SGD Hbot Kelompok 4
SGD Hbot Kelompok 4
SGD Hbot Kelompok 4
Dosen Fasilitator:
Erna Dwi Wahyuni S.Kep., Ns., M.Kep.
Disusun Oleh:
Ida Trisnawati NIM. 131814153009
Bernadetta Germia Aridamayanti NIM. 131814153066
Maria Fransiska Ronalia NIM. 131814153082
Dimas Hadi Prayoga NIM. 131814153098
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan
karuniaNya, kami dapat menyelesaikan makalah Small Group Discussion dengan judul
“Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) sebagai Terapi Komplementer Pada Pasien Ulkus
Diabetikum dengan Media Gamow Bag”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas
Keperawatan Medikal Bedah I Sistem Endokrin. Kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan tugas ini. Akhir kata, semoga tugas ini dapat membawa
manfaat.
Surabaya, September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................
1.3 Tujuan..................................................................................................................
1.4 Manfaat................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR KONSULTASI
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama karena
komplikasinya bersifat jangka pendek dan jangka panjang (Bilous & Donelly, 2014). Salah
satu bentuk komplikasi kronik yang umum dijumpai pada penyandang diabetes melitus
adalah diabetic foot ulcer (Prompers et al, 2008). Masalah tersebut dapat menimbulkan
masalah kaki lainnya yang umum terjadi diantaranya kapalan (callus), kulit kaki retak
(fissure) dan radang ibu jari kaki (Soegondo, 2013). Bila tidak dirawat dengan baik kaki
diabetes akan mudah mengalami luka, dan mudah berkembang menjadi gangren yang
berisiko tinggi untuk diamputasi.
Jumlah pasien diabetes meningkat, dengan lebih 346 juta orang diperkirakan menderita
diabetes secara global dan jumlah ini diperkirakan terus meningkat menjadi 592 juta pada
tahun 2035 (Bhandari and Kim, 2016; Waki et al., 2016). Penelitian epidemiologi
menunjukan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2
diberbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita diabetes
yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Sekitar 20-25% penduduk berusia 65 tahun
di Amerika Serikat dan Korea menderita diabetes (Song et al., 2015). WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030 dan komposisinya lebih banyak pada usia muda dan usia produktif.
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009 akan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030.
Prevalensi DM bedasarkan pemeriksaan darah pada penduduk umur ≥ 15 tahun pada
tahun 2013 sampai 2018 meningkat dari 6,9% menjadi 10,9%. Jawa Timur menempati posisi
kelima prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 menurut
provinsi 2013-2018 setelah DKI, Kaltim, DIY dan Sulut (RISKESDAS, 2018). Indonesia
menduduki peringkat ketujuh sebagai negara dengan jumlah penderita DM terbanyak di
dunia yakni sekitar 8,5 juta orang (IDF, 2013). Insidensi diabetic foot ulcer pada penderita
diabetes dilaporkan sekitar 1-4% dan akan berisiko dilakukan amputasi (ujung kaki, kaki,
atau tungkai) pada pasien tersebut sebesar 10-30 kali lipat (Bilous & Donelly, 2014).
Penelitian lain yang dilakukan di Amerika Serikat juga diperoleh data bahwa sekitar 85%
kasus amputasi ekstremitas bawah diakibatkan oleh diabetes yang mengawali terbentuknya
ulserasi kaki (Boulton et al, 2008; Frykberg, 2002). Diestimasikan kejadian amputasi kaki
terjadi setiap 20 detik karena komplikasi dari diabetes (Hinchcliffe et al, 2012). Di seluruh
dunia, prevalensi diabetes pada orang dewasa di dunia yang berumur 20-79 tahun akan
menjadi 6,4%, berpengaruh kepada 285 juta orang tahun 2010 dan meningkat menjadi 7,7%
pada tahun 2030 dan berpengaruh kepada 439 juta orang. Diantara tahun 2010 dan 2030
jumlah penderita diabetes akan meningkat sebesar 69% di negara berkembang, dan 20% di
negara maju.
Salah satu komplikasi dari DM adalah neuropati, berupa berkurangnya sensasi di kaki dan
sering dikaitkan dengan luka pada kaki. Neuropati perifer menyebabkan hilangnya sensasi di
daerah distal kaki yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki bahkan
amputasi. Neuropati sensori motorik kronik adalah jenis yang sering ditemukan dari
neuropati diabetikum. Seiring dengan lamanya waktu menderita diabetes dan mikroangiopati,
maka neuropati diabetikum dapat menyebabkan ulkus pada kaki, deformitas bahkan
amputasi. Ulkus kaki pada neuropati sering kali terjadi pada permukaan plantar kaki yaitu di
area yang mendapat tekanan tinggi, seperti area yang melapisi kaput metatarsal maupun area
lain yang melapisi deformitas tulang. Ulkus kaki diabetik berkontribusi terhadap >50% ulkus
kaki penderita diabetes dan sering tidak menimbulkan rasa nyeri disertai lebam. Neuropati
perifer merupakan penyebab ulserasi yang susah dikontrol pada kaki penderita DM.
