Cerpen Cinta
Cerpen Cinta
Cerpen Cinta
Seorang cowok bertahan tanpa lelah sembari memacu keringatnya yang bercucuran membasahi
tubuhnya. Nafasnya mulai terengah-engah sejalan dengan waktu. Banyak orang yang ingin memberinya
seteguk air, tapi ia menghiraukannya. Ia tetap melanjutkan kegiatannya itu. Matahari mungkin sekarang
tak bersahabat, karena memancarkan terik yang menyengat. Tetapi angin segar memberinya kenikmatan
yang tak terbatas. Bersama detak jantung yang tak terkendali ia merasa bahwa kini ia telah bebas.
Gemuruh-gemuruh riuh menyemangatinya seraya ingin mendapat perhatian darinya. Ia merespon
dengan tampilannya yang membuatnya menjadi juara, menjadi idola, dan menjadi yang paling keren di
antara mereka.
Tiba-tiba kesenangan yang ia rasakan saat itu luntur seketika. Disaat bola yang ia mainkan mendarat di
kepala seseorang yang tak pernah ia duga.
“Ng… nggak, nggak papa kok.” ucapan orang itu terbata sambil memegangi kepala yang kian menjadi.
Ia pun menegakkan kepala orang itu yang sedari tadi tertunduk. Lalu menatap matanya dengan tajam.
“Aiska…!” kagetnya
Sejenak hening!!!
“Mungkin ini kedua kalinya lo natap gue dengan tatapan yang sama.” orang itu mulai angkat bicara,
setelah tertunduk tak berdaya.
“Mungkin juga perasaan lo sama kayak waktu gue natap lo untuk pertama kalinya.”
“Bisa aja enggak, kali ini gue nggak akan ngerasain hal yang sama.” jawabnya terlihat sinis.
“Devan… siapa tadi yang kena bola? Dia nggak kenapa-napakan?.” tanya Yasmeen (kapten cheerleader).
Devano Alandana Zaind. Itulah kapten basket yang jadi idola di seluruh sekolah di daerahnya.
“Gue nggak papa, gue harus pergi. Ada tugas yang belum gue selesain.” pamit Aiska
Aiska Valencia Adhnand. Teman SMP Devan, yang dulu pernah debat heboh sama Devan gara-gara salah
paham. Sampai Aiska harus pindah sekolah sesuai keinginannya agar tidak berselisih lagi dengan Devan.
Sekarang ia bertemu lagi dengan Devan dan satu SMA dengannya.
Salah paham itu dimulai ketika Devan menuduh Aiska yang membeberkan trik basket clubnya ke club
lawan Devan. Devan dan Aiska satu club di salah satu club olahraga Bandung. Devan basket sedangkan
Aiska tennis lapangan. Aiska mengelak apa yang dikatakan Devan, Aiska mengaku ia tidak ikut campur
tentang masalah basket Devan. Ia tidak berbicara apapun dengan Roni, kapten tim basket musuh Devan.
Akan tetapi Devan tak mempercayainya. Karena tim basket Roni bisa sampai mengalahkan timnya.
Padahal sejak dulu tim Roni tak pernah bisa mengalahkan timnya. Dan selalu menjadi Runner Up. Karena
sangat terpukul dengan omongan Devan akhirnya pun Aiska keluar dari club dan pindah sekolah.
Kejadiannya begini,
Waktu itu Aiska dan Roni ketemuan. Aiska mewakili ayahnya yang tidak bisa bertemu dengan ayahnya
Roni untuk menyerahkan dokumen perusahaan. Ayah Aiska dan ayah Roni terikat kerja sama
perusahaan. Karena ayah Aiska sedang di luar kota. Dan ibunya sibuk mengurus fashion weeknya,
dengan terpaksa Aiska harus bertanggung jawab atas dokumen itu. Sedangkan ayah Roni asam muratnya
kambuh kambuh, saat bersiap ingin menerima dokumen itu. Kebetulan Roni sedang santai di rumah. Jadi
dia yang nganbil dokumennya. Sementara ibunya mengantar ayahnya ke rumah sakit.
Mereka janjian di sebuah caffe. Di sana sudah ada Roni yang menunggu Aiska. Beberapa saaat kemudian
terlihat seorang cewek menuju meja Roni.
“Nggak kok, biasa aja. Cepetan mana dokumennya!” jawab kasar Roni.
Saat itu juga Devan memperhatikan mereka dari mejanya yang tidak jauh dari meja Aiska dan Roni.
Devan berpikir dokumen yang diberikan Aiska ke Roni berisi tentang trik-trik basket club Devan. Mulai
saat itu timbul rasa benci dalam hati Devan terhadap Aiska.
Keesokan harinya…
“Apa maksud lo Van? Gue nggak ngerti, emang gue masuk club ini kan?”
“Jadi orang jangan munafik gitu!.” ditambah kata menyakitkan dari Yasmeen.
“Jangan sok melas deh lo!. Nggak merasa bersalah lagi!” bentak Devan.
“Ngaku aja deh, lo ngasih tau trik basket club kita kan ke Roni?” tanya sewot Yasmeen.
“Diem! Gue tuh percaya banget sama lo lebih dari siapapun. Tapi, sekarang gue ragu dan nggak mau lagi
percaya sama lo!” potong Devan.
“Iya, gue salah… udah percaya ama lo!. Lebih baik lo tinggalin club ini. Lo pergi jauh dari gue. Dan jangan
pernah nemuin gue lagi. Gue muak liat muka lo.”
Aiska kaget mendengar kata kata yang belum pernah ia dengar dari mulut Devan.
