Pendekar Mabuk - 80. Pusaka Jarum Surga PDF
Pendekar Mabuk - 80. Pusaka Jarum Surga PDF
Pendekar Mabuk - 80. Pusaka Jarum Surga PDF
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1
KABUT masih selimuti puncak Gunung Dara. Udara
di puncak itu dingin. Embun jatuh berupa butiran-butiran
batu bening. Embun itu menjadi kristal-kristal es karena
dinginnya udara di puncak tersebut.
Seorang lelaki tua meludah ke bebatuan yang
menghiasi lereng Gunung Dara. Cuih, klotak...!
Ludahnya menjadi batu karena membeku. Gila! Jika
ludah saja menjadi batu karena membeku, lalu
bagaimana jika lelaki tua itu buang air kecil. Jelas tidak
akan mengucur seperti biasanya. Atau jika mengucur,
bunyinya tidak: cuuur..., tapi akan berbunyi: klotak,
Hiaaaah...!"
"Iya, iya, iya...!" teriak Suto Sinting sambil
menyilangkan tangan takut kena gebuk lagi. Gerakan Ki
Jalu Kuping terhenti. Tampak lega berseri.
"Kau takut, Nak? Heh, heh, heh... padahal aku tadi
hanya menggertakmu. Baru digertak saja sudah takut,
apalagi kalau benar-benar diserang. Wah, ternyata
nyalimu tidak lebih besar dari sebutir upil, Nak!
Sebaiknya kau jadi perawan saja, jangan jadi pemuda
berbadan kekar begitu!" ejek Ki Jalu Kuping.
Hati pendekar tampan mulai terasa disundut puntung
rokok. Tapi ia selalu mencoba menahan panas hatinya
agar tidak berkobar dan tetap tenang di hadapan tokoh
tua berilmu konyol itu.
"Aku ke sini bukan cari musuh, Kek!"
"O, ya? Jadi kau ke sini mau cari apa?!"
*
**
2
DENGAN suara tegas Pendekar Mabuk menjawab
pertanyaan Ki Jalu Kuping.
"Aku mencari pemuda bernama Badra Sanjaya!"
"Hahh...?!" Ki Jalu Kuping terperanjat dan lebarkan
matanya yang tanpa bulu itu.
"Kenapa kau terkejut, Kek?"
mendelik.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, memandang
kalem ke arah Ki Jalu Kuping, ia semakin dongkol
setelah menyadari begitu berdiri ternyata celananya
bagian belakang robek seperti habis dicakar-cakar anjing
galak.
"Bocah ngepet!" serunya dari kejauhan.
Weess...!
Ki Jalu Kuping berkelebat seperti setan lewat.
Pandangan mata Suto Sinting tak bisa menangkap
gerakan itu, karena busa-busa salju bertaburan di depan
matanya. Tahu-tahu ia merasa diterjang seekor kuda nil
terbang. Bruuusss...!
Yang ada hanya gelap dan gelap. Pendekar Mabuk
merasa bagai sedang dikerumuni puluhan kunangkunang. Pertengahan dadanya, di atas ulu hati, terasa
sakit dan berdenyut-denyut.
"Jangan-jangan dadaku bolong?" pikirnya saat
pandangan matanya mulai terang sedikit-sedikit.
Begitu mata dapat memandang dengan jelas, ternyata
wajah Ki Jalu Kuping ada di atasnya. Rupanya ia telah
terkapar dengan bumbung tuak terlepas dari tangannya.
Ki Jalu Kuping berdiri di sampingnya dan dengan sedikit
membungkuk mendekatkan wajah memandanginya.
Bibir keriputnya sunggingkan senyum, gusi depannya
yang tanpa gigi itu bagaikan lubang belut yang bergerak
melebar karena nyengir.
"Tumbang, ya Nak?" sapa Ki Jalu Kuping bernada
ramah. Pendekar Mabuk dongkol sekali, ia segera
aku sudah tua, jadi sudah mulai budek. Coba, bilang apa
kau tadi?"