Hilangnya sensasi mengakibatkan hilangnya nyeri dan dapat disertai oleh kerusakan kulit
baik karena trauma maupun tekanan sandal dan sepatu yang sempit yang dipakai penderita
sehingga dapat berkembang menjadi lesi dan infeksi. Penggunaan alas kaki yang tidak sesuai
ukuran dan neuropati motorik akan merubah karakteristik dari postur kaki sehingga membuat
kaki menjadi melengkung, ujung kaki menekuk dan membuat tekanan yang pada tumit dan
kaput metatarsal yang akhirnya akan membuat kulit menjadi tebal (kalus) yang sewaktu
waktu dapat pecah sehingga menimbulkan ulkus. Luka yang timbul secara spontan maupun
karena trauma dapat menyebabkan luka terbuka yang mampu menghasilkan gas gangren
berakibat terjadinya osteomielitis. Gangren kaki merupakan penyebab utama dilakukan
amputasi kaki kaki nontraumatik. Penderita DM sangat rentan mengalami amputasi
disebabkan kondisi penyakit yang kronik dan risiko komplikasi yang lebih besar.
Selain terapi farmakologis, terdapat terapi non farmakologis yang sudah sejak dulu
digunakan. Teknik perawatan luka DM adalah dimulai dengan pencucian luka dengan NaCl
0,9%, debridement dengan metode autolisis dapat juga dengan menggunakan biomekanikal
seperti larva/belatung dan dressing. Saat ini telah berkembang terapi alternatif dengan
menggunakan oksigen murni sebagai sumber pengobatan. Terapi ini kemudian lebih dikenal
dengan istilah Hyperbaric Oxigen Therapy (HBOT) (Löndahl, 2013b). Terapi ini biasanya
ditemukan di sejumlah Rumah Sakit Angkatan Laut di Indonesia. Terapi Hiperbarik pada
awalnya ditujukan bagi para penyelam untuk membiasakan diri setelah melakukan
penyelaman. Para penyelam biasanya mengalami dekompresi akibat perbedaan tekanan di
bawah laut, dan untuk menyesuaikan kembali ke kondisi normal daratan dilakukan terapi
dengan memanfaatkan oksigen bertekanan khusus. Rumah Sakit yang menyediakan teknik
pengobatan ini umumnya memiliki fasilitas pengobatan khusus atau hiperbarik center.
Struktur bangunan juga biasanya disesuaikan untuk tekanan udara tinggi. Terapi dilakukan
dalam sebuah tabung silinder khusus yang disebut Chamber. Tabung tersebut merupakan
tabung dengan material baja yang berbentuk seperti kapal selam. Umumnya terapi hiperbarik
ini dilakukan tidak sendirian, namun oleh beberapa pasien sekaligus. Tabung atau Chamber
biasanya berkapasitas 10 orang pasien ditambah dengan seorang instruktur. Di dalam tabung,
pasien dalam posisi duduk dan mengenakan masker seperti penyelam untuk menghirup udara.
Terapi akan dilakukan selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Dengan interval istirahat setiap
30 menit, selama masing-masing 5 menit.
Bagi pasien diabetes melitus, HBOT dapat bermanfaat untuk mengatasi komplikasi
masalah kesehatan yang biasanya sering terjadi. Adapun komplikasi tersebut disebabkan
karena kadar gula darah yang tinggi dalam tubuh berlangsung pada waktu lama sehingga
merusak pembuluh darah dan sistem saraf. Suplai oksigen dari HBOT mampu memperbaiki
fungsi saraf dan memperlancar peredaran darah, serta dapat meningkatkan kinerja insulin
pasien diabetes. Mekanisme HBOT melalui dua mekanisme yang berbeda. Pertama, bernafas
dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber) yang
tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer. Kedua, di bawah tekanan atmosfer,
lebih banyak oksigen gas terlarut dalam plasma. Kelebihan dari HBOT tidak hanya dapat
diberikan kepada pasien dengan ulkus diabetikum namun juga dapat diberikan ke berbagai
jenis penyakit lainnya seperti gangguan akibat menyelam, stroke, jantung, luka bakar,
kecantikan bahkan untuk anak-anak dengan autisme. Namun, kekurangan dari HBOT ini
adalah chamber yang permanent sehingga setiap pasien harus mendatangi pelayanan
kesehatan secara teratur dan juga pembiyaan yang mahal, sehingga pada makalah ini
kelompok akan menjabarkan beberapa pembaharuan yang dapat mempermudah penerapan
HBOT bagi pasien.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Menjelaskan metode hyperbaric oxygen therapy (HBOT) sebagai terapi adjuvan pada
pasien ulkus diabetikum.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Menjelaskan konsep dasar diabetes melitus
2. Menjelaskan konsep dari ulkus diabetikum
3. Menjelaskan konsep dasar Hyperbaric oxygen theraphy (HBOT) serta
pembaharuannya
4. Menjelaskan penelitian yang berhubungan denganefektifitas Hyperbaric oxygen
theraphy (HBOT) terhadap luka ulkus diabetikum.
