Referat Obsgyn1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 55

REFERAT OBSGYN

VAGINAL DELIVERY AND BREECH DELIVERY

Pembimbing:
dr. Benson K, Sp.OG

Penyusun:
Felicia Liemanjutak 2016.04.2.0077
Helviansyah El Farizqi 2016.04.2.0078
Henry Suryadi Wiryakartika 2016.04.2.0079
Iliyin Syahar Farihatun Nisa 2016.04.2.0080

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RSAL Dr. RAMELAN SURABAYA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat Vaginal Delivery and Breech Delivery telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan Dokter Muda di bagian Obsgyn.

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Benson K, Sp.OG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan referat dengan topik
Vaginal Delivery and Breech Delivery dengan lancar. Referat ini
disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Obsgyn RSAL Dr. RAMELAN Surabaya, dengan harapan
dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan
penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan
dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada:
a. dr. Benson K, Sp.OG selaku Pembimbing Referat.
b. Para dokter di bagian Obsgyn RSAL Dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan pegawai di bagian Obsgyn RSAL Dr. RAMELAN
Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 04 September 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... i


KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 2
2.1 Rute Persalinan......................................................... ..... 2
2.2 Persiapan Persalinan ................................................ ..... 2
2.3 Posisi Oksiput Anterior .............................................. ..... 3
2.4 Posisi Oksiput Posterior Persisten ............................ ..... 7
2.5 Posisi Oksiput Transversal ........................................ ..... 8
2.6 Distosia Bahu ............................................................ ..... 8
2.7 Kala Ketiga Persalinan .............................................. ... 14
2.8 Kala Keempat Persalinan .......................................... ... 19
2.9 Laserasi Jalan Lahir .................................................. ... 19
2.10 Episiotomi ............................................................... ... 20
2.11 Indikasi Episiotomi .................................................. ... 21
2.12 Teknik ..................................................................... ... 22
2.13 Perbaikan Episiotomi Atau Laserasi Perineum ....... ... 22
2.14 Perbaikan Laserasi Derajat Keempat ..................... ... 24
2.15 Rasa Sakit Pasca Episiotomi .................................. ... 26
2.16 Definisi Letak Sungsang ......................................... ... 26
2.17 Klasifikasi letak sungsang ...................................... ... 27
2.18 Diagnosis ................................................................ ... 27
2.19 Etiologi .................................................................... ... 28
2.20 Faktor Resiko terjadinya letak sungsang ................ ... 29
2.21 Prognosis................................................................ ... 29
2.22 Komplikasi .............................................................. ... 29
2.23 Metode persalinan letak sungsang ......................... ... 29
2.24 Penatalaksaan Persalinan ...................................... ... 32
2.25 Gerakan Kardinal Pada Pelahiran Sungsang ......... ... 32
2.26 Manual Aid (Partial Breech Extraction) ................... ... 33
2.27 Ekstraksi Sungsang ................................................ ... 41
2.28 Analgesia Dan Anestesia ....................................... ... 44
2.29 Version ................................................................... ... 45
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. ... 51

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Saat ini banyak masyarakat yang lebih memilih atau menyukai persalina
secara sesar tanpa mengetahui dampak negative dari hal tersebut dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. Persalinan pervaginam spontan memiliki resiko
yang lebih rendah terhadap infeksi ibu, perdarahan, komplikasi anastesia, dan
peripartum histerektomi. Namun, pada persalinan pervaginam spontan resiko
terjadinya kelainan dasar panggul lebih tinggi. Bila memang memungkinkan untuk
dilakukan persalinan secara pervaginam, sebaiknya cara inilah yang di pilih. Pada
persalinan pervaginam sebaiknya dilakukan episiotomi. Bila tidak dilakukan
episiotomy, maka laserasi spontan terutama pada wanita nulipara akan terjadi.
Episiotomi meningkatkan resiko terjadinya robekan pada sphincter ani eksterna,
rektum, atau keduanya. Sebaliknya, robekan anterior yang melibatkan uretra dan
labia lebih sering terjadi bila episiotomy dihindari. Untuk mencegah laserasi vagina
spontan, dapat dilakukan pemijatan perineum intrapartum untuk melebarkan
introitus sebagai jalan dari kepala, namun bukti keberhasilan dari teknik ini masih
terbatas.
Posisi oksiput anterior kiri adalah posisi yang paling sering di jumpai dan
memiliki resiko morbiditas terendah bagi ibu maupun janin. Pada posisi oksiput
posterior atau transversal dapat dilakukan beberapa manuver untuk
mengembalikn apada posisi anterior atau manuver lainnya yang dapat membantu
proses persalinan . Namun bila dengan manuver tersebut tetap terjadi kesulian
persalinan pervaginan, dapat dilakukan operasi sesar.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSATAKA

A. VAGINAL DELIVERY
2.1 Rute Persalinan
Persalinan pervaginam spontan dengan letak belakang kepala memiliki
resiko morbiditas terendah terhadap ibu dan janin. Dibandingkan dengan operasi
cesar, persalinan pervaginam spontan memiliki resiko yang lebih rendah terhadap
infeksi ibu, perdarahan, komplikasi anastesia, dan peripartum histerektomi.
Namun, pada persalinan pervaginam spontan resiko terjadinya kelainan dasar
panggul lebih tinggi.
2.2 Persiapan Persalinan
Persiapan persalinan termasuk membersihkan vulva dan perineum. Bila
perlu dapat menggunakan doek steril sehingga hanya bagian sekitar vulva yang
terekspose. Kala II ditandai dengan perineum dan kulit yang meregang serta
munculnya kepala di antara labia. Meningkatnya tekanan pada perineum oleh
kepala janin menyebabkan keinginan mengejan. Pemasangan kateter dilakukan
bila vesica urinaria membesar. Pemantauan denyut jantung janin harus dilakukan.
Posis persalinan dengan litotomi menggunakan bantuan stirrups/leg holder dan
tidak boleh di ikatkan pada leg holder sehingga ibu dapat segera memfleksikan
paha ke abdomen bila terjadi distosia bahu. Bila kaki mengalami kram karna
penekanan saraf panggul oleh kepala janin, atasi dengan melakukan reposisi
tungkai atau memijatnya.
2.3 Posisi Oksiput Anterior
Melahirkan kepala
Dengan tiap kontraksi uterus, pembukaan vulvovagina akan semakin lebar secara
bertahap dari oval hingga hampir bulat karena desakan dari kepala janin. Keadaan
dimana diameter terbesar dari kepala janin dikelilingi oleh cincin vulva disebut
sebagai crowning. Bila tidak dilakukan episiotomy, maka laserasi spontan
terutama pada wanita nulipara akan terjadi. Episiotomi meningkatkan resiko
terjadinya robekan pada sphincter ani eksterna, rektum, atau keduanya.

2
Sebaliknya, robekan anterior yang melibatkan uretra dan labia lebih sering terjadi
bila episiotomy dihindari. Untuk mencegah laserasi vagina spontan, dapat
dilakukan pemijatan perineum intrapartum untuk melebarkan introitus sebagai
jalan dari kepala, namun bukti keberhasilan dari teknik ini masih terbatas.
Ketika diameter introitus vagina telah membuka 5cm, perineum dapat dibantu
dilindungi dengan menggunakan satu tangan yang telah dilapisi dengan handuk
steril menahan perineum agar lahirnya dagu dapat dihambat. Tangan yang lain
memegang belakang kepala janin untuk mengkontrol dan mencegah terjadinya
defleksi yang cepat dan persalinan yang ekspulsif. Dengan cara ini dapat
mengurangi laserasi, karena lahirnya kepala diarahkan sehingga lingkaran yang
melalui vulva adalah yang terkecil (lingkaran kepala oksipito-bregmatikus).

Gambar 1.1 Manuver Ritgen


Sebaliknya bila terjadi kesulitan dalam mengeluarkan kepala, dapat dilakukan
modified Ritgen maneuver, dimana tangan penolong yang dilapisi handuk steril
mendorong dagu janin ke depan atas, sedangkan tangan lainnya mendorong
secara ringan daerah oksiput (belakang kepala) ke simpisis.

3
Gambar 1.2 Modified Ritgen maneuver
Melahirkan bahu

Gambar 1.3 Evaluasi Lilitan Tali Pusat


Segera setelah lahirnya kepala, jari harus meraba leher janin untuk mengetahui
apakah leher dilingkari oleh satu atau lebih lilitan tali pusat. Nuchal cord terjadi

4
pada 25% persalinan dan biasanya tidak berbahaya. Bila lilitan longgar, lepaskan
lilitan melalui
kepala. Bila lilitan terlalu ketat, lilitan dipotong diantara dua klem. 6% dari lilitan tali
pusat yang ketat menyebabkan penyulit persalinan tetapi tidak berhubungan
dengan lebih buruknya kedaan janin dibandingkan dengan yang tidak mengalami
lilitan.
Setelah kepala lahir, terjadi putar paksi luar menyebabkan kepala dalam posisi
transversal yang menandakan diameter biakromial sejajar diameter antero-
posterior pelvis. Pada umumnya, bahu akan muncul segera setelah putar paksi
luar dan lahir spontan. Bila terjadi keterlambatan, pegang kepala janin dengan
kedua tangan pada bagian temporal kemudian tarik ke bawah hingga bahu
anterior muncul dibawah arcus pubis. Selanjutnya tarik ke atas sehingga bahu

