Tasawuf Falsafi 3

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

TASAWUF FALSAFI

1. Pengertian Tasawuf Falsafi


Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak Islam
sejak abad keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad kemudian.
Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran
tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan
metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf
dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan
lebih berorientasi pada panteisme.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta
berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme dengan
filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali
disebut hermenetisme yang karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan
filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti
yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah sekte
Ismailiyah aliran Syiah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.
Objek yang menjadi perhatian para tasawuf filosof adalah
1. latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya.
Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta
rasa(dhauq
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani, arty,
kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib,
maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai
iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan
mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan Dzikir,
dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
1. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi
1. Ibn Arabi dan Karyanya

Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhamad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-ThaI AlHaitimi. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H, beliau lahir dari
keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. 1 Ia tinggal di Hizaj dan meninggal pada tahun
638H. Di Sevilla (Spanyol) Ia mempelajari Al-Quran, Hadits serta fiqih pada sejumlah murid
seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm Az-Zuhri. Di usiannya 30 Ibn Arabi berkelana ke
berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat dan berguru kepada Abu Madyan,
Al-Ghauts At_Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan perempuan).
Kemudian ia bertemu juga dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbar dari
Alomond, di Kordova 2. ia pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah, seorang sufi falsafi yang
cukup berpengaruh pada zaman itu.
Di antara karyanya adalah Al-Futuhat Al-Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang
menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk
mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang
sufi dari Persia. 3Karya lainnya sebagaimanan dilaporkan oleh Muolvi Al-Abdal, Kimiya AsSaadat,Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu Ar-Rasail, Al-Ilahiyyah, Mawaqi AnNujum, Al-Jam wa At-Tafsishil fi Haqaiq At-Tanzil, Al-Marifah dan Al-Israila Maqam AlAtsana. 4
c. Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn Arabi
Ajaran pertama dari Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tetapi dari Ibn
Taimiyah yang sekaligus merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral
tersebut.
Untuk lebih jelasnya kritikan Ibn Taimiyah atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita
perhatikan pandangan mereka terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn Taimiyah, wahdat alwujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya orang-orang yang
mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya
satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mumkinul wujud yang dimiliki oleh
makhluk selain itu, kemudian mereka mengatakan juga bahwa wujud alam sama dengan wujud
tuhan tidak ada perbedaan.
1 Misal ucapan yang bisa menimbulkan fitnah: Hamba adalah tuhan, dan Tuhan adalah

hamba, juga tentang Insan Kamil sebagai duplikat Tuhan, hal ini bisa mengarah pada
pengkultusan sebagian sufi falsafi yang berimplikasi pada syirik
2 Annemarie Schimmel, <ystical Dimension of Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Pustaka

Firdaus, 1975 hal 272.


3 Ibid
4 Maolavi S.A.Q. Husaini, Ibn Al-arabi, Muhamad Ashraf, Lahore, t.t., hal 34-36

Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud
mahluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi
hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal
itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemapuannya dalam
menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn
Arabi dari aspek tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq dengan makhluq), tetapi belum menilai
dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq).
Terkait dengan ajaran Ibn Arabi mengenai wahdat al-wujud kita dapat menilai dari isi syair dan
pandangan atau penafsirannya terhadap isi Al-quran yang berhubungan dengan wahdat al-wujud
diantaranya; Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah
hakikat segala sesuatu itu. 5 Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud
Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (Khaliq)
dengan wujud yang baru (makhluk). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang
satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn arabi mengemukakan lewat syairnya sebagai berikut;
Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syuur (perasan)ku, siapakah yang
mukallaf? Jika engkau katakan hamba padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau
katakana Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif? 6
Dari syair tersebut timbullah pertanyaan; kalau antara Khaliq dan mahluk bersatu dalam
wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak
memandang dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya
adalah Khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang
keduanya dari sisi yang satu atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti
akan dapat mengetahui hakikah keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ibn Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai berikut;
Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkannlah. Pada sisi lain, Dia bukan makhluk,
maka renungkannlah. Siapa saja yang menangkap yang aku katakan, penglihatannya tidak akan
perna kabur. Tidak ada yang akan menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu
adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar.
Dari keterangan di atas Ibn Arabi terkesan menyatukan wujud tuhan dengan wujud alam yang
dalam istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry C.Theissen seperti berikut:
Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek
modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada denag natural (alam). Tuhan
5 Ibn Arabi, Al-Futuhat Makiyah, jilid II, Dar Shadir, Beirut,t.t, hal 604.
6 Ibn Arabi, Fushush Al-Hikam wa At-Taliqqat, Ed. Abu AlAlaAfifi. Dar al-fikt Beirut, t.t.,

hal 92

adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di
antaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politestik, dan teistik. 7
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan
bersatu dengan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas, perlu
diingat bahwa Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu wujud Tuhan.
Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Dapat disimpulkan
bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi menggunakan wujud terhadap
selain tuhan yaitu wujud alam, pada hakikatnya wujud tersebut milik Tuhan yang dipinjamkan
kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari,
tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Selanjutnya Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya, alam adalah
bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang
sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat Tajali dan Mazhar (penampakan) Tuhan.
ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu.
Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu,
Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini
merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam,
sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal
dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak hanya dikenal oleh siapa pun.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan syairnya:
wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak 8
Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits qudsi: Aku pada
mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka
Kuciptakan makluk, lalu, dengan itulah mereka mengenal Aku. Penjelasan konsep tanzih dan
tasbyh dapat kita pahami melalui syairnya sebagai berikut; Jika engkau berkata tanzih, engkau
mengikatNya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasiNya.
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah iman dan
tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualitis Tuhan dan alam adalah musyrik; dan siapa saja yang
berkata dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah muwahid. Oleh karena itu, berhati-hati
terhadap tasybih jika engkau mengakui dualitas, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika
engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ain segala
sesuatu, baik sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuatu yang terikat.
7 Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-Arabi Wahdaat Al-wujud dalam perdebatan, Paramadina 1995, hal

162
8 Ibn Arabi, Fushush.hal 70

Berkaitan dengan tanzih dan tasybih Ibn Arabi menjelaskan firman Allah, laisa kamitslihi syaiin
mengandung pengertian, Tanzihkan-lah Dia, sedangkan firmannya, wahua samiiul bashiir,
mengandung pengertian, Tasybihkan-lah Dia. Dengan demikian, firman Allah laisa kamitslihi
syaiin wahua samiiul bashiir mengandung pengertian, Tasybihkan-lah Dia dan jadikannlah
dualitas, dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis 9
Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan
alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan
menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya persamaan. Di
samping itu, jika kita merujuk pada definisi penteisme yang telah dirumuskan oleh Norman L.
Geisler yang menyatakan tidak ada pencipta di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn
Arabi tidak dapat dikatakan sama dengan panteisme, sebab Ia masih mengakui bahwa alam ini
diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya,
mazhar asma dan sifat-sifatnya.
Ajaran kedua dari Ibn Arabi adalah Haqiqah Muhamadiyyah. Dari konsep wahdat al-wujud Ibn
Arabi, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep tersebut,
yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta adapun proses penciptaannya adalah
sebagai bertikut:
1. Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk ayan tsabitah.
2. Tanazul dzat Tuhan dari alam maani kea lam (taayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu
alam arwah yang mujarrad.
3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.
4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal(ide) atau
khayal.
5. Alam materi, yaitu alam indrawi 10
Penjelasan berikutnya dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan alam dan
hubungannya dengan kedua ajaran tersebut sebagai berikut; Pertama, wujud Tuhan sebagai
wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud
Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari
sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana yang
dikemukakan di atas. Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam
semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihili). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur
Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan
ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada para nabi semenjak Adam sampai Muhamad dan
9 Ibid, hal 70
10 Ibis., hal 334

terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan personperson insane kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat
Muhammadiyyah tersebut dengan Quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam 11
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi
memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekwensinya,
semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif
adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat
dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang bahwa ibadah yang
benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup
realitas dzat Tuhan yang Tunggal, Ibn Arabi Mengemukakan dalam syairnya,
Kini kalbuku bisa menampung semua ilalang perburuan kijang atau biara pendeta. Kuil pemuja
berhala atau Kabah. Lauh Taurah dan mushaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama cinta
kemana pun kendaraan-kendaraanku menghadap. Karena cinta agamaku dan imanku. 12
Para penulis berpendapat bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang
kuat sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain paham ini
menyimpang dari Islam.
2. Al-Jili (1365-1417) 13
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan
(Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-jili
diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Bagdad.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber
mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. kemudian belajar
tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat
Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarafuddin Ismail bin
Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M. 14
a. Ajaran Tasawuf Al-Jili
- Insan Kamil
11 Muhamad Yasir Syaraf, Harakat At-Tasawuf Al-Islami, Al-Haiat Al-Mishriyyat Al-Ammah li

Al-Kitab, Mesir, 1987, hal 211-222


12 Hilmi, Al-Hayat Ar-Ruhiyyah Fi Al-Islam hal 180
13 Disarikan dari diskusi Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam di Pascasarjana IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1995, dengan judul makalah Al-Jili: Insan Kamil


14 R.A. Nicholsin, Studies in Islamic Mysticism, Idarah-I Delli, India 1981, hal 81

Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut
Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits;
Allah menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman. Hadits lainnya; Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak,
mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang
terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan
dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam
berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. 15 Melaui konsep ini, kita memahami
bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala
kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat
bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai
suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak
memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Labih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil
adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali
melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat
melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat
diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili
berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang
saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat aradhi,
termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin
dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi alfiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang
berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW
sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad
bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang
utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah Al-Haqq) melalui
proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun
dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep
ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari
Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad,
ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad
SAW.

15 Harun Nasution, dkk., Ensiklopedia Islam, Jambatan, Jakarta,Juz II, 1992, hal 77

- Maqamat (al-Martabah)
Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang
sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu
adalah:
Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak
hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan
melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap tabir alam gaib,
dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terusmenerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja. Tujuan ibadah maqam ini adalah
mencapai nuqtah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan
memtaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai
tingkat menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa
seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah
sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan;
mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan
hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu
mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan
menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat
yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut AlJili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib,
kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat
menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan.
Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, Mengetahui dzat yang
Mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia dihapanmu tanpa hulul
dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah
mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya. 16Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa
sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai
sifat dan nama-nama-Nya.
16 Ibid., juz I hal 34.

3. Ibn Sabin
a. Biografi Singkat Ibn Sabin dan Karyanya
Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhamad Ibn Nashr, seorang sufi dan juga filosaof
dari Andalusi. Ia di panggil Ibn Sabin dan digelari Quthbuddin. Dan dikenal pula dengan Abu
Muhamad dan mempunyai asal-usul Arab, dan dilahirkan tahun 614 H(1217/11218M) di
kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa Arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari
madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Ia mengemukakan gurunya bahwa diantara gurugurunay adalah Ibn Dihaq, yang dikenal juga dengan Ibn Al-Mirah. 17 Ibn Sabin tumbuh
dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya dalam suasana penuh kemuliaan dan berkecukupan
tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan dan kepemimpinan duniawi, lalu hidup
sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai banyak murid.
Ibn Sabin meninggalkan karya yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis.
Sebagian karyanya hilang dan sebagaian risalahnya telah di sunting Abdurrahman badawi
dengan judul Rasail Ibn Sabin (1965 M.) dan karya yang lainnya; Jawab Shahih Shiqilliyah,
telah disunting oleh Syarifuddin Yaltaqiya. Dapat terlihat jelas dari karyanya beliau tampak
berpengetahuan yang sangatlah luas dan beraneka. Dia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani
dan faisafat-filsafat Hermetitisme, Persia dan India, selain itu dia juga banyak menelaah karyakarya filosof-filosof Islam dari dunia Islam bagian Timur, seperti Alfarobi dan Ibn Sina, dan
filosof bagian Barat seperti Ibn Bajah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dan dia menguasai kandungan
risalah-risalah Ikhwanul Ashafa, dan secara rinci mengetahui aliran Teologi, khususnya aliran
syariyah.
Ibn Sabin mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat As-Sabiniyyah. Para
pengikutnya memakai pakaian khusus yang dikecam para fuqaha, dan tarekat ini mempunyai
sanad yang aneh. Asy-Susytari mengemukakan bahwa dalam sanad tersebut terdapat antara lain
Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Agung, Al-Hallaj, An-Niffari, Al-Habsyi,Qadhi
serta Ibn Sabin sendiri. Dari sini kita dapat memperoleh gambaran bahwa tarekat tersebut
bercorak sinkretis dan mengompromikan berbagai aliran, yang diantaranya bercorak Islam,
Yunani, dan Timur kuno. Tampaknya tarekat ini bertahan sampai masa Ibn Taimiyyah
(meninggal pada tahun 728H). 18 Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa Ibn sabin sangat
berkiblab pada filusuf barat.
c. Ajaran Tasawuf Ibn SAbin
1. kesatuan Mutlak

