Tugas Analisis Postcolsaid
Tugas Analisis Postcolsaid
Tugas Analisis Postcolsaid
I. Pengantar
Budi Darma adalah salah seorang sastrawan dan dosen di Universitas Negeri
Surabaya yang kemudian mulai aktif sebagai cerpenis di majalah Horison hingga
akhirnya juga aktif di surat kabar Kompas. Bahkan dua karyanya berhasil menjadi
cerpen terbaik tahun 1999 dan 2001 versi majalah kompas. Salah satu karyanya
berjudul Pohon Jejawi merupakan salah satu cerpennya yang mampu bersaing
memperebutkan posisi cerpen terbaik kompas pada tahun 2011. Cerpen ini memiliki
struktur cerita yang menarik bahkan banyak bagian-bagian yang dianggap sebagai
bentuk kritik yang tetap dapat dikemas secara konyol. Kekonyolan yang paling
memanjakan pembacanya adalah di bagian akhir dimana tokoh Henky van
Kopperlyk yang merupakan tokoh utama melakukan kekonyolan ketika menendang
bola.
Kepiawaian Budi Darma tak hanya sebatas itu. Cerita tentang seorang tokoh
Belanda di masa kekuasaan Belanda di Indonesia, tepatnya dengan latar di sudut kota
Surabaya pada tahun 1927an, menggambarkan pula bentuk kolonialisme Belanda di
Indonesia. Bentuk-bentuk penindasan baik secara fisik maupun moral terhadap kaum
pribumi oleh Belanda yang merasa lebih tinggi terepresentasikan dengan baik
melalui sikap tokoh Henky van Kopperlyk, gubenur Belanda yang merupakan
seorang insinyur dari Amsterdam. Wacana-wacana kolonialisme mengenai pribumi
dalam cerpen ini kemudian begitu menggelitik untuk dikaji.
Bentuk-bentuk wacana kolonialisme ini akan dikaji dengan menggunakan teori
orientalisme Edward Said. Pisau analisis tersebut dapat dipakai untuk menjelaskan
fenomena kolonialisme di berbagai negara, khususnya di Indonesia. Orientalisme
Said berpendapat bahwa penjajah Eropa memandang Timur sebagai ‘yang lain,’
dalam menjelaskan dirinya. Orientalisme kemudian menjadi ideologi yang
DIAN PRATIWI
menjadikan Barat sebagai pusat dalam relasinya dengan Timur. Dengan kalimat lain,
orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan menguasai
Timur. Secara garis besar, terdapat sebuah bentuk oposisi binner atas hubungan
antara Barat dan Timur. Melalui adanya oposisi binner ini, lahirlah wacana mengenai
Barat sebagi yang superior dan timur sebagai the other dan inferior.
Kejijikan dan kebencian terhadap pribumi tampak pula dari sikap Henry van
Kopperlyk yang selalu memandang sebelah mata terhadap pribumi. Melalui kisah
hilangnya kelamin seorang Belanda karena telah memperkosa wanita pribumi secara
magis, semakin memperbesar penghinaannya terhadap kaum tersebut, keinginan
untuk merubuhkan pohon jejawi yang merupakan benda pemujaan bagi pribumi
begitu besar. Hal tersebut menggambarkan begitu besar pula keinginannya untuk
menundukkan sepenuhnya pribumi dibawah kekuasaannya, tak terkecuali akan
kekuatan magis yang mengerikan itu. Bahwa tokoh Henry van Kopperlyk
menunjukkan bahwa Belanda adalah yang paling berkuasa dan yang tertinggi.
Mereka tidak dapat dikalahkan bahkan oleh sebuah kekuatan yang tak terlihat.
Kebencian terhadap pribumi juga tergambar sangat jelas dari pernyataan
Willem Coorvaben, seorang wartawan Belanda yang aktif melalukan gerakan
melalui tulisan agar Belanda harus tetap mencengkeram Indonesia, suatu bangsa
yang irlander baginya. Meskipun pada akhirnya Belanda tersebut jatuh hati dan
menikahi seorang wanita pribumi. Hal tersebut kemudian sangat dikutuk oleh Henry
van Kopperlyk. Ia menganggap bahwa pria tersebut telah menusuk punggung (bukan
jantung) kaum Barat (Belanda), dan pantas masuk ke neraka.Berikut pernyataan
Willen mengenai kejijikannnya terhadap kaum pribumi :
gang buntu yang pada ujung gangnya terdapat makam kuno, sumber air bersih, serta
sebuah hutan lebat.
“ Dinamakan “kedung” karena di situ ada sebuah “kedung”, yaitu sumber air
jernih, dan dinamakan “buntu”, karena memang gang ini buntu. Buntu karena
ujung gang ini bertemu dengan sebuah makam kuno, dan di sebelah makam
kuno ada sebuah sumber air bersih, dan di seberang sana sumber air bersih ada
sebuah hutan lebat.