"Puliiiiihkan... akuuu..., Budek."
"Wah, maaf. Aku tidak dengar kau bicara apa, Nak.
Yang kudengar kau mengatakan aku budek, itu saja. Jadi
sebaiknya kau harus kubawa ke pondokku, di Lereng
Kunyuk, tak jauh dari sini! Atau kau kugelindingkan
dari sini. Pasti akan sampai di gubukku sana!"
"Peer... peeer... seee... taaaan...."
"Apa? Plesetan?! Jangan main plesetan nanti kau
jatuh, lehermu patah, naaah... repot! Disambung pakai
tongkatku ini terlalu panjang, kan?"
Ki Jalu Kuping menggeser tubuh Suto, Kedua kaki
Suto dijadikan satu dan diikat dengan akar kering yang
kenyal. Kedua tangan Pendekar Mabuk juga disatukan
dengan tubuh dan diikat. Suto seperti memeluk dirinya
sendiri.
"Nah, kalau begini... mudah digelindingkan. Tinggal
kuikuti dari belakang kau sudah sampai di pondokku
sendiri."
"Maaatiii... aku...."
"O, tidak! Tidak akan mati. Kujamin nyawamu masih
ada, karena aku ke sini memang sebenarnya ingin
bertapa, mencari jalan keluar bagi kesulitan muridku; si
Badra Sanjaya itu. Tahu-tahu kau datang, jadi kau
kuanggap jalan keluar untuk kesulitan muridku itu.
Makanya aku tidak akan membunuhmu. Nyawamu tetap
ada, tapi akan kusewa sampai urusan ini selesai."
Ki Jalu Kuping menghadapkan tubuh Suto agar bisa
3
PONDOK itu terbuat dari belahan kayu gelondong.
Menjadi dinding rapat karena ditambak dengan cairan
seperti getah yang juga merupakan bahan perekat kayu
paling ampuh. Pondok Ki Jalu Kuping termasuk besar,
mirip sebuah tempat perguruan, karena mempunyai
pelataran lebar, dan mempunyai pagar seperti benteng
kayu yang tampak kokoh.
Dalam salah satu ruangan lebar, yang mirip barak
para prajurit, terdapat dua tempat tidur bersebelahan dari
batuan sejenis marmer lebar. Di atas ranjang marmer itu
diletakkan kain pelapis cukup tebal sehingga jika dipakai
tidur akan nyaman. Di atas salah satu tempat tidur itu
terbujur sesosok tubuh muda berparas ganteng.
Badannya tegap, gagah, kekar, berkulit kuning langsat.
Pemuda itu bukan Pendekar Mabuk. Pemuda berikat
mata berkedip.
"Beberapa waktu yang lalu, muridku ini pergi ke
Bukit Kemesraan, ia sengaja kusuruh ke sana, eh...
kuutus. Kalau guru menyuruh murid itu pantasnya
dengan kata 'mengutus', ya?"
"Terserah...," jawab Suto datar.
"Badra Sanjaya kuutus ke Bukit Kemesraan untuk
mencari kakak seperguruannya, yaitu muridku juga yang
bernama Jantra Loya. Sebab, kudengar dari beberapa
orang sahabatku, katanya Jantra Loya ditangkap dan
dijadikan tawanan di Bukit Kemesraan. Maka kuutus si
Badra Sanjaya mencari kebenaran kabar tersebut.
Setelah dua purnama, Badra Sanjaya pulang dalam
keadaan aneh."
"Jadi... monyet?"
"Bukan!" Ki Jalu Kuping semakin serius. "Badra
Sanjaya pulang ke sini dalam keadaan linglung, lupa
siapa diriku dan siapa dirinya, dan sering memanggilmanggil Dekap Rindu dengan mesra."
Ki Jalu Kuping pandangi muridnya dengan wajah iba.
"Kasihan dia," gumamnya pelan. Lalu memandang
Suto Sinting.
