Struktur Perkerasan Jalan Aspal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 123

struktur perkerasan jalan aspal (flexible pavement)- Pada artikel ini seperti biasa akan

memberikan sedikit pengalaman yang mungkin bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca setia blog
www.jasasipil.com. Pembahasan kali ini akan lebih banyak berisi ilmu jalan karena saat ini di
Indonesia lebih banyak konsen ke perkembangan infrastruktur jalan dibandingkan dengan sektor
bangunan gedung. Sesuai dengan judul artikel ini yaitu struktur perkerasan jalan aspal
(flexible pavement) kita akan fokus membahas mengenai susunan struktur pada perkerasan jalan
khususnya flexible pavement.

Saya yakin dari rekan-rekan disini pada saat kuliah sudah mendapatkan mata kuliah bahan
perkerasan jalan. Nah artikel ini akan sedikit mengingatkan susunan struktur pada perkerasan
jalan yang tentunya berdasarkan pengalaman di lapangan. Namun sebelum jauh ke lapisan
struktur perkerasan jalan ada baiknya mengenal terlebih dahulu jenis perkerasan yang sering
digunakan di Indonesia yaitu flexible pavement (perkerasan lentur) dan rigid pavement
(perkerasan kaku). Secara umum perbedaan antara kedua jenis pekerasan hanya pada lapis finish
perkerasan saja. Perkerasan lentur menggunakan Asphalt Concrete (beton aspal) sedangkan
perkerasan kaku mengunakan beton. Kedua jenis perkerasan tersebut juga mempunyai perbedaan
di lapisan struktur. Oleh karena itu pada artikel struktur perkerasan jalan aspal (flexible
pavement) hanya khusus membahas pada perkerasan lentur saja. Apabila ingin mengetahui
perbedaan secara mendetail silahkan baca di artikel Struktur perkerasan jalan beton (rigid
Pavement).

Saat ini perkerasan jalan aspal masih sering digunakan pada proyek-proyek jalan antar kota
bahkan antar provinsi. Banyak pertimbangan mengapa menggunakan lapisan aspal pada
permukaan salah satunya adalah tingkat kenyamanan pengguna jalan lebih tinggi dibanding
menggunakan beton. Namun bukan berarti perkerasan beton tidak nyaman. Karena saat ini pun
perkerasan beton juga banyak digunakan proyek-proyek jalan tol. Namun yang jelas daya
dukung tanah juga mempengaruhi pemilihan perkerasan jalan aspal ataupun perkerasan jalan
beton.

Perkerasan jalan aspal memiliki beberapa susunan lapis struktur antara lain tanah dasar, tanah
timbunan, LPB, LPA, AC-BC, dan AC-WC seperti pada gambar di bawah ini.

Cross section jalan


Pada gambar di atas adalah contoh susunan struktur perkerasan jalan aspal dengan lebar badan
jalan 6 m sedangkan bahu jalan 2,5 m. Struktur perkerasan jalan pada badan jalan berbeda
dengan bahu jalan. Pada badan jalan menggunakan finish permukaan aspal sedangkan pada bahu
jalan menggunakan agregat S.

1. Badan Jalan
Bagian jalan yang mendapatkan beban lalu lintas adalah badan jalan sehingga struktur utama
pada badan jalan ini harus kuat. Oleh sebab itu susunan struktur badan jalan berbeda dengan
bahu jalan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut.

Pada contoh gambar di atas menggunakan susunan struktur perkerasan jalan aspal dengan
ketebalan yang berbeda. Perlu diingat bahwa tebal lapisan struktur tergantung dari perencanaan
struktur dari konsultan. Setiap lokasi proyek mungkin ada yang berbeda lapisan struktur
jalannya. Ada yang menggunakan Ac-Base, ada yang hanya menggunakan Ac-Bc saja tanpa Ac-
Wc dan sebagainya. Berikut penjelasan singkatnya mulai dari struktur paling bawah.

1. Tanah asli/subgrade adalah tanah eksisting yang ada di lokasi proyek. Tanah dasar ini
pun harus memiliki spesifikasi mutu. Biasanya CBR min 6%. Apabila hasil pengujian
tanah dasar mencapai 6% menggunakan DCP maka sudah layak untuk ditimbun.
2. Selected embankment adalah tanah timbunan dengan material pilihan seperti bebatuan
lunak. FYI. Penggunaan selected ini belum tentu digunakan. Ada yang ditimbun dengan
common embankment atau tanah timbunan biasa. Jadi semua tergantung perencanaan.
3. LPB (Lapis pondasi bawah) adalah lapisan struktur yang menggunakan aggregate kelas
B. Aggregate kelas B adalah campuran gradasi material batu pecah dengan sirtu atau
selected. Batu pecah tersebut terdiri dari beberapa fraksi ukuran yang berbeda.
Diperlukan sebuah Job Mix Formula untuk mendapatkan mutu yang diinginkan sesuai
dengan mutu kelas B. Syarat minimal CBR pada LPB adalah 60%. Apabila CBR sudah
memenuhi 60% dengan cara tes sandcone di lapangan maka bisa dilanjutkan dengan
lapisan struktur selanjutnya.
4. LPA (Lapis pondasi atas) adalah lapisan struktur pondasi yang berhubungan langsung
dengan aspal karena tepat di bawah aspal. Struktur ini menggunakan aggregat kelas A
yang tersusun campuran material batu pecah dengan abu batu yang diatur sedemikian
rupa sehingga bisa dikatakan sebagai kelas A. Batu pecah yang digunakan terdiri dari
beberapa fraksi ukuran yang berbeda. Pembuatan aggregat A harus menggunakan Job
Mix Formula yang disetujui oleh konsultan. Syarat minimal CBR untuk LPA adalah
90%. Pengujian yang dilakukan adalah sandcone.
5. AC-BC (Asphalt concrete Binder Coarse) adalah beton aspal yang terletak tepat di atas
LPA. Campuran beton aspal ini terdiri dari beberapa fraksi aggregat batu pecah dengan
ukuran yang berbeda, abu batu dan kadar aspal tertentu. Yang membedakan dengan AC-
WC adalah ukuran fraksi aggregat dan kadar aspal pada AC-BC yang lebih rendah.
6. AC-WC (Asphalt concrete Wearing Coarse) adalah beton aspal yang terletak paling atas
dan menerima beban langsung kendaraan dan menentukan nyaman tidaknya. Campuran
beton aspal ini hampir sama dengan AC-BC hanya berbeda di ukuran fraksi aggregat.
Kadar aspal pada AC-WC biasanya lebih tinggi karena lapis permukaan jalan harus
kedap dengan air.

2. Bahu Jalan
Bahu jalan atau dikenal dengan nama shoulder ini mempunyai fungsi sebagai pengaku
perkerasan aspal pada badan jalan agar aspal tidak mudah rusak. Bahu jalan tidak langsung
mendapatkan beban lalu lintas kecuali dalam keadaan darurat. Sehingga susunan struktur bahu
jalan tidak seperti pada badan jalan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.

Material pada bahu jalan terdiri dari lapisan paling bawah adalah aggregate kelas B (LPB),
kemudian diatasnya adalah aggregat kelas S. Aggregat kelas S mempunyai syarat minimum CBR
50%. Aggregat S terdiri dari material campuran batu pecah dengan tanah liat.

Yang perlu diperhatikan adalah perencanaan struktur perkerasan jalan aspal ini sangat tergantung
dari kondisi tanah dasar ataupun eksisting serta jenis penangangannya.

Demikian artikel tentang struktur perkerasan jalan aspal (flexible pavement) semoga
bermanfaat.
struktur perkerasan jalan aspal (flexible pavement)
struktur perkerasan jalan aspal (flexible pavement)- Pada artikel ini seperti biasa akan
memberikan sedikit pengalaman yang mungkin bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca setia blog
www.jasasipil.com. Pembahasan kali ini akan lebih banyak berisi ilmu jalan karena saat ini di
Indonesia lebih banyak konsen ke perkembangan infrastruktur jalan dibandingkan dengan sektor
bangunan gedung. Sesuai dengan judul artikel ini yaitu struktur perkerasan jalan aspal
(flexible pavement) kita akan fokus membahas mengenai susunan struktur pada perkerasan jalan
khususnya flexible pavement.

Saya yakin dari rekan-rekan disini pada saat kuliah sudah mendapatkan mata kuliah bahan
perkerasan jalan. Nah artikel ini akan sedikit mengingatkan susunan struktur pada perkerasan
jalan yang tentunya berdasarkan pengalaman di lapangan. Namun sebelum jauh ke lapisan
struktur perkerasan jalan ada baiknya mengenal terlebih dahulu jenis perkerasan yang sering
digunakan di Indonesia yaitu flexible pavement (perkerasan lentur) dan rigid pavement
(perkerasan kaku). Secara umum perbedaan antara kedua jenis pekerasan hanya pada lapis finish
perkerasan saja. Perkerasan lentur menggunakan Asphalt Concrete (beton aspal) sedangkan
perkerasan kaku mengunakan beton. Kedua jenis perkerasan tersebut juga mempunyai perbedaan
di lapisan struktur. Oleh karena itu pada artikel struktur perkerasan jalan aspal (flexible
pavement) hanya khusus membahas pada perkerasan lentur saja. Apabila ingin mengetahui
perbedaan secara mendetail silahkan baca di artikel Struktur perkerasan jalan beton (rigid
Pavement).

Saat ini perkerasan jalan aspal masih sering digunakan pada proyek-proyek jalan antar kota
bahkan antar provinsi. Banyak pertimbangan mengapa menggunakan lapisan aspal pada
permukaan salah satunya adalah tingkat kenyamanan pengguna jalan lebih tinggi dibanding
menggunakan beton. Namun bukan berarti perkerasan beton tidak nyaman. Karena saat ini pun
perkerasan beton juga banyak digunakan proyek-proyek jalan tol. Namun yang jelas daya
dukung tanah juga mempengaruhi pemilihan perkerasan jalan aspal ataupun perkerasan jalan
beton.

Perkerasan jalan aspal memiliki beberapa susunan lapis struktur antara lain tanah dasar, tanah
timbunan, LPB, LPA, AC-BC, dan AC-WC seperti pada gambar di bawah ini.
Cross section jalan
Pada gambar di atas adalah contoh susunan struktur perkerasan jalan aspal dengan lebar badan
jalan 6 m sedangkan bahu jalan 2,5 m. Struktur perkerasan jalan pada badan jalan berbeda
dengan bahu jalan. Pada badan jalan menggunakan finish permukaan aspal sedangkan pada bahu
jalan menggunakan agregat S.

1. Badan Jalan
Bagian jalan yang mendapatkan beban lalu lintas adalah badan jalan sehingga struktur utama
pada badan jalan ini harus kuat. Oleh sebab itu susunan struktur badan jalan berbeda dengan
bahu jalan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut.

Pada contoh gambar di atas menggunakan susunan struktur perkerasan jalan aspal dengan
ketebalan yang berbeda. Perlu diingat bahwa tebal lapisan struktur tergantung dari perencanaan
struktur dari konsultan. Setiap lokasi proyek mungkin ada yang berbeda lapisan struktur
jalannya. Ada yang menggunakan Ac-Base, ada yang hanya menggunakan Ac-Bc saja tanpa Ac-
Wc dan sebagainya. Berikut penjelasan singkatnya mulai dari struktur paling bawah.

1. Tanah asli/subgrade adalah tanah eksisting yang ada di lokasi proyek. Tanah dasar ini
pun harus memiliki spesifikasi mutu. Biasanya CBR min 6%. Apabila hasil pengujian
tanah dasar mencapai 6% menggunakan DCP maka sudah layak untuk ditimbun.
2. Selected embankment adalah tanah timbunan dengan material pilihan seperti bebatuan
lunak. FYI. Penggunaan selected ini belum tentu digunakan. Ada yang ditimbun dengan
common embankment atau tanah timbunan biasa. Jadi semua tergantung perencanaan.
3. LPB (Lapis pondasi bawah) adalah lapisan struktur yang menggunakan aggregate kelas
B. Aggregate kelas B adalah campuran gradasi material batu pecah dengan sirtu atau
selected. Batu pecah tersebut terdiri dari beberapa fraksi ukuran yang berbeda.
Diperlukan sebuah Job Mix Formula untuk mendapatkan mutu yang diinginkan sesuai
dengan mutu kelas B. Syarat minimal CBR pada LPB adalah 60%. Apabila CBR sudah
memenuhi 60% dengan cara tes sandcone di lapangan maka bisa dilanjutkan dengan
lapisan struktur selanjutnya.
4. LPA (Lapis pondasi atas) adalah lapisan struktur pondasi yang berhubungan langsung
dengan aspal karena tepat di bawah aspal. Struktur ini menggunakan aggregat kelas A
yang tersusun campuran material batu pecah dengan abu batu yang diatur sedemikian
rupa sehingga bisa dikatakan sebagai kelas A. Batu pecah yang digunakan terdiri dari
beberapa fraksi ukuran yang berbeda. Pembuatan aggregat A harus menggunakan Job
Mix Formula yang disetujui oleh konsultan. Syarat minimal CBR untuk LPA adalah
90%. Pengujian yang dilakukan adalah sandcone.
5. AC-BC (Asphalt concrete Binder Coarse) adalah beton aspal yang terletak tepat di atas
LPA. Campuran beton aspal ini terdiri dari beberapa fraksi aggregat batu pecah dengan
ukuran yang berbeda, abu batu dan kadar aspal tertentu. Yang membedakan dengan AC-
WC adalah ukuran fraksi aggregat dan kadar aspal pada AC-BC yang lebih rendah.
6. AC-WC (Asphalt concrete Wearing Coarse) adalah beton aspal yang terletak paling atas
dan menerima beban langsung kendaraan dan menentukan nyaman tidaknya. Campuran
beton aspal ini hampir sama dengan AC-BC hanya berbeda di ukuran fraksi aggregat.
Kadar aspal pada AC-WC biasanya lebih tinggi karena lapis permukaan jalan harus
kedap dengan air.

2. Bahu Jalan
Bahu jalan atau dikenal dengan nama shoulder ini mempunyai fungsi sebagai pengaku
perkerasan aspal pada badan jalan agar aspal tidak mudah rusak. Bahu jalan tidak langsung
mendapatkan beban lalu lintas kecuali dalam keadaan darurat. Sehingga susunan struktur bahu
jalan tidak seperti pada badan jalan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.

Material pada bahu jalan terdiri dari lapisan paling bawah adalah aggregate kelas B (LPB),
kemudian diatasnya adalah aggregat kelas S. Aggregat kelas S mempunyai syarat minimum CBR
50%. Aggregat S terdiri dari material campuran batu pecah dengan tanah liat.

Yang perlu diperhatikan adalah perencanaan struktur perkerasan jalan aspal ini sangat tergantung
dari kondisi tanah dasar ataupun eksisting serta jenis penangangannya.
Demikian artikel tentang struktur perkerasan jalan aspal (flexible pavement) semoga
bermanfaat.

Untuk Info Lebih lanjut silahkan gabung dengan grup facebook Ilmu Proyek &
Info Harga

Related Posts:
 Proses perijinan pertambangan Quarry untuk proyek jalan
 Strategi penentuan lokasi Quarry pada proyek jalan tol
 Apa yang istimewa dari jalan Tol?
 Proyek Jalan VS Proyek Gedung?
 Penyebab kerusakan aspal pada jalan
 Struktur perkerasan jalan beton (Rigid pavement)

Permasalahan yang sering terjadi pada proyek jalan tol

--Majalah Seputar Dunia Sipil--Tempat berbagi ilmu


lapangan di bidang kontruksi gedung, topografi,
arsitektural dan perencanaan struktur

 Home
 Tulis Artikel
 Ilmu Proyek
 Ilmu Software
 Ilmu Perencanaan
 Download
 Tips And Desain
 Cerita

Save
Home» jalan» Permasalahan yang sering terjadi pada proyek jalan tol

Permasalahan yang sering terjadi pada proyek jalan tol


Permasalahan yang sering terjadi pada proyek jalan tol- Di dunia proyek memang selalu
dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan yang harus segera diselesaikan. Permasalahan
tersebut bisa timbul akibat masalah teknis maupun non teknis. Di setiap proyek memiliki
permasalahan yang berbeda-beda tergantung dari jenis proyek dan lokasi. Semakin besar nilai
proyek semakin besar permasalahan yang dihadapi karena sejalan dengan tingkat resiko yang
ada. Permasalahan yang dihadapi proyek gedung tentu saja berbeda dengan proyek jalan. Proyek
jalan biasanya memiliki permasalahan sosial yang banyak karena lokasi yang dilalui melewati
beberapa pemukiman yang berbeda-beda.

Proyek jalan khususnya jalan tol memiliki nilai kontrak yang sangat besar karena volume yang
dikerjakan sangat banyak. Dengan nilai kontrak yang begitu besar tentu saja permasalahan yang
dihadapi di lapangan pun tidak sedikit. Berikut permasalahan yang sering terjadi pada proyek
jalan tol.

1. Lahan belum bebas


Permasalahan lahan belum bebas sangat mungkin terjadi pada proyek jalan tol. Walaupun
permasalahan ini menjadi tanggung jawab owner jalan tol, akan berakibat pada progres
pekerjaan. Adanya lahan yang belum bebas ini biasanya disebabkan pemilik lahan tidak sepakat
dengan harga beli oleh owner sehingga pemilik lahan enggan meninggalkan lahannya.

Salah satu solusi mengatasi permasalahan ini di lapangan adalah membantu owner dalam
pendekatan kepada pemilik lahan agar pemilik lahan bersedia melepas lahannya.

2. Perijinan Quarry
Selain masalah sosial, proyek jalan tol juga memiliki banyak permasalahan teknis seperti
lambatnya perijinan quarry. Seperti dijelaskan dalam artikel Proses perijinan pertambangan
quarry setidaknya paling cepat dalam mengurus surat ijin pertambangan adalah 3 bulan.
Akibatnya pekerjaan timbunan menjadi terlambat. Keterlambatan ini akan berpengaruh terhadap
pekerjaan lainnya seperti drainage layer, LC dan Rigid.

3. Rencana trase jalan melewati makam


Proyek jalan tol biasanya akan melewati beberapa persawahan dan pemukiman warga yang
didalamnya terdapat beberapa makam. Lahan makam sangat berbeda dengan lahan rumag tinggal
warga karena tidak bisa sembarangan untuk diclearing. Makam harus dipindahkan atau
direlokasi ke tempat yang tidak terkena trase jalan tol. Proses pemindahan makam pun tidak bisa
dilakukan kapan saja. karena biasanya warga mempunyai ritual khusus saat memindahkan
makam yang membutuhkan waktu lebih lama sehingga mengganggu progres pekerjaan di
lapangan.

4. Wartawan dan LSM


Proyek jalan tol adalah proyek besar yang menjadi sorotan langsung oleh Presiden dan publik.
Tidak heran jika setiap detik proyek ini selalu di awasi oleh LSM dan wartawan. Apalagi jika
terjadi kecelakaan kerja dalam waktu yang singkat seluruh publik langsung mengetahui.
Walaupun terkadang kejadian sebenarnya di proyek tidak seperti apa yang diberitakan di media.

5. Waktu yang singkat


Proyek tol mempunyai volume pekerjaan yang besar dengan waktu yang sedikit. Sehingga
pekerjaan di lapangan hampir 24 jam kerja. Tidak hanya itu, tekanan dari mana aja selalu datang
karena memang menjadi sorotan langsung oleh Presiden.

6. Subkon Mogok Kerja


Hampir semua pekerjaan besar pada proyek jalan tol dikerjakan oleh subkontraktor. Hal ini
untuk mengantisipasi Biaya Administrasi Umum jika dikerjakan secara swakelola. Cara
memonitoring pun juga lebih mudah karena kontrak terhadap subkon berdasarkan volume. Akan
menjadi masalah besar jika subkon terjadi mogok kerja karena ada negosiasi harga yang belum
deal.

7. Pemindahan Tiang Listrik dan Sutet oleh PLN


Trase jalan tol biasanya akan melewati beberapa kabel listrik dan tower sutet yang sudah ada
sebelumnya sehingga pemindahan tower listrik harus dilakukan agar tidak menganggu jalan tol.
Tower listrik ini sepenuhnya milik PLN sehingga pemindahan harus dilakukan oleh pihak PLN.
Beberapa pengalaman yang pernah terjadi, proses pemindahan oleh PLN terbilang sangat lama
dan membutuhkan biaya yang besar. Biaya tersebut menjadi tanggung jawab kontraktor dan
dibayarkan kepada PLN. Proses ini membutuhkan waktu yang lama dan otomatis akan
mengganggu progres pekerjaan di lapangan.

