terkait dengan masalah jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah
pengangguran, dan jumlah kemiskinan dalam masyarakat.
Kartini Kartono (2003: 142-143) menjelaskan bahwa dalam
banyak kasus, kejahatan terjadi karena beberapa faktor, seperti
faktor biologis, sosiologis, ekonomis, mental (agama, bacaan, harian-
harian, film); fisik (keadaan iklim dan lain-lain), dan pribadi (umur,
ras dan nasionalitas, alkohol, perang).
Usaha untuk memahami kejahatan itu sebenarnya telah lama
dipikirkan oleh para ilmuwan. Plato misalnya, menyatakan bahwa
emas merupakan sumber dari kejahatan manusia. Aristoteles

Sosiologi Perkotaan 325


menyebutkan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan
pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk
memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan.
Adapun Thomas More, mengatakan bahwa hukuman berat yang
dijatuhkan kepada penjahat pada waktu itu tidak berdampak banyak
untuk menghapuskan kejahatan yang terjadi. Untuk itu, harus dicari
sebab-musabab kejahatan untuk menghapuskan kejahatan tersebut
(Topo Santoso, 2003: 1).
Kejahatan senantiasa ada dan terus mengikuti perubahan
jaman. Perkembangan masyarakat yang semakin maju menyebabkan
kejahatan pun ikut mengalami perubahan baik pada sisi bentuk
maupun modusnya. Oleh karena itu, sulit kalau dikatakan negara
akan melenyapkan kejahatan secara total. Emile Durkheim
menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu gejala normal di dalam
setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan
sosial dan karena itu tidak mungkin dapat dimusnahkan sampai
tuntas (Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, 1987: 1).
Berikut ini adalah daftar perkembangan kriminalitas di Indonesia
berdasarkan kepolisian daerah pada lima tahun terakhir.

Tabel 8
Jumlah Tindak Pidana (Kriminalitas) Menurut Kepolisian Daerah
di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir
Tahun 2009 – 2013

Nama Tahun
No.
Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013
1 Aceh 6.297 9.244 9.114 9.200 9.150
2 Sumatera Utara 26.597 33.227 37.610 33.250 40.709
3 Sumatera Barat 11.848 10.819 11.695 13.468 14.324
4 Riau 8.968 10.129 8.323 12.533 9.399
5 Kepulauan Riau 3.494 4.141 3.643 3.626 4.278
6 Jambi 2.637 3.586 4.450 6.099 6.510
7 Sumatera Selatan 14.170 18.288 19.353 21.498 22.882

326 Sosiologi Perkotaan


Nama Tahun
No.
Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013
8 KB. Belitung 2.506 2.642 2.732 5.197 2.515
9 Bengkulu 1.827 2.717 3.498 3.943 4.550
10 Lampung 9.959 4.813 6.052 4.383 4.812
11 Metro Jaya 57.041 60.989 53.324 52.642 49.498
12 Jawa Barat 27.352 16.869 29.296 27.247 24.843
13 Banten 2.481 3.832 3.205 3.804 4.259
14 Jawa Tengah 19.801 15.479 15.205 11.079 14.859
15 DI Yogyakarta 6.988 17.622 6.326 8.987 6.727
16 Jawa Timur 37.337 16.948 28.392 22.774 16.913
17 Bali 7.950 5.593 5.490 5.183 5.980
18 Nusa Tenggara Barat 8.535 10.908 9.585 10.504 8.928
19 Nusa Tenggara Timur 6.421 3.583 5.298 6.389 6.844
20 Kalimantan Barat 10.886 8.599 10.296 10.315 9.430
21 Kalimantan Tengah 4.097 2.734 5.682 3.219 2.983
22 Kalimantan Selatan 4.069 1.910 499 3.372 7.080
23 Kalimantan Timur 7.180 10.007 9.439 9.639 9.251
24 Sulawesi Utara 12.515 8.710 11.286 6.815 7.609
25 Gorontalo 3.917 3.080 2.602 2.458 3.735
26 Sulawesi Tengah 7.160 13.030 7.001 8.134 7.815
27 Sulawesi Selatan 16.971 15.784 22.509 18.169 17.124
28 Sulawesi Tenggara 6.129 6.196 6.254 7.166 7.059
29 Maluku 2.570 4.004 1.510 1.726 2.186
30 Maluku Utara 1.111 1.916 887 926 1.177
31 Papua 6.128 5.091 7.049 7.414 8.655
Jumlah 344.942 332.490 347.605 341.159 342.084
Sumber: BPS, Tahun 2013

Sosiologi Perkotaan 327


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut,
perkembangan kejahatan di Indonesia terus bertambah. Selama
lima tahun terakhir 2009-2013, kejahatan mengalami peningkatan.
Pada tahun 2012 dari 341.159 kasus menjadi 342.084 kasus. Sekalipun
terjadi penurunan dari tahun 2011 dari 347.605 kasus menjadi 341.159
kasus, dan data di atas, tindak kejahatan mengalami fluktuasi dan
ada kecenderungan semakin meningkat.

B. Pengertian Kriminologi
Istilah kriminologi pertama kali dikenalkan oleh Antropolog
Perancis, P. Topinard (1830-1911), yaitu secara harfiah berasal dari
dua kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi dapat berarti
ilmu tentang kejahatan atau penjahat (Topo Santoso dan Eva Achjani
Zulfa, 2010: 9).
P. Topinard dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2001:
5), menjelaskan bahwa:
“Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya, baik kriminologis
teoretis maupun kriminologis murni. Kriminologi teoretis
adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman,
yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, yaitu
memerhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki
sebab-sebab dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada
padanya.”

Beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda


mengenai kriminologi ini, yaitu sebagai berikut.
Edwin H. Sutherland (J. E. Sahetapy, 1992: 5) mendefinisikan,
“Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and crime
as social phonemena” (Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan
yang membahas kejahatan sebagai gejala sosial).
J. Contstant (A.S Alam, 2010: 2) memberikan definisi kriminologi
ini sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-
faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan atau
penjahat. WME. Noach, dalam buku yang sama memberikan definisi

328 Sosiologi Perkotaan


bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-
musabab serta akibat-akibatnya.
W.A. Bonger (A.S. Alam dan Amir Ilyas, 2010: 2), memberikan
definisi bahwa kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya, hingga membagi
kriminologi ini mencakup sebagai berikut.
1. Antropologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia
yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian
dari ilmu alam.
2. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh
pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial).
3. Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan
dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek
kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada
aspek kepribadiannya.
4. Psikopatologi kriminal dan neuropatologi kriminal, yaitu
ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit
sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri.
5. Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh ber-
kembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan manfaat
penghukuman. Di samping itu, terdapat kriminologi terapan
berupa:
a. hygiene kriminal, yaitu usaha yang bertujuan untuk
mencengah terjadinya kejahatan;
b. politik kriminal, yaitu usaha penanggulangan kejahatan
dimana suatu kejahatan telah terjadi;
c. kriminalistik (policie scientific), yaitu ilmu tentang
pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan
kejahatan.

Edwin H. Sutherland (Topo Santosodan Eva Achjani Zulfa,


2010: 11) merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu
pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala

Sosiologi Perkotaan 329


sosial (The body of knowledge regarding crime as a sosial phenomenon).
Menurut Sutherland, kriminologi mencakup proses pembuatan
hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.
Kriminologi dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama, yaitu sebagai
berikut.
1. Sosiologi hukum. Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh
hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang
menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan
adalah hukum. Di sini menyelidiki faktor-faktor apa yang
menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum
pidana).
2. Etiologi kejahatan, yaitu merupakan cabang ilmu kriminologis
yan g men cari sebab mu sabab dari ke jah atan. Dal am
kriminologis, etiologi kejahatan merupakan kejahatan paling
utama.
3. Penology. Pada dasarnya, ilmu tentang hukuman, tetapi
Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan
usaha pengendalian kejahatan represif maupun preventif.

Paul Moedigdo Moeliono (Soedjono D, 1996: 24) memberikan


definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan sebagai masalah manusia. Ia tidak sependapat dengan
definisi yang diberikan Sutherland. Menurutnya, definisi itu tidak
memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itu pun mempunyai
andil atas terjadinya kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan
semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, tetapi
adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan jahat
yang ditentang oleh masyarakat tersebut.
Wolfgang, Savitz dan Johnston (Topo Santoso dan Eva Achjani
Zulfa, 2010: 12) dalam The Sociology of Crime and Delinquency,
memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan
tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari
dan menganalisis secara ilmiah keterangan, keseragaman, pola,
dan faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku
kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi, objek
studi kriminologi melingkupi: (1) perbuatan yang disebut sebagai

330 Sosiologi Perkotaan


kejahatan; (2) pelaku kejahatan; dan (3) reaksi masyarakat yang
ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.
Ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru
dapat dikatakan sebagai kejahatan bila mendapat reaksi dari
masyarakat.

C. Pengertian Kejahatan
Ada berbagai macam sudut pandang tentang pengertian
kejahatan, yaitu sebagai berikut.
Pertama. Sudut pandang hukum (a crime from the legal point
ofview). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap
tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun
buruknya suatu perbuatan selama perbuatan itu tidak dilarang
di dalam perundang-undangan pidana tidak dianggap sebagai
kejahatan. H. Sutherland (A.S Alam, 2010: 16) berpendapat bahwa
“Criminal behavior in violation of the criminal law. No matter what the
degree of immorality, reprehensibility or indecency of an act is not crime
unless it is prohibitied by the criminal law”. Contoh konkret dalam hal
ini adalah perbuatan seorang wanita yang melacurkan diri. Dilihat
dari definisi hukum, perbuatan wanita tersebut tidak melakukan
kejahatan karena perbuatan melacurkan diri tidak dilarang dalam
perundang-undangan pidana Indonesia. Sekalipun demikian,
sesungguhnya perbuatan melacurkan diri sangat buruk dilihat dari
sudut pandang agama, adat-istiadat, kesusilaan, dan lain-lainnya.
Kedua, dari sudut pandang masyarakat (a crime from the
sociological point of view), kejahatan adalah setiap perbuatan yang
melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.
Contohnya, seorang Muslim meminum minuman keras sampai
mabuk, perbuatan itu merupakan dosa (kejahatan) dari sudut
pandang masyarakat Islam, tetapi dari sudut pandang hukum bukan
kejahatan. Van Bammelen (J. E. Sahetapy, 1992: 14) memberikan
definisi kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan, sekaligus
asusila, perbuatan yang menghasilkan kegelisahan dalam suatu
masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan
menolak perbuatan itu, dan dengan demikian menjatuhkan dengan
sengaja nestapa terhadap perbuatan itu.

Sosiologi Perkotaan 331


Abdulsyani, (1987:) menjelaskan bahwa kejahatan dapat dilihat
dalam berbagai aspek berikut.
1. Aspek yuridis, kejahatan adalah jika seseorang melanggar
peraturan atau undang-undang pidana dan ia dinyatakan
bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Apabila
belum dijatuhi hukuman, orang tersebut belum dianggap
sebagai penjahat.
2. Aspek sosial, kejahatan adalah jika seseorang mengalami
kegagalan dalam menyesuaikan diri atau berbuat menyimpang
dengan sadar atau tidak sadar dari norma-norma yang berlaku
di dalam masyarakat sehingga perbuatannya tidak dapat
dibenarkan oleh masyarakat yang bersangkutan.
3. Aspek ekonomi, kejahatan adalah jika seseorang atau lebih
dianggap merugikan orang lain dengan membebankan
kepentingan ekonominya kepada masyarakat sekelilingnya
sehingga ia dianggap sebagai penghambat atas kebahagiaan
pihak lain.

D. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan


Ada beberapa teori yang menjelaskan faktor penyebab
terjadinya kejahatan. Teori-teori tersebut pada hakikatnya berusaha
untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
penjahat dengan kejahatan. Di antara teori-teori tersebut adalah
sebagai berikut.

1. Teori Klasik
Teori ini muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan
tersebar di Eropa dan Amerika. Teori ini berdasarkan psikologi
hedonistik. Menurut psikologi hedonistik, setiap perbuatan manusia
berdasarkan pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit).
Setiap manusia berhak memilih hal-hal yang baik dan hal-hal yang
buruk, perbuatan yang mendatangkan kesenangan dan yang tidak.
Menurut Beccaria (Made Darma Weda, 1996: 15):

332 Sosiologi Perkotaan


“Setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan
kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dan perbuatan
tersebut. (That the act which I do is the act which I think will give
me most pleasure)”.

Lebih lanjut, Beccaria (Made Darma Weda, 1996: 21) menyatakan


bahwa:
“Semua orang melanggar undang-undang tertentu harus
menerima hukuman yang sama, tanpa memandang umur,
kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-
keadan lainnya. Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian
beratnya, sehingga melebihi suka yang diperoleh dari
pelanggaran undang-undang tersebut”.

Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut, setiap hukuman yang


dijatuhkan sekalipun pidana yang berat, sudah diperhitungkan
sebagai kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat
Beccaria adalah untuk mengurangi kesewenangan dan kekuasaan
hukuman. Konsep keadilan menurut teori ini adalah hukuman yang
pasti untuk perbuatan-perbuatan yang sama tanpa memerhatikan
sifat pembuat dan kemungkinan adanya peristiwa tertentu yang
memaksa terjadinya perbuatan tersebut.

2. Teori Neo Klasik


Teori neo klasik merupakan revisi atau pembaharuan teori
klasik. Dengan demikian, teori neo klasik ini tidak menyimpang dari
konsepsi-konsepsi umum tentang sifat-sifat manusia yang berlaku
pada waktu itu. Doktrin dasarnya tetap, yaitu bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai rasio yang berkehendak bebas
sehingga bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya dan
dapat dikontrol oleh rasa ketakutannya terhadap hukum.
Ciri khas teori neo-klasik (Made Darma Weda, 1996: 30) adalah
sebagai berikut.
a. Adanya perlunakan/perubahan pada doktrin kehendak
bebas. Kebebasan kehendak untuk memilih dapat dipengaruhi
oleh:

Sosiologi Perkotaan 333


1) patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa,
atau lain-lain keadaan yang mencegah seseorang untuk
memperlakukan kehendak bebasnya;
2) premiditasi niat, yang dijadikan ukuran dari kebebasan
kehendak, tetapi hal ini menyangkut terhadap hal-hal
yang aneh, sebab jika benar, maka pelaku pidana untuk
pertama kali harus dianggap lebih bebas untuk memilih
daripada residivis yang terkait dengan kebiasaan-
kebiasaannya, dan oleh karenanya harus dihukum
dengan berat.

b. Pengakuan sahnya keadaan yang mengubah ini dapat berupa


fisik (cuaca, mekanis, dan sebagainya) keadaan lingkungan,
atau keadaan mental dari individu.
c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna yang memung-
kinkan perubahan hukuman menjadi tanggung jawab sebagian
saja. Sebab utama untuk mempertanggung jawabkan seseorang
untuk sebagian saja adalah kegilaan, kedunguan, usia dan
lain-lain yang dapat memengaruhi pengetahuan dan niat
seseorang pada waktu melakukan kejahatan.
d. Dimasukkan persaksian/keterangan ahIi di dalam acara
pengadilan untuk menentukan besarnya tanggung jawab, untuk
menentukan apakah terdakwa mampu memilih antarayang
benar dan yang salah

Berdasarkan ciri khas teori neo-klasik tersebut, tampak bahwa


teori neo-klasik menggambarkan ditinggalkannya kekuatan yang
supra-natural, yang ajaib (gaib), sebagai prinsip untuk menjelaskan
dan membimbing terbentuknya pelaksanaan hukum pidana. Dengan
demikian, teori-teori neo-klasik menunjukkan permulaan pendekatan
yang naturalistik terhadap perilaku atau tingkah laku manusia.
Gambaran mengenai manusia sebagai boneka yang dikuasai oleh
kekuatan gaib diganti dengan gambaran manusia sebagai makhluk
yang berkehendak sendiri, yang bertindak atas dasar rasio dan
intelegensia, sehingga bertanggung jawab atas kelakuannya.

