Kel 2 Bu Luciavita HIV
Kel 2 Bu Luciavita HIV
Kel 2 Bu Luciavita HIV
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
I. DEFINISI
Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan retrovirus yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positif T-
sel dan makrofag komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan
menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan
terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan
mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sedangkan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) menggambarkan berbagai gejala dan
infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV
telah ditetapkan sebagai penyebab AIDS, tingkat HIV dalam tubuh dan
timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV
telah berkembang menjadi AIDS (Hoyle, 2006).
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan
pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol).
Fungsi imun diukur melalui jumlah sel CD4 di dalam tubuh. Jumlah
limfosit CD4 dalam darah adalah tanda perkembangan penyakit. Normal CD4
berkisar antara 500-1600 sel/mikroliter atau 40-70% dari seluruh limfosit
(Sukandar et al., 2011). Sel CD4 mengatur respon imun untuk menyerang
HIV, tetapi HIV menyerang balik sel CD4 dan mereplikasi dirinya. Segera
setelah terinfeksi HIV, jumlah sel CD4 menurun sekitar seperempat dan
kemudian menurun perlahan setelahnya. Ketika jumlah sel CD4 mencapai
<350 sel/mikroliter mengarah pada infeksi oportunistik, terkait HIV menjadi
jelas jika jumlah sel CD4 <200 sel/mikroliter, orang tersebut diklasifikasikan
memiliki AIDS terlepas dari penampilan infeksi oportunistik lain dan pada
jumlah sel CD4 <50 sel/mikroliter, pasien dapat meninggal (Williams et al.,
2006). Jika jumlah CD4 >350 sel/mikroliter maka tergolong infeksi primer
(Lima et al., 2009)
II. ETIOLOGI
Penyebab HIV adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus
yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini
pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis
pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat padatahun 1984 mengisolasi
(HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun1986 nama
firus dirubah menjadi HIV.
Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak
dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target
virus ini terutama sel Limfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk
virus HIV yang disebut CD4. Didalam sel lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam
sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat
aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
III. PATOFISIOLOGI
HIV ditemukan dalam sirkulasi darah 4 sampai 11 hari setelah paparan.
HIV yang memasuki tubuh manusia mempunyai glikoprotein luar (gp160)
yang pada permukaannya terdiri dari dua sub unit (gp120 dan gp41) yang
memiliki afinitas terhadap reseptor CD4. Sub unit (gp120) bertanggungjawab
untuk mengikat CD4. Interaksi gp120 dan CD4 akan mendorong terjadinya
ikatan lebih lanjut dengan reseptor kemokin yang bertindak sebagai
coreseptor spesifik yaitu CXCR4 (X4) dan CCR5 (R5) (Nasronudin et al.,
2007). Coreseptor ini disebut spesifik karena masing-masing sel target
mempunyai coreseptor khusus misalnya, T-cell-tropicstrains mengikat pada
coreseptor CXCR4 (lymphocytotropic) sedangkan macrophag-tropic-strains
mengikat pada coreseptor CCR5 (monocytotropic). Setelah terjadi interaksi
antara gp120 virus dengan reseptor CD4+ dan coreseptor CXCR4 serta CCR5
maka akan terjadi poses difusi HIV ke sel target. Proses difusi HIV ke dalam
sel target memerlukan peran gp41 yang terdapat pada selubung virus karena
gp41 berpengaruh terhadap penyatuan membran. Berikutnya seluruh
komponen inti HIV masuk dan mengalami proses internalisasi materi genetik
virus dan enzim yang diperlukan dalam proses replikasi (Dipiro et al., 2011).
Setelah internalisasi, lapisan luar protein dari virus yang mengelilingi
asam nukleat (kapsid) kemudian terbuka untuk proses replikasi. Materi
genetik HIV adalah RNA untaian tunggal (ssRNA) yang harus diubah
menjadi DNA untaian ganda (dsDNA) dengan bantuan enzim RNA-
dependent DNA polimerase (reverse transcriptase). Ribonuklease (RNase)
menghapus sebagian RNA dari DNA-RNA hibrida sehingga memungkinkan
enzim reverse transcriptase untuk menyempurnakan sintesis DNA (umumnya
terjadi dari DNA ke RNA), sehingga menjadi double strand DNA (provirus).
Setelah reverse transcriptase, dsDNA masuk ke dalam nukleus dan dengan
bantuan enzim integrase, diintegrasikan ke dalam kromosom sel inang,
menetap dalam waktu cukup lama dalam posisi tidak aktif (Nasronudin et al.,
2007; Dipiro et al., 2011). Ketika DNA sudah masuk ke dalam kromosom sel
inang maka selanjutnya terjadi proses transkripsi dan translasi yang
memungkinkan produksi protein virus baru. Partikel virus baru kemudian
dirakit dan tunas dari sel inang, akhirnya menjadi virus dewasa yang
menginfeksi di bawah pengaruh enzim protease. Segera setelah infeksi HIV
primer, terjadi peningkatan yang sangat tinggi dari omset virus. Dari waktu ke
waktu, sebagai akibat infeksi kronis, sel yang memiliki reseptor CD4
khususnya limfosit T-helper akhirnya habis dari tubuh dan individu menjadi
rentan terhadap berbagai infeksi dan tumor (Date and Fisher, 2012 ; Dipiro et
al., 2011).