Masih banyak lagi permasalahan yang terjadi pada proyek jalan tol. Poin-poin di atas
hanya sebagian kecil saja dari permasalahan yang sering terjadi karena tiap daerah mempunyai
masalah sosial dan teknis yang berbeda-beda.

Penyebab kerusakan aspal pada jalan


Lapis perkerasan aspal merupakan bagian dari struktur jalan yang masih banyak digunakan di Indonesia.
Lapis perkerasan aspal cenderung lebih fleksibel dibanding dengan lapis perkerasan kaku (beton)
sehingga pengguna jalan merasa lebih nyaman dan aman. Namun tidak jarang lapis perkerasan aspal
yang ada di jalan sering kali cepat rusak yang menyebabkan pengguna jalan tidak nyaman. Kerusakan
pada aspal sering kali dikaitkan dengan faktor kualitas bahannya. Pada artikel kali ini akan dibahas
penyebab kerusakan lapis perkerasan aspal pada jalan.

Sebelum membahas penyebab kerusakan aspal pada jalan ada baiknya membaca artikel ini terlebih
dahulu struktur perkerasan jalan aspal (fleksibel). Pada artikel tersebut dibahas beberapa struktur pada
badan jalan yang ada di bawah lapis perkerasan aspal. Penyebab kerusakan pada lapis perkerasan aspal
juga bisa disebabkan oleh faktor struktur di bawahnya.

Penyebab kerusakan aspal sering dikaitkan dengan kualitas bahan aspal yang tidak sesuai dengan syarat
dan spesifikasi. Namun pada kenyataannya memang ada benarnya juga. Tidak heran jika sekarang ini
banyak jalan yang cepat sekali rusak. Dalam hal ini semua pihak harus bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pekerjaan jalan. Tidak hanya kontraktor saja melainkan stakeholder lain juga bertanggung
jawab seperti konsultan pengawas, pemerintah dari tingkat ppk sampai dengan tingkat balai. Oleh
karena itu saat ini pelaksanaan pekerjaan jalan harus diserahkan kepada kontraktor-kontraktor yang
bonafit melalui tender terbuka.

Berikut beberapa penyebab kerusakan lapis perkerasan aspal pada jalan.

1. Kadar aspal tidak sesuai Job Mix Formula.

Job Mix Formula (JMF) adalah komposisi material penyusun aggregat aspal yang dibuat di laboratorium
sebelum pelaksanaan di lapangan mulai. JMF ini dijadikan acuan untuk pekerjaan aggregat aspal di
lapangan. Jika dalam JMF menyebutkan kadar aspal yang harus dipakai min 6,2% maka kadar aspal yang
digunakan di lapangan harus 6,2% juga. JMF ini tidak paten selama proyek melainkan bisa berubah
sesuai kondisi lapangan dan harus di acc oleh Konsultan pengawas. Sebagai kontraktor tidak boleh
merubah kadar aspal di lapangan kecuali JMF juga ikut berubah.
Apabila kadar aspal yang digunakan di lapangan lebih kecil dibanding kadar aspal di JMF akan berakibat
fatal pada mutu aggregat aspal di lapangan. Hal itu disebabkan daya rekat dan fleksibilitas akan menjadi
tidak maksimal. Hasilnya setelah pengaspalan selesai jalan akan menjadi retak rambut. Jika terjadi retak
rambut maka air hujan akan masuk ke struktur di bawahnya. Jika dibiarkan terus air akan merusak
struktur bawahnya dan memperparah aggregat aspal.

Solusi untuk mengatasi jalan aspal yang sudah retak adalah dengan patching atau memotong dan
mengambil sebagian aggregat aspal yang rusak. Kemudian diganti dengan aggregat aspal yang baru.

2. Suhu penghamparan aspal di lapangan tidak sesuai spesifikasi.

Salah satu penyebab kerusakan aspal yang sering terjadi adalah aggregat aspal sudah dingin ketika
sampai di lapangan. Alasannya adalah jarak AMP (Asphalt mixing plant) dengan lokasi pengaspalan
terlalu jauh. Namun alasan itu tidak bisa dibenarkan karena kontraktor terikat dengan spesifikasi dan
kontrak. Lalu berapa sih suhu penghamparan aspal yang benar? Baca artikel ini.

Suhu aspal saat penghamparan. Dalam artikel tersebut suhu aspal yang normal pada saat dituangkan di
asphalt finisher adalah 135-150ㅇ c. Biasanya sebelum dihamparkan akan diperiksa terlebih dahulu
menggunakan termometer. Apabila suhu aspal menjadi dingin dan kurang dari suhu yang diisyaratkan
maka aggregat aspal menjadi keras menggumpal. Aggregat aspal yang menggumpal akan menyebabkan
aggregat aspal susah dipadatkan sehingga density aspal menjadi berkurang.

Apabila dipaksakan tetap dihampar dalam waktu beberapa minggu setelah pengaspalan akan cepat
rusak karena tidak homogen lagi.

3. LPA dan LPB belum keras tetap dipaksakan dilakukan pengaspalan.

Lpa adalah lapis pondasi atas yang terletak tepat di bawah aggregat aspal sedangkan Lpb adalah lapis
pondasi bawah yang terletak di bawah lpa dan diatas tanah dasar. Seringkali dalam pelaksanaan di
lapangan lebih mengutamakan percepatan tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan. Karena alasan
percepatan lpa atau lpb yang belum keras langsung ditimpa dengan aggregat aspal. Hal ini akan
berakibat sangat fatal karena apabila pondasi jalan rusak struktur di atasnya akan ikut rusak. Ini adalah
salah satu penyebab kerusakan aggregat aspal yang sering terjadi. Biasanya kerusakan yang terjadi akan
membentuk sebuah kubangan berisi air.
Solusi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kerusakan ini adalah dengan mengganti semua lapis
pondasi dan dilakukan pengaspalan ulang. Semakin banyak kerusakan tentunya akan menyebabkan
kerugian pada kontraktor. Oleh karena itu perlunya kehati-hatian dalam melaksanakan pekerjaan di
lapangan.

4. Aggregat aspal di atas tanah timbunan yang belum padat.

Apabila tanah timbunan belum padat sebaiknya jangan terburu - buru untuk menimpa dengan lapis
pondasi. Walaupun campuran lapis pondasi menggunakan material yang sangat baik, jika terjadi
penurunan tanah dasar akan terjadi kerusakan parah.

5. Jumlah passing pemadatan kurang

Faktor penyebab lainnya terjadi kerusakan pada jalan aspal adalah kurangnya pemadatan menggunakan
alat berat. Pemadatan aspal biasa menggunakan 2 alat yaitu tandem roller dan PTR (pneumatic tire
roller) seperti yang dijelaskan pada artikel

Cara pemadatan Aspal yang benar.

Jumlah passing pemadatan aspal memang tiap proyek berbeda-beda namun biasanya dilakukan uji trial
terlebih dahulu untuk mengetahui jumlah passing. Hasil uji trial tersebut dijadikan acuan untuk
pekerjaan di lapangan. Apabila jumlah passing di lapangan lebih sedikit dari saat trial maka tingkat
kepadatan berkurang (density). Seperti yang diketahui density minimal sesuai spesifikasi adalah 98%.
Jika kurang dari itu akan dikhawatirkan lapisan air tidak 100% kedap air. Air akan masuk ke struktur
pondasi dan lama kelamaan akan menyebabkan kerusakan aspal.

6. Komposisi abu batu

Banyak orang yang sering mengabaikan peranan material abu batu ini. Padahal dalam campuran
aggregat aspal abu batu sangat membantu dalam kerekatan. Faktor ini juga akan menentukan tingkat
kepadatan dan kelenturan aggregat aspal. Pada campuran aspal AC-WC akan membutuhkan abu batu
lebih banyak dibandingkan AC-BC karena lapisan AC-WC harus lebih rapat dan kedap terhadap air.

Jika material abu batu ini dikurangi atau tidak sesuai dengan JMF maka akan menimbulkan kerusakan
apda lapis aggregat aspal.
Masih banyak hal penyebab kerusakan jalan aspal. Beberapa point di atas adalah faktor penyebab
kerusakan aspal yang sering terjadi. Pada dasarnya semua metode dan komposisi sudah diatur dalam
Job Mix Formula. Pelaksanaan di lapangan harusnya mengikuti apa yang ada dalam JMF.

Proses perijinan pertambangan Quarry untuk proyek jalan


Proses perijinan pertambangan Quarry untuk proyek jalan- Quarry adalah bagian terpenting dari
sebuah proyek jalan khususnya proyek dengan kebutuhan material timbunan. Penyediaan quarry
menjadi tanggung jawab dari kontraktor sehingga penentuan lokasi dan proses perijinan pertambangan
yang mengerjakan adalah kontraktor bukan owner proyek. Lokasi Quarry menjadi faktor penentu
keberhasilan suatu proyek besar karena sangat berpengaruh terhadap progres pekerjaan timbunan. Jika
kontraktor telat mendapatkan lokasi quarry yang pas, item pekerjaan timbunan akan terlambat. Jika
pekerjaan timbunan terlambat otomatis pekerjaan di atasnya akan terlambat seperti Agregat A, Lean
Concrete, dan Rigid pavement.

Pada artikel sebelumnya Strategi penentuan lokasi Quarry, dijelaskan bahwa banyak sekali
pertimbangan dalam menentukan lokasi quarry. Apabila lokasi quarry sudah ditentukan langkah
selanjutnya adalah proses perijinan pertambangan Quarry dari Gubernur setempat. Ada perubahan
tentang peraturan perijinan pertambangan, jika dulu proses perijinan cukup sampai di Bupati, saat ini
proses perijinan pertambangan harus ditandatangani oleh Gubernur.

Bentuk perijinan terdapat 3 surat ijin pertambangan yaitu WIUP, IUP eksplorasi, dan IUP Operasi
Produksi. 3 bentuk surat tersebut berurutan proses perijinannya. Berikut penjelasannya.

Proses perijinan
1. WIUP

WIUP (wilayah ijin usaha pertambangan) adalah surat ijin yang mengatur lokasi wilayah yang akan
ditambang. Jika kontraktor sudah menemukan lokasi quarry dan lokasi tersebut masuk dalam RTRW di
Dinas ESDM maka lokasi tersebut bisa ditambang. Untuk mengurus surat ijin WIUP ini cukup melalui
BPMP2T (Badan penanaman modal pelayanan perijinan terpadu) dengan melengkapi berkas-berkas
administrasi. Jika belum ada perubahan peraturan, dokumen-dokumen administrasi antara lain:

1. Surat permohonan WIUP ditujukan kepada Gubernur


2. Profil badan usaha/perorangan
3. Akter pendirian perusahaan
4. Susunan direksi dan pemegang saham
5. NPWP
6. Surat keterangan domisili perusahaan
7. Surat pernyataan tenaga ahli
8. Surat keterangan tidak keberatan dari masyarakat disekitar yang diketahui oleh kepala desan
dan camat
9. Peta WIUP dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur

2. IUP Eksplorasi

IUP Eksplorasi (Ijin Usaha Pertambangan Eksplorasi) adalah surat ijin yang didapatkan setelah
mendapatkan surat WIUP. Dalam undang-undang No.23 tahun 2010 disebutkan apabila dalam waktu 5
hari setelah WIUP dikeluarkan belum mengajukan surat permohonan IUP eksplorasi, surat WIUP
dianggap batal. Berikut dokumen-dokumen syarat yang harus dibawa untuk mengajukan IUP eksplorasi.

1. Surat permohonan IUP Eksplorasi ditujukan kepada Gubernur melalui BPMP2T


2. Profil badan usaha/perorangan
3. Akter pendirian perusahaan
4. Susunan direksi dan pemegang saham
5. NPWP
6. Surat keterangan domisili perusahaan
7. Surat pernyataan tenaga ahli
8. Peta IUP eksplorasi yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai
dengan ketentuan sistem informasi geografi
9. Surat pernyataan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
10. Bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi sesuai dengan
rencana kerja eksplorasi

3. IUP Operasi Produksi


Surat ijin ini didapatkan setelah IUP eksplorasi dikeluarkan. IUP operasi Produksi menandakan Quarry
sudah siap ditambang. Proses perijinan untuk IUP OP ini membutuhkan waktu yang lebih lama karena
syarat-syarat untuk permohonannya lebih banyak. Berikut dokumen-dokumen syarat yang harus dibawa
untuk mengajukan IUP OP.
1. Dokumen Administrasi

1. Surat permohonan IUP Eksplorasi ditujukan kepada Gubernur melalui BPMP2T


2. Profil badan usaha/perorangan
3. Akter pendirian perusahaan
4. Susunan direksi dan pemegang saham
5. NPWP
6. Surat keterangan domisili perusahaan

2. Dokumen Teknis

1. Peta wilayah pertambangan yang dilengkapi sistem koordinat


2. Laporan lengkap ijin usaha pertambangan eksplorasi
3. Laporan studi kelayakan
4. UKL-UPL
5. Rencana reklamasi dan pasca tambang
6. Rencana kerja dan biaya
7. Rencana pembangunan sarana dan pasca sarana penunjang kegiatan Operasi Produksi
8. Tersedianya tenaga ahli pertambangan minimal 3 tahun pengalaman

3. Dokumen Lingkungan

1. Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dibidang


pengelolaan lingkungan hidup
2. Persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

4. Dokumen Biaya

1. Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik
2. Bukti pembayaran retribusi 3 tahun terakhir

Proses perijinan pertambangan quarry ini memilik waktu yang tidak tentu. Paling cepat untuk
pengurusan perijinan sekitar 3 bulan. Oleh karena itu sebelum proyek dimulai sebaiknya proses perijinan
sudah dimulai terlebih dahulu agar tidak terjadi keterlambatan akibat proses perijinan quarry.

Catatan yang paling penting adalah dalam melakukan pengajuan IUP harus mendapat persetujuan dari
warga sekitar dengan mempersiapkan rencana reklamasi setelah lokasi quarry selesai ditambang.

Berikut ini skema proses perijinan agar lebih memudahkan untuk memahami.
Bagan alir prijinan

Permasalahan dalam melakukan proses perijinan tentu berbeda-beda disetiap tempat oleh karena itu
sebagai kontraktor harus pandai-pandai dalam merebut hati masyarakat. Karena kendala-kendala tidak
hanya dalam proses perijinan saja melainkan pada saat pelaksanaan pertambangan pun sering kali
terjadi beberapa kendala yang harus cepat diselesaikan. Surat IUP OP ini sangat penting sebagai bukti
legal ijin menambang di lokasi tersebut. Jangan sekali-sekali melakukan aktivitas pertambangan apabila
IUP OP belum keluar karena akan menjadi banyak sorotan LSM maupun wartawan apalagi proyek
tersebut adalah proyek besar bernilai triliun.

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

Untuk Info Lebih lanjut silahkan gabung dengan grup facebook Ilmu Proyek & Info Harga

Struktur perkerasan jalan beton (Rigid pavement)- Jalan merupakan prasarana utama dalam
transportasi. Tanpa jalan, transportasi darat tidak akan berjalan. Banyak sekali type dan
klasifikasi jalan yang ada di Indonesia seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel sebelumnya
Jenis Klasifikasi jalan di Indonesia. Saat ini perkembangan jalan di Indonesia sedang
berkembang, mengingat masih banyak sekali akses-akses jalan yang dibutuhkan untuk
menghubungkan antar kota khususnya di daerah perbatasan negara baik berupa jalan tol maupun
jalan biasa. Kebanyakan dari akses jalan perkotaan dan antar provinsi di perbatasan negara masih
menggunakan type perkerasan lentur (flexible pavement) sedangkan jalan-jalan Tol untuk saat
ini lebih banyak menggunakan perkerasan jalan beton atau rigid pavement atau perkerasan kaku.

Saat ini di Indonesia lagi gencar-gencarnya membangun jalan tol untuk menghubungkan antar
daerah agar roda perekonomian dapat berjalan dengan baik. Lalu apa saja manfaat lain dari jalan
tol ini? baca di artikel Apa yang istimewa dari jalan Tol?

Pada artikel sebelumnya juga sudah dibahas mengenai struktur jalan pada perkerasan
lentur Struktur perkerasan jalan aspal (flexible pavement). Perkerasan jalan aspal
mempunyai struktur yang berbeda dengan perkerasan jalan beton (rigid pavement). Perbedaan
terdapat pada susunan lapisan strukturnya. Rigid pavement mempunyai lapisan struktur yang
lebih sedikit dibanding dengan flexible pavement. Oleh karena itu artikel ini akan khusus
membahas mengenai Struktur perkerasan jalan beton (Rigid pavement).

Perkerasan kaku atau rigid pavement sering digunakan pada jalan yang mempunyai beban lalu
lintas besar dan LHR tinggi seperti jalan tol. Ada beberapa keistimewaan mengapa jalan tol
menggunakan rigid pavement yaitu lebih awet dan biaya maintenance lebih rendah dibanding
menggunakan flexible pavement. Namun secara kenyamanan, pengguna jalan mengaku lebih
nyaman lewat di atas jalan aspal dibanding di atas jalan beton.

Struktur pada perkerasan jalan beton mempunyai spesifikasi khusus yang berbeda dengan
spesifikasi perkerasan lentur karena susunan lapisan struktur juga berbeda. Berikut ini contoh
gambar cross section jalan pada perkerasan jalan beton.

Cross section

Gambar di atas adalah potongan melintang pada struktur perkerasan jalan beton atau rigid
pavement. Untuk potongan lebih jelasnya perhatikan gambar di bawah ini.
Pendetailan

Pada contoh gambar ini menggunakan timbunan tanah (common embankment) biasa karena
memang elevasi rencana sangat tinggi. Tidak semua struktur jalan beton seperti itu. Namun pada
umumnya lapisan struktur perkerasan kaku terdiri dari Common embankment, drainage layer,
Lean Concrete dan rigid pavement. Berikut penjelasannya.

1. Common Embankment

Tanah timbunan sangat diperlukan untuk mengejar elevasi rencana. Proses pemadatannya pun
tidak sembarangan. Dibutuhkan beberapa trial pemadatan terlebih dahulu untuk mencapai nilai
kepadatan (CBR) sesuai spesifikasi. Apabila trial sudah dilakukan dan sudah disetujui oleh
konsultan, maka dilakukan metode pemadatan dengan menggunakan alat berat seperti vibro,
seepfoot, dan dozer. Tiap proyek melakukan jumlah passing yang berbeda-beda tergantung dari
hasil trial. Biasanya langkah pertama adalah tanah timbunan didump di lokasi, kemudian dozer
meratakan tanah timbunan dengan ketebalan 50 cm. Setelah itu digilas menggunakan seepfoot
roller untuk menghancurkan tanah berbentuk bebatuan besar. Terakhir digilas menggunakan
vibro roller sambil diberi air agar hasil lebih padat.

Yang paling penting disini adalah material timbunan harus benar-benar berkualitas yang lulus uji
lab pada saat pengambilan di quarry. Jangan sampai ada tanah lempung karena sifat dari tanah
lempung susah dipadatkan walaupun digilas berulang-ulang. Biasanya pemadatan dilakukan tiap
layer dengan ketebalan tanah gembur 50 cm dan dipadatkan menjadi 30 cm. Setelah satu layer
tanah selesai dipadatkan kemudian diuji sandcone. Apabila hasil uji sandcone lebih dari 90%
maka bisa dilanjutkan ke layer berikutnya.

Pekerjaan timbunan ini harus benar-benar sesuai mutu dalam kontrak karena apabila terjadi suatu
penurunan yang tidak seragam akan menyebabkan kerusakan badan jalan nanti.
2. Drainage layer
Drainage layer adalah suatu layer atau lapisan di atasnya timbunan yang digunakan sebagai
pengalir aliran air secara horizontal agar tidak merusak badan jalan. Pada pekerjaan jalan tol,
drainage layer menggunakan material agregat A. Agregat A mempunyai spesifikasi tingkat
kepadatan 100%. Sehingga hampir sama fungsinya pada lapis pondasi struktur perkerasan aspal.

Biasanya tebal drainage layer ini sekitar 15 cm padat. Sehingga penghamparan material sekitar
17 cm dan setelah dipadatkan menggunakan vibro roller menjadi 15 cm. Apabila pemadatan
selesai maka dilanjut dengan uji sandcone (kepadatan). Minimal hasil uji harus 100%.