1.3 Manfaat
1.3.1 Penderita diabetes mellitus dengan ulkus diabetikum dapat memperoleh informasi
tentang penyakitnya sehingga tidak mengalami komplikasi lebih lanjut.
1.3.2 Perawat dan sejawat mendapatkan tambahan referensi untuk menangani klien diabetes
mellitus dengan ulkus diabetikum agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.
1.3.3 Pembaca dapat mengetahui dan memahami adanya komplikasi yang dapat terjadi
pada penderita diabetes mellitus dengan ulkus diabetikum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola
retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-
saraf perifer (neuropati diabetik). Luka ulkus diabetikum merupakan keadaan
yang diawali dari adanya hipoksia jaringan, yaitu berkurangnya sejumlah
oksigen dalam jaringan, hal tersebut akan mempengaruhi aktivitas vaskuler
dan seluler jaringan, sehingga akan berakibat terjadinya kerusakan jaringan.
Kerusakan pada jaringan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Sel,
platelet dan kolagen tercampur dan mengadakan interaksi. Leukosit melekat
pada sel endotel pembuluh darah mikro setempat, pembuluh darah yang rusak
akan tersumbat tetapi pembuluh darah yang ada didekatnya, terutama venula
dengan cepat akan mengadakan dilatasi. Leukosit bermigrasi diantara sel-sel
endotel ke tempat yang rusak dan dalam beberpa jam tepi daerah jaringan
yang rysak sudah diinfiltrasi oleh granulosit dan makrofag. Leukosit yang
rusak segera digantikan oleh fibroblas yang juga sedang bermetabolisme
dengan cepat, sehingga dibutuhkan kemampuan sirkulasi yang besar, tetapi
keadaan tersebut tidak didukung oleh sirkulasi yang baik, sehingga hal itu
dapat menyebabkan hipoksia jaringan, hingga akhirnya menjadi ulkus
diabetikus.
b. Makroangiopati
Makroangiopati mempunyai gambaran histopatologis berupa
aterosklerosis yang akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai
arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan penyakit pembuluh darah
perifer (misalnya kaki diabet). Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan
aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium. Dan jika
yang terkena adalah arteri serebral makadapat mengakibatkan stroke.
Gambar 2.1 Patofisiologi ulkus diabetikum yang diadopsi dari The Journal Foot Angle
Surgery, vol. 5 (Frykberg. Et al, 2006)
Gambar 2.4 Fase Respirasi menurut Mahdi (2009) dalam Buku Ilmu
Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik
1) Fase Ventilasi
Fase ventilasi merupakan penghubung antara fase transportasi dan
lingkungan gas diluar. Fungsi dari saluran pernapasan adalah menghirup O 2
dan membuang CO2 yang tidak diperlukan dalam metabolisme. Gangguan
yang terjadi dalam fase ini akan menyebabkan hipoksia jaringan. Gangguan
tersebut meliputi gangguan membran alveoli, atelektasis, penambahan ruang
rugi, ketidakseimbangan ventilasi alveolar dan perfusi kapiler paru (Mahdi,
2009).
2) Fase Transportasi
Fase ini merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan organ-
organ sel dan jaringan). Fungsinya adalah menyediakan gas yang dibutuhkan
dan membuang gas yang dihasilkan oleh proses metabolisme. Gangguan dapat
terjadi pada aliran darah lokal atau umum, hemoglobin, shunt anatomis atau
fisiologis. Hal ini dapat diatasi dengan merubah tekanan gas di saluran
pernapasan (Mahdi, 2009).
3) Fase Utilisasi
Pada fase utilisasi (pemanfaatan atau penggunaan) terjadi metabolisme
seluler, fase ini dapat terganggu apabila terjadi gangguan pada fase ventilasi
maupun transportasi. Gangguan ini dapat diatasi dengan hiperbarik oksigen,
kecuali gangguan itu disebabkan oleh pengaruh biokimia, enzim, cacat atau
keracunan (Mahdi, 2009).
