Filsafat Sejarah: Prof. Ajid Thohir - Ringkasan Yan Nurcahya

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Filsafat Sejarah

Yan Nurcahya – 2230120020


Magister Sejarah Peradaban Islam – UIN Sunan Gunung Djati

FILSAFAT SEJARAH : Profetik, Spekulatif, dan Kritis – Prof. Ajid Thohir :


Ringkasan

Yan Nurcahya1*
1 Magister Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Gunung Djati

* Correspondence: [email protected]; 0821 1101 8434

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sulasman, M.Hum.,Dr. Suparman, M.Ag

Abstract: Philosophy of history includes speculative or substantive philosophy of history and critical
or analytical philosophy of history. The term speculative philosophy of history refers to a series of
past events as a special reality that historians pay attention to research. The study of the philosophy
of history is often understood as something complicated or abstract, because it no longer talks about
history as a narrative or description, but rather focuses on the reasoning dimension of arguments
about the historical world. Humans, space and time are a unity that cannot be separated in the study
of historical philosophical thought or in historical science, so that to understand each phase of social,
cultural development and its dynamics it is necessary to recognize the synergy or connection of each
of the three. Ibn Khaldun said that the essence of history contains the meaning of observation (nadzar),
efforts to search for the truth (tahqiq), and in-depth information about the causes and origins of
existing objects, as well as understanding and knowledge about the substance, essence and causes of
events. Stories of prophets, apostles, great figures who are good and bad, social descriptions of society,
villages, cities, and natural environments which are the sites of historical events that are both tragic
and comedic. Functionally, the Qur’an views history as knowledge for humans, its main purpose is
as guidance, guidance for human awareness.

Keywords: Philosophy of History, Productive, Speculative, Critical

Abstrak: Filsafat sejarah meliputi filsafat sejarah spekulatif atau substantif dan filsafat sejarah kritis
atau analitis. Istilah filsafat sejarah spekulatif menunjuk pada rangkaian peristiwa-peristiwa masa lalu
sebagai suatu realitas khusus yang menjadi perhatian bagi para sejarawan untuk diteliti. Kajian
tentang filsafat sejarah sering kali dipahami sebagai sesuatu yang rumit atau abstrak, karena bukan
lagi bicara sejarah sebagai narasi atau deskripsi, tetapi lebih mengarah pada dimensi nalar
argumentasi tentang dunia kesejarahan. Manusia, ruang, dan waktu merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan dalam kajian pemikiran filsafat sejarah maupun dalam ilmu sejarah, sehingga
untuk memahami setiap fase perkembangan sosial, budaya, dan dinamikanya perlu mengenali
sinergitas atau keterhubungan masing-masing dari ketiganya. Dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa
dalam hakikat sejarah terkandung pengertian observasi (nadzar), usaha untuk mencari kebenaran
(tahqiq), dan keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda maujud, serta pengertian dan
pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Kisah para nabi, rasul,
tokoh-tokoh besar yang baik dan jahat, gambaran sosial masyarakat, perkampungan, perkotaan,
hingga alam lingkungan yang menjadi tempat-tempat peristiwa sejarah yang bersifat tragedi maupun
komedi. Secara fungsional Al-Qur’an memandang sejarah sebagai pengetahuan bagi manusia, tujuan
utamanya adalah sebagai hidayah, petunjuk bagi kesadaran kemanusiaan.

Kata Kunci: Filsafat Sejarah, Profektif, Spekulatif, Kritis

https://scholar.google.com/citations?hl=en&user=TLcX0O4AAAAJ
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
2 dari 11

1. Pendahuluan
Filsafat sejarah meliputi filsafat sejarah spekulatif atau substantif dan filsafat sejarah kritis atau
analitis. Istilah filsafat sejarah spekulatif menunjuk pada rangkaian peristiwa-peristiwa masa lalu sebagai
suatu realitas khusus yang menjadi perhatian bagi para sejarawan untuk diteliti.
Semua umat manusia dan bangsa dilanda oleh perubahan di berbagai sandi kehidupan, tidak
terkecuali dengan Bangsa Indonesia. Perkembangan Teknologi, terutama teknologi informasi, telah
mengubah cara berpikir umat manusia di saat ini (Nurcahya, 2024:1).
Manusia sebagai mahluk hidup historis, hanya manusia yang dapat membuat sejarah. Seluruh
aktivitas manusia membentuk sistem budaya, sedangkan budaya sebagai tindakan manusia (actus
humanus) selalu terkait dengan rencana masa depan. Budaya membentuk sistem kehidupan masyarakat
yang sarat dengan nilai, ketika aturan hidup, norma adat istiadat, serta segala bentuk sistem pandangan
hidup masyarakat maka disaat itu pula manusia menjalankan segala aktivitas dengan berorientasi pada
nilai yang dianut oleh komunitasnya.

