Episode 12 menceritakan tentang perkelahian antara Thio Su Kiat melawan Janaswamy di Lembah Pualam Hijau. Perkelahian berlangsung sengit dengan Janaswamy yang memiliki kekuatan besar dan ilmu bela diri yang aneh. Sementara itu, Kiang Liong memanggil beberapa tokoh untuk menambah penjagaan di lembah. Perkelahian masih berlanjut dengan Su Kiat yang menggunakan berbagai ilmu untuk mengimbangi Janaswamy.
50%(2)50% menganggap dokumen ini bermanfaat (2 suara)
550 tayangan45 halaman
Episode 12 menceritakan tentang perkelahian antara Thio Su Kiat melawan Janaswamy di Lembah Pualam Hijau. Perkelahian berlangsung sengit dengan Janaswamy yang memiliki kekuatan besar dan ilmu bela diri yang aneh. Sementara itu, Kiang Liong memanggil beberapa tokoh untuk menambah penjagaan di lembah. Perkelahian masih berlanjut dengan Su Kiat yang menggunakan berbagai ilmu untuk mengimbangi Janaswamy.
Episode 12 menceritakan tentang perkelahian antara Thio Su Kiat melawan Janaswamy di Lembah Pualam Hijau. Perkelahian berlangsung sengit dengan Janaswamy yang memiliki kekuatan besar dan ilmu bela diri yang aneh. Sementara itu, Kiang Liong memanggil beberapa tokoh untuk menambah penjagaan di lembah. Perkelahian masih berlanjut dengan Su Kiat yang menggunakan berbagai ilmu untuk mengimbangi Janaswamy.
Episode 12 menceritakan tentang perkelahian antara Thio Su Kiat melawan Janaswamy di Lembah Pualam Hijau. Perkelahian berlangsung sengit dengan Janaswamy yang memiliki kekuatan besar dan ilmu bela diri yang aneh. Sementara itu, Kiang Liong memanggil beberapa tokoh untuk menambah penjagaan di lembah. Perkelahian masih berlanjut dengan Su Kiat yang menggunakan berbagai ilmu untuk mengimbangi Janaswamy.
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 45
Kisah Para Naga di Pusaran Badai III
Tarian Liar Naga Sakti
Oleh : Marshal
Diupload di indozone Ebook by Dewi KZ http://dewikz.com
Episode 12: Kembalinya Lembah Pualam Hijau
Dengan terkekeh-kekeh aneh dia menyambut serangan Su Kiat: "Dukkkkk" dan bukannya Janaswamy yang kaget, tetapi Su Kiat yang kaget. Sewaktu di Thian Liong Pang dahulu, dia merasa masih lebih kuat dari Janawasmy atau setidaknya seimbang, karena Janaswamy yang sering nampak seperti ugal-ugalan dan tidak pernah serius itu. Tetapi sekarang, setelah dia maju demikian jauh di Lembah Pualam Hijau, heran benar karena kekuatan Janaswamy justru jika tidak salah, berada di atas kekuatannya sekarang ini. Sementara itu, Janaswamy tidak begitu perduli dengan siapa menang dan siapa kalah melawan Su Kiat. Kedatangannya ke Lembah Pualam Hijau sebetulnya tidak jahat-jahat amat. Karena memang, niat utamanya hanya melihat-lihat dan mengganggu isi Lembah Pualam Hijau. Dia tidak memiliki niat yang sama dengan Naga Pattynam ataupun Lamkiong Sek dan Wisanggeni yang telah melatih dirinya sampai mengalami kemajuan pesat seperti dirinya sekarang. Tidak. Dia tidaklah seambisius ketiga kakek itu. Ganjalannya dengan Lembah Pualam Hijau lebih sebagai urusan orang-orang lain yang kebetulan dekat atau menjadi kawannya. Tetapi, setelah berada di Lembah Pualam Hijau dan melihat-lihat isi Lembah yang sangat terkenal dan populer itu, timbul niatnya untuk mengambil "kenang-kenangan" dari sana. "Jalan-jalan" Janawasmy ke Lembah Pualam Hijau telah membawa dirinya menuju kamar kerja yang dikhususkan bagi Duta Agung. Dan melihat kamar khusus itu, selera "mengambil" kenang-kenangan Janawasmy dari Lembah Pualam Hijau tertuju kesana. Entah apa yang ada dalam pikirannya pada saat itu untuk diambil nanti sebagai kenang- kenangan. Tetapi kini, dia dihalangi oleh Thio Su Kiat. Orang misterius yang dikenalnya sebagai murid Pangcu Thian Liong Pang yang terlalu serius dan tidak pernah mau bergaul dengan warga Thian Liong Pang. Kesannya terhadap Su Kiat tidak terlalu manis, meski juga tidaklah terlalu mengganggunya. Mereka memang belum pernah bentrok secara langsung. Belum pernah berhadap-hadapan dalam arena perkelahian. Fakta bahwa Su Kiat mengkhianati Thian Liong Pang tidaklah terlalu mengganggu Janaswamy. "Bukan urusanku" pikirnya. Tetapi, sekarang dia ditandingi oleh Su Kiat dan dihalangi memasuki kamar kerja Duta Agung. Sesuatu yang baginya di hari depan akan disombong-sombongkannya. Maka timbul rasa kesalnya karena dihalangi: "Hmmmmm, engkau si pengkhianat Thian Liong Pang rupanya" ujarnya sambil terkekeh-kekeh mengetahui dia masih lebih menang dibandingkan lawannya itu. Hal yang menimbulkan rasa senang baginya, sekaligus menimbulkan harapan untuk "mengambil" sesuatu dari kamar kerja Duta Agung. Tetapi Su Kiat sama sekali tidak terpancing dengan ocehan Janaswamy. Dengan tenang dan kalem dia berkata: "Perbuatan saudara Janaswamy bukannya perbuatan orang rendah? Menyusup dan berniat mencuri serta mengotori rumah orang"? "Siapa mau mencuri? Aku paling-paling mengambil sebuah benda kenang-kenangan dari ruangan si Jago Nomor 1 di Tionggoan ....... hehehehe ....." jawab Janaswamy yang memang dikenal angin-anginan, malah sering ngoceh dengan logika yang tidak tersusun dengan rapih. Orang lain menduga dia sedikit gila ...... Tapi, begitulah Janaswamy. Dia tidak terganggu dengan tuduhan apapun yang dilontarkan kepadanya, kesenangan dan keisengannya adalah karakternya. "Mengambil secara diam-diam, apa bedanya dengan mencuri"? bertanya Su Kiat masih tetap tenang dalam sikapnya. Meski dia sempat kaget karena Janaswamy telah maju begitu pesat kepandaiannya saat itu. "Kalau mencuri, kalian tidak akan sempat tahu saat aku mengambilnya. Tapi kalau mengambil, jelas beda. Bukankah pada saat ini kalian-kalian sebagai penghuni Lembah menyaksikan ....... itu bedanya ...... hehehe ...." kembali Janaswamy menjawab seenak perutnya sendiri. "Hmmmmm sejak dahulu engkau memang sudah kelihatan sedikit kurang waras ....." tanda Thio Su Kiat. "Baguslah jika engkau tahu, karena sekarang nampaknya sudah lebih kurang waras lagi dibandingkan dahulu ........ hahahaha" benar-benar Su Kiat mati kutu menghadapi gaya bercakap Janaswamy yang memang kacau balau. "Berbicara denganmu tiada manfaatnya sama sekali. Lebih baik silahkan saudara keluar dari gedung ini dan kembalilah ke ruangan dalam untuk menjadi tamu kami yang baik" bujuk Su Kiat akhirnya. "Aku hanya ingin melihat-lihat kedalam sana, paling-paling ngambil sebuah benda buat kenang-kenangan ....." Janaswamy berkata sambil menunjuk ruang kerja Duta Agung, diiringi dengan pandang matanya yang seperti kurang waras itu. "Jika begitu, maafkan jika kami dengan sangat terpaksa mengusirmu sebagai penyusup yang tidak punya sopan santun dari Lembah Pualam Hijau kami ini" Thio Su Kiat terpaksa berkata keras. "Apakah kalian memiliki cukup kemampuan untuk mengusirku pergi dari sini ...."? Janaswamy menantang "Lembah Pualam Hijau pasti mampu mengusir orang usil sepertimu ..." Kiang Sian Cu yang berdiam diri sejak masuknya Janaswamy akhirnya bersuara. "Hahaha Nyonya cantik, engkau juga akan mengusirku pergi ...."? Janaswamy semakin melantur dan menantang orang lain. Dan Thio Su Kiat melihat Janaswamy semakin menjadi-jadi, setelah saling melirik dan menganggukkan kepada Kiang Sian Cu akhirnya memutuskan mendesak Janaswamy untuk pergi dengan kekerasan. "Pergi kau ......" sekali lagi Su Kiat menyerang dan kini dengan menggunakan ilmu-ilmu ampuh baik yang dipelajari dari Kiang Tek Hong gurunya maupun yang dipelajari belakangan di Lembah Pualam Hijau. Sebagaimana diketahui, Su Kiat hanya diajari ilmu-ilmu Lembah Pualam Hijau oleh Tek Hong gurunya, dan tidak diajari ilmu-ilmu dari aliran lainnya. Namun, ilmu-ilmu rahasia temuan dan ciptaan gurunya termasuk ilmu rahasia yang ditemukan gurunya terakhir, juga diajarkan kepadanya. Karena itu, Su Kiat mampu bersilat dengan menggunakan Giok Ceng Chap Sha Sin Kun, sebuah ilmu wajib bagi para penghuni Lembah Pualam Hijau. Kekuatan Giok Ceng Sinkangnya juga sudah mau jauh dan sudah memadai menjadi salah satu tokoh utama Lembah Pualam Hijau. Meskipun Su Kiat masih belum menamatkan latihannya dengan Giok Ceng Sinkang dalam godokan Ranjang Pualam Hijau. Hal yang mengherankan dirinya, karena dia bukan bermarga "Kiang", tetapi diijinkan mencoba Ranjang Pusaka itu. Tetapi dengan semua kemajuannya tersebut, menghadapi Janaswamy saat ini dia masih belum sanggup mengendalikan. Malahan dia terkesan kalah seusap dengan Janaswamy yang menghadapinya secara santai, bergerak cepat dan berkekuatan besar itu. Untungnya, penguasaan ilmunya memang lebih murni dan jelas lebih teguh dan kokoh dibanding Janaswamy yang ilmunya sudah bercampur aduk. Selain itu, yang mengherankannya adala, dia merasa betapa kekuatan iweekang Janaswamy sekarang ini selain terasa sudah teramat kuat tetapi sekaligus juga berhawa sangat aneh dan magis. Entah apa sebabnya. Maka terciptalah arena perkelahian kedua di ruang yang sebenarnya tidak cukup luas di depan kamar kerja Duta Agung. Satu-satunya orang yang masih menganggur dan mengawasi seluruh arena pertempuran dan menjaga kamar kerja Duta Agung adalah Kiang Sian Cu. Sementara pertempuran berjalan dengan seru di dua arena sekaligus, dengan Barisan 6 Pedang masih tetap kokoh dan agak lebih santai dibandingkan ketiga lawannya yang juga bergabung. Tetapi sudah jelas bahwa nampaknya pertempuran mereka bakalan berjalan panjang. Sementara di arena kedua, Janaswamy yang bersilat dengan gaya ular dengan sudah bervariasi yang sangat beraneka ragam dan penuh hawa sesat serta hawa sihir dihadapi oleh gabungan Giok Ceng Sinkang dengan ilmu-ilmu andalan lain Thio Su Kiat. Harus dikatakan, kedudukan meski nampak seimbang, tetapi lebih berat yang dialami oleh Thio Su Kiat. Untung saja dia telah menempa diri habis-habisan selama lebih setahun