5
posterior lahir. Hindari tarikan yang terlalu keras karna dapat menyebabkan cedera
pleksus brakhialis.
Gambar 1.4 Melahirkan Bahu
Sisa tubuh yang lainnya hampir selalu lahir mengikuti bahu tanpa kesulitan. Bila
terjadi keterlambatan, mengaitkan jari pada axilla harus dihindari karena dapat
menyebabkan cedera pada saraf ekstremitas atas yang akan menimbulkan
paralisis sementara atau bahkan permanen. Penarikan harus dilakukan searah
dengan sumbu badan janin. Bila dilakukan pada janin dengan posisi oblique dapat
menyebabkan pembengkokan leher dan tarikan yang berlebihan pada pleksus
brakhialis. Segera setelah janin lahir, cairan amnion akan mengalir, sering disertai
dengan darah namun tidak banyak.
Penghisapan cairan pada nasofaring rutin segera dilakukan pada janin, terutama
bila terdapat obstruksi yang menghambat pernapasan spontan, aspirasi
mekonium, dan pada janin yang membutuhkan ventilasi tekanan positif.
Klem tali pusat
Tali pusat dipotong diantara dua klem yang dipasang 6 sampai 8 cm dari perut
janin. Pada neonatus yang aterm, waktu untuk melakukan klem masih menjadi
perdebatan. Penundaan klem selama 60 detik dapat meningkatkan simpanan total
besi tubuh, meningkatkan volume darah, dan menurunkan kejadian anemia pada
neonatus. Sebaliknya, kadar hemoglobin yang tinggi meningkatkan resiko
hiperbilirubinemia dan memperpanjang masa rawat inap karna dibutuhkannya
fototerapi. Penundaan klem juga dapat menghindarkan dari kebutuhan akan
resusitasi neonatus. Secara umum, penundaan klem tidak mempengaruhi Apgar
score, pH tali pusat, dan respiratory distress yang disebabkan polisitemia.
Sedangkan pada ibu, angka kejadian postpartum hemorrhage adalah sama antara
klem yag dilakukan segera maupun ditunda. Pengurutan tali pusat kearah
neonatus dapat dilakukan bila tali pusat harus segera di klem.
Pada neonatus preterm, penundaan klem dapat meningkatkan volume darah,
menurunkan kebutuhan transfusi, menstabilkan sirkulasi, dan menurunkan resiko
perdarahan intraventrikular dan necrotizing enterocolitis. Klem dilakukan setelah

6
mengevaluasi ada tidaknya kebutuhan untuk membebaskan jalan napas, hal ini
sendiri membutuhkan waktu sekitar 30 detik.
Pada inkompatibilitas Rhesus, tali pusat perlu dipotong dan diikat kira-kira 10 cm
dari pusat. Hal ini untuk persiapan bila diperlukan transfusi tukar darah.
Pemotongan tali pusat dilakukan secepat mungkin. Bila pemotongan tali pusat
dilakukan setelah tali pusat tidak berdenyut, apalagi bila diletakkan lebih rendah
dari ibu, maka bayi akan mendapatkan tambahan darah 30-90cc.
2.4 Posisi Oksiput Posterior Persisten
Angka kejadian sekitar 2-10%. Sebagian besar persalinan posisi oksiput
posterior awalnya dalam posisi oksiput anterior yang kemudian mengalami
malrotasi. Faktor predisposisinya adalah analgesic epidural, nullipara, berat janin
yang besar, dan posisi oksiput posterior sejak awal. Janin yang dilahirkan dengan
posisi oksiput posterior memiliki lebih banyak komplikasi dibandingkan posisi
oksiput anterior, hanya 46 % yang dapat dilahirkan spontan dan 9% membutuhkan
tindakan operasi sesar. Penelitian menemukan persalinan posisi oksiput posterior
berkaitan dengan meningkatnya resiko academic umbilical cord geses, trauma
persalinan, Apgar score < 7, dan kebutuhan perawatan intensif.
Persalinan posisi oksiput persiten
Persalinan mungkin dapat dilakukan secara spontan atau operasi pervaginam.
Bila panggul luas dan dinding vagina serta perineum dalam keadaan rileks, pada
umumnya dapat dilakukan persalinan spontan. Sebaliknya, bila dinding vagina
dan perineum sulit meregang, akan terjadi pemanjangan kala II. Pada persalinan
posisi oksiput posterior, kepala memberikan dorongan yang lebih besar pada
perineum menyebabkan laserasi yang lebih berat. Bila persalinan spontan dalam
posisi oksiput posterior tidak dapat dilakukan, lakukan rotasi manual. Tingkat
keberhasilan rotasi manual adalah 47 90%, namun hal ini dapat menyebabkan
laserasi serviks sehingga inspeksi terhadap serviks selama proses rotasi sangat
penting diperhatikan.
Penggunaan forsep atau vakum dapat dilakukan pada posisi oksiput posterior
persisten. Hal ini sering dilakukan bersama dengan episiotomy. Bila kepala telah
engaged, pembukaan lengkap, dan pelvis adekuat, rotasi dengan forsep mungkin

7
dapat dilakukan. Kadang dapat terjadi protusi scalp janin melalui introitus vagina
yang menyebabkan terbentuknya caput succedaneum. Pada beberapa kasus,
kepala tidak dapat engaged karena diameter biparietal tidak dapat melewati pintu
atas panggul, keadaan ini ditandai dengan persalinan yang lama dan penurunan
kepala yang lambat. Pada keadaan tersebut, dilakukan operasi sesar.

2.5 Posisi Oksiput Transversal


Bila tidak terdapat abnormalitas dari pelvis, asinklitismus, atau hipotonus,
pada umumnya posisi oksiput transversal akan berrotasi spontan menjadi posisi
oksiput anterior. Bila terdapat hipotonus tanpa disertai disproporsi cephalopelvic
maka induksi persalinan dengan oksitosin dapat dilakukan.
Bila rotasi terhenti karena dorongan ekspulsi yang lemah, dapat dilakukan
rotasi manual menjadi posisi oksiput anterior atau yang jarang dilakukan yaitu
posisi posterior. Bila rotasi manual berhasil dilakukan, hanya 4% kasus yang tetap
membutuhkan dilakukannya operasi sesar. Pada posisi oksiput tranversal
persisten, lakukan rotasi dengan Kielland forsep. Bila dengan forsep tersebut telah
tercapai posisi oksiput anterior, persalinan dapat dilanjutkan dengan
menggunakan forsep yang sama atau diganti dengan Simpson atau Tucker-
McLane forsep.
Pada beberapa kasus, terdapat beberapa hal yang menyebabkan posisi
oksiput transversal persisten yang sulit untuk di ubah, misalnya pelvis platypelloid
atau android. Pada keadaan tersebut tidak terdapat ruang yang cukup/adekuat
untuk rotasi baik oksiput anterior maupun posterior. Bila persalinan dilakukan
menggunakan forsep, tarikan yang berlebihan atau terlalu kuat harus dihindari.
2.6 Distosia Bahu
Setelah kepala lahir, bahu anterior dapat tertahan dibelakang simpisis
pubis sehingga gagal dilahirkan dengan tarikan kebawah. Keadaan ini bersifat
gawat darurat karena tali pusat tertekan dalam jalan lahir. Dampak distosia bahu
pada janin lebih besar dibandingkan pada ibu yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri atau laserasi vagina. Pada janin
dapat menyebabkan cedera neuromuscular bahkan kematian. Berdasarkan data

8
yang ada, 11% kasus distosia bahu dapat menyebabkan trauma janin yang berat
dimana 8%nya menyebabkan cedera pleksus brakialis, 2% fraktur tulang
klavikula,humerus,dan kosta, 7% asidosis persalinan, 1,5% membutuhkan
resusitasi jantung atau menyebabkan hypoxic ischemic encephalopathy.
Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diprediksi ataupun
dicegah. Resiko terjadinya cedera pada janin meningkat dengan semakin
beratnya janin, BMI ibu, dan lamanya kala II. Induksi persalinan atau operasi sesar
secara elektif bagi ibu yang diduga memiliki janin makrosomia tidak dapat
dibenarkan. Operasi sesar dapat dipertimbangkan bila taksiran berat janin pada
ibu non-diabetik >5000 g atau pada ibu diabetic >4500 g. Faktor ibu yang dapat
menyebabkan makrosomia adalah obesitas, pehamilan posterm, multiparitas,
diabetes, dan diabetes gestasional.
Prinsip utama penanganan distosia bahu adalah untuk mempersingkat
waktu persalinan dan mengindari manipulasi yang terlalu agresif yang dapat
menyebabkan cedera pada ibu maupun janin. Sebaiknya diberikan analgsik yang
adekuat. Beberapa menyarankan untuk melakukan episiotomi yang lebar untuk
memberikan ruang untuk manipulasi, namun beberapa berpendapat bahwa tidak
terdapat perbedaan dengan dilakukan atau tidaknya episiotomi terhadap angka
kejadian cedera pleksus brakialis. Berbagai manipulasi yang dapat dilakukan
yaitu:
Manuver Massanti (anterio dissimpaction of shoulder)
Dengan memberikan tekanan pada suprapubis menggunakan pangkal telapak
tangan yang dilakukan oleh asiten, sedangkan penolong memegang kepala pada
bagian parietal janin dan menariknya ke bawah. Tekanan pada suprapubis akan
mendorong dan atau merotasi bahu anterior, sehingga bahu berada pada bidang
oblik dari pelvis dan bahu anterior terbebaskan. Manuver ini dapat dilakukan
bersama dengan manuver McRobert.
Manuver McRobert
Manuver ini dilakukan dengan memfleksikan kaki ibu ke arah abdomen. Manuver
ini akan menyebabkan sacrum secara relatif menjadi lurus terhadap vertebra
lumbalis, rotasi simpisis pubis kearah kepala ibu, dan mengurangi sudut inklinasi

9
pelvis. Meskipun manuver ini tidak meningkatkan luas panggul, namun rotasi dari
simpisis akan menurunkan tekanan yag dibutuhkan untuk membebaskan bahu
anterior.

Gambar 1.5 Manuver Mc Robert


Manuver Rubin
Rubin I : Lakukan penekanan pada suprapubis
Rubin II : Dorong bahu anterior dari belakang ke arah dada sehingga
terjadi adduksi. Pada umumnya akan terjadi adduksi dari kedua lengan

10
sehingga akan mengecilkan diameter biacromion dan membebaskan
bahu anterior dari simpisis.

Gambar 1.6 Manuver Rubin


Manuver Wood corkscrew
Lakukan rotasi 180o pada bahu posterior menggunakan jari telunjuk dan tengah
yang diletakkan di depan bahu posterior.

Gambar 1.7 Manuver Wood corkscrew


Delivery of the posterior shoulder/ manual removal of posterior arm
Tangan penolong memegang tangan posterior janin dan secara hati hati
menggeser lengan posterior janin melewati dada dan diikuti dengan melahirkan
lengan tersebut.