Gbr 1. Dua anak perempuan manusia 1943 di New York, Amerika Serikat

Menurut Azyumardi Azra, istilah 'sejarah', berasal dari kata Arab 'syajarah' yang berarti pohon.
Pemakaian istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa 'sejarah' --setidaknya dalam
pandangan orang yang pertama menggunakan kata ini-- berkaitan dengan syajarah al-nasab, pohon
geneologis yang dalam masa sekarang bisa disebut 'sejarah keluarga' (family history). Dalam arti yang
lain, bisa jadi karena kata kerja syajara juga punya arti to happen, to accur, dan to develop. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, kata syajarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan kata tarikh
(Arab), istoria (Yunani), history (Inggris), geschiedenis (Belanda), atau geschichte (Jerman), yang secara
sederhana mempunyai arti kejadian-kejadian yang menyangkut manusia di masa silam (Azyumardi
Azra, 2003: xi).
Menurut Ibn Khaldun (Ibn Khaldun,1986: 3), dengan menggunakan istilah fann al-tarikh sebagai
padanan kata sejarah, pada awalnya tidak lebih dari sekedar keterangan tentang peristiwa-peristiwa
politik, negara-negara, dan kejadian-kejadian pada masa lampau. Keterangan-keterangan yang berupa
peristiwa-peristiwa itu biasanya disampaikan oleh seorang penutur sebagai sebuah sajian dalam suatu
perjamuan atau pertemuan yang diselenggarakan oleh para pejabat pemerintah atau kerajaan. Karena
pentingnya infomasi tersebut bagi para pejabat dan penguasa, seperti dinyatakan pada bagian
pendahuluan alMuqaddimah, Ibn Khaldun mengatakan bahwa fann al-tarikh merupakan suatu jenis
ilmu yang dipelajari secara luas oleh bangsa-bangsa dan generasi-generasi. Bagaimana manusia saat
memainkan perannya sebagai subjek sejarah, sangat tergantung dari tantangan ruang dan waktunya.
Ada pula manusia saat menjadi objek sejarah akibat situasi dan kondisi alam yang mengitarinya begitu
kuat mengondisikannya.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
3 dari 11

2. Filsafat Sejarah
Kajian tentang filsafat sejarah sering kali dipahami sebagai sesuatu yang rumit atau abstrak,
karena bukan lagi bicara sejarah sebagai narasi atau deskripsi, tetapi lebih mengarah pada dimensi
nalar argumentasi tentang dunia kesejarahan. Hampir di semua wilayah filsafat, objek materinya selalu
bermuara pada abstraksi-abstraksi gagasan dan argumentasi-argumentasi nalar rasional dalam
menggambarkan tentang entitas dan realitas. Dengan demikian, membahas filsafat sejarah selalu
berkait dengan pemikiran yang mendalam tentang entitas dan realitas masa lalu, baik tentang dunia
masa lalu sebagai sebuah realitas, maupun tentang tulisan tentang masa lalu sebagai entitas atau
sebaliknya.
Manusia, ruang, dan waktu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam kajian
pemikiran filsafat sejarah maupun dalam ilmu sejarah, sehingga untuk memahami setiap fase
perkembangan sosial, budaya, dan dinamikanya perlu mengenali sinergitas atau keterhubungan
masing-masing dari ketiganya. Yakni dimensi manusia, dalam ruang, dan waktunya. Ruang bisa
dipahami sebagai tempat atau lokasi dari sebuah peristiwa maupun cerita sejarah, ia memiliki peran
yang sangat kuat dalam membentuk, menimbulkan dan memicu aktivitas manusia. Waktu adalah saat,
situasi, dan kronologi yang menegaskan kapan dinamika terjadinya atau saat peristiwa sejarahnya
terjadi. Waktu senantiasa selalu mengalami corak perubahan, setiap hari meskipun nama waktunya
sama, seperti Senin, Selasa, Rabu, dan seterusnya, tetapi suasana yang mengiringinya pasti akan
mengalami perbedaan.
Bagaimana manusia saat memainkan perannya sebagai subjek sejarah, sangat tergantung dari
tantangan ruang dan waktunya. Ada pula manusia saat menjadi objek sejarah akibat situasi dan
kondisi alam yang mengitarinya begitu kuat mengondisikannya. Oleh karena itu, sebuah masa atau
periode selalu bisa disebut sebagai ruang sejarah di mana dua kutub ini bermain atau dimainkannya.
Inilah apa yang disebut “dunia sejarah” jika di dalamnya terkandung tiga unsur entitas: ruang, waktu,
dan manusia yang memainkan atau dimainkannya.

2.1. Manusia Dalam Sejarah


Manusia selalu dilihat sebagai makhluk multidimensi; satu sisi sebagai makhluk individual dan
di sisi lain sebagai makhluk sosial, dan dalam dimensi yang sama ia juga sebagai makhluk biologis dan
makhluk spiritual. Seluruh potensi yang begitu kompleks ini, secara tidak langsung sangat
memungkinkan terjadinya gerak sejarah yang dinamis, baik secara pribadi dalam konteks psikologis,
maupun dengan kepentingan orang lain dalam konteks sosiologis sebagai makhluk sosial serta dengan
Tuhan dalam konteksnya sebagai makhluk spiritual.¹ Corak ragam peristiwa manusia dalam kemelut
sejarah selalu hadir dengan substansinya masingmasing. Apabila dikaji secara sistematis, maka akan
tampak strukturstruktur yang menaunginya, dan itulah sejarah sebagai sebuah sistem.
Sebenarnya identitas struktural ini selalu digarisbawahi oleh para sejarawan besar. Mereka
menunjukkan bahwa manusia mempunyai sejarah karena manusia mempunyai kodrat dan karakter.
Itulah pendirian para sejarawan Renaisans, seperti Machiavelli, dan banyak didukung oleh sejarawan
modern hari ini. Di balik arus waktu dan di belakang aneka corak kehidupan manusia, mereka
berharap bisa menggali ciri-ciri konstan kodrat manusia dan karakteristik perilakunya. Dalam On
Fortune and Misfortune in History, Jacob Burckhardt merumuskan tugas sejarawan adalah untuk
mengetahui dengan pasti unsur-unsur konstan yang selalu berulang dan tipikal.² Hal ini bisa dipahami
terkait dengan kesadaran historis, yang memang menjadibagian darinilai penting sebuah sejarah.
¹Lihat Dennis Fox & Isaac Prilleltensky. 2005. Psikologi Kritis; Meta-analisis Psikologi Modern, terj. Ahmad
Husaini dkk. Bandung: Mizan Publika.