3. Lean Concrete
Lean concrete atau disebut LC ini adalah lantai kerja untuk pekerjaan rigid pavement. Sehingga
lapisan ini bukan termasuk lapisan struktur. Namun wajib ada sebelum pekerjaan beton (rigid).
Fungsinya hanya sebagai lantai kerja agar air semen tidak meresap ke dalam lapisan bawahnya.
Tebal LC ini biasanya 10 cm. LC ini pada dasarnya terbuat dari beton dengan mutu K175. Proses
pelaksanaannya cukup mudah. Beton dari truck mixer dituang kemudian diratakan menggunakan
jidar oleh tukang.

4. Rigid Pavement
Pekerjaan rigid adalah pekerjaan yang berbobot besar dalam kontrak dan termasuk pekerjaan
utama pada jalan Tol. Beton yang digunakan menggunakan kelas mutu P dengan tebal 29 cm.
Proses pengecoran beton rigid ini menggunakan bantuan alat berat Wirgent dan GNZ. Kedua alat
berat tersebut termasuk alat canggih khusus untuk menggelar dan memadatkan beton. Berikut
mutu yang harus diikuti sesuai spesifikasi rigid pavement.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas perkerasan jalan beton ini adalah mutu beton dan
pelaksanaan. Beton harus benar-benar terjaga mutunya sampai di lokasi pengecoran. Syarat
slump yang digunakan adalah 4-6 cm. Apabila terlalu encer Wirgent atau GNZ tidak bisa
menggelar dan memadatkan beton dengan baik sehingga kualitasnya pun berpengaruh. Metode
pelaksanaan di lapangan juga akan berpengaruh terhadap hasil rigid pavement. Diperlukan
tenaga kerja yang berpengalaman dan mengerti penggunaan alat wirgent dan GNZ.

Demikian sedikit penjelasan mengenai struktur perkerasan jalan beton (rigid Pavement). Semoga
bermanfaat.

CONTOH PERHITUNGAN GEOMETRIK JALAN RAYA

PENDAHULUAN

CONTOH PERHITUNGAN GEOMETRIK JALAN RAYA. Perencanaan geometrik adalah bagian dari
perencanaan jalan dimana geometrik atau dimensi nyata jalan beserta bagian-bagiannya disesuaikan
dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu lintas. Melalui perencanaan geometrik ini perencana berusaha
menciptakan sesuatu hubungan yang baik antara waktu dan ruang sehubungan dengan kendaraan yang
bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisiensi keamanan serta kenyamanan yang paling optimal
dalam pertimbangan ekonomi yang paling layak.Perencanaan geometrik pada umumnya menyangkut
aspek perencanaan jalan seperti lebar, tikungan, landai, jarak pandang dan juga kombinasi dari bagian-
bagian tersebut.Perencanaan geometrik ini berhubungan erat dengan arus lalu lintas, sedangkan
perencanaan konstruksi jalan lebih bersangkut paut dengan beban lalu lintas tersebut.

Pengertian Jalan Raya

Menurut Silvia Sukirman Jalan raya atau jalur lalu lintas (tranvelled way = carriage way) adalah
keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas kenderaan. Jalur lalu lintas
terdiri dari beberapa lajur (lane) kenderaan. Lajur kenderaan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang
khusus diperun tukan untuk dilewati oleh suatu rangkaian kenderaan beroda empat atau lebih dalam
satu arah . jadi jumlah jalur minimal untuk jalan 2 arah dan pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur
2 arah. Jalur lalu lintas untuk satu arah minimal terdiri dari 1 lajur lalu lintas.

Klasifikasi Jalan
Factor-faktor pokok pada klasifikasi jalan jalan raya untuk penerapan pengendalian dan kreteria
perencanaan geometrik adalah Volume Lalu lintas Rencana (VLR), fungsi jalan raya dan kondisi medan.

Menurut peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, jalan dibagi atas beberapa kelas yang telah
ditetapkan berdasarkan fungsi dan volumenya, serta sifat-sifat lalu lintas berdasarkan ketentuan Dirjen
Bina Marga. Adapun penggolongan tersebut sebagai syarat batas dalam perencanaan suatu jalan yang

Sesuai dengan fungsinya. Penggolongan kelas jalan tersebut diperlihatkan pada tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 : Penggolongan kelas jalan

Fungsi Medan VLR ( smp / hari )

30.000
> 30. 000 10.000 
>10.000

D
Kelas III Kelas III Kelas IV
B
JALAN
KOLEKTOR Kelas III
G Kelas III Kelas IV

Sumber : Spesxifikasi standar untuk pertencanaan geometrik jalan luar kota

(Rancangan akhir), 1990


BAGIAN-BAGIAN JALAN

Bagian yang bermanfaat untuk lalu lintas, terdiri dari: jalur lalu lintas, lajur lalu lintas, bahu jalan, trotoar,
median
Bagian yang bermanfaat untuk drainase jalan, terdiri dari: ditch, kemiringan melintang jalan maupun
bahu, kemiringan lereng

1. Bagian pelengkap, terdiri dari: kerb, guard rail atau parapet


2. Bagian konstruksi jalan, terdiri dari: lapisan surface, lapisan pondasi atas maupun bawah, lapisan
tanah dasar
3. Ruang manfaat jalan (Rumaja)
4. Ruang milik jalan (Rumija)
5. Ruang pengawasan jalan (Ruwasja)

jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukkan
untuk lalu lintas kendaraan.
Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk dilewati oleh satu
rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah.
Bahu jalan adalahjalur yang terletak pada berdampingan jalur lalu lintas dengan ataupun tanpa
diperkeras
Trotoar (side walk) adalah jalur yang terletak bersisian dengan jalur lalu lintas yang khusus
diperuntukkan bagi pejalan kaki (pedestrian)

jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukkan
untuk lalu lintas kendaraan. Sedangkan Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus
diperuntukkan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah.

PARAMETER DESIGNE
1. Kendaraan rencana
2. Kecepatan
3. Volume lalu lintas
4. Tingkat pelayanan
5. Jarak pandang

ALINEMEN HORIZONTAL

Alinemen horizontal (trase jalan) adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horisontal. Alinemen
horisontal tersusun atas garis lurus dan garis lengkung (busur) atau lebih dikenal dengan istilah tikungan.
Busur terdiri atas busur lingkaran saja (full-circle), busur peralihan saja (spiral-spiral), atau gabungan
busur lingkaran dan busur peralihan (spiral-circlespiral).

Gaya Apa Saja yang Terjadi di Tikungan ?

F=ma
F = (G.V^2)/(g.R)

Dimana :
F = gaya sentrifugal
m = massa kendaraan
a = percepatan sentrifugal
G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi
V = kecepatan kendaraan
R = jari-jari tikungan

Gaya yang mengimbangi gaya sentrifugal adalah berasal dari :


• Gaya gesekan melintang roda (ban) kendaraan yang sangat
dipengaruhi oleh koefisien gesek (= f)
• Superelevasi atau kemiringan melintang permukaan jalan (= e)

Ketajaman lengkung horisontal (tikungan) dinyatakan dengan besarnya radius lengkung (R) atau dengan
besarnya derajat lengkung (D). Derajat lengkung (D) adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan
panjang busur 25 meter.

D = (25/π.R) . 360
D = 1432.39 / R

Radius lengkung (R) sangat dipengaruhi oleh besarnya superelevasi (e) dan koefisien gesek (f) serta
kecepatan
rencana (V) yang ditentukan. Untuk nilai superelevasi dan koefisien gesek melintang maksimum pada
suatu kecepatan yang telah ditentukan akan meghasilkan lengkung tertajam dengan radius minimum
(Rmin).

Pada jalan lurus dimana radius lengkung tidak berhingga perlu direncanakan super elevasi (en) sebesar 2
– 4 persen
untuk keperluan drainase permukaan jalan.

Secara teori pada tikungan akan terjadi perubahan dari radius lengkung tidak berhingga (R~) pada
bagian lurus menjadi radius lengkung tertentu (Rc)pada bagian lengkung dan sebaliknya. Untuk
mengimbangi perubahan gaya sentrifugal secara bertahap diperlukan lengkung yang merupakan
peralihan dari R~ menuju Rc dan kembali R~
Lengkung peralihan ini sangat dipengaruhi oleh sifat pengemudi, kecepatan kendaraan, radius lengkung
dan superelevasi jalan. Pencapaian superelevasi dari en menjadi emaks dan kembali menjadi en
dilakukan pada awal sampai akhir lengkung secara bertahap. Panjang lengkung peralihan (Ls)
diperhitungkan dari superelevasi sebesar en sampai superelevasi mencapai emaks.

Panjang lengkung peralihan (Ls) yang digunakan dalam perencanaan adalah yang terpanjang dari
pemenuhan persyaratan untuk:
• Kelandaian relatif maksimum

Modifikasi rumus SHORT

Berdasarkan panjang perjalanan selama waktu tempuh 3 detik (Bina Marga) atau 2 detik (AASHTO)Ls =
(V/3.6) . T

Kelandaian relatif maksimum (1/m) berdasarkan kecepatan rencana berikut :

No Kecepatan Rencana (Vr)


20 30 40 50 60 80 100

Bina Marga 1/50 1/75 1/100 1/115 1/125 1/150 1/100

No Kecepatan Rencana (Vr)

32 48 64 80 88 96 104

AASHTO 1/33 1/150 1/175 1/200 1/213 1/222 1/244

Diagram Superelevasi

Merupakan penggambaran pencapaian superelevasi dari lereng normal (en) sampai lereng maksimal (e
maks), sehingga dapat ditentukan diagram penampang melintang setiap titik (stationing) pada suatu
tikungan yang direncanakan.

Jenis-Jenis Tikungan

 Full Circle,
 Spiral – Circle – Spiral,
 Spiral – Spiral,

Full Circle
Karena hanya terdiri dari lengkung sederhana saja, maka perlu adanya lengkung peralihan fiktif (Ls`)
untuk mengakomodir perubahan superelevasi secara bertahap. Bina marga menempatkan ¾ Ls` pada
bagian lurus dan ¼ Ls` pada bagian lengkung • AASHTO menmpatkan 2/3 Ls` pada bagian lurus dan 1/3
Ls` pada bagian lengkung.
Spiral – Circle – Spiral
Lc untuk lengkung type S – C – S sebaiknya ≥ 20 meter

Spiral – Spiral

Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang diperlukan dari Ls berdasarkan landai relatif
lebih besar dari
pada Ls berdasarkan modifikasi SHORT serta Ls berdasarkan panjang perjalanan selama 3 detik (Bina
Marga) atau selama 2 detik (AASHTO).

Pelebaran Pada Lengkung


b = lebar kendaraan rencana
B = lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam
U = B-b
C = lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan
Bn = lebar total perkerasan pada bagian lurus
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
n = jumlah lajur
Bt = n(Bt + C) + Z
Db= tambahan lebar perkerasan di tikungan = Bt - Bn

Rw = radius lengkung terluar dari lintasan kendaraan pada lengkung horisontal untul lajur sebelah
dalam, besarnya dipengaruhi oleh tonjolan
depan (A) kendaraan dan sudut belokan roda depan (a). Ri = radius lengkung terdalam dari lintasan
kendaraan pada lengkung horisontal untuk lajur sebelah dalam, besarnya dipengaruhi oleh jarak gandar
kendaraan (p).
ALINEMEN VERTIKAL

Alinemen vertikal (kelandaian) adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan
perkerasan jalan sehingga sering dikenal dengan penampang memanjang jalan. Faktor yang menjadi
pertimbangan penentuan alinemen vertikal adalah: kondisi tanah dasar, keadaan medan (terrain), fungsi
jalan, hwl/lwl, kelandaian yang masih memungkinkan. Kelandaian dibaca dari kiri ke kanan; diberi nilai
positif untuk pendakian dari kiri ke kanan dan nilai negatif untuk penurunan dari kiri ke kanan.

Kelandaian

Landai minimum; landai idealnya sebesar 0% (datar), landai 0.15% disarankan untuk jalan menggunakan
kerb, landai 0.3 – 0.5% disarankan untuk jalan di daerah galian menggunakan kerb. Landai maksimum;
adalah kelandaian tertentu dimana kelandaian akan mengakibatkan berkurangnya kecepatan yang
masih lebih besar dari setengah kecepatan rencana.

Vr (Km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40

Kelandaian Max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Panjang kritis (meter) sangat diperlukan sebagai batasan kelandaian maksimum agar pengurangan
kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (tabel di bawah)

Kelandaian (%)
Vr (Km/jam)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Pada jalan berlandai dengan LHR yang tinggiperlu dibuat lajur pendakian untuk menampung kendaraan
(khususnya kend berat) yang sering mengalami penurunan kecepatan agar tidak mengganggu lalu lintas
dengan kecepatan yang lebih tinggi.

TYPE ALINEMEN VERTIKAL

Lengkung vertikal cembung

Lengkung vertikal cekung


Inilah sedikit-banyak teori serta contoh perhitungan geometrik yang bisa dipelajari, semoga
bermanfaat...

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa Data


4.1.1 Analisa Data Tanah
Data tanah yang dipakai dalam perencanaan tebal perkerasan jalan yang akan direncanakan berdasarkan
nilai CBR pada setiap ruas jalan pada tabel 3.1.
Tabel 4.2. Data Lalu Lintas Dalam Satuan Mobil Penumpang

Jumlah LHR
No Jenis Kendaraan Koefisien
Kendaraan ( smp)
1 Mobil penumpang ( 1+1 ) 1800 1 1800
2 Bus 8 ton (2 + 6 ) 400 3 1200
3 Truck 2 as ( 4 + 6 ) 250 2.5 625
4 Truck 3 as ( 6 + 7.7 ) 150 3 450
Jumlah Kendaraan / hari /2jalur 2600 4075

4.1.1. Menentukan Klasifikasi Jalan


4.1.1.1 Perhitungan Kemiringan
Jika titik pada potongan yang ditinjau berada diantara kontur yang elevasinya sama maka tidak diperlukan
perhitungan lagi dan lokasi tersebut dianggap datar. Jika masing-masing ujung titik potongan berada pada
elevasi yang berbeda, maka perlu dilakukan perhitungan dengan cara selisih ketinggiannya di bagi dengan
jarak kedua titik tersebut kemudian di kalikan 100%.

Perhitungan kemiringan dengan cara yang sama dengan perhitungan diatas dilanjutkan seperti yang
tertera pada tabel 4.1

Tabel 4.11 Elevasi Titik Rencana Alternatif


ELEVASI JARAK
BEDA KEMIRING
Kiri Tengah Kanan MELINTA
POTONG TINGGI AN
(m) (m) (m) NG
AN
│e│ =│( a f = e/d x
a B C d
- c )│ 100%
1-1' 120 80 30 150 90 60%
2-2' 120 62.5 30 150 90 60%
3-3' 120 55.7 30 150 90 60%
4-4' 120 51.9 30 150 90 60%
5-5' 120 49.8 30 150 90 60%
6-6' 100 49.9 30 150 70 46.66%
7-7' 100 51.8 30 150 70 46.66%
8-8' 100 53.5 30 150 70 46.66%
9-9' 100 67.7 30 150 70 46.66%
10-10' 100 69.6 30 150 70 46.66%
11-11' 100 74.4 30 150 70 46.66%
12-12' 100 73.6 30 150 70 46.66%
13-13' 100 74.3 30 150 70 46.66%
14-14' 100 75.9 30 150 70 46.66%
15-15' 100 76.6 30 150 70 46.66%
16-16' 100 77.4 30 150 70 46.66%
17-17' 100 78,6 30 150 70 46.66%
18-18' 100 78,7 30 150 70 46.66%
19-19' 100 78,1 30 150 70 46.66%
20-20' 100 78,1 30 150 70 46.66%
21-21' 100 77.9 30 150 70 46.66%
22-22' 100 76.3 30 150 70 46.66%
23-23' 100 76,9 40 150 60 40%

ELEVASI JARAK
BEDA KEMIRING
Kiri Tengah Kanan MELINTA
POTONG TINGGI AN
(m) (m) (m) NG
AN
│e│ =│( a f = e/d x
a B C d
- c )│ 100%
24-24' 100 75.1 40 150 60 40%
25-25' 80 75.5 40 150 40 26.66%
26-26' 80 71.8 60 150 20 13.33%
27-27' 80 73.4 60 150 20 13.33%
28-28' 80 80.5 60 150 40 13.33%
29-29' 70 91.7 40 150 30 20%
30-30' 80 60.9 80 150 0 0,00%
31-31' 70 78.9 70 150 0 0,00%
32-32' 80 82.8 80 150 0 0,00%
33-33' 80 85.1 80 150 0 0,00%
34-34' 80 88.1 80 150 0 0,00%
35-35' 80 100 80 150 0 0,00%
36-36' 80 132 80 150 0 0,00%
37-37' 80 134 90 150 10 6.66%
38-38' 100 136 90 150 10 13.33%
39-39' 100 137 90 150 10 13.33%
40-40' 100 141.5 90 150 10 13.33%
41-41' 140 147.5 90 150 10 33.33%
42-42' 140 157,5 90 150 10 33.33%
43-43' 140 157.5 90 150 10 33.330%
44-44' 140 157.5 90 150 10 33.33%
45-45' 140 157.5 140 150 0 0.00%
46-46' 160 157.5 140 150 20 13.33%
47-47' 170 157.5 140 150 30 20%
48-48' 170 157.5 140 150 30 20%
49-49' 170 157.5 140 150 30 20%
50-50' 170 157.5 140 150 30 20%
51-51' 170 157.5 140 150 30 20%
52-52' 170 157.9 140 150 30 20%
53-53' 170 157.5 130 150 40 26,66%
54-54' 170 149.9 130 150 40 26,66%
55-55' 170 147.6 130 150 40 26,66%
56-56' 160 144.4 130 150 30 20%
57-57' 160 140.8 130 150 30 20%
58-58' 160 138.5 130 150 30 20%
59-59' 160 138.5 130 150 30 20%
60-60' 160 138.5 130 150 30 20%
61-61' 160 138.5 130 150 30 20%
62-62' 160 138.5 130 150 30 20%
63-63' 160 138.5 130 150 30 20%
64-64' 150 138.5 130 150 20 13.33%
65-65' 150 138.5 130 150 20 13.33%
66-66' 150 138.5 130 150 20 13.33%
67-67' 150 138.5 130 150 20 13.33%

ELEVASI JARAK
BEDA KEMIRING
Kiri Tengah Kanan MELINTA
POTONG TINGGI AN
(m) (m) (m) NG
AN
│e│ =│( a f = e/d x
a B C d
- c )│ 100%
68-68' 130 138.5 130 150 0 13.33%
69-69' 140 138.5 130 150 10 6.66%
70-70' 140 138.5 130 150 10 6.66%
71-71' 140 138.5 130 150 10 6.66%
72-72' 130 138.5 130 150 10 0,00%
73-73' 140 138.7 130 150 10 6.66%
74-74' 140 138.9 130 150 10 6.66%
75-75' 140 138.9 130 150 10 6.66%
76-76' 130 138.9 130 150 0 0,00%
77-77' 130 138.9 130 150 0 0,00%
78-78' 130 138.9 120 150 10 6.66%
79-79' 110 115.5 110 150 0 0,00%
80-80' 60 115.6 110 150 50 40%
81-81' 120 115.8 110 150 10 6.66%
82-82' 120 91.2 60 150 60 40%
83-83' 130 120 60 150 30 46.66%
84-84' 140 130 60 150 80 53.33%
85-85' 140 134.6 60 150 80 53.33%
86-86' 140 134.6 60 150 80 53.33%
87-87' 140 134.6 90 150 50 33.33%
88-88' 140 134.6 90 150 50 33.33%
89-89' 140 134.6 100 150 40 26.66%
90-90' 140 134.6 100 150 40 26.66%
91-91' 150 134.6 100 150 50 33.33%
93-93' 150 134.6 100 150 50 33.33%
93-93' 150 134.6 100 150 50 33.33%
94-94' 150 134.6 100 150 50 33.33%
95-95' 150 134.6 100 150 50 33.33%
96-96' 150 134.6 80 150 70 46.66%
Tabel 4.12 Kalisifikasi Jalan Sesuai dengan Kemiringan
KLASIFIKASI
POTONGAN JALAN KEMIRINGAN
MEDAN
1 s/d 23 Jalan Lurus 49.27 % Pegunungan
23 s/d 26 Tikungan PI 29.99 % Pegunungan
26 s/d 51 Jalan Lurus 10.51 % Perbukitan
51 s/d 54 Tikungan P2 23.33 % Perbukitan
54 s/d 71 Jalan Lurus 16.66 % Perbukitan
71 s/d 74 Tikungan P3 4.99 % Perbukitan
74 s/d 96 Jalan Lurus 28.14% Pegunungan

Dari 96 titik didominasi oleh medan bukit, maka menurut tabel II.6 TPGJAK, Hal
11 dipilih klasifikasi fungsi jalan Kolektor dengan kecepatan antara 40 – 70
km/jam. Diambil kecepatan 70 km /jam.
Menghitung jarak
Diketahui masing-masing Koordinat :
A : ( +0.00 ; +0.00 )
P. I : ( -520; -440,55 )
P.2 : ( -520.45; +200,48 )
P.3 : ( -260,50 ; +700,37 )
B : ( +250; +1000 )

Perhitungan Jarak
Dari koordinat yang diketahui maka dapat dicari masing – masing jaraknya yaitu :

Perhitungan Sudut
1. Perhitungan Sudut Tangen Pada Tikungan B ( P I1 ),
Sudut ( Δ1)
Jadi sudut (Δ3)

2. Perhitungan Sudut Tangen Pada Tikungan D ( P I2 ),


Sudut ( Δ2)

Jadi sudut (Δ2)


3. Perhitungan Sudut Tangen Pada Tikungan E ( P I3 ),
Sudut ( Δ3)
Jadi sudut (Δ3)

Berdasarkan perhitungan pada peta kontur yang di dapat pada peta di dapat jarak dan sudut sebagai
berikut :
d1 = m Δ1 =
d2 = 240 m Δ2 =
d3 = 564 m Δ3 =
d4 = 270 m

4.2. Perhitungan Alinemen Horizontal


4.2.1 Perhitungan Tikungan P(1)

1. Klasifikasi Medan : Pegunungan

2. Type Jalan : Kelas III A

3. Lalu Lintas Harian Rata - rata ( LHR ) : > 3000


4. Kecepatan Rencana : 70 km/jam

5. Lebar daerah penguasaan Minimum :30 m

6. Lebar Perkerasan : 2x3.50 m

7. Lebar Bahu Jalan : 2,50m

8. Lereng Melintang Perkerasan :2%

9. Lereng Melintang bahu :6%

10. Jenis Lapisan permukaan Jalan : Penetrasi Berganda

11. Miring Tikungan Maksimum (e) : 10 %

12. Jari - jari Lengkung Minimum : 50 m

13. Landai maksimum :8%

Tabel 4.13.a Standard Perencanaan Geometrik Jalan Kelas I

Tabel 4.14.a Koefisien gesekan melintang pada tikungan


V( km/jam ) 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Fmaks 0,166 0,160 0,153 0,147 0,140 0,128 0,115 0,103 0,090
Sumber : Buku Konstruksi jalan Raya ( Ir.Hamirhan Saodang MSCE.)