4) Fase Difusi
Fase ini adalah fase pembatas fisik antara ketiga fase tersebut dan
dianggap pasif, namun gangguan pada pembatas ini akan mempengaruhi
pertukaran gas (Mahdi, 2009).
b. Transportasi dan Utilisasi Oksigen
1) Efek Kelarutan Oksigen dalam Plasma
Pada tekanan barometer normal, oksigen yang larut dalam plasma
sangat sedikit. Namun pada tekanan oksigen yang aman 3 ATA, dimana PO 2
arterial mencapai ±2000 mmHg, tekanan oksigen meningkat 10 sampai 13 kali
dari normal dalam plasma. Oksigen yang larut dalam plasma sebesar ± 6 vol %
(6 ml O2 per 100 ml plasma) yang cukup untuk memberi hidup meskipun tidak
ada darah (Mahdi, 2009).
2) Hemoglobin (Hb)
1 gr Hb dapat mengikat 1,34 ml O 2, sedangkan konsentrasi normal dari
Hb adalah ±15 gr per 100 ml darag. Bila saturasi Hb 100% maka 100 ml dapat
mengangkut 20,1 ml O2 yang terikat pada Hb (20,1 vol %). Pada tekanan
normal setinggi permukaan laut, dimana PO2 alveolar dan arteri ± 100 mmHg,
maka saturasi Hb dengan O2 ± 97% dimana kadar O2 dalam darah adalah 19,5
vol %. Saturasi Hb akan mencapai 100% pada PO 2 arteri antara 100-200
mmHg (Mhadi, 2009).
3) Utilisasi O2
Utilisasi O2 rata-rata tubuh manusia dapat diketahui dengan mengukur
perbedaan antara jumlah O2 yang ada dalam darah arteri waktu meninggalkan
paru dan jumlah O2 yang ada dalam darah vena diarteri pulmonalis. Darah
arteri mengandung ± 20% Oksigen, sedangkan darah vena mengandung ± 14
% vol oksigen sehingga 6 vo % oksigen dipakai oleh jaringan (Mahdi, 2009).
4) Efek Kardiovaskuler
Pada manusia, oksigen hiperbarik menyebabkan penurunan curah
jantung sebesar 10-20%, yang disebabkan oleh terjadinya bradikardia dan
penurunan isi sekuncup. Tekanan darah umumnya tidak mengalami perubahan
selama pemberian hiperbarik oksigen. Pada jaringan yang normal HBO dapat
menyebabkan vasokontriksi sebagai akibat naiknya PO2 arteri. Efek
vasokontriksi ini kelihatan merugikan, namun perlu diingat bahwa pada PO2
±2000 mmHg, oksigen yang tersedia dalam tubuh adalah 2x lebih besar dari
pada biasanya. Pada keaadaan dimana terjadi edema, efek vasokontriksi yang
ditimbulkan oleh hiperbarik oksigen jurstru dikehendaki, karena akan dapat
mengurangi edema (Mahdi, 2009).
2.3.3 Mekanisme
Mekanisme HBOT melalui dua mekanisme yang berbeda. Pertama, bernafas
dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber)
yang tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat
menekan saturasi hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang
berfungsi mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke jaringan.
Bernafas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada saturasi
hemoglobin (R. M. Stoekenbroek et al., 2014).
Kedua, di bawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut dalam
plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam plasma jauh
lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan HBOT kontribusi
transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya,
menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer. Hasil tekanan dalam
peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut dalam plasma. Itu adalah
konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan tubuh saat istirahat bahkan dalam
total tidak adanya hemoglobin (Moon et al., 2014).
Sistem kerja HBOT, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih
dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100%)
kedalam ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita
hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80%nya adalah
nitrogen. Pada HBOT, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan nomal
dan pasien bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan
tinggi, menyebabkan tekanan yang akan melarutkan oksigen kedalam darah serta
jaringan dan cairan tubuh lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali
lebih tinggi dari normal. Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami
jaringan, hal ini merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang perkembangan
pembuluh darah baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi pembengkakan
(Margolis et al., 2013).
Radikal bebas nitrogen oksida atau nitrit oksida merupakan molekul kimia
reaktif pada otot polos, meyebabkan vasodilatasi dan relaksasi otot polos organ tubuh
lain. Terdapat dua sel yang berperan pada sintesi NO oleh sel makrofag, yaitu sel
makrofag itu sendiri dan sel limfosit T (Sel T-CD4/ T Helper/ TH) (Gunawijaya,
2000).
Proses aktifasi sel makrofag diawali oleh paparan komponen endotoksin
bakteri pada sel makrofag sehingga makrofag melepaskan tumor necrosis factor
(TNF). Tumor necrosis factor yang dilepaskan akan siap mempengaruhi sel makrofag
lain yang sudah teraktifasi oleh sel limfosit T. Paparan endotoksin tersebut juga
mengaktivasi sel limfosit T, untuk melepaskan interferon-γ (IFN- γ). Selanjutnya IFN-
γ akan siap mengaktivasi sel makrofag untuk mensintesis i-NOS. Maka dimulailah
proses sintesis NO dalam proses sintesis NO dalam sel makrofag yang teraktivasi.