²Burckhardt, Jacob. 1985. On Fortune and Misfortune in History dalam Hans Meyerhoff, The Philosophy of
History in Our Time. A doubleday Anchor Books, New York. h. 273.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
4 dari 11

Gbr 2 . ilustrasi kepadatan Penduduk manusia per-Km² 2024


Apa yang disebut dengan “kesadaran historis” adalah hasil dari peradaban manusia modern yang
gagasan awalnya telah dikembangkan pada abad ke-14 Masehi oleh Ibn Khaldun dalam Kitab al-
Muqaddimah dari magnum opus karyanya berjudul Tārīkh al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada waal
Khabardengan pendekatan filsafat sejarah yang relatif baru, yakni dengan mencari aspek-aspek
terdalam dari setiap fenomena sejarah manusia. Sebelum tampilnya para tokoh sejarawan Yunani,
kesadaran itu belum muncul. Bahkan para pemikir Yunani masih belum mampu mengajukan analisis
filsafat yang bercorak khas pemikiran historis. Analisis semacam itu baru muncul kemudian di Barat
pada abad ke-18 Masehi. Konsep sejarah untuk pertama kali mencapai kematangannya dalam karya
Giambatista Vico dan Herder. Waktu pertama kali sadar akan persoalan waktu, manusia tidak lagi
terkungkung oleh lingkaran yang sempit berupa keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan
sesaat. Ketika manusia mulai mempersoalkan asal usul benda, pertama-tama mereka memikirkan dan
menyatakannya dalam pengertian asal usul yang bercorak mitis, bukan asal usul yang bersifat historis.³
Kita bisa menelusuri masing-masing tahap dalam proses ini, apabila mempelajari perkembangan
pemikiran historis Yunani sejak Herodotus sampai Thucydides. Thucydides merupakan pemikir
pertama yang mengamati dan melukiskan sejarah zamannya sendiri dan meninjau masa lalu dengan
pikiran yang kritis dan jernih. Ia pun sadar bahwa langkahnya itu merupakan langkah yang baru dan
menentukan. Ia yakin bahwa pemisahan antara pemikiran mitis dan historis, antara legenda dan
kebenaran, adalah ciri khas yang akan membuat karyanya bernilai abadi. Dalam satu uraian singkat
tentang riwayat hidupnya, Ranke berkisah bagaimana ia mula-mula menyadari panggilan hidupnya
sebagai sejarawan. Di masa muda, ia sangat tertarik oleh tulisan-tulisan roman-historis Walter Scott,
dan ia amat terkejut ketika mengetahui bahwa deskripsi Scott ternyata amat bertentangan dengan
fakta-fakta historis.⁴
³Qasim Ahmad. 1991. Karya Sejarah. Kuala Lumpur, Malaysia; Dewan Bahasa dan Pustaka. h. 1-21.

⁴R.G. Collingwood. 1981. The Idea of History. London: Oxford University Press.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
5 dari 11

2.2. RUANG LINGKUP SEJARAH


Menurut Ibnu Khaldun, dengan menggunakan istilah fann al-tarikh sebagai padanan kata sejarah,
pada awalnya tidak lebih dari sekadar keterangan tentang peristiwa-peristiwa politik, negara-negara,
dan kejadian-kejadian pada masa lampau. Keterangan-keterangan yang berupa peristiwa-peristiwa itu
biasanya disampaikan oleh seorang penutur sebagai sebuah sajian dalam suatu perjamuan atau
pertemuan yang diselenggarakan oleh para pejabat pemerintah atau kerajaan. Karena pentingnya
informasi tersebut bagi para pejabat dan penguasa, seperti dinyatakan pada bagian pendahuluan al-
Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa fann al-tarikh merupakan suatu jenis ilmu yang
dipelajari secara luas oleh bangsa-bangsa dan generasi-generasi. Mengenai sejarah, Ibnu Khaldun
mengatakan:

“Pada hakikatnya sejarah (fann al-tarikh) adalah catatan tentang masyarakat manusia. Sejarah itu sendiri identik
dengan peradaban dunia; tentang perubahanyang terjadi pada watak peradaban, seperti keliaran,keramah-tamahan,
dan solidaritas atau ashabiyah; tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan lain
dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan berbagai tingkatannya; tentang kegiatan dan
kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan
pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri.”⁵

Selain itu, Ibnu Khaldun juga melihat sejarah sebagai sebuah siklus yang tidak berujung dari
kemajuan dan kemunduran sama seperti fenomena kehidupan manusia. Dia mengatakan bahwa
sejarah dalam realitasnya adalah informasi tentang masyarakat manusia, yakni kebudayaan manusia.
Pengertian seperti dikemukakan Ibnu Khaldun tersebut, tidak jauh beda dengan pengertian yang
disampaikan oleh al-Maqrizi. Hanya saja al-Maqrizi mengajukan batasan yang lebih longgar dengan
mengatakan bahwa sejarah adalah memberikan informasi tentang sesuatu yang telah terjadi di dunia.⁶