V. FAKTOR RESIKO
- Faktor resiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap
penularan HIV/AIDS, yang meliputi hubungan seksual, pemakaian
kondom, kontak oral-anal, pria homoseksual.
- Faktor resiko parenteral, yaitu faktor risiko penularan HIV/AIDS yang
berkaitan dengan pemberian cairan ke dalam tubuh melalui pembuluh
darah vena, seperti transfusi darah, pemakaian narkotika secara suntik.
- Faktor resiko infeksi menular seksual (IMS), yaitu riwayat penyakit
infeksi bakteri/virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang
pernah diderita responden, seperti sifilis, gonorrhea.
DIAGNOSIS
Diagnosis HIV pada Anak > 18 bulan, Remaja dan Dewasa Tes untuk
diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan strategi III
(pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda
sensitivitas dan spesivisitasnya).
VII. Penularan HIV
1. Transmisi seksual
Transmisi melalui kontak seksual merupakan salah satu cara utama
transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan
dalam cairan semen, cairan vagina, cairan serviks. Transmisi
infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah
karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan
mudah robek, anus sering terjadi lesi.
2. Transmisi parenteral (transmisi melalui darah atau produk darah)
Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama homseksual)
dan dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk darah.
Diperkirakan bahwa 90 sampai 100% orang yang mendapat
transfusi darah yang tercemar HIVakan mengalami infeksi.
3. Transmisi perinatal (transmisi vertikel)
Transmisi secara perinatal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi
HIV kepada janinnya sewaktu hamil , persalinan, dan setelah
melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI).
X. TERAPI FARMAKOLOGI
Ada tiga golongan obat ARV, yaitu:
1. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTIs)
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak
dapat menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam
keadaan berikut: Ko-infeksi TB/HIV terkait dengan interaksi
terhadap Rifampisin, Ibu hamil terkait dengan kehamilan dan ko-
infeksi TB/HIV, serta Hepatitis terkait dengan efek hepatotoksik
karena NVP/EFV/PI.Anjuran paduan triple NRTI yang dapat
dipertimbangkan adalah AZT+3TC +TDF. Penggunaan
Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena
supresi virologisnya kurang kuat.
AZT dapat menyebabkan anemia dan intoleransi
gastrointestinal, Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass
Index) dan jumlah CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi
terjadinya anemia oleh penggunaan AZT. Perlu diketahui faktor
lain yang berhubungan dengan anemia,yaitu antara lain malaria,
kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut. TDF dapat
menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas dilaporkan
antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0.5%
sampai 2%. TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa
muda dan sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan. TDF
juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian
satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA.
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang
poten dan telah digunakan terutama oleh negara yang sedang
berkembang dalam kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan
dari d4T adalah tidak membutuhkan data laboratorium awal untuk
memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi
ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari
hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek
samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan
neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis
yang menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi
dengan lama penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan
semakin besar kemungkinan timbulnya efek samping). WHO
dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan untuk
mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2 tahun dan dalam pedoman
pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010 merekomendasikan
untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T dengan
Tenofovir (TDF).
b. NNRTIs (Non Nucleotide reverse transcriptase inhibitor)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24
jam selama 14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama
bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda
toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada
hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP
menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP
yang muncul dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan
dihentikan selama lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali
pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
2. HIV Protease Inhibitor (PI)
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) tidak dianjurkan untuk
terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan
pada Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi
terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini
dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk
Lini Kedua mengingat sumber daya yang masih terbatas.
3. Fusion Inhibitor / Viral entri inhibitor
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi
membran virus ke sel. Menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel
dengan cara menghambat fusi virus ke membran sel. Contohnya
Enfuvitride. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR1 (first heptad-
repeat) pada subunit gp41 envelope glikoprotein virus serta
menghambat terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan untuk
fusi virus ke membran sel.
XII. GUIDELINE
a. Terapi ARV
b. Terapi Candidiasis
Riwayat kesehatan
A. Pasien mengeluh sering mencret/ diare 2-3 kali sehari, selama 3 bulan
terakhir, sering demam, dan radang tenggorokan, sebelumnya tidak ada riwayat
penyakit serius. Pasien dibawa ke RS karena diare tak terkontrol disertai tidak
nafsu makan, pasien juga telah mengalami kecanduan putaw dan tidak
mendapatkan putaw tersebut sehingga merasa sakau, GELISAH, dan ingin bunuh
diri. Terdapat lesi/sariawan cukup banyak pada mukosa mulut yang diduga karena
jamur. Terdapat infeksi ptiriasis versicolor (tinea versicolor)pada 70% kulit
disebabkan jamur. Pasien juga mengalami kesulitan BAK, dan nyeri punggung.