Sintesis ini diawali oleh ikatan IFN- γ yang dilepaskan oleh sel limfosit T melalui
reseptornya dipermukaan sel makrofag (Gunawijaya, 2000).
Ikatan ini mencetus sintesis i-NOS dalam sel makrofag, yang siap berperan
dalam sintesis NO. Tumor necrosis factor yang dilepaskan oleh sel makrofag lain akan
berikatan dengan reseptornya dipermukaan sel makrofag yang sudah mengandung
iNOS tadi. Ikatan ini mengaktifasi i-NOS yang sudah terbentuk, dengan bantuan ko-
faktor tetrahidrobiopterin terjadi reaksi katalisis asam amino L-arginin menjadi NO
dan L-citrulline. Akhirnya NO akan dilepaska, keluar dari sel makrofag (Gunawijaya,
2000).
HBO memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel
endotel. Pada sel endotel ini HBO juga meningkatkan vascular endotel growth factor
(VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan nucleotide acid dihidoxi (NADH)
yang memicu peningkatan fibroblas. Fibroblast diperlukan untuksintesis proteoglikan
dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling,
salah satu tahapan dalam penyembuhan luka (Mahdi, 2009).
Mekanisme diatas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBO yaitu
wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema
infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah
edema ini mengalami kondisi hipooksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast
sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi
pada daerah edema tersebut. Maka, kondisi daerah luka tersebut menjadi
hipervaskuler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi
peningkatan IFN- γ, i-NOS dan VEGF. IFN- γ menyebabkan sel T-CD4 (TH-1)
meningkat yang berpengaruh pada β-cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Dengan
meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga
pemberian HBO pada luka akan berfungsi menurunkan infeksi dan edema (Mahdi,
2009).
Adapun cara HBO pada prinsipnya adala diawali dengan pemberian O2 100%,
tekanan 2—3 Atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion
sickness. Makan akan terjadi kerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar
luka. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, peningkatan
leukosit killing serta angiogenesis yang menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka.
Kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan aliran darah mikrovaskular (Mahdi,
2009).
Luka diabetes yang dilakukan terapi HBO akan mengalami reduksi luas luka
pada minggu ke 6. Densitas kapiler meningkat mengakibatkan daerah yang
mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai responnya, akan terjadi
peningkatan NO hingga 4-5x dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA
selama 2 jam. Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien dengan diabetes
mellitus dimana memiliki luka yang suka sembuh karena buruknya perfusi dan
oksigenasi jaringan di daerah distal (Mahdi, 2009). Prosedur pemberian HBO yang
dilakukan pada tekanan 2-3 ATA dengan O2 intermitten akan mencegah keracunan O2.
Efek samping biasanya akan mengenai sistem saraf pusat seperti timbulnya mual,
kedutan pada otot muka dan perifer serta kejang, selain itu efek samping bisa
mengenai paru-paru yaitu batuk, sesak dan nyeri substernal (Mahdi, 2009).
2.3.4 Indikasi
Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-
penyakit akibat penyelaman dan kegiatan kelautan, penyakit dekompresi, emboli
udara, luka bakar, crush injury, keracunan gas karbon monoksida (CO). Terdapat
beberapa pengobatan tambahan, yaitu komplikasi diabetes mellitus (gangrene
diabeticum), eritema nodosum, osteomyelitis, buerger’s diseases, Morbus Hansen,
Psoriasis vulgaris, Edema serebra, Scleroderma, Lupus eritematosus (SLE),
Rheumatoid artritis. Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu pelayanan kesehatan dan
kebugaran, pelayanan kesehatan olahraga, pasien lanjut usia (geriatri) serta
dermatologi dan kecantikan (Irawan & Kartika, 2016).
2.3.5 Kontraindikasi
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik terdiri dari kontraindikasi absolute
dan relatif. Kontra indikasi absolute yaitu penyakit pneumothorax yang belum
ditangani. Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah
sistolik lebih dari 170 mmHg atau kurang dari 90 mmHg, diastole lebih dari 110
mmHg atau kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih dari 38oC, ISPA, sinusitis,
Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma, emfisema dan retensi
CO2, infeksi virus, infeksi kuman aerob seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat
neuritis optik, riwayat operasi thorax dan telinga, wanita hamil, penderita sedang
kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin (Moon et al., 2014).
2.3.6 Persiapan
Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain (Johnston et al., 2016):
1. Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum proses
terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga mengurangi
penghantaran oksigen ke jaringan.
2. Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik
antara lain vitamin c, morfin dan alkohol.
3. Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak memakai
perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar petroleum,
kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
4. Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau alkohol
(yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne, parfum, salep)
dilarang karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen
hiperbarik.
5. Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir rambut,
dan lain-lain sebelum memasuki ruang untuk mencegah goresan akrilik silinder di
ruang hiperbarik.
6. Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena pembentukan potensi
gelembung antara lensa dan kornea.
7. Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari
percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan kebakaran.
8. Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih
dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. Evaluasi mencakup
penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap terapi oksigen
hiperbarik pada kondisi pasien.
9. Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien. Pasien umumnya
berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi pasien diberikan
waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan
oksigen pada pasien.
10. Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin sehingga satu pasien
dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
11. Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat
apakah terjadi komplikasi hiperbarik pada pasien.
12. Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara normal (jangan
menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi gas
atau minum sebelum perawatan
2.4 Penelitian Hyperbaric oxygen theraphy (HBOT) terhadap luka ulkus diabetikum.
Keaslian pada penelitian ini menggunakan database Scopus dengan kata kunci “HBOT” AND “ DFU” AND “Inovation of
HBOT” tahun publikasi dari 2014-2018, subject area nursing ditemukan 20 publikasi yang digunakan dalam keaslian penelitian
sebanyak 5 jurnal sebagai pendukung dan pembanding dalam penerapan HBOT pada luka ulkus diabetikum.
No Judul penelitian, Population Intervention Compare Outcome Time
(P) (I) (C) (O) (T)
. nama peneliti
1. Impact of Empat puluh lima Terapi oksigen Terapi laser intensitas Pengukuran luas Maret
Different pasien diabetes hiperbarik: Pasien rendah: Pasien merasa permukaan ulkus dan 2014 –
Therapeutic tergantung non- duduk dengan nyaman nyaman posisi pada volume untuk semua Januari
Modalities on insulin dari kedua di ruang bertekanan tempat tidur tinggi yang pasien dalam tiga 2015
Healing of jenis kelamin udara dan menghirup dapat disesuaikan, dan kelompok dilakukan
Diabetic Foot yang rumit oksigen melalui luka pada kaki sebelum pengobatan
Ulcer dengan ulkus kaki masker wajah dalam diletakkan di atas bantal dan setelah dua bulan
derajat II. Usia ruangan selama 90 dan ditutup dengan pada program
(McCulloch, mereka berkisar menit pada 2,5 ATA. steril handuk. Pasien pengobatan. Ada
Asla, & antara 35 hingga Perlakuan diterapkan 5 dan operator perbedaan yang
Armstrong, 50 tahun. hari per seminggu menggunakan signifikan secara
2015) selama 8 minggu. pelindung kacamata statistik antara tingkat
menggunakan rata-rata dari parameter
goniometer lengan yang diteliti dalam
panjang; silinder laser kelompok terapi laser
telah disesuaikan dan kelompok HBO
menjadi tegak lurus dan kelompok HBO &
terhadap ulkus. kelompok terapi
Frekuensi pemindaian ultrasound pulsed
jenis He-Ne dengan setelah pengobatan. Di
frekuensi 50-60 Hz dan mana tidak ada
luka dirawat selama 20 perbedaan yang
menit pada intensitas 4 signifikan antara
J / cm2. Setelah aplikasi kelompok terapi laser
laser ulkus ditutupi & kelompok terapi
dengan kain kasa steril. ultrasound pulsed (p>
Pasien diterima tiga sesi 0,05).
setiap minggu selama
dua bulan.
Dari 20 jurnal yang kelompok, kami juga menemukan 3 jurnal yang menjadi dasar pembaharuan pada Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) ini
2. Wireless transmission of biosignals Mengusulkan menggunakan jaringan Perangkat yang terletak di luar HC
for hyperbaric chamber applications berbasis ZigBee untuk mengirim secara bertindak sebagai root jaringan dan
nirkabel biosignals pasien ke luar ruangan. menerima informasi dari berbagai
Judul Karya Ilmiah, Penulis, dan
No Intervensi Hasil
Tahun
(Perez-Vidal, Gracia, Carmona, Secara khusus, baterai yang dapat node di dalam ruangan. Karya ini
Alorda, & Salinas, 2017) dikenakan telah menghadirkan jaringan berbasis
perangkat yang didukung telah dirancang, ZigBee untuk mendapatkan sistem
diimplementasikan dan diuji. nirkabel untuk pemantauan
biosignal listrik pasien dalam aplikasi
ruang hiperbarik. Sistemnya sudah
dirancang dengan tujuan berikut:
1. Konsumsi daya rendah untuk
mengurangi ukuran catu daya
untuk mendapatkan perangkat
yang dapat dikenakan alat.
2. Biaya rendah karena harga
komponen yang digunakan dalam
implementasi
3. Pemantauan real-time agar hal-hal
medis untuk mengamati biosignals
listrik segera.
4. Ketahanan tekanan agar perangkat
untuk mendukung hingga 6
atmosfer.