terakhir dan membuatnya jadi lebih tangguh dan kokoh. Pada kondisi pertempuran seperti inilah di dalam ruangan resepsi masuk Kiang Liong yang kemudian memanggil Tham Beng Kui, Kiang Sun Nio dan Tik Hong Peng untuk meninggalkan ruangan tersebut. Kiang Liong bermaksud menambah penjagaan di beberapa titik tertentu di dalam Lembah Pualam Hijau, dan karena itu dia terlebih dahulu ke ruang resepsi memanggil orang baru kemudian ke Gedung tempat kerja tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau. Seandainya Kiang Liong langsung menuju gedung tersebut, mungkin keadaan akan sedikit berubah. Tapi tidak begitu yang terjadi. Beberapa saat sebelum Kiang Liong, dkk memasuki gedung tersebut, pertempuran antara Thio Su Kiat menghadapi Janaswamy telah semakin sengit. Untuk mengimbangi lawan, Su Kiat telah memainkan Kui In Sin Ciang (Pukulan sakti bayangan setan), yang diwarisi dari suhunya. Ilmu ini adalah ilmu-ilmu rahasia yang telah dikabarkan punah tetapi mampu ditemukan kembali oleh Kiang Tek Hong dan kemudian menggubahnya kembali. Pukulan-pukulannya sangat bertenaga, cepat dan membingungkan. Tetapi Janaswamy masih tetap sanggup bertahan, terutama dengan cara dan gayanya yang aneh dan penuh hawa magis. Gerakan-gerakan selicin ular diimbangi dengan kekuatan yang sangat besar dan masih ditambah dengan hawa magis yang mempengaruhi perasaan orang. Inilah yang menyulitkan Su Kiat, dan karena itu ilmu Kui In Sin Ciang hanya sanggup membuatnya mengimbangi Janaswamy. Tetapi, itu tidak dalam waktu yang lama. Karena Janaswamy beberapa saat kemudian mampu mempelajari ilmu tersebut dan mulai menutup variasi gerakan jurus-jurusnya. Dan pada gerakan-gerakan selanjutnya, Su Kiat dengan terpaksa harus berganti kembali dengan ilmu lainnya. Karena pertimbangan hanya dengan kemurnian dan juga kekokohan baru dapat mengimbangi lawan, maka Su Kiat memutuskan menggunakan ilmu-ilmu Lembah Pualam Hijau. Maka diapun mengembangkan Soan Hong Sin Ciang, sebuah ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat membadai dalam bertahan dan terutama menyerang. Dan benar saja, beberapa saat dia sanggup menahan dan membendung serangan Janaswamy, meskipun tidak mampu mendesak lebih jauh. Akibatnya, pertarungan keduanya menjadi panjang. Sementara pertempuran di arena yang satunya lagi semakin menegaskan betapa Barisan 6 Pedang memang memiliki nama besar dengan alasan yang tepat. Menghadapi 3 tokoh Lhama yang sakti, mereka mampu bertahan rapih dan menyerang lebih tajam dan lebih sering. Kerjasama mereka memang jauh lebih rapih dan saling mengisi, inilah kunci kekuatan mereka. Bukan hanya ampuh melawan 1 atau 2 orang, tetapi bahkan sanggup menahan gempuran banyak orang sekaligus. Lama kelamaan, kondisi ke-tiga Lhama yang melawan Barisan 6 Pedang mulai lebih banyak bertahan dibandingkan awal pertempuran mereka. Bahkan, belakangan jubah lengan salah seorang Lhama tersebut telah tertebas dan untung tidak memakan daging hidup sehingga mengakibatkan luka. Dan lebih untung lagi, Barisan 6 Pedang tidak mencecarnya untuk mengalahkan atau menjatuhkannya, tetapi memberinya peringatan supaya mundur dari tempat itu. Sayangnya, ketiga Lhama itu keras kepala dan memilih untuk terus dan terus menyerang. Akibatnya, dengan cepat mereka kini jatuh dalam kesulitan karena kerja-sama bertahan dan menyerang dari Barisan 6 Pedang telah menemukan momentum yang tepat. Sewaktu-waktu ke-tiga Lhama tersebut dapat terluka di bawah berkesiutan pedang dan hawa pedang yang bertebaran di arena. Dan dalam kondisi seperti itulah, tiba-tiba terdengar suara dengusan: "Hmmmmmm ....." Suara dengusan itu terdengar berdentang di telinga batin orang. Dan dari semua yang di arena dan sekitarnya, adalah Kiang Sian Cu yang tersentak keras. Hal ini disebabkan orang lain sedang mengerahkan tenaga saktinya, sementara dia sendirian yang masih menganggur dan tegang memperhatikan dua arena pertempuran. Tetapi, dasar tokoh sakti, hanya sepersekian detik dia telah menguasai dirinya, meski kaget karena sadar bahwa seorang tokoh hebat sedang berada di sekitar lokasi tersebut. Suara yang berdentang lepas dan menggantung adalah tanda seorang tokoh hebat. Tidak banyak tokoh yang sanggup melakukannya, bahkan Sian Cu sendiri masih belum sanggup mencapai tataran itu. Dan dia tidak perlu menunggu lama, karena tiba-tiba dia melihat seorang Lhama yang nampak berusia sudah lanjut berjalan bagaikan terbang menuju ke pintu masuk kamar kerja Duta Agung. Melihat keadaan tersebut, Kiang Sian Cu telah menggeser posisinya untuk berada tepat di pintu masuk ruangan dan menunggu kedatangan Lhama tua tersebut. Bahkan Sian Cu masih sempat bertanya: "Hmmmmm, siapa gerangan locianpwee ...."? Tetapi tokoh tua itu menjawab, sebaliknya hanya mengeluarkan suara dengusan di hidung dan terus melangkah ke arah Kiang Sian Cu. Melihat gelagat yang kurang beres, Sian Cu maju beberapa langkah ke depan dan bersiap. Bersamaan dengan itu, Lhama tua yang datang belakangan mengibaskan tangannya ke arah Kiang Sian Cu yang dengan cepat memapak pukulan tersebut. Dan akibatnya: "Dukkkkkk .......... " "Aiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiihhhhhhhh" Kiang Sian Cu terdorong sampai 4 langkah ke belakang. Tetapi, terdengar tokoh pendatang baru itu bergumam, tetapi mulutnya sama sekali tidak bergerak: "Ecccccccchhhhhhh, engkau hebat juga ....." Dan bersamaan dengan itu, pukulan lebih berat kembali dikerahkannya dan dikebaskan kearah Kiang Sian Cu. Paham bahwa pendatang baru ini adalah tokoh tua yang sakti mandraguna, tidak ragu-ragu Kiang Sian Cu telah mengerahkan segenap kekuatannya yang dihimpun selama puluhan tahun. Sayang memang, dia terlambat menyadari kesaktian tokoh pendatang ini. Jika dia tahu siapa yang datang, maka sejak siang-siang dia telah bersiap. Sekarang, baru pada pukulan terakhir si pendatang dia mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi itupun masih sedikit terlambat. Dan tidak lama kemudian, kembali terjadi benturan hebat, dan kali ini diiringi jeritan Kiang Sian Cu: "Dukkkkkkkkkkkkkkkk ......." "Aaaaaaaaaacccccccccccchhhhhhhhhhh ....." Kiang Sian Cu terdorong kembali sampai dua-tiga langkah untuk kemudian bersandar di pintu masuk. Tetapi, kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya. Badannya menggelosoh jatuh ke bawah sementara dari mulutnya nampak merembes darah tetapi berusaha ditahannya. Dengan cepat dia berusaha duduk meluruskan nafas dan mengumpulkan kekuatannya, tetapi segera hatinya mencelos. Dia tak mampu mengumpulkan tenaganya dan tidak lama kemudian pingsan. Sesaat setelah terdengar teriakan kesakitan Sian Cu, Thio Su Kiat yang sadar bahaya melupakan Janaswamy dan datang menerjang ke arah si pendatang baru, seorang tokoh Lhama tua. Tetapi, sayang dia kurang memperhitungkan serangan Janaswamy yang juga sedang membadai kearahnya sendiri. Demi menolong Sian Cu, dia rela melepaskan serangan ke arah si Lhama tua dengan maksud agar sang Lhama tidak melanjutkan serangan ke arah Sian Cu yang sudah terluka. Dan tiba-tiba terdengar suara lainnya: "Bukkkkkkkkkkkk ........" Thio Su Kiat dengan telak terkena pukulan Janaswamy, dan terpukul rubuh sambil muntah darah. Hanya saja, jika Sian Cu masih sempat mencoba bersamadhi, Su Kiat sadar bahwa tenaganya nyaris habis dan karena itu dia tidak berusaha untuk melakukan aktifitas apapun. Di sisi lain, tiba-tiba Lhama tua yang baru datang berkelabat ke atas pintu, dan begitu turun, di tangannya tergenggam sebilah pedang pualam hijau yang di masing-masing sisinya bertuliskan: Lembah Pualam Hijau. Pedang ini biasanya merupakan pertanda kehadiran Duta Agung Lembah Pualam Hijau, baik di dalam Lembah ataupun jika sedang bertamu dan menginap di suatu tempa di luar sana. Seperti ketika Ceng Liong menginap di Pesanggrahan Bu tong Pay beberapa waktu lalu, maka di atas pintu kamarnya ditempatkan Pedang Pualam Hijau itu. Dan tempat tersebut akan dijaga ketat oleh Barisan 6 Pedang. Begitu mengambil Pedang pertanda tersebut, Lhama tua itu kemudian berkelabat ke arah Barisan 6 Pedang yang sekarang telah meninggalkan 3 Lhama lainnya dan menjaga Su Kiat serta Sian Cu. Melihat posisi Barisan tersebut, sang Lhama merenung sejenak dan akhirnya sambil menarik nafas berkata: "Sampaikan kepada Jago Nomor 1 di Tionggoan, Pedang ini akan dikembalikan jika dia memiliki cukup keberanian mencariku kelak. Dia harus mempertanggungjawabkan keberanian dan kemampuannya. Jika tidak, maka Pedang ini akan kusimpan untuk selama-lamanya. Hmmmmm, Jago Nomor 1 ........." Setelah berkata demikian, dengan hanya melirik ke arah Janaswamy, dia segera memerintah 3 Lhama lainnya. Dan sekejap kemudian merekapun menghilang. Dan Janaswamypun berlaku serupa. Di salah satu pintu ruangan lainnya, dia mengambil sebuah hiasan pintu, sebuah Pualam Hijau bercahaya cemerlang, dan setelahnya meninggalkan pesan yang sama: "Benda ini kenang-kenangan buatku Janaswamy ...... Menyenangkan jika benda ini menjadi tanda mata kehadiranku di Lembah Pualam Hijau ....." Dan Janaswamypun berkelabat pergi. Belum beberapa lama, masuklah Kiang Liong dan rombongannya dan mendapati jika Kiang Sian Cu, Thio Su Kiat dan dua orang dari 6 Barisan Pedang sedang terluka. Adalah luka Kiang Sian Cu yang paling parah, baru Thio Su Kiat, sementara luka 2 orang dari Barisan 6 Pedang terluka luar belaka, hasil pertempuran terakhir dengan 3 Lhama yang dibantu Lhama tua yang datang belakangan sebelum mereka merat. Bukan main marahnya semua pendatang begitu tahu apa yang terjadi. Bukan. Bukan terutama diambil perginya Pedang Pualam Hijau, pedang pertanda kehadiran dan kedudukan Duta Agung. Bukan pula diambilnya hiasan Pualam Hijau, yang