Osteomyelitis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Osteomyelitis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap
pergerakan. Komponen utama sistem utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri
dari tulang, sendi, otot rangka, tendo, ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan
struktur-struktur ini. Beragamnya jaringan dan organ sistem muskuloskeletal dapat menimbulkan berbagai
macam gangguan. Beberapa gangguan tersebut timbul primer pada sistem itu sendiri, sedangkan gangguan
yang berasal dari bagian lain tubuh tetapi menimbulkan efek pada sistem muskuloskeletal. Tanda utama
gangguan sistem muskuloskeletal adalah nyeri dan rasa tidak nyaman , yang dapat bervariasi dari tingkat
yang paling ringan sampai yang sangat berat (Price,Wilson, 2005).
Salah satu gangguan tersebut adalah osteomielitis. Osteomielitis adalah radang tulang yang
disebabkan oleh organisme piogenik, walaupun berbagai agen infeksi lain juga dapat menyebabkannya,
gangguan ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks,
jaringan kanselosa, dan periosteum (Dorland, 2002).
Pada skenario pertama di blok muskuloskeletal yang berjudul Nyeri Tungkai Bawah ini,
diceritakan seorang wanita umur 18 tahun, datang ke RS dengan nyeri tungkai bawah
kanan, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul. 2 tahun yang lalu mengalami kecelakaan
sehingga terjadi patah tulang di tungkai bawah di mana tulang tampak dari luar. Kemudian dibawa ke
dukun tulang. Pada pemeriksaan fisik sekarang didapatkan deformitas, scarrtissue diameter 10 cm pada
region anterior tibia kanan. Sinus dengan discharge seropurulen melekat pada tulang di bawahnya,
ekskoriasi kulit di sekitar sinus. Curiga adanya infeksi pada tulang, maka dilakukan plain foto dan
didapatkan : penebalan periosteum,bone resorption, sclerosis sekitar tulang, involucrum, sequester,
danangulasi tibia dan fibula (varus). Pasien ini dinyatakan oleh dokter menderita osteomielitis. Pasien
merupakan pemilik kartu asuransi kesehatan, akan tetapi kartu tersebut tidak bisa digunakan, sehingga
pasien itu harus membayar seluruh biaya.
Mahasiswa diharapkan dapat memecahkan masalah pada skenario yang berkaitan mengenai ilmu
dasar, patologi, interpretasi hasil pemeriksaan penunjang, serta penanganan dan prognosis terhadap
penderita osteomielitis.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa sinus di kulit pasien hilang timbul ?
2. Adakah hubungan RPD pasien 2 tahun yang lalu mengenai fraktur terbuka dengan penyakit
yang dialaminya sekarang ?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan plain foto ?
4. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi penyakit pasien ditinjau dilihat dari gejala
klinis dan hasil pemeriksaan?
5. Bagaimana proses osteogenesis, osifikasi, dan resorpsi tulang ?
6. Apa penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien dalam kasus ini ?
7. Bagaimana prognosis pasien ?
8. Bagaimana solusi untuk masalah pasien yang tidak bisa menggunakan kartu Askes?
C. TUJUAN PEMBELAJARAN dan MANFAAT
1. Mahasiswa mengetahui ilmu-ilmu dasar mengenai proses pembentukan tulang, terutama
ditinjau dari segi fisiologi dan histologi
2. Mahasiswa mengetahui definisi, klasifikasi, mekanisme patologi, penegakkan diagnosis,
tindakan intervensi, serta prognosis pada pasien yang terkena osteomielitis
3. Mahasiswa dapat memberikan solusi yang tepat bagi pasien yangkartu Askesnya sudah
tidak dapat digunakan lagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DASAR-DASAR FISIOLOGI DAN HISTOLOGI TULANG
Tulang terdiri atas matriks organik keras yang sangat diperkuat dengan garam-
garam kalsium. Matriks organik tulang terdiri atas serat kolagen sebesar 90 sampai 95
persen, dan sisanya dibentuk oleh medium gelatinosa homogen yang disebut substansi
dasar. Serat kolagen terbentang terutama di sepanjang garis tekanan dan memberikan
kekuatan tulang terhadap tarikan. Substansi dasar terdiri atas cairan ekstrasel
dan proteoglikans, terutama kondroitin sulfat dan asam hialuronat.