3. Portable Hyperbaric Oxygen Setiap subjek merokok lima batang rokok Peningkatan yang signifikan dalam
Judul Karya Ilmiah, Penulis, dan
No Intervensi Hasil
Tahun
Therapy in the Emergency dalam waktu 60 menit. Level COHb diukur penghapusan COHb adalah
Department With the Modified sebelum dan sesudah diamati untuk setiap subjek dalam
Gamow Bag merokok dengan cara cooximetry. Subyek kantong Gamow (P <.05, pengulangan
lalu menarik nafas oksigen hiperbarik dan ulang ANOVA). Waktu paruh rata-rata
(Jay, Tetz, Hartigan, Lane, & normobarik dalam percobaan terpisah untuk untuk eliminasi COHb adalah 27,5 +
Aghababian, 2015) 40 menit. Oksigen normobarik diberikan 1,08 menit (rata-rata + SE) (n = 10).
melalui nonrebreather masker wajah pada Subjek menghirup oksigen pada 1,58
15 L / menit di luar tas Gamow. ATA dalam modifikasi Tas Gamow
Oksigen hiperbarik dikirim di dalam tas dihilangkan COHb lebih cepat
Gamow dengan masker regulator katup daripada subyek yang menerima
permintaan pada tekanan 1,58 atmosfer oksigen masker nonrebreather. Saat
tekanan absolut (8,5 psi). Darah vena (0,5 ini, perawatan dengan kantong
mL) adalah disampel setiap 5 menit. Gamow merupakan penstabilkan
Spesimennya es dan diuji untuk COHb intervensi ketika masalah logistik
dalam rangkap tiga. disingkirkan transfer pasien yang
cepat ke ruang hiperbarik yang kaku.
Pekerjaan lebih lanjut diperlukan
untuk memvalidasi apakah hiperbarik
oksigen pada 2.0 ATA memiliki nilai
terapeutik di dalam pengobatan
Judul Karya Ilmiah, Penulis, dan
No Intervensi Hasil
Tahun
keracunan CO.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabates Association 2010, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus,
Diabetes Care. http://care.diabetesjournals.org. Diakses tanggal 19 September
pukul 03.00 WIB
Arif M, Mansjoer. 2005. Kapital selekta kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Chen, J., Jin, W., Dong, W. S., Jin, Y., Qiao, F. L., Zhou, Y. F., & Ren, C. C. (2017). Effects of
Home-based Telesupervising Rehabilitation on Physical Function for Stroke Survivors
with Hemiplegia. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation, 96(3), 152–
160. https://doi.org/10.1097/PHM.0000000000000559
Fedorko, L., Bowen, J. M., Jones, W., Oreopoulos, G., Goeree, R., Hopkins, R. B., &
O’Reilly, D. J. (2016). Hyperbaric oxygen therapy does not reduce indications for
amputation in patients with diabetes with nonhealing ulcers of the lower limb: A
prospective, double-blind, randomized controlled clinical trial. Diabetes Care, 39(3),
392–399. https://doi.org/10.2337/dc15-2001
George, K., Ross, D., & Rowe, L. (2017). Integration of data to establish a standard operating
procedure for the diabetic patient undergoing hyperbaric oxygen therapy. Journal of
Wound, Ostomy and Continence Nursing, 44(6), 546–549.
https://doi.org/10.1097/WON.0000000000000377
Irawan, H., & Kartika. (2016). Terapi Oksigen Hiperbarik sebagai Terapi Adjuvan Kaki
Diabetik, 43(10), 782–785.
Jay, G. D., Tetz, D. J., Hartigan, C. F., Lane, L. L., & Aghababian, R. V. (1995). Portable
Hyperbaric Oxygen Therapy in the Emergency Department With the Modified Gamow
Bag. Annals of Emergency Medicine, 26(6), 707–711. https://doi.org/10.1016/S0196-
0644(95)70042-0
Johnston, B. R., Ha, A. Y., Brea, B., & Liu, P. Y. (2016). The Mechanism of Hyperbaric
Oxygen Therapy in the Treatment of Chronic Wounds and Diabetic Foot Ulcers. Rhode
Island Medical Journal (2013), 99(2), 24–27. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26827082
Kairy, D., Veras, M., Archambault, P., Hernandez, A., Higgins, J., Levin, M. F., … Kaizer, F.
(2016). Maximizing post-stroke upper limb rehabilitation using a novel telerehabilitation
interactive virtual reality system in the patient’s home: Study protocol of a randomized
clinical trial. Contemporary Clinical Trials, 47, 49–53.
https://doi.org/10.1016/j.cct.2015.12.006
Kranke, P., Bennett, M. H., Martyn-St James, M., Schnabel, A., Debus, S. E., & Weibel, S.