“Oke!. Gue akan turutin semua mau lo!. Thanks, udah ngusir gue… secara… baik-baik!.”
Aiska berlalu.
Setelah beberapa pekan Aiska pindah. Devan dan teman-teman clubnya menyadari bahwa yang
membeberkan trik milik club basketnya ialah temannya sendiri, bukan Aiska. Dia Nolan yang ternyata
sepupu Roni.
“Ka, sorry untuk kesalahan besar gue sama lo…!” ucap Devan saat Aiska mulai bergegas pergi.
“Sorry aja nggak cukup Van, lo bisa bilang sorry sama gue. Udah gue maafin, dari dulu. Tapi kesalahan lo
nggak akan pernah bisa gue lupain. Lo bisa aja ngelakuin ini sama gue. Tapi gue nggak akan ngerasain
perlakuan lo lagi untuk kedua kalinya. Maaf, gue nggak bisa jadi temen lo!.”
Aiska berlalu.
Setelah Aiska sudah pergi Devan dan Yasmeen kembali ke gerombolan clubnya.
“Devan… Devan!. Udah Van itu kesalahan masa lalu.” tenang Yasmeen.
“Van… loe jangan frustasi kayak gini. Sekarang loe harus lihat masa depan, bukan masa lalu!.” tambah
Albert, teman club Devan.
“Gue nggak bisa kayak gini terus, gue nggak mau hidup dengan kekangan kesalahan.”
Hari Minggu yang menyenangkan, mungkin sekarang tinggal kenangan. Hari dimana hanya ada senyum
di antara Aiska dan Devan. Toko buku, yang jadi tujuan mereka untuk dikunjungi. Sekarang mungkin
ketika Devan pergi ke toko buku, ia hanya memandangi buku-buku berjejer rapi, melamun mengenang
masa indah dulu. Begitu juga Aiska. Dulu Devan dan Aiska cukup dekat. Karna Devan dan Aiska pernah
satu bangku bus pengantar atlet untuk ke Jakarta, jadi mereka bisa kenal satu sama lain. Saat itu Aiska
terlambat masuk ke bus, entah karena apa ia sampai terlambat. Pas itu juga Devan lagi duduk sendiri.
Devan lihat Aiska waktu itu panik banget, jadi Devan nawarin tempat duduk. Beruntung banget Aiska…
bisa satu bangku sama cowok paling ganteng se-club basket di Bandung.
Pagi ini di lapangan basket sudah ada Devan dengan lincah memainkan bola basketnya. Sendirian…
Sesaat kemudian, Devan menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dari tadi. Ia
menoleh…
Saat orang yang memperhatikan Devan mengetahui bahwa Devan tahu ia sedang memperhatikannya
dengan jeli, ia bergegas pergi.
“Aiska, tunggu!.” cegah Devan dengan nada dingin sambil memegangi tangannya.
Mereka menatap satu sama lain seperti hanya hati mereka yang berbicara.
“Kenapa Van…?.”
“Gue mungkin punya kesalahan besar sama lo, gue udah minta maaf. Entah lo maafin atau enggak. Entah
lo dendam sama gue. Terserah lo mau ngelupain gue atau jauhin gue. Tapi plis, gue mau ngomong
sesuatu sama lo… dan ini penting.”
“Gue mohon dengerin gue!. Ini menyangkut perasaan dan masa depan gue!.”
“Oke!. Gue tahu lo nggak bakal mau nerima gue, entah jadi temen lo atau lebih dari itu.”
“Gue udah nunggu sejak lama momen ini. Mungkin lo nggak percaya gue ngomong gini!. Ka… dulu gue
pernah nyakitin lo. Sampek lo pergi dari kehidupan gue. Tapi itu nggak akan terulang lagi, gue akan slalu
jagain lo, gue akan slalu ngelindungin lo. Gue sayang sama lo Ka…!.” jelas Devan.
“Iya, gue cinta sama lo. Gue mau lo jadi yang terindah di hati gue. Lo mau nggak… jadi… pacar gue…?.”
“Iya. Dan itu nyata, bukan mimpi. Udah gue duga lo pasti kaget dan nggak percaya. Satu-satunya orang
yang bisa bangkitin gue dari masalah itu lo. Orang yang bisa buat gue senyum itu lo. Orang yang
mandang gue bukan karena gue ganteng atau gue ngehits, itu lo. Meski lo akhirnya njawab ‘nggak’ dari
pertanyaan gue ini, tapi gue tetep harus ngungkapinnya. Dari pada gue harus mendem perasaan ini
sampek nanti. Dan perasaan ini juga yang buat gue sedikit agak gila.” jelas Devan
“(Aiska sedikit agak tersenyum). Gue percaya dan kagum sama lo, karna lo udah berani ngungkapin
perasaan lo di depan gue. Memang… gue marah sama lo gara-gara waktu itu. Gue mulai untuk ngelupain
lo. Tapi nggak bisa. Jujur untuk pertama kalinya lo natap gue… di bus itu, perasaan gue nggak nentu.
Entah gue udah jatuh cinta sama lo, atau itu emang perasaan yang cuma lewat aja. Dan perasaan itu
muncul lagi saat lo natap gue kemarin… dengan tatapan yang sama.”
“Kalo lo nggak mau jawab, nggak papa. Gue bisa ngerti. Mungkin lo harus mikir lebih jauh lagi. Mana bisa
lo mencintai orang yang udah nyakitin lo. Ge-er banget kan gue. Mungkin gue mimpi terlalu tinggi. Oke…
Gue tunggu jawaban lo.”
“Iya… Van.!”
“Apa Ka…?”
“Makasih Ka!.”