Referat Ket
Referat Ket
Referat Ket
Kehamilan ektopik merupakan masalah yang besar bagi wanita yang sedang dalam usia reproduktif. Hal ini merupakan hasil dari kesalahan dalam fisiologi reproduksi manusia yang membiarkan hasil konseptus untuk
berimplantasi dan matang diluar kavitas endometrium, yang secara langsung akan berakhir pada kematian fetus. Tanpa diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat, kehamilan ektopik ini dapat menjadi keadaan yang membahayakan jiwa. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik menjadi penyebab utama kematian yang berhubungan dengan kehamilan dalam trimester pertama kehamilan di Amerika Serikat. Dengan terjadinya keadaan sakit yang tiba-tiba akibat kehamilan ektopik, masa depan kemampuan wanita untuk hamil kembali dapat terpengaruh menjadi buruk. Kehamilan ektopik pertama kali diungkapkan pada abad ke-11, dan, sampai pertengahan abad ke-18, biasanya berakibat fatal. John Bard melaporkan satu intervensi bedah yang berlangsung sukses untuk mengobati sebuah kehamilan ektopik di New York pada tahun 1759. Angka keselamatan pada awal abad ke-19 sangat kecil, satu laporan mengatakan hanya 5 dari 30 yang dapat selamat dari operasi abdominal. Menariknya, angka keselamatan pasien yang tidak diobati 1 dari 3.
Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan yang mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KET harus mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif.
2.1 DEFINISI
Kehamilan ektopik adalah semua kehamilan dimana sel telur yang dibuahi oleh spermatozoa berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus.1,2 Pada tahap awal perkembangannya, embrio dapat tumbuh dan berkembang di dalam saluran tuba tetapi jika dibiarkan maka perkembangan embrio tersebut dapat menyebabkan ruptura/pecahnya saluran tuba atau saluran telur tersebut karena berkembang melebihi kapasitas ruang tempat implantasi. Jika ini terjadi maka akan terjadi perdarahan hebat akibat ruptura saluran tersebut, perdarahan tersebut akan mengumpul di dalam rongga perut seorang wanita dan jika dibiarkan maka wanita tersebut akan meninggal karena perdarahan tidak diatasi, hal ini disebut dengan kehamilan ektopik terganggu (KET). 3,4 Berdasarkan tempat implantasinnya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan:4 Tuba Fallopii Uterus (diluar endometrium kavum uterus) Ovarium Intraligamenter Abdominal Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus
Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di isthmus, dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal, dan intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus.3,5,6
Ada beberapa pendapat yang menggolongkan kehamilan ekstrauterin, namun pendapat ini tidaklah tepat karena kehamilan di kornu, servik uterus termasuk dalam kehamilan ektopik.3,4
2. 2 EPIDEMIOLOGI
Insiden dari kehamilan ektopik digambarkan dalam berbagai macam cara pada beberapa literature. Denominator yang paling umum digunakan adalah jumlah konsepsi yang dikenali, yang mana digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 1000 konsepsi. Denominator lainnya adalah jumlah wanita dalam usia produktif, yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 10.000 wanita dalam rentang usia 14-44 tahun, dan jumlah total kelahiran yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 1000 kelahiran.