11
Gambar 1.8 Delivery of the posterior shoulder

12
Membuat fraktur klavikula anterior
Gunakan ibu jari untuk menekan klavikula anterior kearah ramus pubis. Namun
kadang sulit untuk mematahkan alavikula pada neonatus yang besar. Tujuan dari
tindakan ini adalah untuk mengecilkan diameter biacromial dan mempermudah
lahirnya bahu. Fraktur pada klavikula neonatus dapat sembuh dengan cepat.
Manuver Gaskin/ all four maneuver
Pasien diminta berada dalam posisi merangkak/menungging kemudian tarik ke
atas atau ke bawah intuk melahirkan bahu. . Posisi ini akan meningkatkan
kapasitas pelvis sekitar 30%.
Manuver Hibbard
Lakukan penekanan pada dagu dan leher kearah rectum ibu dan ketika bahu
anterior telah bebas lakukan tekanan yang kuat pada fundus uteri yang dibantu
oleh asisten. Namun bila penekanan pada fundus dilakukan pada waktu yang
tidak tepat justru dapat memperberat impaksi bahu anterior. Berdasarkan data
yang ada, bila tekanan pada fundus dilakukan tanpa disertai manuver yang lain,
77% akan menyebabkan cedera neurologik dan ortopedik pada janin.
Manuver Zavanelli / cephalic replacement
Lakukan rotasi pada kepala untuk mengembalikan kepala pada posisi oksiput
anterior atau posterior kemudian perlahan dorong kepala kembali ke dalam
vagina. Berikan terbutalin 0,25mg subkutan untuk merelaksasikan uterus. Pada
91% kasus manuver ini berhasil dilakukan namun sering terjadi berbagai
komplikasi pada janin karena berbagai manuver yang telah dilakukan
sebelumnya. Manuver Zavanelli dilanjutkan dengan operasi sesar.
Simpisiotomi
Dilakukan bila manuver Zavanelli gagal. Kartilago simpisis dan ligament yang
mensuport dipotong untuk melebarkan simpisis pubis.
Cleidotomy
Tindakan ini dilakukan hanya bila janin telah meninggal. Dilakukan pemotongan
klavikula dengan gunting atau instrumen tajam lainnya.
Dalam melakukan manipulasi pada distosia bahu, penting untuk
diperhatikan bahwa dari satu manuver ke manuver lainnya harus terorganisir

13
dengan baik. Berdasarkan data yang ada, semua janin yang mengalami distosia
bahu namun tidak mengalami sequelae berhasil dilahirkan dalam 4 menit.
Sedangkan 57% janin yang mengalami sequelae akibat distosia bahu lahir dalam
waktu lebih dari 4 menit.

2.7 Kala Ketiga Persalinan


2.7.1 PELEPASAN PLASENTA
Persalinan tahap ketiga dimulai segera setelah bayi keluar dan berakhir
dengan lepasnya plasenta. Tujuan tujuan yang hendak dicapai yaitu pelepasan
plasenta dalam keadaan utuh dan menghindari inversio uteri atau pendarahan
pascapersalinan. Dua hal terakhir merupakan komplikasi intrapartum yang
tergolong serius dan darurat.
Segera setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan mengenai ukuran dan
konsistensi rahim. Jika rahim tetap kuat dan tidak terdapat pendarahan parah,
observasi dengan seksama dilakukan sampai plasenta lepas. Pemijatan tidak
perlu dilakukan, tetapi bagian fundus tetap diperiksa untuk memastikan tidak
terjadi pendarahan yang merupakan akibat dari pelepasan plasenta. Dalam
rangka mencegah inversion uteri, traksi pada tali pusar tidak boleh dilakukan untuk
menarik plasenta dari dalam rahim. Tanda tanda dari pelepasan plasenta
meliputi keluarnya aliran darah secara tiba tiba pada area vagina, bagian fundus
membulat dan mengencang, terjadi perpanjangan pada tali pusar disertai plasenta
turun untuk melewati vagina, dan terlihatnya rahim menuju area perut. Untuk
bagian yang terakhir, plasenta, setelah terelepas, melewati rahim bagian bawah
menuju vagina. Pada saat yang bersamaan, rahim terdorong naik.
Tanda tanda tersebut kadang muncul hanya rentang 1 menit setelah
proses kelahiran baru dan proses hanya memakan waktu 5 menit. Setelah
plasenta terlepas dari dinding rahim, harus dipastikan bahwa rahim sedang
melakukan kontraksi. Sang ibu diminta untuk menahan karena tekanan pada
bagian intraabdomen dapat membantu proses pelepasan plasenta dari vagina.
Upaya tersebut mungkin saja gagal atau mungkin saja tidak dapat dilakukan
karena adanya analgesia. Setelah dapat dipastikan bahwa rahim telah

14
berkontraksi, tekanan diberikan menggunakan tangan pada bagian fundus guna
mendorong plasenta untuk terlepas dan menuju ke vagina (Gambar 1.9). Tali
pusar dipegang dengan sedikit kencang, namun tidak ditarik. Pada saat yang
bersamaan, bagian tumit tangan memberikan tekanan ke arah bawah pada area
simfisis pubis dan fundus. Hal ini juga membantu pencegahan inverse. Ketika
plasenta melewati introitus, tekanan pada rahim dilepaskan. Plasenta kemudian
diangkat dengan lembut (Gambar 1.10). Perhatian diberikan guna mencegah agar
plasenta tidak sobek dan tertinggal di dalam. Jika plasenta mulai sobek, harus
segera digenggam dengan penjepit dan dilepas dengan sedikit tarikan (Gambar
2.3).

Gambar 1.9 Proses terlepasnya plasenta dari uterus menuju ke vagina.

Gambar 1.10 Plasenta keluar dari vagina.

15
Gambar 1.11 Pelepasan membrane plasenta yang robek dengan bantuan forceps.

2.7.2 PELEPASAN PLASENTA SECARA MANUAL


Kadang kala, plasenta tidak segera terlepas. Hal ini sering terjadi pada
persalinan prematur. Jika terjadi pendarahan dan plasenta tidak dapat dikeluarkan
dengan metode yang telah dijelaskan, pelapasan plasenta secara manual
dilakukan. Saat pelepasan plasenta secara manual dilakukan, pasien memerlukan
satu dosis antibiotik intravena seperti yang digunakan untuk profilaksis pada
operasi Caesar.

2.7.3 MANAJEMEN UNTUK KALA KETIGA PERSALINAN


Praktik praktik pada tahapan ketiga persalinan ini secara luas dianggap
sebagai manajemen fisiologis atau aktif. Manajemen fisiologis melibatkan proses
menunggu plasenta memberikan tanda tanda akan melakukan pelepasan
sampai akhirnya terlepas dengan sendirinya atau memberikan bantuan dalam
bentuk stimulasi. Sebaliknya, pengelolaan aktif pada tahapan ketiga persalinan
terdiri atas penjepitan pada tali pusar, traksi terkontrol pada tali pusar selama
proses pelepasan plasenta, dan pemberian uterotonika profilaksis dengan segera.
Tujuan dari tindakan tersebut yaitu mengurangi tingkat pendarahan
pascapersalinan. Selain itu, pemijatan pada area uterus yang diikuti dengan
proses pelepasan plasenta banyak direkomendasikan, akan tetapi tidak
semuanya mampu mencegah pendarahan pascapersalinan.

16
Maka dari itu, uterotonika nampaknya merupakan faktor yang terpenting
untuk mengurangi kehilangan darah pasca proses persalinan. Pilihan yang
disediakan meliputi oksitosin (Pitocin), misoprostol (Cytotec), karboprost
(Hemabate), ergonovine (Ergotrate) dan methylergonovine (Methergine).
Ditambah lagi, agen kombinasi oksitosin dan ergonovin (Syntometrin) digunakan
di luar Amerika Serikat.
Di negara negara lain, carbetocin (Duratocin), analog oksitosin, tersedia
dan digunakan secara efektif dalam pencegahan pendarahan selama proses
persalinan Caesar. Atas hal tersebut, World Health Organization (2012)
merekomendasikan oksitosin sebagai agen lini pertama. Obat berbasis ergot dan
misoprostol merupakan alternative apabila terjadi kekurangan atas oksitosin.
Uterotonika boleh diberikan sebelum atau setelah pelepasan plasenta
tanpa meningkatkan angka pendarahan pasca proses persalinan, retensi
plasenta, atau lama waktu tahapan ketiga persalinan. Jika uterotonika diberikan
sebelum proses pelepasan plasenta, hal tersebut akan menyebabkan masalah
pada proses persalinan anak kembar kedua. Dimana bayi ke 2 akan terjerat
dengan plasenta anak pertama. Dengan demikian, harus dipastikan tidak adanya
janin lain dalam palpasi abdomen.

2.7.4 OKSITOSIN DOSIS TINGGI


Oksitosin sintesis mempunyai sifat identik dengan yang dihasilkan oleh
hipofisis posterior. Jika diberikan sebagai bolus, oksitosin dapat menyebabkan
hipotensi berat. Secher et al. (1978) memberikan laporan bahwa bolus intravena
dari 10 unit oksitosin menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah yang
bersifat sementara yang ditandai dengan peningkatan aliran darah ke jantung
secara tiba tiba. Perubahan hemodinamik bisa menjadi berbahaya bagi wanita
dengan hipovolemik akibat pendarahan atau wanita yang menderita penyakit
jantung. Dengan demikian, oksitosin sebagai bolus sebaiknya tidak diberikan
secara intravena. Sebaliknya, hal ini harus diberikan dalam bentuk larutan melalui
infus atau sebagai injeksi intramuskular.

17
Meskipun penggunaan oksitosin secara rutin, tidak ada dosis profilaksis
standar untuk penggunaan setelah proses persalinan pervaginam atau Caesar.
Dalam analisis penelitian yang membandingkan dosis oksitosin, para peneliti
menemukan bahwa dosis infus yang lebih tinggi lebih efektif daripada dosis rendah
atau pemberian dosis tetap dengan terus menerus. Apabila infuse intravena
sudah dipasang, dapat ditambahkan 20 unit (2mL) oksitosin per liter. Larutan
tersebut diberikan setelah pelepasan plasenta dan pada tingkat 10 hingga 20
mL/menit (200 sampai 400 mU/menit) selama beberapa menit sampai uterus tetap
berkontraksi dan pendarahan dapat dikontrol. Tingkat infus kemudian dikurangi
menjadi 1 sampai 2 mL/menit sampai sang ibu siap untuk dipindahkan. Infus
kemudian dihentikan. Bagi para wanita tanpa pemberian intravena, 10 unit
oksistosin intramuskular disediakan.