Timbunan garam kristalin dalam matriks organik tulang teruatama terdiri atas
kalsium dan fosfat. Rumus kimia garam kristalin utama, yang dikenal
sebagai hidroksiapatit adalah sebagai berikut : Ca
10
(PO
4
)
6
(OH)
2
. Ion magnesium,
natrium, kalium, dan karbonat juga dijumpai di antara garam-garam tulang, meskipun
studi difraksi sinar- X gagal menunjukkan kristal yang dibentuk ion-ion tersebut (Guyton,
Hall, 2007).
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel: osteoblas,
osteosit, dan osteoklas. Osteoblasmembangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I
dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang
disebut osifikasi. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu
lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteoklasadalah sel-sel
berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi.
Osteoklas bersifat mengikis tulang karena sels-sel ini menghasilkan enzim-enzim
proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral
tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.
Pada keadaan normal, tulang mengalami pembentukandan absorpsi pada suatu
tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-kanak ketika terjadi lebih
banyak pembentukan daripada absorpsi tulang. Metabolisme tulang diatur oleh beberapa
hormon. Suatu peningkatan kadarhormon paratiroid (PTH) mempunyai efek langsung
dan segera pada mineral tulang, meyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak
memasuki serum. Di samping itu, peningkatan kadar PTH secara perlahan-lahan
menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas, sehingga terjadi
demineralisasi. Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam
jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar PTH
yang tinggi. Vitamin D dalam jumlah sedikit membantu kalsifikasi tulang (Price, Wilson,
2005).
Proses osteogenesis tulang berkembang melalui dua cara, yaitu :
1). Osifikasi intramembranosa. Sel-sel mesenkim dalam membran mesenkim
berdiferensiasi menjadi fibroblas untuk membentuk sabut-sabut kolagen sehingga
terbentuklah jaringan pengikat longgar berupa membran. Osifikasi intramembranosa
dimulai ketika sekelompok sel mesenkim yang berdiferensiasi menjadi osteoblas di dalam
membran jaringan pengikat yang telah terbentuk. Selanjutnya, tempat itu disebut sebagai
pusat osifikasi dan osteblas mulai membentuj matriks dan ia terbenam dalam matriks
yang dibentuknya sendiri dan berubah menjadi osteosit. Akhirnya, terjadi pengendapan
bahan-bahan mineral dan terbentuklah jaringan tulang muda disebut trabekula tulang
sebagi hasil penggabungan dari perluasan pusat-pusat osifikasi.
2). Osifikasi endokondral. Masuknya kapiler darah sel-sel bagian dalam
perikondrium yang berdiferensiasi menjadi osteoblas, yang selanjutnya akan membentuk
jaringan tulang di bagian tepi dari model tulang rawan hialin. Perikondrium selanjutnya
menjadi periosteum. Jaringan tulang yang baru terbentuk disebut periostal bone
collar atau periostal band. Setelah terbentuk periostal bone collar, matriks tulang rawan
di bagian dalam akan mengalami pengapuran, sel-selnya hipertrofi, dan akhirnya mati
dengan meninggalkan ruang-ruang kosong. Periostal bud yang terdiri atas osteoblas
dan sel-sel osteogenik disertai kapiler darah periosteum memasuki ruang-ruang kosong
akibat kematian kondrosit. Osteoblas segera mensintesis matriks dasar yang dilanjutkan
dengan proses mineralisasi sehingga terbentuk jaringan tulang muda sebagai pusat
osifikasi primer (Tim Lab Histologi FK UNS)
B. PATOFISIOLOGI OSTEOMYELITIS
Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di
periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang
menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi.
Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang
dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar.
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan
adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada
tulang yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh
dari tulang yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan
disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena
adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang
cepat. Perlambatan aliran darah yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan
mudahnya terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat
kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi.
Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang
terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau
sepsis setelah prosedur operasi.
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme
infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit
dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap
klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous.
Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau
penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat
bakteremia. Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit
ini, pembagian tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan
Mader mengajukan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria
faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah
berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi
(exogenous dan hematogenous).
D. OSTEOMYELITIS KRONIK
Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat
meringan, akan tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material
purulenta, jaringan granulasi yang telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut
intermitten dapat terjadi dalam beberapa tahun dan seringkali membaik setelah
beristirahat dan pemberian antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis kronik adalah
adanya tulang yang mati akibat infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus
infeksi didalam tulang dikelilingi oleh tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang
dibungkus oleh periosteum yang menebal dan jaringan parut otot dan subkutan.
Pembungkus avaskuler jaringan parut ini dapat menyebabkan pemberian antibiotik
menjadi tidak efektif.
Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya
tidak berkorelasi secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat
tumbuh dari kultur yang diambil dari sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan
lunak sekitar dan tulang.
Klasifikasi
Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik,
berdasar dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi. Kriteria
fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A memiliki
respon pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang
terbatas dan penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan
berpotensi lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien
digolongkan menjadi host kelas C.
Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan
pada endosteal. Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari
tulang, dan infeksi terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu
infeksi terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal dan
kavitasi (pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini tidak dapat
menyebabkan instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang
menyebabkan instabilitas mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah
penanganan awal.
Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan
membentuk 1 dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II
pada host kelas A dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini
berguna untuk menentukan apakah penatalaksanaan menggunakan metode yang
sederhana atau kompleks, kuratif atau paliatif, dan mempertahankan tungkai atau ablasi.
Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi.
Gold standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa
histologis dan mikrobateriologis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak,
menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status
neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak
memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada
kebanyakan pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.
Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi
osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi
atau menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan
untuk membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.
Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis
osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan.
Tanda dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada
osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography
dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus.
Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding
dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan
pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas
osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini,
memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah
dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada
area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111
lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk
membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.
CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian
yang cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi
sequestra. Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian
jaringan lunak. MRI memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada
osteomyelitis kronik, MRI dapat menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang
mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi sinus dan sellulitis tampak sebagai area
hiperintens pada gambaran T2-weighted.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah
biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam
menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang
akan digunakan.
Penatalaksanaan
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi
untuk osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang
terinfeksi. Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk
lingkungan tulang yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan
untuk mencapai tujuan ini. Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan
tingginya angka rekurensi pada osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada
osteomyelitis tulang tengkorak.
Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus
ditangani untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat
mengakibatkan instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan
lunak maupun tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri
penginfeksi dan terapi antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah
perencanaan yang baik dan identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan
radiography polos, sinography, CT dan MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan
konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah
plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik
post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian antibiotik intravena selama 6
minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik. Swiontkowski et al
melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu pemberian antibiotik
intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.
Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat
menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft
sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk
membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan
didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena
bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi
antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih
untuk penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft,
tetapi sering kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan
bebas yang tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara
efektif Muscle flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu
penyembuhan tulang dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di
capai dengan bone graft untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous
dengan transfer tulang yang bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara
tehnis dibutuhkan bone graft tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada
daerah tulang yang sebelumnya tidak memiliki vaskularisasi

a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik
Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan
lebih banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh
ahli bedah yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan
sebelum operasi. Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk
memudahkan lokalisasi dan eksisi.
Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang
yang terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan
naikkan 1,3 hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal
pada lokasi yang tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh
sequestra, materi purulenta, dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik
membentuk kavitas didalam kanal meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk
memberikan tempat bagi pembuluh darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor
berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir perbatasan antara tulang iskemik dan
sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan, eksisi tepi tulang yang
menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong atau kavitas. Jika
kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler lokal atau
transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika
memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang
berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau
berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang
akan datang.
Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian
dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam
periode yang panjang dan dimonitor dengan ketat.
b. Graft Tulang Terbuka
Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan
osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi
dan mencegah terjadinya infeksi;
3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
4. Drainase yang adekuat;
5. Immobilisasi yang adekuat;
6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau
untuk penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.Operasi tersebut dibagi
menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa
stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous
autografting; dan (3) penutupan kulit.
c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan
penggunaan antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi
untuk penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal
dengan konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian
farmakokinetik telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh
mencapai 200 kali lebih tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik.
Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan dalam hal memperoleh antibiotik dengan
konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar toksisitas dalam serum dan sistemik
tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke dalam luka hematoma post operasi
dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport. Konsentrasi antibiotik yang sangat
tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer; jika penutupan seperti
demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan perban kedap air.
Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik telah di
debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap
tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama
PMMA bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA
bead; vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon,
tetrasiklin, polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead
sehingga jenis antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat
dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama,
dan pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al
melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik
PMMA bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam
faktor. Kadar bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah
impantasi dan setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap
benda asing dan merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk
glykocalyx. PMMA juga terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu
beberapa jenis sel imun yang fagositik. Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka
kantong bead perlu diganti dalam interval 72 jam dengan debridement berulang dan
irigasi hingga luka siap ditutup.
d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)
Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi
debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler
hingga transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot
bervaskularisasi memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah
yang penting bagi mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan
antibiotik dan penyembuhan osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik
ini dilaporkan oleh literatur adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik
pada tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot
soleus digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas
dengan mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.
e. Teknik Lizarof
Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik
dan nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang
yang terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal
daerah yang terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. 2
Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan
insiden komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan
hingga terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi
walaupun dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang
membutuhkan reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas.
Komplikasi
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak
terkendali dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab.
Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah
tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar
bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai
berikut:
a. Abses Tulang
b. Bakteremia
c. Fraktur Patologis
d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.
Prognosis
Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti
virulensi bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien.
Diagnosis yang dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis
yang memuaskan dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang
berat sekalipun. Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat berkembang menjadi
infeksi yang berat dan meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang diberikan tidak
dapat membunuh bakteri dan menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka
prognosis osteomyelitis menjadi buruk.
Pencegahan
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan
bakteri pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan
diagnosis yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.
Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik,
pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna,
dan pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.


BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario disebutkan bahwa pasien merasakan nyeri pada tungkai bawahnya, pyrexia,
kemerahan dan sinus hilang timbul. Tiga gejala pertama yang dialami pasien merupakan tanda-tanda
bahwa pasien mengalami inflamasi (nyeri = dolor, pyrexia = kalor, kemerahan = rubor). Sementara gejala
sinus hilang timbulnya akan dijelaskan nanti.
Osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis karena pada daerah tersebut peredaran darahnya
lambat dan banyak mengandung sinusoid. Penyebaran osteomielitis dapat terjadi :
1. @Penyebarannya ke arah korteks, membentuk abses subperiosteal dan selulitis pada jaringan sekitarnya.
2. @ Penyebarannya menembus periosteum membentuk abses jaringan lunak. Abses dapat menembus kulit
melalui suatu sinus dan menimbulkan fistel.Abses dapat menyumbat atau menekan aliran darah ke tulang
dan mengakibatkan kematian jaringan tulang (sequester).