Akan sangat baik bila dapat menghitung insiden kehamilan ektopik per 1000 total konsepsi. Namun, bagaimanapun juga, sejak abortus spontaneous dan banyak abortus yang direncanakan tidak dilaporkan, denominator itu selalu lebih kecil dibandingkan dengan angka yang sebenarnya, dan juga sejak kehamilan ektopik asimptomatis yang tidak diketahui sehingga tidak dilaporkan. Hal ini mengakibatkan insiden kehamilan ektopik per 1000 total konsepsi yang sebenarnya tidak akan dapat diukur secara tepat. Jumlah insiden yang dilaporkan di literatur, bagaimanapun juga, merupakan perkiraan yang baik dan, sejak metodologi yang digunakan sama , maka dapat dibandingkan secara tepat.7 Pada perkembangan terbaru, di Inggris, kehamilan ektopik masih merupakan penyebab terbesar pada kematian ibu hamil trimester pertama. Hampir 32.000 kehamilan ektopik terjadi yang tercatat setiap tahunnya. Di Amerika Serikat, jumlah kejadian setiap tahunnya menurun dari 58.178 pada tahun1992 menjadi 35.382 pada tahun 1999. Di Norwegia, diperkirakan angka kejadian ini menurun seiring dengan menurunnya angka kejadian Pelvic Inflammatory Disease (PID).8 Di Indonesia, berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan menderita kehamilan ektopik atau 0,02%. (BPS Kesehatan, 2007). Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 terdapat 153 kehamilan ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan.9
2.3 ETIOLOGI
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan pembuahan didalam ampulla tuba, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah.1,2,6 Resiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya beberapa faktor, termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, operasi pada tuba, infeksi pelvis, paparan Diethylstil-bestrol (DES), penggunaan IUD, dan fertilisasi in vitro pada penyakit tuba. Faktor-faktor ini mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis, fungsional, atau keduanya. Pastinya, sangat sulit untuk menilai penyebab dari implantasi ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba. Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopii dan berjalan kedalam tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang
mengganggu fungsi normal dari tuba fallopii selama proses ini meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik.6,10 Kehamilan ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de Graaf yang baru pecah dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel, atau apabila sel telur yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium. Kehamilan intraligamenter biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan mudigah masuk di antara 2 lapisan ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan dengan faktor multiparitas yang beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada rahim termasuk seksio
sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba, walau ada yang primer terjadi di rongga abdomen.3 Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor pada tuba yang dapat mendukung terjadinya kehamilan ektopik :2 1. Faktor dalam lumen tuba : a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu; b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping; c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna.
2. Faktor pada dinding tuba : a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba; b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur yang dibuahi ditempat itu. 3. Faktor diluar dinding tuba : a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan telur; b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba. 4. Faktor lain : a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiriatau sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus. Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi premature; b) Fertilisasi in vitro. Diantara faktor-faktor tersebut diatas, salpingitis akut merupakan penyebab utama. Tempat keluar ovum pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai peran dalam kehamilan ektopik. Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari ovarium telah dianggap sebagai penyebab dari terlambatnya transport blastokist, dan oleh Breen, dilaporkan bahwa ovulasi dari arah kontralateral ditemukan pada sepertiga dari gestasi tuba yang diobati dengan laparatomi. Bagaimanapun juga, Saito dkk. mengamati bahwa bagian dari tuba dimana terjadi implantasi pada 8
wanita dengan kehamilan ektopik adalah sama pada apakah korpus luteum berada di ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah satu faktor, hipotesis dari mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di distal tuba dengan ovulasi dari kontralateral ovarium. Penyebab lain yang lebih fisiologik adalah ketidakseimbangan