2.7.5 ERGONOVINE DAN METHYLERGONOVINE


Alkaloid ergot tersebut memiliki tingkat aktivitas yang sama pada
miometrium dan hanya methylergonovine yang saat ini diproduksi di Amerika
Serikat. Agen agen ini memerlukan kondisi penyimpanan yang sangat spesifik
karena mereka dapat membusuk dengan cepat akibat paparan sinar, panas, dan
hawa lembab.
Baik diberikan secara intramuskular atau oral, keduanya merupakan
stimulan kuat untuk kontraksi miometrium yang memberikan efek yang mungkin
dapat bertahan berjam jam. Pada wanita hamil, dosis intramuskular atau oral 0.2
mg menghasilkan kontraksi uterus yang baik. Efek akan muncul dalam rentang
beberapa menit setelah pemberian dalam bentuk intramuskular atau oral. Selain
itu, respon yang ada didukung dengan sedikit kecenderungan untuk melakukan
relaksasi.
Pemberian alkaloid ergot, terutama melalui intravena, dapat menyebabkan
hipertensi sementara pada sang ibu. Efek samping lain yang dicatat meliputi rasa
mual, muntah, tinnitus, sakit kepala, dan kontraksi uterus yang menyakitkan.
Hipertensi lebih cenderung menjadi parah pada wanita dengan hipertensi
gestasional. Obat ini tidak dianjurkan pada pasien dengan hipertensi, penyakit

18
jantung atau gangguan vascular oklusif, penyakit hati atau ginjal, dan sepsis.
Ditambah lagi, obat ini tidak rutin diberikan secara intravena guna menghindari
timbulnya hipertensi yang bersifat mendadak.

2.7.6 MISOPROSTOL
Analog prostaglandin E1 telah terbukti lebih aman dibandingkan oksitosin
dalam rangka pencegahan pendarahan pascapersalinan. Meskipun oksitosin lebih
diminati, dalam keadaan dimana tidak terdapat banyak persiapan dan
perlengkapan, misoprostol cocok untuk profilaksis pendarahan dan dapat
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 600 g. Efek samping yang dapat
ditimbulkan antara lain timbulnya rasa menggigil sebanyak 30% dan demam
sebanyak 5%. Tidak seperti beberapa prostaglandin lainnya, rasa mual dan diare
jarang terjadi.

2.8 Kala Keempat Persalinan


Waktu yang tersedia segera setelah pelepasan plasenta sangatlah krusial.
Meskipun uterotonika dilakukan, pendarahan pascapersalinan akibat atonia paling
mungkin terjadi. Hematoma dapat membesar dan berakibat pada atonia uteri dan
perineum yang harus dilakukan pengecekan. American Academy of Pediatrics dan
American College of Obstetricians and Gynecologists (2012) merekomendasikan
agar tekanan darah dan denyut nadi sang ibu segera dicatat setelah proses
persalinan dan setiap 15 menit selama 2 jam pertama. Plasenta, membran dan tali
pusar harus diperiksa mengenai kelengkapan dan anomali.

2.9 Laserasi Jalan Lahir


Laserasi bagian genital bawah kemungkinan meliputi serviks, vagina, atau
perineum. Robekan pada perineum bisa menjadi akibat dari proses persalinan
pervaginam dan diklasifikasikan berdasarkan kedalamannya. Contoh visual
diberikan pada gambar 1.12 Laserasi derajat ketiga dan keempat dianggap
sebagai laserasi tingkat tinggi. Pada jangka pendek, hal ini dikaitkan dengan
kehilangan darah pada skala besar, nyeri nifas, dan luka serta risiko infeksi.

19
Secara jangka panjang, hal ini berkaitan dengan tingkat inkontinensia anal yang
tinggi dan dispareunia.. Faktor risiko untuk laserasi yang lebih kompleks yaitu
episiotomi, nuliparitas, kala dua persalinan yang lebih lama, persalinan
pervaginam melalui operasi, dan peningkatan berat lahir janin. Tingkat rasa sakit
akan ikut naik seiring dengan tingkat keparahan laserasi.
Perbaikan laserasi perineum hampir serupa dengan penanganan insisi
eposiotomi, walaupun terkadang kurang memuaskan karena bentuk robekan yang
tidak teratur.

Gambar 1.12 Laserasi pada perineum

2.10 Episiotomi
Kata episiotomi berasal dari bahasa Yunani episton yang artinya area
pubis, dan tomy yang artinya memotong. Dalam arti sempit, episiotomy
20
merupakan insisi pada area genital. Perineotomi merupakan insisi perineum.
Namun, dalam istilah umum, istilah episiotomi bersinonim dengan perineotomi.
Insisi dapat dilakukan pada garis tengah dengan menciptakan episiotomi garis
tengah (Gambar 1.13). Hal ini mungkin juga dimulai dari garis tengah dan
diarahkan ke bawah menjauh dari rektum dan disebut episiotomy
mediolateral.

Gambar 1.13 Episiotomi garis tengah.

2.11 Indikasi Episiotomi


Meskipun episiotomi masih merupakan prosedur persalinan yang umum
untuk dilakukan, dalam 30 tahun terakhir hal tersebut mengalami penurunan
drastis. Sepanjang era 70an, episiotomi tergolong dalam prosedur umum yang
digunakan pada para wanita ketika melakukan persalinan pertama mereka.
Alasan dari popularitas prosedur tersebut yaitu penggantian insisi garis lurus dan
menghindari laserasi yang tidak beraturan.
American College of Obstetricians and Gynecologists (2013a) telah
memberikan kesimpulan bahwa episiotomi harus diterapkan secara selektif
dengan indikasi yang tepat. Dengan demikian, prosedur episiotomi harus
dipertimbangkan pada indikasi seperti distosia bahu, persalinan sungsang,
makrosomia janin, persalinan pervaginam melalui operasi, posisi posterior oksiput
yang persisten.

21
2.12 Teknik
Untuk episiotomi pada garis tengah, jemari disisipkan diantara bagian
kepala yang baru muncul dan perineum. Gunting diposisikan pada pukul 6 di
lubang vagina dan diarahkan ke posterior (Gambar 2.13). Panjang insisi bervariasi
mulai dari 2 sampai 3 cm bergantung pada panjang perineum dan tingkat
penipisan jaringan. Insisi disesuaikan dengan kebutuhan persalinan, namun harus
dihentikan sebelum mencapai sfingter anal bagian luar. Pada episiotomi
mediolateral, gunting diposisikan pada pukul 7 atau 5 dan insisi dilakukan
sepanjang 3 sampai 4 cm ke arah tuberositas iscial.

Tabel 1.1 Perbedaan antara Episiotomi Midline dan Mediolateral.

2.13 Perbaikan Episiotomi Atau Laserasi Perineum


Biasanya, perbaikan episiotomi tidak dilakukan sampai pelepasan plasenta.
Kebijakan ini dibuat karena pada proses menunggu tanda tanda pelepasan
plasenta, tidak boleh terdapat intervensi apapun. Keuntungan yang diberikan yaitu
proses perbaikan episiotomi tidak terinterupsi atau tidak terganggu oleh jalannya
proses pelepasan plasenta, terutama apabila pelapasan plasenta secara manual
harus dilakukan yang tentu saja mengganggu perbaikan episiotomi. Kelemahan
dari prosedur ini yaitu pasien akan terus kehilangan darah sampai proses

22
perbaikan selesai dilakukan. Tekanan langsung dengan menggunakan spons
kasa dapat membantu membatasi jumlah darah yang keluar.
Analgesia yang cukup sangat penting untuk deiberikan, wanita yang tidak
diberikan analgesia regional akan mengalami rasa nyeri yang hebat selama
proses penjahitan perineum.
Terdapat banyak cara untuk memperbaiki insisi episiotomi, tetapi
hemotasis dan restorasi anatomi tanpa proses penjahitan yang berlebihan amat
penting. Teknik yang umum digunakan dalam perbaikan garis tengah ditunjukkan
pada Gambar 1.14. Bahan jahitan yang digunakan yaitu 2-0 chromic catgut.
Jahitan yang terbuat dari turunan asam poliglikol juga sering digunakan.
Penurunan rasa nyeri pascaoperasi disebut sebagai keuntungan dari penggunaan
bahan sintetis. Akan tetapi perlu dilakukan pengangkatan jahitan dari tempat
perbaikan karena rasa sakit yang ditimbulkan atau dispareunia.
Perbaikan episiotomi mediolateral mirip dengan perbaikan garis tengah dan
teknik tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.15.

23
Gambar 1.14 Teknik perbaikan episiotomy midline.

Gambar 1.15 Perbaikan episiotomiy mediolateral.

2.14 Perbaikan Laserasi Derajat Keempat


Teknik end-to-end ditunjukkan pada Gambar 1.16. Dalam semua teknik
yang dijelaskan, penting untuk memperkirakan bagian tepi robekan di mukosa
rektum dengan jahitan yang akan ditempatkan, kira kira yaitu 0.5 cm dari rectal
muscuaris. Salah satu pilihan yang cocok untuk digunakan yaitu 2-0 atau 3-0
chromic gut. Lapisan otot tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses
pengukuran kembali pada bagian sfingter anal bagian dalam. Akhirnya, bagian
ujung ujung sfingter anal eksternal diisolasi, diukur, dan dijahit dari bagian ujung

24
ke ujung dengan tiga atau empat jahitan yang putus putus. Sisa proses
penjahitan sama seperti episiotomi garis tengah.

Gambar 1.16 Teknik end-to-end


Profilaksis antimikroba direkomendasikan guna mengurangi morbiditas
infeksi yang terkait dengan perbaikan cedera perineum tingkat tinggi. Satu dosis
sefalosporin generasi kedua atau klindamisin cocok untuk gunakan pada wanita

25
dengan alergi terhadap penisilin. Meskipun profaliksis semacam itu mempunyai
beberapa dukungan dan bukti, American College of Obstetricians and
Gynecologists (2011) telah memberikan kesimpulan bahwa praktik akan hal
tersebut masih belum ditelaah secara lebih lanjut. Pascaoperasi, pencahar (stool
softener) harus diberikan selama satu minggu dan penggunaan enema dan
supositoria harus dihindari.