17 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya ulum Ad-Din, Vol.2, Kairo, tanpa Penerbit 1334H., hal 201-

202
18 Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, 2008 Bandung, hal 196

Ibn Sabin menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham
kesatuan mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah
semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau
kesatuan murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sabin pun, hampir tidak mungkin
mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sabin menempatkan ketuhanan
pada tempat pertama. Sebab wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa
lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan
pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan
wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sabin ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang diinterpretasikan secara
filosofis ataupun khusus. Misalnya firman Allah Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang
dzahir dan yang Batin.(Q.S.Al-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
Allah. (Q.S Al-Qashas :28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di
antarnya dengan hadis Qudsi, Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka
firman Allah kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya. Namun Ibn Taimiyah menolah
menolak dan mengecam keras pendapat Ibn Sabin tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa
interpretasi Ibn Sabin terhadap nash-nash agama tidaklah benar. Begitu juga dengan hadits qudsi
yang digunakan adalah hadis maudu.
Paham kesatuan mutlak Ibn Sabin ini mirip dengan paham hakikat Muhamad ataupun Qutb
dari sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham
manusia Sempurna dari Abdul karim Al-jalili. Menurut Ibn Sabin pencapaian kesatuan mutlak
adalah individu yang paling sempurna. Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof,
maupun sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus,
yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang dari segi
hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalkan semesta; dan segala sesuatu
pun didasarkan padanya.
b. Penolakan terhadap Logoka Aristotelian
Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristetelian. Terbukti dalam
karnyanya Budd Al-Arif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatf, sebagai
pengganti logika yang berdaasarkan pada konsefsi jamak, Ibn Sabin menamakan logika barunya
itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai
dengan penalaran, tetapi termasuk tembusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang
belum pernah dilihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengarnya. Dengan demikian
logika tersebut bercorak intuitif. Kesimpulan penting dari logika Ibn Sabin tersebut adalah
realitas-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah dan keenam kata logika (gebus,
species, difference, proper, accident, person) yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar
ilusi belaka, begitu juga dengan kesepuluh kategori, sekalipun berbeda dan beraneka, tetap
merujuk pada wujud tunggal yang mutlak.

Studi Kritis Paham Tasawuf Falsafi


1. Aspek Sumber Ajaran
Ibrahim Hilal menyatakan, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh filsafat Plato dan
Plotinus, seperti wujud, alam semesta atau makrifat. 19Begitupun Ibn Masarrah (tokoh pertamaa
tsawuf falsafi) telah menganut paham emanasi yang serupa dengan Plotinus. 20Senada dengan
pendapat tersebut, analisa lain menyatakan, ungkapan Neo-Platoisme, misalnya Kenalilah
dirimu dengan dirimu, kemudian diambil oleh para sufi (termasuk sufi falsafi) menjadi
ungkapan, siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya, 21 hal ini bisa jadi
mengarah pada munculnya teori hulul, wahdah asy-syuhud dan wahdah al-wujud.22
Jika demikian faktanya, seyogyanya kita merenungi sebuah riwayat, ketika Rasulullah saw.
memarahi Umar Ibn al-Khattab ra., karena kedapatan membawa sobekan taurat, waktu itu beliau
saw. bersabda:



Apa yang kamu bawa ini, bukankah aku telah membawa (al-Quran) yang jelas dan jernih?
Kalau seandainya saudaraku Musa as. hidup pada zamanku, tentu beliau tidak akan susahsusah lagi, kecuali mengikutiku. (HR. Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam) 23
Dalam hadits ini dapat dipahami, umat Muhammad saw. wajib mengikuti tuntunan Rasulullah
saw. dan al-Quran. Jika Musa as. saja mesti mengikuti Rasulullah saw. apalagi umatnya.
Sedangkan celaan yang dialamatkan kepada Umar ra. menunjukan larangan yang bersifat pasti
(haram). Artinya umat Islam haram mengambil sumber pemikiran dari peradaban lain jika
perkara tersebut sudah terdapat dalam sumber hukum Islam, hal ini di isyaratkan dengan
ungkapan bukankah aku telah membawa al-Quran. Karena itu, dari aspek sumber pemikiran,
19 Ibrahim Hilal, at-Tashawwuf al-Islami baina ad-Din wa al-Falasifah (Tasawuf antara Agama

dan Filsafat, terj: Ija Suntana & E. Kusdian), cet. I., Bandung: Pustaka Hidayah. 2002., hlm. 144
20 M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 70
21 Man arafa nafsah faqad arafa rabbahu, adalah hadits palsu menurut Ibn Taimiyah, Imam

Nawawi sebelumnya telah berkata hadits ini tidak tsabit (tidak jelas), Abu al-Muzhfir
menyatakan hadits ini tidak marfu. (Kasyf al-Khafa, juz II/262)
22 M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 50
23 Hadits semakna terdapat di Musnad al-Bazzar no. 124; Musnad Ahmad no. 14104; Sunan ad-

Darimi (1/115); al-Haitsami berkata: hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, Ahmad dan Abu
Yala (Majma az-Zawaid, juz I/174); hadits ini Hasan menurut al-Bani (Irwa al-Ghalil, 6/34)

tasawuf falsafi melakukan kesalahan, karena mengambil sumber teori tasawuf dari filsafat
yunani. Maka dapat dikatakan teori tasawuf sunni sedikit lebih baik, karena mengambil teori
tasawuf masih dalam sumber Islam, baik al-Quran maupun as-Sunnah, sedangkan tasawuf falsafi
walaupun terkesan orisinal dengan istilah-istilah sufi telah mengambil sumber yang bukan
berasal dari Islam, meskipun mereka pada akhirnya selalu mencoba menjustifikasi teori
falsafinya dengan dalil atau hadits.
2. Aspek Pemikiran
Berbagai paham dalam tasawuf falsafi selalu dipresentasikan dalam ungkapan-ungkapan ganjil
dan aneh (syathahat) yang meresahkan umat Islam. Karena itu wajar jika para fuqaha merasa
gelisah sehingga mengeluarkan berbagai kritik bahkan kecaman serius terhadap para sufi falsafi.
24
Islam adalah agama yang mudah untuk diamalkan, bukan untuk elit-elit tertentu, ajarannya
universal bagi seluruh manusia, karena itu Rasul saw. bersabda:


Sesungguhnya Agama Allah itu mudah (diamalkan), beliau mengucapkannya sampai tiga kali.
(HR. Ahmad) 25

Mudahkanlah oleh kalian (pengajaran agama ini), jangan kalian buat sulit; Dan berikanlah
kabar gembira, jangan engkau buat orang-orang menghindar dan menjauh. (HR. Bukhari)[28]

24 M. Solihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 234


25 Musnad Imam Ahmad (V/69)

Anda mungkin juga menyukai