3.@Penyebaran ke arah medula
4. @Penyebarannya ke persendian, terutama bila lempeng pertumbuhannya intraartikuler misalnya sendi
panggul pada anak-anak. Penetrasi ke epifisis jarang terjadi. (Mansjoer dkk., 2000)
Setelah infeksi terjadi pada daerah metafisis, terbentuk nanah di bawah periosteum dan
periosteum akan terangkat. Nanah yang terbentuk juga mengakibatkan keluarnya discharge seropurulen
pada sinus yang terbentuk. Terangkatnya periosteum memperlihatkan gambaran periosteum yang menebal
pada hasil plain foto pasien. Selain itu juga karena terbentukjaringan granulasi pada periosteum dan lapisan
tebal (kalus) di sekitar lokasi fraktur (Price, Wilson, 2005). Pembuluh darah akan mengalami trombosis,
dan trombosis septik ini akan dapat mengakibatkan septikhemi atau piemi. Oleh karena perubahan
sekunder, adanya trombus pada pembuluh darah yang mengakibatkan terganggunya aliran darah, maka
tulang akan mengalami nekrosis. Kadang-kadang proses ini akan menjalar ke epifisis, menembus tulang
rawan sendi, mengenai sendi sehingga terjadi arthritis suppurativa.
Tulang nekrotik ini kemudian akan terpisah dari tulang yang sehat oleh kerja osteoklas,
membentuk sequester, yang didapatkan pada hasil plain foto pasien. Bilamana masa akut penyakit telah
lewat, maka osteoblas yang berasal dari periosteum akan membentuk tulang baru di sekitar sequester dan
disebut involucrum. Involucrum mempunyai lubang disebutcloaca, kadang-kadang sequester dapat keluar
melalui lubang itu. Cloaca inilah yang diduga menyebabkan gejala sinus hilang timbul pada pasien. Jadi,
tubuh hanya dapat menutupi tulang yang nekrotik itu dengan tulang baru tanpa dapat mengabsorpsinya.
Juga pada sumsum tulang ditempatkan tulang baru sehingga densitas tulang bertambah dan
terjadi sclerosistulang, yang juga ada pada hasil plain foto pasien. Proses neoosteogenesis ini menimbulkan
gambaran Garres sclerosing osteomyelitis. (Hirmawan, 1973)
Bila osteomielitis akut tidak diobati dengan baik, akan terjadiosteomielitis chronica, keadaan ini
dapat berlangsung terus menerus sehingga penderita akhirnya meninggal karena amiloidosis. Pada
skenario diceritakan bahwa setelah kecelakaan, pasien pergi ke dukun tulang. Hal ini menjelaskan bahwa
pengobatan pada pasien kurang baik dan sterilitasnya pun kurang terjaga sehingga patah tulang yang
dialami pasien menimbulkan osteomielitis akut dan karena sudah berlangsung selama dua tahun tanpa
pengobatan lebih lanjut, maka osteomielitis yang dialami pasien berlanjut menjadi osteomielitis kronik.
Pada pasien juga didapatkan deformitas pada pemeriksaan fisik dan angulasi tibia dan fibula
(varus) serta ekskoriasi kulit di sekitar sinus. Ketiga hal ini terjadi disebabkan karena kecelakaan yang
dialami pasien dan tampaknya, pasien mengalami fraktur terbuka, yang memungkinkan risiko terjadinya
osteomielitis semakin besar dan kulit ekstremitas yang terlibat telah ditembus oleh patahan tulang sehingga
mengakibatkan terjadinya ekskoriasi pada kulit. Derajat dan arah angulasi dari posisi normal suatu tulang
panjang (tulang tibia dan fibula pada kasus ini), dapat menunjukkan derajat keparahan fraktur dan tipe
penatalaksanaan yang harus diberikan. Angulasi dijelaskan dengan memperkirakan derajat deviasi fragmen
distal dari sumbu longitudinal normal, menunjukkan arah apeks dari sudut tersebut (Price, Wilson, 2005).