Seorang sejarawan tentu saja tidak mempunyai pengetahuan langsung atau empiris tentang fakta-
fakta sejarah, karena yang disebut sebagai fakta sejarah adalah bukti-bukti dari masa lalu yang tersedia
pada masa kini. Sejarawan harus melakukan penyusunan ulang (re-enact) masa lalu di dalam
pikirannya sendiri. Re-enactment diibaratkan sebagai jempatan antara masa lalu dan masa kini (Day,
2008: 124). Ide tentang re-enactment adalah jawaban Collingwood atas pertanyaan penting
epistemologis dalam filsafat sejarah: “Bagaimana masa lalu dapat diketahui?” Pengakuan terhadap
pemikiran Collingwood tidak mengurangi kritik terhadap tesisnya. Dussen dengan sangat jelas
memperlihatkan kritikan terhadap tesis re-enactment Collingwood yang datang dari Donagan dan
Dray. Donagan dalam artikelnya The Verification of Historical Theses menyebutkan bahwa re-
enactment hanyalah tugas terakhir yang dapat dilakukan oleh sejarawan, bukan dilakukan sepanjang
proses penyelidikan sejarah (Dussen, 1981: 100). Dalam hal ini, yang patut dicermati adalah peringatan
dari Collingwood sendiri (Collingwood, 1993: 290) bahwa reenactment terhadap pemikiran masa lalu
bukanlah suatu pre-kondisi dari pengetahuan sejarah, tetapi adalah elemen yang termasuk (integral)
di dalam pengetahuan sejarah. Collingwood menyatakan bahwa untuk memahami makna dari hukum
Theodosia, sejarawan tidak cukup hanya membaca dan mampu menterjemahkan aturan-aturan itu,
tetapi ia harus membayangkan situasi saat itu dan bagaimana sang kaisar membayangkan situasi itu.
Sejarawan harus melihat bahwa ia sementara berhadap-hadapan dengan situasi itu sebagaimana kaisar
melihatnya. Bagaimana situasi itu dapat diatasi, apa saja alternatif yang mungkin dan alasan untuk
memilih satu solusi yang tepat daripada solusi-solusi lainnya.

⁵Ibnu Khaldun. 2006. Taarikh Ibn Khaldun,Juz1;Kitabal-Muqaddimah. Dar Kutub Ilmia. h.3-4.

⁶Nourouzaman Shiddiqi. 1984. Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis. Yogyakarta: PLP2M.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
6 dari 11

Menurut Edward Hallet Carr, fakta-fakta tidak bisa diserap begitu saja, sebagaimana misalnya,
kulit pada tubuh yang memersepsi panas, dan tidak bisa berbicara sendiri. Pada saat yang bersamaan,
fakta-fakta tersebut bukan pula kreasi total seorang sejarawan. Baginya, fakta-fakta hidup terpisah dari
sejarawan, tetapi mereka menjadi fakta-fakta sejarah hanya ketika fakta-fakta tersebut dianggap
penting secara historis oleh seleksi dan interpretasi. Para sejarawan menyeleksi, menafsirkan, dan
menyuguhkan faktafakta sesuai dengan minat dan pengalaman mereka, tetapi fakta-fakta yang mereka
pelajari juga bisa membuat mereka mengubah pandanganpandangan mereka. Para sejarawan, karena
itu, terlibat dalam apa yang disebut oleh Carr sebagai dialog tanpa akhir antara masa lalu dan masa
kini. Dialog tersebut menurut Carr sama pentingnya dengan fenomena yang ditulis oleh para
sejarawan.⁷

2.3. SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF


Subyektivitas sejarah, yaitu unsur-unsur subyektif dari para sejarawan dalam mengambil objek
kajiannya dan melakukan penyusunan rekonstruksi sejarahnya. Sejarawan membiarkan keyakinan-
keyakinan keilmuan yang ada dalam dirinya mengambil peran dalam merekonstruksi sejarah. Maka
dari itu, perlunya menjauhkan diri dari subjektivisme yang ada, yakni sifat-sifat keberpihakan seorang
sejarawan terhadap suatu ideologi, kaum, atau agama tertentu yang menjadi latar belakang dari
sejarawan.
Makna objektivitas sejarah, yaitu upaya-upaya memunculkan fakta-fakta yang kuat dan teori-teori
sosial yang bisa menjelaskannya agar bisa menjauhkan perekonstruksian sejarah dari sifat-sifat
subjektif dari para sejarawan. Objektivitas sejarah bertujuan untuk memurnikan objek sejarah dari
berbagai kepentingan, ideologi-ideologi, religi, maupun adat-istiadat dari kaum tertentu.
Subjektivitas selalu memengaruhi dan tidak bisa dihindari dalam penyusunan sejarah secara
kenyataannya, namun dengan norma-norma ilmiah dan metodologi yang jelas, penafsiran
subjektivisme akan bisa ditekan sedemikian rupa. Namun, tidak benar-benar dapat dihilangkan dalam
persoalan merekonstruksi sejarah. Seorang sejarawan selalu menuruti insting, imajinasi, dan
pemikirannya dalam penyusunan rekonstruksi sejarah. Pemikiran-pemikiran seorang sejarawan
sangat dipengaruhi oleh akal budi seseorang dengan pengetahuan empiris seseorang, termasuk
ideologi, lingkungan, zaman, dan totalitas kesadarannya di tengah-tengah masyarakatnya. Oleh
karena itu, menelusuri posisi dan jati diri seorang sejarawan perlu dilihat kembali secara kritis, maka
filsafat sejarah akan memberi pencerahan, kesadaran dan arahan agar tidak terjadi dominasi subjektif
dalam melakukan rekonstruksi dan menuliskan hasil-hasil penelitiannya. Sejarawan harus mengerti
kapan dia menjadi spekulatif dan objektif dalam waktu yang bersamaan.⁸