Hal tersebut menunjukkan pula sifat primitif yang dianggap adalah sifat para
pribumi. Dimana kemampuan politik memecah belah pribumi sangat mudah
dilakukan oleh Barat. Penegasan akan wacana tersebut tampak pada pernyataan
Willen dalam suratnya kepada Robb Nieuwenhuys mengenai sifat malas dan liar
pribumi yang akan mempermudah mereka untuk melakukan kebodohan-kebodohan
atas tindakan mereka sendiri.
“Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan, maka bangsa inlander akan
menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa
anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan
bangsa ini sendiri.”
DIAN PRATIWI
Politik adu domba pada masa penjajahan Belanda adalah bentuk nyata
kolonialisme yang dengan apik degambarkan dalam kutipan diatas tersebut. Politik
adu domba merupakan politik populer yang diterapkan oleh pemerintah Belanda
pada masa tersebut. Karena pada dasarnya watak dasar pribumi dianggap bodoh dan
terbelakang, sehingga dengan mudahnya praktik politik ini diterapkan oleh Barat
untuk semakin mendominasi dan menjajah pribumi. Dalam sebuah artikel “Mengapa
Belanda mempraktikan devide et impera?” menyebutkan bahwa Belanda yang telah
beradab dan memiliki kaum intelektual seperti antropolog, sejarawan dan ilmuwan
humaniora terbaik yang ada di seluruh Negeri Belanda tentunya telah dipekerjakan
untuk meneliti watak khas orang Indonesia sebelum Pemerintah Belanda
mengimplementasikan sebuah kebijakan. Melalui penelitian tersebut maka lahirlah
Politik devide et impera, yang adalah produk penjajah yang memandang pribumi
sebagai yang bodoh dan haus kekuasaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kuatnya
wacana Barat atas Timur untuk sebenarnya menjelaskan diri mereka (Barat).
“Dia selalu kurang puas melihat papan-papan besar “Anjing dan Pribumi
Dilarang Masuk” di tempat-tempat umum. Terlalu kecil, atau hurufnya kurang
mencolok, atau tempatnya terlalu tersembunyi. Maka, atas perintahnya, papan-
papan “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” menjadi benar-benar mencolok.”
“Malam itu juga keperawanan anak kepala suku dirusak, kemudian laki-laki
Belanda ini, dengan bantuan serdadu-serdadu Belanda, melarikan diri ke
Surabaya.Di atas kapal laki-laki ini dengan bangga bercerita mengenai cara dia
DIAN PRATIWI
memperdaya kepala suku dan anak gadisnya, sambil beberapa kali tertawa
terbahak-bahak.”
“Tapi, mestikah pohon jejawi itu dibiarkan tegak, menelan korban orang-orang
Belanda, dan siapa tahu. Siapa tahu karena dia sudah mendengar, banyak orang
suka berkumpul di bawah pohon jejawi, menyembah-nyembah pohon jejawi,
meletakkan sesaji dengan penuh khidmat di bawah pohon jejawi,”
rasional dan beradab, dengan segala cara ia mencoba menebang pohon tua itu.
Namun pada akhirnya semua berakhir sia-sia.
IV. KESIMPULAN
Melalui analisis terhadap cerpen Pohon Jejawi dengan menggunakan
pendekatan orientalisme Edward Said, didapat beberapa point, sbb:
1. Terdapat wacana-wacana kolonial terhadap pribumi sebagai yang rendah,
bodoh, irasional, dan seperti binatang dalam cerita Pohon Jejawi.
2. Religiusitas yang terdapat dalam cerita yaitu berupa bentuk kepercayaan orang
pribumi maupun cina dan arab ( manusia kulit berwarna ) dianggap sebagai
bentuk kebodohan dan keirasionalitasan bangsa Timur
3. Penganalogian pribumi sebagai anjing dan kuda menunjukkan bentuk
penindasan moral terhadap pribumi. Bahwa pribumi dianggap manusia-
manusia terbelakang dan tak beradab layaknya binatang.
4. Penindasan moral sangat tampak melalui perlakuan Henry van Kopperlyk
terhadap wanita pribumi. Harga dirinya yang begitu besar sebagai kulit putih
yang superior kemudian membuatnya yang sebenarnya tidak bahagia dengan
perkawinannya, memuaskan diri dengan memperdayai dan menodai wanita
pribumi yang membuatnya jatuh hati.
5. Terdapat sebuah bentuk politik adu domba dimana tokoh Henry van Kopperlyk
melakukan manipulasi dengan berpura-pura merangkul para Bupati yang
pribumi untuk sebenarnya memecah para pribumi dan semakin memperluas
kekuasaannya.
DIAN PRATIWI
REFERENSI :