2.15 Rasa Sakit Pasca Episiotomi


Anesthesia pada pundendal dapat membantu menghilangkan rasa nyeri
pada perineum pascaoperasi. Pengompresan dengan es yang diaplikasikan
secara lokal mampu membantu dan mengurangi pembengkakan dan
menghilangkan rasa tidak nyaman. Aplikasi salep lidokain 5% dirasa tidak efektid
dalam mengurangi episiotomi atau kerusakan akibat laserasi. Analgesik seperti
kodein memberi banyak manfaat. Dikarenakan rasa sakit kemungkinan
merupakan sebuah sinyal dari vulva, paravaginal, atau ischiorectal atau selulitis
perineum, bagian bagian tersebut harus diperiksa dengan hati hati jika timbul
rasa sakit yang hebat dan persisten.
Bagi pasien dengan laserasi derajat kedua atau lebih, hubungan seksual
dilarang untuk dilakukan sampai kunjungan pertama pasca persalinan pada
minggu ke 4 sampai 6.

B. LETAK SUNGSANG
2.16 Definisi Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri
(Prawirohardjo, 2008).

26
2.17 Klasifikasi letak sungsang
1) Presentasi bokong murni (frank breech)
Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujung
kaki setinggi bahu atau kepala janin.

2) Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech)

Yaitu letak sungsang dimana kedua kaki dan tangan menyilang sempurna
dan di samping bokong dapat diraba kedua kaki.
3) Presentasi bokong kaki tidak sempurna (incomplete breech)

Yaitu letak sungsang dimana hanya satu kaki di samping bokong,


sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas.

Gambar Presentasi bokong


murni,bokong kaki
sempurna,bokong kaki tidak
sempurna (Williams).

2.18 Diagnosis
Diagnosis letak sungsang yaitu pada pemeriksaan luar kepala tidak
teraba di bagian bawah uterus melainkan teraba di fundus uteri. Kadang-kadang
bokong janin teraba bulat dan dapat memberi kesan seolah-olah kepala, tetapi
bokong tidak dapat digerakkan semudah kepala. Apabila diagnosis letak

27
sungsang dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat, karena misalnya dinding
perut tebal, uterus mudah berkontraksi atau banyaknya air ketuban, maka
diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan dalam. Apabila masih ada
keragu-raguan, harus dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan
ultrasonografik. Setelah ketuban pecah, dapat diraba lebih jelas adanya bokong
yang ditandai dengan adanya sacrum, kedua tuber ossis iskii, dan anus. Bila dapat
diraba kaki, maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit,
sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari yang letaknya tidak sejajar dengan jari-
jari lain dan panjang jari kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan. Pada
persalinan lama, bokong janin mengalami edema, sehingga kadang-kadang sulit
untuk membedakan bokong dengan muka.
Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan antara bokong dengan
muka karena jari yang akan dimasukkan ke dalam anus mengalami rintangan otot,
sedangkan jari yang dimasukkan ke dalam mulut akan meraba tulang rahang dan
alveola tanpa ada hambatan. Pada presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki
dapat diraba di samping bokong,sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak
sempurna, hanya teraba satu kaki di samping bokong.
Dalam anamnesis mungkin dikemukakan bahwa terasa sesak pada
abdomen bagian atas akibat sering terdorongnya kepala dari gerakan kaki janin.
Presentasi bokong dapat diketahui melalui pemeriksaan palpasi abdomen.
Maneuver Leopold perlu dilakukan pada setiap kunjungan perawatan antenatal
bila Usia kehamilan 34 minggu. Untuk memastikan apabila masih terdapat
keraguan pada pemeriksaan palpasi, dapat dilakukan periksa dalam vagina atau
pemeriksaan ultrasonografi(Prawirohardjo,2008).
2.19 Etiologi

Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap
ruangan didalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah
air ketuban relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan
leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala,
letak sungsang, ataupun letak lintang.

28
Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah
air ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang terlipat
lebih besar daripada kepala, maka bokong dipaksa menempati ruang yang lebih
luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang lebih kecil di
segmen bawah uterus. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa pada
kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang lebih tinggi, sedangkan
pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian besar ditemukan dalam presentasi
kepala.
2.20 Faktor Resiko terjadinya letak sungsang
1.multiparitas
2.hamil kembar
3.hidramnion
4.hidrosefalus
5.plasenta previa
6.panggul sempit
2.21 Prognosis
Angka kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi
dibandingkan letak kepala. Multiparitas dengan riwayat obstetrik yang baik,tidak
selalu menjamin persalinan dalam letak sungsang akan berlangsung lancar,sebab
janin yang besar dapat menyebavkan disproporsi meskipun ukuran panggul
normal(Prawirohardjo, 2008).

2.22 Komplikasi
1.Prolaps tali pusat
2.Plasenta Previa
3.Pelahiran Sulit
4.Morbiditas Maternal dan Perinatal yang meningkat

2.23 Metode persalinan letak sungsang


A.Persalinan per vaginam
1.Pelahiran bokong spontan

29
Janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sepenuhnya (metode
Bracht)
2.Ekstraksi bokong parsial
Janin dilahirkan dengan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian lagi tenaga
penolong
3.Ekstraksi bokong total
Janin dilahirkan selurunya menggunakan tenaga penolong(dokter).
B.Persalinan per abdominam (SC)
Persalinan letak sungsang

1) Persalinan Pervaginam

Syarat yang harus dipenuhi yaitu pembukaan benar-benar lengkap, kulit ketuban
sudah pecah, his adekuat dan tafsiran berat badan janin < 3600 gram.
Terdapat situasi-situasi tertentu yang membuat persalinan pervaginam tidak
dapat dihindarkan yaitu ibu memilih persalinan pervaginam, direncanakan bedah
sesar tetapi terjadi proses persalinan yang sedemikian cepat, persalinan terjadi di
fasilitas yang tidak memungkinkan dilakukan bedah sesar, presentasi bokong
yang tidak terdiagnosis hingga kala II dan kelahiran janin kedua pada kehamilan
kembar.
Kontra indikasi : presentasi kaki, hiperekstensi kepala janin dan berat bayi > 3600
gram, tidak adanya informed consent, dan tidak adanya petugas yang
berpengalaman dalam melakukan pertolongan persalinan (Prawirohardjo, 2008).

a) Tahapan Persalinan spontan (spontaneous breech)

Pada persalinan spontan bracht ada 3 tahapan yaitu :


1)Tahap pertama:
Fase lambat:mulai lahirnya bokong sampai pusat
Fase lambat karena hanya untuk melahirkan bokong
2)Tahap kedua

30
Fase cepat:mulai lahirnya pusat sampai lahirnya mulut.
Fase cepat karena harus segera diselesaikan
3)Tahap ketiga
Fase lambat:mulai lahirnya mulut sampai seluruh kepala

b) Ekstraksi bokong parsial

Yaitu janin dilahirlan sebagian dengan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian
lagi dengan tenaga penolong Pada persalinan dengan cara manual aid ada 3 tahapan
yaitu :
Tahap pertama lahirnya bokong sampai pusat yang dilahirkan dengan kekuatan
ibu sendiri
Tahap kedua lahirnya bahu dan lengan yang memakai tenaga penolong. Cara
klasik(Deventer), Mueller, Lovset;
Tahap ketiga lahirnya kepala dengan memakai cara mauriceau, forceps piper.
2) Persalinan per abdominam (SC)

Memperhatikan komplikasi persalinan letak sungsang melalui pervaginam,


maka sebagian besar pertolongan persalinan letak sungsang dilakukan dengan
seksio sesarea. Pada saat ini seksio sesarea menduduki tempat yang sangat penting
dalam menghadapi persalinan letak sungsang. Seksio sesarea direkomendasikan
pada presentasi kaki ganda dan panggul sempit (Prawirohardjo, 2008).
Faktor yang mendukung persalinan per abdominam(SC) pada persalinan
sungsang adalah:
1.Janin berukuran besar
2.Kepala janin hiperekstensi
3.Presentasi bokong inkomplet/kaki
4.Bentuk pelvis yang tidak wajar
5.Riwayat kematian perinatal
6.Kurangnya operator yang berpengalaman

31
2.24 Penatalaksaan Persalinan
1.Dokter ahli kebidanan yang terampil
2.Asisten dokter untuk membantu persalinan
3.Personel anastesi
4.Seseorang terlatih untuk melakukan resusitasi bayi baru lahir
2.25 Gerakan Kardinal Pada Pelahiran Sungsang
Engagement dan penurunan bokong biasanya berlangsung dengan
diameter Bitrokanter berada pada salah satu diameter oblik pelvis. Panggul
anterior biasanya turun lebih cepat daripada panggul posterior dan ketika terjadi
resistensi dinding pelvis,biasanya diikuti dengan rotasi interna 45 derajat
menyebabkan panggul anterior menuju arkus pubis dan diameter bitrokanter
berada pada diameter anteroposterior pelvis. Namun, jika ekstremitas posterior
prolaps akan beotasi ke simfisis pubis.
Setelah rotasi, penurunan terus berlanjut hingga perineum berdistensi
akibat turunnya bokong, dan panggul anterior tampak pada vulva. Pangul posterior
kemudian didorong ke perineum oleh adanya fleksi lateral badan janin, yang
meretraksi bokong sehingga memungkinkan janin keluar ketika panggul anterior
lahir. Tungkai dan kaki mengikuti bokong dan dapat dilahirkan secara spontan
dengan bantuan.
Setelah kelahiran bokong, terjadi rotasi eksterna ringan dengan punggung
mengarah ke anterior bersamaan dengan bahu berada pada salah satu diameter
oblik pelvis. Bahu kemudian turun dengan cepat mengalami rotasi interna,dengan
diameter bisakromial menduduki sisi anteroposterior. Segera setelah bahu ,
kepala fleksi tajam secara normal ke arah thoraks, memasuki pelvis pada salah
satu diameter oblik dan kemudian berotasi mengakibatkna bagian posterior leher
di bawah simfisis pubis. Kemudian kepala dilahirkan dala posisi fleksi.
Bokong dapat memasuki diameter transversal pelvis dengan sakrum
berada pada anterior atau posterior.Mekanisme persalinan dalam posisi
transversal hanya berbeda pada rotasi interna yaitu melalui arkus sebesar 90
derajat, bukan 45 derajat. Kadang-kadang rotasi ini mengakibatkan punggung
janin mengarah ke posterior, bukan ke anterior. Rotasi yang demikian harus