334 Sosiologi Perkotaan


3. Teori Kartogra atau Geogra
Teori ini berkembang di Prancis, Inggris, dan Jerman. Teori ini
mulai berkembang pada tahun 1830-1880 Masehi. Teori ini sering
pula disebut sebagai ajaran ekologis. Ajaran ini mementingkan
distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara
geografis maupun secara sosial. Menurut teori ini, kejahatan
merupakan perwujudan kondisi-kondisi sosial yang ada. Dengan
kata lain, kejahatan itu muncul disebabkan karena faktor dari luar
manusia itu sendiri.

4. Teori Sosialis
Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 Masehi.
Para tokoh aliran ini banyak dipengaruhi oleh tulisan dari Marx
dan Engels, yang lebih menekankan pada determinasi ekonomi.
Menurut para tokoh ajaran ini, kejahatan timbul disebabkan oleh
adanya tekanan ekonomi yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat tersebut, untuk melawan kejahatan itu
haruslah diadakan peningkatan di bidang ekonomi. Dengan kata lain
kemakmuran, keseimbangan dan keadilan sosial akan mengurangi
terjadinya kejahatan.

5. Teori Tipologis
Di dalam kriminologi telah berkembang empat teori yang
disebut dengan teori tipologis atau bio-typologis. Keempat aliran
tersebut mempunyai kesamaan pemikiran dan metodologi. Mereka
berasumsi bahwa terdapat perbedaan antaraorang jahat dengan
orang yang tidak jahat. Keempat teori tipologis tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Teori Lombroso atau mazhab antropologis. Teori ini dipelopori oleh
Cesare Lombroso. Menurut Lombroso, kejahatan merupakan
bakat manusia yang dibawa sejak lahir (criminal is born).
Selanjutnya, dikatakan bahwa ciri khas seorang penjahat
dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang berbeda dengan
manusia lainnya. Aliran Lombroso ini bertujuan membantah
aliran klasik dalam persoalan determinasi melawan kebebasan
kemauan dan kemudian membantah teori Tarde tentang theory

Sosiologi Perkotaan 335


of imitation (Le lois de’l imitation). Teori Lombroso ini dibantah
oleh Goring dengan membuat penelitian perbandingan.Hasil
penelitiannya tersebut, Goring menarik kesimpulan bahwa
tidak ada tanda-tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe
penjahat. Demikian pula, tidak ada tanda-tanda rohaniah
untuk menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe.
b. Teori mental tester. Teori ini muncul setelah runtuhnya teori
Lombroso. Dalam metodologinya, teori ini menggunakan tes
mental untuk membedakan penjahat dan bukan pejahat.
c. Teori psikiatrik, merupakan lanjutan teori-teori Lombroso dengan
melihat tanpa adanya perubahan pada ciri-ciri morfologi
(yang berdasarkan struktur). Teori ini Iebih menekankan pada
unsur psikologis, epilepsi, dan moral insanity sebagai sebab-
sebab kejahatan. Teori psikiatrik ini, memberikan arti penting
kepada kekacauan emosional, yang dianggap timbul dalam
interaksi sosial dan bukan karena pewarisan. Pokok teori ini
adalah organisasi tertentu daripada kepribadian orang, yang
berkembang jauh terpisah dari pengaruh jahat, tetapi tetap
akan menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi
situasi sosial.
d. Teori sosiologis. Dalam memberi kausa kejahatan, teori sosiologis
merupakan aliran yang sangat bervariasi. Analisis sebab-
sebab kejahatan secara sosiologis banyak dipengaruhi oleh
teori kartografik dan sosialis.Teori ini menafsirkan kejahatan
sebagai fungsi lingkungan sosial (crime as a function of social
environment). Pokok pangkal ajaran ini adalah, bahwa kelakuan
jahat dihasilkan oleh proses-proses yang sama seperti kelakuan
sosial. Dengan demikian, proses terjadinya tingkah laku jahat
tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya termasuk tingkah
laku yang baik. Orang melakukan kejahatan karena orang
tersebut meniru keadaan sekelilingnya.

6. Teori Lingkungan
Teori ini biasa juga disebut sebagai mazhab Perancis. Menurut
teori ini, seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh
faktor di sekitarnya atau lingkungan, baik lingkungan keluarga,

336 Sosiologi Perkotaan


ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan termasuk dengan
pertahanan dengan dunia luar, serta penemuan teknologi. Masuknya
barang-barang dari luar negeri, seperti televisi, buku-buku serta
film dengan berbagai macam reklame sebagai promosinya ikut
pula menentukan tinggi rendahnya tingkat kejahatan. Menurut
Tarde (Made Darma Weda, 1996: 20) bahwa “Orang menjadi jahat
disebabkan pengaruh imitation. Berdasarkan pendapat Tarde
tersebut, seseorang melakukan kejahatan karena orang tersebut
meniru keadaan sekelilingnya.

7. Teori Biososiologis
Tokoh aliran ini adalah A. D. Prins, van Humel, D. Simons dan
lain-lain. Aliran ini merupakan perpaduan dari aIiran antropologi
dan aliran sosiologis karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-
tiap kejahatan itu timbul karena faktor individu, seperti keadaan
psikis dan fisik pelaku kejahatan karena faktor lingkungan. Faktor
individu meliputi sifat individu yang diperoleh sebagai warisan
dari orangtuanya, keadaan badaniah, kelamin, umur, intelektual,
temperamen, kesehatan, dan minuman keras. Keadaan lingkungan
yang mendorong seseorang melakukan kejahatan itu meliputi
keadaan alam (geografis dan klimatologis), keadaan ekonomi, tingkat
peradaban dan keadaan politik suatu negara, misalnya meningkatnya
kejahatan menjelang pemilihan umum dan menghadapi sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

8. Teori NKK (Niat + Kesempatan = Terjadi Kejahatan)


Teori NKK ini merupakan teori terbaru yang mencoba
menjelaskan sebab terjadinya kejahatan di dalam masyarakat.
Teori ini sering dipergunakan oleh aparat kepolisian di dalam
menanggulangi kejahatan di masyarakat. Menurut teori ini, sebab
terjadinya kejahatan adalah adanya niat dan kesempatan yang
dipadukan. Jadi, meskipun ada niat, tanpa kesempatan, mustahil
akan terjadi kejahatan. Demikian pula sebaliknya, meskipun ada
kesempatan tetapi tidak ada niat, tidak mungkin pula akan terjadi
kejahatan.

Sosiologi Perkotaan 337


E. Upaya Penanggulangan Kejahatan
Penanggulangan kejahatan empirik (Alam AS dan Amir Ilyas,
2010: 79), terdiri atas tiga bagian pokok berikut.
1. Pre-Emtif. Upaya ini merupakan upaya-upaya awal yang
dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya
tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penang-
gulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan
nilai atau norma yang baik sehingga norma-norma tersebut
terinternalisasikan dalam diri seseorang. Meskipun ada
kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan,
tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut, maka tidak
akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emtif, faktor niat
menjadi hilang meskipun ada kesempatan. Cara pencegahan
ini berasal dari teori NKK, yaitu: niat + Kesempatan = terjadi
kejahatan. Contoh: di tengah malam pada saat lampu merah
lalu lintas menyala maka pengemudi itu akan berhenti dan
mematuhi aturan lalu lintas tersebut meskipun pada waktu itu
tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu terjadi di banyak
negara, seperti Singapura, Sidney, dan kota besar lainnya di
dunia. Jadi dalam upaya pre-emtif faktor niat tidak terjadi.
2. Preventif. Upaya-upaya ini merupakan tindak lanjut dari
upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan
sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif ini,
yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk
dilakukannya kejahatan. Contoh: ada orang ingin mencuri
motor, tetapi kesempatan itu dihilangkan karena motor-motor
ditempatkan di tempat penitipan motor. Dengan demikian,
kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi,
dalam upaya preventif KESEMPATAN ditutup.
3. Represif. Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak
pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan
hukum (law enforcemmenet) dengan menjatuhkan hukuman.

Lebih lanjut, Alam AS dan Amir Ilyas (2010: 81) mengemukakan


beberapa teori tentang tujuan penghukuman (tujuan pemidanaan)
sebagai berikut.

338 Sosiologi Perkotaan


1. Teori pembalasan (vergelding theorie), teori ini menyatakan bahwa
hukuman adalah suatu pembalasan. Siapa yang membunuh
harus dibunuh. Menurut teori ini, seseorang yang berbuat
jahat harus dipidana dengan jalan yang menyiksa fisiknya
agar ia menjadi jera. Pelaksanaannya tentu sangat kejam pada
mulanya. Pihak yang dirugikan (pihak korban) diperbolehkan
membalas setiap perlakuan jahat yang diterimanya, tetapi hak
ini diambil alih oleh raja atau pemerintah.
2. Teori penjeraan (afschriking/detterence), teori ini sering juga
disebut teori menakut-nakuti (deterrence theorie). Hukuman
harus dapat membuat orang takut supaya jangan berbuat
jahat.
3. Teori penutupan (onschadelike/incarceration), pengasingan
(penutupan) adalah suatu doktrin yang menyatakan tindakan-
tindakan karantina memang sangat penting dan diperlakukan
dalam pelaksanaan pidana untuk mencegah penanggulangan
kejahatan oleh penjahat-penjahat yang berbahaya.
4. Memperbaiki (verbeterings theorie), teori ini berpendapat bahwa
tujuan dijatuhkannya pidana kepada pelanggar hukum adalah
memperbaiki si terhukum itu sendiri.

Sosiologi Perkotaan 339


340 Sosiologi Perkotaan
BAB 15
KOTA DAN KENAKALAN REMAJA
“Berikan aku 1.000 orangtua,
niscaya akan kucabut semeru dari akarnya.
Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
(Bung Karno)

A. Pengantar
Para pemimpin bangsa ini berkata bahwa masa depan sebuah
bangsa bergantung pada remajanya. Jika saat ini masa remajanya
kelam, masa depan sebuah bangsa akan menjadi kelam. Demikian
pula, sebaliknya, jika remaja saat ini baik, masa depan bangsa akan
dipastikan baik. Ibnu Khaldun, menulis pemikirannya yang sangat
menarik dan patut menjadi bahan renungan, “Selalu ada generasi
perintis lalu disusul generasi pembangun, kemudian disusul generasi
penikmat, dan disusul lagi oleh generasi penghancur, yaitu generasi
yang kehilangan rasa malu dan takut terhadap hukum agama dan
sosial”.
Dalam kalimat di atas, tampak jelas nada optimis dan
pesimisnya. Pesimisnya adalah telah menjadi pemandangan umum,
berita di media masa banyak menyoroti kasus kenakalan remaja,
tawuran (perkelahian antarkelompok), geng motor hingga narkoba.
Pada saat ini, pelaku kejahatan tidak saja didominasi oleh orang-
orang dewasa, tetapi juga dilakukan anak-anak yang sebenarnya

Sosiologi Perkotaan 341


menjadi harapan bagi nusa dan bangsa sebagai penerus cita-cita
dan perjuangan bangsa.
Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah merupakan perilaku
“nakal” dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang mencari
identitas diri. Kenakalan seperti ini tidak menimbulkan kekhawatiran
di kalangan masyarakat luas (orangtua, guru, teman, dan masyarakat
umum) karena dipahami sebagai fase yang akan terjadi dan dialami
oleh setiap orang, yang akan berlalu begitu saja oleh masyarakat
luas. Akan tetapi, kenakalan remaja tampaknya bukan lagi bersifat
nakal, tetapi sudah menjurus pada tindakan brutal. Kartini Kartono
(2003: 101-103) menjelaskan fase perkembangan kenakalan remaja,
yaitu sebagai berikut.
1. Pada tahun 1950-an, karena masih dalam suasana mengalami
kemelut merebut kemerdekaan, kenakalan remaja pada zaman
itu pada umumnya berupa penodongan di sekolah-sekolah
untuk mendapatkan ijazah, dan penonjolan-diri yang berlebihan
bak “pahlawan kesiangan”. Kenakalan yang lebih serius hampir
tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan masih kuatnya sanksi-
sanksi masyarakat, ditambah tingginya citra perjuangan dan
semangat berkorban untuk mengisi kemerdekaan.
2. Pada tahun 1960-an mulailah muncul “top hits”, mengenai
kenakalan remaja, yaitu berupa keberandalan dan tindak
kejahatan ringan, seperti ala crossbyism dan crossgirlism,
menirukan pola tingkah laku dan budaya Barat. Adapun sumber
kenakalan dan kejahatan mereka adalah ketidakmampuan si
anak dalam memanfaatkan waktu kosong dan kurangnya
pengendalian terhadap dorongan meniru.
3. Pada tahun 1970-an, kenakalan remaja di kota-kota besar di
tanah air sudah menjurus pada kejahatan yang lebih serius
berupa tindak kekerasan, penjambretan secara terang-terangan
di siang hari, penggarongan, perbuatan seksual dalam bentuk
perkosaan beramai-ramai sampai melakukan pembunuhan, dan
perbuatan kriminal lainnya yang berkaitan dengan kecanduan
bahan narkotik. Kejahatan dan kenakalan remaja tahun 1970-an
ini, memang sangat erat berkaitan dengan semakin derasnya
arus urbanisasi dan semakin banyaknya jumlah remaja desa
yang bermigrasi ke daerah perkotaan. Saat itu, Indonesia mulai

342 Sosiologi Perkotaan


bangkit pada sisi perekonomian, sehingga banyak warga desa
yang melakukan urbanisasi ke kota untuk mengadu nasib.
Setelah dating ke kota, mereka ikut terjangkit dengan budaya
kota yang glamour dan hedonis.
4. Pada tahun 1980-an, gejala kenakalan remaja ini menjadi
semakin meluas, baik dalam frekuensi maupun kualitas
kejahatannya. Bahkan, bentuk dan sifat kenakalannya, lebih
menjurus kepada perbuatan kriminal (kejahatan). Beberapa
bentuk kenakalan remaja sekarang adalah tawuran (perkelahian
antarkelompok), penggunaan narkotika atau obat terlarang,
perampasan, geng motor (kebut-kebutan di jalan raya tanpa
aturan), penyimpangan seksual, dan tindakan-tindakan yang
menjurus pada perbuatan kriminal.

Para ahli sepakat bahwa penyebab utama kenakalan remaja


berawal dari keluarga. Keluarga broken home menjadikan anak
remajanya memiliki kelainan berperilaku. Para remaja merasa kurang
diperhatikan dan kurang mendapatkan kasih sayang orangtua.
Bentuk kasih sayang yang bersifat materi tidak dapat menggantikan
dahaga mereka akan kasih sayang dan perhatian orangtua.
Pada saat pengakuan, perhatian, pujian, dan kasih sayang
tersebut tidak didapatkan di rumah, mereka mencarinya di tempat
lain. Salah satu tempat yang paling mudah adalah lingkungan teman
sebayanya, yang hampir rata-rata sama kasusnya.