"Ternyata dia terkena jurus racun 'Ranjang Goyang'
dari si Dekap Rindu. Hanya dia yang punya jurus racun
'Ranjang Goyang', dan racun itu membuat Badra Sanjaya
akhirnya pingsan, hampir tujuh hari tak sadarkan diri.
Aku tak bisa melawan racun 'Ranjang Goyang' itu.
Sudah kucoba berkali-kali, malah kepalaku sendiri yang
goyang-goyang karena kewalahan."
itu.
"Pribadimu dan ilmumu tetap utuh. Hanya ragamu
saja yang berbeda dari biasanya, Nak!" ujar Ki Jalu
Kuping saat Suto ingin tinggalkan tempat itu.
*
**
4
RUPANYA memang tidak ada yang berubah pada
diri Suto kecuali raganya. Pendekar Mabuk masih bisa
berlari cepat menyerupai kecepatan cahaya. Zlaaap...!
Berarti jurus 'Gerak Siluman' masih dimilikinya.
Beberapa jurus lain dicoba, dan ternyata tetap ada
padanya.
"Tapi risi sekali pakai raga seperti ini!" gerutu Suto
dalam hati. "Kumis ini lho, ah...! Kalau ada beling
kepingin kukerok saja rasanya. Aku tidak suka pakai
kumis! Bikin gatal saja!"
Sambil menuju ke Bukit Kemesraan, Pendekar
Mabuk dalam sosok Badra Sanjaya itu masih
menenteng-nenteng bumbung tuak. Ia sempat berpikir
tentang kehebatan ilmu si Jalu Kuping itu.
"Kuakui dia berilmu tinggi. Menakjubkan sekali yang
namanya ilmu 'Sewaka Sukma'-nya itu. Rasa-rasanya
aku ingin mempelajari ilmu tersebut. Juga jurus 'Petir
Jinak' yang mengenaiku. Dahsyat juga jurus itu. Tapi...
5
SEBELUM menyeberangi sungai yang merupakan
perbatasan wilayah Bukit Kemesraan, langkah Pendekar
Mabuk terhenti karena ulahnya sendiri. Suara ledakan di
sebelah utara membuatnya hentikan langkah. Hati pun
berdebar sekejap sambil berucap, "Ada pertarungan...!"
Pendekar Mabuk paling hobi ngintip pertarungan.
Terlepas apakah nantinya ia terlibat atau tidak, tapi
sebuah pertarungan merupakan ladang pendidikan ilmu
tambahan baginya. Dengan memperhatikan jurus-jurus
yang dipakai oleh pihak yang bertarung, Pendekar
Mabuk akan dapat mengantisipasi seandainya ia bertemu
dengan lawan yang menggunakan jurus seperti yang
dilihatnya itu.
Dari ketinggian sebatang pohon beringin liar,
Pendekar Mabuk mengintai pertarungan yang terjadi di
sebidang tanah datar itu. Pepohonan yang tumbuh di
tempat tersebut berjarak renggang, sehingga memberi
peluang lebih bebas lagi bagi pihak yang terlibat
pertarungan.
"Oh, rupanya si wajah dingin itu yang lakukan
pertarungan?!" ujar Suto membatin sambil pandangi
lelaki berwajah dingin yang mengenakan jubah merah.
Suto kenal betul dengan lelaki berusia sekitar enam
puluh lima tahun yang berambut putih panjang meriap
tanpa ikat kepala itu. Sudah beberapa kali Suto temukan
lelaki berbadan agak gemuk itu dalam sebuah
pertarungan. Suto selalu ikut campur karena demi
selamatkan lawan si lelaki bersenjata cambuk merah itu
karena tak rela melihat lelaki kejam itu hancurkan
lawannya.