Pasien telah menjalani terapi antiretroviral selama 3 bulan.
B. Riwayat kesehatan keluarga : Kedua orang tua sudah meninggal, tidak ada
anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama atau PMS. Tidak ada
penyakit bawaan dalam keluarga klien.
Terapi :
- Diet TKTP
- RL 14 X/mnt
- Cotimoxazol : 2 X II tab
- Corosorb : 3 X 1 tab
- Valium : 3 X 1 tab
FORM DATA BASE PASIEN
UNTUK ANALISIS PENGGUNAAN OBAT
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. X No Rek Medik :-
Tempt/tgl lahir :- Dokter yg merawat :-
Jenis Kelamin : Laki-Laki Umur : -
Alamat :- Status : Belum kawin
Ras : Jawa
Pekerjaan :-
PENDIDIKAN :SMU
RIWAYAT MASUK RS :
. Pasien dibawa ke RS karena diare tak terkontrol disertai tidak nafsu makan,
pasien juga telah mengalami kecanduan putaw dan tidak mendapatkan putaw
tersebut sehingga merasa sakau, GELISAH, dan ingin bunuh diri. Terdapat
lesi/sariawan cukup banyak pada mukosa mulut yang diduga karena jamur.
Terdapat infeksi ptiriasis versicolor (tinea versicolor)pada 70% kulit
disebabkan jamur.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :-
RIWAYAT SOSIAL :
Kegiatan
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
RR 22/menit 14-20X/menit
S 37,8 36,5-37,5
RIWAYAT PENGOBATAN
RIWAYAT PENYAKIT TANGGAL/ TAHUN OBAT YANG DIGUNAKAN
Corosorb Kegunaan Corosorb 3x1 Oral - konstipasi, dispepsia, perut Mengatasi Diare
(Attapulgite) adalah obat tablet kembung, dan mual, sakit
untuk mengobati gejala kepala & pusing
diare yang disebabkan oleh
3. keracunan makanan dan
racun dari bakteri dan virus.
1. HIV stadium 3
SUBYEKTIF OBYEKTIF TERAPI ANALISIS DRP PLAN
2. Candidiasis oral
Subjektif objektif terapi analisis DRP PLAN
Terdapat lesi/sariawan Lesi/ sariawan pada mukosa
Suspensi Nistatin 3-5 cc dengan
cukup banyak pada mulut pasien belum mendapatkan Indikasi Tanpa
- - cara dikumur 3 kali sehari
terapi sehingga mulut pasien Terapi
mukosa mulut, lidah ada selama 7 hari.
nampak kotor
bercak-bercak keputihan
3. Ptiriasis versicolor
Subjektif Objektif Terapi analisis DRP Plan
Infeksi pada 70 % bagian kulit Terjadinya infeksi jamur pada kulit pasien
- Indikasi Tanpa Itraconazole 200 mg/
kulit karena terinfeksi jamur sehingga perlu dilakukan terapi Terapi hari selama 7 hari
jamur
4. Demam anemia dehidrasi dan gelisah
Subjektif Objektif Terapi analisis DRP Plan
Sering Suhu 37,8 - Pasien sering Indikasi Sistenol 500 mg
Demam merasakan demam Tanpa Terapi 3 x 1 tablet PRN
Lemah, Pucat Hb 8,7 ˅ - Pasien mengalami Indikasi Ferous Sulfat 3 x Sehari 1
Normal perasaan lemah dan Tanpa Terapi Tablet
Konjungtiva terlihat pucat
anemis
Badan terasa Infus RL 14 tpm Badan terasa lemas Terapi perlu Pada syok, dehidrasi 20
lemas, turgor - ditinjau ml/kg/jam.
turun
5. Diare
Subjektif Objektif Terapi analisis DRP plan
Corosorb Pemberian adsorbent Terapi Sudah Terapi dilanjutkan hingga ada
- 3 x 1 tablet sudah tepat pada diare Tepat kultur bakteri terhadap feses
Buang air besar non spesifik
2-3 kali, tidak
terkontrol Cotrimoxazole Pemberian Terapi Kurang Dilakukan kultur bakteri, agar
2 x 2 tablet Cotrimoxazole Tepat dapat menentukan antibiotik yang
dikontraindikasikan tepat pada diare dengan infeksi
pada penderita
gangguan fungsi ginjal
6. Gelisah
Subjektif Objektif Terapi analisis DRP plan
Pasien mengalami sakaw,
- - Valium gelisah sehingga perlu Terapi Sudah Monitoring tingkat kecemasan
3 x 1 tablet diberikan obat yang dapat Tepat pasien
memberikan efek penenang.
