Dipylidiasis
Dipylidiasis
Dipylidiasis
disebabkan oleh Dipylidium caninum. Sebagai Definitif host selain anjing adalah kucing dan
carnivora lain sedangkan manusia adalah occasional host. Cacing ini menular dari hewan yang
terinfeksi ke manusia melalui intermediate host yaitu flea (Ctenocephalides canis,
Ctenocephalides felis dan Pulex irritans) ataupun kutu (Trichodectes canis). Kejadian
dypilidiasis pada manusia sangat tergantung pada kejadian dyplidiasis pada hewan dan ada
tidaknya intermediate host. Pernah ada penelitian terjadinya kasus dipylidiasis pada anjing di
Indonesia walaupun belum ada penelitian mengenai kejadian dipylidiasis pada manusia di
Indonesia. Potensi terjadinya penyakit ini sangat dimungkinkan mengingat anjing dan kucing
adalah hewan peliharaan yang umum pada sebagian orang.
A . Klasifikasi dan Morfologi Pinjal
Pinjal termasuk ke dalam ordo Siphonaptera yang pada mulanya dikenal sebagai ordo
Aphniptera. Secara umum, morfologi pinjal mempunyai tubuh pipih berukuran 1,5-4 mm, tidak
bersayap, mulut tersembunyi (berfungsi untuk menusuk-mengisap, mempunyai kaki-kaki yang
panjang dan kuat untuk meloncat, pada daerah dekat mata terdapat ocular bristle, mempunyai
abdomen dengan 10-12 segmen : pada segmen ke-8 atau ke-9 terdapat spermatheca (pinjal
betina), sedangkan pada yang jantan, penis terdapat pada segmen abdomen ke-5 atau ke-6. Juga
terdapat comb (rambut seperti sisir) yang penting untuk differensiasi pinjal yang terdiri dari
Genal comb di atas mulut dan thoracal comb yang terdapat di segmen pertama toraks..
Metamorfosa
pada
pinjal
adalah
metamorfosa
sempurna.
Adapun
jenis
pinjal,
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Sub Kelas
: Pterygota
Ordo
: Siphonaptera
Super Famili
: Pulicoidae
Famili
: Pulicidae
Genus
: Ctenocephalides
Spesies
: Ctenocephalides canis
Secara umum morfologi dari C.canis sama dengan C.felis, tetapi berbeda denganC.felis,
pinjal C.canis memiliki duri pertama dari ktenidia genal yang lebih pendek dari duri yang
dibelakangnya. Selain itu pinjal ini memiliki mamibrium melebar di apeks. Kaki belakang terdiri
dari delapan ruas.
Kepala C.canis dengan muka yang lebar memiliki panjang satu setengah dari tinggi
kepalanya (Roberts, 1992). Dengan penegasan bentuk kepala dari C,canis ini sedikit membulat.
Ciri-ciri inilah yang dapat digunakan untuk membedakannya dengan C.felis.
B. Daur Hidup Ctenocephalides Canis
Pinjal mengalami metamorphosis yang sempurna, yang dimulai dari telur, larva, pupa
kemudian menjadi pinjal dewasa. Pinjal betina biasanya mengeluarkan telur sampai dua puluh
butir setiap periode bertelurnya. Telur pinjal berbentuk oval dan berwarna keputihan. Biasanya
telur diletakkan di kandang, alas kandang dan kadang kalanya ditemukan pada rumput (Taboada,
1966).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya hidup dari pinjal C.canis dewasa adalah
temperature dan kelembaban lingkungan. Ctenocephalides canis dewasa dapat hidup optimal
pada lingkungan yang bertemperatur 27oC-39oC dengan kelembaban 75-92%. Pada lingkungan
yang kelembaban 60% C.canis dapat hidup selama 62 hari (Dryden, 1988).
Menurut soulsby (1982) C.canis dewasa dapat bertahan hidup selama 26 bulan dan
menghasilkan telur sebanyak 400-500 butir sepanjang hidupnya.
C. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Infestasi Pinjal
Diperkirakan bahwa 50% dari kasus dermatitis yang dilaporkan oleh dokter hewan
disebabkan oleh gigitan pinjal. Dinyatakan pula bahwa Ctenocephalides canis merupakan
penyebab utama flea allergic dermatitis (FAD) pada anjing dan kucing. FAD merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap komponen antigenic yang terkandung dalam saliva pinjal (Rust, 1997).