hormonal, yang mana peningkatan kadar estrogen atau progesterone yang beredar dapat merusak kontraktilitas normal tuba. Kenaikan rata-rata kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada wanita yang digambarkan secara fisiologis dan farmakologis mempunyai kadar progestin yang meningakat. Secara iatrogenik, dapat terjadi peningkatan estrogen dan progesterone setelah induksi ovulasi baik itu dengan clomiphene citrate atau human menopausal gonadotrophins, dan dilaporkan terjadi kenaikan angka kehamilan ektopik pada wanita dengan perlakuan seperti itu. Kemungkinan penyebab lainnya adalah perkembangan embrionik yang abnormal. Stratford memeriksa 44 konseptus dari gestasi ektopik dengan mikrodiseksi dan potongan histologik dan menemukan sekitar duapertiga abnormal dan setengahnya mempunyai banormalitas structural umum. Kelainan abnormal-abnormal ini dapat mengganggu transport normal di tuba.7 Tatum dan Schmidt menyimpulkan bahwa kehamilan yang mucul yang dikarenakan kegagalan beberapa metode kontrasepsi mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menjadi ektopik dibandingkan pada wanita yang hamil karena tidak memakai alat kontrasepsi. Wanita yang menjadi hamil sewaktu memakai IUD Copper T380 atau kontrasepsi oral progestin saja, mempunyai kemungkinan 5% lebih tinggi untuk mengalami kehamilan ektopik. Wanita yang menjadi hamil selama memakai progesterone-releasing IUD bahkan lebih tinggi,
sekitar 25%, bahkan bila dibandingkan dengan wanita yang tidak memakai alat kontrasepsi sama sekali, kemungkinan terjadi kehamilan ektopik lebih besar dua lipat. Hal ini disebabkan progesterone menghambat kontraksi tuba. Walaupun pada banyak laporan yang mengatakan bahwa riwayat aborsi yang diinduksi meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik, Levin dkk. menunjukkan metode statistik yang digunakan untuk mengontrol efek dari faktorfaktor resiko, riwayat dari satu aborsi yang diinduksi tidak meningkatkan secara bermakna kemungkinan terjadi kehamilan ektopik. Efek itu baru akan nyata bila sudah dua atau lebih aborsi.
2.4 PATOFISIOLOGI
Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian berturut-turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah intersisial tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan ektopik non tuba sangat jarang.1,2,7. Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi rupture.7 Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya
vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara
10
interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas. Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis. Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu sampai 10 minggu.2 Kemungkinan itu antara lain :2,11
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam
11
keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk beberapa hari. 2. Abortus tuba Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koriales kea rah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars amoullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat membesar karena darah dan membentuk hematosalping.
12
3. Ruptur tuba Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan ruptur pada saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars intersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina.
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi 13
dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder.
14
Seperti mual, muntah, uterus membesar dan lembek, yang mungkin tidak sesuai dengan usia kehamilan. 2.Nyeri abdomen Nyeri yang dapat dirasakan pada satu sisi atau kedua sisi perut bagian atas, bawah, atau seluruh bagian perut. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. 3.Terlambat menstruasi atau Amenorhea Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh
hemoperitoneum. 4.Perdarahan pervagina Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.
15
5.Tanda-tanda syok Penderita pucat, kesadaran menurun atau lemah, Nadi lemah, tekanan darah menurun akibat kehilangan banyak darah. 6. Gangguan vasomotor Berupa vertigo atau sinkop, payudara terasa penuh, fatigue. 7. Iritasi diafragma bila perdarahan intraperitoneal cukup banyak Berupa kram yang berat dan nyeri pada bahu atau leher, terutama saat inspirasi. 8.Pada pemeriksaan vaginal Timbul nyeri jika serviks digerakkan, kavum douglas menonjol dan nyeri pada perabaan. 9.Pada USG Tampak kantong kehamilan dan denyut jantung janin di dalam tuba.