sebetulnya adalah "Pusaka Pualam Hijau" yang punya khasiat mengobati luka-luka luar jika direndam dengan air. Bukan semua itu. Benda-benda itu dapatlah diambil atau direbut kembali. Tetapi, terlukanya 2 tokoh Lembah Pualam Hijau dan harga diri Lembah Pualam Hijau yang memberatkan banyak orang. Inilah yang merupakan sumber kegeraman tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau. Memang benar, mereka semua sedih dengan terlukanya Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat. Terutama kondisi Kiang Sian Cu yang sangat parah, kondisi terakhirnya bahkan masih belum diketahui. Selain karena Duta Agung masih dalam pemulihan, juga 3 tokoh tua lainnya sedang terluka atau terguncang, sementara tokoh lainnya sedang di pesta pernikahan. Sungguh keadaan yang membuat banyak orang marah, geram, gelisah yang terbalut secara bersamaan. Dan untungnya, terlukanya Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat berselang tidak lama dengan selesainya upaya Duta Agung Kiang Ceng Liong untuk mentralisasi kondisi tubuhnya yang kelebihan tenaga. Kondisi yang diperolehnya untuk menyambut dan menggiring kekuatan 3 orang kakek Sakti yang menyusup masuk ke dalam Lembah Pualam Hijau sehari sebelumnya. Inilah yang membuat akhirnya Kiang Liong, Kiang Hong, Tan Bi Hiong dan tokoh Lembah Pualam Hijau lainnya bernafas lega. Ceng Liong dengan cepat memeriksa keadaan Kiang Sian Cu. Dia mengernyitkan kening dan beberapa saat kemudian mengalirkan tenaga dalamnya kepada Kiang Sian Cu. Hanya beberapa saat untuk kemudian berkata: "Paman Liong, tolong papah Bibi Sian Cu ke Ranjang Pualam Hijau. Mudah-mudahan kondisinya masih bisa bertahan dengan bantuan tenaga penyembuh Giok Ceng tadi ..." "Baik Duta Agung ......" Dengan cepat Kiang Liong memapah tubuh kakak perempuannya itu dan kemudian berkelabat lenyap. Sepeninggalnya, tidak lama kemudian muncul Kiang Hong dan Tan Bi Hiong, tetapi mereka tidak dapat berkata sesuatupun melihat Ceng Liong sedang membantu Su Kiat. Dan benar saja, beberapa saat kemudian Su Kiatpun sadar. Kondisinya memang berbeda dengan Sian Cu. "Duta Agung, terima kasih ......." "Su Kiat, sudahlah ....... istirahatlah" Ceng Liong kemudian berkata lebih jauh: "Su Kiat, setelah hari ini, selama setahun kuwajibkan engkau melatih diri di Ranjang Pualam Hijau ...." "Duta Agung ....." Hampir bersamaan, Thio Su Kiat, Kiang Kong dan Tan Bi Hiong berseru bersamaan. Maklum, keadaan mereka akhir- akhir ini memang banyak membingungkan. Termasuk kondisi dan posisi Su Kiat. Thio Su Kiat adalah orang pertama yang "bukan marga Kiang" dan bukan keluarga dekat (suami atau istri marga Kiang) yang menjadi Duta Hukum. Hanya saja, tidak ada protes dari Kiang Sin Liong, Kiang Cun Le dan tokoh tua Lembah Pualam Hijau lainnya. Ceng Liong maklum akan keadaan ini. Dia melihat tanda tanya besar dari sinar mata ibunya, ayahnya dan juga Su Kiat. "Hari ini, biarlah kuumumkan bahwa Thio Su Kiat adalah Kiang Su Kiat" "Duta Agung, apa ...... apa maksudmu ...."? Su Kiat terbata-bata bertanya. Bingung. "Kiang Su Kiat, Duta Hukum, kepastian soal keturunanmu sudah kuketahui sejak lama. Suhu, kong-kong, dan semua paman kakek telah mengetahui kondisimu. Dan karena itu setahun terhitung sejak esok hari engkau harus berlatih di ranjang Pualam Hijau, harap tidak mengecewakan harapan leluhur" "Siap Duta Agung ........" Thio Su Kiat atau kini Kiang Su Kiat nampak berlutut sambil mengucap terima kasih untuk kemudian berlalu dari ruangan. "Ayah, Ibu, harap menghantarkan Kiang Su Kiat ke Ranjang Pualam Hijau. Biarlah nanti kong-kong yang menjelaskan semuanya. Karena keadaan darurat hari ini, terpaksa tindakan dan keputusan ini kuambil secara cepat ....." Dan tidak lama kemudian, Kiang Hong dan Tan Bi Hiong menyusul Kiang Su Kiat untuk diantarkan ke tempat Duta Agung yang kini di jaga Kiang Cun Le dan Barisan 6 Pedang. Sementara Ceng Liong sebagaimana dikisahkan di depan, tampil di pesta nikah untuk memisahkan Tek Hoat dan Hauw Lam. Mendapati Hauw Lam terancam bahaya maut, Ceng Liong turun tangan. Dan kondisi itu menambah kegeraman dalam hatinya, karena begitu ruwet masalah yang dihadapi Lembah Pualam Hijau akhir-akhir ini. Dan akhirnya, diapun memutuskan Lembah Pualam Hijau akan kembali berkelana. -0o~Marshall~DewiKZ~0o-
"Cuwi sekalian, hari ini Lembah Pualam Hijau berpesta untuk
pernikahan Saudara Nenggala dan Kiang Li Hwa ...... untuk itu Lembah Pualam Hijau menyampaikan terima kasih atas kunjungan cuwi sekalian. Sekaligus, sekali lagi seluruh keluarga Lembah Pualam Hijau menyampaikan selamat bagi saudara Nenggala dan Kiang Li Hwa ....." Demikian Kiang Ceng Liong pada akhirnya menyampaikan ucapan selamat dan sekaligus ucapan terima kasih kepada semua tamunya. Siapapun yang mengenal Kiang Ceng Liong dari dekat, pastilah bisa mengetahui jika Duta Agung muda ini sedang menahan "hatinya". "Jika kami selaku Duta Agung Lembah Pualam Hijau nampak seperti kurang hormat kepada cuwi sekalian, harap dimaafkan. Karena beberapa waktu belakangan Lembah Pualam Hijau mendapatkan serangan gelap dan mengharuskan beberapa tokohnya untuk mengumpulkan kembali semangat dan kekuatannya. Bahkan dalam acara hari inipun, kita tahu bersama orang-orang tak bertanggungjawab itu kembali bekerja secara menggelap. Karena itu, kami mohon maaf sekali lagi kepada para tamu dan uncangan, juga kepada kedua mempelai yang berbahagia. Maafkan jika Lembah Pualam Hijau terkesan menjadi tuan rumah yang kurang ramah ....." jelas sekali Ceng Liong sedang "kesal" dan bahkan "marah" dengan keadaan terakhir Lembah Pualam Hijau. Sebetulnya dia bermaksud untuk memberikan "penghormatan" dan hari "istimewa" buat keluarga paman kakeknya - Kiang Tek Hong yang cukup lama mengalami persoalan yang luar biasa beratnya. Apa daya, pernikahan Kiang Li Hwa bibinya, anak Kiang Tek Hong justru dimanfaatkan musuh-musuh Lembah Pualam Hijau sebagai ajang untuk mengacau dan menyusup. Dan para penyusup itu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, sebaliknya tokoh-tokoh hebat dunia persilatan dewasa ini. Dan fakta ini sungguh bikin gusar Duta Agung muda ini. "Duta Agung, semua persoalan yang terjadi belakangan ini bagaimanapun tidak dapat dipersalahkan kepada Lembah Pualam Hijau. Kita paham belaka jika kelompok perusuh itu memang memiliki ikatan dendam dengan kita sekalian. Karena itu, masalah disini, sama dengan di Bu Tong Pay, adalah masalah kita bersama" terdengar seorang tokoh tua berbicara dengan aksen dan lafal yang agak asing dan aneh, meskipun lancar dan dimengerti semua orang. Yang berbicara adalah Wali Nenggala, guru dan kakeknya sekaligus yang bernama Jayeng Reksa, Bintang Sakti Membara. "Betul Duta Agung, masalah hari ini bukannya masalah yang berdiri sendiri. Dan nampaknya, kita semua akan selalu mengalami gangguan serupa selama kita tidak segera menyambut tantangan dan penghinaan yang mereka buat selama ini. Termasuk kejadian yang menimpa Bu Tong Pay dan Kaypang beberapa waktu lalu ......" terdengar Souw Kwi Song yang mewakili Siauw Lim Sie bersuara. Setelahnya suasana hening sejenak, hanya terdengar semilir angin yang bertiup kencang. Keheningan makin terasa karena mereka sedang berdiri di ruang terbuka. Sampai akhirnya terdengar suara Liong-i-Sinni berbicara: "Amitabha ......... Cuwi sekalian, apa yang disampaikan Duta Agung sangat benar, tetapi yang disampaikan sahabat sekalian juga tidak salah. Keadaan setelah pertempuran terakhir (Di Thian Liong Pang) ternyata tidaklah membaik, sebaliknya nampak semakin berbahaya akhir-akhir ini. Tampilnya kekuatan-kekuatan baru, termasuk ilmu-ilmu mengerikan dari jaman lampau, sungguh sangat menggelisahkan. Jika pinni tidak keliru, masalah akan semakin memburuk dalam waktu dekat ini. Munculnya ilmu-ilmu mujijat masa lalu, pasti berkaitan dengan tokoh-tokoh baru yang sangat hebat dan juga mencurigakan. Tampilnya kembali Lembah Pualam Hijau memang tidak terhindarkan, keputusan Duta Agung sudah sangat tepat.........." Percakapan dan pengungkapan pendapat 3 tokoh yang sakti tadi membuat banyak orang tercenung dan berpikir. Semua yang dikatakan memang tidak keliru. Baik tentang keterlibatan Lembah Pualam Hijau, situasi yang terus memburuk, serta tampilnya tokoh-tokoh baru membekal ilmu hebat dari masa silam. Maka tampil kembalinya Lembah Pualam Hijau menjadi sebuah keharusan. Percakapan yang menghangat tetap tidak membuat Kiang Tek Hong dan keluarganya menjadi tertarik memberikan pendapat. Bagaimanapun Kiang Tek Hong paham, bahwa keberadaannya dahulu sebagai Thian Liong Pangcu meski dalam tekanan orang, bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Tetapi, karena percakapan itu melibatkan banyak orang termasuk tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau, merekapun beranjak mendekatkan diri ke lingkaran pusat percakapan itu. Entah lalai atau bukan, ataupun karena yakin dengan kondisi Kiang Hauw Lam yang tertotok, mereka membiarkannya berada di luar kisaran percakapan. Sementara itu, ada seorang anak gadis lain yang merasa sangat penasaran dengan Kiang Hauw Lam. Gadis itu adalah Cui Giok Li. Dia penasaran dan ingin membuktikan bahwa Hauw Lam adalah Lie Hong Po yang pernah menolongnya dan juga sekaligus mulai menarik hatinya. Sejak majunya Kiang Hauw Lam, Giok Li sudah sangat penasaran, karena Kiang Hauw Lam benar-benar mirip dengan kawan seperjalanannya yang bernama Lie Hong Po. Dan, dia tahu betul, bahwa Lie Hong Po itu juga lihay bukan main. Dia telah membuktikannya beberapa kali. Maka, ketika semua orang tertarik perhatiannya kepercakapan para tokoh, tiada lagi seorangpun yang memperhatikan ketika Giok Li mendekati tempat dimana Kiang Hauw Lam