2.4 FILSAFAT SEJARAH


Dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa dalam hakikat sejarah terkandung pengertian observasi
(nadzar), usaha untuk mencari kebenaran (tahqiq), dan keterangan yang mendalam tentang sebab dan
asal benda maujud, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, essensi, dan sebab-sebab
terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benarbenar terhunjam berakar dalam filsafat, dan patut
dianggap sebagai salah satu cabang filsafat. Selanjutnya pada bagian yang lain, yaitu pada bagian satu
kitab al-Ibar, Ibnu Khaldun mengatakan:
“Ketahuilah, bahwa pembicaraan tentang persoalan ini adalah barang baru, luar biasa, dan sangat berguna.
Penelitian dan penyelidikan yang mendalam telah menemukan ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan ini tidak ada
hubungannya dengan samasekali dengan retorika, yaitu seni bicara yang meyakinkan dan berguna untuk
memengaruhi orang banyak. Juga tidak ada hubungannya dengan ilmu politik, sebab ilmu politik berbicara tentang
mengatur rumah tangga atau kota, sesuai dengan ajaran etika dan hikmah-hikmah kebijaksanaan, supaya masyarakat
mau mengikuti jalan menuju ke arah pemeliharaan keturunan. Dua jenis ilmu pengetahuan ini memang menyerupai
ilmu pengetahuan kita ini dalam soal yang dibahasnya, tetapi kedua pengetahuan itu berbeda dengannya. Ia agaknya

⁷Care, Edward Hallet. 196. What is History? .Penguin Books, England. h. 10.
⁸al-Sharqawi, Effat. 1981. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka. h. 123.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
7 dari 11

ilmu yang baru tumbuh. Sungguh aku belum pernah tahu seorang pun pernah membincangkannya dengan
berbagaiaspekyangdimilikinya”.⁹

Ilmu baru yang dimaksudkan oleh Ibnu Khaldun, seperti dikatakan Zainab al-Khudairi adalah
filsafat sejarah, yang di Eropa baru dikenal beberapa abad ke-18 M. Memang cikal bakalnya telah
bersemi sejak zaman purba, misalnya dalam karya Aristoteles, Politics dan karya Plato Republic, tetapi
terminologinya sendiri terumuskan baru pada abad ke18. Filsafat sejarah dalam pengertian yang
paling sederhana, seperti dikemukakan oleh al-Khudairi, adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa
historis secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan
peristiwa-peristiwa historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap,
yang mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi.¹⁰
Ada beberapa penulis yang berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai dengan suatu kerangka
tertentu dan bukannya secara acak-acakan,dan filsafat sejarah adalah upaya untuk mengetahui
kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam perjalanannya, atau arah yang ditujunya, ataupun tujuan
yang hendak dicapainya. Menurut F. Laurent, sebagai- mana dikutip al-Khudairi, menyatakan bahwa
sejarah tidak mungkin ha- nya merupakan seperangkat rangkaian peristiwa yang tanpa tujuan atau
makna. Dengan demikian, sejarah sepenuhnya tunduk kepada kehendak Tuhan seperti halnya
peristiwa-peristiwa alam yang tunduk pada hukum- hukum yang mengendalikannya.

3. FILSAFAT SEJARAH PROFETIK: KONSEPSI SEJARAH DALAM AL-QUR’AN


Al-Qur’an sebagai kitab suci begitu banyak mengkaji sejarah kemanusiaan, yang diungkapkan
secara tersurat maupun tersirat. Kisah para nabi, rasul, tokoh-tokoh besar yang baik dan jahat,
gambaran sosial masyarakat, perkampungan, perkotaan, hingga alam lingkungan yang menjadi
tempat-tempat peristiwa sejarah yang bersifat tragedi maupun komedi. Secara fungsional Al-Qur’an
memandang sejarah sebagai pengetahuan bagi manusia, tujuan utamanya adalah sebagai hidayah,
petunjuk bagi kesadaran kemanusiaan. Dalam konsepsinya Al-Qur’an membangun dua model
penjelasan sejarah, yang pertama penjelasan tentang peristiwa-peristiwanya; ada yang diungkap
secara detail atau sebaliknya, dan yang kedua sejarah sering kali dijelaskan cukup dengan hukum-
hukum sosial sejarahnya saja (al-Amtsal). Kajian metodologis dalam hal ini, pertama mengklasifikasi
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyangkut dengan tema materi-materi sejarah (al-Maudhu’i), yang kedua,
mengklasifikasi ayat-ayat yang menyangkut dengan hukum-hukum sejarah yang secara filosofis
sebagai sunatullah bagi perjalanan sejarah kemanusiaan.
Tujuannya adalah bagaimana upaya memahami kedua model kajian sejarah dalam Al-Qur’an
tersebut agar sinergis untuk saling melengkapi pemahaman sejarah? Dalam kajian ini akan
diungkapkan secara konsepsional model historiografi sejarah dalam Al-Qur’an dan model nilai-nilai
filsafat sejarah yang terdapat di dalamnya.