(2015). Hyperbaric oxygen therapy for chronic wounds (Review). Cochrane Database
of Systematic Reviews, (6), 5–20.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD004123.pub4.www.cochranelibrary.com
Liu, R., Li, L., Yang, M., Boden, G., & Yang, G. (2013). Systematic review of the
effectiveness of hyperbaric oxygenation therapy in the management of chronic diabetic
foot ulcers. Mayo Clinic Proceedings, 88(2), 166–175.
https://doi.org/10.1016/j.mayocp.2012.10.021
Löndahl, M. (2013a). Hyperbaric Oxygen Therapy as Adjunctive Treatment for Diabetic Foot
Ulcers. The International Journal of Lower Extremity Wounds, 12(2), 152–157.
https://doi.org/10.1177/1534734613486154
Löndahl, M. (2013b). Hyperbaric oxygen therapy as adjunctive treatment of diabetic foot
ulcers. Medical Clinics of North America, 97(5), 958–980.
https://doi.org/10.1016/j.mcna.2013.04.004
Margolis, D. J., Gupta, J., Hoffstad, O., Papdopoulos, M., Glick, H. A., Thom, S. R., & Mitra,
N. (2013). Lack of effectiveness of hyperbaric oxygen therapy for the treatment of
diabetic foot ulcer and the prevention of amputation a cohort study. Diabetes Care,
36(7), 1961–1966. https://doi.org/10.2337/dc12-2160
McCulloch, D. K., Asla, R. J. de, & Armstrong, D. G. (2015). Management of diabetic foot
ulcers. UpToDate, 12(4), 1–29. https://doi.org/10.1007/s13300-012-0004-9
Moon, K. C., Han, S. K., Lee, Y. N., Jeong, S. H., Dhong, E. S., & Kim, W. K. (2014). Effect
of normobaric hyperoxic therapy on tissue oxygenation in diabetic feet: A pilot study.
Journal of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgery, 67(11), 1580–1586.
https://doi.org/10.1016/j.bjps.2014.07.010
Opasanon, S., Pongsapich, W., Taweepraditpol, S., Suktitipat, B., & Chuangsuwanich, A.
(2014). Clinical effectiveness of hyperbaric oxygen therapy in complex wounds.
Journal of the American College of Clinical Wound Specialists, 6(1–2), 9–13.
https://doi.org/10.1016/j.jccw.2015.03.003
Pastena, L., Formaggio, E., Faralli, F., Melucci, M., Rossi, M., Gagliardi, R., … Storti, S. F.
(2015). Bluetooth Communication Interface for EEG Signal Recording in Hyperbaric
Chambers. IEEE Transactions on Neural Systems and Rehabilitation Engineering,
23(4), 538–547. https://doi.org/10.1109/TNSRE.2015.2391672
Peleg, R. K., Fishlev, G., Bechor, Y., Bergan, J., Friedman, M., Koren, S., … Efrati, S.
(2013). Effects of hyperbaric oxygen on blood glucose levels in patients with diabetes
mellitus, stroke or traumatic brain injury and healthy volunteers: a prospective,
crossover, controlled trial. Diving Hyperb Med, 43(4), 218–221. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24510327
Perez-Vidal, C., Gracia, L., Carmona, C., Alorda, B., & Salinas, A. (2017). Wireless
transmission of biosignals for hyperbaric chamber applications. PLoS ONE, 12(3), 1–19.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0172768
Skeik, N., Porten, B. R., Isaacson, E., Seong, J., Klosterman, D. L., Garberich, R. F., …
Sullivan, T. (2015). Hyperbaric oxygen treatment outcome for different indications from
a single center. Annals of Vascular Surgery, 29(2), 206–214.
https://doi.org/10.1016/j.avsg.2014.07.034
Stoekenbroek, R. M., Santema, T. B., Koelemay, M. J. W., van Hulst, R. A., Legemate, D. A.,
Reekers, J. A., & Ubbink, D. T. (2015). Is additional hyperbaric oxygen therapy cost-
effective for treating ischemic diabetic ulcers? Study protocol for the Dutch
DAMOCLES multicenter randomized clinical trial. Journal of Diabetes, 7(1), 125–132.
https://doi.org/10.1111/1753-0407.12155
Stoekenbroek, R. M., Santema, T. B., Legemate, D. A., Ubbink, D. T., Van Den Brink, A., &
Koelemay, M. J. W. (2014). Hyperbaric oxygen for the treatment of diabetic foot ulcers:
A systematic review. European Journal of Vascular and Endovascular Surgery, 47(6),
647–655. https://doi.org/10.1016/j.ejvs.2014.03.005
Wenzler, D. L., Gulli, F., Cooney, M., Chancellor, M. B., Gilleran, J., & Peters, K. M. (2017).
Treatment of ulcerative compared to non-ulcerative interstitial cystitis with hyperbaric
oxygen: a pilot study. Therapeutic Advances in Urology, 9(12), 263–270.
https://doi.org/10.1177/1756287217731009