32
dicegah jika memungkinkan. Walaupun kepala dapat dilahirkan dengan
melewatkan dagu dan wajah di di bawah simfisis, traksi paling ringan pada tubuh
dapat menyebabkan ekstensi kepala sehinga meingkatkan diameter kepala yang
harus melalui pelvis.
2.26 Manual Aid (Partial Breech Extraction)
Dalam seluruh persalinan sungsang, kecuali perineum terelaksasi secara
signifikan, prosedur episiotomi harus dilakukan dan merupakan prosedur yang
penting dalam proses persalinan. Secara umum, bayi dalam keadaan sungsang
mungkin untuk dilahirkan secara spontan. Proses persalinan akan menjadi lebih
mudah dan tingkat rasa sakit dan risiko kematian lebih rendah. Persalinan bayi
sungsang menyebabkan umbilikus tertarik dan menempel pada pelvis yang mana
hal tersebut menyebabkan tali pusar meregang dan mengalami tekanan. Oleh
karena itu, setelah bayi sungsang melewati introitus vagina, bagian perut, dada,
lengan, dan kepala bayi harus dikeluarkan dengan segera dengan ataupun tanpa
bantuan, seperti yang dijelaskan di sini.
Bagian pinggul belakang biasanya akan keluar dari dalam rahim dalam
posisi seperti pukul 6 dan seringkali dengan adanya tekanan dapat memicu
mekonium untuk ikut keluar (Gambar 28.5). Selanjutnya pinggul bagian depan
keluar dan saat sudah keluar, prosedur pemutaran bayi dalam posisi anterior
sacrum dilakukan. Sang ibu harus tetap dimotivasi untuk mendorong bayi keluar.

33
Seraya janin terus keluar dari rahim, kaki si bayi akan keluar secara
berurutan yang mana kedua kaki saling membelit; jemari operator diposisikan
sejajar dengan masing masing kaki bagian atas (femur) dan kemudian kaki yang
saling membelit tersebut dipisahkan dengan tekanan lateral.
Setelah kedua kaki, tulang panggul sang bayi digenggam dengan kedua
tangan menggunakan handuk kain yang dicelupkan pada air hangat. Posisi jemari
harus diletakkan pada bagian atas iliaka dan posisi jempol padabagian sacrum.
Hal tersebut meminimalisasi risiko cedera jaringan lunak pada bagian abdomen si
bayi (Gambar 28.6). Upaya upaya ekspulsif persalinan dilakukan secara
bersamaan dengan traksi kearah bawah agar proses persalinan berjalan lancar.
Kunci utama dalam proses persalinan sungsang yang berhasil adalah traksi
ke arah bawah dilakukan secara perlahan namun pasti hingga bagian tulang
belikat keluar tanpa harus mengeluarkan bagian bahu dan lengan sampai bagian
aksila (ketiak) telah keluar terlebih dahulu. Ketika bagian tulang belikat telah
keluar, bagian punggung janin cenderung untuk mengarah ke sang ibu. Dengan
keluarnya bagian aksila (ketiak), maka bagian bahu siap untuk dikeluarkan.
Terdapat sedikit perbedaan mengenai bahu sebelah mana yang dikeluarkan
pertama dan terdapat dua metode untuk proses mengeluarkan bagian bahu. Di
metode pertama, saat bagian tulang belikat sudah nampak, bagian badan diputar

34
sehingga bagian lengan dan bahu bagian depan keluar dari mulut rahim terlebih
dahulu (Gambar 28.7). Tubuh si bayi kemudian diputar 180 derajat kearah
sebaliknya dalam rangka mengeluarkan bahu dan lengan yang satunya (Gambar
28.8).
Metode kedua baru dilakukan ketika proses pemutaran badan tidak berhasil
dilakukan. Dengan metode ini, bahu bagian belakang dikeluarkan terlebih dahulu.
Bagian kaki sibayi digenggam menggunakan satu tangan dan ditarik ke arah paha
bagian dalam sang ibu (Gambar 28.9). Pada metode ini, bahu belakang ditarik
untuk melawati bagian perineum dan biasanya bagian lengan dan tangan akan
ikut serta untuk keluar. Kemudian, dengan memberikan tekanan kepada tubuh si
bayi, bahu bagian depan akan keluar melewati lengkung pubis dan bagian lengan
dan tangan akan segera keluar pula.
Prosedur traksi ke arah bawah dan pemutaran tersebut mengurangi risiko
terjadi lengan menjungkit (nuchal arm), yang mana hal tersebut dapat
menghambat keturunan dan menyebabkan persalinan yang bersifat traumatik.
Prosedur ini sering kali berhasil dilakukan apabila operator berada pada posisi
yang setara dengan pelvis sang ibu dengan satu lutut berada di lantai.
Setelah kedua bahu keluar, bagian punggung si bayi cenderung untuk
berputar secara spontan ke arah simfisis. Jika proses pemutaran janin ke arah
atas tidak dapat dilakukan, maka pemutaran tubuh secara manual harus dilakukan
untuk kemudian dilakukan proses pengeluaran bagian kepala.
Sayangnya, proses tersebut tidak selalu berjalan sesederhana itu;
terkadakang diperlukan bantuan dalam proses pengeluaran bagian lengan.
Terdapat banyak ruang tersedia pada bagian posterior dan lateral pelvis. Oleh
karena itu, dalam kasus yang ekstrem, lengan posterior harus dikeluarkan terlebih
dahulu. Saat bagian aksila (ketiak) sudah nampak, prosedur traksi ke arah atas
untuk bagian kaki dilakukan dan dengan menggunakan dua jari, bagian humerus
dan siku dikeluarkan (Gambar 28.9). Jari jari diletakkan pada bagian humerus
untuk mengeluarkan bagian lengan yang mengarah ke bawah dari bagian vulva.
Dalam mengeluarkan lengan anterior, sedikit tekanan pada tubuh sang bayi
diberikan agar bagian lengan anterior dapat keluar dengan sendirinya. Dalam

35
contoh kasus lain, lengan anterior dapat dikeluarkan dengan menggunakan dua
jari operator yang dijadikan sebagai belat (splint).
Dalam beberapa kasus, bagian tubuh bayi harus dipegang dengan jempol
berada di atas bagian skapula untuk kemudian diputar agar bagian bahu yang
belum keluar mendekat ke arah sakrosiatik. Kaki kemudian diarahkan keatas agar
bagian ventral bayi mengarah pada bagian paha dalam ibu. Selanjutnya, bagian
lengan posterior dapat dikeluar seperti penjelasan sebelumnya. Apabila bagian
lengan berada diatas kepala, proses persalinan, meskipun akan menjadi lebih
sulit, biasanya dapat dilakukan dengan prosedur yang sebelumnya dijelaskan.
Dengan menjalankan prosedur tersebut, operator harus memberikan perhatian
khusus dengan cara menggunakan jari jarinya sebagai belat (splint) pada bagian
siku agar tidak terjadi patah tulang pada si bayi.

2.26.1.LENGAN MENJUNGKIT (NUCHAL ARM)


Pada penjelasan sebelumnya, salah satu atau kedua lengan si bayi bisa saja
terletak pada bagian belakang leher atau biasa disebut dengan nuchal arm; hal
tersebut akan mempengaruhi bagian pelvis. Jika hal demikian terjadi, proses
persalinan akan menjadi lebih sulit. Jika nuchal arm tidak mampu untuk dibebaskan
dengan cara seperti yang dijelaskan sebelumnya, proses berikut dapat dilakukan;
apabila nuchal arm hanya terjadi pada satu lengan, si bayi dapat diputar membentuk
setengah lingkaran sehingga terdapat jalan yang dapat digunakan untuk menarik
bagian siku (Gambar 28.10). Jika proses pemutaran pada si bayi gagal untuk
melepaskan nuchal arm, si bayi perlu untuk didorong ke arah atas agar bagian
nuchal arm dapat dikeluarkan. Jika masih belum berhasil pula, nuchal arm
dikeluarkan dengan cara memasukkan satu jari untuk membenarkan posisi lengan
yang berada di atas bahu tersebut untuk kemudian dikeluarkan. Akan tetapi, fraktur
pada bagian humerus dan klavikula sering terjadi jika prosedur ini dilakukan.

2.26.2.MODIFIKASI MANUVER PRAGUE


Jarang sekali terjadi kegagalan dalam proses pemutaran bagian punggung
bayi ke arah anterior. Namun, jika hal tersebut terjadi, pemutaran punggu bayi ke

36
arah anterior dapat dilakukan dengan traksi yang lebih kuat pada bagian kaki atau
tulang panggul si bayi. Apabila bagian punggung masih lurus ke arah belakang,
maneuver Mauriceau dapat dilakukan yang mana akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya. Jika hal tersebut masih tidak bisa dilakukan, bayi dapat dikeluarkan
dengan maneuver Prague yang telah dimodifikasi, yaitu menggunakan dua jari pada
salah satu tangan digunakan untuk menggenggam bahu bagian belakang si bayi
dari bawah, sementara tangan yang satu lagi menarik bagian kaki bayi ke atas.
(Gambar 28.11).

2.26.3.PROSES PENGELUARAN BAGIAN KEPALA


1. MANUVER MAURICEAU
Pada umumnya, kepala bayi dapat diekstraksi menggunakan forceps
atau menggunakan salah satu dari beberapa maneuver yang ada. Dengan

37
menggunakan maneuver Mauriceau, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan
pada bagian maksila guna melenturkan bagian kepala bayi. Bagian tubuh janin
diletakkan pada telapak tangan dan lengan bagian bawah (Gambar 28.12).
Bagian kaki bayi diletakkan pada lengan bagian atas operator. Dua jari pada
tangan yang lain diletakkan pada leher bayi, memegangi bagian bahu,
melakukan traksi ke arah bawah hingga daerah suboccipital muncul. Sedikit
tekanan diberikan pada bagian suprapubik oleh seorang asisten guna
menjaga bagian kepala bayi tetap lentur. Bagian tubuh bayi diangkat ke arah
perut sang ibu, dan bagian mulut, hidung, alis, dan akhirnya oksiputpun
berhasil dikeluarkan dari perineum. Dengan manuver ini, operator
menggunakan kedua tangan secara bersamaan pada bagian leher dan
maksila bayi guna melakukan traksi ke arah bawah. Pada saat yang
bersamaan, tekanan pada bagian suprapubik tetap diberikan oleh seorang
asisten (Gambar 28.12).