B. Pengertian Remaja
Desmita (2008: 189) menjelaskan bahwa istilah remaja berasal
dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa
atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Adapun menurut bahasa
aslinya, remaja sering dikenal dengan istilah “adolescence”. Menurut
Piaget, Istilah “adolescence” yang dipergunakan saat ini mempunyai
arti lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial
dan fisik.
Masa atau fase remaja merupakan salah satu periode yang
paling unik dan menarik dalam rentang kehidupan individu,
sehingga banyak pakar meneliti kehidupan para remaja. Salah

Sosiologi Perkotaan 343


satu hal yang paling menarik adalah asalah kenakalan anak atau
remaja.
Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke
masa dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat
penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam pembentukan
kepribadian seseorang. Masa transisi inilah, yang menjadikan emosi
remaja kurang stabil. Hall menyebut masa ini sebagai masa topan
badai (strum and drang), yaitu sebagai periode yang berada dalam dua
situasi antarakegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan
dengan otoritas orang dewasa (Samsu Yusuf, 2009: 185), dengan ciri-
ciri sering dan mulai timbul sikap untuk menentang dan melawan,
terutama dengan orang-orang yang dekat, misalnya orangtua, guru
dan sebagainya (Y. Bambang Mulyono, 1993: 16).
Elizabet B. Hurlock (1980: 207-209) menyebutkan ciri-ciri
remaja, yaitu sebagai berikut.
1. Masa remaja dianggap sebagai periode penting. Disebut penting
karena akibat perkembangan fisik dan psikologis yang
kedua-duanya sama-sama penting. Terutama pada awal
masa remaja, perkembangan fisik yang cepat dan penting
disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat
pula dapat menimbulkan perlunya penyesuaian dan perlunya
membentuk sikap, nilai dan minat baru.
2. Masa remaja dianggap sebagai periode peralihan. Saat beralih dari
masa anak-anak ke masa dewasa, remaja harus meninggalkan
segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan mempelajari
pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku
dan sikap yang sudah ditinggalkan. Osterrieth mengatakan
bahwa struktur psikis anak remaja berasal dari masa kanak-
kanak. Banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri
khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak.
Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal masa remaja
memengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan
diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang
telah bergeser. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak
dan bukan orang dewasa.

344 Sosiologi Perkotaan


3. Masa remaja sebagai periode perubahan. Tingkat perubahan dalam
sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat
perubahan fisik. Selama awal masa remaja ketika perubahan
fisik terjadi dengan pesat perubahan perilaku dan sikap juga
berlangsung pesat. Ada lima perubahan yang sama yang
hampir bersifat universal, yaitu:
a. meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada
tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi;
b. perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan
oleh kelompok sosial untuk dipesatkan menimbulkan
masalah baru;
c. dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka
nilai-nilai juga berubah, apa yang dianggap pada masa
kanak-kanak penting setelah hampir dewasa tidak penting
lagi;
d. sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap
setiap perubahan, mereka menginginkan untuk menuntut
kebebasan tetapi mereka sering takut dan meragukan
kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung
jawab tersebut.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Masalah masa remaja sering


menjadi masalah yang sulit di atasi, baik oleh anak laki-laki
maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan
itu:
a. sepanjang masa kanak-kanak sebagian masalah anak-
anak diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru sehingga
kebanyakan remaj a tidak ber pengal aman dal am
menghadapi masalah;
b. karena para remaja merasa diri mandiri sehingga mereka
ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak
bantuan.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada tahun-tahun


awal, penyesuaian diri pada kelompok masih tetap penting
bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun, mereka

Sosiologi Perkotaan 345


mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi
dengan menjadi sama dengan teman-temannya. Seperti yang
dijelaskan oleh Erickson, “Identitas diri yang dicari remaja
adalah menjelaskan siapa dirinya dan peranannya dalam
masyarakat. Apakah ia berperan sebagai seorang anak atau
orang dewasa? Apakah akan menjadi seorang suami atau
ayah? Apakah mampu percaya diri sekalipun latar belakang
ras, agama atau kebangsaannya menyebabkan beberapa orang
merendahkannya? Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil
atau gagal?”
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Majeres
menunjukkan bahwa banyak anggapan populer tentang remaja
yang mempunyai arti yang bernilai, tetapi banyak di antaranya
yang bersifat negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja
adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya
dan cenderung berperilaku merusak menyebabkan orang
dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan
remaja, bersikap simpatik terhadap perilaku remaja yang
normal. Stereotip populer juga memengaruhi konsep diri dan
sikap remaja terhadap dirinya sendiri.
7. Masa remaja sebagai usia yang tidak realistis. Remaja cenderung
memandang kahidupan melalui kaca berwarna merah jambu.
Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang
ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam
hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini menyebabkan
meningginya emsoi yang merupakan ciri dari awal masa
remaja.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin
mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan memberikan
kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu,
remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan
dengan status dewasa.

346 Sosiologi Perkotaan


C. Pengertian Kenakalan Remaja
Istilah baku untuk penyebutan kenakalan remaja dalam konsep
psikologis adalah juvenile deliquency, yang memiliki arti perilaku
jahat atau dursila, atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda.
Juvenile deliquency merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial
pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabdian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah
laku yang menyimpang (B. Simanjuntak, 1984: 43).
Juvenile berasal dari bahasa latin “juvenilis” yang artinya anak-
anak, anak muda, ciri karateristik pada masa muda, sifat-sifat khas
pada periode remaja. Delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere”
yang berarti: terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas
artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat
ribut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila,
dan Delinquency selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran,
kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di
bawah usia 22 tahun (Kartini Kartono, 2003: 6).
Diperjelas oleh pendapat Kausar (2012: 487) mengatakan
bahwa kata “Juvenil” merujuk pada anak yang berusia di bawah
18 tahun dan “delinquency” adalah istilah yang didefinisikan oleh
hukum untuk perilaku kriminal yang sering menghasilkan perilaku
bermasalah yang ekstrim.
Psikolog Bimo Waljito merumuskan arti juvenile deliquency
sebagai perbuatan yang jika dilakukan oleh orang dewasa, perbuatan
itu merupakan kejahatan. Jadi, merupakan perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya remaja (Sudarsono,
1991: 11). Adapun Fuad Hasan merumuskan juvenile deliquency
sebagai perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja
bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai
tindak kejahatan (Sudarsono, 1991: 11).
Dalam rumusan arti juvenile deliquency oleh Fuad Hasan dan
Bimo Waljito, tampak adanya pergesaran mengenai kualitas subjek,
dari kualitas anak menjadi remaja atau anak remaja. Bertitik tolak dari
konsepsi dasar inilah, juvenile deliquency pada gilirannya mendapat
pengertian “kenakalan remaja”. Dalam arti luas tentang kenakalan
remaja adalah perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan

Sosiologi Perkotaan 347


oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti
susila dan menyalahi norma-norma agama (Sudarsono, 1991: 11).
Marlina (2009: 40) mendefinisikan kenakalan remaja berdasarkan
perspektif sosiologis, dalam tiga kategori, yaitu:
1. hukum, menekankan pada tindakan atau perlakuan yang
bertentangan dengan norma yang diklasifikasikan secara
hukum;
2. peranan, dalam hal ini penekanannya pada pelaku, remaja
yang peranannya diidentifikasikan sebagai kenakalan;
3. masyarakat, perilaku ini ditentukan oleh masyarakat.

Kenakalan remaja dalam arti luas meliputi perbuatan-perbuatan


anak remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum
tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP maupun dalam perundang-
undangan di luar KUHP (pidanan khusus). Perbuatan tersebut
bersifat anti sosial yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat
pada umumnya. Selanjutnya, kenakalan remaja tersebut semakin luas
cakupannya dan lebih dalam bobot isinya yang meliputi perbuatan-
perbuatan yang sering menimbulkan keresahan di lingkungan
masyarakat, sekolah maupun keluarga. Contoh sederhana dalam
hal ini, yaitu perkelahian antarsekolah, pencurian dan pembentukan
geng motor yang suka menimbulkan keresahan masyarakat.
Anak-anak remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya
kurang memiliki kontrol diri, atau justru menyalahgunakan kontrol
diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah laku sendiri,
di samping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang
mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental
dengan motif-motif sumbjektif, yaitu mencapai suatu objek tertentu
dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya, remaja sangat
egoistis dan sering menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga
dirinya.

C. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja


Kenakalan yang dilakukan oleh para remaja tidak berdiri
sendiri karena banyak faktor yang menyebabkan terbentuknya
kenakalan pada remaja.

348 Sosiologi Perkotaan


B. Simadjuntak (1981: 289-290) menyebutkan faktor-faktor
yang menyebabkan kenakalan pada remaja menjadi dua klasifikasi
berikut.
1. Faktor internal
a. Cacat keturunan yang bersifat biologis-psikis.
b. Pembawaan negatif yang mengarah pada perbuatan
nakal.
c. Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok
dengan keinginan. Hal ini menimbulkan frustasi dan
ketegangan.
d. Lemahnya kontrol diri dan persepsi sosial.
e. Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap perubahan
lingkungan yang baik dan kreatif.
f. Tidak ada kegemaran, tidak memiliki hobi yang sehat.

2. Faktor eksternal
a. Rasa cinta dari orangtua dan lingkungan.
a. Pendidikan yang kurang mampu menanamkan bertingkah
laku sesuai dengan alam sekitar yang diharapkan
orangtua, sekolah dan masyarakat.
b. Menurunnya wibawa orangtua, guru dan pemimpin
masyarakat.
c. Pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan yang
berpengaruh dalam domain efektif, konasi, konisi dari
orangtua, masyarakat, dan guru.
d. Kurangnya pemahaman terhadap remaja dari lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
e. Kurangnya sarana penyaluran waktu senggang.
f. Ketidaktahuan keluarga dalam menangani masalah
remaja, baik dalam segi pendekatan sosiologik, psikologik
maupun pedagogik.

Sosiologi Perkotaan 349


Penulis merangkum beberapa pendapat para ahli tentang
hal-hal yang menyebabkan kenakalan pada remaja, yaitu sebagai
berikut.
1. Identitas. Erickson (John W. Santrock 2003: 522) mengemukakan
bahwa masa remaja berada pada tahap krisis identitas versus
difusi identitas yang harus di atasi. Ia percaya bahwa perubahan
biologis berupa pubertas merupakan awal dari perubahan yang
terjadi bersamaan dengan harapan sosial yang dimiliki keluarga,
teman sebaya, dan sekolah terhadap remaja. Perubahan biologis
dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi
pada kepribadian remaja, yaitu terbentuknya perasaan akan
konsistensi dalam kehidupannya dan tercapainya identitas
peran, dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai,
kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran
yang dituntut dari remaja. Erickson percaya bahwa kenakalan
ditandai dengan kegagalan remaja dalam memenuhi bentuk
integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai aspek peran
identitas. Bagi Erickson, kenakalan adalah upaya membentuk
suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
2. Kontrol diri. Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai
kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup
dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal mengembangkan
kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama
proses pertumbuhan. Kontrol diri yang rendah dalam merespons
perbedaan sering menjadi penyebabnya. Remaja terkadang
terlalu emosional dalam merespons suatu kejadian dan menolak
kejadian tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Feldman &
Weinberger pada tahun 1994 menguatkan pendapat bahwa
kontrol diri memainkan peranan penting dalam kenakalan
remaja (John W. Santrock 2003: 524). Kebanyakan remaja yang
melakukan kenakalan tidak banyak memiliki kemampuan
dalam berbagai kompetensi yang dapat meningkatkan cara
pandang terhadap dirinya sendiri.
Kartini Kartono (2007: 227) memperkuat pendapat di
atas bahwa pada umumnya kenakalan merupakan kegagalan
dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif;
juga menampilkan ketidakmampuan seseorang dalam

350 Sosiologi Perkotaan


mengendalikan emosi-emosi primitif untuk disalurkan pada
perbuatan yang bermanfaat.
3. Proses keluarga. Pengawasan orangtua terhadap remaja terutama
penting dalam menentukan apakah remaja akan melakukan
kenakalan atau tidak. Dalam sebuah penelitian, ditemukan
bahwa pengawasan orangtua terhadap keberadaan remaja
adalah faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan
kenakalan remaja (Patterson & Stouthamer-Loeber 1984 dalam
John W. Santrock 2003: 524).
4. Kelas sosial atau komunitas. Sekalipun kenakalan remaja tidak
lagi terbatas pada kelas masalah sosial yang lebih rendah
dibandingkan pada masa sebelumnya, beberapa ciri kebudayaan
kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya
kenakalan (Jenkins & Bell dalam Santrock 2003: 525). Norma
yang berlaku di antara teman-teman sebaya dan geng dari kelas
sosial yang lebih rendah adalah antisosial dan berlawanan
dengan tujuan dan norma masyarakat secara meluas (McCord
dalam John W. Santrock 2003: 525).
Status dalam kelompok teman sebaya dapat ditentukan
dari seberapa sering seorang remaja melakukan tindakan anti
sosial dan tetap tidak dipenjara. Karena remaja yang dari
kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang
lebih terbatas untuk mengembangkan keterampilan yang
diterima oleh masyarakat, mereka merasa bahwa mereka bisa
mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan
tindakan antisosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah
contoh status yang tinggi bagi anak-anak dari kelas sosial
yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan
oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan
berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
Komunitas juga dapat berperan serta dalam munculnya
kenakalan (Chesney-Lind 1989; Figueira & McDonough
1992 dalam Santrock 2003: 525). Masyarakat dengan tingkat
kriminalitas yang tinggi memungkinkan remaja mengamati
berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan
memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal
mereka. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikandan aktivitas

Sosiologi Perkotaan 351


lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam
masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan.
5. Rendahnya Pemahaman Keagamaan. Anwar Sutoyo (2009:
99-100) menjelaskan bahwa kenakalan remaja disebabkan
fitrah iman yang ada pada individu tidak bisa berkembang
dengan sempurna, dan atau imannya berkembang, tetapi
tidak berfungsi dengan baik. Iman yang berkembang dengan
sempurna akan berfungsi sebagai pemberi arah, pendorong
dan sekaligus pengendali bagi fitrah jasmani, rohani dan nafs;
yang pada akhirnya akan melahirkan kecenderungan untuk
berperilaku positif.
Sudarsono (2008: 120) mengatakan bahwa anak-anak
remaja melakukan kejahatan karena mereka lalai menunaikan
perintah agama.
Faktor religiusitas remaja menjadi penting. Miftah A.
Andisty dan Ritandiyono (2008: 173), mengasumsikan jika
remaja memiliki religiusitas rendah, tingkat kenakalannya
tinggi artinya berperilaku tidak sesuai ajaran agama yang
dianutnya. Sebaliknya, semakin tinggi religiusitas, semakin
rendah tingkat kenakalan pada remaja, artinya berperilaku
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya karena ia
memandang agama sebagai tujuan utama hidupnya sehingga
ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam
perilakunya sehari-hari. Hal tersebut dapat dipahami karena
agama mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan
bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu agama
mendorong pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam
kebajikan.
Menurut Desmita (2008: 208), Jika masa anak-anak telah
memiliki keyakinan agama yang baik, masa remaja akan
mengalami perkembangan yang cukup berarti. Pada masa
remaja, mereka berusaha mencari konsep yang lebih mendalam
tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman
remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kognitifnya. Mereka mungkin mempertanyakan
tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.

352 Sosiologi Perkotaan


Jalaluddin Rahmat (2002: 80), kaitannya dengan pencarian
remaja akan kebenaran agama, mengungkapkan bahwa
usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan. Remaja
memiliki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Remaja memiliki sikap kritis terhadap
lingkungan yang sejalan dengan perkembangan intelektual
yang dialaminya. Apabila persoalan tersebut gagal diselesaikan,
para remaja cenderung untuk memilih jalan sendiri.
Situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja
berada di persimpangan jalan. Dalam situasi yang semacam
ini, peluang munculnya perilaku menyimpang terkuak lebar.
Penyelesaian yang mungkin dilakukan bergantung pada
kemampuan memilih. Apabila tingkat rasa bersalah dan
berdosa yang lebih dominan, biasanya remaja cenderung
untuk mencari jalan “pengampunan”. Sebaliknya, apabila
perilaku menyimpang dianggap sebagai “pembenaran”,
keterlibatan mereka pada perilaku menyimpang akan semakin
besar. Tindakan ini akan mendorong mereka terbiasa dengan
pekerjaan tercela itu.
Oleh karena itu, seperti diungkapkan oleh Jalaluddin
(2002: 75), tingkat religiusitas pada remaja akan berpengaruh
terhadap perilakunya. Apabila memiliki tingkat religiusitas
yang tinggi, remaja akan menunjukkan perilaku ke arah hidup
yang religius pula. Sebaliknya remaja yang memiliki tingkat
religiusitas rendah, mereka akan menunjukkan perilaku ke
arah hidup yang jauh dari religius pula. Hal ini berarti remaja
memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan atau
kenakalan terhadap ajaran agama yang dianutnya.

D. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja


Sebelum membahas bentuk-bentuk kenakalan remaja, terlebih
dahulu dilihat ciri-ciri pokok dari kenakalan remaja, sebagaimana
dijelaskan oleh Singgih D. Gunarsa (1989: 19), yaitu:
1. mempunyai tujuan yang asosial, yaitu dengan perbuatan atau
tingkah laku tersebut ia bertentangan dengan nilai atau norma
sosial yang ada di lingkungan hidupnya.

Sosiologi Perkotaan 353


1. kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara
13-17 tahun dan belum menikah.
2. Kenakalan yang dilakukan oleh seorang remaja dan dapat
dilakukan bersama-sama dalam sekelompok remaja.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pokok dari


kenakalan remaja, yaitu perbuatan tersebut bersifat melanggar
hukum, bertentangan dengan nilai atau norma dan dilakukan oleh
seorang remaja maupun dilakukan bersama-sama oleh sekelompok
remaja.
Beberapa riteratur dan penelitian yang terkait dengan kenakalan
remaja, salah satunya Willis (Sujoko 2011: 2), menjelaskan bahwa
kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat
beragam, mulai dari perbuatan yang bersifat amoral maupun anti
sosial. Perbutaan tersebut dapat berupa berkata jorok, mencuri,
merusak, kabur dari rumah, indisipliner di sekolah, membolos,
membawa senjata tajam, merokok, berkelahi dan kebut-kebutan di
jalan sampai perbuatan yang menjurus pada perbuatan kriminal
atau perbuatan yang melanggar hukum, seperti pembunuhan,
perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan
terlarang dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan di
media masa.
Eny Purwandari (2011: 31) membagi kenakalan remaja ke
dalam tiga tingkatan.
1. Kenakalan biasa seperti suka berkelahi, suka keluyuran,
membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit.
2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan
seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang
orangtua tanpa izin.
3. Kenakalan khusus, seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan
seks di luar nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain-
lain.

Adapun Jensen (dalam Sarlito W. Sarwono 2010: 256) membagi


kenakalan menjadi empat jenis berikut.

354 Sosiologi Perkotaan


1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain,
misalnya: perkelahian, menyakiti teman seperti melakukan
penganiayaan dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, misalnya:
perusakan, pencurian, pemerasan, menggunakan iuran sekolah
(SPP) dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain, misalnya: menikmati karya pornografi, penyalahgunaan
obat dan hubungan seks bebas.
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya: mengingkari status
anak sebagai pelajar dengan cara datang terlambat ke sekolah,
membolos, tidak memakai atribut sekolah dengan lengkap,
berpakaian tidak sesuai dengan aturan sekolah, berperilaku
tidak sopan dengan orangtua dan guru, mencontek, keluyuran
setelah pulang sekolah dan pada malam hari tanpa tujuan
yang jelas, berbohong, menggunakan kendaraan bermotor
tanpa memiliki surat izin mengemudi (SIM), mengingkari
status orangtua dengan cara kabur/minggat dari rumah atau
membantah perintah mereka dan sebagainya.

Y. Bambang Mulyono (1993: 22-24) juga menjelaskan bahwa


bentuk kenakalan remaja dapat digolongkan menjadi dua kelompok
besar sesuai kaitannya dengan norma hukum, yaitu sebagai
berikut.
1. Kenakalan yang bersifat amoral dan anti sosial yang tidak
diatur oleh undang-undang sehingga tidak dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran hukum, seperti membolos, berbohong
atau memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu
diri, berpakaian tidak pantas, memiliki dan membawa benda
yang membahayakan orang lain, meminum minuman keras,
menggunakan bahasa yang tidak sopan dan tidak senonoh,
kabur dari rumah, keluyuran atau pergi sampai larut malam,
dan bergaul dengan teman yang dapat menimbulkan pengaruh
negatif.
2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan
penyelesaiannya sesuai dengan undang-undang dan hukum,

Sosiologi Perkotaan 355


seperti berjudi, mencuri, menjambret, merampok, merampas
dengan atau tanpa kekerasan, menggelapkan barang, penipuan
dan pemalsuan, memiliki dan membawa senjata tajam yang
dapat membahayakan orang lain, pengguran kandungan,
percobaan atau terlibat pembunuhan dan penganiyaan.

Kartini Kartono (2003: 49) lebih lengkap lagi berbicara tentang


bentuk-bentuk kenakalan remaja, yang dibagi menjadi empat
bagian.
1. Kenakalan terisolir (delinkuensi terisolir). Kelompok ini
merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya,
mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Kenakalan
mereka didorong oleh faktor-faktor berikut.
a. Keinginan meniru gangnya. Jadi, tidak ada motivasi,
kecemasan, atau konfl ik bati n yang tidak dapat
diselesaikan.
b. Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang
transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal.
Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal,
sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa
diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan
dan prestise tertentu.
c. Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan,
tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi.
Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua
kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal.
Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang
menyenangkan.
d. Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit
sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan
yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup
menginternalisasikan norma hidup normal.
Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi
terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari
panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya. Pada
usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan

356 Sosiologi Perkotaan


perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka
menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini
disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga
remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang
dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.

2. Kenakalan neurotik (delinkuensi neurotik). Pada umumnya,


remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup
serius, antara lain kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa
bersalah dan berdosa, dan sebagainya. Ciri-ciri perilakunya
adalah sebagai berikut.
a. Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis
yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi
pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang
kriminal itu saja.
b. Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik
batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat
mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan
dan kebingungan batinnya.
c. Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri,
dan mempraktikkan jenis kejahatan tertentu, misalnya
suka memperkosa kemudian membunuh korbannya,
kriminal dan sekaligus neurotik.
d. Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan
menengah, tetapi pada umumnya keluarga mereka
mengalami banyak ketegangan emosional yang parah,
dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
e. Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung
mengisolasikan dirinya dari lingkungan.
f. Motif kejahatannya berbeda-beda.
g. Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).

3. Kenakalan psikopatik (delinkuensi psikopatik). Sekalipun ini


sedikit jumlahnya, dilihat dari kepentingan umum dan segi
keamanan, kenakalan ini paling berbahaya. Ciri tingkah laku
mereka adalah:

Sosiologi Perkotaan 357


a. Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal
dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
ekstrem, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga,
berdisiplin keras, tetapi tidak konsisten, dan orangtuanya
selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak
mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan
tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab
dan baik dengan orang lain.
b. Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa,
atau melakukan pelanggaran.
c. Bentuk kejahatannya majemuk, bergantung pada suasana
hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada
umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka
residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan
sulit sekali diperbaiki.
d. Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginterna-
lisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku,
juga tidak peduli terhadap norma subkultur gangnya
sendiri.
Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan
neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk
mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk
kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut:
tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri,
tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu
mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum,
sangat egoistis, anti sosial, dan selalu menentang apa
dan siapa pun, kasar, kurang ajar dan sadis terhadap
siapa pun tanpa sebab.

4. Kenakalan defek moral (delinkuensi defek moral). Defek (defect,


defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat,
kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri selalu
melakukan tindakan anti sosial. Sekalipun pada dirinya tidak
terdapat penyimpangan, ada disfungsi pada inteligensinya.
Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer,
sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya

358 Sosiologi Perkotaan


tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan
dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya,
tetapi perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang
meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi
penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis
yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah,
impuls dan kebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis
remaja, kurang lebih 80% mengalami kerusakan psikis, berupa
disposisi dan perkembangan mental yang salah. Jadi, mereka
menderita defek mental. Hanya kurang dari 20% yang menjadi
penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan
sekitar.

E. Penyebab Terjadinya Kenakalan Remaja


Kenakalan remaja yang merupakan gejala penyimpangan
dan patologis secara sosial itu dapat dikelompokkan dalam satu
kelas defektif secara sosial dan mempunyai sebab-musabab yang
mejemuk. Jadi, sifatnya multikausal. Kartini Kartono (2003: 25-36),
menjelaskan jika digolongkan menjadi empat teori berikut.
1. Teori biologis. Tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-
anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis
dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat disebabkan cacat
jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung
melalui hal-hal berikut.
a. Gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau
melalui kombinasi gen, dan dapat juga disebabkan
oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa
memunculkan penyimpangan tingkah-laku, dan anak-
anak menjadi delinkuen secara potensial.
b. Pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa
(abnormal), sehingga membuahkan tingkah-laku
delinkuen.
c. Pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu
yang menimbulkan tingkah-laku delinkuen atau sasiopatik.
Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydactylisme (berjari-
jari pendek) dan diabetes ispidius (sejenis penyakit gula)

Sosiologi Perkotaan 359


itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta
penyakit mental.

2. Teori psikogenis. Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah-


laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis, antara lain
inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah,
fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri kelir, konflik batin, emosi
yang kontrovesial, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain.
Argumen sentral teori ini adalah sebagai berikut, delinkuen
merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah
psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli
eksternal/sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis.
Kurang lebih 90% dari jumlah anak-anak delinkuen berasal dari
keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak
bahagia dan tidak beruntung, membuahkan masalah psikologis
personal dan adjument (penyesuaian diri) yang terganggu pada
diri anak-anak; sehingga mereka mencari kompensasi di luar
lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya
dalam bentuk perilaku delinkuen. Ringkasnya, delinkuensi
atau kejahatan anak-anak merupakan reaksi terhadap masalah
psikis anak remaja itu sendiri.
3. Teori sosiogenis. Teori Sosiogenis, yaitu teori-teori yang mencoba
mencari sumber-sumber penyebab kenakalan remaja pada
faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Para sosiolog
berpendapat penyebab tingkah-laku delinkuen pada anak-
anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial psikologis
sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh sruktur sosial,
tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh
internalisasi simbolis yang keliru. Faktor-faktor kultural
dan sosial itu sangat memengaruhi, bahkan mendominasi
struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap
individu ditengah masyarakat, status individu di tengah
kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian diri atau
konsep dirinya.
Proses simbolisasi diri ini pada umumnya berlangsung
tidak sadar dan berangsur-angsur untuk kemudian menjadi
bentuk kebiasaan jahat delinkuen pada diri anak. Semua
berlangsung sejak usia sangat muda, mulai di tengah keluarga

360 Sosiologi Perkotaan


sendiri yang berantakan, sampai pada masa remaja dan
masa dewasa di tengah masyarakat ramai. Berlangsunglah
pembentukan pola tingkah-laku yang menyimpang dari
norma-norma umum yang progresif sifatnya, yang kemudian
dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh anak lewat mekanisme
negatif dan proses pembiasaan diri.
4. Teori subkultur (pola budaya) delinkuensi. Subkultur delinkuen
gang remaja itu mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/
keyakinan, ambisi tertentu (misalnya ambisi material, hidup
bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dan lain-
lain) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelompok remaja
berandalan dan kriminal. Menurut teori subkultur ini, sumber
juvenile delinquency adalah sifat-sifat suatu struktur sosial
dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan
familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh remaja
delinkuen tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara
lain:
a. populasi yang padat;
b. status sosial-ekonomis penghuninya rendah;
c. kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk;
d. banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat
tinggi.

Anak-anak delinkuen dari subkultur kelas menengah


banyak yang menggunakan obat perangsang dan minuman
alkoholik. Pertama, kebiasaan ini dipakai untuk menghilangkan
kejemuan dan kejenuhan. Kedua, untuk melupakan dan
menghilangkan konflik batin sendiri dan ketiga untuk
memberikan kegairahan serta keberanian hidup. Kebiasaan
mabuk ini banyak memunculkan keributan dan huru-hara
massal.
Berikut ini tiga kasus dari bentuk kenakalan remaja, yaitu
tawuran pelajar (perkelahian antarkelompok), geng motor dan
narkoba. Ketiga kasus ini untuk akhir-akhir ini sangat semarak
dan menjadi tren kenakalan remaja kekinian.

Sosiologi Perkotaan 361


F. Kenakalan Remaja: Tawuran Pelajar (Perkelahian
antarkelompok)
Tawuran merupakan suatu perkelahian atau tindak kekerasan
yang dilakukan oleh sekelompok. Tawuran antarpelajar maupun
tawuran antarremaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-
geng sekelompok anak muda. Mereka tidak lagi menganggap bahwa
perbuatan tawuran yang dilakukan sangatlah tidak terpuji dan bisa
menggangu ketenangan dan ketertiban masyarakat. Sebaliknya,
mereka merasa bangga jika masyarakat takut dengan geng atau
kelompoknya.
Dari berbagai jenis kenakalan remaja, seperti yang paling
menonjol adalah tawuran antarpelajar. Tawuran pelajar merupakan
suatu permasalahan yang sudah lama terjadi di Indonesia. Sejak
tahun 1970-an, sering terjadi aksi perkelahian massal yang dilakukan
oleh siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.

1. Pengertian
Menurut Hana Karlina Ridwan (2006: 102) tawuran pelajar
adalah perkelahian massal yang dilakukan oleh sekelompok siswa
terhadap sekelompok siswa lainnya dari sekolah yang berbeda.
Tawuran terbagi dalam tiga bentuk: (1) tawuran antarpelajar yang
telah memiliki rasa permusuhan secara turun-temurun, (2) tawuran
satu sekolah melawan satu perguruan yang di dalamnya terdapat
beberapa jenis sekolah dan (3) tawuran antarpelajar yang sifatnya
insidental yang dipicu oleh situasi dan kondisi tertentu.
Menurut Zakiatus Solikhah (1999: 98) tawuran didefinisikan
sebagai perkelahian massal yang merupakan perilaku kekerasan
antarkelompok pelajar laki-laki yang ditujukan kepada kelompok
pelajar dari sekolah lain, yang disebabkan oleh dua faktor.
Tawuran pelajar dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti
atau melukai siswa dari sekolah lain yang menjadi targetnya. Hal
ini jelas sesuai dengan definisi agresi yang telah dikemukakan oleh
Wahyu Widiastuti (2002: 79) bahwa perilaku agresif adalah setiap
bentuk perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang
lain. Selain perilaku, agresi juga mencakup maksud dan tindakan

362 Sosiologi Perkotaan


seseorang untuk merusak atau melukai orang lain yang dapat
dilakukan secara fisik maupun verbal.

2. Jenis-Jenis Tawuran Pelajar


Menu rut Mu stofa ( 1998: 120) , taw uran pelajar dapat
dikelompokkan menjadi lima bagian.
a. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah
yang berbeda yang mempunyai rasa permusuhan yang telah
terjadi turun-temurun atau bersifat tradisional.
b. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok
yang satu berasal dari satu sekolah, sedangkan kelompok
yang lainnya berasal dari suatu perguruan yang di dalamnya
tergabung beberapa jenis sekolah. Permusuhan yang terjadi
di antara dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
c. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok
yang satu berasal dari suatu sekolah, sedangkan kelompok
lawannya merupakan koalisi atau gabungan dari berbagai
macam sekolah yang sejenis. Rasa permusuhan yang terjadi
di antara dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
d. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang
berbeda yang bersifat insidental. Perkelahian jenis ini biasanya
dipicu situasi dan kondisi tertentu. Misalnya suatu kelompok
pelajar yang sedang menaiki bus secara kebetulan berpapasan
dengan kelompok pelajar yang lainnya. Selanjutnya terjadilah
saling ejek-mengejek sampai akhirnya terjadi tawuran.
e. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang
sama tetapi berasal dari jenjang kelas yang berbeda, misalnya
tawuran antarasiswa kelas II dengan siswa kelas III.

3. Faktor Penyebab Tawuran (Perkelahian


antarKelompok)
Kartini Kartono (2003: 109) menjelaskan bahwa kegemaran
berkelahi secara massal di antara anak-anak sekolah lanjutan di
kota-kota besar, disebabkan oleh dua faktor berikut.

Sosiologi Perkotaan 363


a. Faktor internal atau faktor endogen. Faktor ini berlangsung
melalui proses internalisasi diri yang keliru oleh anak-anak
remaja dalam menanggapi milieu di sekitarnya dan semua
pengaruh dari luar. Tingkah laku mereka merupakan reaksi
yang salah atau irrasional dari proses belajar, dalam bentuk
ketidakmampuan mereka melakukan adaptasi terhadap
lingkungan sekitar. Dengan kata lain, anak-anak remaja itu
melakukan mekanisme pelarian diri dan pembelaan diri yang
salah atau tidak rasional dalam wujud kebiasaan maladaptif,
agresi, dan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan
hukum formal; diwujudkan dalam bentuk kejahatan, kekerasan,
kebiasaan berkelahi massal, dan sebagainya. Di antara faktor
internalnya adalah reaksi frustasi negatif; gangguan pengamatan
dan tanggapan; gangguan cara berpikir; gangguan emosional
atau perasaan.
b. Faktor eksternal atau faktor eksogen. Faktor ini dikenal pula
sebagai pengaruh alam sekitar, faktor sosial atau faktor
sosiologis. Ketiganya adalah semua perangsang dan pengaruh
luar yang menimbulkan tingkah laku tertentu pada anak-anak
remaja (tindak kekerasan, kejahatan perkelahian massal dan
seterusnya. Di antara faktor eksternalnya adalah lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah dan milieu.

G. Kenakalan Remaja: Geng Motor


1. Pengertian Geng Motor
Geng motor merupakan salah satu fenomena masalah
sosial yang berhubungan erat dengan persoalan kesulitan
remaja dalam melakukan adaptasi dengan modernisasi baik dari
aspek kemunculannya, karakter anggotanya maupun dari jenis
kegiatannya.
Dari aspek kemunculannya, geng motor berawal dari rasa
kesetiakawanan yang tinggi antarsesama anggota yang sebagian
besar adalah remaja, tetapi kesetiakawanan yang berkembang
pada komunitas geng motor mengarah pada kegiatan dan tindakan
negatif para anggotanya. Adapun karakter anggotanya bahwa
mayoritas dari anggota geng motor adalah remaja laki-laki. Para

364 Sosiologi Perkotaan


remaja ini tertarik untuk masuk geng motor karena ingin diakui
oleh teman-teman sebayanya, terutama oleh teman dalam satu geng
motor, menjadi jagoan yang diakui oleh geng lainnya, sarana dalam
penyaluran ekspresi para remaja, sarana menampilkan eksistensi
diri atau kelompoknya, dan membuat remaja merasa aman dan
nyaman bergaul.
Menurut Collins hal yang sangat berpengaruh pada proses
identifikasi geng adalah fenomena pengucilan sosial. Alasan
mengaku sebagai anggota geng adalah untuk menegaskan keberadaan
sosialnya dan mendapatkan perlindungan secara terus-menerus.
Secara umum anak-anak muda yang menyatakan dirinya anggota
geng, akan cenderung dalam perilaku yang antisosial dan kriminal
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengaku menjadi anggota
geng (Rob White, 2008: 40).

2. Karakteristik Geng Motor


Kartini Kartono (2003: 13-14) menjelaskan beberapa hal yang
biasanya terdapat dalam geng motor atau karakteristik dari kelompok
mereka. Pertama, kepemimpinan; kedua, istilah-istilah tertentu yang
hanya dimiliki dan dimengerti oleh geng motor tersebut; ketiga, ada
aturan khusus yang apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.
Dalam kelompok geng motor ada seorang pemimpin yang
memimpin segala aktivitas dalam sebuah geng motor. Salah
satu wewenang pemimpin adalah menentukan wilayah untuk
melakukan aktivitas dalam geng motor. Aktivitas yang mereka
lakukan bertujuan untuk memperkuat dan menumbuhkan loyalitas
bagi setiap anggotanya. Untuk itu syarat pemimpin dalam sebuah
geng adalah memiliki kekuatan, keterampilan, dan nyali yang
besar. Hal tersebut menjadikan si pemimpin mendapatkan respek
dan menjadi panutan dari anggota lainnya. Figur kepemimpinan
dalam geng motor harus dimiliki oleh seorang yang memiliki jiwa
kepemimpinan yang sangat kuat, seperti memiliki kekuatan untuk
memimpin para anggotanya, memiliki keberanian dalam mengambil
tindakan, dan disegani oleh para anggota maupun orang lain.
Dalam kelompok geng motor kemudian muncul bahasa sendiri
dengan penggunaan kata dan istilah khusus yang hanya dapat

Sosiologi Perkotaan 365


dimengerti oleh para anggota geng itu sendiri. Timbul pula ungkapan
bahasa, gerak tubuh dan isyarat sandi tertentu. Dari seluruh
kelompok itu muncul satu tekanan kepada semua anggota kelompok,
agar setiap individu menghormati dan mematuhi segala aturan
yang sudah ditentukan. Sebagaimana pernyataan Ralf Dahrendorf
kaitannya dengan kepatuhan individu terhadap kelompoknya,
yaitu bahwa orang yang tidak pernah mengerjakan sesuatu lebih
daripada yang diharuskan, mencari sumber penghargaan lainnya
untuk menghindari rasa tidak senang dari teman-temannya (David
Berry, 2003: 59).
Lebih rinci lagi Kartini Kartono (2003: 15-17) menjelaskan ciri
atau karakteristik dari gang motor, yaitu sebagai berikut.
a. Jumlah anggotanya berkisar antara3-40 anak remaja. Jarang
beranggotakan lebih dari 50 anak remaja.
b. Anggota gang lebih banyak terdiri atas anak laki ketimbang
anak perempuan, walaupun ada juga anak perempuan yang
ikut di dalamnya. Di dalam gang tersebut umum terjadi relasi
heteroseksual bebas antara anak laki dan perempuan (yang
merasa dirinya “maju dan modern”). Sering pula berlangsung
perkawinan di antara mereka, sungguhpun pada umumnya
anak laki lebih suka menikah dengan perempuan luar, dan
bukan dengan anggota gang sendiri.
c. Kepemimpinan ada di tangan seorang anak muda yang
dianggap paling banyak berprestasi, dan memiliki lebih
banyak keunggulan atau kelebihan daripada anak-anak remaja
lainnya.
d. Relasi di antara para anggota mulai dari keterikatan yang
longgar sampai pada hubungan intim.
e. Sifat gang sangat dinamis dan mobil (sering berpindah-pindah
tempat).
f. Tingkah-laku kaum delinkuen dalam gang itu pada umumnya
bersifat episodik; artinya bersifat terpotong-potong, seolah-
olah berdiri sendiri. Sebab tidak semua anggota berpartisipasi
aktif dalam aksi-aksi bersama; ada yang pasif dan ikut-
ikutan saja. Yang paling aktif biasanya para anggota inti dan

366 Sosiologi Perkotaan


tokoh pemimpinnya yang berusaha menjadi unsur inti dalam
kelompoknya.
g. Kebanyakan gang delinkuen itu tingkah-laku melanggar hukum
masyarakatnya.
h. Usia gang bervariasi; dari beberapa bulan dan beberapa tahun,
sampai belasan tahun atau lebih.
i. Umur anggotanya berkisar 7-25 tahun. Pada galibnya semua
anggota berusia sebaya; berupa peer group atau kawan-kawan
sebaya, yang memiliki semangat dan ambisi yang kurang lebih
sama.
j. Dalam waktu yang relatif pendek, anak-anak itu berganti-ganti
peranan, disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan kondisi-
situasi sosial, bentuk kepemimpinan baru, dan sasaran-sasaran
yang ingin mereka capai.
k. Anggota gang biasanya bersikap konvensional bahkan sering
fanatik dalam mematuhi nilai-nilai dan norma gang sendiri.
Pada umumnya mereka sangat setia dan loyal terhadap
sesama.
l. Dalam gang, anak-anak itu mendapatkan status sosial dan
peranan tertentu sebagai imbalan partisipasinya. Mereka
harus mampu menjunjung tinggi nama kelompoknya. Semakin
kasar, kejam, sadistis dan berandalan tingkah laku mereka,
semakin “tenarlah” nama gangnya, dan semakin banggalah
hati mereka. Nama pribadi dan gangnya menjadi mencuat dan
banyak ditiru oleh kelompok berandalan remaja lainnya.
m. Ada beberapa bentuk gang, antara lain gang perkelahian, gang
pemilikan, gang kejahatan, gang penggunaan obat narkotika
dan minuman beralkohol.

3. Faktor Penyebab Remaja Menjadi Anggota Geng


Motor
Ada beberapa alasan yang menyebabkan remaja, terlebih
khusus laki-laki termotivasi untuk masuk dan bergabung di
komunitas geng motor. Bagi remaja, masuk sebagai anggota gang
motor, dapat memenuhi beberapa kebutuhannya. Pertama, kebutuhan

Sosiologi Perkotaan 367


membuktikan diri sebagai laki-laki sejati, hal ini dibuktikan dengan
pernyataan, setelah bergabung dengan geng motor merasa menjadi
hebat. Kedua, kebutuhan sosialisasi dengan teman sebaya. Ketiga,
geng motor merupakan salah satu sarana atau cara bagi para remaja
dalam mengisi waktu luangnya (setelah lelah dengan kegiatan
sekolah atau mengisi waktu yang memang selalu luang bagi anggota
yang tidak bersekolah atau bekerja). Dengan bergabung dalam
geng motor, remaja merasa mendapatkan segala sesuatu yang bisa
menghilangkan beban dalam pikirannya. Mereka bisa mendapatkan
status, aksi-aksi bersama, ikatan persahabatan, simpati, kasih sayang,
prestise, harga diri, dan rasa aman.

H. Kenakalan Remaja: Narkoba


1. Pengertian
Narkoba khususnya di kalangan remaja, sangat mengerikan.
Para pengguna narkoba tidak hanya mengancam anak-anak pada
usia remaja, tetapi sudah dikonsumsi oleh anak-anak di bawah usia
remaja. Berdasarkan data BNN (Badan Narkotika Nasional), jumlah
pengguna narkoba di Indonesia tiap tahun terus meningkat sehingga
mengancam masa depan generasi muda. Tercatat pada tahun 2007,
81.702 pelajar di lingkungan SD, SMP dan SMA menggunakan
narkoba. Data ini setiap tahun terus meningkat. Ada beberapa alasan,
seseorang menggunakan narkoba, di antaranya: (1) menggunakan
narkoba di kalangan lingkungan pergaulan sudah dianggap hal yang
wajar, bahkan sebagai suatu gaya hidup masa kini; (2) pada awalnya
dibujuk orang agar merasakan manfaatnya; (3) ada keinginan lari
dari masalah yang ada, untuk merasakan kenikmatan sesaat; (4)
sudah terjadi kebergantungan dan tidak ada keinginan untuk
berhenti, dan lain-lain.
Narkoba dengan segala wujudnya baik ganja, heroin, kokain,
candu, ekstasi, alkohol maupun obat-obatan terlarang lainnya adalah
perusak para remaja. Meskipun dalam dosis tertentu, beberapa
di antaranya memiliki manfaat untuk kepentingan medis, namun
selebihnya justru membahayakan kesehatan sang pengguna. Sehingga
penyalahgunaan narkoba oleh remaja jelas akan memburamkan
masa depan mereka sendiri.

368 Sosiologi Perkotaan


Rosita Endang Kusmaryani (2009: 1-2) menjelaskan bahwa
narkoba kepanjangan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif
berbahaya lainnya, adalah bahan atau zat yang jika dimasukkan
dalam tubuh manusia, baik secara oral atau diminum, dihirup,
maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau
perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan
kebergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Lebih lanjut, ia
menjelaskan sebagai berikut.
a. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa nyeri dan dapat menimbulkan kebergantungan. Tanaman
papaver, opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko),
opium obat, morfina, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan
damar ganja. Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina
dan kokaina, serta campuran-campuran dan sediaan-sediaan
yang mengandung bahan tersebut di atas.
b. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
pada aktivitas mental dan perilaku. Sedatin (Pil BK), Rohypnol,
Magadon, Valium, Mandarax, Amfetamine, Fensiklidin, Metakualon,
Metifenidat, Fenobarbital, Flunitrazepam, Ekstasi, Shabu-shabu,
LSD (Lycergic Alis Diethylamide), dan lainnya. Bahan Adiktif
berbahaya lainnya adalah bahan-bahan alamiah, semisintetis
maupun sintetis yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina
atau kokaina yang dapat mengganggu sistem syaraf pusat.
Alkohol yang mengandung ethyl etanol, inhalen, atau sniffing
(bahan pelarut) berupa zat organik (karbon) yang menghasilkan
efek yang sama dengan yang dihasilkan oleh minuman yang
beralkohol atau obat anestetik jika aromanya dihisap. Contoh:
lem atau perekat, aceton, ether, dan sebagainya.

Lebih lanjut, Rosita Endang Kusmaryani (2009: 3-4) menjelaskan


bahwa berdasarkan efeknya, narkoba tersebut bisa dibedakan menjadi
tiga, yaitu sebagai berikut.

Sosiologi Perkotaan 369


a. Depresan, yaitu menekan sistem sistem saraf pusat dan
mengurangi aktivitas fungsional tubuh sehingga pemakai
merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan
tidak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan
kematian. Jenis narkoba depresan antara lain opioda, dan
berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh
yang populer sekarang adalah Putaw. Depresan menimbulkan
pengaruh yang bersifat menenangkan. Dengan obat ini, orang
yang merasa gelisah atau cemas misalnya, dapat menjadi
tenang. Tetapi bila obat penenang digunakan tidak sesuai
dengan indikasi dan petunjuk dokter, apalagi digunakan dalam
dosis yang berlebihan, justru dapat menimbulkan akibat buruk
lainnya.
b. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulan: kafein, kokain,
amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah
shabu-shabu dan ekstasi. Stimulan menimbulkan pengaruh yang
bersifat merangsang sistem saraf pusat sehingga menimbulkan
rangsangan secara fisik dan psikis. Ekstasi, yang tergolong
stimulan, menyebabkan pengguna merasa terus bersemangat
tinggi, selalu gembira, ingin bergerak terus, sampai tidak
ingin tidur dan makan. Akibatnya dapat sampai menimbulkan
kematian.
c. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi
atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan
berasal dari tanaman, seperti mescaline dari kaktus dan
psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu, ada juga yang
diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak
dipakai adalah marijuana atau ganja Halusinogenik seperti
marijuana atau ganja, mengakibatkan timbulnya halusinasi
sehingga pengguna tampak senang berkhayal. Sekitar 40-60
persen, pengguna justru melaporkan berbagai efek samping
yang tidak menyenangkan, misalnya muntah, sakit kepala,
koordinasi yang lambat, tremor, otot terasa lemah, bingung,
cemas, ingin bunuh diri, dan beberapa akibat lainnya.

370 Sosiologi Perkotaan


2. Dampak Pengguna Narkoba
Penyalahgunaan ini tentu saja berdampak pada kehidupan
seseorang, baik secara fisik, psikis dan sosial. Seberapa besar dampak
yang terjadi sangat bergantung pada jenis narkoba yang digunakan,
cara menggunakan dan lama penggunaan.
a. Dampak Fisik. Secara fisik penyalahgunaan narkoba menyebab-
kan:
1) gangguan pada sistem saraf (neurologis), seperti kejang-
kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan saraf
tepi;
2) gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardio-
vaskuler), seperti infeksi akut otot jantung, gangguan
peredaran darah;
3) gangguan pada kulit (dermatologis), seperti penanahan
(abses), alergi, eksim;
4) gangguan pada paru-paru (pulmoner), seperti penekanan
fungsi pernapasan, kesukaran bernapas, pengerasan
jaringan paru-paru;
5) sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus,
suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur;
6) dampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan
padaendokrin, seperti penurunan fungsi hormon reproduksi
(estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi
seksual;
7) dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja
perempuan antara lain perubahan periode menstruasi,
ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak
haid);
8) bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya
pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya
adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV
yang hingga saat ini belum ada obatnya;
9) penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi
over dosis, yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan

Sosiologi Perkotaan 371


tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan
kematian.

b. Dampak psikis, seperti:


1) lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah;
2) hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh
curiga;
3) agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal;
4) sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan;
5) cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan
bunuh diri .

c. Dampak sosial. Dampak sosial yang mungkin terjadi antara


lain:
1) gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh
lingkungan;
2) merepotkan dan menjadi beban keluarga;
3) pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram.

I. Penanggulangan Kenakalan Remaja


Kartini Kartono (2003: 94) mengatakan bahwa juvenile
delinquency muncul sebagai masalah sosial yang semakin gawat
pada masa modern sekarang, yang erat sekali dengan masyarakat
perkotaan yang tengah mengalami modernisasi, industrialisasi,
urbanisasi serta taraf kesejahteraan dan kemakmuran. Rata-rata
anak yang sedang mengalami juvenile delinquency adalah kelompok
anak yang berusia 8-22 tahun.
Kriminolog Soedjono Dirjosisworo dalam Sudarsono (1991:
93) mengemukakan asas umum dalam penanggulangan kejahatan
(crime prevention) yang banyak dipakai oleh negara-negara yang
telah maju, terdiri atas dua sistem berikut.
a. Cara moralitas dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-
ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan

372 Sosiologi Perkotaan


sarana-sarana lain yang dapat menekan nafsu untuk berbuat
kejahatan.
b. Cara abolisionistis, yaitu berusaha memberantas, menanggulangi
kejahatan dengan sebab musababnya. Jika diketahui bahwa
faktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu
faktor penyebab kejahatan, usaha untuk mencapai tujuan dalam
mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi
merupakan cara abolisionistis.

Karena tindak delinkuen anak remaja itu banyak menimbulkan


kerugian materiel dan kesengsaraan batin, baik pada subjek pelaku
sendiri maupun pada para korbannya, masyarakat dan pemerintah
dipaksa untuk melakukan tindak preventif dan penanggulangan
secara kuratif (Kartono, 2003: 95). Tindakan preventif yang dilakukan
adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan kesejahteraan keluarga.
b. Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk
memperbaiki tingkah-laku dan membantu remaja dari kesulitan
mereka.
c. Mengadakan lembaga reformatif untuk memberikan latihan
korektif, pengoreksian, dan asistensi untuk hidup mandiri
dan asusila kepada anak-anak dan para remaja yang mem-
butuhkan.
d. Membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan
anak delinkuen, disertai program yang korektif.
e. Menyusun undang-undang khusus untuk pelanggaran dan
kejahatan yang dilakukan oleh anak remaja.
f. Mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin).
g. Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan
remaja.
h. Menyelenggarakan diskusi kelompok untuk membangun kontak
manusiawi di antara para remaja delinkuen masyarakat luar.
Diskusi tersebut akan sangat bermanfaat bagi pemahaman
kita mengenai jenis kesulitan dan gangguan pada diri para
remaja.

Sosiologi Perkotaan 373


i. Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para
remaja delinkuen dan yang nondelinkuen. Misalnya berupa
latihan vokasional, latihan hidup bermasyarakat, latihan
persiapan untuk bertransmigrasi, dan lain-lain.

Tindakan hukuman bagi anak remaja delinkuen antara lain


menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap
adil, dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk
hidup susila dan mandiri.
Adapun tindakan kuratif bagi usaha penyembuhan anak
delinkuen antara lain sebagai berikut.
a. Menghilangkan semua sebab timbulnya kejahatan remaja, baik
yang berupa pribadi familial, sosial ekonomis dan kultural.
b. Melakukan perubahan lingkungan dengan jalan mencarikan
orangtua angkat/asuh dan memberikan fasilitas yang
diperlukan bagi perkembangan jasmani dan rohani yang
sehat bagi anak-anak remaja.
c. Memindahkan anak-anak nakal ke sekolah yang lebih baik
atau ke tengah lingkungan sosial yang baik.
d. Memberikan latihan bagi para remaja untuk hidup teratur,
tertib, dan berdisiplin.
e. Memperbanyak lembaga latihan kerja dengan program kegiatan
pembangunan.
f. Mendirikan klinik psi kologi untuk meringankan dan
memecahkan konflik emosional dan gangguan kejiwaan
lainnya. Memberikan pengobatan medis dan terapi psikoanalitis
bagi mereka yang menderita gangguan jiwa.

374 Sosiologi Perkotaan


DAFTAR PUSTAKA

A. Asep Djaja Saefullah, 1999. Gerak Penduduk Desa-Kota: Jembatan


Modernisasi perdesaan.Bandung: Universitas Padjajaran (tidak
diterbitkan).
A. Moesono, dkk. 1996. Faktor-faktor Pendukung Terjadinya Perkelahian
Sekolah dan Kecenderungan Pemecahan Masalah oleh Siswa. Kerja
Sama Proyek Pembinaan Anak & Remaja. Dirjend Kebudayaan
dan Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Budaya Lembaga
Penelitian UI.
Abdul Syani. 1987. Sosiologi: Kelompok dan Masalah Sosial. Jakarta:
Fajar Agung.
Abu Ahmadi. 1997. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Abu Hurairah. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta: Nuansa.
Adam Kuper dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Agus Warsono. 2006. Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota pada
Koridor Jalan Kaliurang Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman.
Semarang: Tesis, Program Pascasarjana Magister Pembangunan
Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro.

Sosiologi Perkotaan 375


Ahmad Erani Yustika. 2000. Industrialisasi Pinggiran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ahmadi Widodo. 2000. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemilihan
Lokasi Usaha PKL. Semarang: Hasil Penelitian.
Alex Inkeles. 1980. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan.Yogyakarta:
UGM Press.
Anwar Sutoyo. 2009. Bimbingan dan Konseling Islami Teori dan Praktik.
Semarang: Widya Karya Semarang.
AS. Alam dan Amir Ilyas. 2010. Pengantar Kriminologi. Makasar:
Pustaka Refleksi.
Asmuni Syukir. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya:
Al-Ikhlas.
Atwar Bajari. 2002. Anak Jalanan. Humaniora.
B. Simadjuntak. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial.
Bandung: Tarsito.
B. Simanjuntak. 1984. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung:
Alumni.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bintarto. 1979. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Bintarto. 1984. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
BKKBN. 2009. Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2009. Jakarta:
BKKBN.
BPS. 2009. Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009,
Jakarta. Badan Pusat Statistik. Jakarta BPS-Statistic Indonesia,
Bappenas, and UNDP. 2004. The Economics of Democracy:
Financing.
Budhy Tjahjati Soegijoko et al. 1997. Bunga Rampai Perencanaan
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Budi Sinulingga. 1999. Pembangunan Kota Tinajuan Regional dan Lokal.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

376 Sosiologi Perkotaan


Budi Sinulingga. 2005. Pembangunan Kota Tinajuan Regional dan Lokal.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
D.J. Rachbini. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan: Gejala Involusi
Gelombang Kedua. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Dadang Kahmad. 2005. Perkembangan dan Paradigma Teori Sosiologi.
Bandung: Pustaka Setia.
Daldjoeni. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Alumni.
Daldjoeni. 2003. Geografi Kota dan Desa. Bandung: Alumni.
David Berry. 2003. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: Raja
Grafindo.
Dede Rosyada, dkk. 2003. Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Depag RI. 2000. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI-Badan
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Depsos RI. 2007. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna
Susila Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Jakarta:
Departemen Sosial RI.
Dumairy. 1996. Perekonomian di Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Dwiyanti. 2005. Kajian Pola Ruang PKL dan Karakteristik dan Aktivitasnya
di Kawasan Panbil Kota Batam. Semarang.
E. Darmawan. 2009. Ruang Publik Dalam Arsitekstur Kota. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponogoro.
Eddy Ruchiyat. 1984. Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya
UUPA (UU No. 5 Tahun 1960). Bandung: Alumni.
Eko A. Meinarno. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat.
Jakarta: Salemba Humanika.
Eko Budiharjo. 1997. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota.
Yogyakarta: Andi.
Elizabet B. Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Sosiologi Perkotaan 377


Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi:
Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori Aflikasi
dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.
Emil Salim. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan.
Jakarta: Inti Idayu Press.
Eny Endang Surtiani. 2006. Faktor-faktor yang Memengaruhi Terciptanya
Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus:
Kawasan Pancuran, Salatiga). Semarang: Tesis Program Pasca
Sarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota,
Universitas Diponegoro.
Eny Purwandari. 2011. Keluarga, Kontrol Sosial, dan “STRAIN”:
Model Kontinuitas Delinquency Remaja. Jurnal Humanitas. Vol.
VIII No 01.
Fidel Miro. 1997. Sistem Transfortasi Kota: Teori dan Konsep Dasar.
Bandung: Tarsito.
Gunawan Sumodiningrat. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunawan Sumodiningrat. 1999. Pemberdayaan Masyarakat Dan JPS,
Jakarta: Gramedia.
Hadi Yunus. 2002. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hadi Yunus. 2005. Manajemen Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hana Karlina Ridwan dan Hana Karlina. 2006. Agresi pada Siswa-
siswa SLTA yang Melakukan dan Tidak Melakukan Tawuran Pelajar.
Tesis yang tidak dipublikasikan. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Hardi Utomo dan Hakim R. 2008. Komponen Perancangan Arsitektur
Lansekap Prinsip-Unsur dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Harsojo. 1988. Pengantar Antropologi. Bandung. Bina Cipta.
Hasan Sadelly. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.

378 Sosiologi Perkotaan


IB. Mantra. 1992/1993. Population Development Analysis According
to the 1990 Population Census: Mobility Dinamics. Yogyakarta:
Population Studies Center, Gadjah Mada University.
IB. Mantra. 2009. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iih Soesrodihardjo. 1991. Transformasi Sosial Menuju Masyarakat
Industri. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ikhsantono. 2009. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Pada
Sektor Transportasi terhadap Pertumbuhan Sektor Transportasi di
Kota Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
J. de D. Ortuzar dan L.G. Willumsen. 1994. Modeling Transport.
Second edition. Chicheste: John Wiley and Sons Ltd.
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi Teks Pengantar
dan Terapan. Jakarta; Kencana.
J. Gulick. 1969. Cultural Continuities in the Twentieth Century Middle
Eastern Cultures. Dalam Ira Lapidus, (ed.), Middle Eastern Cities,
(Berkeley: University of California Press.
J.E.. Sahetapy. 1992. Pisau Analisa Kriminologi. Bandung: Armico.
Jalaluddin Rahmat. 2002. Psikologi Agama Edisi Revisi. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
James C. Scott. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi
di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Jeffrey R. Kenworthy. 2006. The Eco-City: Ten Key Transport and
Planning Dimensions Forsustainable City Development. Perth:
Murdoch University.
John W. Santrock. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta:
Erlangga.
Josef Riwu Kaho. 2001. Mekanisme Pengontrolan dalam Hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah: Suatu Studi Perbandingan. Jakarta:
Bina Aksara.
Julius. 2003. Transformasi Ekonomi Rakyat. Jakarta: Pustaka
Cidesindo.
Jusman Iskandar. 2002. Bahan-bahan Perkuliahan Teori Sosiologi.
Bandung: Program Pasca Sarjana UIN Bandung.

Sosiologi Perkotaan 379


K. Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Karl J. Pelzer. 1991. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan
Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kartini Kartono. 2003. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta:
Grafindo Persada.
Kartini Kartono. 2007. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan).
Bandung: Mandar Maju.
Khomarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan
Per mukiman. Jakarta: Yayasan R eal Estate In don esi a,
Rakasindo.
Koenjtraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara
Baru.
Kunowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung:
Mizan.
Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
M. Mustofa. 1998. Perkelahian Massal Pelajar antarsekolah di DKI
Jakarta: Studi Kasus Berganda, Rekonstruksi Berdasarkan Paradigma
Konstruksivisme. Disertasi (Tidak Diterbitkan). Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
M. Sitorus. 1994. Berkenalan Dengan Sosiologi 2. Jakarata: Erlangga.
M. Tauchid. 1953. Masalah Agraria. Bagian Pertama. Jakarta:
Tjakrawala.
Made Darma Weda. 1996. Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Mahfud. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Marco Kusumawijaya. 2006. Kota Rumah Kita. Jakarta: Borneo.
Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep
Diversi dan Restrorative Justice. Medan: Refika Aditama.

380 Sosiologi Perkotaan


Mas Ahmad Santosa. Good governance dan Hukum Lingkungan.
Jakarta: ICEL.
Mc. Gee dan Yeung. 1977. Hawkers In South East Asian Cities: Planning
For The Bazaar Economy. Ottawa, Canada: Penerbit Internasional
Development Research Centre.
Michael Laurie. 1994. Arsitekstur Pertamanan. Bandung: Intermatra
.
Miftah A. Andisti dan Ritandiyono. 2008. Religiusitas dan Perilaku
Seks Bebas pada Dewasa Awal. Jurnal Psikologi. Vol. 1. No. 2.
MM. Billah. 2001. Good Governance dan Kontrol Sosial. Jurnal Prisma.
Jakarta: LP3ES.
Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi
Aksara.
Muana Nanga. 2005. Makro Ekonomi Teori, Masalah, dan Kebijakan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Muljanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (editor). 1982. Kemiskinan
dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: Rajawali Press.
Mulyana W. kusumah. 1981. Aneka Permasalahan dalam Ruang lingkup
Kriminologi. Bandung: Granesia.
Munandar Soelaiman. 1993. Dinamika Masyarakat Transisi. Jogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Murtha Muthari. 1995. Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan.
N. Gregory Mankiw. 2003. Makroekonomi (Edisi Enam). Jakarta:
Erlangga.
Nasution. 1996. Manajemen Transfortasi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ninik Widiyanti dan Panji Anaroga. 1987. Perkembangan Kejahatan
dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Odi Salahuddin. 2000. Anak Jalanan Perempuan. Semarang: Yayasan
Setara.
Ofyar Z. Tamin. 1997. Perencanaan dan Permodelan Transportasi.
Bandung: Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung.

Sosiologi Perkotaan 381


Oman Sukmana. 2005. Sosiologi Politik dan Ekonomi. Malang: UMM
Press.
Parsudi Suparlan. 2000. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Patrick Mc. Auslan. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat
Jelata. Jakarta: Gramedia.
Paul Doyle Jonson. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Jakarta:
Gramedia.
Paulus Hariyono. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta: Bumi
Aksara.
Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Prijono Tjiptoherijanto. 1999. Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di
Indonesia. Jakarta: UI Press.
Proceedings of the Joint UN/UNESCO, Urbanizations in Asia and
Far East, A Seminar held in Calcutta. 1959.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo.1990. Cetakan ketiga Puluh Tiga, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdaata. Jakarta: Pradnya Paramita.
R.E. Soeriatmadja. 2000. Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan
Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional.
R.M. Sundrum. 1987. Distribusi Pendapatan, Ekonomi Orde Baru.
Jakarta: LP3ES BPS.
Rahardja dan Manurung. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter:
Kajian Kontekstual Indonesia. Jakarta: FEUI.
Rahardjo Adisasmita. 2010. Pembangunan Kota Optimum, Efisien dan
Mandiri. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Raldi Hendro Kustur. 2001. Dimensi Keruangn Kota. Jakarta: UI
Press.
Retno Widjajanti. 2009. Karakteristik Pedagang Kaki Lima pada Kawasan
Komersial di Pusat Kota: Studi Kasus: Simpang Lima Semarang.
Jurnal Teknik, Vol. 30., No.3, tahun 2009.

382 Sosiologi Perkotaan


Rob White. 2008. Geng Remaja Fenomena dan Tragedi Geng Remaja di
Dunia. Yogyakarta.
Rosita Endang Kusmaryani. 2009. Disampaikan dalam kegiatan
penyuluhan “Upaya Penyelamatan Generasi Muda Melalui
Penyuluhan Pengetahuan Bahaya dan Cara Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba” tanggal 8 September 2009.
Rozali Abdullah. 2001. Pelaksanaan Otonomi Luas. Jakarta:
Rajawali.
Rudiyantono. 2000. Model Program Intervensi dalam Penanggulangan
Permukiman Kumuh Perkotaan: Studi Kasus Permikiman Penerima
Program Intrvensi di Surabaya. Surabaya: Program Pasca Sarjana
Teknik Arsitekstur Institut Teknologi Sepuluh November.
Rusli Ramli. 1992. Sektor Informal Perkotaan: Pedagang PKL. Jakarta:
Penerbit Ind-Hill-Co.
S. Meno dan Mustamin Alwi. 1992. Antropologi Perkotaan. Jakarta:
Rajawali Press.
S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. 1984. Dua Abad
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sadono Sukirno. 1989. Ekonomi Pembangunan: Teori dan Kebijakan.
Jakarta: Erlangga.
Sadono Sukirno. 2011. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan
Dasar Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Safari Imam Asy’ari. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha
Nasional.
Said Rusli. 1981. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES.
Saiful Mujani. Draf Proposal Penelitian tentang Good Governance. Tidak
dipublikasikan.
Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Sarlito S. Wirawan. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali.
Sarlito W. Sarwono. 2010. Psikologi Remaja Edisi Revisi. Jakarta:
Rajawali Pers.

Sosiologi Perkotaan 383


Sartono Kartodirjo. 1992. Ratu Adil. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Singgih D. Gunarsa. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Siswanto Sunarno. 2008. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Soedjono Dirdjosisworo. 1983. Penanggulangan Kejahatan. Cetakan
Ketiga. Bandung: Alumni.
Soedjono Dirdjosisworo. 1996. Anatomi Kejahatan di Indonesia.
Bandung: Granesia.
Soegijoko dan Kusbiantoro. 1997. Bunga Rampai Perencanaan
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Soegijoko, Budhy Tjahjati Sugijanto, dkk (editor). 2005. Pembangunan
Kota Indonesia dalam Abad 21. Jakarta: Yayasan Sugijanto
Soegijoko.
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Neagara di Jawa
Masa Lampau, Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai
XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soerjono Soekanto. 1984. Antropologi Hukum: Pengembangan Ilmu
Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Press.
Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keliarga,
Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali
Press.
Soetomo Sugiono. 2013. Urbanisasi dan Morfologi. Proses Perkembangan
Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sony Sumarsono. 2003. Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia
dan Ketenaga Kerjaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sri Kurniasih. 2007. Usaha Perbaikan Pemukiman Kumuh di Petukangan
Utara Jakarta Selatan. Jakarta: Penelitian.
Sudarsono. 1991. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.

384 Sosiologi Perkotaan


Sujoko. 2010. Hubungan antara Keluarga Broken Home, Pola Asuh
Orangtua dan Interaksi Teman Sebaya dengan Kenakalan Remaja.
Tesis Universitas Setia Budi Surakarta.
Surya Mulandar (ed.). 1996. Dehumanisasi Anak Marginal: Berbagai
Pengalaman Pemberdayaan. Bandung: Akatiga.
Suwardjoko Warpani. 2002. Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Bandung: Penerbit ITB.
Suwarsono. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta:
LP3ES
Syamsu Yusuf. 2009. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung: Rosda Karya.
T.H. Mulyani. 2006 . Arsitekstur Ekologis . Yogyakarta: Kanisius.
Tata Sudrajat. 2008. Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan Melalui
Lembaga. Jakarta: Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Anak Jalanan.
Teguh Yuwono, ed. 2001. Manajemen Otonomi Daerah: Membangun
Berdasar Paradigma Baru. Semarang: Universitas Diponegoro.
Titisari, Ema Yunita dan Farid Kurniawan. 1999. Kajian Permukiman
Desa Pinggiran Kota; Mengukur Tingkat Kekumuhan Kampung.
Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
Tjuk Kuswartojo. 2005. Perumahan dan Pemukiman di Indonesia.
Bandung: Penerbit ITB.
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulva. 2010. Kriminologi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Topo Santoso. 2003. Kriminologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Tri Pranadji Saptana dan Roosgandha. 2003. Transformasi Kelembagaan
Tradisional Untuk Menunjang Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan
(Studi Kasus di Provinsi Bali dan Bengkulu). Bengkulu: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
W. Riawan Tjandra. 2009. Hukum Keuangan Negara. Jakarta:
Grasindo.

Sosiologi Perkotaan 385


Widiastuti, Wahyu. 2002. Dampak Adegan Kekerasan di Televisi terhadap
Perilaku Agresif Remaja Perkotaan. Bengkulu: Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Universitas Bengkulu.
Wilbert Moore. 1965. The Impact of Industry. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
William J. Goode. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.
WJS Poerwadarminta. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Y. Bambang Mulyono. 1993. Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja
dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Kansius.
Yesmil Anwar, dkk. 2013. Sosiologi untuk Universitas. Bandung:
Refika Aditama.
Yusuf Al-Qardhawy. 1999. Pengantar Kajian Islam. Yogyakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Zainab Bakir dan Cris Maning (1984). Angkatan Kerja Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press.
Zakiatus Solikhah. 1999. Identitas Sosial serta Alasan Keterlibatan
dan Ketidakterlibatan Pelajar dalam Tawuran. Depok: Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia.

386 Sosiologi Perkotaan


LAMPIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 38 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA
PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang: Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah dan pasal 30 ayat (9) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman
Modal, perlu menetapkan peraturan pemerintah
tentang pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah, pemerintahan Daerah Provinsi, dan
pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
tahun 2005 tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

Sosiologi Perkotaan 387


tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2005 Nomor 108, tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4548);
3. Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang
penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik indonesia Nomor
4724).

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
PEMB AG I AN U RU SA N PEME RI N TAH A N
ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN
DAERAH KABUPATEN/KOTA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah, adalah
presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batasan wilayah yang

388 Sosiologi Perkotaan


berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
5. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan
yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan atau
susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-
fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka
melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahtrakan
masyarakat.
6. Kebijakan nasional adalah serangkaian aturan yang dapat
berupa norma, standar, prosedur dan atau kriteria yang
ditetapkan pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan
urusan pemerintahan.

BAB III
URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 2
1. Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan atau
susunan pemerintahan.
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
serta agama.
3. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan atau susunan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) .

Sosiologi Perkotaan 389


4. Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan
meliputi:
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Pekerjaan umum
d. Perumahan
e. Penataan ruang
f. Perencanaan pembangunan
g. Perhubungan
h. Lingkungan hidup
i. Pertahanan
j. Kependudukan dan catatan sipil
k. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
l. Keluarga berencana dan keluarga sejahtra
m. Sosial
n. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
o. Koperasi dan usaha kecil dan menengah
p. Penanaman modal
q. Kebudayaan dan pariwisata
r. Kepemudaan dan olahraga
s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negri
t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan
persandingan
u. Pemberdayaan masyarakat dan desa
v. Statistik

390 Sosiologi Perkotaan


w. Kearsipan
x. Perpustakaan
y. Komunikasi dan informatika
z. Pertanian dan ketahanan pangan
aa. Kehutanan
ab. Energi dan sumber daya mineral
ac. Kelautan dan perikanan
ad. Perdagangan
ae. Perindustrian
(1) Setiap bidang urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) terdiri atas sub bidang, dan setiap sub bidang
terdiri atas sub-sub bidang
(2) Rincian ketiga puluh satu bidang urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat 4 tercantum dalam lampiran
yang tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini.

Pasal 3
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai
dengan sumber pendataan, pengalihan sarana dan prasarana serta
kepegawaian.

BAB III
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah.

Sosiologi Perkotaan 391


Pasal 4
1. Pembagian urusan pemerintahan sebagaiman dimaksud dalam
pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi dengan memerhatikan keserasian hubungan
antartingkatan dan atau susunan pemerintahan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk
masing-masing sub bidang atau sub-sub bidang urusan
pemerintahan diatur dengan peraturan menteri atau kepala
lembaga pemerintahan yang bersangkutan setelah berkoordinasi
dengan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 5
1. Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya sebagaimana diamksud dalam
pasl 2 ayat (2).
2. Selain mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah sebgaiamana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya
3. sebagaimana tercantum dalam lampiran peraturan pemerintah
ini. Khusus untuk urusan pemerintahan bidang penanaman
modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.

Bagian kedua
Urusan Pemerintah Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan
Daerah
Pasal 6
1. Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan
sebagaiman dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) menjadi
kewenangannya.

392 Sosiologi Perkotaan


2. Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 7
1. Urusan wajib sebgaimana dimaksud dala pasal 6 ayat 2
adalah urusan pemerintahan yang wajib dislenggarakan oleh
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/atau kota, berkaitan dengan pelayanan pelayanan
dasar
2. Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Urusan pilihan sebagamana dimaksud dalam pasal 6 ayat
2 adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
4. U r u sa n p i l i h a n s eb a ga i ma n a di m ak s u d pa d a a y at 3
meliputi:
a. Kelautan dan perikanan;
b. Pertanian;
c. Kehutanan;
d. Energi dan sumber daya moneral;
e. Pariwisata;
f. Industri;
g. Perdagangan; dan
h. Ketranmigrasian.
5. Pertanian urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintah
daerah.

Sosiologi Perkotaan 393


Pasal 8
(1) Penyelenggara urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 aya (2) berpedoman pada standar pelayanan minimal yang
ditetapkan pemerintah dan dilaksanakan sacara bertahap.
(2) Pemerintah daerah yang melalaikan penyelenggara urusan
pemerintah yang bersifat wajib, penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh pemerintah dengan pembiayaan bersumber
d ar i an gg ar an p en d ap ata n dan be l an j a dae r ah ya ng
bersangkutan.
(3) Sebelum penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pemerintah melakukan langkah-
langkah pembinaan terlebih dahulu berupa teguran, intruksi,
pemeriksaan, sampai dengan penugasan pejabat pemerintah ke
daerah yang bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang bersifat wajib tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
peraturan presiden.

Pasal 9
(1) Menteri /kepal a lembaga pemerintah nondepartemen
menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.
(2) Di dalam menetapkan norma, standa, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dmaksud pada ayat (1) memerhatikan keserasian
hubungan pemerintah dengan pemerintahan daerah dan
antarpemerintahan daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melibatkan pemangku kepentingan
terkait dan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

394 Sosiologi Perkotaan


Pasal 10
(1) Menetapkan norma, standar, prisedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada pasal 9 ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya
dalam waktu dua tahun.
(2) Apabila menteri/kepala lembaga pemerintah nondepartemen
dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum menetapkan norma, prosedur, standar, dan kriteria
maka pemerintahan daerah dapat menyelenggaraka langsung
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan sampai
dengan ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan
kriteria.

Pasal 11
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib
dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)

Pasal 12
(1) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana dinyatakan
dalam lampiran peraturan pemerintah ini ditetapkan dalam
peraturan daerah selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah
ditetapkannya peraturan pemerintah ini.
(2) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 menjadi dasar penyusunan susunan organisasi
dan tata kerja perangkat daerah.

Sosiologi Perkotaan 395


BAB IV
PENGELOLAAN URUSAN PEMERINYAHAN LINTAS DAERAH
Pasal 13
(1) Pelaksanaan urusan emerintahan yang mengakibatkan dampak
lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait.
(2) Tata cara pengelolaan bersama urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
perauturan perundang-undangan.

BAB V
URUSAN PEMERINTAHAN SISA
Pasal 14
(1) Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran
peraturan pemerintah ini menjadi kewenangan masing-masing
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan kriteria pembagian urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)
(2) Dalam hal pemerintahan daerah provinsi atau pemerintah
daerah kabupaten/kota akan menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran peraturan
pemerintahan ini terlebih dahulu mengusulkan kepada
pemerintah melalui menteri dalam negeri untuk mendapat
penetapannya.

Pasal 15
(1) Menteri /kepal a lembaga pemerintah nondepartemen
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan sisa.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2)
dan ayat (3) berlaku juga bagi norma, standar, prosedur, dan
kriteria untuk urusan sisa.

396 Sosiologi Perkotaan


BAB VI
PENYELENGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 16
(1) Dalam menyelengarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah sebagimana dimaksud alam pasal 2
ayat (2), pemerintah dapat:
a. Menyelengarakan sendiri;
b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku
wakil pemerintah di daerah dalam rangka dekonsentrasi,
atau
c. Menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (4), pemerintah dapat:
a. Menyelenggarakan sendiri;
b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. Menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerinthan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
(3) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang
berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, pemerintahan daerah provinsi
dapat:
a. Menyelenggarakan sendiri; atau
b. Menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota dan/
at au pe me r i n t ah a n de s a b er d as ar ka n a sa tu g as
pembantuan.

Sosiologi Perkotaan 397


(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang
berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, pemerintahan daerah kabupaten/
kota dapat:
a. Menyelenggarakan sendiri; atau
b. Menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan
pemerintahan tersebut kepada pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.

Pasal 17
(1) Urusan pemerintahan selain yang dimaksud dalam pasal 2 ayat
(2) yang menyelenggarakannya oleh pemerintah ditugaskan
penyelenggaraannya kepada pemerintahan daerah berdasarkan
asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan
untuk menjadi urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan
apabila daerah pemerintahan telah menunjukkan kemampuan
untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan.
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada pemerintahan
daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan,
secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan
pemerintahan kabupaten/kota telah menunjukkan kemapuan
untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan.
(3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur pada
ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat daerrah,
pembiyaan, dan sarana atau prasarana yang diperlukan.
(4) Penyerahan urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi urusan pemerintahan
yang berdampak lokal dan/atau lebih berhasilguna serta
berdayaguna apabila penyelenggaraannya diserahkan kepada
pemerintahan daerah yang bersangkutan.

398 Sosiologi Perkotaan


(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan urusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
peraturan presiden.

BAB VII
PEMBINAAN URUSAN PEMERUNYAHAN
Pasal 18
(1) Pemerintahan berkewajiban melakukan pembinaan kepada
pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan
pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
(2) Apabila pemerintahan daerah ternyata belum juga mampu
mrnyelenggarakan urusan pemerintahan setelah dilakukan
pembinaan sebagaimana dimaksud ada ayat (1) maka
untuk sementara penyelenggaraannya dilaksanakan oleh
pemerintah.
(3) Pemerintah menyerahkan kembali penyelenggaraan urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila
pemerintahan daerah telah mampu menyelenggarakan urusan
pemerintahan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang belum mampu dilaksanakan oleh
pemerintahan daerah diatur dengan peraturan presiden.

Pasal 19
(1) Khusus untuk pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta
rincian urusan pemerintahanyang menjadi kewenangan
kabupaten/kota sebagaimana tertuang dalam lampiran
peraturan pemerintah ini secara otomatis menjadi kewenangan
provinsi .
(2) Urusan pemerintahan di provinsi Papua dan Provinsi Nangroe
Aceh Darusalam berpedoman pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur otonomi khusus daerah yang
bersangkutan .

Sosiologi Perkotaan 399


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan secara langsung dengan pembagaian urusan pemerintahan,
wajib mendasarkan dan menyesuaikan dengan peraturan pemerintah
ini.

Pasal 21
Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 54, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3952) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan
tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah ini.

Pasal 22
Pada saat berlakunya peraturan pemerintah ini, maka peraturan
pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3952) dan semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian urusan
pemerintahan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 23
Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan peraturan pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

400 Sosiologi Perkotaan


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 juli 2007


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007
NOMOR 82

Sosiologi Perkotaan 401


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan
terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya;
c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;
d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung
jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi;
e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-
undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;

402 Sosiologi Perkotaan


f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal
tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur
keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan
anak;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a,
b, c, d, e, dan f perlu ditetapkan Undang-undang tentang
Perlindungan Anak;

Mengingat:
1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan
Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3143);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on The Elimination of all Forms of Discrimination Against
Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3277);
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3668);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3670);
6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission
to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);
7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3886);

Sosiologi Perkotaan 403


8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan
ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and
Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms
of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan
dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);

Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN
ANAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
ketiga.
4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/
atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

404 Sosiologi Perkotaan


5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya
menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap
anak.
6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami
hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai
kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat
istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau
lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan,
pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah
satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang
anak secara wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh,
mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang
dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan
organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi
profesional dalam bidangnya.

Sosiologi Perkotaan 405


15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan
kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan,
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau
mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
meliputi:
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

406 Sosiologi Perkotaan


diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan.

Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan
terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat
sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Sosiologi Perkotaan 407


Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual,
dan sosial.

Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus
bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan diri.

Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.

408 Sosiologi Perkotaan


Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan;
dan f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak
dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: a.
penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa
bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. pelibatan
dalam peperangan.

Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak
hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Sosiologi Perkotaan 409


Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a.
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum
atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan memperoleh
keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e.
melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.

410 Sosiologi Perkotaan


Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah
Pasal 21
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnis, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/
atau mental.

Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak.

Pasal 23
(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan,
dan kesejahteraan anak dengan memerhatikan hak dan
kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum
bertanggung jawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak.

Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan
haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan anak.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat

Sosiologi Perkotaan 411


Pasal 25
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat
dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang tua
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a.
mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b.
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaan-
nya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
KEDUDUKAN ANAK
Bagian Kesatu
Identitas Anak
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahiran-
nya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan
dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan
dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses
kelahiran.

412 Sosiologi Perkotaan


(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan
orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta
kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan
orang yang menemukannya.

Pasal 28
(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah
yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-
rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal diajukannya permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan
akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Campuran
Pasal 29
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antarawarga negara Republik
Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan
dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau
berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan
salah satu dari kedua orang tuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan
dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi

Sosiologi Perkotaan 413


kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya,
pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan
Republik Indonesia bagi anak tersebut.

BAB VI
KUASA ASUH
Pasal 30
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan
tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat
dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan
kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui penetapan pengadilan.

Pasal 31
(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai
derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan
untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan
kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan
apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.
(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga
sampai dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan
fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan
untuk itu.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/
masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.
(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang
dianut anak yang akan diasuhnya.

414 Sosiologi Perkotaan


Pasal 32
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan:
a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang
tua kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai
hidup anaknya; dan
c. batas waktu pencabutan.

BAB VII
PERWALIAN
Pasal 33
(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya,
maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan
dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.
(2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.
(4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang
bersangkutan.
(5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34
Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili anak
untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

Sosiologi Perkotaan 415


Pasal 35
(1) Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan
mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat
diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang
mempunyai kewenangan untuk itu.
(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas
untuk mewakili kepentingan anak.
(3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus mendapat penetapan

Pasal 36
(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak
cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan
kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut
dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan
pengadilan.
(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai
wali melalui penetapan pengadilan.

BAB VIII
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK
Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak
Pasal 37
(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya
tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk
itu.

416 Sosiologi Perkotaan


(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang
seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang
tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan
anak harus memerhatikan agama yang dianut anak yang
bersangkutan.
(5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau
di luar Panti Sosial.
(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-
lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5).

Pasal 38
(1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnis, budaya dan bahasa, status hukum anak,
urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan,
perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta
dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain,
untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik
fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa memengaruhi
agama yang dianut anak.

Bagian Kedua
Pengangkatan Anak
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Sosiologi Perkotaan 417


(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat. (4) Pengangkatan anak oleh
warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir. (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka
agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk
setempat.

Pasal 40
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memerhatikan
kesiapan anak yang bersangkutan.

Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB IX
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu
Agama
Pasal 42
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut
agamanya.

418 Sosiologi Perkotaan


(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang
dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

Pasal 43
(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan
lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk
agamanya.
(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan,
dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

Bagian Kedua
Kesehatan
Pasal 44
(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-
garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar
setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak
dalam kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan
secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didukung oleh peran serta masyarakat.
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun
rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga
yang tidak mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sosiologi Perkotaan 419


Pasal 45
(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan
anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.
(2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu
melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaan-
nya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 46
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusaha-
kan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam
kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

Pasal 47
(1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi
anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak
lain.
(2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi
anak dari perbuatan:
a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak
tanpa memerhatikan kesehatan anak;
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek
penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi anak.

420 Sosiologi Perkotaan


Bagian Ketiga
Pendidikan
Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal
9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan.

Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan
pada:
a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak,
bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi
mereka yang optimal;
b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan
kebebasan asasi;
c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas
budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional
di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan
peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban
sendiri;
d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab;
dan
e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan
hidup.

Sosiologi Perkotaan 421


Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Pasal 52
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 53
(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya
pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan
khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar,
dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggung jawaban pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk
berperan aktif.

Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah
atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau
lembaga pendidikan lainnya.

Bagian Keempat
Sosial
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di
luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.

422 Sosiologi Perkotaan


(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak
terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat mengadakan
kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengawasannya
dilakukan oleh Menteri Sosial.

Pasal 56
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar
anak dapat:
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan
hati nurani dan agamanya;
c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai
dengan tahapan usia dan perkembangan anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan
berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat
kesehatan dan keselamatan.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan
dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan
lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu
perkembangan anak.

Pasal 57
Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya
melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak
sebagai anak terlantar.

Sosiologi Perkotaan 423


Pasal 58
(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan,
dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.
(2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib
menyediakan tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).

Bagian Kelima
Perlindungan Khusus
Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik
dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban
perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 60
Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 terdiri atas:
a. anak yang menjadi pengungsi;
b. anak korban kerusuhan;
c. anak korban bencana alam; dan
d. anak dalam situasi konflik bersenjata.

424 Sosiologi Perkotaan


Pasal 61
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan hukum humaniter.

Pasal 62
Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban
bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan
melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi,
jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang
cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.

Pasal 63
Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk
kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa
perlindungan jiwa.

Pasal 64
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak
yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana,
merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan
hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak-hak anak;

Sosiologi Perkotaan 425


b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak
dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan
dengan orang tua atau keluarga; dan g. perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
melalui:
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui
media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan
saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi
mengenai perkembangan perkara.

Pasal 65
(1) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan
melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat
menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan
ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya
sendiri.
(2) Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) untuk menikmati budayanya
sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan

426 Sosiologi Perkotaan


menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses
pembangunan masyarakat dan budaya.

Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:
a. p en y eb ar l u as an d an / a tau s os i al i sa si k et en t u an
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan,
serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap
anak secara ekonomi dan/atau seksual.
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi
terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 67
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan
terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui
upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh
pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang dengan sengaja
menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak
dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Sosiologi Perkotaan 427


Pasal 68
Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan,
dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau
perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69
Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual
dilakukan melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak
kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 70
Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya:
perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak
anak; pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan memperoleh
perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi
sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. Setiap orang
dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan
mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan
dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.

Pasal 71
Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan
penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan
melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh

428 Sosiologi Perkotaan


pemerintah dan masyarakat. Setiap orang dilarang menempatkan,
membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi
perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).

BAB X
PERAN MASYARAKAT
Pasal 72
(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya
untuk berperan dalam perlindungan anak.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan
anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan
usaha, dan media massa.

Pasal 73
Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XI
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Pasal 74
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan
perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

Pasal 75
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri
atas 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu)
orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota.

Sosiologi Perkotaan 429


(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri atas unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat,
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi,
mekanisme kerja, dan pembiayaan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.

Pasal 76
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas: melakukan
sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan
informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak; memberikan laporan, saran, masukan, dan
pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun
sosial,

430 Sosiologi Perkotaan


c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan,
atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59,
padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka
berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Sosiologi Perkotaan 431


(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang
melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain.

Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).

432 Sosiologi Perkotaan


Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik
anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).

Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak
lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).

Pasal 85
(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau
jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa
memerhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang
menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang
tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi
anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).

Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama
lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut

Sosiologi Perkotaan 433


diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung
jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau
memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau
pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan
sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 89
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,
produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,
produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

434 Sosiologi Perkotaan


tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda
paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 90
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83,
Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89
dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan
kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah
1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 91
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang
sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu)
tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.

Pasal 93
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Sosiologi Perkotaan 435


Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002
NOMOR 109

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
Ttd.
Edy Sudibyo

436 Sosiologi Perkotaan


BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama lengkap Adon Nasrullah Jamaludin. Lahir di
Bekasi pada tanggal 27 Maret 1972. Hingga sekarang penulis tinggal
di Kp. Calingcing RT/RW 02/04 Desa/Kecamatan Kersamanah
Kabupaten Garut. Bisa dihubungi lewat e-mail adon.nasrullah@yahoo.
co.id. Atau kontak ke nomor 081322127676
Pendidikan Dasarnya hingga SLTP dihabiskan di Kota Bekasi.
Di antaranya SDN Pulopanjang di Sukatani-Bekasi lulus pada
tahun 1985, kemudian ke Madrasah Tsanawiyah di Sukatani-Bekasi
lulus tahun 1988, selanjutnya ke PGAN Cilamaya-Karawang lulus
tahun 1991. Setelah itu melanjutkan ke S-1 IAIN Jurusan Dakwah
Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung lulus pada tahun 1996,
dan melanjutkan pula ke S-2 UIN Sunan Gunung Djati Bandung
lulus pada tahun 2003. Tahun 2011 penulis melanjutkan ke Jenjang
S-3 Program Doktor, lulus tahun 2013.
Sejak 1997 penulis diangkat menjadi
dosen tetap pada mata kuliah Sosiologi di
Jurusan Sosiologi Fakultas Ushuluddin
UIN SGD Bandung. Sejak tahun 2012
hingga sekarang menjadi dosen tetap di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Sunan
Gunung Djati Bandung. Selama menjadi
dosen, penulis telah menduduki beberapa
jabatan di Fakultas di antaranya Sekretaris
Jurusan Da’wah tahun 1997, Sekretaris
Jurusan Sosiologi selama dua periode
(1998-2006), kemudian Ketua Laboratorium
(2007-2009), ketua Jurusan Sosiologi (2009-2012), ketua Jurusan
Perbandingan Agama (2012-2013) dan terakhir Ketua Laboratorium
di Fisip UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Beberapa karya ilmiah yang pernah ditulisnya berbentuk buku
daras di antaranya Metode Penulisan Skripsi Untuk Mahasiswa (2010),
Sejarah Program Studi Sosiologi Fak. Ushuluddin (2009), Sosiologi Agama
(2011), Metode Penelitian Kualitatif (2013) dan Sosiologi Perkotaan
(2014). Sedangkan karya lainnya seperti Nafas Islam Jilid 1 dan 2
(2009), Untaian Hikmah di Malam Ramadhan (2008), Kisah dan Hikmah:
Kumpulan Kisah Teladan Kehidupan Anak Zaman (2010).

Sosiologi Perkotaan 437


438 Sosiologi Perkotaan

Anda mungkin juga menyukai