tertotok roboh. Bahkan kakaknya Giok Tin, juga tidak memperhatikan apa yang dikerjakan adiknya, saking asyiknya mengikuti kisah dunia persilatan yang semakin menegang akhir-akhir ini. Maka perlahan-lahan Giok Li mengayunkan langkah mendekati tubuh Kiang Hauw Lam tanpa menarik perhatian seorangpun dari mereka yang berada di kisaran percakapan. Di dekatinya tubuh itu. Dan betapa tercengangnya dia ketika menemukan kenyataan bahwa memang, Kiang Hauw Lam yang hebat itu bukan lain adalah Lie Hong Po yang dikenalnya dengan baik. Untuk semakin meyakinkan dirinya, Cui Giok Li menyentuh badan Kiang Hauw Lam yang terbaring menyamping untuk lebih mengenali wajahnya. Dan pada akhirnya dia terkesima menyaksikan wajah itu ......: "Tidak salah lagi, dia ini saudara Lie Hong Po. Tetapi, mengapa dia dipanggil Kiang Hauw Lam? Jangan-jangan Duta Agung telah salah mengenali orang"? Desis Giok Li nyaris tidak terdengar siapapun. Dan memang, nampaknya tak ada seorangpun yang memperhatikan apa yang dikerjakan Giok Li, dan desisannya tenggelam diantara diskusi para tokoh di arena ruangan terbuka itu. Sementara itu, sesuatu yang tidak disangka-sangka siapapun tiba-tiba terjadi. Apa gerangan hal yang mengejutkan dan tidak disangka itu? Sebagaimana diketahui, ketika tertotok oleh Ceng Liong dengan menggunakan Ceng Thian Sin Ci, Hauw Lam sedang dipenuhi kekuatan sakti yang berlipat ganda. Karena memang, begitulah ciri khas Cit Sat Sin Ciang. Tetapi, totokan Ceng Liong, sebenarnya tidaklah membuyarkan tenaga sakti berlimpah itu, tetapi menahannya untuk tidak dilontarkan keluar. Tidak disangka oleh Ceng Liong dan juga oleh Giok Li, tetapi menjadi keuntungan Kiang Hauw Lam, adalah apa yang dilakukan Giok Li. Dia merasa penasaran dan ingin memastikan siapa Hauw Lam atau tepatnya Lie Hong Po itu. Maka, diapun menyentuh lengan orang yang dikiranya Hong Po. Tiba-tiba, lengan yang penuh hawa itu tergetar, dan sebagai seorang yang terlatih, secara otomatis tenaga dalamnya terlatih untuk melawan getaran itu. Dan entah bagaimana, kuncian totokan di lengan Kiang Hauw Lam terlepaskan secara sangat tidak disengaja. Di luar dugaan Ceng Liong, di luar kehendak Giok Li dan tanpa pernah dipikirkan sebagai jalan keluar oleh Hauw Lam. Ada beberapa saat waktu yang dibutuhkan Kiang Hauw Lam untuk memulihkan tenaganya. Membaurkan kebali tenaga hebat yang tertahan tadi, dan kemudian ketika Giok Li masih terkesima menemukan kenyataan bahwa Hauw Lam dan Hong Po adalah orang yang sama, ketika dia masih mendesis: "Acccccch, benar dia. Memang benar dia .......... bagaimana ini'? Sedang Giok Li berdesis-desis kebingungan, tiba-tiba dia merasa tubuhnya kesemutan. "Celaka" pikirnya. Tapi sudah terlambat, sesaat sebelum tenaga penolaknya bekerja, tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas. Dan dia tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Bahkan dia tidak tahu apa yang terjadi hingga dia siuman. Satu hal yang pasti, sesaat sesudah Giok Li kehilangan kesadaran, tubuh yang tadinya tertotok roboh telah mencelat bangkit sambil memondong tubuh Giok Li dan kemudian dengan cepat berkelabat menuju pintu keluar Lembah Pualam Hijau. Diskusi yang menarik dan menegangkan, telah membuat banyak orang lupa diri dan kehilangan kewaspadaan. Adalah Giok Tin yang pertama kali sadar apa yang terjadi. Dia heran, kenapa adiknya tiba-tiba tidak berada di sisinya. Dan diapun mulai mencari-cari. Tapi sungguh alangkah kagetnya ketika dia melihat tubuh Lie Hong Po (demikian dia mengenalnya) tiba-tiba meletik bangun dan pada saat bersamaan tubuh adiknya Giok Li menjadi lemas. Hong Po kemudian memondong tubuh adiknya dan berkelabat cepat menuju pintu keluar Lembah Pualam Hijau .... "Astaga ........ dia membawa dan menyandera adikku ......" teriak Giok Tin refleks dan cemas melihat Lie Hong Po yang tadi tertotok, tiba-tiba bangun dan membawa serta tubuh adiknya Cui Giok Li. Teriakan Giok Tin megagetkan semua orang. Semua orang tiba-tiba sadar, tetapi keadaannya sudah terlambat. Ketika mereka sadar, tubuh Hong Po atau Kiang Hauw Lam yang ternyata tidak cedera sedikitpun telah mencelat cukup jauh mendekati pintu keluar Lembah Pualam Hijau. Sadar keadaan yang berbahaya, tiba-tiba 4 tubuh telah mencelat dengan sangat cepatnya, terutama 3 tubuh yang berada di barisan terdepan. Mereka adalah Duta Agung Kiang Ceng Liong, Siangkian Giok Lian dan Liang Mei Lan. Sementara di barisan paling belakang adalah Cuik Giok Tin. Adalah Mei Lan yang bergerak paling cepat dan pesat, sedikit meninggalkan Ceng Liong dan Giok Lian. Dan melihat sudah ada 4 orang yang beralari mengejar, tidak ada seorang lagipun tokoh yang turut mengejar. Semua cukup paham, ketiga atau empat orang yang mengejar tadi, memiliki kapasitas yang sangat memadai untuk mengejar Kiang Hauw Lam. Dan memang, mereka tidak salah duga. Urusan mengejar, setelah Liong-i-Sinni sudah pasti muridnya Liang Mei Lan yang paling kompeten. Tidak berapa lama, Mei Lan telah berhasil melampaui dan merintangi jalan lari Kiang Hauw Lam tidak jauh dari pintu keluar Lembah Pualam Hijau. Dan dalam hitungan 3,4 detik kemudian, Kiang Hauw Lam telah dikepung oleh 4 orang muda tersebut. Tetapi, Hauw Lam nampaknya telah memperhitungkan hal tersebut, karena itu dia nampak tenang-tenang saja. Bahkan dia memandangi 4 orang yang mengitarinya itu. "Lie Hong Po atau siapapun adanya engkau, sungguh tak tahu malu engkau menyandera adikku ...." terdengar Giok Tin membentak dengan nada suara penuh kemarahan sekaligus kekhawatiran. "Nona Giok Tin, engkau tenang saja. Aku tidak akan sampai hati melukai Giok Li, kecuali jika 3 pendekar ini berkeras merintangi langkahku ..." "Kau ..... kau ..... sungguh tidak tahu berterima kasih ...." teriak Giok Tin murka. Kecewa atas kepercayaan mereka terhadap Lie Hong Po, dan juga atas nasib adiknya yang dia tahu benar telah mulai menyukai Lie Hong Po itu. Dan Lie Hong Po seterusnya tidak menggubris Giok Tin lagi. Tetapi sebaliknya dengan tajam memandang Duta Agung Kiang Ceng Liong dan kedua nona lainnya. Ada beberapa saat mereka terdiam, sampai akhirnya Kiang Ceng Liong memutus ketenangan tersebut dengan menarik nafas panjang dan kemudian berkata: "Hauw Lam, engkau boleh pergi, tetapi tinggalkan Nona Giok Li di tempat ini ...." "Hmmmmm, Duta Agung, aku sedang berada di kandang macan. Maka aku tidak akan melepaskan Nona Giok Li sampai aku benar-benar merasa cukup aman untuk berlalu" tegas Lie Hong Po yang berkeras menahan Giok Li sebagai jaminan keamanannya. "Engkau, engkau sungguh tak tahu berterima kasih ...." teriak Giok Tin mendengar Hauw Lam berkeras membawa Giok Li sebagai jaminan. "Tenanglah Nona Giok Tin, biarkan aku mengurusnya ...." Ceng Liong mencoba menyabarkan Giok Tin yang meradang melihat adiknya dijadikan sandra. Dan setelah itu, Ceng Liong kembali berkata kepada Hauw Lam: "Jika demikian, apa keinginanmu Hauw Lam ..."? "Aku harus membawa Nona Giok Li sampai aku merasa aman untuk melepaskannya" "Sampai dimana engkau akan membawanya baru merasa aman ..."? "Sampai aku merasa aman ....." "Apa engkau tidak merasa kalau hal itu terasa berlebihan Hauw Lam ..."? "Melawan kalian bertiga aku memang pasti kalah, tetapi aku merasa punya cukup waktu untuk melukai Nona ini ....." Kiang Hauw Lam berkata sambil menggigit bibir. Betapapun terlihat, kondisi seperti ini tidak begitu membuatnya senang. Apalagi, sedikit banyak, dia mulai menyukai gadis kecil yang kini berada dalam pondongannya. Dan gertakannya memang kena sasaran. Baik Giok Tin maupun Ceng Liong untuk sejenak kehilangan akal untuk menghadapi masalah tersebut. Sementara itu, Mei Lan dan Giok Lian nampak saling pandang dan saling mengangguk. Nampaknya mereka akan segera bergerak. Tetapi, belum lagi mereka bergerak terdengar Hauw Lam berkata dengan suara tegas: "Sekali salah seorang diantara kalian bergerak, maka aku tak menjamin gadis ini akan kalian dapatkan secara utuh" Dan gertakannya kembali berhasil. Setidaknya berhasil menahan Giok Lian dan Mei Lan untuk bergerak menghajarnya secara bersamaan. "Baiklah Hauw Lam, apa yang kau inginkan sekarang ..."? "Sederhana, aku akan melepaskan Nona ini setelah aku berada di tempat yang aman. Itu saja ..." "Apa jaminannya Hauw Lam ..."? kejar Ceng Liong "Nyawa dan kehormatanku menjadi jaminannya ......" Tegas Kiang Hauw Lam dengan penuh keyakinan "Aku akan memburumu hingga keujung dunia jika mengapa-apakan adikku Hong Po ..." Cui Giok Tin menyela dengan gelisah "Nona, betapapun aku berhutang budi kepada Nona Giok Li. Itulah sebabnya aku berani menjamin dengan nyawa dan kehormatanku ...." tukas Hauw Lam "Baiklah ...... aku percaya kepadamu Hauw Lam ..." Ceng Liong akhirnya memutuskan "Duta Agung, benarkah ...."? Hampir bersamaan Mei Lan, Giok Lian dan Giok Tin berseru, nyaris tak percaya. "Ya, benar ...." Ceng Liong membenarkan dengan suara tegas. Sementara Kiang Hauw Lam yang menyandera Giok Li tidak kelihatan girang dengan keputusan Ceng Liong, wajahnya datar dan biasa saja. Seakan dia telah menduga keputusan Ceng Liong tersebut sebelumnya. "Baiklah, jika demikian aku berangkat. Jangan coba-coba mengikuti jalanku....." Kiang Hauw Lam berkata dan mulai memutar tubuhnya untuk berlalu. "Hauw Lam, perlahan ...." Ceng Liong menahan perjalanan Hauw Lam, yang segera berbalik kembali sambil bertanya ... "Ada apa lagi Duta Agung ..."? Nampak Ceng Liong termenung sejenak untuk kemudian berkata dengan suara yang jelas sekali tidak punya keyakinan penuh atas apa yang akan dikatakannya: "Aku ingin memberitahumu, jika engkau bersedia, aku akan mampu dan bersedia untuk memulihkanmu kembali Hauw Lam ....." Setelah berkata demikian Ceng Liong berdiam diri untuk menanti reaksi Hauw Lam. Sementara Hauw Lam sendiri sejenak terdiam, nampaknya kaget dengan tawaran Ceng Liong. Tapi hanya sejenak. Karena beberapa saat kemudian wajahnya kembali mengeras dan berkata: "Maaf Duta Agung, aku tak mengerti maksudmu ........" dan sambil berkata demikian, Kiang Hauw Lam berlalu diiringi tarikan nafas panjang dari Kiang Ceng Liong. -0o~Marshall~DewiKZ~0o-