Selain bertindak sebagai vektor penyakit, ektoparasit ini juga dapat bertindak sebagai
inang antara bagi parasit lain misalnya cacing pita pada anjing dan kucing (Diphylidium
caninum) dan larva cacing filarial anjing (Dipetalonema recondinatum) (Levine, 1990).
PEMBAHASAN
A. Etiologi
Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita pada anjing yang disebabkan oleh
Dipylidium caninum. Selain anjing, hospes definitive lainnya adalah kucing dan karnivora liar.
Manusia terutama anak anak dapat sebagai occasional host . Sebagai intermediate hostnya
(hospes perantara) adalah flea (pinjal) anjing (Ctenocephalides canis), pinjal kucing
(Ctenocephalides felis). Selain itu Pulex irritans dan kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) juga
diduga sebagai intermediate host (Levine ND,1994).
Klasifikasi taksonomi cacing dipylidium caninum:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Platyhelminthes
Class
: Cestoda
Order
: Cyclophyllidea
Family
: Dipylidiidae
Genus
: Dipylidium
Species
: D. caninum
B. Morfologi
Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus ini
panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175 proglottid.
Scolex cacing ini berbentuk belah ketupat (rhomboidal) dan mempunyai 4 buah sucker yang
menonjol dan berbentuk oval. Sucker dilengkapi dengan rostellum yang retraktil dan berbentuk
kerucut serta dilengkapi dengan sekitar 30 sampai 150 kait (hook) berbentuk duri mawar yang
tersusun melengkung transversal. Proglottid mature berbentuk seperti vas bunga dan tiap
segmennya mempunyai 2 perangkat alat reproduksi serta 1 lubang kelamin di tengah tengah
sisi lateralnya. Proglottid gravid penuh berisi telur yang berada di dalam kapsul / selubung
(kantung). Tiap kantung berisi sekitar 15 sampai 25 telur. Fenomena inilah yang disebut sebagai
eggball. Tiap butir telur berdiameter sekitar 35 sampai 60 dan berisi oncosphere yang
mempunyai 6 kait. Proglottid gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok
2 sampai 3 segmen. Segmen segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci per jam dan
keluar melewati anus atau bersama feces.
C. Host intermediate
Pinjal (flea) dari anjing (Ctenocephalides canis) dan kucing ( Ctenocehalides felis) atau
kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) merupakan intermediate host ( hospes perantara ) dari
Dipylidium caninum ini. Spesies pinjal Ctenocephalides Spp dan Pulex irritans merupakan
hospes antara yang paling sering ditemukan. Meskipun kutu Trichodectes canis juga dapat
bertindak sebagai hospes antara. Larva pinjal mungkin mengkonsumsi sejumlah kapsul telur
yang tiap telur mengandung sejumlah onkosfer. Seekor pinjal dapat memiliki sistiserkoid dalam
jumlah besar sehingga dapat menginfeksi anjing beberapa kali (Subronto, 2006).
D. Siklus hidup
Apabila telur Dipylidium caninum tertelan oleh larva dari hospes perantara, maka
oncosphere akan keluar dari telur dan menembus dinding usus hospes perantara dan selanjutnya
akan berkembang menjadi larva infektif yang disebut larva cysticercoid. Apabila hospes
perantara yang mengandung larva cysticercoid tersebut tertelan oleh hospes definitive, maka
larva cysticercoids akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitive serta
tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari.
( Soulsby,1982 ; Brown,1975). Penyebaran penyakit ini pada hewan maupun manusia sangat
tergantung pada ada atau tidaknya hospes perantara karena perkembangan telur Dipylidium
caninum untuk menjadi larva yang infektif yaitu cysticercoid harus di dalam tubuh hospes
perantara yaitu pinjal atau kutu anjing.
E. Patogenesis
Selain menyebabkan rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta
rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut akan
menyebabkan penderita menggosok gosokan bagian rektalnya di tanah. Penderita dengan infeksi
berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan berat badan yang menurun (Subronto,
2006).
F. Gejala Klinis
Cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan gangguan syaraf (Foreyt,
2001). Rasa gatal di daerah anus yang diperlihatkan dengan menggosok-gosokan bagian yang
gatal tersebut serta berjalan dengan tubuh yang tegak merupakan petunjuk kuat untuk diagnosa
(Subronto, 2006).