Rumus :

Direncanakan geometric untuk Daerah Pegunungan Rc = 300m > Rmin = 157 m. Dengan Vr = 70
km/jam berdasarkan
(TPGJAK 1997, Tabel II.18), Rmin untuk FC = 1100 m > Rc, sehingga tikungan
jenis Full Circle tidak dapat digunakan.
Sesuai dengan syarat 40 < Δ < 900, maka untuk tikungan I (11°29’25”) direncanakan S-C-S.
1. Perhitungan panjang lengkung spiral (Ls)
Dalam perhitungan tikungan ini dicoba dengan menggunakan jari-jari lingkaran dengan ukuran 300 m
a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung peralihan, maka panjang
lengkung :
b. Berdasarkan perubahan gaya sentrifugal dan pengaruh kemiringan :
Nilai e pada perhitungan diatas digunakan nilai superelevasi maksimum(emaks)
untuk V-90 km/jam maka, C = 0,7

c. Berdasarkan kelandaian relative maksimum

Dimana re = Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang


jalan,
untuk Vr ≤ 70 km/jam, re max = 0,035 m/m/det.

2. Perhitungan bagian spiral

3. Perhitungan lengkung circle ( Lc )


Syarat untuk lengkung S-C-S LC > 20 m
LC = 37,94 > 20 m .................... OK!!!
maka Tikungan S-C-S dapat di pake
4. Perhitungan panjang tikungan total
L tot = LC + 2. Ls < 2 Ts
L tot = 37,94+2 x 11,11 m < 2 x 70,31 m
L tot = 60,16 m < 140,62 m
( memenuhi syarat )

1. Perhitungan pelebaran perkerasan pada tikungan


a) Untuk Perencanaan jalan kelas IIIa, digunakan kendaraan rencana adalah kendaraan besar
dengan ketentuan sebagai berikut :
 Lebar kendaraan rencana (b) : 2,6 m
 Jarak antar gandar (P) : 3,5 m
 Tonjolan depan kendaraan (A) : 1,2 m
b) Jumlah Lajur (n) :2

c) Lebar Perkerasan pada bagian lurus (Bn) : 2 × 3,50


d) jari-jari pada tengh lintasan (R) : 300 m
e) Kecepatan Rencana : 70 Km/jam

 B adalah lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam

 Tambahan lebar akibat kesukaran mengemudi di tikungan (Z)

 Tambahan lebar perkerasan di tikungan I (Δb)


Dimana Bn adalah lebar perkerasan = 2 × 3,50 = 7,00 m
Untuk Bn = 7,00  C = 0,78 m
Bt > Bn jadi perlu diadakan pelebaran perkerasan

5. Perhitungan kebebasan samping pada tikungan I


Perhitungan jarak pandang henti
Dimana :
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2

f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-


0,55.
Jh = Jarak Pandang Henti (m)

Jadi :
Jh yang digunakan adalah Jh min yaitu 87,19 m

Perhitungan Jarak Pandang Menyiap

Dimana :
t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung pada kecepatan
yang sesuai dengan persamaan t1 = 2.12+0.026V.
t2 = waktu dimana kendaraan yanng menyiap berada pada lajur
kanan yang dapat ditentukan dengan mempergunakankorelasi
t2 = 6.56+0.048V.
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan
yang disiap = 15km/jam.
a = percepatan rata-rata yang besarnya tergantung pada
kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi a
= 2.052+0.0036V.
Jd yang digunakan adalah Jd 463,39 m

Diketahui :
V = 70 km / jam
Jarak Pandang Henti ( S ) = 87,19m
Jarak Pandang Menyiap (M) = 463,39 m
L = 85,59 m
Untuk S < L, maka :

Untuk M > L, maka :

6. Menentukan tempat kedudukan titik – titik ( stationing )


D1 = 682,00 m
Perhitungan diagram superelevasi :
Perhitungan diagram superelevasi :
Ketentuan :
Ls = 11,11 m
en =8%
emaks = 10 %
Perhitungan titik stationing pada tikungan P.1
sta pI1 = 0 + d1 = 0 + 682,00 m
sta Ts1 = sta PI1 – Ts
= 0 + 682,000 m – 70,13 m
= 0 + 611,87 m
Sta SC1= sta Ts1 + Ls
= 0 + 611,87 m + 11,11 m
= 0 + 622,98 m
Sta CS1 = Sta SC1 = 0 + 622,98 m

Sta St1 = Sta CS1 + Ls


= 0 + 622,98 m + 11,11 m
= 0 + 634,09 m.

4.2.2 Perhitungan Tikungan P(2)

1. Klasifikasi Medan : Perbukitan

2. Type kalan : Kelas III ( jalan Penghubung )

3. Lalu Lintas Harian Rata - rata ( LHR ) : > 3000

4. Kecepatan Rencana : 80 km/jam

5. Lebar daerah penguasaan Minimum :30 m

6. Lebar Perkerasan : 2x3.50 m

7. Lebar Bahu Jalan : 2,50m

8. Lereng Melintang Perkerasan :2%

9. Lereng Melintang bahu :6%


10. Jenis Lapisan permukaan Jalan : Lapisan Macadam

11. Miring Tikungan Maksimum (e) : 10 %

12. Jari - jari Lengkung Minimum : 115 m

13. Landai maksimum :7%

Tabel 4.13.a Standard Perencanaan Geometrik Jalan Kelas I

Tabel 4.14.a Koefisien gesekan melintang pada tikungan


V( km/jam ) 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Fmaks 0,166 0,160 0,153 0,147 0,140 0,128 0,115 0,103 0,090
Sumber : Buku Konstruksi jalan Raya ( Ir.Hamirhan Saodang MSCE.)

Rumus :
Direncanakan geometric untuk Daerah Pegunungan Rc = 300m > Rmin = 157 m. Dengan Vr = 70
km/jam berdasarkan
(TPGJAK 1997, Tabel II.18), Rmin untuk FC = 1100 m > Rc, sehingga tikungan
jenis Full Circle tidak dapat digunakan.
Sesuai dengan syarat 40 < Δ < 900, maka untuk tikungan I (11°29’25”) direncanakan S-C-S.
7. Perhitungan panjang lengkung spiral (Ls)
Dalam perhitungan tikungan ini dicoba dengan menggunakan jari-jari lingkaran dengan ukuran 300 m
d. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung peralihan, maka panjang
lengkung :
e. Berdasarkan perubahan gaya sentrifugal dan pengaruh kemiringan :
Nilai e pada perhitungan diatas digunakan nilai superelevasi maksimum(emaks)
untuk V-90 km/jam maka, C = 0,7

f. Berdasarkan kelandaian relative maksimum

Dimana re = Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang


jalan,
untuk Vr ≥ 70 km/jam, re max = 0,025 m/m/det.

8. Perhitungan bagian spiral

9. Perhitungan lengkung circle ( Lc )


Syarat untuk lengkung S-C-S LC > 20 m
LC = 90,40 > 20 m .................... OK!!!
maka Tikungan S-C-S dapat di pake
10. Perhitungan panjang tikungan total
L tot = LC + 2. Ls < 2 Ts
L tot = 90,94 +2 x 26,66m < 2 x 72,65 m
L tot = 144,26 m < 145,3 m
( memenuhi syarat )

2. Perhitungan pelebaran perkerasan pada tikungan


f) Untuk Perencanaan jalan kelas IIIa, digunakan kendaraan rencana adalah kendaraan besar
dengan ketentuan sebagai berikut :
 Lebar kendaraan rencana (b) : 2,6 m
 Jarak antar gandar (P) : 3,5 m
 Tonjolan depan kendaraan (A) : 1,2 m
g) Jumlah Lajur (n) :2

h) Lebar Perkerasan pada bagian lurus (Bn) : 2 × 3,50


i) jari-jari pada tengh lintasan (R) : 300 m
j) Kecepatan Rencana : 80 Km/jam
 B adalah lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam

 Tambahan lebar akibat kesukaran mengemudi di tikungan (Z)

 Tambahan lebar perkerasan di tikungan I (Δb)


Dimana Bn adalah lebar perkerasan = 2 × 3,50 = 7,00 m
Untuk Bn = 7,00  C = 0,78 m
Bt > Bn jadi perlu diadakan pelebaran perkerasan
11. Perhitungan kebebasan samping pada tikungan I
Perhitungan jarak pandang henti
Dimana :
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-
0,55.
Jh = Jarak Pandang Henti (m)

Jadi :

Jh yang digunakan adalah Jh min yaitu 106 m

Perhitungan Jarak Pandang Menyiap

Dimana :
t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung pada kecepatan
yang sesuai dengan persamaan t1 = 2.12+0.026V.
t2 = waktu dimana kendaraan yanng menyiap berada pada lajur
kanan yang dapat ditentukan dengan mempergunakankorelasi
t2 = 6.56+0.048V.
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan
yang disiap = 15km/jam.
a = percepatan rata-rata yang besarnya tergantung pada
kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi a
= 2.052+0.0036V.

Jd yang digunakan adalah Jd 634,42 m

Diketahui :
V = 80 km / jam
Jarak Pandang Henti ( S ) = 106m
Jarak Pandang Menyiap (M) = 634,42 m
L = 144,26 m
Untuk S < L, maka :

Untuk M > L, maka :

3. Menentukan tempat kedudukan titik – titik ( stationing )


D2 = 240 m
Perhitungan diagram superelevasi :
Ketentuan :
Ls = 26,66 m
en =7%
emaks = 10 %
Perhitungan titik stationing pada tikungan P.1
sta pI2 = Sta PI1 + d2 = 0 + 682,00 m + 246.00 m = 1+982,00 m
sta TS2 = sta PI2 – Ts
= 1 + 982,00 m – 72,65 m
= 1 + 909,35 m
Sta SC2= sta TS2 + Ls
= 1 + 909,35 m + 26,66 m
= 1 + 936,01 m
Sta CS2 = sta SC2 + Lc
= 1 + 936,01 m + 90,40 m
= 1 + 1026,41 m
Sta ST2 = sta CS2 + Ls
= 1 + 1026,41 m + 26,66 m
= 1 + 1054,07 m

4.2.3 Perhitungan Tikungan P(3)

1. Klasifikasi Medan : Perbukitan

2. Type kalan : Kelas III ( jalan Penghubung )

3. Lalu Lintas Harian Rata - rata ( LHR ) : > 3000

4. Kecepatan Rencana : 80 km/jam

5. Lebar daerah penguasaan Minimum :30 m

6. Lebar Perkerasan : 2x3.50 m

7. Lebar Bahu Jalan : 2,50m

8. Lereng Melintang Perkerasan :2%

9. Lereng Melintang bahu :6%

10. Jenis Lapisan permukaan Jalan : Lapisan Macadam

11. Miring Tikungan Maksimum (e) : 10 %

12. Jari - jari Lengkung Minimum : 115 m

13. Landai maksimum :7%


Tabel 4.13.a Standard Perencanaan Geometrik Jalan Kelas I

Tabel 4.14.a Koefisien gesekan melintang pada tikungan


V( km/jam ) 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Fmaks 0,166 0,160 0,153 0,147 0,140 0,128 0,115 0,103 0,090
Sumber : Buku Konstruksi jalan Raya ( Ir.Hamirhan Saodang MSCE.)

Rumus :

Direncanakan geometric untuk Daerah Pegunungan Rc = 300m > Rmin = 157 m. Dengan Vr = 70
km/jam berdasarkan
(TPGJAK 1997, Tabel II.18), Rmin untuk FC = 1100 m > Rc, sehingga tikungan
jenis Full Circle tidak dapat digunakan.
Sesuai dengan syarat 40 < Δ < 900, maka untuk tikungan I (11°29’25”) direncanakan S-C-S.
12. Perhitungan panjang lengkung spiral (Ls)
Dalam perhitungan tikungan ini dicoba dengan menggunakan jari-jari lingkaran dengan ukuran 300 m
g. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung peralihan, maka panjang
lengkung :
h. Berdasarkan perubahan gaya sentrifugal dan pengaruh kemiringan :

Nilai e pada perhitungan diatas digunakan nilai superelevasi maksimum(emaks)


untuk V-90 km/jam maka, C = 0,7

i. Berdasarkan kelandaian relative maksimum

Dimana re = Tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang


jalan,
untuk Vr ≥ 70 km/jam, re max = 0,025 m/m/det.

13. Perhitungan bagian spiral

14. Perhitungan lengkung circle ( Lc )


Syarat untuk lengkung S-C-S LC > 20 m
LC = 607,810 > 20 m .................... OK!!!
maka Tikungan S-C-S dapat di pake

15. Perhitungan panjang tikungan total


L tot = LC + 2. Ls < 2 Ts
L tot = 607,810 +2 x 26,66m < 2 x 546,30 m
L tot = 661,13 m < 1092,6 m
( memenuhi syarat )

4. Perhitungan pelebaran perkerasan pada tikungan


k) Untuk Perencanaan jalan kelas IIIa, digunakan kendaraan rencana adalah kendaraan besar
dengan ketentuan sebagai berikut :
 Lebar kendaraan rencana (b) : 2,6 m
 Jarak antar gandar (P) : 3,5 m
 Tonjolan depan kendaraan (A) : 1,2 m
l) Jumlah Lajur (n) :2
m) Lebar Perkerasan pada bagian lurus (Bn) : 2 × 3,50
n) jari-jari pada tengh lintasan (R) : 300 m
o) Kecepatan Rencana : 80 Km/jam
 B adalah lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam

 Tambahan lebar akibat kesukaran mengemudi di tikungan (Z)

 Tambahan lebar perkerasan di tikungan I (Δb)


Dimana Bn adalah lebar perkerasan = 2 × 3,50 = 7,00 m
Untuk Bn = 7,00  C = 0,78 m
Bt > Bn jadi perlu diadakan pelebaran perkerasan

16. Perhitungan kebebasan samping pada tikungan I


Perhitungan jarak pandang henti
Dimana :
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-
0,55.
Jh = Jarak Pandang Henti (m)
Jadi :
Jh yang digunakan adalah Jh min yaitu 106 m
Perhitungan Jarak Pandang Menyiap

Dimana :
t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung pada kecepatan
yang sesuai dengan persamaan t1 = 2.12+0.026V.
t2 = waktu dimana kendaraan yanng menyiap berada pada lajur
kanan yang dapat ditentukan dengan mempergunakankorelasi
t2 = 6.56+0.048V.
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan
yang disiap = 15km/jam.
a = percepatan rata-rata yang besarnya tergantung pada
kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi a
= 2.052+0.0036V.
Jd yang digunakan adalah Jd 634,42 m

Diketahui :
V = 80 km / jam
Jarak Pandang Henti ( S ) = 106m
Jarak Pandang Menyiap (M) = 634,42 m
L = 144,26 m
Untuk S < L, maka :

Untuk M > L, maka :

5. Menentukan tempat kedudukan titik – titik ( stationing )


D2 = 564 m
Perhitungan diagram superelevasi :
Ketentuan :
Ls = 26,66 m
en =7%
emaks = 10 %
Perhitungan titik stationing pada tikungan P.1
sta pI3 = Sta PI2 + d3 = 1+389,00 m + 564.00 m = 2 + 954.00 m
sta TS3 = sta PI3 – Ts
= 1 + 982,00 m – m
= 2 + 408,7 m
Sta SC3= sta TS3 + Ls
= 2 + 408,7 +
= 2 + 957,00 m
Sta CS3 = sta SC3 + Lc
= 2 + 957,00 m + 607,810 m
= 2 + 1566,81 m
Sta ST3 = sta CS3 + Ls
= 2 + 1566,81 m + 26,66 m
= 2 + 1595,47 m

Tabel 4.15 Perhitungan Tikungan Horizontal


Perhitungan PI1 PI2 PI3
R 300 300 300
Ls 11,11 m 26,66 m 26,66 m
θs 1,061 2,547 2,547
Ys 0.068 0.068 m 0.068 m
Xs 11,11 26,66 m 26,66 m
P 0,017 0,098 0,098
K 5,52 13,32 13,32
Δc 9°22’27.09” 22°22’05” 121° 13’71”
Lc 37,94 m 90,40 m 607,810 m
Es 1,02 m 5,90 m 313,35 m
Ts 70,31 m 72,65 m 546,30 m
Syarat Ltotal < 2Ts
L total 60,16 m 144,26 m 601,13 m
2Ts 140,62 m 145,3 m 1092,3 m
Memenuhi Memenuhi Memenuhi
Keterangan
syarat syarat syarat
4.3. Perhitungan Alinyement Vertikal
1. Perhitungan PPV1
 Menentukan kelandaiaan jalan :
1. Kelandaian 1 ( g1 )
Jarak patok A ke PPV1 = 1200 m
Elevasi A = 80
Elevasi PPV1 = 75,5

2. Kelandaian 2 ( g2 )
3. Kelandaian 1 ( g1 )
Jarak patok PPV1 ke PPV2 = 1400 m
Elevasi PPV1 = 74,5
Elevasi PPV2 = 157,5

 Perbedaan kelandaian A
A = g2 – g1
A = 8,3% – 0%
A = 8,3 %
= 8,3 %

 Gambar sesuai data :

PPV2
A
g1 = 0%
PPV1
g2 = 8,3 %

Gambar 4.8 perbedaan kelandaian di titik PPV1

Sta. PPV1 = 0 + 1200 m


Elevasi PPV1 = + 74,5
g1 = 0%
g2 = 8,3 %
A = 3%
Maka didapat bentuk PPV1 adalah ”CEMBUNG”

 Menentukan Panjang Lengkung Vertikal (Lv)


a. Berdasarkan jarak penyinaran lampu kendaraan
Dimana S = jarak pandang menyiap = 463,39 m
untuk jarak henti (jh )
h1 = 1,05
h2 = 0,15
untuk jarak mendahului ( jd)
h1 = 1,05
h1 = 1,05
(SUMBER : TPCGA BINA MARGA 1997 )
 Menentukan Panjang Lengkung Vertikal (Lv)
a. Berdasarkan jarak pandang berada seluruh dalam daerah lengkung (S<L).
Jarak pandang henti : 87,19 m
S < L : 87,19 m < 158,239 m  memenuhi syarat

b. Berdasarkan jarak pandang berada di luar dan didalam daerah lengkung (S >L)
Jarak Pandang Menyiap : 463,39 m