"Jalan hidup Nona Giok Li benar-benar sesuai dengan
tebakan dan garisan yang disampaikan kepadaku oleh Sucouwmu sendiri Nona Giok Tin" terdengar Ceng Liong berkata dengan pandangan yang mengarah ke arah menghilangnya Kiang Hauw Lam, suaranya sendiri seperti sebuah desisan, tetapi jelas terdengar Mei Lan dan Giok Tin. "Maksud Duta Agung ...."? Giok Tin bertanya dengan suara kaget dan antusias sambil memandang Kiang Ceng Liong yang masih terpesona oleh kejadian barusan. Yakni, dia menutuk rubuh Hauw Lam, Giok Li menyelamatkan Hauw Lam dan membawanya sebagai sandera, tetapi yang justru berakibat lain di masa mendatang. Dan semua itu telah disampaikan oleh Koai Todjin kepadanya secara ajaib. "Nona Giok Tin ......" sambil membalikkan badan dan menghadapi Cui Giok Tin, Kiang Ceng Liong kemudian berusaha menjelaskan "Tahukah engkau jika aliran iweekang adikmu telah meningkat pesat tetapi tidak lagi di jalur latihannya yang murni perguruanmu"? "Rasanya ......... rasanya tidak mungkin Duta Agung ...." menjawab Giok Tin dengan ragu, tetapi seingatnya memang, tenaga Giok Li entah mengapa meningkat secara pesat sampai bahkan melampauinya. "Cobalah engkau ingat secara lebih teliti Nona Giok Tin ...." Ceng Liong mendesak Giok Tin untuk mengingat-ingat. "Tapi ..... tapi memang, aku bersama toako Beng Kui sudah curiga. Beberapa kali, terasa jika kekuatan iweekang adikku meningkat secara pesat. Tapi, dia sendiri nampaknya tidak menyadari hal tersebut ...... Duta Agung, tahukah engkau apa yang sebenarnya terjadi ..."? Giok Tin tiba-tiba kaget dan sadar, sesuatu sudah dan sedang terjadi terhadap adiknya. Dan keadaan ini membuatnya menjadi lebih khawatir lagi. "Menurut dugaanku, dan juga sesuai goresan sucouwmu, Nona Giok Li memang tidak menyadarinya. Kakek Koai Todjin yang terhormat memang mengirimkan kalian kepadaku, selain membawa pesan untuk menyempurnakan Giok Ceng Sinkangku, tetapi salah satunya untuk keperluan Nona Giok Li. Tetapi, dia orang tua juga mencatat bahwa takdir Giok Li nampaknya bukan dengan aliran murni perguruannya ........" sampai disini Kiang Ceng Liong berhenti sejenak. Tetapi, Cui Giok Tin yang sedang khawatir berat, mencecarnya .... "Bagaimana selanjutnya Duta Agung ...."? Ceng Liong yang paham akan kasih sayang kakak beradik sangat paham dengan kekhawatiran Giok Tin. Karena itu, untuk tidak berlama-lama, dia akhirnya berkata: "Nona Giok Tin, sabarlah. Secara detail, sucouwmu tidak menjelaskan. Hanya, dia berpesan, jika memang Giok Li berpisah dariku dari Lembah Pualam Hijau, maka dia pergi memenuhi takdirnya. Dia akan muncul dengan kekuatan yang juga luar biasa, tidak kalah dari Nona dan kakak seperguan nona, tetapi sudah dari jalur perguruan berbeda. Maka, sucouwmu menitipkan Lembah Salju Bernyanyi, terutama kepadamu dan kepada toakomu ......." "Tapi, tapi, bagaimana nasib adikku selanjutnya Duta Agung ..."? Giok Tin masih belum bisa menenangkan dirinya, meski kini dengan akrab Mei Lan telah menggenggam tangannya untuk menguatkannya. "Nona, apakah engkau tidak percaya dengan perhitungan sucouwmu ..."? "Jelas, jelas aku percaya Duta Agung ...." "Jika demikian, yakinlah. Adikmu memang dibawa pergi orang, tetapi lebih banyak manfaatnya daripada celakanya ...... aku menjamin dan memastikan hal ini ..." tegas Kiang Ceng Liong untuk memberi jaminan dan ketenangan kepada Giok Tin. "Baik, baik Duta Agung, aku percaya kepadamu dan kepada sucouwku ...." akhirnya Giok Tin berkata, namun dengan suara terisak, sambil dirangkul dan ditenangkan oleh Liang Mei Lan. Dia percaya memang, tapi tetap dia khawatir dengan nasib adiknya. "Baiklah, suatu saat engkau akan membuktikan kalimatku tadi Nona Giok Tin. Sekarang, mari kita kembali ke Lembah Pualam Hijau ......" Tetapi, baru selangkah Ceng Liong bergerak, tiba-tiba kewaspadaannya yang sudah sangat tinggi, membisikinya sesuatu. Diapun berhenti bergerak dengan tiba-tiba. Hal ini tentunya mengejutkan Mei Lan dan Giok Tin. "Ada apa koko ...."? Mei Lan yang melihat keadaan Ceng Liong segera menegur, tetapi melihat keadaan Ceng Liong yang sedang memusatkan pikiran dan perhatian, diapun akhirnya diam dan sadar apa yang sedang terjadi. Dia memberi isyarat kepada Giok Tin dan kemudian waspada sambil menyiapkan dirinya. Ada beberapa saat Ceng Liong dalam keadaan seperti itu, dan Mei Lan tahu kalau Ceng Liong sedang bercakap dengan seseorang dari jarak yang tidak dekat. Karena itu dia tidak mengganggu, tetapi membiarkannya dengan bersiaga disekitar tubuh kekasihnya itu. Dan benar saja, tidak berapa lama nampak Ceng Liong telah melepas konsentrasinya untuk kemudian berkata: "Mari kita masuk ke Lembah ...." Dan merekapun berlalu dari tempat itu, untuk kemudian masuk kembali ke Lembah Pualam Hijau. Melihat keadaan dan keseriusan Ceng Liong, Mei Lan tidak banyak bertanya. Selain karena masih ada Giok Tin disitu, diapun yakin jika keadaan telah memungkinkan, kekasihnya itu pasti akan menceritakan apa yang terjadi barusan. Benar saja, tidak berapa lama dia menerima "suara" dari Kiang Ceng Liong yang berbicara dengan ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh: "Lan Moi, seseorang yang kesaktiannya tidak dibawahku baru saja menghubungiku, tetapi nampaknya dia tidak bermaksud jahat. Malam ini, dia ingin bercakap denganku dan dengan kakakmu Tek Hoat. Sepeninggalku nanti, kuharap engkau bersiaga di ruangan pertemuan, mana tahu ada lagi tokoh lain yang mau main gila ...." "Tetapi, siapa gerangan tokoh itu koko ..."? Mei Lan kaget dengan penjelasan Ceng Liong tentang tokoh lain yang tidak dibawah kemampuan kekasihnya itu. "Dia belum menjelaskan siapa dia, tetapi dia menegaskan datang dengan maksud baik" "Tetapi, kita harus berhati-hati koko ...." "Benar, tetapi di sekitar Lembah ini, tidak akan ada orang lain yang berani bermain gila pada saat seperti ini Lan Moi. Aku akan memberimu isyarat jika malam nanti bersama Tek Hoat kami butuh bantuan ....." "Baiklah jika demikian koko .....", dan percakapan merekapun berhenti karena mereka sudah mulai memasuki area Lembah Pualam Hijau. Dan karena hari sudah gelap, malam telah menjelang, para hadirin yang tadinya berpesta dan mengikuti pertarungan di ruang terbuka, kini telah menghadapi santapan malam yang disiapkan penghuni Lembah. Mereka belum memulai acara santapan malam karena masih menunggu Duta Agung, Liang Mei Lan dan Cui Giok Tin yang keluar Lembah mengejar Kiang Hauw Lam. Dan malam itu, Duta Agung menemani Nenggala dan Li Hwa beserta seluruh tamu dalam acara makan malam. Dan tanpa diminta, dalam kesempatan yang lebih santai dan meriah dimalam itu, lebih meriah dari siang harinya yang dikacaukan banyak pendatang gelap, Kiang Ceng Liong kembali menyampaikan selamat kepada sepasang mempelai. Sambil juga tentu saja berterima kasih kepada semua tamu dan undangan. Dan dibagian paling akhir, Duta Agung Kiang Ceng Liong menegaskan .........., bahwa terhadap penyusupan, pencurian dan penyerangan yang dilakukan terhadap Lembah Pualam Hijau, telah membuat dia memutuskan Lembah Pualam Hijau akan kembali ke Dunia Persilatan. Penegasan itu tidak mengurangi kemeriahan pesta, karena memang semua yang hadir adalah insan dunia persilatan. Pesta tetap berlangsung, tetapi Kiang Ceng Liong memiliki tugas-tugas lain pada malam itu. Selain membantu kakeknya untuk mengobati Kiang Sian Cu dan Kiang Su Kiat, dia juga harus membereskan banyak urusan. Karena itu, malam itu dia tidak menghabiskan pesta hingga jauh malam, tetapi membatasi diri dan kekuatannya untuk tugas-tugas lain. Yang jelas, sejak hari itu, malam itu, Lembah Pualam Hijau bersiap kembali memasuki kisruh di Dunia Persilatan Tionggoan. =================== Sementara orang-orang lain berpesta, Kiang Ceng Liong memilih waktu yang tepat untuk keluar dari ruangan yang sedang meriah itu bersama dengan Liang Tek Hoat. Hanya Mei Lan dan Giok Lian yang paham, bahwa kekasih-kekasih mereka itu diundang bertemu dengan orang misterius di luar Lembah Pualam Hijau. Dan secara otomatis, kedua gadis cantik yang luar biasa lihay itu, telah menyiapkan diri untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Kiang Ceng Liong tidak berbicara sepatah katapun kepada Tek Hoat, tetapi berlari dengan kecepatan tinggi ke pinggang sebelah lebih ke bawah dan nampaknya menuju ke tepian sungai. Sebagaimana diketahui, Gunung Kembar yang menjadi bagian dari pegunungan Taliang-san, membelah kedua gunung yang nampak kembar dari kejauhan. Sungai Li atau Sungai Kemala memiliki aliran yang sangat deras di musim hujan, dan deretan tebing-tebing tinggi yang menghiasi perjalanan sungai ini mengarah ke Propinsi Kuangsi. Dengan memilih jalanan menanjak ke bawah dan kemudian memotong ke arah sungai, benar saja, tak lama kemudian Ceng Liong tiba di sebuah tebing yang agak terpencil dan bisa dipastikan sangat jarang dikenal atau diketahui orang keberadaannya. Terlebih, karena menjorok ke bawah sampai ke permukaan aliran sungai, ada lebih kurang 200 atau 300 meter dalamnya. Dan di tebing curam itulah Kiang Ceng Liong dan Tek Hoat mengarah. Dan bahkan kini, mereka berdua telah berdiri sambil menunggu orang yang mengundang mereka untuk datang menemui. Tidak lama bagi keduanya untuk menyadari bahwa orang yang meminta mereka bertemu sudah berada disekitar tempat mereka berdiri. Dan karena diminta datang, keduanya berdiam diri guna menunggu pihak pengundang untuk berinisiatif terlebih dahulu. Mereka tidak perlu menunggu lama: "Terima kasih atas kedatangan Duta Agung dan Pendekar Liang Tek Hoat. Kami sadar tidaklah mudah untuk meminta kesediaan jiwi pendekar untuk bertemu dengan kami. Apalagi, bertemu dengan kami orang-orang yang sama sekali tidak dikenal di dunia persilatan Tionggoan, karena itu maafkan gangguan kami dan terima kasih untuk penghargaan jiwi berdua ........" terdengar sebuah suara yang sangat lembut, tanda pemilik suara itu pastilah seorang perempuan. Dan entah bagaimana caranya, dari balik rimbunan pepohanan di samping kiri kedua anak muda itu telah berjalan keluar dua orang. Orang pertama adalah seorang pria setengah tua, paling tidak berumur 50 tahunan ditemani seorang wanita yang wajahnya hampir sama dengan pria setengah tua tadi. Dandanan mereka sangat sederhana, tetapi bersih dan tertata rapih. Dilihat dari wajah mereka yang nyaris sama, bisa dipastikan kedua orang itu kakak beradik. Tidak ada yang luar biasa dari penampilan mereka, kecuali kepercayaan diri mereka yang nampak sangat menonjol, meskipun mereka tetap bersikap hormat dan merendah. Sekali pandang Kiang Ceng Liong paham, kedua orang itu bukan orang jahat. Selain itu, langkah kaki mereka yang sangat wajar dan ringan adalah pertanda mereka adalah orang-orang berisi dan jika menjadi lawan, mestinya bukanlah lawan yang mudah untuk dihadapi. Dari dandanan, nampaknya mereka berasal dari tempat yang jauh, karena mereka berdandan dengan cara yang rada-rada berbeda dengan orang dan pengelana Tionggoan pada umumnya. Sungguh diluar dugaannya mereka berdua diundang oleh manusia sejenis ini, yang tidak dia bayangkan sebelumnya. "Apa maunya"? pikir Ceng Liong dalam hati. "Selamat berjumpa jiwi locianpwee. Rasanya kurang hormat menjumpai jiwi locianpwee di tempat ini. Karena itu, selaku orang muda, kami bersedia untuk menghunjuk hormat kepada jiwi locianpwe di tempat ini. Tapi, jika jiwi locianpwe bersedia, perkenankan kami jiwi locianpwe untuk mengunjungi Lembah Pualam Hijau dan bercakap disana ..." Ceng Liong mengulangi undangannya kepada kedua pendatang yang sekilas dilihatnya bukanlah orang jahat itu. "Terima kasih, terima kasih atas keramahanmu itu Duta Agung. Kami berdua tidak bermaksud untuk mempertontonkan diri. Sudah hampir 3 bulan terakhir kami berdua berkelana dan pada akhirnya kami menemukan informasi bahwa ada 3 orang yang menguasai ilmu mujijat Pek Lek Sin Jiu. Dua orang adalah Duta Agung dan saudara Liang Tek Hoat, sementara seorang lagi sudah meninggal dunia. Yakni guru dan yang mewariskan ilmu tersebut kepada Duta Agung dan saudara Liang Tek Hoat. Apakah kami benar ...?" kembali terdengar suara empuk dari perempuan pendatang yang kini berdiri berhadapan dengan Ceng Liong dan Tek Hoat. Ceng Liong dan Tek Hoat saling pandang, dan keduanya mengangguk membenarkan apa yang disampaikan dan ditanyakan oleh si perempuan pendatang tadi. Dan melihat Ceng Liong dan Tek Hoat mengangguk, kembali si perempuan menyambung: "Baiklah, karena Duta Agung dan saudara Tek Hoat telah bersedia berjumpa kami dan bahkan bersedia menjawab pertanyaan kami, maka untuk saling hormat, perkenankan kami memperkenalkan diri. Saya yang rendah bernama Kwan Siok Bi, sementara yang datang bersama saya adalah toako Kwan Siok Bu. Kami berdua datang dari tempat yang sangat jauh di Laut Selatan, bahkan lebih jauh dari Lam Hay Bun sekalipun. Tepatnya kami berasal dari Pulau Awan Putih ......" "Pulau Awan Putih ..... Pulau Awan Putih ...." Ceng Liong mendesis dan saling pandang dengan Liang Tek Hoat. Tetapi, dari pandang matanya, Tek Hoat nampaknya tidak punya memori atau pengetahuan sedikitpun tentang Pulau Awan Putih. Sementara Ceng Liong nampak bingung, antara ingat dan tidak ingat. "Acccccch, Pulau Awan Putih memang tidak berkelana di Rimba Persilatan Tionggoan Duta Agung. Pulau kami adalah Pulau misterius yang tidak pernah dicapai dan dikunjungi orang, dan sudah hampir 100 tahun terakhir tidak ada gejolak apapun disana. Wajar jika Duta Agung dan saudara Tek Hoat tidak pernah mendengar nama Pulau kami tersebut ...." terdengar Kwan Siok Bi kembali berkata. "Tetapi, jika sampai paman dan bibi Kwan sampai berkunjung dan meminta bertemu dengan kami, pastilah ada sesuatu yang penting. Apakah benar tebakanku tersebut Bibi Kwan Siok Bi ...."? terdengar Liang Tek Hoat bertanya. Sejak tadi dia berdiam diri, karena Ceng Liong juga tidak mengatakan sedikit apapun tentang undangan kedua orang ini dan maksud bertemu mereka. "Tepat sekali, engkau menebak dengan tepat Liang Tek Hoat. Tapi, bolehkah biar kita lebih leluasa bercakap, dan agar mengurangi kemungkinan diintip orang lain, kita berpindah ke ujung tebing di depan sana untuk bercakap"? kembali Kwan Siok Bi yang berbicara, dan memang nampaknya dia yang menjadi juru bicara dari kedua orang yang mengundang Ceng Liong dan Tek Hoat itu. Atas undangan tersebut, Ceng Liong dan Tek Hoat mengiyakan saja. Dan tidak berapa lama, keempat orang itu kini duduk saling berhadapan di tebing curam yang berjarak lumayan jauh dari barisan pepohonan. Dan di tempat itulah percakapan mereka kembali dilanjutkan. "Untuk memperjelas maksud kami menemui Duta Agung dan saudara Tek Hoat, maka perkenankan kami menceritakan hal ihwal Pulau Awan Putih, Lam Hay Bun dan Pulau Naga Api secara ringkas. Ketiga pulau itu adalah tiga tempat misterius yang jarang berkelana di Daratan, meski leluhur mereka berasal dari daratan ......" sampai disini, jelas Ceng Liong dan Tek Hoat menjadi tertarik. Apalagi karena terkait dengan asal- usul Lam Hay Bun yang selama ini meski telah berkawan tetapi tetap misterius bagi mereka. Dan mereka menghunjuk wajah serius mengikuti penuturan Siok Bi lebih jauh: "Dahulu kala, lebih 300 tahun silam ada 3 orang jago rimba persilatan yang berubah menjadi Bajak Laut karena dikejar- kejar tentara kerajaan. Tidak lama merekapun menjadi 3 pimpinan utama Bajak Laut karena kesaktian mereka dan mengumpulkan banyak sekali harta kekayaan. Suatu ketika, mereka mendarat di sebuah pulau yang pada malam sebelumnya terlihat kilat menyambar-nyambar dan dentuman- dentuman menggelegar padahal cuaca cerah. Paginya, cahaya kilat dan dentuman menggelegar itupun reda, dan baru mereka berani mendarat dan turun melihat-lihat keadaan pulau yang sebenarnya tidak terlampau besar itu. Panjang pulau itu sendiri tidak lebih dari 1 km, dan lebih banyak dataran daripada gunung-gunungan, dan pohonanpun sangat jarang. Ada apa gerangan disana? Ketika turun kedarat, anak buah ketiga tokoh bajak ini menemukan adanya 3 jenasah tokoh persilatan yang ketiga-tiganya berusia sudah sangat lanjut tetapi telah binasa. Tetapi, takdir seperti telah diatur sesudah kehidupan ke tiga orang jago itu. Mereka adalah jago-jago tanpa lawan di daratan dan selalu bertarung memperebutkan jago nomor satu di sebuah pulau terpencil, sampai akhirnya ketiganya tewas bersamaan ....." Sampai disini nampak Kwan Siok Bi menghentikan kisah atau ceritanya untuk sejenak sambil memperhatikan Ceng Liong dan Tek Hoat yang nampak menyimak secara serius kisah atau ceritanya tentang 3 pulau misterius di Laut Selatan itu. Nampak Kwan Siok Bi menarik nafas sesaat, untuk kemudian memutuskan melanjutkan kisah yang nampak semakin menarik kedua tamunya: "Pada dasarnya, ke 3 pimpinan bajak itu memang pendekar persilatan yang terdesak menjadi pimpinan Bajak. Mendengar info tentang 3 pendekar yang mati saling bunuh itu, merekapun turun untuk melihat lebih jauh. Dan benar saja, dari catatan yang tertinggal sebelum ketiga orang itu tewas dalam pertempuran segi tiga, merekapun beroleh warisan dari 3 jago tanpa tanding di daratan waktu itu. Mereka bertiga, secara kebetulan memakamkan masing-masing 1 jago dan mewarisi ilmu dari jago silat yang dimakamkannya. Untuk diketahui, ketiga ilmu yang diwariskan melalui kitab ilmu silat kepada 3 bajak itu adalah: CIT SAT SIN CIANG, PEK LEK SIN JIU dan PAN YO SANKONG (Tenaga Luar Mujijat Menghindar dan Menggempur Pukulan) lengkap dengan TOA PAN YO HIAN KONG (Tenaga Dalam Mujijat)" "Apa ....... jadi? Cit Sat Sin Ciang dan Pek Lek Sin Jiu berasal dari sana ...."? Tek Hoat menjadi tegang dan menjerti mendengar asal-usul ilmu andalannya Pek Lek Sin Jiu dan bahkan juga Cit Sat Sin Ciang. Sebenarnya Ceng Liong sama terkejutnya, tetapi dia membiarkan Tek Hoat yang mengekspresikan keterkejutan mereka berdua. "Biarlah aku menjelaskan lebih jauh, karena masih banyak kisah lain yang akan berujung pada persoalan di Tionggoan dewasa ini ......" Kwan Siok Bi menukas dan Ceng Liong serta Tek Hoatpun mengangguk mengiyakan. "Secara kebetulan, Pendekar Lamkiong memilih Cit Sat Sin Ciang; Kemudian leluhur Kwan kami memilih Pan Yo Sankong dengan Toa Pan Yo Hian Kong sementara leluhur Lauw memilih Pek Lek Sin Jiu. Masing-masing mereka mewarisi ilmu dari 3 jago luar biasa itu, lengkap dengan kisah pertarungan di pulau dan bahkan belakangan juga termasuk ulasan tentang ilmu andalan lawan. Secara otomatis, sejak saat itu ketiga Pimpinan Bajak ini menjadi lebih tekun melatih silat daripada menjadi bajak laut. Dan bahkan merekapun melanjutkan tradisi mengadu ilmu yang diwarisi dari kitab 3 orang tua yang binasa karena bertarung itu. Dan setelah 4 tahun, sudah empat kali mereka bertarung dengan posisi yang selalu seimbang. Tetapi, efek dari persaingan itu membuat rasa persahabatan mereka menipis dan setelah pertarungan ke- lima merekapun berpisah. Leluhur keluarga Lamkiong memilih menetap dan membentuk Perguruan Lam Hay Bun di gugusan pulau, sementara leluhur keluarga Kwan memilih Pulau Awan Putih, sebuah Pulau misterius yang sulit didatangi, dan leluhur keluarga Lauw menetap di Pulau Naga Api. Dan sejak itu, setiap setahun sekali mereka melanjutkan tradisi pertandingian mencari siapa yang terkuat diantara Cit Sat Sin Ciang, Pek Lek Sin Jiu dan Pan Yo Sankong. Dan hasilnya, 5 tahun berturut-turut tak seorangpun diantara mereka yang mampu menangkan yang lainnya, alias selama 10 kali bertanding mereka selalu dalam keadaan seri. Tidak ada yang mampu memenangkan siapapun, alias mereka selalu setanding ... " Kembali Kwan Siok Bi berhenti sejenak, tetapi kali ini tidak ada pertanyaan dan selaan dari Ceng Liong dan Tek Hoat yang menunggu kelanjutan kisah itu: "Pertarungan segitiga itu terus berlangsung seiring dengan semakin renggangnya hubungan antar pulau. Pada generasi kedua dari pertarungan tersebut, Lam Hay Bun telah menjadi semakin besar. Tetapi, Pulau Awan Putih dan Pulau Naga Api telah berkembang pesat, meski hanya perguruan keluarga, tetapi posisi untuk masuk ke pulau itu luar biasa sulitnya. Apalagi, karena ternyata banyak rahasia mematikan yang disimpan oleh pulau itu sebagai berkah alam. Karena itu, pertarungan akhirnya tidak melibatkan banyak orang, tetapi tetap beberapa orang saja. Dan baru di generasi ketiga, ketika ketiga pulau itu memajukan jago-jago puncaknya mulailah terkuak hasil hasil capaian dan hasil ulasan dari 3 jago yang mewariskan ilmu mujijat tersebut. Pada generasi ketiga, ke tiga jago dari 3 pulau adalah jago-jago berbakat yang berhasil menguasai hingga ke puncaknya ilmu warisan 3 jago tua yang binasa dahulu kala. Ketika terakhir kali adu kepandaian, mereka sadar kalau situasinya pelik: Cit Sat Sin Ciang pada puncaknya bisa mengendalikan Pek Lek Sin Jiu, tetapi Cit Sat Sin Ciang dapat dikendalikan oleh gabungan Pan Yo Sankong dan Toa Pan Yo Hian Kong (Tenaga Mujijat), hanya saja Tenaga Mujijat dapat diatasi oleh Pek Lek Sin Jiu. Itulah akhir dari tanding 3 pulau yang sangat terkenal legendanya di Laut Selatan itu" "Hmmmmmm ........ begitu kiranya ceritanya ...." Tek Hoat mendesis antara percaya dan tidak percaya, tetapi tetap dia kagum dengan kisah hebat tersebut. Karena penasaran diapun bertanya setelah melirik Ceng Liong: "Terus, bagaimana selanjutnya ....."? "Sebetulnya, ulasan kelebihan dan kekurangan Pan Yo dan Pek Lek Sin Jiu telah diulas oleh jago Cit Sat Sin Ciang dalam kitabnya, demikian juga sebaliknya. Ketika akhirnya, generasi ketiga mereka mendiskusikan hal tersebut, mereka baru sadar bahwa ujung pertarungan mereka adalah MAUT. Pada akhirnya mereka menetapkan "gencatan-senjata" alias tidak saling mengganggu dan tidak saling menyerang. Pada pertemuan itu, keluarga Pulau Naga Api dan Pulau Awan Putih memutuskan untuk melarang anak buah dan keluarganya mengunjungi Pulau lainnya agar tidak terlibat konflik. Hanya Lam Hay Bun, karena merupakan sebuah perguruan, tetap berkelana di dunia persilatan meskipun dengan cara yang sangat tertutup dan misterius. Perjanjian mereka bertiga mencakup, dilarang menggunakan Ilmu Andalan ketiga Pulau ketika berkelana, sebab bakalan menarik banyak orang untuk mencari ketiga Pulau itu. Amanat ini juga berasal dari 3 jago tua yang bertarung hingga binasa, karena konon ketiga ilmu itu begitu mujijat pada jamannya dan diinginkan banyak pendekar. Dengan perjanjian itu, maka Pulau Naga Api dan Pulau Awan Putih, memang tidak pernah berkelana, kecuali Lam Hay Bun, tetapi diikat untuk tidak menggunakan Cit Sat Sin Ciang ......" Dan sampai disini, mulailah Ceng Liong dan Tek Hoat paham meski belum seutuhnya apa sebenarnya niat dan maksud kedua kakak beradik she Kwan ini menemui mereka berdua. Tetapi, belum keluar sepatah katapun dari Ceng Liong dan Tek Hoat. "Menurut perjanjian, jika salah satu ilmu tersebut keluar ke daratan, maka pemilik pulau asal ilmu itu yang harus bertanggungjawab. Tetapi, beberapa waktu lalu, kami mendapatkan kabar dari nelayan pulau kami bahwa muncul berita adanya pukulan Pek Lek Sin Jiu di daratan. Dan ketika kami memutuskan menyelidiki ke Tionggoan, lebih kaget lagi ketika kami menemukan kenyataan bahwa ternyata jejak Cit Sat Sin Ciang juga begitu kentara. Apakah artinya kedua pulau itu telah mengkhianati perjanjiannya? Inilah yang mengagetkan kami, dan itu jugalah sebabnya kami menyelidiki ke Lam Hay Bun. Tetapi, anehnya, Lam Hay Bun sendiri menyatakan ilmu itu telah lenyap dari Lam Hay Bun sejak 100 tahun silam. Dan ketika memasuki Pulau Naga Api, Pulau itu telah tidak berpenghuni, nampaknya alur lava pijar di bawah pulau telah membakar pulau itu beserta penghuninya. Tetapi, jelasnya bagaimana, kamipun belum sepenuhnya mengerti ....." demikian akhirnya Kwan Siok Bi menyelesaikan kisahnya tentang misteri 3 pulau di Laut Selatan tersebut. "Apakah jiwi locianpwe mencurigai jika kami adalah bagian dari keluarga Pulau Naga Api tersebut ...."? bertanya Tek Hoat akhirnya. "Awalnya memang demikian, tetapi setelah bertemu kalian berdua, kami percaya bahwa kalian berdua tidak ada hubungan dengan para penghuni Pulau Naga Api itu" Kwan Siok Bi menjawab. "Jiwi locianpwe, suhu pernah berkisah kepadaku, bahwa kitab pusaka Pek Lek Sin Sjiu dihadiahkan kepadanya oleh seorang tua yang sedang sekarat di sebuah pulau kosong di Laut Selatan. Orang tua itu sendiripun, tidak berkata sesuatu apapun tentang kitab itu, kecuali bahwa suhu diminta hanya mempelajari hingga tingkat ke-7 saja dan baru muridnya yang bisa mempelajari hingga tingkat ke-8 ...." terang Tek Hoat. "Anak muda, jangan salah sangka. Bukan maksud kami untuk menghakimi para penghuni Pulau Naga Api. Sebaliknya, kami justru berprihatin atas mereka, karena nampaknya suatu bencana besar telah menimpa mereka. Dan hanya seorang tetua mereka yang selamat mewariskan Pek Lek Sin Jiu kepada suhu saudara. Hanya, karena Cit Sat Sin Ciang sudah tampil ke permukaan dan seperti tiada hubungan dengan Lam Hay Bun, dan Pek Lek Sin Jiu juga sudah kembali ke Tionggoan, maka Pulau Awan Putih nampaknya terbebas dari perjanjian-perjanjian leluhurnya ratusan tahun lalu ...." Kwan Siok Bi berhenti sejenak, tetapi Tek Hoat telah melanjutkan: "Kalau begitu, kami mengucapkan selamat kepada Pulau Awan Putih. Karena keluarga Pulau Awan Putih sudah dapat berkelana secara bebas di Tionggoan ......" "Terima kasih anak muda. Tetapi, kegelisahan kami adalah: Nampaknya Cit Sat Sin Ciang digunakan di jalan yang salah, sementara untuk saat ini belum tentu ada orang yang sanggup menaklukkannya, termasuk Pek lek Sin Jiu yang kalian latih saat ini ..." terang Kwan Siok Bi. "Maksud locianpwe ...."? tanya Tek Hoat minta penegasan. "Anak muda, jangan keliru. Cit Sat Sin Ciang yang digunakan seorang anak muda yang dilepaskan Duta Agung tadi baru masuk ke tingkat ke-5, belum sanggup dia memainkan hingga tingkat ke-7. Dan, Cit Sat Sin Ciang yang muncul pada 100 tahun lalu dan mengacaukan dunia persilatan, hanya sampai tingkat-7 dan tidak sanggup memainkan tingkat pamungkasnya. Sementara Pek Lek Sin Jiu yang kalian berdua kuasaipun baru tingkat 8 dan belum kulihat sanggup memainkan tingkat pamungkasnya ....." Siok Bi menjelaskan dan menghasilkan kekagetan yang luar biasa bagi Tek Hoat dan Ceng Liong. "Benarkah demikian ...." begitu kira-kira di benak keduanya. Melihat kedua anak muda itu kurang percaya, Kwan Siok Bu yang sejak tadi berdiam diri telah berkata: "Anak muda, Tenaga Mujijat kami dalam tataran teratas kalah seusap dari Pek Lek Sin Jiu. Jika engkau kurang percaya dengan penjelasan Bi Moi, engkau boleh menyerangku dengan Pek Lek Sin Jiu tingkat ke-8 dan aku akan memunahkannya ..." Tek Hoat saling pandang dengan Ceng Liong. Dan ketika Ceng Liong melihat kesungguhan di mata Siok Bu dan Siok Bi, diapun akhirnya mengiyakan ketika Tek Hoat berniat mencobanya: "Baiklah, aku akan mencoba untuk menyerang dengan Pek Lek Sin Jiu tingkat ke-8 ...." ujarnya sambil menyiapkan diri. "Jangan tahan tenagamu anak muda, percayalah, aku sanggup menahan" ujar Siok Bu Dan Tek Hoat yang penasaran, benar telah mengerahkan ilmunya pada tingkat ke-8 untuk kemudian melepaskannya. Dan di udut sebelah, nampak Siok Bu bergerak-gerak aneh dan dari kedua telapak tangannya seperti mengalir arus kekuatan yang bergerak secara mujijat. Dan, inilah Pek Lek Sin Jiu tingkat ke-8 ...... Blar ....... blar ........... kilatan-kilatan cahaya menghambur kemana-mana, dan ketika Tek Hoat mengarahkan serangannya kepada Siok bu, ledakan-ledakan sinar itu kini luluh lantak mengarah lawan. Tetapi, Siok Bu bergerak pesat dan setiap gerakannya pasti disertai pendar-pendar tenaga mujijat yang melindungi dirinya. Karena itu, ketika ledakan- ledakan dan letikan cahaya petir menyambarnya, cahaya dan ledakan itu seperti terpeleset dari tubuhnya dan benar, ketika Tek Hoat selesai, Siok Bu tidak terluka sedikitpun "Anak muda, percayakah engkau sekarang ...."? tanya Siok Bi ketika melihat rasa kurang percaya di mata Tek Hoat. "Tidak, aku percaya tentu saja. Hanya saja, aku masih memiliki ilmu lain yang bahkan melebihi Pek Lek Sin Jiu. Jika kugunakan, belum tentu aku kalah olehmu locianpwee " tegas Tek Hoat yang masih kurang terima dengan fakta kegagalan Pek Lek Sin Jiu tadi. "Aku percaya, aku percaya ...... " terdengar Siok Bi bicara. Dan bahkan langsung dia lanjutkan sebelum Tek Hoat menyahut kembali ....: "Anak muda, bagaimana penilaianmu dengan kekuatan tingkat ke-5 dibandingkan dengan tingkat ke-7 dan tingkat pamungkas dari Cit Sat Sin Ciang ...."? tanya Siok Bi kepada Kiang Ceng Liong. Dan Ceng Liong nampak berpikir keras untuk kemudian secara hati-hati berkata: "Jika Hauw Lam melontarkan tingkat kelima, digandakan pada tingkat keenam dan ketujuh, aku masih merasa berkemampuan untuk mengalahkannya ......" tegas Kiang Ceng Liong penuh percaya diri. "Bagaimana dengan tingkat pamungkasnya Duta Agung ...."? "Jika sebelum hari ini, aku akan merasa kurang berkemampuan. Tetapi, setelah hari ini aku merasa punya cukup pegangan untuk menahannya. Mengalahkannya, aku masih harus melihat keadaan dan posisinya kelak ......" desis Kiang Ceng Liong dan membuat kagum baik Kwan Siok Bu maupun Kwan Siok Bi. Mereka benar-benar kagum dengan keteguhan dan kepercayaan diri Ceng Liong, dan mereka yakin akan kalimatnya karena tidak melihat nada dan cahaya kesombongan di mata Duta Agung Kiang Ceng Liong. Karena itu, keduanya manggut-manggut belaka, nampak seperti membenarkan. Dan Siok Bi kembali berkata: "Duta Agung, kami percaya dengan perkataanmu. Kepada anda anak muda ......" ucap Siok Bi sambil melirik Tek Hoat ....... "Bekalmu untuk menandingi musuhmu tadi adalah dengan membekal kekuatan pamungkas setara kekuatan pamungkas dari Pek Lek Sin Jiu. Tanpa kekuatan itu, engkau akan membentur tembok tak terpecahkan. Aku percaya, engkau akan sanggup mengalahkannya jika memadukan kekuatan pamungkas Pek Lek Sin Jiu dengan bekalmu yang lain. Oh ya, kami telah menyelidiki suhumu, Kiong Siang Han. Nampaknya, yang mewarisinya Pek Lek Sin Jiu tahu jika suhumu belajar Tenaga Sinkang Perjaka, dan ini tidak akan optimal belajar Pek Lek Sin Jiu, makanya dia mengikat suhumu untuk sampai tingkat 7 saja. Jika suhumu memaksa diri, dia akan kehabisan tenaga dan tewas mengenaskan. Engkau bisa menemukan rahasia Pek Lek Sin Jiu di catatan kitab pusaka itu, seperti itu yang dilakukan diantara kami. Entah dengan Cit Sat Sin Ciang, nampaknya kekuatan pamungkasnya telah terlepas dari kitab pusakanya, tetapi siapa tahu ...."? "Accccchhhhhh, terima kasih atas informasinya locianpwee .... terima kasih" "Anak muda, kami berdua berkepentingan dengan adanya orang yang menguasai secara sempurna Pek Lek Sin Jiu. Karena sesungguhnya, ini menjaga keseimbangan dengan Cit Sat Sin Ciang. Kami seusap di atas Pek Lek Sin Jiu, tetapi kalah menghadapi Cit Sat tersebut. Dengan engkau memahami jurus dan kekuatan pamungkas Pek Lek Sin Jiu, maka keseimbangan itu akan tetap terjaga. Oh ya, jika kami tidak keliru, ada 2 pewaris Cit Sat Sin Ciang, dan yang satu lagi bahkan telah menguasai tingkat ke-7, dan sedang melatih tingkat pamungkasnya. Dari Pulau Awan Putih, kami berdua adalah penguasa tingkat pamungkasnya, tidak ada yang menguasai melebihi kami berdua ....." ujar Siok Bi sambil memandang Ceng Liong dan Tek Hoat. Jelaslah, mereka berkehendak menjaga keseimbangan itu dengan mengikat Ceng Liong dan Tek Hoat sebagai sahabat. Bagi Ceng Liong, kedua orang ini meski bertujuan lain, tetapi tidak nampak jahat. Kepentingan menjaga keseimbangan nampaknya lebih banyak baiknya daripada jahatnya. Karena itu, diapun menghargai upaya Siok Bu dan Siok Bi. Apalagi, karena Cit Sat Sin Ciang telah dikuasai pihak lawan. Meski ada Mei Lan, Giok Lian dan Kwi Song, tetapi antisipasi adanya tingkat pamungkas membuatnya harus berpikir ulang. "Hmmmmm, kami mengerti maksud jiwi locianpwe. Sudah tentu saudara Tek Hoat akan mempelajari ilmu pamungkasnya, kami pastikan hal tersebut" Ceng Liong menegaskan. "Benar, benar jiwi locianpwe, kami berdua dalam tanggungjawab tersebut pasti akan melatihnya. Jangan khawatir ...." "Hmmmm, melihat tingkat kalian sekarang ini, paling tidak seminggu atau 2 minggu sudah memadai menguasainya secara baik. Anak muda, pengalaman pulau kami dan sebagaimana para tetua kami mengisahkan, jurus pamungkas konon dicatat secara terbalik pada bagian terakhir. Hanya itu cara kami membantu kalian anak muda...... " Siok Bu berkata dengan tujuan menanam jasa. Ataukah untuk tujuan lain lagi ? "Kami akan memperhatikannya jiwi locianpwe, terima kasih atas bantuannya ...." ujar Tek Hoat dengan hormat. "Duta Agung dan engkau anak muda ....... bolehkah, bolehkah ..... kami memohon bantuan anda berdua ......"? agak terbata Siok Bu berkata. "Hmmmmmm ini rupanya maksud lainnya ...." pikir Ceng Liong dalam hati, tetapi di mulut dia berkata: "Adakah yang kami bisa lakukan untuk Kwan locianpwee ...."? Kwan Siok Bu dan Kwan Siok Bi nampak saling pandang. Dan Kwan Siok Bu memberi isyarat kepada adiknya Siok Bi untuk bicara. Memang nampak jelas, urusan berbicara adalah Siok Bi yang lebih lincah, lancar dan lebih luwes. "Duta Agung dan anda anak muda, begini ceritanya. Keponakanku, anak tunggal toakoku, Kwan Hong Li telah meninggalkan pulau 6 bulan lalu, 3 bulan mendahului kami. Saat itu, dia telah mendengar soal Pek Lek Sin Jiu dan nama Duta Agung serta Liang Tek Hoat. Kami yakin, suatu saat ponakan nakalku itu akan mencari gara-gara. Jika memungkinkan, nasehatilah anak itu untuk mencari kami atau jika bisa untuk segera kembali ke Pulau Awan Putih ......" "acccchhhhh, jiwi locianpwee, urusan tersebut bukanlah urusan sulit. Untuk urusan menelisik dan mencari jejak seseorang, adalah Kaypang kami nomor satunya. Yakinlah, aku akan menugaskan anak-anak murid Kaypang untuk melacak keberadaannya sekarang ini dimana....." "Benar jiwi locianpwee, percayalah, kamipun akan membantu sekuat tenaga untuk melacak keberadaan nona Hong Li. Pada saatnya kami akan mengingatkan nona Hong Li soal pesan jiwi locianpwee ...." Mendengar jaminan kedua anak muda perkasa didepan mereka ini, Siok Bi dan terutama Siok Bu nampak tersenyum senang. Mereka yakin bantuan kedua anak muda ini akan sangat membantu, karena memang keberadaan mereka di Tionggoan salah satunya adalah mencari Hong Li yang telah buron lebih dari 6 bulan dari Pulau Awan Putih. Dan sebagai ayah, sudah tentu Siok Bu gelagapan sampai harus menggelandang adiknya Siok Bi untuk menemaninya mencari ke daratan. "Terima kasih, terima kasih anak muda ..... tetapi dimana kami akan menanyakan jejaknya nanti ..." tanya Siok Bi. "Locianpwee, 6 bulan ke depan, Kaypang akan melaksanakan pertemuan besar seluruh anak murid Kaypang. Jika masih berada di Tionggoan, maka biarlah kami mengundang jiwi locianpwe ke Kaypang dan jawabannya pasti akan kami berikan disana. Atau jika tidak, maka dimanapun jiwi berada, akan ada salah seorang anggota Kaypang yang memberi kabar ......" jawab Tek Hong dengan suara meyakinkan. "Baiklah, jika pada 6 bulan ke depan kami masih berada di Tionggoan, maka kami akan berkunjung ke Kaypang. Kami percaya dengan kemampuan Kaypang dalam urusan ini. Terima kasih anak muda ........ " "Kami akan menunggu jiwi locianpwee nanti ....." "Baiklah, jika memang tidak ada lagi urusan disini, perkenankan kami berdua untuk mohon pamit. Oh ya, Duta Agung, kami mohon maaf karena tidak menghadang para penyusup beberapa waktu lalu karena kurang menyadari persoalannya. Tetapi, dari yang kami tahu dan yakini, Lembah Pualam Hijau memiliki kemampuan yang memadai untuk mengenyahkan mereka. Hanya saja, mereka ternyata ada hubungan dengan Cit Sat Sin Ciang, dan jika tidak keliru, Cit Sat Sin Ciang yang sempurna akan segera tampil ke dunia persilatan. Itu yang kami ikuti beberapa waktu terakhir dan ada hubungannya dengan kejadian di Lembah Pualam Hijau ....... "Accccch, terima kasih banyak jiwi locianpwe. Informasi tersebut sangat membantu. Semoga kita bertemu kembali diwaktu-waktu mendatang, terima kasih atas kunjungan jiwi locianpwee ....." Ceng Liong ikut berdiri bersamaan dengan kedua orang tua pertengahan umur itu berdiri dan kemudian minta diri. Hanya sesaat mereka bergerak dan lenyaplah mereka berdua dari pandangan. Sepeninggal mereka berdua, Ceng Liong dan Tek Hoat saling pandang. Di mata mereka tersirat banyak kata, tetapi kedua mata mereka membayangkan semangat dan kegagahan yang luar biasa. Informasi tadi tidak membuat mereka takut, hanya membuat mereka sadar beban mereka semakin berat. Karena itu, dalam hati masing-masing sudah tahu apa yang harus segera mereka lakukan. "Hoat te ...... sebaiknya besok siang engkau segera kembali ke Kaypang. Aku akan meminta nona Giok Lian dan Lan Moi untuk berjalan bersamamu besok. Karena sejujurnya, kekuatan Lhama Tibet itu di luar sangkaanku, belum lagi kekuatan bekas tokoh Thian Liong Pang lainnya. Kita sedang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan rahasia. Engkau harus meminta Nona Giok Lian menyempurnakan Bu Sing Sinkang warisan Bhiksu Chundamani, dengan cara itu dia akan mampu menandingi dan menahan Cit Sat Sin Ciang. Dan engkau sudah tahu apa yang harus segera dilakukan. Aku akan bertemu Lan Moi besok pagi, sebelum selama seminggu melatih murid murid Thian San Giok Li. Setelahnya aku akan ke Thian San Pay, dan dari sana baru menuju Kaypang. Informasi ini tolong jangan dibocorkan, terutama perjalananku ke Thian San Pay, Lembah Salju Bernyanyi dan kemudian ke Kaypang ...." "Baiklah Liong-ko .... melihat tingkat keseriusan urusan kita, memang sebaiknya waktu terakhir ini digunakan untuk latihan-latihan terakhir. Sebetulnya Lian Moi sudah memasuki tahapan terakhir pembauran tenaganya, dia nampaknya setahap di depanku dan Lan Moi. Jika memungkinkan, biarkanlah kami melanjutkan latihan tersebut untuk 2-3 hari lagi, pada saat itu nampaknya Lian Moi sudah tuntas dengan peleburannya. Dan aku akan memulai meneliti kitab warisan suhu ......" "Baiklah bila begitu lebih baik. Tetapi, aku akan menutup diri selama lebih seminggu, mungkin sekitar 10 harian untuk mengobati bibi Sian Cu dan kemudian melatih Beng Kui dan Giok tin ...." "Tidak mengapa toako, pada saatnya kita akan berangkat meski tidak perlu memberitahumu nantinya ......" Dan berlalulah kedua anak muda itu, kembali memasuki Lembah Pualam Hijau. Waktu telah menunjukkan tepat tengah malam ....... -0o~Marshall~DewiKZ~0o-