G. Diagnosa Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara
memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama feces.
Kadang kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita.
H. Pencegahan
Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak anak
dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu
perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida (Soedarto, 2007)
I. Pengobatan
Anthelmintik yang dapat digunakan untuk dipylidiasis adalah praziquantel 600 mg dosis
tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau 1,5 gr untuk anak dengan
berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak dengan berat badan 11-34 kg. Selain itu
Quinakrin (atabrin) dapat juga digunakan. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009; Markell EK, et al,
1992). Pada anjing dan kucing anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide,
arecolineacetasol, Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982)
Pyrantel
merupakan
obat
cacing
golongan
tetrahydropyrimidin,
derivat
dari
imidazothiazole dengan rumus kimia yaitu E-1,4,5,6-tetrahydro-1-methyl-2-[2-(2-thienyl)vinyl]pyrimidine (Ganiswara, 1995) dengan garam pyrantel yang diproduksi adalah pamoat yang
berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, namun dalam bentuk cairan jika terkena
cahaya matahari akan mengalami fotoisomerisasi sehingga tidak memiliki potensi sebagai obat
cacing dengan demikian bila telah dilarutkan harus segera dihabiskan. Pada hewan berlambung
tunggal, pyrantel segera diserap setelah pemberian dengan kadar puncak plasma tercapai dalam
2-3 jam.
Garam pyrantel pamoat larut dalam air, dan hal ini menguntungkan untuk membunuh
cacing yang hidup di usus posterior (Subronto, dan Tjahajati, 2008). Absorbsi pyrantel pada usus
tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian
besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan
metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya
keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala (Ganiswara, 1995).
Praziquantel merupakan antihelmintes terutama cestoda yang merupakan derivat dari
pirazinoisokuinolin yang efektif terhadap cestoda dan trematoda. Praziquantel tidak berwarna
dan tersasa pahit.Terabsorbsi secara cepat pada pemberian secara oral dan dimetabolisme dalam
hepar sebelum di ekskresikan ke dalam empedu. Efektif untuk mengatasi parasit Dipylidium
caninum, T. pisiformis, dan E. granulosus. Jangan diberikan pada anjing atau anjing berumur 1
2 bulan (Rossof, 1994).
Efek anthelmentik praziquantel secara invitro, praziquantel diambil secara cepat dan
reversibel oleh cacing tetapi tidak dimetabolisme. Kerjanya cepat melalui dua cara. Pertama pada
kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot pada cacing karena holangnya ion
Ca intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang sifatnya reversible, yang
mungkin menyebabkan terlepasnya cacing dari tempatnya yang normal pada hospes. Yang
kedua, pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel dapat menyebabkan terjadinya
vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan
hospes dipacu dan terjadi kematian cacing.
Pada pemberian oral absorbsinya baik, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam
waktu 1-2 jam. Metabolisme obat berlangsung cepat melalui proses hidroksilasi dan konjugasi
sehingga kadar metabolit dalam plasma kira-kira 100 kali kadar praziquantel. Metabolitnya
sebagian besar diekskresikan bersama urin dan sedikit diekskresikan dalam bentuk utuh. Efek
samping segera timbul segera setelah diberi pengobatan seperti sakit perut, anoreksia, sakit
kepala dan pusing, namun efek ini hanya sementara dan ringan dan timbulnya tergantung
besarnya dosis.
DAFTAR PUSTAKA
Brown hw, 1975. Basic Clinical Parasitology.4thEd.Appleton Century Crofts. 185-187.
Dharmawan NS. Suratma NA, Damriyasa M, Merdana IM.2003. Infeksi Cacing Pita pada Anjing
Bali dan Gambaran Morfologinya.Jvet.Vol 4(1).
Levine ND.1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press.163
164,480.
Markell EK, voge M, John DT. 1992.Medical Parasitology.7thEd.WB Saunders Company.254255.
Natadisastra D, Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. EGC.122-123.
Soedarto.2003.Zoonosis Kedokteran.Airlangga University Press.67.
Soedarto.2007.Sinopsis Kedokteran Tropis.Airlangga University Press.75-76.
Soedarto.2008.Parasitologi Klinik.Airlangga University Press.37-39.
Soulsby EJL.1982.Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7 thEd.Bailliere
Tindal London. 105.