S > L : 463,39 m < 825,39 m tidak memenuhi syarat

c. Berdasarkan keluwesan bentuk

d. Berdasarkan syarat drainase

 Menghitung panjang penyimpangan dari titik potong kedua tangen atau pusat perpotongan
Vertikal (PPV) kelengkungan vertikal.
Di ambil Lv yang terpanjang = 415 m
Ev =
dimana :
Ev = Penyimpangan dari titik PPV ke lengkungan vertikal
LV = Panjang lengkung vertikal (415 m)
A = Selisih Kelandaian (8,3%)

a. Menentukan Elevasi Stationing


 Elv. PPV1’ = Elv. PPV1 + Ev
= + 74,5 + (4,30)
= + 78,8 m
 Sta. PPV1’ = Sta. A + 1200 m
= (0 + 000) + 1200 m
= 1 + 050 m

 Elv. PLV1 = Elv. PPV1 + (g1 . ½ Lv)


= + 74,5 + (0,0 %. ½ . 415)
= + 68 + ( 207,5)
= + 255
Sta. PLV1 = Sta. PPV1 – ½ Lv
= ( 0 + 1200) – ½ . 415
= 0 + 992,5 m
 Elv. PTV1 = Elv. PPV1 + ( g2 . ½ Lv)
= + 78,8 + (8,3 % . ½ 415)
= + 9 6,02
 Sta. PTV1 = Sta. PPV1 + ½ . Lv
= (1 + 050) + ½ .755
= 1 + 209 m

2. Perhitungan PPV2
 Menentukan kelandaiaan jalan :
4. Kelandaian 3 ( g3 )
5. Kelandaian 1 ( g1 )
Jarak patok PPV1 ke PPV2 = 1400 m
Elevasi PPV1 = 74,5
Elevasi PPV2 = 157,5

6. Kelandaian 3 ( g3 )
Jarak patok PPV2 ke PPV3 = 900,82 m
Duga rencana pada PPV2 = 157,7 m
Duga rencana pada PPV3 = 138,5 m

 Perbedaan kelandaian A
A = g3-g2
A = 8,3 % - (-2) %
A = +10,3%
= 10,3 %

 Gambar sesuai data :


g2 =8,3 %
g3 = -2%
PPV3
PPV2
B
Gambar 4.9 Perbedaan kelandaian di titik PPV2

Sta. PPV2 = 1 + 1200 m


Elevasi PPV2 = + 87
g2 = + 157.5 %
g3 = + -2 %
A = + 10,3 %
Maka didapat bentuk PPV2 adalah ”CEKUNG”

 Menentukan Panjang Lengkung Vertikal (Lv)


a. Berdasarkan jarak pandang berada seluruh dalam daerah lengkung (S<L).

b. Berdasarkan jarak penyinaran lampu kendaraan


Dimana S = jarak pandang menyiap = 109 m
Untuk (S > L)
Jd > L : 109 m < 169,31 m  Tidak memenuhi syarat
Untuk (S < L)
Jd < L : 109 m < m  memenuhi syarat

c. Berdasarkan jarak pandang bebas dibawah bangunan

Dimana S = jarak pandang henti = 634,42 m

Untuk (S > L)
Jh > L : 634,42 < - m  tidak memenuhi syarat
Untuk (S < L)
Jd < L : 634,42 m < m  memenuhi syarat

d. Berdasarkan Bentuk Visual Lengkung Vertikal Cekung

Jadi Panjang L yang digunakan adalah 1,191 m

 Menghitung panjang penyimpangan dari titik potong kedua tangen atau pusat perpotongan
Vertikal (PPV) kelengkungan vertikal.
Ev =
dimana :
Ev = Penyimpangan dari titik PPV ke lengkungan vertikal
LV = Panjang lengkung vertikal (775 m)
A = Selisih Kelandaian (10,3 %)

b. Menentukan Elevasi Stationing


 Elv. PPV2’ = Elv. PPV2 - Ev
= + 157.4 - (12,87)
= + 144,53 m
 Sta. PPV2’ = Sta. PPV1 + 1400 m
= (1 + 1200) + 1400 m
= 1 + 800 m
 Elv. PLV2 = Elv. PPV2 - (g2 . ½ Lv)
= + 157 - (8,3 %. ½ . 12,87
= + 157 - ( 0,53)
= + 156,47

Sta. PLV2 = Sta. PPV2 – ½ Lv


= ( 1 + 1400) – ½ . 12,87
= 1 + 1,339 m
 Elv. PTV2 = Elv. PPV2 - (g3 . ½ Lv)
= + 157 - (10,3 %. ½ . 12,87) 28FDA903
= + 1,339 - (0,66 )
= + 1338,4
Sta. PTV2 = Sta. PPV2 + ½ Lv
= ( 1 + 1400) + ½ . 376,351
= 1 + 1588 m

Tabel 4.16 Perhitungan Lengkung Vertikal


Perhitungan PPV1 PPV2
LV 415 1,191
EV 4,30 12,87
STA 1 + 050 1 + 1400
PLV 0 + 992,5 1 + 1,339
PTV 1 + 209 1 + 1588

Struktur Jalan Rel


A. Definisi Struktur Jalan Rel
1. Cakupan Prasarana Kereta Api
Berdasarkan UU No.13 Tahun 1992 yang tertuang dalam Bab I Pasal 1 ayat 7, prasarana kereta api
adalah jalur dan stasiun kereta api termasuk fasilitas yang diperlukan agar sarana kereta api dapat
dioperasikan. Fasilitas penunjang kereta api adalah segala sesuatu yang melengkapi penyelenggaraan
angkutan kereta api yang dapat memberikan kemudahan serta kenyamanan bagi pengguna jasa
angkutan kereta api. Prasarana kereta api lebih terperinci lagi dapat digolongkan sebagai:

1. Jalur atau jalan rel,


2. Bangunan stasiun,
3. Jembatan,
4. Sinyal dan telekomunikasi.

Untuk kajian di bidang ketekniksipilan, lebih banyak terfokus kepada prasarana kereta api pada
pembangunan jalur atau jalan rel, bangunan stasiun dan jembatan. Meskipun demikuan, dalam lingkup
kajian
prasarana transportasi disini, pembahasan materi studi lebih ditumpukan kepada perencanaan,
pembangunan dan pemeliharaan prasarana jalur dan jalan rel.

2. Definisi Struktur Jalan Rel

Struktur jalan rel merupakan suatu konstruksi yang direncanakan sebagai prasarana atau infrastruktur
perjalanan kereta api. Gambar di bawah ini menjelaskan gambar konstruksi jalan rel yang tampak secara
visual dan secara skematik digambarkan dalam potongan melintang.
Konstruksi Jalan Rel

Skematik Potongan Melintang

Secara konstruksi, jalan rel dibagi dalam dua bentuk konstruksi, yaitu:

1. Jalan rel dalam konstruksi timbunan,


2. Jalan rel dalam konstruksi galian.

Jalan rel dalam konstruksi timbunan biasanya terdapat pada daerah persawahan atau daerah rawa,
sedangkan jalan rel pada konstruksi galian umumnya terdapat pada medan pegunungan. Gambar di
bawah ini menunjukkan contoh potongan konstruksi jalan rel pada daerah timbunan dan galian.
Potongan Jalan Rel pada Timbunan

Potongan Jalan Rel pada Galian

B. Komponen Struktur Jalan Rel

Struktur jalan rel dibagi ke dalam dua bagian struktur yang terdiri dari kumpulan komponen-komponen
jalan rel yaitu:

1. Struktur bagian atas, atau dikenal sebagai superstructure yang terdiri dari komponen-komponen
seperti rel (rail), penambat (fastening) dan bantalan (sleeper, tie).
2. Struktur bagian bawah, atau dikenali sebagai substructure, yang terdiri dari komponen balas
(ballast), subbalas (subballast), tanah dasar (improve subgrade) dan tanah asli (natural ground).
Tanah dasar merupakan lapisan tanah di bawah subbalas yang berasal dari tanah asli tempatan
atau tanah yang didatangkan (jika kondisi tanah asli tidak baik), dan telah mendapatkan
perlakuan pemadatan (compaction) atau diberikan perlakuan khusus (treatment). Pada kondisi
tertentu, balas juga dapat disusun dalam dua lapisan, yaitu : balas atas (top ballast) dan balas
bawah (bottom ballast).

Konstruksi jalan rel merupakan suatu sistem struktur yang menghimpun komponen-komponennya
seperti rel, bantalan, penambat dan lapisan fondasi serta tanah dasar secara terpadu dan disusun dalam
sistem konstruksi dan analisis tertentu untuk dapat dilalui kereta api secara aman dan nyaman. Gambar
di bawah ini menjelaskan bagian-bagian struktur atas dan bawah konstruksi jalan rel dan secara
skematik menjelaskan keterpaduan komponen-komponennya dalam suatu sistem struktur.
Struktur Jalan Rel Beserta Sistem Komponen Penyusunnya

Secara umum komponen-komponen penyusun jalan rel dijelaskan sebagai berikut:

1. Rel (Rail)

Rel merupakan batangan baja longitudinal yang berhubungan secara langsung, dan memberikan
tuntunan dan tumpuan terhadap pergerakan roda kereta api secara berterusan. Oleh karena itu, rel juga
harus memiliki nilai kekakuan tertentu untuk menerima dan mendistribusikan beban roda kereta api
dengan baik.

2. Penambat (Fastening System)

Untuk menghubungkan diantara bantalan dengan rel digunakan suatu sistem penambat yang jenis dan
bentuknya bervariasi sesuai dengan jenis bantalan yang digunakan serta klasifikasi jalan rel yang harus
dilayani.

3. Bantalan (Sleeper)

Bantalan memiliki beberpa fungsi yang penting, diantaranya menerima beban dari rel dan
mendistribusikannya kepada lapisan balas dengan tingkat tekanan yang kecil, mempertahankan sistem
penambat untuk mengikat rel pada kedudukannya, dan menahan pergerakan rel arah longitudinal,
lateral dan vertikal. Bantalan terbagi menurut bahan konstruksinya, seperti bantalan besai, kayu
maupun beton. Perancangan bantalan yang baik sangat diperlukan supaya fungsi bantalan dapat
optimal.

4. Lapisan Fondasi Atas atau Lapisan Balas (Ballast)

Konstruksi lapisan balas terdiri dari material granular/butiran dan diletakkan sebagai lapisan permukaan
(atas) dari konstruksi substruktur. Material balas yang baik berasal dari batuan yang bersudut, pecah,
keras, bergradasi yang sama, bebas dari debu dan kotoran dan tidak pipih (prone). Meskipun demikian,
pada kenyataannya, klasifikasi butiran di atas sukar untuk diperoleh/dipertahankan, oleh yang demikian,
permasalahan pemilihan material balas yang ekonomis dan memungkinkan secara teknis masih
mendapat perhatian dalam kajian dan penelitian. Lapisan balas berfungsi untuk menahan gaya vertikal
(cabut/uplift), lateral dan longitudinal yang dibebankan kepada bantalan sehingga bantalan dapat
mempertahankan jalan rel pada posisi yang disyaratkan.

5. Lapisan Fondasi Bawah atau Lapisan Subbalas (Subballast)

Lapisan diantara lapisan balas dan lapisan tanah dasar adalah lapisan subbalas. Lapisan ini berfungsi
sebagaimana lapisan balas, diantaranya mengurangi tekanan di bawah balas sehingga dapat
didistribusikan kepada lapisan tanah dasar sesuai dengan tingkatannya.

6. Lapisan Tanah Dasar (Sugrade)

Lapisan tanah dasar merupakan lapisan dasar pada struktur jalan rel yang harus dibangun terlebih
dahulu. Fungsi utama dari lapisan tanah dasar adalah menyediakan landasan yang stabil untuk lapisan
balas dan subbalas. Perilaku tanah dasar adalah komponen substruktur yang sangat penting yang mana
memiliki peranan yang signifikan berkait pada sifat teknis dan perawatan jalan rel.

C. Kriteria Struktur Jalan Rel

1. Kekakuan (Stiffness)

Kekakuan struktur untuk menjaga deformasi vertikal dimana deformasi vertikal yang diakibatkan oleh
distribusi beban lalu lintas kereta api merupakan indikator utama dari umur, kekuatan dan kualitas jalan
rel. Deformasi vertikal yang berlebihan akan menyebabkan geometrik jalan rel tidak baik dan keausan
yang besar diantara komponen-komponen struktur jalan rel.

2. Elastisitas (Elastic/Resilience)
Elastisitas diperlukan untuk kenyamanan perjalanan kereta api, menjaga patahnya as roda, meredam
kejut, impact, getaran vertikal. Jika struktur jalan rel terlalu kaku, misalnya dengan pemakaian bantalan
beton,maka untuk menjamin keelastikan struktur dapat menggunakan pelat karet (rubber pads) di
bawah kaki rel.

3. Ketahanan terhadap Deformasi Tetap

Deformasi vertikal yang berlebihan akan cenderung menjadi deformasi tetap sehingga geometrik jalan
rel (ketidakrataan vertikal, horisontal dan puntir) menjadi tidak baik, yang pada akhirnya kenyamanan
dan keamanan terganggu.

4. Stabilitas

Jalan rel yang stabil dapat mempertahankan struktur jalan pada posisi yang tetap/semula (vertikal dan
horisontal) setelah pembebanan terjadi. Untuk ini diperlukan balas dengan mutu dan kepadatan yang
baik, bantalan dengan penambat yang selalu terikat dan drainasi yang baik.

5. Kemudahan untuk Pengaturan dan Pemeliharaan (Adjustability)

Jalan rel harus memiliki sifat dan kemudahan dalam pengaturan dan pemeliharaan sehingga dapat
dikembalikan ke posisi geometrik dan struktur jalan rel yang benar jika terjadi perubahan geometri
akibat beban yang berjalan.

D. Klasifikasi Jalan Rel Menurut PD.10 Tahun 1986

Secara umum jalan rel dibedakan menurut beberapa klasifikasi, antara lain:

1. Penggolongan menurut Lebar Sepur

Lebar sepur merupakan jarak terkecil diantara kedua sisi kepala rel, diukur pada daerah 0 – 14 mm di
bawah permukaan teratas kepala rel.
Ukuran Lebar Sepur pada Struktur Jalan Rel

 Sepur Standar (standard gauge), lebar sepur 1435 mm, digunakan di negara-negara Eropa, Turki,
Iran, USA dan Jepang.
 Sepur Lebar (broael gauge), lebar sepur > 1435 mm, digunakan pada negara Finlandia, Rusia
(1524 mm), Spanyol, Pakistan, Portugal dan India (1676 mm).
 Sepur Sempit (narrow gauge), lebar sepur < 1435 mm, digunakan di negara Indonesia, Amerika
Latin, Jepang, Afrika Selatan (1067 mm), Malaysia, Birma, Thailand, dan Kamboja (1000 mm).

2. Penggolongan Kelas Jalan Rel Menurut Kecepatan Maksimum yang Diijinkan untuk Indonesia

 Kelas Jalan I: 120 km/jam


 Kelas Jalan II : 110 km/jam
 Kelas Jalan III : 100 km/jam
 Kelas Jalan IV : 90 km/jam
 Kelas Jalan V : 80 km/jam

3. Penggolongan Kelas Jalan Rel Menurut Daya Lintas Kereta Api (juta ton/tahun) yang Diijinkan untuk
Indonesia

Tabel Penggolongan Kelas Jalan Rel Menurut Daya Lintas Kereta Api (juta ton/tahun) yang Diijinkan
untuk Indonesia
4. Penggolongan Berdasarkan Kelandaian (Tanjakan) Jalan

 Lintas Datar : kelandaian 0 - 10 ‰


 Lintas Pegunungan : kelandaian 10 - 40 ‰
 Lintas dengan rel gigi : kelandaian 40 - 80 ‰
 Kelandaian di emplasemen : kelandaian 0 s.d. 1,5 ‰

5. Penggolongan Menurut Jumlah Jalur

 Jalur Tunggal : jumlah jalur di lintas bebas hanya satu, diperuntukkan untuk melayani arus lalu
lintas angkutan jalan rel dari 2 arah.

Jalur Tunggal
 Jalur Ganda : jumlah jalur di lintas bebas > 1 ( 2 arah) dimana masing-masing jalur hanya
diperuntukkan untuk melayani arus lalu lintas angkutan jalan rel dari 1 arah.

Metode Pelaksanaan Pemasangan Gelagar dan Plat Jembatan


Waktu Pelaksanaan Pekerjaan
Pelaksanaan pekerjaan pemasangan gelagar, dilaksanakan setelah pekerjaan pondasi jembatan selesai.

Pelaksanaan Pemasangan Gelagar


Gelagar jembatan itu sendiri mempunyai fungsi sebagai pemikul beban bergerak (kendaraan mobil,
kereta api, dan manusia). Gelagar ini dapat dibuat dari beton, baja, atau kayu. Tetapi dalam metode
pelaksanaan ini membahas menggunakan gelagar beton. Penggunaan dari bentuk gelagar yang
dilaksanakan sebagai pekerjaan yang ini perlu diperhitungkan kemiringan sudutnya yang diberikan
dalam persamaan trigonometri. Dalam perencanaan pembangunan jembatan ini diperlukan
perencanaan awal yang matang, salah satunya adalah perencanaan gelagar. Pekerjaan pemasangan
gelagar dilaksanakan setelah pekerjaan pondasi jembatan selesai. Pelaksanaan pekerjaan pemasangan
gelagar terdiri dari:

Menurunkan gelagar dan plat dari kendaraan truk trailer menggunakan crane.
Untuk perakitan gelagar jembatan ini dibutuhkan suatu daerah persiapan yang mempunyai panjang
sebesar
bentang gelagar. Sebagai tambahan diperlukan pula daerah untuk menyimpan balok-balok beton yang
nantinya berfungsi sebagai penopang sementara gelagar.

Kemudian dengan menggunakan crane gelagar diletakkan pada posisi memanjang di atas alat bantuan
tumpuan, lalu dilakukan penyatuan gelagar, dengan menggunakan metode stressing atau post tension.
Metode stressing dilakukan apabila kekuatan beton sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan initial
jacking force yang telah diapproval. Langkah-langkah stressing adalah sebagai berikut:

1. Masukkan Strand
2. Setting angkur balok

3. Stressing

4. Potong strand
5. Grouting dan patcing

6. Finishing

Metode post tension dilakukan dengan menggabungkan beberapa segmen balok untuk kemudian
disatukan dengan menggunakan perekat lalu disetressing.

1. Install Strand Ke Dalam Ducting

2. Pemberian Epoxi pada Permukaan Segmen


3. Proses Stressing

Pekerjaan selanjutnya adalah erection, dengan cara meluncurkan gelagar tersebut pada posisi
bentangan jembatan dengan menggunakan bantuan 2 unit crane dimana 1 crane sebagai penarik dan 1
unit crane lagi membantu mengangkat/pegangan belakang.

Pelaksanaan Pemasangan Diafragma

Diafragma adalah elemen struktur yang berfungsi untuk memberikan ikatan antara gelagar sehingga
akan memberikan kestabilan pada masing-masing gelagar dalam arah horisontal. Pengikat tersebut
dilakukan dalam bentuk pemberian stressing pada diafragma dan gelagar sehingga dapat bekerja
sebagai satu kesatuan.
Pelaksanaan Pekerjaan Plat Lantai Jembatan

Plat lantai jembatan berfungsi untuk menahan beban yang bekerja di atas jembatan secara merata dan
agar mendapat permukaan yang rata. Urutan pelaksanaan pekerjaan plat lantai jembatan adalah
sebagai berikut:

1. Pembuatan bekisting plat lantai


2. Pelaksanaan pekerjaan pembesian
3. Metode pelaksaan pekerjaan pengecoran beton

Pemasangan bekisting dilakukan setelah pemasangan gelagar jembatan yang di atasnya telah dipasangi
shear conector. Berikut ini adalah prosedur pelaksanaan bekisting:
1. Menentukan lahan yang akan dipasangi bekisting
2. Melakukan pengukuran rencana lokasi pengecoran sesuai gambar rencana
3. Membersihkan lokasi bekisting dari segala macam kotoran
4. Menyiapkan komponen-komponen dan panel-panel bekisting besi di lapangan
5. Merakit dan setting panel/komponen bekisting di lapangan dengan kuat dan tepat
6. Melakukan pengecekan apakah letak dan posisi bekisting sudah sesuai
7. Olesi dengan pelumas bagian dalam bekisting yang akan dilapisi beton basah, agar mudah untuk
membuka dan menghasilkan beton keras yang bagus dan tidak keropos

Prosedur pelaksanaan pekerjaan pembesian yaitu:

1. Menyiapkan material besi tulangan sesuai dengan ukuran dan gambar yang sudah direncanakan
2. Menyiapkan lokasi untuk pemotongan dan perakitan tulangan
3. Menyiapkan peralatan dan tenaga pembesian sesuai dengan kebutuhan
4. Pastikan perakitan tulangan dengan bendrat bersilangan tumpang tindih
5. Potong dan rakit pembesian dengan sesuai ukuran gambar rencana
6. Menyiapkan lokasi pemasangan panel rakitan pembesian di lapangan bersih dari segala kotoran
7. Pastikan posisi ikatan antar besi tulangan sudah cukup kuat dan pada tempatnya
Metode pelaksanaan untuk pekerjaan beton ini dilaksanakan dengan sistem serempak untuk semua unit
dengan metode konvensional (dicor di tempat lokasi pekerjaan). Karena pekerjaan beton
pada pier dikerjakan secara bertahap, maka untuk memulai pekerjaan tahap berikut diberi pasta dahulu
agar terjadi ikatan antara beton yang lama dengan beton yang baru. Prosedur pelaksanaan pekerjaan
pengecoran beton yaitu:

1. Siapkan perijinan untuk memulai pekerjaan (request) yang disetujui oleh direksi pekerjaan
2. Cek bersama dengan direksi sebelum dilakukan pekerjaan pengecoran
3. Lakukan pengecoran dan setiap melakukan pengecoran maka campuran beton sudah harus
dilakukan pengecekan terhadap kadar airnya dengan slump test dan buat silinder untuk
pengujian kuat tekan beton tersebut
4. Pastikan skor-skor dan perancah kuat menopang beton basah sehingga didapatkan hasil yang
sesuai dengan gambar
5. Lakukan pemeliharaan beton dengan penyiraman terus menerus atau dengan pemberian karung
goni sampai beton mencapai umur 28 hari
Standar Mutu

1. Pelaksanaan pekerjaan jembatan ini sesuai dengan standar dan aturan yang sudah ditetapkan
2. Gelagar beton dan diafragma menggunakan beton dengan mutu yang tinggi dan kualitasnya
sudah teruji di laboratorium. Selain itu untuk dimensinya sudah sesuai dengan perencanaan
3. Baja tendon yang digunakan mempunyai mutu yang tinggi dan kualitasnya baik. Diameter yang
digunakan sudah sesuai dengan perencanaan
4. Dalam pelaksanaan pekerjaan selalu mengutamakan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
5. Waktu pelaksanaan pekerjaan sudah diatur sedemikian rupa agar mencapai target yang sudah
ditetapkan baik mengenai biaya, mutu, waktu, dan bahan

Kontrol Kualitas

Tujuan dari kontrol kualitas adalah agar kualitas struktur yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang
telah ditentukan. Pengontrolan terhadap kualitas sangat penting untuk menjamin kekuatan struktur
yang telah direncanakan. Pengontrolan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kontrol kualitas bahan
2. Kontrol kualitas pekerjaan
3. Kontrol kualitas peralatan
4. Kontrol kualitas tenaga kerja
5. Kontrol waktu

1. Kontrol kualitas bahan


Struktur yang baik terbuat dari bahan-bahan yang memenuhi syarat-syarat kualitas yang ditetapkan.
Demikian pentingnya pengendalian kualitas bahan maka material yang digunakan dalam proyek ini
harus diuji secara visual dan tes laboratorium.
Hasil pekerjaan dipengaruhi oleh mutu dan kualitas bahan sehingga diperlukan pengawasan dalam hal:

1. Ketersediaan bahan: tersedianya bahan sesuai dengan spsifikasi, termasuk di dalamnya


persetujuan di masing-masing pihak yang terlibat terhadap mutu dari bahan-bahan tersebut
2. Jadwal pengadaan bahan: jadwal pengadaan bahan harus tepat, karena seluruh waktu yang
digunakan untuk melaksanakan kegiatan saling tergantung satu sama lain
3. Penerimaan bahan: penerimaan bahan hendaknya diawasi dan dicek secara teliti agar mutu dari
bahan yang diperoleh sesuai dengan mutu bahan yang direncanakan sebelumnya
4. Pemakaian bahan: kontrol mutu bahan saat pemakaian bahan dilakukan dengan cara pengujian
kualitas bahan bangunan yang akan digunakan

2. Kontrol kualitas pekerjaan


Pengendalian ini untuk mengontrol apakah hasil pelaksanaan telah memenuhi standard dan spesifikasi
yang telah ditentukan. Sehingga bila terjadi kesalahan atau kekurangan bisa diperbaiki, dan untuk
mencegah kesalahan bisa terjadi selanjutnya.

Metode-metode yang bisa dilakukan dalam melakukan pengawasan kualitas mutu pekerjaan antara lain:

1. Pengawasan langsung secara visual


2. Pengukuran langsung di lapangan
3. Kontrol dengan hitungan
4. Pengujian di lapangan

Kontrol kualitas pekerjaan dilakukan untuk mengawasi hasil pekerjaan yang telah dilakukan.
3. Kontrol kualitas peralatan

Pengendalian kualitas peralatan terutama ditujukan kepada pengawasan bidang peralatan terhadap
peralatan yang ada. Pengawasan bidang peralatan berupa pencatatan kondisi alat setiap hari dapat
memaksimalkan fungsi alat, karena alat yang dipakai lebih dari umur kerjaannya dapt menurunkan
produktivitas alat tersebut.

4. Kontrol kualitas tenaga kerja

Tenaga kerja merupakan faktor utama bagi pelaksanaan suatu kegiatan. Pemilihan tenaga kerja harus
sesuai dengan kemampuan serta jumlah tenaga kerja yang diperlukan. Hal ini berkaitan dengan efisiensi
pengerjaan suatu kegiatan. Penentuan produktivitas tergantung pada sistem manajemen dan hubungan
kerja yang konduksif. Dalam kaitannya, serta jumlah yang diperlukan dalam penanganan suatu kegiatan.

Karakter tenaga kerja yang ada dalam suatu kegiatan berbeda-beda. Masing-masing mewakili strata
sosial yang berbeda-beda pula. Oleh karenanya perlu penanganan yang baik dari para pelaksana untuk
mengarahkan tenaga kerja tersebut.

5. Kontrol waktu
Pengendalian waktu merupakan kegiatan yang sangat penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan.
Kegiatan ini bertujuan agar seluruh pekerjaan dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang telah
direncanakan, dan juga agar pekerjaan dapat menghindari kerugian, baik kerugian waktu maupun biaya.
Pengendalian dilakukan dengan Time Schedule dan Network Planning.

Perkerasan Jalan
PENDAHULUAN

Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban
lalu lintas. Agregat yang dipakai:

 Batu pecah
 Batu belah
 Batu kali
 Hasil samping peleburan baja

Bahan ikat yang dipakai:

 Aspal
 Semen
 Tanah liat

LAPISAN PERKERASAN JALAN

Berdasarkan bahan ikat, lapisan perkerasan jalan dibagi atas dua kategori:

1. Lapisan perkerasan lentur (flexible pavement)


2. Lapiasan perkerasan kaku (rigid pavement)

Lapisan Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar yang telah
dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut adalah:
1. Lapisan permukaan (surface coarse)
2. Lapisan pondasi atas (base coarse)
3. Lapisan pondasi bawah (sub-base coarse)
4. Lapisan tanah dasar (subgrade)

Susunan Perkerasan Jalan

Lapisan Permukaan (Surface Coarse)

Lapisan permukaan adalah bagian perkerasan jalan yang paling atas. Lapisan tersebut berfungsi sebagai
berikut:

1. Lapis perkerasan penahan beban roda, yang mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan roda
selama masa pelayanan
2. Lapisan kedap air: air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan bawahnya dan
melemahkan lapisan-lapisan tersebut.
3. Lapisan aus: lapisan ulang yang langsung menerima gesekan akibat roda kendaraan.
4. Lapis-lapis yang menyebabkan beban ke lapisan di bawahnya sehingga dapat dipukul oleh
lapisan lain dengan daya dukung yang lebih jelek.

Lapis permukaan berdasakan fungsinya:

1. Lapis non struktural, sebagai lapis aus dan kedap air.


2. Lapis struktural, sebagai lapis yang menahan dan menyebarkan beban roda.

Bahan-bahanya terdiri dari batu pecah, kerikil, dan stabilitas tanah dengan semen atau kapur.
Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air dan memberikan bantuan
tegangan tarik yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas.
Pemilihan bahan lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan, umur rencana, serta pertahanan
konstruksi agar dicapai manfaat yang sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

Lapisan Pondasi Atas (Base Coarse)

Lapis pondasi atas adalah bagian lapis perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dengan lapis
pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak menggunakan lapis pondasi bawah). Fungsi lapis
pondasi ats adalah:
1. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban ke
lapisan di bawahnya.
2. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
3. Bantalan terhadap lapisan permukaan.

Bahan untuk lapis pondasi atas cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda.
Sebelum menetukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi hendaknya dilakukan
penyelidikan dan pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknis. bermacam-
macam bahan alam/bahan setempat (CBR >50%, PI <4%) dapat digunakan sebagai bahan lapisan
pondasi atas, antara lain batu merah, kerikil, dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

Lapisan Pondasi Bawah (Sub-Base Coarse)

Lapis perkerasan yang terletak antara lapis pondasi atas dengan tanah dasar. Fungsi lapis pondasi bawah
adalah:

1. Menyebarkan beban roda ke tanah dasar.


2. Efisiensi penggunaan material. Materi pondasi bawah lebih murah daripada lapisan di atasnya.
3. Lapis peresapan agar air tanah berkumpul di pondasi.
4. Lapisan partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapisan pondasi atas.

Bahan dari bermacam-macam bahan setempat (CBR >20%, PI <10%) yang relatif jauh lebih baik dengan
tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat
dengan kapus atau semen portland dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar didapat bantuan yang
efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

Tanah Dasar (Subgrade)

Tanah dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan tanah galian atau permukaan tanah
timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian-bagian
perkerasan lainnya. kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan tergantung dari sifat-sifat daya
dukung tanah dasar.

Tanah Dasar Berupa Galian


Tanah Dasar Berupa Timbunan

Tanah Dasar Berupa Tanah Asli

Persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah:

1. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari macam tanah tertentu akibat beban lalu
lintas.
2. Sifat kembang susut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.
3. Daya dukung tanah yang tidak merata, sukar ditentukan secara pasti ragam tanah yang sangat
berbeda sifat dan kelembabannya.
4. Lendutan atau lendutan balik

Kontruksi Pondasi

 Kontruksi Macadam
Pondasi Macadam

 Konstruksi Telford: Konstruksi terdiri dari batu pecah berukuran 15/20 sampai 25/30 yang
disusun tegak. Batu-batu kecil di atasnya untuk menutup pori- yang ada dan memberikan
permukaan yang rata. Konstruksi telford dipakai sebagai lapisan pondasi.

Pondasi Telford

 Japat: Jalan agregat padat tahan cuaca. Semua jenis jalan tanah (dapat menggunakan kerikil)
yang dipadatkan.
 Soil Cement: Campuran antara tanah setempat dengan semen, serta perbandingan berat 6%
yang dipadatkan di tempat dengan tebal padat 15-20 cm.
 Burtu (taburan aspal satu lapis): Lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi
dengan lapis agregat bergradasi seragam dengan tebal maksimum 2 cm. Lapisan ini biasanya
dipakai lapisan non struktural.
 Burda (taburan aspal dua lapis): Lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi
dengan agregat yang dikerjakan dua lapis secara beruutan dengan tebal padat maksimum 3,5
cm. Lapisan ini dipakai sebagai lapisan non struktural.
 Latasir (lapis tipis aspal pasir): Lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam
bergradasi menerus dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal
padat 1-2 cm. Lapisan ini dipakai sebagai lapisan non struktural.
 Buras (taburan aspal): Lapisan penutup yang terdiri dari lapisan aspal dan taburan pasir dengan
ukuran butir maksimum 3/8". Lapisan ini dipakai sebagai lapisan non struktural.
 Lapen (lapis penetrasi macadam): Lapisan perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan
agregat pengunci begradasi terbuka dan seragam dan diikat oleh aspal dengan cara
disemprotkan lapisan di atanya dan dipadatkan lapis demi lapis. Di atas lapen ini diberi laburan
aspal dengan agregat penutup. Tebal lapisan satu lapis 4-10 cm. Lapisan ini dipakai sebagai
lapisan permukaan struktural.
 Lasbutag (lapisan asbuton agregat): Lapisan yang terdiri dari campuran antara agregat asbuton
dan bahan pelunak yang diaduk, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal padat tiap
lapisan 3-5 cm. Lapisan ini dipakai sebagai lapisan permukaan yang bersifat struktural.
 Latasbun (lapisan tipis asbuton murni): Lapis penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan
bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin. Tebal padat
maksimum 1 cm. Lapisan ini dipakai sebagai lapisan non struktural (lapis permukaan).
 Lataston (lapis tipis aspal beton "Hot Rollet Sheets" HRS): Lapis penutup yang terdiri dari
campuran antara agregat bergradasi menerus. Material pengisi (filler) dan aspal panas dengan
perbandingan tertentu yang dicampurkan dan dipadatkan dalam keadaan panas. Tebal padat
2,5-3 cm. Lapis ini digunakan sebagai lapis permukaan struktural.
 Laston (lapis aspal beton): Lapis yang terdiri dari campuran aspal keras (AC) dan agregat yang
mempunyai gradasi menerus dicampur, dihampar, dan dipadatkan pada suhu tertentu. Lapis ini
digunakan sebagai lapis permukaan struktural dan lapis pondasi, (asphalt concrete base/asphalt
trated base).
 Concrete block (conblock): Blok-blok beton misalnya berbentuk segi enam disusun di atas lapisan
pasir yang diratakan dengan maksud supaya air tidak tergenang di atas blok beton.

Lapisan Perkerasan Kaku (Rigit Pavement)


Perkerasan yang menggunakan bahan ikat semen portland, pelat beton dengan atau tanpa tulangan
diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar
dipikul oleh pelat beton.

Struktural Perkerasan Kaku

Lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah memberikan sumbangan yang besar terhadap daya dukung
perkerasan terutama didapat dari pelat beton. Hal tersebut disebabkan oleh sifat pelat beton yang
cukup kaku sehingga dapat menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang
rendah pada lapisan-lapisan di bawahnya. Jenis-jenis lapisan perkerasan kaku antara lain:

Perkerasan beton semen: perkerasan kaku dengan beton semen sebagai lapis aus. Terdapat 4 jenis
perkerasan beton semen:

1. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulang.


2. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulang.
3. Perkerasan beton semen bersambung menerus dengan tulang.
4. Perkerasan beton semen pra tekan.

Perkerasan komposit: perkerasan kaku dengan pelat beton semen sebagai lapis pondasi dan aspal
beton sebagai lapis permukaan. Perkerasan kaku ini sering digunakan sebagai runway lapangan terbang.

Cara Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku


Beberapa cara perencanaan tebal perkerasan kaku:

Cara- Portland cement

1. Cara Portland cement, berdasarkan teori Westegaard,dimana harga K,tidak mengalami koreksi
terhadap kadar air.
2. Untuk menentukan kekuatan beton,dipergunakan SF = factor keamanan.
3. Bila ada gejala ‘pumping, tebal subbase dusarankan 10-15 cm.
4. Bila ada gejala perubahan kerataan subgrade, maka disarankan tebal subbase 15-30 cm.

Cara-Corps of Engineers
1. Cara ini di dasarkan kepada pengalaman-pengalaman dan teori-teori Westegaard.
2. Harga K (Modulus reaksi tanah dasar) diperoleh dari ‘Plate Loading Test’ dan diadakan koreksi
terhadap kadar air (yang paling jelek).
3. Dengan mengetahui harga K, tegangan hancur beton, beban roda, maka tebal plat dapat
dihitung.
4. Corps of Engineers juga telah menurunkan cara perencanaan tambahan lapisa beton, sesuai
dengan Manual EM 110-45-303, Engineering and Design Rigid Airfield Pavement.

Cara NAVY

1. Cara ini hampir sama dengan cara Corps of Engineers.


2. Harga K (Modulus reaksi tanah dasar) juga dikoreksi terhadap air.
3. Tebal subbase dapat ditentukan berdasarkan hasil ‘Loading test’ pada waktu evaluasi subgrade
(tanah dasar).
4. Untuk memudahkan perhitungan, cara NAVY telah menurunkan grafik-grafik perencanaan.
5. Dengan menentukan terlebih dahulu nilai-nilai K (Modulus of subgrade reaction), tegangan
hancur beton, pembebanan, maka grafi-grafik dimaksud dapat digunakan untuk perhitungan
yang diinginkan.

Cara AASHTO

1. Cara ini juga diturunkan berdasarkan teori-teori DR.H.M. Westegaard.


2. Harga K (Modulus of Subgrade Reaction) ditentukan dengan “Plate Loading Test” tanpa koreksi
terhadap kadar air.
3. Untuk memudahkan dalam perhitungan, telah disusun monogram-monogram atas dasar analisa
traffic untuk Umur Rencana (UR = 20 tahun).
4. Untuk beton ditentukan : Tegangan yang bekerja diambil sebesar 75 % dari Modulus Hancur
Beton pada umur 28 hari.
5. Index permukaan ditentukan : (a) Pt = 2,5 untuk “Major Highway”, dan (b) Pt = 2,0 untuk
“Secondary Highway”

Aspal Beton Hot Mix


Pengertian Aspal Beton Hot Mix
Aspal Beton Hotmix adalah campuran agregat halus dengan agregat kasar, dan bahan pengisi (Filler)
dengan bahan pengikat aspal dalam kondisi suhu panas tinggi. Dengan komposisi yang diteliti dan diatur
oleh spesifikasi teknis. Aspal beton hotmix merupakan salah satu jenis dari lapis perkerasan konstruksi
perkerasan lentur. Jenis perkerasan ini merupakan campuran merata antara agregat dan aspal sebagai
bahan pengikat pada suhu tertentu. Untuk mengeringkan agregat dan mendapatkan tingkat kecairan yang
cukup dari aspal sehingga diperoleh kemudahan untuk mencampurnya, maka kedua material harus
dipanaskan dulu sebelum dicampur. Karena dicampur dalam keadaan panas maka seringkali disebut
sebagai “ hot mix “. pekerjaan pencampuran dilakukan di pabrik pencampur , kemudian dibawa ke lokasi
dan di hampar dengan mempergunakan alat penghampar (paving machine) sehingga diperoleh lapisan
lepas yang seragam dan merata untuk selanjutnya dipadatkan dengan mesin pemadat dan akhirnya
diperoleh lapisan padat aspal beton.

Klasifikasi Aspal Beton Hot Mix


Berdasarkan fungsinya aspal beton hot mix dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Sebagai lapis permukaan yang tahan terhadap cuaca, gaya geser, dan tekanan roda serta
memberikan lapis kedap air yang dapat melindungi lapis dibawahnya dari rembesan air.
2. Sebagai lapis pondasi atas.
3. Sebagai lapis pembentuk pondasi, jika dipergunakan pada pekerjaan peningkatan atau
pemeliharaan.

Sesuai dengan fungsinya maka lapis aspal beton mempunyai kandungan agregat dan aspal yang berbeda.
Sebagai lapis aus, maka kadar aspal yang dikandungnya haruslah cukup sehingga dapat memberikan lapis
yang kedap air. Agregat yang dipergunakan lebih halus dibandingkan dengan aspal beton yang berfungsi
sebagai lapis pondasi.
Berdasarkan metode pencampurannya, aspal beton dapat dibedakan atas:

1. Aspal beton Amerika, yang bersumber kepada Asphalt Institute.


2. Aspal beton durabilitas tinggi, yang bersumber pada BS 594, Inggris, dan dikembangkan oleh
CQCMU, Bina Marga, Indonesia.