Lelaki itu adalah Pangkar Soma, murid mendiang
Tengkuk Cadas yang punya jurus berbahaya bernama
jurus 'Hujan Petaka' itu. Pendekar Mabuk pernah melihat
beberapa korban jurus 'Hujan Petaka' yang rata-rata mati
dalam keadaan menjadi bubur busuk. Hujan darah yang
dapat didatangkan oleh kekuatan Pangkar Soma itu
mengandung racun yang membusukkan tulang dalam
waktu singkat. Jika seseorang tersiram hujan merah
kiriman Pangkar. Soma, maka tulang dalam raga orang
tersebut akan cepat menjadi busuk, lalu mati dalam
keadaan menjijikkan, kecuali jika orang itu
menggunakan ilmu lilin yang antiair, seperti jurus
'Balsam Tengkorak' yang dimiliki oleh si Kapas Mayat
dan pernah digunakan pada saat bertarung melawan
Pangkar Soma, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Orang ini memang berbahaya sekali!" pikir Suto.
Sanjaya itu?!"
Rupanya gadis itu pernah bentrok dengan Badra
Sanjaya beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat ketika
diserang oleh musuh lamanya, dan musuh lamanya itu
dibela oleh Badra Sanjaya.
Bruuuk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh
menyelubungi kepala Tenda Biru. Gadis itu berang dan
menghempaskan sesuatu yang menyelubungi kepalanya.
Ternyata baju hijau si Badra Sanjaya. Ia menjadi ragu
untuk membuang baju itu.
"Pakailah baju itu. Lumayan bisa untuk penangkal
masuk angin!" ujar Suto Sinting yang berada di balik
pohon tempat persembunyian Tenda Biru itu.
Tenda Biru buru-buru mengenakan setelah hatinya
membatin, "Ini baju si keparat itu! Ah, tapi persetan dulu
dengan siapa pemilik baju ini. Yang penting aku tidak
terlalu polos begini!"
Lalu, terdengar suara Suto Sinting berkata, "Sudah
apa belum?!"
"Celananya mana?!"
"Ah, gila kau! Sudah kuberi baju masih untung kau!
Masih mau minta celana segala?! Kau pikir aku ini
seekor sapi yang tidak perlu celana?!"
"Kalau begitu, jangan dekati aku! Bisa kubunuh kau
kalau mendekatiku!"
"Pakai apa kau mau membunuhku, lihatlah ke pohon
tadi... pedangmu tertinggal di sana!"
"Ambilkan!" sentak Tenda Biru.
"Ambillah sendiri! Untuk apa kuambilkan pedang itu
6
JUBAH biru si gadis berkulit mulus itu ternyata
tersangkut di atas pohon. Juga kutang dan pakaian
bawahnya ada di antara dedaunan dan ranting pohon.
Pada waktu badai sekilas dari cambukan Pangkar Soma,
pakaian itu ikut melayang terbang. Jika hanya sekadar
angin badai biasa, tak mungkin bisa membuat Tenda
Biru sepolos itu. Tentunya badai sekilas tadi adalah
badai gaib yang mampu melepasi kutang seorang
perempuan.
"Badai nakal...," ujar Suto dalam hatinya sambil
lanjutkan langkah menuju Bukit Kemesraan, sementara
itu Tenda Biru bergegas ke Jurang Lindu untuk temui si
Gila Tuak, sesuai rencana yang dikatakan Suto tadi.
ujung lidahnya.
Jantung bukan berdetak lagi tapi bergetar bagai mau
rontok. Dalam kebingungan itu, Suto Sinting tak bisa
mengambil keputusan harus bersikap bagaimana
terhadap ketiga gadis montok-montok itu. Ia hanya bisa
'ah, uh, ah, uh' saat didorong ke bawah pohon bersemak
rimbun. Rupanya ketiga gadis itu sudah tak sabar lagi
ingin mendapatkan kemesraan dari pria yang
dianggapnya sebagai Badra Sanjaya.
"Hmmm..., ehh... hei, hei... tunggu dulu!" kata Suto,
tapi tak dihiraukan oleh ketiga gadis itu. Mereka
semakin mengganas dan membuat Suto terpelanting
jatuh di rerumputan semak. Mereka justru cekikikan dan
saling menggumuli Suto dengan caranya sendiri-sendiri.