38
2. FOCREPCS UNTUK PROSES PENGELUARAN KEPALA BAYI
Forceps juga dapat digunakan untuk membantu mengeluarkan bagian
kepala bayi. Forceps piper, yang terdapat pada Gambar 28.13, atau forceps
Laufe dapat dipilih secara langsung atau dapat digunakan apabila manuver
Mauriceau tidak berhasil untuk dilakukan. Bagian sendok forceps tidak boleh
diaplikasikan pada kepala bayi sampai kepala bayi sudah melewati bagian
pelvis dengan menggunakan prosedur traksi yang lembut, dikombinasikan
dengan memberikan tekanan pada bagian suprapubik. Tubuh bayi yang
dibalut dengan handuk secara efektif menahan dan membantu menjaga
lengan dan tali pusar agar tidak menghalangi saat forceps hendak digunakan.
Karena bagian sendok forceps diarahkan ke atas sejajar dengan posisi
perineum, beberapa memilih untuk berada dalam posisi bersimpuh dengan
satu lutut di lantai. Forceps piper memiliki lengkungan ke arah bawah yang
mana bentuk ini mempermudah penggunaan sendok forceps pada bagian
vagina sang ibu dan tulang parietal bayi. Bagian sendok forceps yang
diletakkan di bagian sebelah kiri dipegang di tangan kiri operator. Lengan
bagian kanan diarahkan ke kepala bayi dan bagian dinding vagina sebelah kiri
guna meletakkan tulang parietal bayi pada sendok forceps. Begitu pula
sebaliknya. Saat segala sesuatunya sudah sesuai prosedur, bagian kepala
dikeluarkan dengan cara menarik secara lembut ke arah luar dan gagang
forceps diangkat secara bersamaan. Bagian wajah akan keluar melewati
perineum, sementara bagian oksiput masih tetap berada di bawah simfisis

39
sampai bagian alis berhasil keluar. Idealnya, bagian kepala dan tubuh
dikeluarkan secara bersamaan untuk meminimalisasi trauma.

3. BAGIAN KEPALA YANG TERPERANGKAP


Terkadang, terutama pada persalinan bayi prematur, bagian serviks
tidak dapat melebar dan menyebabkan penyempitan pada bagian leher dan
menghalangi proses pengeluarn bagian kepala. Pada kasus seperti ini, dapat
diasumsika bahwa terdapat pemampatan yang signifikan pada bagian tali
pusar dengan demikian manajemen waktu yang baik sangat diperlukan.
Menggunakan traksi yang lembut pada bagian tubuh bayi, bagian serviks
mampu mengeluarkan bagian oksiput. Apabila tidak berhasil, maka sayatan
(insisi) Duhrssen, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 28.14, perlu untuk
dilakukan. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah nitrogliserin intravena
biasanya dengan dosis 100 g untuk merelaksasi bagian serviks (Dufour,
1997; Wessen, 1995). Namun, belum terdapat bukti mendukung mengenai
efisiensi penggunaan hal tersebut. Anestesi umum menggunakan agen
halogenasi dapat menjadi alternatif lain.
Sebagai metode terakhir, penggantian proses persalinan
menggunakan prosedur caesar guna menyelamatkan janin sungsang yang
terperangkap dan tidak dapat dilahirkan melewati vagina. Manuver seperti ini
diperuntukkan apabila bagian bahu yang mengalami distosia dan disebut
Zavanelli seperti yang dipaparkan oleh Sandberg (1988). Kemudian
dilaporkan oleh Steyn dan Pieper (1994) dalam proses persalinan janin
seberat 2590 g dengan posisi sungsang dan bagian kepala yang
terperangkap. Sandberg (1999) mereview 11 persalinan sungsang yang
menggunakan manuver ini.
Simfisiotomi juga digunakan guna membantu proses persalinan yang
mana kepala janin terperangkap. Dengan menggunakan analgesic lokal,
prosedur operasi ini membagi bagian simfisis yang menghalangi dan
ligamennya guna memperluas bagian simfisis pubik hingga 2.5 cm (Basak,
2011). Kurang terlatihnya operator dan risiko cedera tulang panggul atau

40
saluran kencing pada sang ibu menyebabkan prosedur ini jarang dilakukan di
Amerika. Dikatakan bahwa jika operasi caesar tidak tersedia dan dianggap
tidak aman untuk dilakukan, maka simfisiotomi ini kemungkinan dapat
menyelamatkan nyawa sang ibu dan bayi (Hofmeyr, 2012).

2.27 Ekstraksi Sungsang


2.27.1.COMPLETE BREECH DAN INCOMPLETE BREECH
Ekstraksi sungsang untuk bayi dengan letak bokong dan kaki sempurna
(complete breech) dan bayi dengan letak kaki (incomplete breech) perlu untuk
dilakukan. Salah satu tangan dimasukkan ke dalam vagina dan kedua kaki si bayi
digenggam. Pergelangan kaki digenggam dengan jari telunjuk di antara keduanya.
Menggunakan traksi yang lembut, bagian kaki dikeluarkan melalui introitus. Jika
terdapat kesulitan untuk menggenggam kedua kaki, satu kaki harus ditarik ke
bagian dalam vagina tanpa melewati introitus untuk kemudian prosedur yang
sama dilakukan untuk kaki yang satunya. Selanjutnya kedua kaki digenggam dan
ditarik melewati vulva secara seksama (Gambar 28.15).
Ketika kaki mulai keluar dari bagian vulva, traksi ke arah bawah tetap
dilakukan. Saat kaki sudah muncul, bagian betis digenggam kemudian bagian
paha. Saat bayi dengan posisi sungsang sudah keluar melalui vagina, traksi tetap
dilakukan sampai bagian pinggul berhasil dikeluarkan. Ketika bagian bokong
keluar, bagian punggung janin biasanya berputar ke arah anterior. Kedua jempol
kemudian diletakkan di atas sakrum, jari jari sisanya diletakkan di atas pinggul,
dan ekstraksi sungsang sudah berhasil dilakukan, sebagaimana yang dijelaskan
pada manual aid (partial breech extraction) pada pembahasan sebelumnya.
Selama persalinan Caesar, manuver ini juga diperuntukkan apabila terjadi
complete, incomplete, dan bayi dengan posisi salah satu atau kedua tungkai atas
ekstensi (footling) breech menggunakan insisi histerotomi.

41
2.27.2.FRANK BREECH
Frank Breech adalah persalinan sungsang dengan letak bokong murni,
kedua tungkai kaki bayi terangkat ke atas hampir sejajar dengan bahu atau kepala
Selama prosedur ekstraksi Frank Breech, traksi dilakukan menggunakan jari yang
diletakkan pada bagian selangkangan serta dibantu episiotomi (Gambar 28.16).
Ketika bayi sungsang berhasil ditarik melewati introitus, prosedur prosedur yang
dipaparkan pada bagian partial breech extraction sudah selesai dilakukan
(halaman 564). Manuver ini juga digunakan untuk prosedur Caesar pada bayi
dengan Frank Breech melalui insisi histerotomi. Jika traksi yang diberikan tidak
memberikan pengaruh terhadap proses persalinan, maka proses persalinan
melalui vagina dapat dilakukan dengan dekomposisi sungsang. Prosedur ini

42
melibatkan proses manipulasi pada jalan lahir bayi agar Frank Breech dapat
diubah menjadi Footling Breech. Hal ini mudah untuk dilakukan bila selaput
ketuban masih baru saja pecah dan akan menjadi sangat sulit bila tidak terdapat
cairan. Pada kasus kasus tersebut, bagian rahim bisa saja berkontraksi pada
janin. Relaksasi secara farmakologis menggunakan anestesi umum, magnesium
sulfat intravena, atau agen betamimetik, seperti terbutalin 250 g kemungkinan
diperlukan.
Dekomposisi sungsang dilakukan berdasarkan manuver yang
dikemukakan oleh Pinard (1889). Hal ini membantu operator untuk menjangkau
kaki si bayi. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 28.17, dua jari dimasukkan
ke arah lutut bayi dan meregangkannya menjauh dari midline. Fleksi secara
spontan biasanya terjadi dan kaki si bayi akan berada pada telapak tangan. Kaki
janin kemudian digenggam untuk dikeluarkan dari vagina.

43
2.28 Analgesia Dan Anestesia
Analgesia epidural, seperti yang dijelaskan pada Bab 25 (hal. 509),
disarankan dan dianggap ideal untuk para wanita dalam proses persalinan
sungsang. Hal ini dapat meningkatkan akselerasi persalinan dan memperpanjang
tahap kedua persalinan (second stage of labor) (Chadha, 1992; Confino, 1985).
Analgesia harus mencukupi untuk episiotomi, ekstraksi sungsang, serta
pengaplikasian forceps Piper. Apabila anestesi umum dilakukan, maka prosedur
prosedur tersebut harus dilakukan dengan cepat.
Anestesi guna dekomposisi dan ekstrasi sungsang harus memberikan
relaksasi yang mencukupi sehingga manipulasi intrauterine mungkin untuk
dilakukan. Meski dekomposisi sungsang berhasil dilakukan menggunakan
analgesia epidural atau spinal, peningkatan atonia uteri menyebabkan proses
operasi menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Jika kondisi tersebut terjadi, anestesi
umum dengan agen halogenasi perlu untuk dilakukan.

44
2.29 Version
Dengan prosedur ini, presentasi janin diubah melalui manipulasi fisik, baik
mengganti dari presentasi longitudinal atau mengubah posisi yang semula miring
atau melintang menjadi posisi longitudinal. Hal tersebut bergantung kepada
apakah posisi kepala atau posisi sungsang yang dijadikan bagian presentasi,
operasi tersebut disebut cephalic version atau podalic version. Pada external
version, proses manipulasi dilakukan dari luar melalui dinding perut. Pada internal
version, proses dilakukan melalui rongga uterus.