3.1 AL-QUR’AN TENTANG SEJARAH


Membicarakan pendekatan idealisme di bidang sejarah maka pendapat Collingwood tentang
sejarah sebagai sejarah pemikiran adalah hal yang penting. Masa lalu – sosial, budaya, politik, dan lain
sebagainya – dapat diketahui pada masa kini hanya lewat ide-ide yang dipikirkan dalam pikiran para
agen sejarah. Dalam pengertian itu, manusia dapat mengetahui tentang masa lalu hanya ketika mampu
memikirkan tentang masa lalu itu. Bukan berarti Collingwood menolak keberadaan artefak-artefak
sebagai bukti-bukti empirik masa lalu yang ada pada masa kini, namun seluruh bukti itu hanya dapat
diketahui dan dimengerti ketika sejarawan dapat mengerti apa yang dipikirkan oleh para pembuat dan
pengguna benda-benda itu. Selain idealisme, istilah berikutnya adalah strukturalisme.¹¹

⁹Ibnu Khaldun. Kitab al-Muqaddimah. h. 6


¹⁰al-Khudairi, Zainab. 1987. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Bandung: Pustaka, 1987. h. 43 dan 54.
¹¹Fazlur Rahman. 1996. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
8 dari 11

Pengertian sejarah dirumuskan dengan dua pengertian. Pertama, sejarah sebagai pengetahuan
tentang masa lampau mengenai aktifitas manusia dalam ruang dan waktunya. Dalam hal ini sejarah
lebih diartikan sebagai kisah dari berbagai peristiwa manusia yang sudah terjadi.¹² Kedua, sejarah
sebagai pengetahuan untuk mengetahui hukum-hukum yang menguasai peristiwa kehidupan masa
lampau.¹³ Bahkan lebih dari itu, sejarah pada pengertian kedua ini dapat dipandang sebagai ilmu
untuk menjadikan (becoming) masyarakat bukan hanya sekadar tentang wujud (being) masyarakat.¹⁴

3.2 Pengertian dan Struktur Sejarah


Secara terminologis istilah sejarah telah dijelaskan dalam pendahuluan, studi tentang aktivitas
manusia dalam ruang dan waktunya pada masa lampau. Secara etimologis, kata history, yang dalam
bahasa Indonesia disebut “sejarah” berasal dari bahasa Arab, syajarah (pohon),¹⁵ yang secara filosofis
melambangkan sebuah pertumbuhan atau berbagai perubahan kehidupan yang cukup panjang dan
memberikan gambaran kehidupan peradaban dan kebudayaan manusia yang berkembang secara
berkesinambungan.¹⁶ Dengan demikian, struktur utama dalam sejarah adalah manusia dengan
aktivitasnya (res gestae) pada ruang dan waktunya.¹⁷ Secara khusus sejarah adalah aktivitas yang
terpilih, atau persitiwa penting yang berada dalam sebuah tempat yang didukung oleh kondisi dan
situasi yang memungkinkan untuk berbuat dan melakukan tindakan “sesuatu”. Dengan demikian,
manusia dalam ruang dan waktunya adalah objek kajian sejarah sekaligus struktur pengetahuan
sejarah yang terusmenerus dibicarakan yang tidak ada habisnya.
Dalam studi sejarah, tempat sangat menentukan dalam menciptakan perubahan-perubahan
tindakan dan aktivitas manusia, karena manusia sangat bergantung dengan ruang yang ada di
dalamnya. Dengan melihat manusia sebagai makhluk yang dinamis, maka menghadapi berbagai
kondisi ruang dan tempat yang bagaimanapun, tentu dengan berbagai potensinya maka segala
tantangan oleh sebagian besar manusia bisa diatasinya. Sifat adaptatif telah mendorongnya manusia
agar tetap eksis dalam kondisi ruang bagaimanapun. Di sinilah arti ruang dalam sejarah, sebagai
wadah bagi aktivitas dan gerak manusia sebagai pelaku sejarah.

3.3 PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG MANUSIA, RUANG DAN WAKTU


Membahas pandangan Al-Qur’an tentang sejarah tidak akan sempurna tanpa memperhatikan
kedudukan manusia di tengah-tengah posisi makhluk lainnya. Dalam pandangan Al-Qur’an manusia
berada di tempat yang strategis pada posisi sejarahnya (QS. An-Nahl: 5-6). Sebagai perwujudan
makhluk Allah yang paling mulia (QS. Al-Israaʼ: 70) dan sebagai perwakilan-Nya di muka bumi (QS.
Al-Baqarah: 30).¹⁸
Dalam kedudukan yang begitu mulia sebagai khalifah di muka bumi dan pemegang amanat
tertinggi (QS. Al-Sajdah: 72), mengharuskan manusia untuk bertanggung jawab dalam segala
aspeknya; bagi pribadinya, lingkungannya, dan Tuhannya. Tugas sebagai pribadi adalah memelihara
dirinya, menyempurnakan dan mengaktualkan segala potensinya. Tugas manusia terhadap alam
adalah menggali kekayaan alam, menjaga keseimbangan dan memelihara kemakmuran. Adapun tugas
kepada Tuhan adalah berbuat sesuai dengan tuntutan Tuhan melaksanakan tugas-tugasnya secara
sempurna dan mengabdi kepada-Nya (QS. al-Dzaariyaat: 56, QS. al-Qiyaamah: 36).¹⁹

¹²Agnes Heller, A Theory of History, (London: Rouledge & Kegan Paul, 1982), h. 281-282.
¹³Ibn Khaldun, Kitab al-Muqaddimah, Terj. Ahmadi Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 3.
¹⁴Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1986), h. 65-72.
¹⁵Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, (Jakarta: Bhatara, 1981), h. 1.
¹⁶Zainab al-Khudhairi, Falsafat al-Târikh ‘Inda Ibn Khaldun, (Kairo: Dar al-Tsaqafah wa al-Nasyr, 1979), h. 76-84.
¹⁷R.G. Collingwood, Idea Sejarah, (Malaysia: Dewan Bahasa, 1985), h. 12-13.
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), h. 224.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
9 dari 11

3.4 MANUSIA SEBAGAI PELAKU SEJARAH


Konsep ruang dalam sejarah menurut pandangan Al-Qur’an yang disebut dengan bumi adalah
sebagai tempat tinggal manusia dan sumber keuntungan untuk mengaktualkan berbagai potensi (QS.
Ar-Rahman: 10), “Dan kami telah mendirikan bagimu bumi serta di dalamnya kami berikan hal-hal
yang bisa menegakkan kehidupan. Betapa kurangnya rasa terimakasihmu” (QS. Al-A’raaf: 10). Dalam
pandangan Al-Qur’an “bumi” tidak digambarkan sebagai suatu tempat penyiksaan, sekali pun
terlemparnya Adamkemukabumiatasulahnyasendiriyang digoda oleh setan. Perbuatan ingkar Adam
yang pertama ini adalah perbuatan pertamanya untuk memilih secara merdeka arti kebebasannya, dan
karena itu pula menurut Al-Qur’an bahwapelanggaran Adamyangpertamaitubisadiampunikarena
kesalahan dan kekurangannya.¹⁸
Konsep waktu dalam sejarah menurut pandangan Al-Qur’an adalah suatu kesempatan yang
mengiringi proses aktivitas manusia. Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang adalah satu
kesatuan yang membentuk perjalanan aktivitas tersebut. Ketahuilah bahwa masa lalu berdampak bagi
masa kini dan masa kini akan merefleksi pada masa yang akan datang (QS. Al-Hasyr: 18). Begitu pun
dalam ayat lain digambarkan bahwa waktu memiliki potensinya tersendiri, seperti malam adalah
untuk beristirahat dan siang hari untuk mengembangkan dan menggali potensi alam (QS. Al-Qashash:
72). Yang jelas dalam Al-Qur’an selalu digambarkan bahwa waktu yang digambarkan Tuhan adalah
sepenuhnya untuk digunakan manusia, tinggal ia bisa menggali dan memanfaatkannya atau tidak (QS.
al-‘Ashr: 1-3).¹⁹

3.5 GAMBARAN MANUSIA DALAM PUSARAN SEJARAH


Al-Qur’an tidak pernah secara khusus membahasakan “kemelut” manusia dalam sejarahnya,
namun istilah “konflik” dan “harmoni” pada diri manusia baik dengan dirinya maupun dengan di luar
dirinya, sering kali diungkapkan pada pembahasan yang khusus. Konflik dan harmoni manusia
terkadang digambarkannya pada berbagai bentuk kalimat atau kata-kata yang mengandung muatan
tertentu. Bahkan, sering kali antara pengertian yang satu dan yang lainnya tentang konflik atau
harmoni itu sendiri, terkadang terasa berbeda tergantung pada pola kalimat (siyagh alkalam) atau latar
belakang apa diturunkannya ayat bersangkutan.²⁰
Dalam Al-Qur’an sendiri Allah menggambarkan seluruh ciptaannya berada pada kondisi
berlawanan jenis (QS. Yaasin:36), dalam konteks makro berarti cenderung “mengkonflikannya”, seper-
ti langit-bumi, siang-malam, laki-perempuan, darat-lautan, baik-buruk, panas-dingin, munfarid-
jama’ah, lahir-bathin, awal-akhir, dan sebagainya. Terma-terma yang berlawanan tersebut, dalam
pandangan teori dealektika historis Karl MarX atau Hegel mengakibatkan adanya dinamika sejarah.

¹⁸Dennis Fox & Isaac Prilleltensky, Psikologi Kritis; Metaanalisis Psikologi Modern, terj. Ahmad Husaini dkk.,
(Bandung: Mizan Publika, 2005.)
¹⁹Tentang hal ini dapat dilihat, umumnya Allah Swt. Setelah mendeskripsikan tentang persoalan manusia,
biasanya selalu ditutup dengan ayat-ayatnya yang mengandung kalimat-kalimat yang berkonotasi evaluatif,
korektif dan”pengagungan diri-Nya”. Lihat: Muhammad Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’anal-Adzim, Juz1.
²⁰Mungkin inilah yang disebut kayanya perbendaharaan bahasa Arab dalam bentuk-bentuk kata atau kalimat
yang banyak mengandung muatan-muatan makna tersendiri. Pada umumnya Al-Qur’an membahasakan konflik
baik individual maupun sosial dengan kalimat-kalimat; tanaz’u, ikhtalafu, ja’dalu, dafa’u, faraqu, fatanu dan
sebagainya. Begitu pun istilah konsensus banyak digambarkan dengan cara demikian, seperti misalnya kata-kata
Al-Qur’an yang dekat dengan makna konsensus di antaranya; shalaha, salama, syura, shabara, dan lainnya. Dalam
Hadis Rasulullah saw. Yang diriwayatkan Imam Muslim digambarkan bahwa konflik memiliki beberapa
tingkatan,mulai dari saling mendahului (tanafsu), saling membenci (tahasadu), saling menyerang (tabagadu)
kemudian saling terpecah (tabaadaru). Bandingkan dengan Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam
Quran, terj. Agus Fahri Husen dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993) dan Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an,
(Bandung: Pustaka,1996).
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
10 dari 11