"Tidaaaak...!"
Weeerss...! Bruuusss.. !
Suto Sinting berteriak keras sambil lakukan sentakan
pada kedua tangan dan kakinya. Tiga wanita yang sudah
dibakar kobaran gairah bercumbu itu terpental
menyebar, saling terlempar tinggi-tinggi dan jatuh
berdebam di tempat yang berbeda.
"Kalian pikir aku ini kuda pejantan?!" sentak Suto
Sinting dengan berang. Tentu saja ketiga gadis yang
merasa gairahnya terganggu itu menjadi berang juga.
Paras Juwita yang tadi telah membuat Suto
kedodoran segera lakukan lompatan menerjang dengan
suara terlontar keras.
"Rupanya kau minta hajar dulu baru mau, hah?!
Heeeeaah...!"
ini!"
Pendekar Mabuk bicara dengan lantang dan mantap,
seolah-olah dia benar-benar membawa pusaka 'Jarum
Surga'. Tetapi para prajurit itu menertawakan dengan
cekikikan, bahkan ada yang tertawa dengan berpaling ke
arah lain. Sikap mereka itu membuat Suto Sinting
menjadi curiga.
"Jadi kalian tidak percaya kalau aku membawa
pusaka 'Jarum Surga' itu?! Apakah kalian perlu
melihatnya dulu?!"
Tawa para prajurit itu semakin ditahan karena
semakin terasa lucu bagi mereka, sehingga salah satu ada
yang terkikik-kikik hingga membungkukkan badan.
"Apa-apaan mereka ini?!" geram hati Pendekar
Mabuk. "Mereka boleh saja tidak percaya, tapi tak perlu
sampai terpingkal-pingkal seperti yang berambut
panjang diikat pita biru itu! Sebaiknya aku tak perlu
menantang pembuktian. Bisa bikin diriku terjebak
sendiri oleh omonganku! Kalau mereka benar-benar
ingin melihat pusaka itu ada di tanganku, wah... tentu
saja aku akan kewalahan mencari alasan untuk hindari
pembuktian itu!"
Maka seruan Pendekar Mabuk pun akhirnya berubah
menjadi sebuah ancaman halus.
"Kalau aku tak kalian izinkan masuk, maka aku akan
pulang dan pusaka itu akan kujual kepada pihak lain!"
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka, dan seraut wajah
yang sudah dikenal Suto pun tampak muncul dari balik
pintu gerbang. Wajah itu adalah wajah si Laras Wulung.
7
PENDEKAR MABUK dibawa oleh Laras Wulung ke
sebuah ruangan berlorong terang. Lorong terang itu
berlantai mengkilap warna putih kaca.
"Aku ingin bertemu ratu dan langsung bicara soal
pusaka 'Jarum Surga'," kata Suto sambil berjalan
didampingi pengawal kepercayaan sang Ratu.
Senyum tipis mekar di bibir mirip kuncup mawar itu.
Pendekar Mabuk meliriknya sebentar sambil membatin,
"Sepertinya ada yang lucu pada diriku. Apa yang
membuat mereka dan Laras Wulung ini menertawakan
diriku dengan sembunyi-sembunyi?!"
kebiasaan, Badra."
"Oh, hemmm... iya, aku hanya... hanya merasa kagum
yang kelewat batas terhadap kecantikanmu, Laras
Wulung," ujar Suto yang tadi sempat tertegun dan
menyimpan kecemasan. Takut tidak diakui sebagai
Badra Sanjaya. Kini ia biarkan Laras Wulung bersikap
seperti seorang ibu ingin memandikan anaknya yang
berusia tiga atau empat tahun.