2.29.1 EXTERNAL CEPHALIC VERSION (ECV)


Pada janin sungsang jangka pendek, American College of Obstetricians
and Gynecologists (2012a,b) merekomendasikan untuk melakukan version
kapanpun. Tingkat kesuksesan berkisar antara 35% hingga 86%, dengan rata
rata 58%. Bagi wanita dengan posisi janin melintang, tingkat keberhasilan secara
keseluruhan lebih tinggi.
1.Indikasi
Secara umum, percobaan external version dilakukan sebelum
proses persalinan pada wanita dengan usia kehamilan 36 minggu dengan
janin sungsang. Sebelumnya waktu tersebut, presentasi sungsang masih
memungkinkan untuk kembali ke posisi semula secara spontan. Dan
apabila prosedur ini dilakukan sebelum usia kehamilan 36 bulan,
memungkinkan untuk bayi kembali pada posisi sungsang (Bogner, 2012).
Terakhir, jika version berakibat pada proses persalinan prematur, maka
kesulitan pada proses persalinan premature iatrogenik tidak parah.
Version tidak disarankan apabila proses persalinan tidak dilakukan
secara normal (per vaginam). Contohnya seperti, plasenta previa atau
status janin yang masih belum meyakinkan. Pantangan lainnya meliputi
pecahnya ketuban, malformasi rahim yang teridentifikasi, dan perdarahan
uterus yang baru saja terjadi. Seperti yang dibahas pada Bab 31 (hal. 616),
insisi uterus yang terjadi sebelumnya termasuk ke dalam pantangan yang
bersifat relatif. Dalam beberapa penelitian sederhana, external version tidak

45
ada kaitannya dengan rupture uteri (Abenhaim, 2009; Sela, 2009). Di
Rumah Sakit Parkland, external version tidak diperbolehkan untuk
dilakukan, namun penelitian lebih lanjut harus dilakukan.
Beberapa faktor dapat meningkatkan tingkat keberhasilan external
version. Hal tersebut meliputi multiparitas, melimpahnya cairan ketuban,
ukuran janin 2500 3000 g, plasenta posterior, dan pasien yang tidak
mengalami obesitas (Buhimschi, 2011; de Hundt, 2012; Kok, 2008, 2009,
2011).
2.Komplikasi
Konseling yang diberikan kepada pasien meliputi tingkat
keberhasilan dan risiko dari pelaksanaan prosedur itu sendiri. Risiko yang
dimaksud meliputi abruptio plasenta, rupture uterus, pendarahan
fetomaternal, alloimunisasi, persalinan prematur, dan bahkan kematian.
Yang paling mengkhawatirkan yaitu seperti yang dilaporkan oleh Stine et al
(1985) mengenai kematian seorang ibu akibat emboli air ketuban. Meskipun
demikian, kematian pada janin jarang sekali terjadi, tingkat komplikasi
serius berada pada tingkat yang rendah dan tingkat Caesar yang terjadi
hanya 0.5 persen bahkan kurang (Collaris, 2004; Collins, 2007;
Grootscholten, 2008).
Yang terpenting adalah bahkan ketika version telah sukses
dilakukan, beberapa laporan menunjukkan bahwa tingkat persalinan
Caesar tidak sepenuhnya mengembalikan posisi bayi seperti semula,
khususnya masih terdapat distosia, malpresentasi umumnya sering terjadi
meskipun version telah berhasil dilakukan (Chan, 2004; Vzina, 2004).

3.Teknik
External Cephalic Version (ECV) harus dilakukan di tempat yang
memiliki akses cepat terhadap fasilitas persalinan Caesar apabila hal
tersebut secara mendadak diperlukan (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 2012a). Pemeriksaan sonografi dilakukan untuk
mengonfirmasi presentasi nonvertex, mencatat tingkat kecukupan air

46
ketuban, menghilangkan anomali yang ada pada janin, dan mengidentifikasi
lokasi plasenta. Pemantauan secara eksternal dilakukan guna
mengidentifikasi denyut jantung janin. Anti-D immune globulin diberikan
kepada para wanita dengan Rh-D negatif.
Uji coba pertama dilakukan pada janin dengan mengarahkannya
seperti gerakan roll depan. Setiap tangan memegang satu kutub janin dan
bokong janin diangkat dari panggul si ibu untuk kemudian diposisikan
secara lateral (Gambar 28.18). Bagian bokong kemudian diposisikan ke
arah fundus, sedangkan kepala diarahkan ke panggul. Jika gerakan roll
depan tidak berhasil dilakukan, maka roll belakang menjadi alternatif
selanjutnya. Upaya version tidak dilanjutkan apabila terjadi rasa tidak
nyaman yang berlebihan, detak jantung janin menjadi tidak normal, atau
setelah percobaan berkali kali masih tetap gagal. Kegagalan yang terjadi
tidak bersifat mutlak. Ben-Meir et al (2007) melaporkan tingkat version
secara spontan yaitu 7% dari 226 version yang gagal dilakukan, 2% pada
nullipara (seorang wanita yang belum pernah melahirkan dengan usia
kehamilan lebih dari 28 minggu / belum pernah melahirkan janin yang
mampu hidup di luar rahim) dan 13 % pada para (seorang wanita yang
pernah melahirkan bayi hidup untuk pertama kalinya.)
Apabila version berhasil dilakukan, tes nonstress terus diulangi
hingga hasil tes normal diperoleh. Apabila version berhasil dilakukan
sebelum usia kehamilan 39 minggu, maka lebih diutamakan untuk
menunggu usia janin sampai siap untuk melakukan proses persalinan.

47
4.Tokolisis
Bukti yang ada kemungkinan mampu mendukung penggunaan agen
tokolitik dalam prosedur external version (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 2012a). Agen yang diteliti meliputi betamimetik, seperti
terbutalin, ritodrin atau salbutamol, calciumchannel blockers, seperti
nifedipine; dan donor oksida nitrat, seperti nitrogliserin. Sebagian besar
penelitian acak telah membahas mengenai betamimetik. Dalam satu
percobaan, Fernandez et al (1996) memaparkan bahwa tingkat
keberhasilan terbutalin subkutan yaitu 52%, hal tersebut secara signifikan
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa
penggunaan terbulatin yaitu 27%. Penelitian lain mengenai betamimetik
menunjukkan hasil yang mendukung, walaupun tidak secara universal
(Marquette, 1996; Robertson, 1987; Vani, 2009). Terdapat sedikit bukti
yang mendukung mengenai penggunaan nifedipin dan nitrogliserin (Cluver,
2012; Wilcox, 2011). Kebijakan yang dibuat di Rumah Sakit Parkland yaitu
untuk memberikan terbutalin sebanyak 250 g secara subkutan kepada
sebagain besar wanita sebelum melakukan version. Apabila terjadi

48
takikardia, yang merupakan efek samping yang teridentifikasi dari
penggunaan terbulatin, pada sang ibu sudah nampak, maka percobaan
version dapat dimulai.

5.Analgesia Konduksi
Analgesia epidural telah dilaporkan mampu meningkatkan
keberhasilan version (Mancuso, 2000; Schorr, 1997). Namun, Sullivan et al.
(2009) mencatat bahwa kombinasi antara analgesia spinal dan epidural
tidak menunjukkan adanya signifikansi. Dalam dua percobaan sederhana
yang dilakukan secara acak, Weiniger et al. (2007, 2010) mengemukakan
bahwa analgesia spinal mampu meningkatkan keberhasilan version. Dalam
percobaan yang dilakukan oleh Dugoff (1999) dan Delisle (2003), analgesia
spinal tidak menunjukkan manfaat apapun. Menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (2012a), tidak terdapat cukup bukti yang
konsisten untuk merekomendasikan penggunaan analgesia konduksi untuk
external version.
Dengan mengecualikan komplikasi parah dan jarang terjadi, Collaris
dan Oei (2004) memberikan kesimpulan bahwa ECV aman untuk dilakukan.
Satu peringatan yang diberikan yaitu bahwa komplikasi lebih sering terjadi
apabila analgesia konduksi digunakan. Penggunaan analgesia konduksi
berkaitan erat dengan penurunan denyut jantung janin sebanyak dua kali
lipat. Selain itu, pendarahan pada bagian vagina dan prosedur persalinan
Caesar secara mendadak meningkat hingga 10 kali lipat. Dalam penelitian
sederhana lainnya, Suen et al. (2012) menunjukkan bahwa tekanan gaya
yang diberikan pada analgesia spinal tidak banyak.

6.Metode Metode Lain


Terdapat beberapa metode lain yang tidak konvensional telah
digunakan untuk membantu keberhasilan version. Moxibustion merupakan
teknik pengobatan tradisional dari China yaitu dengan membakar stik
berbentuk seperti rokok terbuat dari tumbukan Artemisia vulgaris atau yang

49
dikenal sebagai mugwort atau dalam bahasa Jepang disebut moxa. Pada
titik akupuntur BL 67, stik tersebut ditempatkan langsung pada kulit atau
secara tidak langsung dengan memanaskan jarum akupuntur pada tempat
tempat tertentu guna meningkatkan gerakan janin. Hal ini biasanya
dilakukan pada usia janin antara 33 sampai 36 minggu. Tinjauan dari
Cochrane Database menemukan beberapa bukti yang mendukung
penggunaan moxibustion yang dikombinasikan dengan akupuntur (Cardini,
1998, 2005; Coyle, 2012; Guittier, 2009; Neri, 2004).

2.29.2 INTERNAL PODALIC VERSION


Manuver ini hanya digunakan untuk proses persalinan bayi kembar yang
kedua. Dengan selaput yang sebaiknya masih tetap utuh, satu tangan dimasukkan
ke dalam rongga rahim dan mengubah posisi janin secara manual. Operator
mengambil salah satu atau kedua kaki si bayi dan menariknya melalui serviks,
sementara tangan yang lainnya mendorong bagian atas tubuh si bayi ke arah yang
berlawanan seperti yang ditunjukkan pada Bab 45 (halaman 918). Hal selanjutnya
yang dilakukan yaitu ekstraksi sungsang.

50
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F. Gary, etc. 2014. Williams Obstetrics 24th Edition. United
States: McGraw-Hill Education. Section 8 Vaginal Delivery and Breech Delivery
2. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi keempat. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

51

Anda mungkin juga menyukai