CARE PLAN
a. HIV stadium 3 dengan gejala diare rata-rata 2-3 x dalam 1 hari, mengalami
penurunan berat badan (pasien nampak kurus), dan terdapat lesi/sariawan
cukup banyak pada mukosa mulut yang diduga karena jamur. Terapi lini
pertama pada pasien HIV kombinasi 3ARV yaitu 2 NRTI + 1NNRTI
(TDF+3TC+EFV). Pasien di diagnosa CRD, sebaiknya penggunaan TDF
(Tenofovir) diganti karena memiliki efek samping nefrotoksik sehingga dapat
memperparah pasien dengan gangguan fungsi ginjal . Rekomendasi
pengobatan menggunakan ABC + 3TC + EFV. ABC dapat digunakan karena
efek samping obat lebih rendah jika dibandangkan dengan AZT yang juga
merupakan obat ARV lini pertama. Efek samping obat AZT diantaranya
adalah anemia, lekopenia (lebih sering pada dosis tinggi); mual dan muntah,
sedangkan pasien mengalami anemia,
b. Pasien mengalami infeksi Kandidiasis oral yang ditandai dengan bercak/lesi
putih di selaput mukosa disertai eritema di rongga mulut. Kandidiasis oral
lebih tepat untuk diterapi dengan suspensi Nistatin 3-5 cc dengan cara
dikumur 3 kali sehari selama 7 hari.
c. Pasien diberikan Attapulgite (Corosorb) Kegunaannya adalah untuk
mengobati gejala diare yang disebabkan oleh keracunan makanan dan racun
dari bakteri dan virus. Attapulgite digunakan untuk terapi simptomatik pada
diare non spesifik. Cotrimoxazol yang diberikan pada pasien dihentikan
pemakaiannya karena antibiotic tersebut dikontraindikasikan pada penderita
dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penyebab diare belum diketahui
akibat infeksi bakteri apa, karena belum ada kultur.
d. Pada data klinik disebutkan suhu badan pasien 37,8oC dan mengaku sering
demam. pasien juga mengalami gangguan pernafasan yaitu sesak nafas,
sebelumnya belum diberikan terapi sehingga direkomendasikan pemberian
sistenol 500 mg 3x1 tab PRN
e. Untuk infeksi Ptiriasis versicolor yang belum diterapi diberikan
rekomendasi pemberian Itraconazole 200 mg/ hari selama 7 hari
f. Pasien mengalami anemia ditandai dengan nilai Hb kurang dari normal (13-
18 g/dL). Diberikan Ferous Sulfat 3 x Sehari 1 Tablet untuk membantu
menaikan kadar Hb dalam darah.
MONITORING
a. Monitoring setiap bulan dengan melakukan pemeriksaan imunologi
(jumlah CD4), virologi (HIV, RNA) dan penilaian klinis lainnya.
b. Monitoring secara ber kala hasil pemeriksaan laboratorium (hb, ert, hct,
dsb) dan pemeriksaan fisik pasien.
c. Monitoring fungsi ginjal dan hati.
d. Monitoring efek samping obat yang terjadi (diare, mual dan muntah)
karena sebagian besar obat-obatan antiretroviral memiliki efek samping
gangguan gastrointestinal.
e. Monitoring timbulnya gejala infeksi oportunistik baru.
f. Monitoring kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat ARV.
g. Evaluasi kembali perkembangan berat badan, demam, diare, sesak
nafas,kandidiasis oral dan infeksi jamur pada kulit yang dialami pasien
apakah mulai membaik.
KIE
a. Beritahu pasien bahwa pengobatan yang di jalani sangat berguna dan dapat
menguntungkan pasien.
b. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.
c. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat untuk keberhasilan
terapi ARV dan juga agar dapat menghindari intoleransi maupun
resistensi.
d. Pasien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,
kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan.
Perlu diberikan informasi yang mengutamakan aspek positif dari
pengobatan sehingga dapat membangkitkan komitmen kepatuhan berobat.
e. Mengingatkan pasien agar berkunjung dan mengambil obat secara teratur
sesuai dengan kondisi pasien.
f. Menganjurkan keluarga pasien untuk dapat memeberikan suport dan
dukungan moril kepada pasien agar pasien tidak merasa dikucilkan dari
lingkungannya.
g. Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.
h. Memberikan penjelaskan bahwa waktu minum obat adalah sangat penting,
yaitu kalau dikatakan dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.
i. Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap
menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau
menggunakan alat suntik steril.
j. Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan obat
ARV yang diminumnya.
k. Rutin melakukan monitoring imunologi dan virology
DAFTAR PUSTAKA