4. Kesimpulan

Manusia sebagai mahluk hidup historis, hanya manusia yang dapat membuat sejarah. Seluruh
aktivitas manusia membentuk sistem budaya, sedangkan budaya sebagai tindakan manusia (actus
humanus) selalu terkait dengan rencana masa depan. Sebuah masa depan merupakan sintesis
terbaik yang diambil dari masa lalu dan menggabungkan dengan pemahaman dan keputusan
cerdas pada masa kini.

Pengertian sejarah dirumuskan dengan dua pengertian. Pertama, sejarah sebagai pengetahuan
tentang masa lampau mengenai aktifitas manusia dalam ruang dan waktunya. Dalam hal ini
sejarah lebih diartikan sebagai kisah dari berbagai peristiwa manusia yang sudah terjadi. Kedua,
sejarah sebagai pengetahuan untuk mengetahui hukum-hukum yang menguasai peristiwa
kehidupan masa lampau Bahkan lebih dari itu, sejarah pada pengertian kedua ini dapat
dipandang sebagai ilmu untuk menjadikan (becoming) masyarakat bukan hanya sekadar tentang
wujud (being) masyarakat.

Membahas pandangan Al-Qur’an tentang sejarah tidak akan sempurna tanpa memperhatikan
kedudukan manusia di tengah-tengah posisi makhluk lainnya. Konsep waktu dalam sejarah
menurut pandangan Al-Qur’an adalah suatu kesempatan yang mengiringi proses aktivitas
manusia. Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang adalah satu kesatuan yang membentuk
perjalanan aktivitas tersebut.

Referensi
Anamofa, Jusuf Nikolas dan Henky H. Hetharia (ed.). 2016. Merayakan Ingatan, Melawan Lupa:

Pernghargaan atas pengabdian Pdt. (Em.) Jacob Seleky, M.Th – Seri Penghargaan Tokoh,

Yogyakarta & Ambon: Aseni & FTU Press.

Lihat Dennis Fox & Isaac Prilleltensky. 2005. Psikologi Kritis; Meta-analisis Psikologi Modern, terj.

Ahmad Husaini dkk. Bandung: Mizan Publika.

Ibnu Khaldun. 2006. Taarikh Ibn Khaldun,Juz1;Kitabal-Muqaddimah. Dar Kutub Ilmia. H.3-4.

Thohir, Ajid. 2019. FILSAFATSEJARAH: Profetik, Spekulatif, dan Kritis. Jakarta: Kencana.

Burckhardt, Jacob. 1985. On Fortune and Misfortune in History dalam Hans Meyerhoff, The Philosophy

of History in Our Time. A doubleday Anchor Books, New York. H. 273.

Qasim Ahmad. 1991. Karya Sejarah. Kuala Lumpur, Malaysia; Dewan Bahasa dan Pustaka. H. 1-21.

Rahman, Fazlur. 1996. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.

Nourouzaman Shiddiqi. 1984. Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis. Yogyakarta:

PLP2M.

Gbr 1. Dua anak perempuan manusia. Two young girls at Camp Christmas Seals, Haverstraw, New

York. 1943. Original caption: “Inter-racial activities at Camp Christmas Seals, where children are

aided by the Methodist camp service. Camp buddies.”

R.G. Collingwood. 1981. The Idea of History. London: Oxford University Press.

Nurcahya, Yan. 2024. Ide-ide Pokok Dalam Filsafat Sejarah – Misnal Munir : Ringkasan.
Filsafat Sejarah
Yan Nurcahya – 2230120020
11 dari 11

https://data.mendeley.com/datasets/dk9828kmdv/1

Heller, Agnes. 1982. A Theory of History. London: Rouledge & Kegan Paul.

Khaldun, Ibnu. 1986. Kitab al-Muqaddimah, Terj. Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Murtadha Muthahhari, Murtadha. 1986. Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan.

Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara.

Nurcahya, Yan. 2024. Filsafat Sejarah Kritis Collingwood – Ringkasan.

https://data.mendeley.com/datasets/ywfrzrv6nf/2

al-Khudhairi, Zainab. 1979. Falsafat al-Târikh ‘Inda Ibn Khaldun. Kairo: Dar al-Tsaqafah wa al-Nasyr.

R.G. Collingwood. 1985. Idea Sejarah. Malaysia: Dewan Bahasa.

Gbr 2. ilustrasi kepadatan penduduk 2024. https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:People%27s_-

Km%C2%B2_for_all_countries_(and_us_states,_uk_kingdoms).png#mw-jump-to-license

Gbr1.https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/38/Robin_G._Collingwood.jpg ⁷

© 2023 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms
and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

You might also like