2.6 DIAGNOSIS
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang belum terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau
16
abortus dahulu sehingga menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis, dengan anamnesis yang teliti dapat dipikirkan kemungkinan adanya kehamilan ektopik, namun untuk menegakkan diagnosis pasti harus dibantu dengan pemeriksaan fisik yang cermat dan dibantu dengan alat bantu diagnostik. Sekarang ini, peran alat bantu diagnostik sangatlah penting, dan sudah merupakan sesuatu yang harus dilakukan,apabila memang tersedia, untuk menentukan diagnosis.2 Anamnesis. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus. Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi setelah muncul keluhan nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna dari darahnya, apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah pernah hamil, riwayat menstruasinya.2,4 Pemeriksaan umum. Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan kesakitan. Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda syok dan pasien merasakan nyeri perut yang mendadak. Pada jenis yang tidak mendadak, mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit
menggembung dan nyeri tekan.2 Pemeriksaan ginekologi. Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan muda. Perabaan serviks dan gerakkannya menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor disamping
17
uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga teraba menonjol dan nyeri raba yang menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Kadang terdapat suhu yang naik, sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.2,4 Pemeriksaan laboratorium. Para dokter di ruang gawat darurat biasanya menggunakan beta-human chorionic gonadotropin (-hCG) untuk mendiagnosis kehamilan, dan untuk membantu menentukan potensi pasien mengalami kehamilan ektopik. -hCG diproduksi oleh trofoblas dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid berikutnya. Jika serum -hCG negatif, kemungkinan besar tidak terjadi kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien dengan tes serum -hCG negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan kadar -hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai mencapai puncaknya 100.000 mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah mencapai nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis dengan USG. Pemeriksaan tunggal tes -hCG kuantitatif ini berguna untuk mendiagnosis kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara kehamilan ektopik atau kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium umum lainnya adalah pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah bila terjadi perdarahan yang sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari 20.000. 2,5
18
19
Dalam penelitian oleh Samuellson dan Sjovall, didapatkan ada 4 dari 166 kehamilan ektopik yang tidak dapat dilihat oleh laparaskopis karena hal diatas, sehingga ada kemungkinan 2-5 % terjadi false-positif atau false-negatif. Human Chorionic Gonadotrophin Wanita dengan kehamilan ektopik menunjukan adanya kadar hCG dalam serum, walaupun 85% diantaranya lebih rendah dibandingkan dengan kadar hCG pada kehamilan normal. Uji hCG tunggal kuantitatif tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik karena tanggal pasti dari ovulasi dan konsepsi terjadi tidak diketahui pada banyak wanita. Pada kehamilan yang abnormal seperti kehamilan ektopik ini, kadar hCG biasanya tidak meningkat seperti seharusnya. Kadar dkk. melaporkan bahwa jika persentase kenaikan kadar hCG tidak lebih dari 66%, maka kemungkinan seseorang untuk mempunyai kehamilan abnormal tinggi. Progesteron Karena pemeriksaan kadar hCG secara tunggal tidak dapat memberikan informasi untuk mendiagnosis 20 kehamilan ektopik, sehingga
membutuhkan beberapa hari untuk melakukan serial tes, maka pengukuran kadar progesterone serum tunggal oleh beberapa kelompok dapat dipakai untuk membedakan kehamilan ektopik dengan kehamilan normal intrauterin. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa jumlah progesterone yang dihasilkan korpus luteum pada kehamilan ektopik lebih sedikit dibandingkan dengan korpus luteum pada kehamilan normal. Stern dkk. mengukur sampel kadar progesterone pada beberapa wanita hamil di minggu gestasi ke 4, 5, dan 6. Mereka melaporkan bahwa pada minggu ke-4 dengan kadar kurang dari 5 ng/ml, sensitifitas yang didapat 100% dan spesifitasnya 97% dan menurun seiring meningkatnya umur gestasi. Bila kadar progesterone lebih dari 25 ng/ml menyingkirkan kehamilan ektopik dengan kepastian 97,4%. Ultrasonography Dengan menggunakan ultrasonografi abdominal, Kadar dkk. melaporkan pada tahun 1981 bahwa jika level hCG lebih besar dari 6500 mIU/ml dan tidak ada kantong gestasi pada uterus, hampir pasti kehamilan ektopik. Tapi, teknik ini tidak berguna secara klinik, karena banyak wanita (90%) dengan kehamilan ektopik mempunyai level hCG yang jauh dibawah nilai diatas. Perkembangan alat dengan transduser transvaginal dengan frekuensi 5.0 sampai 7.0 MHz, lebih mampu melihat lebih tepat organ pelvis pada awal kehamilan dibandingkan transabdominal. Dengan alat ini biasanya mungkin bisa untuk mengidentifikasi kantong gestasi intrauterine saat kadar hCG mencapai 1500 mIU/ml dan selalu bila kadar hCG sudah
21
mencapai 2000 mIU/ml pada sekitar 5 atau 6 minggu setelah haid terakhir. Karena kombinasi kehamilan intrauterine dan ekstrauterin hampir merupakan kejadian yang jarang, maka penemuan kantong gestasi intrauterine hampir selalu dapat menyingkirkan adanya kehamilan ektopik. Bila kantong gestasi tidak ditemukan dan kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, lebih mungkin terjadi kehamilan patologis, apakah itu kehamilan ektopik, atau suatu gestasi intrauterine tidak viable, dan harus dipikirkan kemungkinannya. Biasanya massa adneksa dan/atau struktur yang menyerupai kantong gestasi dapat dikenali pada saluran telur saat kehamilan ektopik muncul yang menghasilkan kadar hCG diatas 2500 mIU/ml.
Jadi
kriteria
diagnosis
USG
dengan
menggunakkan
transduser
transvagina untuk kehamilan ektopik termasuk : adanya komplek atau massa kistik adneksa atau terlihatnya embrio di adneksa dapat dideteksi, dan/atau tidak adanya kantong gestasi dimana diketahui bahwa usia gestasi sudah lebih dari 38 hari, dan/atau kadar hCG diatas ambang tertentu, biasanya antara 1500 dan 2500 mIU/ml. 22
Dilatasi kuretase Saat serum kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, usia gestasi lebih dari 38 hari, atau serum kadar progesterone kurang dari 5 ng/ml dan tidak ada kantong gestasi interauterin yang terlihat denga transvaginal USG, kuretase kavum endometrial dengan pemeriksaan histologi pada jaringan yang dikerok, dengan potong beku bila mau, dapat dikerjakan untuk menentukan apakah ada jaringan gestasi. Spandorfer dkk. melaporkan bahwa potong beku 93 % akurat dalam mengenali villi koriales. Jika tidak ada jaringan villi koriales yang terlihat pada jaringan yang diangkat, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat dibuat dan dilakukan tindakan.
23
Teraba massa yang terpisah dari uterus, sedangkan kehamilan tuba umumnya terasa menempel pada uterus. Perut lunak dan mungkin terdapat demam akibat perdarahan intraperitoneal. Tanda dan gejala kehamilan mungkin tidak ditemukan namun ada riwayat serangan nyeri berulang yang menghilang dengan sendirinya 4. Abortus Inkomplit Gejala klinik yang dominan adalah perdarahan, umumnya terjadi sebelum ada nyeri perut. Perdarahan berwarna merah, bukan coklat tua seperti pada kehamilan ektopik. Nyeri perut umumnya bersifat kolik dan kejang (kram). Uterus membesar dan lembek, terdapat dilatasi serviks. Hasil konsepsi dapat dikenali dari pemeriksaan vagina 5. Corpus Lutheum Hemoragis 6. Pelvic Inflammatory Disease (PID) atau Radang Panggul 7. Endometriosis
2.8 PENATALAKSANAAN
Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik, yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien harus bersedian diawasi secara lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan perkembangan yang baik. Pasien juga harus menerima segala resiko apabila terjadi rupture harus dioperasi.2,9,6,11
24
TERAPI BEDAH Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif (biasanya salpingotomi) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan ektopik yang hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi dapat dilakukan dengan teknik laparaskopi. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil ektopik yang belum ruptur dan besarnya tidak lebih dari 5 cm pada diameter transversa yang terlihat komplit melalui laparaskop.
25
Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan antimesenterik dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki hemostasis. Gestasi ektopik dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang berdarah di kauter. Pengkauteran yang banyak didalaam lumen tuba dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan, dan untuk itu dihindari. Penyembuhan secara sekunder atau dengan menggunakan benang menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk pasien dengan tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini mempunyai kemungkinan invasi trofoblastik kedalam muskularis tuba yang lebih kecil dibandingkan dengan implantasi pada isthmus.
Gambar 7 : Linear salpingektomi di permukaan antimesenterik tuba pada kehamilan ektopik di pars ampullaris.
Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada tempat idthmus dapat dilakukan salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat dilakukan gerakan seeperti memeras (milking) untuk mengeluarkan jaringan trofoblastik melalui fimbriae.
26
Gambar 8 : Kehamilan ektopik tuba kanan yang terlihat pada laparaskopi. Tuba kanan yang membesar karena terdapat kehamilan ektopik ada disebelah kanan di E. Tuba kiri yang tersumbat terlihat pada L- wanita ini pernah dilakukan ligasi tuba
Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit waktu yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau total salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah kehamilan ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik yang tidak komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi sebagai profilaksis pada pasien resiko tinggi.6,11
TERAPI FARMAKOLOGI Diagnosis dini yang telah dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan dengan obat-obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari tindakan bedah beserta segala resiko yang mengikutinya, mempertahankan patensi dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti
27
termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik ( misal: methotrexate dan actinomycin ), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan dibahas lebih jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat.
METHOTREXATE Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka dkk. untuk kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki (1983) dan Ory dkk. yang menggunakannya sebagai terapi garis pertama pada kehamilan ektopik. Sejak itu banyak dilaporkan pemakaian methotrexate pada berbagai jenis kehamilan ektopik yang berhasil. Lalu, dengan semakin banyaknya keberhasilan memakai obat, maka mulai diperbandingkan pemakaian
methotrexate dengan terapi utama salpingostomi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, agen yang paling banyak dipelajari adalah methotrexate, suatu antagonis asam folat (agen kemoterapeutik antimetabolit) yang dimetabolisme di hati dan diekskresikan oleh ginjal. Methotrexate bekerja dengan menghambat sintesis basa purin dan pirimidin dengan berikatan pada enzim dihidofolat reduktase, sehingga dapat
mengintervensi sintesis DNA dan multiplikasi sel. Sel-sel dengan tingkat pembelahan tinggi paling sensitif terhadap methotrexate. Berdasarkan sifatnya, obat ini bekerja pada jaringan trofoblastik, dan juga berefek pada mukosa bukal, traktus gastrointestinal, kandung kemih, sumsum tulang dan kulit. Methotrexate telah lama dikenal efektif dalam pengobatan leukemia, limfoma, dan karsinoma kepala, leher, payudara, ovarium, dan kandung kemih.
28
Methotrexate juga digunakan sebagai agen imunosupresif untuk mencegah reaksi graft vs host, untuk pengobatan psoriasis dan rheumatoid arthritis. Efek samping terkait penggunaan methotrexate dapat dibagi menjadi dua, yaitu akibat efek samping obat dan akibat terapi. Efek samping obat antara lain adalah mual, muntah, stomatitis, diare, distress gaster dan pusing, peningkatan sementara enzim hati. Pada dosis lebih tinggi dapat menyebabkan supresi sumsum tulang, dermatitis, pleuritis, pneumonitis, dan alopesia, namun jarang terjadi pada dosis untuk terapi kehamilan ektopik. Terapi dengan methotrexate juga menimbulkan keluhan seperti nyeri abdominal yang bertambah, peningkatan kadar -hCG pada hari 1-3 terapi, serta flek atau perdarahan vagina. Methotrexate yang digunakan adalah 1 mg/kg IV. Walaupun methotrexate memiliki potensi menimbulkan efek samping toksik yang diagnosis kehamilan ektopik telah ditegakkan dan massa ektopik memiliki dimensi terbesar kurang dari 3.5 cm, terapi methotrexate dapat dijadikan pertimbangan. Selain itu, kadar hCG perlu dipertimbangkan pada pasien sebelum terapi ini. Suatu studi menunjukkan bahwa kadar -hCG lebih dari 1500 mIU per mL dikaitkan dengan resiko kegagalan terapi yang lebih tinggi. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa pasien dengan kadar -hCG lebih dari 5000 mIU per mL umumnya tidak responsif terhadap terapi methotrexate.
29
Indikasi dan kriteria pasien untuk terapi methotrexate antara lain adalah12:
Hemodinamik yang stabil, tanpa tanda atau gejala perdarahan aktif atau hemoperitoneum. Konfirmasi adanya kehamilan ektopik Kadar -hCG tidak melebihi 15000 IU/L Adanya resiko tinggi terkait anestesi umum Komplains baik dan mampu kembali untuk follow-up Ukuran kantung gestasi 3.5 cm pada dimensi terbesarnya menggunakan pengukuran ultrasonik Tidak ditemukan gerakan jantung fetus Hipersensitivitas terhadap methotrexate Laktasi Alkoholisme Penyakit hati alkoholik atau kelainan hati lainnya Diskrasia darah: leukopenia, trombositopenia, anemia Penyakit paru aktif Ulkus peptikum Disfungsi ginjal atau hati atau darah
30
31
Sebelum terapi dimulai, diperlukan pengambilan sampel darah untuk menentukan fungsi ginjal, hati dan sumsum tulang, serta untuk melihat kadar awal -hCG. Pada hari ke 4 dan 7 setelah injeksi awal, ulang penilaian kadar -hCG. Umumnya terjadi peningkatan kadar -hCG pada hari ke-3. Penurunan kadar -hCG sebesar minimal 15% pada hari ke 4-7 setelah injeksi mengindikasikan respons keberhasilan. -hCG pasien harus tetap dimonitor setiap minggunya hingga tidak terdeteksi. Kegagalan terapi ditandai dengan meningkat, menetap atau gagal tidak terjadi penurunan kadar -hCG sebesar 15% pada hari ke 4-7 setelah injeksi. Bila terjadi, dapat dipikirkan perlunya terapi pembedahan. Pengulangan dosis tunggal methotrexat juga dapat dijadikan pilihan setelah dilakukan evaluasi ulang pasien.11
2.9 PROGNOSIS
Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan terlambat, maka angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada kehamilan ektopik biasanya akan mati dan tidak dapat dipertahankan karena tidak berada pada tempat dimana ia seharusnya tumbuh. Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan terapi yang ada sekarang, kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali membesar,
32
namun ini harus didukung kemampuan untuk menegakkan diagnosis dini sehingga dapat diintervensi secepatnya. 2
33
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sepilian, Vicken; Ellen W. Ectopic Pregnancy.
www.emedicine.com/health/topic3212.html 2. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta.2005.hal 323-338. 3. Wiknjosastro, Hanifa. Gangguan Bersangkutan Dengan Konsepsi. Ilmu Kandungan edisi kedua. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.2005.hal 250-260. 4. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan edisi pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta. 2000.hal 198-210. 5. Della-Guistina, David; Mark Denny. Ectopic Pregnancy. Emergency Medicine Clinics of North America. Volume 21 number 3. W.B Saunders Company. August 2003. 6. Attar, Erkut. Endocrinology of Ectopic Pregnancy. Obstetric and Gynecology Clinics. Volume 31 number 4. W.B Saunders Company. December 2004. 7. Stenchever. Ectopic Pregnancy. Comprehensive Gynecology, 4th ed. Mosby Inc. 2001. 8. Sowter, Martin; Cindy Farquhar. Ectopic Pregnancy: an update. Current Opinion in Obstetrics and Gynecology. 2004, 16:289-293. 9. 10. Depkes RI, 2007. Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta Lemus, Julio. Ectopic Pregnancy:an update. Current Opinion in Obstetrics and Gynecology. 2000, 12:359-376. 11. Cunnuingham, FG et. Al. Reproductive Succes and Failure. Williams Obstetrics, 21st ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange. Connecticut. 2006. 12. Mycek., Harvey., Champe. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 2001.
35
36