Filsuf Agustinus [354-430 SM] dalam karya agungnya, Confessions, suatu saat pernah berkata: "What do I love when I love God? What do I love when I love you, my God?" 2 Pertanyaan lirih tersebut sejatinya bukan hanya milik sang santo...
moreFilsuf Agustinus [354-430 SM] dalam karya agungnya, Confessions, suatu saat pernah berkata: "What do I love when I love God? What do I love when I love you, my God?" 2 Pertanyaan lirih tersebut sejatinya bukan hanya milik sang santo kelahiran Numidia [Tunisia] itu. Inilah pertanyaan hakiki para pemeluk agama manapun ketika ia menyatakan imannya dengan penuh seluruh. Yah, itulah sebuah pertanyaan yang dalam bahasa agama dinilai sebagai muara ketaatan kita kepada Tuhan. "What do I love when I love God? What do I love when I love you, my God ?" Usaha menjawab pertanyaan fundamental inilah, menurut penulis, yang membuat wajah para pemeluk agama berada pada ranah bipolar yang bertolak belakang; ada yang mencintai perdamaian, ada pula yang mencintai kekerasan; ada yang toleran, ada juga yang intoleran. 3 Untuk itulah, menjadi maklum bila setiap orang [kelompok] beragama mengklaim bahwa ekspresi keberagamaan yang mereka tampilkan adalah bukti cinta [taat]nya yang paling benar kepada Sang Ilahi. Sebab, sebuah ekspresi kerberagamaan memang menuntut demikian. Tak aneh bila Alfred North Whitehead, dalam Religion in The Making, mengatakan bahwa: "Ekspresi itu satu sakramen fundamental. Ia sebuah tanda yang dapat dilihat nan lahiri dari sebuah penghayatan spiritual yang batini. Dan hal utama yang tampil dalam sebuah ekspresi itu bukan sekadar bentuk lelaku dan sejumlah [khutbah] kata-kata, tapi juga bagian sebuah seni." 4 Asumsi bingkai rasa kecintaan dan cara mengekspresikan kecintaan pada Sang Khalik itulah yang membuat kelompok [gerakan] Islam di Indonesia begitu meriah, tidak monolit, dan fragmentatif. Pada titik inilah, kita mafhum, kenapa gerakan Islam transnasional tampak begitu menggurita, menunjukkan identitasnya, di tanah air tercinta. Hizbut Tahrir Indonesia [HTI], sebagai salah satu representasi Islam transnasional 5 , contohnya, menerjemahkan kecintaan [ketaatan] pada Allah itu dengan cita-cita menerapkan negara dalam konsep Khilafah. Yakni, sebuah sistem pemerintahan yang diklaim berdasarkan al-Qur'an dan Sunnah, dan telah diwujudkan dalam sejarah kerajaan Islam yang panjang, sejak zaman Nabi Muhammad hingga kejatuhan imperium Utsmani. Karena itulah, HTI menolak demokrasi dan gagasan negara-bangsa [nation-state] lantaran Islam dianggap melampaui identitas nasional dan etnik. 6 Lebih dari itu, pada titik yang ekstrim, gerakan HTI menganggap negara yang ditempatinya itu harus didefiniskan sebagai dar al-Islam [wilayah Islam], wilayah yang menerapkan hukum syari'ah [tentunya model syari'ah sesuai pemahaman kelompok ini], dan bila bentuk dar al-Islam ini tidak dijadikan acuan, maka itu berarti ditafsirkan sebagai dar al-Kafir, hukum negara berdasarkam hukum orang kafir. [lihat
www.hizb-uttahrir]. Berdasarkan visi demikianlah HTI berniat 'meng-HT-kan' muslim Indonesia a la mereka. Sementara itu, di kutub yang lain, ada gerakan Islam lokal yang berpandangan bahwa visi dan misi HTI dalam 'menerjemahkan' cinta Allah itu tidak relevan dalam konteks keindonesiaan, bahkan dianggap sebuah utopia dan berpotensi memecah NKRI [Negara Kesatuan Republik Indonesia]. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan KH. Hasyim