Hasta Brata
Hasta Brata
Hasta Brata
tertindas. Sifat pemimpin seperti ini diilustrasikan dalam kisah Khalifah Umar
bin Khatab yang marah ketika menemukan seorang warga yang tanahnya
akan digusur Gubernur Mesir secara semena-mena. Seketika Khalifah Umar
mengirimkan sepotong tulang yang digores pedangnya sebagai peringatan
agar Gubernur Mesir tidak semena-mena terhadap rakyatnya.
Sifat Bulan; adalah menjadi sumber cahaya bila malam tiba. Dengan
demikian, hakekatnya Bulan adalah sang penerang mahluk hidup dari
kegelapan di bumi. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang
menguasai sifat Bulan adalah ia yang mampu menjadi penuntun dan
memberikan pencerahan kepada rakyatnya. Oleh karena itu pemimpin
seperti ini memahami dan mengamalkan ajaran luhur yang terkandung
dalam agama (religiusitas) dan menjunjung tinggi moralitas.
Sifat bulan ini diterapkan oleh raja-raja Mataram, salah satu tandanya adalah
dengan memberikan status/posisi kepada Sultan Hamengku Buwono sebagai
Senopati Ing Ngalogo Ngabdurohman Sayidi Panoto Gomo Kalifatullah.
Dalam konsepsi Jawa, seorang pemimpin adalah sekaligus berfungsi sebagai
ulama.
Sifat Samudra; adalah luas dan lapang sebagai simbol dari kelapangan
dada dan keluasan hati. Dalam konteks kekinian seorang pemimpin yang
menguasai sifat Samudra akan mampu menerima kritikan dengan lapang
dada, siap diberi saran sekalipun itu oleh bawahannya. Ia tidak akan melihat
siapa yang berbicara, tetapi apa yang dibicarakan. Ia akan menyediakan
waktu dan selalu terbuka untuk menampung keluhan rakyatnya.
Sifat Samudra ini juga tercermin dalam praktek kepemimpinan raja-raja
Mataram dengan memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk
mengajukan protes kepada Raja melalui budaya pepe, yaitu berjemur di
alun-alun sampai Raja menemui dan mendengarkan keluhan mereka.
Sifat Bintang; adalah melukiskan posisi yang tinggi. Pemimpin yang
menguasai sifat Bintang dalam konteks kekinian adalah pemimpin yang
memiliki kepribadian mulia sehingga menempati posisi (maqam) yang
terhormat dan dihormati. Singkat kata, rakyat mencintainya sedangkan
lawan menyeganinya.
Sifat Angin; adalah dapat masuk (menyusup) ke segala tempat. Sifat Angin
dalam khasanah filsafat Jawa ini diartikan sebagai suatu bentuk ketelitian
Dalam wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu konsepsi Ilmu Luhur
yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa. Yakni ilmu Hasta
Brata atau dikenal pula sebagai Wahyu Makutha Rama yang diterima
Raden Arjuna setelah menjalani laku prihatin dengan cara tapa brata dan
tarak brata (Lihat : serat Laksita Jati). Hasta berarti delapan, brata adalah
tampak
bersahaja,
tidak
norak,
tidak
dapat
disangka-sangka
sesungguhnya ia menyimpan potensi yang besar di berbagai bidang, namun
tabiatnya sungguh jauh dari sifat takabur, atau sikap menyombongkan
diri.
Manusia watak samodra, tidak pernah membeda-bedakan golongan,
kelompok, suku, bangsa, dan agama. Semua dipandang sama-sama makhluk
ciptaan Tuhan yang memiliki kesamaan derajat di hadapan Tuhan. Yang
mebedakan adalah akal-budinya, keadaan batin, serta perbuatannya
terhadap sesama. Dalam bidang keilmuan, watak samodra akan sangat arif
dan bijaksana. Sekalipun berilmu tinggi ia sangat merendah bahkan berlagak
bodoh. Sebagaimana watak Bima Sena, yang mampu menutupi (tidak
pamer) akan ilmunya yang luas, sehingga dapat menyesuaikan diri secara
sempurna dengan siapapun dan di manapun ia berada. Satu lagi, watak
samodra yang paling dahsyat adalah kemampuannya untuk menetralisir
segala yang kotor dan polutan. Limbah tak bertanggungjawab yang dibuang
ke laut akan diproses secara-pelan-pelan dan akhirnya racun dan bakteri
yang masuk ke laut akan tak berdaya bergulat dengan molekul air samodra
yang jenuh akan unsur garam. Orang berwatak samodra akan mampu
mengurai dan memberikan jalan penyelesaian berbagai problema yang ia
hadapi, maupun problema yang dialami orang lain. Bersediakah Anda
berwatak nyegoro ?
