Ahliyah Yang
Ahliyah Yang
Ahliyah Yang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugasan yang diberikan kepada saya ini berjudul Ahliyyah. Ahliyyah
menjadi satu pekara yang penting dalam kebanyakan aspek seperti jual beli,
perkahwinan, dan sebagainya. malah ia juga merupakan salah satu syarat yang
menjadikan sesuatu perbuatan itu sah disisi Islam. Perbincangan mengenai
ahliyyah berkisar tentang kedudukan ahliyyah itu sendiri seperti kelayakan bagi
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan yang sah dengan mengira beberapa
aspek termasuklah halangan-halangan yang menghalang seseorang dari
melakukan perbuatan tersebut. Ahliyyah merupakan salah satu unsur dan
keperluan utama yang ditetapkan dalam menetapkan hukum. Keseluruhan
tindakan menuntut kepada kelayakan dan kelayakan ini diambil kira bagi setiap
orang yang melaksanakan sesuatu akad. Syarat ahliyyah al-tasaruf dikenakan
terhadap orang yang ingin melakukan sesuatu akad. Syarat tersebut mestilah
terdiri daripada dua pihak yang berakad yang mana keduanya mestilah
berkeahlian dan berkelayakan. Oleh sebab itu ahliyyah menjadi sangat penting
dalam penetapan hukum untuk menimbangkan sesuatu perbuatan itu sah atau
tidak di sisi syarak.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahliyah
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijiadikan oleh syari untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara.
Maksudnya, Ahliyyah adalah sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna
jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara.
Apabilah seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah
melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak
milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima hak dari orang
lain.1[1]
Melalui defenisi diatas ini dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang
mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua
perbuatannya dapat dikenai taklif.
B. Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif
sejalan dengan perkembangan jasmani dam akalnya. Sehubungan dengan ini, para
ahli usul fiqh membagi ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu Ahliyyah al-ada (
2[2] Amir Syarifuddin . Usuk Fiqh Metode Mnegkaji dan Memahami Hukum
Islam Secara Komprehensip (Jakarta, 2004) h. 279.
2
1. Ahliyyah Al-ada
Adalah kecakapan yang telah dimiliki seseorang sehingga sehingga setiap
perbuatan dan perkataannya telah diperhitungkan secara syara. Orang yang
memiliki sifat ini dipandang telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan
semua perbuatannya. dengan kecakapan ini seseorang dianggap sebagai mukallaf,
dimana semua perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang
berbentuk positif maupun yang negatif.
Seseorang dipandang sebagai Ahliyyah al-ada atau memiliki kecerdasan
secara sempurana apabilah telah baliqh, berakal dan bebas dari semua yang
menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa, terpaksa
dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan
seseorang dipandang sah selain baliqh, berakal, juga harus cerdas (Rusyd). Rusyid
adalah kemempuan seseorang untuk mengendalikan hartanya. Seperti firman
Allah surat an-Nisa ayat 6.
Artinya : Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk akwin.
Kemudian menurut pendatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya". (Q.S An-nisa : 6).
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada terdiri dari tiga tingkat.
Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu
adalah :
a. Adim al-ahliyyah ( ) atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia
semenjak lahir sampai berumur tamyiz sekitar umur 7 tahun.
b. Ahliyyah al-ada naqishah ( ) atau cakap berbuat hukum secara
lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai
batas dewasa. Penamaan Naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya
masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam
hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan
sebagian lainnya tidak dikenai hukum.
3
c. Ahliyyah al-ada kamilah ( ) atau cakap berbuat hukum secara
sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat
jasmani; yaitu bagi wanita telah haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi
bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-
Quran, yaitu sampai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah
mungkin melakukan perkawinan.3[3]
2. Ahliyyah Al-Wujub
Ahliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-
hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap
manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai
menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para
ahli ushul membagi ahliyah al-wujub itu kepada dua tingkatan :
a. Ahliyah al-wujub naqish ( ) atau kecakapan dikenai hukum
secara lemah, yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak
menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas
menerima hak. Sifat lemah dalam kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya
salah satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada
padanya.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima
kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu telah
memiliki hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir.
Bayi dalam kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena secarah jelas ia
belum bernama manusia.
Contah kecakapan untuk dikenahi kewajiban tetapi tidak cakap untuk
menerima hak adalah orang mati tetapi meninggalkan hutang. Dengan kematian ia
tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi, karena hak hanya untuk manusia hidup.
Tetapi orang mati itu tetap akan dikenai kewajiban untuk membayar hutang yang
dibuatnya semasa ia masih hidup.
4
a. Ahliyah al-wujub kamilah ( ) atau kecakapan di kenai hukum
secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga
menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai ia sekarat selama
ia masih bernafas.
Contoh anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima
warisan dari orang tua atau kerabatnaya, ia juga dikenahi kewajiban seperti zakat
fitrah atau zakat harta menurut sebagian pendapat ulama yang pelaksanaannya
dilakukan oleh orang tua atau walinya.4[4]
C. Awaridh ahliyyah
Awaridh adalah hal-hal yang mempengaruhi kecakapan berbuat hukum.
Kecakapan berbuat hukum tidak berlaku untuk semua manusia. Karena dibatasi
dengan syarat-syarat tertentu yaitu baligh dan berakal. Yang dimana seseorang
sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan
akal, maka ia dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum atau mukallaf.5[5]
Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal
manusia, karena hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan
atau ditinggalkan. Akan tatapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah suatu yang
abstrak dan sulit diukur, dan dipastikan berbeda atara satu orang dengan yang
lainnya, maka syara menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang
konkret (jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum.Indikasi
konkret itu adalah balighnya seseorang. Penentuan bahwa seseorang telah baligh
itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani
bagi pria melalui mimpi yang pertama kali.6[6] Dalam perjalanan hidup seorang
manusia yang telah memenuhi syarat untuk menerima beban taklif, kadang-
kadang terjadi pada dirinya sesuatu yang menyebabkan keadaan tertentu tidak
dapat melaksanakan beban hukum.
5
Oleh sebab itu, penentuan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak
hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa
berdasarkan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang, bahkan hilang.
Akibatnya, mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-ahliyyah merupakan kelayakan yang ditaklifkan kepada setiap manusia
yang hidup. Ia merupakan satu kelayakan yang dituntut kepada setiap manusia
yang berkelayakan untuk menerima atau melaksanakan tanggungjawab tersebut
sama ada dalam aspek muamalah ictiqadiyyah ibadah dan sebagainya. Kelayakan
yang ditaklifkan bergantung kepada peringkat serta tahap perkembangan manusia
iaitu dari peringkat janin, peringkat belum mumayyiz, peringkat mumayyiz,
peringkat baligh dan peringkat rushd atau dipanggil sebagai tahap kecerdikan
akal. Jenis al-ahliyyah yang telah digariskan mengikut peringkat ialah al-ahliyyah
al-wujub dan al-ahliyyah al-ada. Dua jenis al-ahliyyah ini dibahagikan pula
kepada dua cabang iaitu wujub naqisah dan wujub kamilah, begitu juga al-
ahliyyah al-ada sama seperti yang tersebut. Terdapat dua kategori halangan yang
akan menyebabkan seseorang manusia itu terangkat dalam senarai al-ahliyyah
antaranya halangan samawiyyah dan halangan muktasabah.
B. Saran
Demikianlah makalah yang membahas tentang Ahliyyah ini kami buat,
mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu saran dan
kritik sangat kami harapkan.