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita osteomielitis, perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik , dan beberapa pemeriksaan penunjang, yang meliputi pemeriksaan laboratorium (CRP
yang meninggi, laju endap darah yang meninggi, dan leukositosis) dan pemeriksaan radiologik (pada fase
akut tidak ditemukan kelainan. Pada fase kronik ditemukan suatu involucrum dan sequester). (Mansjoer
dkk., 2000)
Untuk penatalaksanaan pada penderita, perlu dilakukan perawatan di rumah sakit, pengobtan
suportif dengan pemberian infus, pemeriksaan biakan darah, antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap
gram positif maupun gram negatif diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah secara parenteral
selama 3-6 minggu, imobilisasi anggota gerak yang terkena, dan tindakan pembedahan. Indikasi tindakan
pembedahan adalah adanya abses, rasa sakit yang hebat, adanya sequester, dan bila mencurigakan adanya
perubahan ke arah keganasan (karsinoma epidermoid). Saat yang terbaik untuk melakukan
tindakan pembedahan adalah bila involucrum telah cukup kuat untuk mencegah terjadinya fraktur
pascapembedahan. (Mansjoer dkk., 2000)
Prognosis pasien untuk skenario pertama ini cukup baik apabila langsung dilakukan tindakan
pembedahan. Pemberian antibiotika untuk penderita osteomielitis tidak cukup efektif karena sifat korteks
tulang yang tidak memiliki pembuluh darah sehingga tidak cukup banyak antibodi yang dapat mencapai
daerah korteks tulang. Infeksi tulang sangat sulit untuk dibasmi, bahkan tindakan drainase dan debridemen,
serta pemberian antibiotika sering tidak cukup untuk menghilangkan penyakit (Price, Wison, 2005).
Mengenai kartu Askes pasien yang tidak bisa digunakan, sebaiknya pasien berobat ke rumah sakit
pemerintah, atau apabila masa berlakunya sudah habis, pasien dapat meminta untuk memperpanjang masa
berlaku kartu Askesnya. Bila untuk tindakan operasi pemebedahan diperlukan biaya yang cukup besar,
dokter dapat membantu mencarikan pasien donatur yang bersedia untuk membantu biaya tindakan
pembedahan pasien.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasien pada skenario pertama ini disimpulkan mengalami osteomielitis kronik yang terjadi karena
kecelakaan yang dialaminya dua tahun yang lalu dan tidak melakukan tindakan pengobatan lanjut,
tetapi malah pergi ke dukun tulang yang memperbesar risiko terjadinya osteomielitis pada
pasien. Osteomielitis dapat digolongkan menjadi osteomielitis primer dan sekunder berdasarkan
penyebarannya. Atau, berdasarkan agen etiologinya menjadi osteomielitis piogenik dan osteomielitis
tuberkulosa.
Tindakan drainase, debridemen, dan pemberian antibiotika pada penderita osteomielitis tidak
cukup untuk menghilangkan penyakit karena sifat korteks tulang yang tidak memiliki pembuluh darah.
B. Saran
Pada pasien sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan berdasarkan indikasi dilakukannya
tindakan pembedahan yang sudah dijelaskan pada bagian Pembahasan masalah. Selain itu juga agar
prognosisnya lebih baik. Pasien juga sebaiknya berobat ke rumah sakit pemerintah saja untuk
keringanan biaya yang ditanggung dan agar pamakaian kartu Askesnya dapat diterima.

DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. A. Newman, 2002. KAMUS KEDOKTERAN Edisi 29. Alih bahasa : Andy Setiawan, et al.
Jakarta : EGC, pp : 1565, 1
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi 11. Alih bahasa :
Irawati, et al. Jakarta : EGC, pp : 1032, 1
Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI. Jakarta : Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp : 437, 1
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7. Jakarta : EGC, pp: 850,
852, 2
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000.KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN
Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius, pp : 358-359, 2
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2005. PATOFISIOLOGI : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, et al. Jakarta : EGC, pp : 1358-1359, 1367-1368, 1371, 5
Tim Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret., 2008. BUKU PETUNJUK
PRAKTIKUM BLOK MUSKULOSKELETAL. Surakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp : 13-14, 2

Anda mungkin juga menyukai