Watak Air (Hambeg Tirta)
Mengambil sisi positif dari watak maruta. Tirta atau air berwatak selalu
rendah hati dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin (bawa) atau
andhap asor. Selalu menempatkan diri pada tempat yang rendah, umpama
perilaku dinamakan rendah hati (lembah manah) dan sopan santun (andhap
asor). Orang yang berwatak air akan selalu rendah hati, mawas diri, bersikap
tenang, mampu membersihkan segala yang kotor. Air selalu mengalir
mengikuti lekuk alam yang paling mudah dilalui menuju samodra. Air adalah
gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan pada kodrat Tuhan. Air tidak
pernah melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan yang mendaki ke
arah gunung, meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air,
perbuatannya selalu berada pada kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh
selalu diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi. Sehingga watak air akan
membawa seseorang menempuh jalan kehidupan dengan irama yang paling
mudah, dan pada akhirnya akan masuk kepada samodra anugrah Tuhan Yang
Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak air bah, tsunami, lampor, rob, yang
melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang yang menerjang wewaler,
religi, tatanan sosial, tata krama, hukum positif, serta hukum normatif.
Berwatak air, akan membawa diri kita dalam sikap yang tenang, tak mudah
stress, tidak mudah bingung, tidak gampang kagetan, lemah-lembut namun
memiliki daya kekuatan yang sangat dahsyat. Sikap kalem tidak bertabiat
negatif. Namun hati-hatilah karena orang sering merasa sudah mengikuti
watak air, namun tidak menyadari yang diikuti adalah air bah, maknanya
adalah watak cenderung membuat kerusakan, diburu-buru, tanpa
perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang penting gasak dulu,
urusan dipikir dibelakang (pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).
6. Watak Langit (Hambeg Akasa)
Akasa atau langit. Bersifat melindungi atau mengayomi terhadap seluruh
makhluk tanpa pilih kasih, dan memberi keadilan dengan membagi musim di
berbagai belahan bumi. Watak langit ini relatif paling sulit diterapkan oleh
manusia zaman sekarang, khususnya di bumi nusantara ini. Seorang
pemimpin, negarawan, politisi, yang mampu bersikap tanpa pilih kasih dan
bersedia mengayomi seluruh makhluk hidup, merupakan tugas dan
tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di tengah kondisi politik dan
kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari benarnya sendiri,
mencari untungnya sendiri, dan mencari menangnya sendiri. Tidak jarang
seseorang, atau wakil rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan
partainya saja, bukan kepentingan bangsa. Bahkan anggota legislatif,
pimpinan masyarakat, para aktor intelektual, pemuka spiritual terkadang tak
menyadari sedang mengejar kepentingannya sendiri, atau kepentingan
kelompoknya saja. Orang-orang di luar diri atau kelompoknya dianggap tidak
penting untuk diayomi. Orang yang berbeda peristilahan, bahasa, budaya,
adat istiadat, dan tradisi sekalipun sebangsa dan setanah air, tetap saja
diasumsikan sebagai orang yang tak perlu di bela dan dilindungi. Bahkan
orang-orang tersebut dianggap sesat, pembual, pembohong, penipu.
Prasangka-prasangka negatif ini sangat bertentangan dengan watak akasa.
Akasa atau langit akan melihat secara gamblang beragamnya persoalan
kehidupan di muka bumi ini. Kewaskitaan akasa seumpama mata satelit, ia
akan menyaksikan bahwa ternyata di atas bumi ini terdapat ribuan bahkan
jutaan jalan spiritual menuju satu titik yang sama, meskipun jalan
yang ditempuh sangat beragam dan berbeda-beda. Maka watak langit tak
suka menyalahkan orang lain, tak suka menghujat sesama, tak suka
memaki dan mengumpat sekalipun terhadap orang yang memusuhinya.