Tapi Laras Wulung adalah seorang ibu yang nakal,
Karena sebelum anaknya menceburkan diri ke dalam
kolam pemandian, Laras Wulung sempat tersenyumsenyum sambil mempermainkan gairah sang bocah, ia
berlutut dan sesekali memandang ke atas, menatap wajah
pemilik kehangatan itu. Bibir dan lidahnya nakal
kembali setelah ia puas melihat si pemilik kehangatan
mengerang lirih ditikam rasa nikmat. Jari-jari tangan
Laras Wulung kian lincah mempermainkan sesuatu yang
membuat Suto Sinting terlonjak-lonjak dalam buaian
keindahan. Suto tak berani menolak, karena siapa tahu
memang beginilah kebiasaan Badra Sanjaya jika
berhadapan dengan pengawal kepercayaan sang Ratu ini.
Laras Wulung kian menunduk hingga akhirnya
mencium lutut Suto. Dipagutnya lutut itu, dan hati Suto
Sinting berdesir bagai diiris sembilu namun tak terasa
sakit. Yang dirasakan dari pagutan pada bagian lututnya
itu adalah siraman kenikmatan begitu indah dan
membuat gairahnya kian berkobar-kobar.
Lutut itu sesekali digigit kecil oleh Laras Wulung,
sesekali disapu dengan lidahnya dan dipagut kembali.
diucapkannya.
"Kenapa tidak kau lakukan!" sentak Laras Wulung
pada akhirnya. "Lakukanlah! Kau bukan Suto Sinting,
tapi Badra Sanjaya! Lakukanlah...!"
Suto Sinting bingung mendengar ucapan itu. Tapi
karena Laras Wulung mendesak dan membentak, nyaris
mengamuk, maka Suto Sinting pun akhirnya
memberikan apa yang diminta Laras Wulung dari Badra
Sanjaya.
"Kuberikan apa yang kau minta dari Badra Sanjaya!"
ucap batin Suto. "Barangkali inilah yang kau inginkan
dari Badra Sanjaya...!"
"Aaaahhh...!" teriakan panjang Laras Wulung adalah
puncak keindahan yang dicapainya dan diperoleh dari
Badra Sanjaya.
Perempuan itu akhirnya terkulai lemas di tepian
kolam. Suto Sinting masih tegar dan berdiri di
sampingnya dengan tegak, gagah, dan kekar.
"Kau luar biasa dari yang pernah kudapatkan darimu,
Badra Sanjaya!" ujar Laras Wulung sambil tergolek
pandangi pria yang berdiri di sampingnya.
"Mengapa kau sebut nama Suto Sinting?" pancing
Suto karena kecurigaannya semakin besar.
"Apakah aku tadi menyebut nama Suto Sinting?!"
"Ya, kau menyebutnya!"
"Oh, mungkin karena aku tahu kau bukan Badra
Sanjaya, melainkan Pendekar Mabuk. Kau adalah Suto
Sinting!"
"Aku Badra Sanjaya!" sentak Suto yang terkejut
"Kekuatan...?!"
"Kekuatanku akan susut dan bisa menjadi lenyap jika
gairahku sudah telanjur timbul tapi tidak mendapat
pelampiasan. Jika gairahku tidak pernah timbul, walau
tak mendapatkan kemesraan aku tak akan kehilangan
tenaga. Ini disebabkan karena aku memiliki ilmu 'Titis
Panewu' warisan dari nenekku. Jika gairah sedang
kambuh, tak dapat obatnya, maka ilmu 'Titis Panewu'
akan menyerap tenaga dan kekuatan batinku."
"Apa itu ilmu 'Titis Panewu'?"
"Setiap anak yang kulahirkan secara dengan
sendirinya akan memiliki seluruh ilmu yang ada
padaku."
"Wah, hebat juga ilmu itu?!" puji Suto.
"Karena itulah, aku butuh obat untuk gairahku."
"Apakah kau bergairah lagi?"
Laras Wulung anggukkan kepala dengan malu-malu.
"Aku rindu sekali kepada Badra Sanjaya, dan kebetulan
kau hadir membawa raganya, maka gairahku meletupletup sejak tadi. Tolonglah aku sekali ini saja, setelah itu
kita lari dari sini sambil membawa tabung penjara
sukmanya Badra Sanjaya!"
