LP CML
LP CML
LP CML
PENDAHULUAN
1.1
Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan
supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum:
leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML) merupakan
leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal
dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari
sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain
untuk leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic
myelocytic leukemia. (I Made, 2006).
Atul & Victor (2005) menambahkan bahwa CML yang merupakan gangguan
mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada
darah perifer dengan peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor
granulosit.
1.2
Prevalensi
I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa CML merupakan 1520% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering di jumpai di
Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia kronik lebih banyak dijumpai dalam
bentuk CLL (Chronic Lymphocytic Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 11,4/100.000/tahun. Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita
sebesar 1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur 4050 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa
asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di
kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan CML,
yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
a. Faktor Instrinsik
- Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor predisposisi
untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada saudara kembar
identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang.
Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia
Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak
yang terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik
(monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas kromosom
(anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada
sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner.
- Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sel yang
berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa
sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia
dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia (Agung ,2010).
b. Faktor Ekstrinsik
- Faktor Radiasi
2
retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang
(Agung ,2010).
2.2
Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan kromosom 22 abnormal
yang disebabkan oleh translokasi sebagian
materi genetik pada bagian lengan panjang
(q) kromosom 22 ke kromosom 9, dan
translokasi resiprokal bagian kromosom 9,
termasuk onkogen ABL, ke region klaster
breakpoint (breakpoint cluster region, BCR)
yang merupakan titik pemisahan tempat
putusnya kromosom yang secara spesifik
terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan
panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada
lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah antara ekson 1 dan 2. Titik
putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di region kelompok titik putus utama (MBCR) pada CML atau pada beberapa kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan
mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).
Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine
kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan
menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I Made, 2006;
Atul & Victor, 2005; Victor et al., 2005).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat.
Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai kebutuhan
tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut terganggu, sel akan
membelah diri sampai ke tingkat sel yang membahayakan (proliferasi neoplastik).
Proliferasi neoplastik dapat terjadi karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus
onkogenik, maupun herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam sumsum tulang.
Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ limfogen (kelenjar
limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang,
4
khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam
sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia,
maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada kasus
AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini neutrofil,
monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh
sehingga sel-sel darah putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai
berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai
struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh
manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai
dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur antigen
individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya.
Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit
dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus
A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat
erat kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang lain
tertekan
karena
terjadi
kompetisi
nutrisi
untuk
proses
metabolisme
(terjadi
Klasifikasi
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010) dibagi menjadi
beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel premielosit
kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan over
produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami gejala
ringan dan mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif, mempunyai lebih dari
5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini leukosit bisa mencapai
300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik
mempunyai kelainan kromosom lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom).
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast pada
darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan organ
diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia
Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.
2.5
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al., (2005) tergantung
pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
a.
Pemeriksaan Penunjang
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu :
a. Laboratorium
-
Darah rutin :
-
Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
Gambar 2.1
Gambar 2.2
tepi dengan
menunjukkan
eosinophilia,
basofilia,
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambaran Sumsum tulang yang hiperseluler.
Dengan perbesaran 400x menunjukkan bahwa
adanya peningkatan eosinofil dan megakariosit.
Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari
SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid,
sel matur, dan megakariositis menurun.
Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk mendeteksi
adanya kromosom Philadelphia.
2.7
Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang dapat
menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML kadang tidak ditemukan
kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar untuk menegakkan suatu diagnosis.
- Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
1. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum tulang berinti.
2. Basofil darah tepi >20%.
3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau
thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi.
4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).
- Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
2. Proliferasi blast ekstrameduler.
3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada trombositosis
ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak
ditemukannya Ph kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada
10
penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom
mielodislasia (Victor et al., 2006).
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada kasus penderita
yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai pada pasien berumur kurang dari
4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia,
monositosis yang menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan makrofag
(Victor et al., 2006).
2.8
Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1. Fase Kronik
a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap minggu.
Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat di hentikan jika
leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek
smaping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya
timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).
b. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna mempertahankan
hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi biasanya perlu diberikan
seumur hidup (Victor et al., 2005). Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000
mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.00015.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).
c. Interferon juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat menunda onset
transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor,
2005).
yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok. Interferon alfa diberikan
pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua
pasien menderita gejala penyakit mirip flu pada beberapa hari pertama
pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia.
Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang
dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi BCRABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).
d. STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang diteliti
dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang menjanjikan. Zat STI
57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase
sehingga dapat menekan proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah
dan menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus.
Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau
bersama dengan interferon atau obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010;
Victor et al., 2005; I Made, 2006)
e. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT) sebelum
usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok memungkinkan kesembuhan
70% pada fase kronik dan 30% atau kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor,
2005).
2. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia akut, AML
atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah
memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor,
2005; I Made, 2006).
b. Non-Medikamentosa
o Radiasi
12
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga tinggi
secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala atau sebagian
dari terapi yang diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor,
2005).
2.9 Prognosis
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap tahunnya. Banyak penderita yang
bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada
akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata
setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
13
KESIMPULAN
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML) merupakan
leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal dari
transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel
induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk
leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic
leukemia (I Made, 2006).
CML merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling
sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia kronik lebih banyak
dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic Leukemia). CML dapat terjadi karena
adanya resiprokal translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan ciri khas adanya
kromosom Philadelphia (Ph). Dibagi menjadi tiga fase dalam perjalan penyakitnya dan juga
digunakan untuk menentukan terapi yaitu fase kronik, fase akselerasi, fase krisis blast (I
Made, 2006; Atul & Victor, 2005).
CML dapat di terapi dengan berbagai cara seperti : pemberian busulfan, pemberian
hydroxyurea, pemberian Imatinib mesylate, pemberian Interferon alpha, terapi dengan radiasi,
dan dengan cara transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor
et al., 2005; I Made, 2006).
Prognosis pada CML, yaitu sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun
setelah penyakitnya terdiagnosis
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah
penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis
blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi
kadang bisa memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
14
ASUHAN KEPERAWATAN
I.
PENGKAJIAN
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1).Pucat
2).Kelemahan
3).Sesak
4).Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1).Demam
2).Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1).Ptechiae
2).Purpura
3).Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1).Limfadenopati
2).Hepatomegali
3).Splenomegali
f. Kaji adanya pembesaran testis
g. Kaji adanya :
1).Hematuria
2).Hipertensi
3).Gagal ginjal
4).Inflamasi disekitar rectal
5).Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML, antara lain:
Imunosupresi
III.
Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
1
Resiko infeksi berhubungan dengan :
Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
Gangguan kematangan sel darah putih
Peningkatan jumlah limfosit imatur
Imunosupresi
Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)
Infeksi tidak terjadi
1.
2.
Berikan protocol untuk mencuci tangan yang baik untuk semua staf petugas
16
3.
4.
5.
6.
7.
8.
2
Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan :
Kehilangan berlebihan, seperti: muntah, perdarahan
Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia.
Volume cairan tubuh adekuat, ditandai dengan TTV dbn, stabil, nadi teraba, haluaran urine, BJ
dan PH urine, dbn.
1. Awasi masukan dan pengeluaran. Hitung pengeluaran tak kasat mata dan keseimbangan
cairan. Perhatikan penurunan urine pada pemasukan adekuat. Ukur berat jenis urine dan
pH Urine.
2. Timbang BB tiap hari.
3. Awasi TD dan frekuensi jantung
4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian kapiler dan kondisi umum membran mukosa.
5. Implementasikan tindakan untuk mencegah cedera jaringan / perdarahan, ex : sikat gigi
atau gusi dengan sikat yang halus.
6. Berikan diet halus.
7. Berikan cairan IV sesuai indikasi
8. Berikan sel darah Merah, trombosit atau factor pembekuan
1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan
gelisah
bantal
17
Referensi:
Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta :
EGC.
ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon, ARC Press,
Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald, Eugene;Hauser, Stephen L.;
Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine
17th edition. USA: McGraw-hill,
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC.
JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.
Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI
Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses penyakit . Jakarta :
EGC, .
Whaleys and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA : Mosby.
18