Jenis Aspal Beton Hot Mix


Berdasarkan bahan yang digunakan dan kebutuhan desain konstruksi jalan aspal beton hotmix
mempunyai beberapa jenis antara Lain:

1. Binder Course (BC) dengan tebal minimum 4 cm biasanya digunakan sebagai lapis kedua
sebelum wearing course.
2. Asphalt Traeted Base (ATB) dengan tebal minimum 5 cm digunakan sebagai lapis pondasi atas
konstruksi jalan dengan lalu lintas berat / tinggi.
3. Hot Roller Sheet (HRS) / Lataston / laston 3 dengan tebal penggelaran minimum 3 s/d 4 cm
digunakan sebagai lapis permukaan konstruksi jalan dengan lalu lintas sedang.
4. (FG) Fine Grade dengan tebal minimum 2,8 cm maks 3 cm bisanya digunakan untuk jalan
perumahan dengan beban rendah.
5. Asphalt Traeted Base (ATB) dengan tebal minimum 5 cm digunakan sebagai lapis pondasi atas
konstruksi jalan dengan lalu lintas berat / tinggi.
6. Sand Sheet dengan tebal maximum 2,8 cm biasanya digunakan untuk jalan perumahan dan
perparkiran.
7. Wearing Course (AC) / Laston dengan tebal penggelaran minimum 4 cm digunakan sebagai lapis
permukaan jalan dengan lalu lintas berat.

Aplikasi Aspal Beton Hot Mix


Aspal Beton (Hotmix) secara luas digunakan sebagai lapisan permukaan konstruksi jalan dengan lalu
lintas berat, sedang, ringan, dan lapangan terbang, dalam kondisi segala macam cuaca.
Apa kelebihan Aspal Beton Hot Mix :

1. Waktu pekerjaan yang relatif sangat cepat sehingga terciptanya efesiensi waktu.
2. Lapisan konstruksi aspal beton tidak peka terhadap air (kedap air).
3. Dapat dilalui kendaraan setelah pelaksanaan penghamparan.
4. Mempunyai sifat fleksibel sehingga mempunyai kenyamanan bagi pengendara.
5. Pemeliharaan yang relatif mudah dan murah.
6. Stabilitas yang tinggi sehingga dapat menahan beban lalu lintas tanpa terjadinya deformasi.
7. Ekonomis.

Pelabuhan Udara
Pelabuhan udara adalah tempat di daratan yang dipersiapkan untuk penempatan, pendaratan, dan
pemberangkatan pesawat terbang beserta penumpangnya. (didukung oleh fasilitas keselamatan
penerbangan dan layanan penumpang).
Sejarah Transportasi Udara :
1930 – 1950 = Pertumbuhan kurang pesat

Setelah 1950 = Pertumbuhan penggunaan pesawat terbang meningkat hingga mencapai 13% pertahun
Persentase angkutan udara terhadap total angkutan

Transportasi udara merupakan :

1. cermin taraf kehidupan masyarakat


2. cermin tingkat kesibukan / kepentingan
3. cermin nilai ‘waktu’ mahal (time is money)
4. menunjukkan perhitungan jarak dalam satuan waktu tempuh

Transportasi udara berpengaruh terhadap beberapa hal yaitu :

1. kehidupan ekonomi,
2. sosial kemasyarakatan,
3. sistem Hankam,
4. politik,
5. budaya,
6. Iptek,
7. informasi/ komunikasi,
8. lain-lain.
9. tingkat kepentingan,
10. waktu / jarak,
11. biaya,
12. kenyamanan.

Pertimbangan keamanan menjadi syarat mutlak

1. angkutan umum
2. angkutan massal
3. angkutan jarak sedang / jauh
4. angkutan khusus (militer)
5. angkutan pribadi

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) – badan khusus PBB bertujuan antara lain :

1. Menjamin keselamatan dan pertumbuhan penerbangan sipil yang wajar


2. Mendorong disain pesawat dan pengoperasian untuk perdamaian
3. Mendorong pengembangan jalur udara, bandar udara, fasilitas navigasi untuk penerbangan
internasional
4. Memenuhi kebutuhan manusia akan transportasi udara yang cepat, aman, nyaman
5. Mencegah pemborosan ekonomi akibat persaingan yang tidak wajar
6. Menjamin hak2 negara2 untuk melakukan penerbangan internasional
7. Menghindarkan diskriminasi
8. Mempromosikan keselamatan penerbangan & navigasi internasional
9. Meningkatkan pengembangan aeronautika sipil internasional
10. Menjalin komunikasi antar anggota, dengan dikeluarkannya Aerodromes Annexe 14

Ada 2 jenis angkutan udara yaitu :

1. General Aviation : pertanian, penyemprotan hama, instruksional, survai, pemetaan, dan lain-
lain.
2. Air Carrier : penerbangan komersial untuk penumpang oleh perusahaan penerbangan

Layanan penerbangan ada 2 macam yaitu :

1. Domestic flight: melayani penerbangan antar pulau / antar kota dalam satu negara
2. International flight: melayani penerbangan antar negara
3. Ukuran (size)
4. Berat (weight)
5. Kapasitas (capacity)
6. Panjang landasan pacu (runway’s length)
7. Tebal perkerasan runway
8. Tebal perkerasan taxiway
9. Tebal perkerasan apron
10. Panjang runway untuk take off
11. Panjang runway untuk landing

Dasar pertimbangan pemilihan transportasi udara yaitu :


Beberapa jenis transportasi udara yaitu :

Jenis (mesin) pesawat :

1. Piston engine aircraft : dijalankan dengan tenaga propeller – mudah sekali dikenali dari baling-
balingnya
2. Turbin power aircraft : pesawat jet; yang masih dikelompokkan lagi dalam:

 Turbo prop : mesin jet berpropeller dilengkapi turbin seperti F27 (Fokker 27)
 Turbo jet : tanpa propeller, khusus dari turbinnya
 Turbo fan : Turbo jet ditambah kipas yang biasanya diletakkan di depan mesin jet

Data perencanaan lapangan terbang yaitu :


1. Ukuran (size)
2. Berat (weight)
3. Kapasitas (capacity)
4. Panjang landasan pacu (runway’s length)

Berat pesawat menentukan :

1. tebal perkerasan runway


2. tebal perkerasan taxiway
3. tebal perkerasan apron
4. panjang runway untuk take off
5. panjang runway untuk landing

Tampak Depan

Bentangan sayap dan panjang badan pesawat mempengaruhi :

1. ukuran apron
2. ukuran hanggar
3. susunan gedung-gedung terminal
4. lebar landasan pacu
5. lebar landasan hubung
6. jarak landasan pacu – landasan hubung
7. jari-jari manuver

Airport System

Airport System adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang ada di pelabuhan udara.
Sistem ini terdiri atas:

1. Land side : urusan daratan di airport


2. Air side : urusan penerbangan di airport
3. En route : penerbangan di angkasa; jadi bukan bagian dari airport lagi

Komponen Berat Pesawat :

1. Berat Kosong Operasi (Operating Weight Empty) : Adalah berat seluruh pesawat termasuk awak
pesawat (tidak termasuk payload dan bahan bakar)
2. Berat Muatan (Payload) : Adalah berat seluruh muatan yang menghasilkan pendapatan
seperti penumpang, bagasi, surat-surat dan barang muatan lainnya
3. Berat Bahan Bakar Kosong (Zero Fuel Weight) : Adalah berat yang mana di atas batas berat
itu tambahan berat haruslah berupa bahan bakar. Saat pesawat miring ke samping, cairan
bahan bakar tidak terkumpul ke satu sisi.
4. Muatan Struktur Maksimum (Maximum Structural Payload) : Adalah beban maksimum yang
boleh (diizinkan) diangkut pesawat terbang, baik berupa penumpang, barang muatan, atau
gabungan keduanya.
5. Muatan Maksimum (Maximum Payload) : Biasanya lebih kecil dari Maximum Structural Payload
(mengingat susunan/ batasan ruangan)
6. Maximum Structural Landing Weight (Bobot Pendaratan Struktur Maksimum) :Bobot ini adalah
kemampuan struktur pesawat dalam pendaratan.
7. Maximum Structural Take Off Weight (Bobot Lepas Landas Struktur Maksimum) : Bobot
maksimum yang diperbolehkan pada saat lepas landas.
Gambar Situasi Bandara Adisucipto Yogyakarta
Denah Bandara Adisucipto
Konfigurasi Apron Bandara Adisucipto Yogyakarta
PERENCANAAN JALAN REL KERETA API
BAB 1

PENDAHULUAN
A. JALAN KERETA API SECARA UMUM

Kereta api adalah sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan
sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel.
Kereta api merupakan alat tranfortasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan
tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan rangkaian kereta atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan
lainnya). Rangkaian kereta atau gerbong tersebut berukuran relatif luas sehingga mampu memuat
penumpang maupun barang dalam skala besar. Karena sifatnya sebagai angkutan massal efektif,
beberapa negara berusaha memanfaatkan secara maksimal sebagai alat transportasi utama angkutan
darat baik didalam kota, antar kota, maupun antar negara.

B. SEJARAH TRANSPORTASI KERETA API

Sebelum tahun 1800 alat angkut yang dipergunakan antara lain adalah tenaga manusia, hewan
dan sumber tenaga dari alam seperti angin. Pada masa itu barang-barang yang dapat diangkut rata-rata
dalam jumlah yang kecil dan waktu yang ditempuh relatif lama. Namun setelah antara tahun 1800
hingga tahun 1860 transportasi telah mulai berkembang dengan baik karena telah mulai
dimanfaatkannya sumber tenaga mekanik seperti kapal uap dan kereta api, yang dimana mulai banyak
dipergunakan dalam dunia perdagangan dan dunai tranportasi. Dan kurang lebih pada tahun kisaran
antara tahun 1860 sampai dengan tahun 1920 mulai diketemukannya alat tranportasi lainnya seperti
misalnya kendaraan bermotor dan pesawat terbang meskipun dengan banyak keterbatasan dari
teknologi yang ada pada saat itu, namun pada masa itu pula angkutan kereta api dan jalan raya
memegang peranan penting dalam pengangkutan secara masal antar daerah pada suatu wilayah.

Kereta api mulai diperkenalkan di Indonesia, pada masa penjajahan Belanda, oleh sebuah perusahaan
swasta yang mempunyai singkatan NV atau lebih dikenal dengan nama Nederlandsch Indische Spoorweg
Mij (NISM), berdiri kisaran tahun 1864. Proyek pertama yang dibuat adalah jalur kereta api pertama
dibangun pada 17 Juni 1864. Yakni jalur Kemijen-Tanggung, Kabupaten Semarang saat ini, jalur yang
dibuat kurang lebih sepanjang 26 Km. Diresmikan oleh Gubernur Jenderal L.A.J Baron Sloet Van Den
Beele. Kemudian tanggal 18 Februari 1870, NISM membangun jalur umum Semarang-Solo-Yogyakarta.
Dan tanggal 10 April 1869 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Staats Spoorwegen atau lebih dikenal
dengan nama singkatan (SS) yang membangun jalur lintasan Batavia-Bogor. Kemudian tanggal 16 Mei
April 1878, perusahaan negara luar ini membuka jalur Surabaya-Pasuruan-Malang, dan 20 Juli 1879
membuka jalur Bangil-Malang. Pembangunan terus berjalan hingga ke kota-kota besar seluruh Jawa
terhubung oleh jalur kereta api.
Di luar Jawa, 12 Nopember 1876, Staats Spoorwegen juga membangun jalur Ulele-Kutaraja(Aceh).
Selanjutnya lintasan PaluAer-Padang (Sumatera Barat) pada Juli 1891, lintasan Telukbetung-Prabumulih
(Sumatera Selatan) tahun 1912, dan 1Juli 1923 membangun jalur Makasar-Takalar (Sulawesi). Di
Sumatera Utara, NV. Deli Spoorweg Mij juga membangun lintasan Labuan-Medan pada 25 Juli 1886.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, selain Staats Spoorwegen milik pemerintah, sudah ada 11
perusahaan kereta api swasta di Jawa dan satu perusahaan swasta di Sumatera.

C. PENGERTIAN UMUM TRANSPORTASI

Mobilitas manusia sudah dimulai sejak jaman dahulu kala, kegiatan tersebut dilakukan dengan
berbagai tujuan antara lain untuk mencari makan, mencari tempat tinggal yang lebih baik, mengungsi
dari serbuan orang lain dan sebagainya. Dalam melakukan mobilitas tersebut sering membawa barang
ataupun tidak membawa barang. Oleh karenanya diperluhkan alat sebagai sarana transportasi, menurut
Abbas salim (1993:5). Transportasi adalah sarana bagi manusia untuk memindahkan sesuatu, baik
manusia atau benda dari satu tempat ke tempat lain, dengan ataupun tanpa mempergunakan alat
bantu. Alat bantu tersebut dapat berupa tenaga manusia, binatang, alam ataupun benda lain dengan
mempergunakan mesin ataupun tidak bermesin.

D. TUJUAN DI BANGUNNYA REL KERETA API

Kereta Api merupakan moda (metode dasar) transportasi dengan multi keunggulan komparatif:
hemat lahan & energi, rendah polusi, besifat massal, adaptif dengan perubahan teknologi, yang
memasuki era kompetisi, potensinya diharapkan dapat dimobilisasi dalam skala nasional, sehingga
mampu menciptakan keunggulan kompetitif terhadap produksi dan jasa domestik dipasar global.
Dengan tugas pokok dan fungsi memobilisasi arus penumpang dan barang diatas jalur rel kereta api,
maka ikut berperan menunjang pertumbuhan ekonomi nasional.

E. JENIS-JENIS KERETA API

1. Dari segi propulsi (tenaga penggerak)


a. Kereta api uap

b. Kereta api diesel

c. Kereta rel listrik

2. Dari segi rel

Kereta api rel konvensional

Kereta api rel konvensional adalah kereta api yang umum dijumpai contonya di Stasiun Jakarta Kota.
Menggunakan rel yang terdiri dari dua batang besi yang diletakan dibantalan. Didaerah tertentu yang
memiliki tingkat ketinggian curam, digunakan rel bergerigi yang diletakkan ditengah-tengah rel tersebut
serta menggunakan lokomotif khusus yang memiliki roda gigi.
Kereta api monorel
Kereta api monorel (kereta api rel tunggal) adalah kereta api yang jalurnya tidak seperti jalur kereta
yang biasa dijumpai. Rel kereta ini hanya terdiri dari satu batang besi. Letak kereta api didesain
menggantung pada rel atau diatas rel. Karena efisien, biasanya digunakan sebagai alat transportasi kota
khususnya dikota-kota mentropolitan dunia dan dirancang mirip seperti jalan layang.
3. Dari segi diatas atau dibawah permukaan tanah
Kereta api permukaan
Kereta api permukaan berjalan diatas tanah. Umumnya kereta api yang sering dijumpai adalah
kereta api jenis ini.
Kereta api bawah tanah (subway)
Kereta api bawah tanah adalah kereta api yang berjalan dibawah permukaan tanah (subway). Kereta
jenis ini dibangun dengan membangun terowongan-terowongan dibawah tanah sebagai jalur kereta api.
Umumnya digunakan pada kota-kota besar (metropolitan) seperti New York, Tokyo, Sidney, Kuala
Lumpur, Singapur, Paris, dan Moskwa dll. Selain itu juga digunakan dalam sekala lebih kecil pada daerah
pertambangan.
4. Dari segi penumpang
a. Kereta api penumpang
b. Kereta api barang

F. STASIUN KERETA API


Stasiun kereta api adalah tempat dimana para penumpang dapat naik turun dalam memakai
sarana transportasi kereta api. Selain stasiun, pada masa lalu dikenal juga dengan halte kereta api yang
memiliki fungsi nyaris sama dengan stasiun kereta api.

Stasiun kereta api umumnya terdiri atas tempat penjualan tiket, peron atau ruang tunggu, ruang
kepala stasiun, dan ruang PPKA (Pengaturan Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, sinyal, wesel,
(alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya.

G. GERBONG

Gerbong adalah kendaraan beroda yang merupakan bagian dari sebuah rangkaian kereta api yang bukan
merupakan lokomotif. Gerbong secara garis besar dibedakan atas dua jenis yaitu gerbong penumpang
dan gerbong barang. Gerbong barang kemudian dibedakan lagi jenis muatannya antara lain:

1. Lori – gerbong terbuka, umunya untuk mengangkut bahan galian tambang.


2. Tangki – gerbong untuk mengangkut muatan berbentuk cair.
3. Gerbong untuk mengangkut ternak.
4. Peti kemas.

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI STRUKTUR JALAN REL

Struktur jalan rel merupakan suatu kontruksi yang direncanakan sebagai prasarana atau
infrastruktur perjalanan kereta api. Gambar 2.1 menjelaskan gambar konstruksi jalan rel yang tampak
secara visual dan secara skematik digambarkan dalam potongan melintang.
Secara konstruksi, jalan rel dibagi dalam dua bentuk konstruksi, yaitu :

1. Jalan rel dalam konstruksi timbunan.

2. Jalan rel dalam konstruksi galian.

Jalan rel dalam konstruksi timbunan biasanya terdapat pada daerah persawahaan atau daerah rawa,
sedangkan jalan rel pada konstruksi galian umumnya terdapat pada medan pegunungan. Gambar 2.2
menunjukkan contoh potongan konstruksi jalan rel pada daerah timbunan dan galian.
B. KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL

Struktur jalan rel dibagi ke dalam dua bagian struktur yaitu terdiri dari kumpulan komponen-
komponenjalan rel yaitu :

1. Struktur bagian atas, atau dikenal sebagai superstructure yang terdiri dari komponen-komponen seperti
rel (rail), penambat (fastening) dan bantalan (sleeper, tie).
2. Struktur bagian bawah,atau dikenal sebagai substructure, yang terdiri dari komponen balas (ballast),
subbalas (subbalast), tanah dasar (improve subgrade) dan tanah asli (natural ground). Tanah dasar
merupakan lapisan tanah di dibawah subbalas yang berasal dari tanah asli tempatan atau tanah yang
didatangkan (jika kondisi tanah asli kurang baik), dan telah mendapatkan perlakuan pemadatan
(compaction) atau diberikan perlakuan khusus (treatment). Pada kondisi tertentu, balas juga dapat
disusun dalam dua lapisan, yaitu : balas atas (top ballast) dan balas bawah (bottom ballast).
Konstruksi jalan rel merupakan suatu sistem struktur yang menghimpun komponen-komponennya
seperti rel, bantalan, penambat dan lapisan pondasi serta tanah dasar secara terpadu dan disusun dalam
sistem konstruksi dan analisis tertentu agar dapat dilalui kereta api secara aman dan nyaman. Gambar
2.3 menjelaskan bagian-bagian struktur atas dan bawah konstruksi jalan rel dan secara skematik
menjelaskan keterpaduan komponen-komponennya dalam suatu sistem struktur.
C. KOMPONEN-KOMPONEN PENYUSUN JALAN REL

1. Rel (batangan besi baja)


Batang rel terbuat dari besi ataupun baja bertekanan tinggi, dan juga mengandung karbon, mangan,
dan silikon. Batang rel khusus dibuat agar dapat menahan beban berat (axle load) dari rangkaian KA
yang berjalan di atasnya. Inilah komponen yang pertama kalinya menerima transfer berat (axle load)
dari rangkaian KA yang lewat. Tiap potongan (segmen) batang rel memiliki panjang 20-25 m untuk rel
modern, sedangkan untuk rel jadul panjangnya hanya 5-15 m tiap segmen. Batang rel dibedakan
menjadi beberapa tipe berdasarkan berat batangan per meter panjangnya.
Di Indonesia dikenal 4 macam batang rel, yakni R25, R33, R42, dan R54. Misalkan, R25 berarti batang
rel ini memiliki berat rata-rata 25 kilogram/meter. Makin besar “R”, makin tebal pula batang rel
tersebut.Berikut ini daftar rel yang digunakan di Indonesia menggunakan standar UIC dengan Standar:
 Rel 25 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 25 kilogram (kg).
 Rel 33 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 33 kilogram (kg).
 Rel 41 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 41 kilogram (kg).
 Rel 42 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 42 kilogram (kg).
 Rel 50 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 50 kilogram (kg).
 Rel 54 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 54 kilogram (kg).
 Rel 60 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 60 kilogram (kg).

Perbedaan tipe batang rel mempengaruhi beberapa hal, antara lain (1) besar tekanan
maksimum (axle load) yang sanggup diterima rel saat KA melintas, dan (2) kecepatan
laju KA yang diijinkan saat melewati rel. Semakin besar “R”, maka makin besar axle
load yang sanggup diterima oleh rel tersebut, dan KA yang melintas di atasnya dapat
melaju pada kecepatan yang tinggi dengan stabil dan aman.
Tipe rel paling besar yang digunakan di Indonesia adalah UIC R54) yang digunakan untuk jalur KA
yang lalu lintasnya padat, seperti lintas Jabodetabek dan lintas Trans Jawa. Tak ketinggalan lintas
angkutan batubara di Sumsel-Lampung yang memiliki axle load paling tinggi di Indonesia.

2. Bantalan Rel
Bantalan rel (sleepers) dipasang sebagai landasan dimana batang rel diletakkan dan ditambatkan.
Berfungsi untuk (1) meletakkan dan menambat batang rel, (2) menjaga kelebaran trek (track gauge,
adalah ukuran lebar trek rel. Indonesia memiliki track gauge 1067 mm) agar selalu konstan, dengan kata
lain agar batang rel tidak meregang atau menyempit, (3) menumpu batang rel agar tidak melengkung ke
bawah saat dilewati rangkaian KA, sekaligus (4) mentransfer axle load yang diterima dari batang rel dan
plat landas untuk disebarkan ke lapisan batu ballast di bawahnya.

Oleh karena itu bantalan harus cukup kuat untuk menahan batang rel agar tidak bergesar, sekaligus kuat
untuk menahan beban rangkaian KA. Bantalan dipasang melintang dari posisi rel pada jarak
antarbantalan maksimal 60 cm. Ada tiga jenis bantalan, yakni :
a. Bantalan Kayu (Timber Sleepers), terbuat dari batang kayu asli maupun kayu campuran, yang dilapisi
dengan creosote (minyak pelapis kayu) agar lebih awet dan tahan jamur.
b. Bantalan Plat Besi (Steel Sleepers), merupakan bantalan generasi kedua, lebih awet dari kayu. Bantalan
besi tidak dipasang pada trek yang ter-eletrifikasi maupun pada trek yang menggunakan persinyalan
elektrik.
c. Bantalan Beton Bertulang (Concrete Sleepers), merupakan bantalan modern saat ini, dan paling banyak
digunakan karena lebih kuat, awet, murah, dan mampu menahan beban lebih besar daripada dua
bantalan lainnya.

Perbandingan umur bantalan rel KA yang dipergunakan dalam keadaan normal dapat ditaksir sebagai
berikut :

 Bantalan kayu yang tidak diawetkan: 3-15 tahun.


 Bantalan kayu yang diawetkan: 25-40 tahun.
 Bantalan besi baja: sekitar 45 tahun.
 Bantalan beton: diperkirakan 60 tahun.
3. Plat Landas
Pada bantalan kayu maupun besi, di antara batang rel dengan bantalan dipasangi Tie Plate (plat
landas), semacam plat tipis berbahan besi tempat diletakkannya batang rel sekaligus sebagai lubang
tempat dipasangnya Penambat (Spike). Sedangkan pada bantalan beton, dipasangi Rubber Pad, sama
seperti Tie Plate, tapi berbahan plastik atau karet dan fungsinya hanya sebagai landasan rel, sedangkan
lubang/tempat dipasangnya penambat umumnya terpisah dari rubber pad karena telah melekat pada
beton.
Fungsi plat landas selain sebagai tempat perletakan batang rel dan juga lubang penambat, juga
untuk melindungi permukaan bantalan dari kerusakan karena tindihan batang rel, dan sekaligus untuk
mentransfer axle load yang diterima dari rel di atasnya ke bantalan yang ada tepat dibawahnya.

4. Penambat Rel
Fungsinya untuk menambat/mengaitkan batang rel dengan bantalan yang menjadi tumpuan batang
rel tersebut, agar (1) batang rel tetap menyatu pada bantalannya, dan (2) menjaga kelebaran trek (track
gauge). Jenis penambat yang digunakan bergantung kepada jenis bantalan dan tipe batang rel yang
digunakan. Ada dua jenis penambat rel, yakni Penambat Kaku dan Penambat elastis.
Penambat kaku misalnya paku rel, mur, baut, sekrup, atau menggunakan tarpon yang dipasang
menggunakan pelat landas. Umumnya penambat kaku ini digunakan pada jalur kereta api tua.
Karakteristik dari penambat kaku adalah selalu dipasang pada bantalan kayu atau bantalan besi.
Penambat kaku kini sudah tidak layak digunakan untuk jalan rel dengan frekuensi dan axle load yang
tinggi. Namun demikian tetap diperlukan sebagai penambat rel pada bantalan kayu yang dipasang pada
jalur wesel, jembatan, dan terowongan.
Penambat elastis dibuat untuk menghasilkan jalan rel KA yang berkualitas tinggi, yang biasanya
digunakan pada jalan rel KA yang memiliki frekuensi dan axle load yang tinggi. Karena sifatnya yang
elastis sehingga mampu mengabsorbsi getaran pada rel saat rangkaian KA melintas, oleh karena itu
perjalan KA menjadi lebih nyaman dan dapat mengurangi resiko kerusakan pada rel maupun
bantalannya. Selain itu penambat elastis juga dipakai pada rel yang disambungan dengan las termit
(istilahnya Continuous Welded Rails, karena sambungan rel dilas sehingga tidak punya celah pemuaian)
karena kemampuannya untuk menahan batang rel agar tidak bergerak secara horizontal saat pemuaian.
Penambat elastis inilah yang sekarang banyak digunakan, terutama pada bantalan beton, meskipun ada
juga yang digunakan pada bantalan kayu dan bantalan besi.

Berbagai macam penambat elastis, antara lain:

 Penambat Pandrol E-Clip produksi Pandrol Inggris


 Penambat Pandrol Fastclip produksi Pandrol Inggris
 Penambat Kupu-kupu produksi Vossloh
 Penambat DE-Clip produksi PT. Pindad Bandung
 Penambat KA Clip produksi PT. Pindad Bandung.
Yang digunakan di Indonesia adalah E-Clip, DE-Clip, dan KA Clip.
5. Plat Penyambung Rel
Merupakan plat besi dengan panjang sekitar 50-60 cm, yang berfungsi untuk menyambung dua
segmen/potongan batang rel. Pada plat tersebut terdapat 4 atau 6 lubang untuk tempat skrup/baut
(Bolt) penyambung serta mur-nya (Nut). Batang rel biasanya hanya memiliki panjang sekitar 20-25
meter tiap potongnya, sehingga perlu komponen penyambung berupa plat besi penyambung beserta
bautnya. Pada setiap sambungan rel, terdapat celah pemuaian (Expansion Space), sehingga saat
rangkaian KA lewat akan terdengar bunyi “jeg-jeg…jeg-jeg” dari bunyi roda KA yang melewati celah
pemuaian tersebut.
Penyambungan rel menggunakan komponen-komponen di atas dikenal sebagai Metode Sambungan
Tradisional (Conventional Jointed Rails). Sedangkan dewasa ini telah dikenal metode penyambungan rel
dengan Las Termit, yang disebut dengan Continuous Welded Rails (CWR). Dengan metode CWR, tiap 2
sampai 4 potong batang rel dapat dilas menjadi satu rel yang panjang tanpa diberi celah pemuaian,
sehingga tiap CWR memiliki panjang sekitar 40-100 m.
CWR biasanya diterapkan pada jalur dengan kecepatan laju KA yang tinggi, karena permukaan rel
menjadi lebih rata dan halus sehingga rangkaian KA dapat lewat dengan lebih nyaman. Penerapan CWR
juga mengurangi resiko rusaknya roda KA, karena roda KA akan “njeglong” atau “tersandung” saat
melewati celah pemuaian. Lalu bagaimana dengan pemuaian batang rel? hal ini dapat disiasati dengan
menggunakan penambat elastis yang mampu menahan gerakan pemuaian batang rel (gerakan
mendatar dimana batang rel akan meregang saat panas dan menyusut saat dingin). Jika penambatnya
berupa penambat kaku, bisa disiasati dengan memasang rail anchor.
6. Rail Anchor
Satu lagi komponen trek rel KA yakni rail anchor (anti creep). Rail anchor digunakan pada rel yang
disambung secara CWR. Fungsinya untuk menahan gerakan pemuaian batang rel, karena pada
sambungan CWR tidak terdapat celah pemuaian.
Pada gambar di bawah, rail anchor dipasang di bawah permukaan batang rel tepat disamping
bantalan agar dapat menahan gerakan pemuaian rel. Rail anchor tidak dipasang pada rel yang ditambat
dengan penambat elastic, karena fungsinya sama seperti penambat elastis, yakni untuk mencegah
gerakan pemuaian batang rel. Jadi, rail anchor dipasang bersama dengan penambat kaku pada bantalan
kayu atau besi.
7. Lapisan Pondasi Atas atau Lapisan Balas (Ballast)
Konstruksi lapisan balas terdiri dari material granular / butiran dan diletakkan sebagai lapisan
permukaan (atas) dari konstruksi substruktur. Material balas yang baik berasal dari batuan yang
bersudut, pecah, keras, bergradasi yang sama, bebas dari debu dan kotoran dan tidak pipih (prone).
Meskipun demikian, pada kenyataannya, klasifikasi butiran di atas sukar untuk diperoleh/dipertahankan,
oleh yang demikian, permasalahan pemilihan material balas yang ekonomis dan memungkinkan secara
teknis masih mendapat perhatian dalam kajian dan penelitian. Lapisan balas berfungsi untuk menahan
gaya vertikal (cabut/uplift), lateral dan longitudinal yang dibebankan kepada bantalan sehingga bantalan
dapat mempertahankan jalan rel pada posisi yang disyaratkan.

8. Lapisan Pondasi Bawah atau Lapisan Subbalas (Subballast)


Lapisan diantara lapisan balas dan lapisan tanah dasar adalah lapisan subbalas. Lapisan ini berfungsi
sebagaimana lapisan balas, diantaranya mengurangi tekanan di bawah balas sehingga dapat
didistribusikan kepada lapisan tanah dasar sesuai dengan tingkatannya.
9. Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)
Lapisan tanah dasar merupakan lapisan dasar pada struktur jalan rel yang harus dibangun terlebih
dahulu. Fungsi utama dari lapisan tanah dasar adalah menyediakan landasan yang stabil untuk lapisan
balas dan subbalas. Perilaku tanah dasar adalah komponen substruktur yang sangat penting yang mana
memiliki peranan yang signifikan berkait pada sifat teknis dan perawatan jalan rel.

D. KRITERIA STRUKTUR JALAN REL

1. Kekakuan (Stiffness)
Kekakuan struktur untuk menjaga deformasi vertikal dimana deformasi vertikal yang diakibatkan
oleh distribusi beban lalu lintas kereta api merupakan indikator utama dari umur, kekuatan dan kualitas
jalan rel. Deformasi vertikal yang berlebihan akan menyebabkan geometrik jalan rel tidak baik dan
keausan yang besar diantara komponen-komponen struktur jalan rel.
2. Elastisitas (Elastic / Resilience)
Elastisitas diperlukan untuk kenyamanan perjalanan kereta api, menjaga patahnya as roda,
meredam kejut, impact, getaran vertikal. Jika struktur jalan rel terlalu kaku, misalnya dengan pemakaian
bantalan beton,maka untuk menjamin keelastikan struktur dapat menggunakan pelat karet (rubber
pads) di bawah kaki rel.
3. Ketahanan Terhadap Deformasi Tetap
Deformasi vertikal yang berlebihan akan cenderung menjadi deformasi tetap sehingga geometrik
jalan rel (ketidakrataan vertikal, horisontal dan puntir) menjadi tidak baik, yang pada akhirnya
kenyamanan dan keamanan terganggu.

4. Stabilitas
Jalan rel yang stabil dapat mempertahankan struktur jalan pada posisi yang tetap/semula (vertikal
dan horisontal) setelah pembebanan terjadi. Untuk ini diperlukan balas dengan mutu dan kepadatan
yang baik, bantalan dengan penambat yang selalu terikat dan drainasi yang baik.
5. Kemudahan Untuk Pengaturan dan Pemeliharaan (Adjustability)
Jalan rel harus memiliki sifat dan kemudahan dalam pengaturan dan pemeliharaan sehingga dapat
dikembalikan ke posisi geometrik dan struktur jalan rel yang benar jika terjadi perubahan geometri
akibat beban yang berjalan.
E. PEMBEBANAN PADA STRUKTUR JALAN REL

1. Beban dan Gaya Pada Rel


Pembebanan dan pergerakan kereta api di atas struktur jalan rel menimbulkan berbagai gaya pada
rel. Gaya-gaya tersebut diantaranya gaya vertikal, gaya transversal (lateral) dan gaya longitudinal.
a. Gaya Vertikal
Gaya ini adalah beban yang paling dominan dalam struktur jalan rel. Gaya vertikal menyebabkan
terjadinya defleksi vertikal yang merupakan indikator terbaik untuk penentuan kualitas, kekuatan dan
umur jalan rel. Secara global, besarnya gaya vertikal dipengaruhi oleh pembebanan oleh lokomotif,
kereta maupun gerbong.

- Gaya Lokomotif (locomotive)


Jenis lokomotif akan menentukan jumlah bogie dan gandar yang akan mempengaruhi berat beban
gandar di atas rel yang dihasilkannya.
- Gaya Kereta (car, coach)
Karakteristik beban kereta dipengaruhi oleh jumlah bogie dan gander yang digunakan. Selain itu, faktor
kenyamanan penumpang dan kecepatan (faktor dinamis) mempengaruhi beban yang dihasilkan.
- Gaya Gerbong (wagon)
Prinsip pembebanan pada gerbong adalah sama dengan lokomotif dan kereta. Meskipun demikian,
kapasitas muatan gerbong sebagai angkutan barang perlu diperhatikan dalam perencanaan beban.
Perhitungan gaya vertikal yang dihasilkan beban gandar oleh lokomotif, kereta dan gerbong merupakan
beban statik, sedangkan pada kenyataannya, beban yang terjadi pada struktur jalan rel merupakan
beban dinamis yang dipengaruhi oleh faktor aerodinamik (hambatan udara dan beban angin), kondisi
geometrik dan kecepatan pergerakan rangkaian kereta api. Oleh karena itu, diperlukan transformasi
gaya statik ke gaya dinamik untuk merencanakan beban yang lebih realistis. Persamaan TALBOT (1918)
memberikan transformasi gaya berupa pengkali faktor dinamis sebagai berikut:

b. Gaya Transversal (Lateral)

Gaya ini terjadi akibat adanya gaya sentrifugal (ketika rangkaian kereta api berada

di lengkung horizontal), gerakan ular rangkaian (snake motion) dan ketidakrataan

geomtrik jalan rel yang bekerja pada titik yang sama dengan gaya vertikal. Gaya ini

dapat menyebabkan tercabutnya penambat akibat gaya angkat (uplift force),

pergeseran pelat andas dan memungkinkan terjadinya derailment (anjlog atau

keluarnya roda kereta dari rel). Syarat pembatasan besarnya gaya lateral

supaya tidak terjadi anjlog adalah :

F. POLA DISTRIBUSI GAYA PADA STRUKTUR JALAN REL


Pola distribusi gaya vertikal beban kereta api dapat dijelaskan secara umum sebagai berikut :

1. Beban dinamik diantara interaksi roda kereta api dan rel merupakan fungsi dari karakteristik jalur,
kendaraan dan kereta, kondisi operasi dan lingkungan. Gaya yang dibebankan pada jalur oleh
pergerakan kereta api merupakan kombinasi beban statik dan komponen dinamik yang diberikan
kepada beban statik. Beban dinamik diterima oleh rel dimana terjadi tegangan kontak diantara kepala
rel dan roda, oleh sebab itu, sangat berpengaruh dalam pemilihan mutu baja rel.
2. Beban ini selanjutnya didistribusikan dari dasar rel ke bantalan dengan perantara pelat andas ataupun
alas karet.
3. Beban vertikal dari bantalan akan didistribusikan ke lapisan balas dan subbalas menjadi lebih kecil dan
melebar. Pola distribusi beban yang melebar dan menghasilkan tekanan yang lebih kecil yang dapat
diterima oleh lapisan tanah dasar.

Prinsip pola distribusi gaya pada struktur rel bertujuan untuk menghasilkan reduksi tekanan kontak yang
terjadi diantara rel dan roda (± 6000 kg/cm2) menjadi tekanan yang sangat kecil pada tanah dasar (± 2
kg/cm2). Gambar 4.3 di bawah ini menjelaskan pola distribusi beban pada struktur jalan rel.

G. KETENTUAN UMUM PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL

1. Standar Jalan Rel


Segala ketentuan yang berkaitan dengan jenis komponen jalan rel di dalam perencanaan geometrik
jalan rel tertuang dalam Tabel Klasifikasi Jalan Rel PD.10 tahun 1986.
Ketentuan tersebut diantaranya: kelas jalan, daya lintas/angkut, kecepatan maksimum, tipe rel, jenis
bantalan dan jarak, jenis penambat rel dan struktur balasnya.
2. Kecepatan dan Beban Gandar
Dalam ketentuan PD 10 tahun 1986, terdapat beberapa tipe kecepatan yang digunakan dalam
perencanaan, yaitu :
a. Kecepatan rencana adalah kecepatan yang digunakan untuk merencanakan konstruksi jalan rel. Adapun
beberapa bentuk kecepatan rencana digunakan untuk :

a. Kecepatan Maksimum
Kecepatan maksimum adalah kecepatan tertinggi yang diijinkan untuk operasi suatu rangkaian kereta
pada lintas tertentu. Ketentuan pembagian kecepatan maksimum dlam perencanaan geometrik dapat
dilihat pada Tabel Klasifikasi Jalan Rel.
b. Kecepatan Operasi
Kecepatan operasi adalah kecepatan rata-rata kereta api pada petak jalan tertentu.
c. Kecepatan Komersial
Kecepatan komersial adalah kecepatan rata-rata kereta api sebagai hasil pembagian jarak tempuh
dengan waktu tempuh.
Beban gandar maksimum yang dapat diterima oleh struktur jalan rel di Indonesia untuk semua kelas
jalan adalah 18 ton (PD. No. 10 tahun 1986).

3. Daya Angkut Lintas


Daya angkut lintas (T) adalah jumlah angkutan anggapan yang melewati suatu lintas dalam jangka
waktu satu tahun.

4. Ruang Bebas dan Ruang Bangunan


a. Definisi
- Ruang Bebas
Ruang di atas sepur yang senantiasa harus bebas dari segala rintangan dan benda penghalang, ruang ini
disediakan untuk lalu lintas rangkaian kereta api.
- Ruang Bangun
Ruang disisi sepur yang senantiasa harus bebas dari segala bangunan seperti tiang semboyan, tiang
listrik dan pagar. Ruang bangun diukur dari sumbu sepur pada tinggi 1 meter sampai 3,55 meter.
b. Jalur Tunggal
Menurut R-10, batas ruang untuk jalur lurus dan lengkung dibedakan
sebagai berikut :
1). Batas ruang bebas untuk jalur lurus dan lengkung dengan jari-jari lebih besar dari 3000 m.
2). Untuk lengkung dengan jari-jari 300 sampai dengan 3000 m.
3). Untuk lengkung dengan jari-jari kurang dari 300 m.
- Untuk kereta listrik :
Kereta listrik disediakan ruang bebas untuk memsang saluran-saluran kawat listrik beserta tiang
pendukungnya dan pantograph listrik di kereta.

- Untuk peti kemas :


Ruang bebas didasarkan pada ukuran gerbong peti kemas standar ISO dengan ukuran standard height.
Standar ini digunakan karena banyak negara yang menggunakannya dan cenderung untuk dipakai pada
masa yang panjang.

c. Jarak Jalur Ganda


Jarak jalur sumbu untuk jalur lurus dan lengkung sebesar 4,00 meter.

BAB III

PENUTUP

Maksud dari tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan kita tentang
perkembangan struktur transportasi terutama kereta api. Dengan terus meningkatnya kemajuan
teknologi maka akan semakin ditingkatkan kearah aspek kenyamanan, aspek keselamatan, dampaknya
terhadap lingkungan dan biaya yang ekonomis untuk pembuatannya.

Bahwa materi tentang jalan rel ini masih cukup luas dan akan selalu ada pembaharuan sehingga
diperlukan penggalian informasi dan ilmunya dari berbagai sumber yang terdepan, dan juga harus tetap
mengacu pada persyaratan atau ketentuan yang berlaku sekarang ini sehingga dengan cara ini
pembangunan jalan rel dapat lebih aman, nyaman dan ramah lingkungan, dapat lebih efektif dan juga
dapat dilakukan dengan beberapa metode pelaksaannya yang mudah dan berkualitas untuk pekerjaan
konstruksi.

Anda mungkin juga menyukai