Itulah watak langit, sebagaimana terdapat pada Bethara Indra. Justru
terhadap semua manusia apapun watak, dan bagaimanapun sikapnya
Bethara Indra akan selalu ngemong sesama, mampu mengelola watak
mengalah, mampu menahan diri, meredam emosi, dan membimbing seluruh
makhluk hidup dengan cara yang penuh dengan kasih sayang. Dalam
manajemen perilaku Jawa, sikap ini selalu diutamakan terutama dalam
pasamuan, bebrayan (bermasyarakat), pertemuan, diskusi, dan dalam
berbagai pergaulan. Maka watak Jawa menuntut perilaku hambeg utama,
lumuh banda, luhur dalam budi pekerti atau solah (perilaku jasad) dan bawa
(perilaku batin). Sedangkan terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada
pernah mempermalukan dan meremehkan. Itulah watak Bathara Indra,
sebagai watak akasa atau langit. Sayang sekali, watak ini sudah terkena
polusi watak asing yang menjadikan seseorang tidak canggung
mencaci orang lain yang berada di luar kelompoknya, dan
Jika anda ingin melihat BUKTI (bukan sekedar tulisan) kebesaran Tuhan, maka
lihatlah tanda-tanda menakjubkan yang terdapat dalam ruang-ruang jagad
raya. Pergilah ke gunung, ke pantai, pandangi sunrise dan sunset,
gelombang laut, resapilah saat hujan dan badai menerpa, guntur dan kilat
menyambar, semua merupakan kalimat akan kebesaran Tuhan. Sekali lagi,
makna yang tersimpan dalam kalimat tanpa tulis dan kata-kata. Kalimat
yang tidak dibatasi oleh bahasa, suku, dan bangsa tertentu. Kata-kata dan
huruf yang tidak terkungkung oleh adat istiadat, tradisi, dan ajaran tertentu.
Istilah yang tidak tergantung oleh ilmuwan tertentu. Karena hakekatnya
adalah kalimat universal, diperuntukkan untuk segala yang hidup, tidak
terbatas manusia, namun binatang dan makhluk gaib semuanya. Tidak
terbatas hanya untuk pemimpin, kepala suku, rakyat jelata, bangsawan,
orang-orang sudra. Itulah bukti nyata kebesaran Tuhan Yang maha Tunggal,
Yang lebih dari Maha Besar. Tuhan yang lebih dari Maha Adil dan Bijaksana.
Sayang sekali, manusia sering bertengkar gara-gara tak mampu menangkap
anugrah perbedaan.
Haruskah manusia dikudeta oleh binatang ? Ataukah manusia harus
berguru kepada makhluk hidup lainnya, kepada binatang melata,
kepada burung, gajah, atau bahkan kepada makhluk gaib. Karena
mereka tidak pernah tercemar oleh polusi nafsu diniawi seperti
manusia, sehingga mereka masih memiliki ketajaman instink dalam
menangkap bahasa dan kalimat Tuhan. Mengerti bilamana akan
terjadi bencana dan musibah alam. Jujur saja kami sering dipaksa
harus berguru kepada mereka. Dan saya tidak terlalu berani
menyombongkan diri sebagai makhluk paling sempurna di antara semua
makhluk Tuhan, hanya gara-gara memiliki akal-budi. Bukankah kita dapat
menjadi hina, lebih hina daripada binatang paling hina sekalipun, hanya
karena salah kelola akal-budi kita.
BERGURU PADA ORANG BODOH
Orang-orang zaman dulu seringkali dianggap orang bodoh, cubluk,
kekolotan, tidak canggih, tradisionil, serta udik. Penilaian subyektif hanya
berdasarkan penglihatan mata wadag dan hanya bersadarkan dari omongan
ke omongan orang yang sama-sama tidak menilai secara subyektif. Asumsi
di atas merupakan hak setiap orang melakukan penilaian. Namun perlu lebih
hati-hati dalam melakukan penilaian, sebab jika yang salah kaprah akan
menjadi sia-sia bahkan merugikan diri sendiri. Pada saat banyak orang
ramai-ramai memberikan asumsi negatif akan tradisi kuno, saat itu pula
kami mencoba berfikir positif, dan bertanya-tanya mengapa penilaian negatif
itu muncul. Bagaimana seandainya saya ada di pihak yang dinilai negatif.
Leluhur bangsa di masa lalu sejak 2500 tahun SM telah melakukan kegiatan
spiritual. Perjalanan spiritualnya semakin berkembang seiring perjalanan
waktu ke waktu. Pada intinya, leluhur masa lalu sangat menganjurkan agar