Bingung juga menghadapi masalah ini. Tapi akhirnya
Suto Sinting berkata, "Aku tidak bisa melayanimu. Tapi
kalau kau mau mengambil miliknya Badra Sanjaya,
ambillah. Aku hanya sekadar membantu kalian!"
"Ooh...!" Laras Wulung segera memeluk raga Badra
Sanjaya dan hanyut dalam ayunan gelombang cinta yang
luar biasa dahsyatnya, tidak seperti saat-saat
sebelumnya.
Pencurian tabung penjara sukma segera dilakukan
Laras Wulung sesuai rencana. Pendekar Mabuk hanya
membayang-bayangi di luar kamar Nyai Ratu, dan Laras
Wulung sendiri yang masuk ke dalam kamar tersebut.
Ketika ia berhasil membawa tabung beling berisi asap
ungu samar-samar, tiba-tiba langkahnya kepergok oleh
seorang pengawal lain yang bernama Kumbarini.
"Apa yang kau bawa itu, Laras Wulung?!" tegur
Kumbarini dengan nada curiga.
"Nyai Ratu menyuruhku mengambil tabung penjara
sukma ini!" kata Laras Wulung dengan tenang.
"Nyai Ratu sedang bersemadi. Tak mungkin ia
menyuruhmu!"
"Mengapa kau tak percaya padaku, Kumbarini?!"
"Karena aku tahu tabung itu adalah tabung penjara
sukma Badra Sanjaya. Aku tahu kau mencintai dia,
karena aku pernah mendengar percakapanmu di balik
kerimbunan bambu di taman keputrian itu. Kalian
merencanakan untuk kabur dari sini. Kau yang
menyuruh Badra Sanjaya melarikan diri. Kau pula yang
menunjukkan pintu rahasia untuk meloloskan diri. Maka
sekarang kutahu kau mencuri tabung itu untuk
membebaskan sukma si Badra Sanjaya!" ujar perempuan
berambut panjang dengan kenakan jubah biru bola-bola
kuning.
"Kembalikan tabung itu, Laras Wulung!"
"Jika kau tahu tentang rencana itu, mengapa kau tidak
melaporkannya kepada Nyai Ratu?!"
Weess...! Pyaaar...!
Wuuutt...! Asap ungu tipis itu menyebar dan lenyap
tersapu angin. Semua pengepung, termasuk Kumbarini
terpekik tegang melihat tabung itu telah pecah.
"Bunuh dia! Jangan beri kesempatan hidup lagi!"
teriak Kumbarini sambil menunjuk Laras Wulung.
Clap, clap, clap, clap...!
Laras Wulung dihujani sinar maut yang dapat
hancurkan tubuhnya. Pada saat kritis itu, Pendekar
Mabuk segera melesat menyambar tubuh Laras Wulung
yang sedang melompat hindari pukulan maut lawanlawannya
Zlaaap...! Weees...!
Tahu-tahu Laras Wulung sudah berada di atas tembok
benteng dalam keadaan dipondong seorang lelaki
berpakaian serba hijau. Kumbarini dan yang lainnya
terbelalak bengong.
"Kejar mereka!" teriak Kumbarini.
"Turunkan aku! Akan kulepaskan jurus penghancur
istana ini!" kata Laras Wulung. Ia segera diturunkan dari
pondongan Suto. Lalu kedua tangannya segera
berkelebat bagai menari cepat, tahu-tahu menyentak ke
depan. Wuuuk...! Mata dari kedua telapak tangannya
keluar sinar ungu yang menyebar ke berbagai penjuru.
Wuuuus...!
Blegaaarrr.... Bhaaaangg...!
Zlaaaap...! Suto Sinting menyambar tubuh Laras
Wulung ketika nyala sinar ungu berubah menjadi api
besar yang menyambar ke mana-mana. Dengan
SELESAI
Segera terbit!!!
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel