Daulah Abbasiyah

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

Kajian Historikal Terhadap Perkembangan Perpustakaan di Masa

Dinasti Abbasyiyah dan Konteksnya di Masa Sekarang


Rhoni Rodin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup
E-mail: [email protected]

Abstract
This study aims to analyze the history of library development during the Abbasid
dynasty and today contect. The method used in this research is the literature method
using several sources of books and journals regarding the development of libraries
during the Abbasid dynasty. The results showed that the Abbasid dynasty was a
milestone in the history of library progress. One of them is Bait al-Hikmah. This
institution is not only an educational institution, but also a library institution. With a
historical review, this paper attempts to analyze how the development of the Bait al
Hikma library during the Abbasid dynasty. Baitul Hikmah, which was initiated by the
caliph Harun al-Rashid, became the center of all scientific activities. With the
establishment of Baitul Hikmah, knowledge transfer activities have become more
advanced. The Caliph succeeded in recruiting the best writers, historians and scientists.
The rapid development of the Baitul Hikmah institution has encouraged this institution
to expand its role, not only as a translator institution, but also to include: 1) a center for
scientific documentation and information services for the community; 2) centers and
forums for scientific development activities; and 3) the center for planning and
development activities for the implementation of education.
Keywords: Historical; Libraries; Abbasid Dinasty

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk menganalisis sejarah perkembangan perpustakaan pada masa
Dinasti Abbasiyah dan konteksnya di masa sekarang. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode literatur dengan menggunakan beberapa sumber buku dan
jurnal-jurnal mengenai perkembangan perpustakaan pada masa Dinasti Abbasiyah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah merupakan tonggak
sejarah kemajuan perpustakaan. Salah satunya adalah Bait al-Hikmah. Lembaga ini
disamping sebagai lembaga pendidikan, juga sebagai lembaga perpustakaan. Dengan
tinjauan sejarah, tulisan ini berusaha menganalisis bagaimana perkembangan
perpustakaan Bait al Hikma pada masa Dinasti Abbasiyah. Baitul Hikmah, sudah
dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Dengan
berdirinya Baitul Hikmah, kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih
maju. Khalifah berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan
terbaiknya. Pesatnya perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini
untuk memperluas peranannya, bukan saja sebagai lembaga penerjemah, tetapi juga
meliputi: 1) pusat dokumentasi dan pelayanan informasi keilmuwan bagi masyarakat; 2)
pusat dan forum kegiatan pengembangan keilmuan; dan 3) pusat kegiatan perencanaan
dan pengembangan pelaksanaan pendidikan.

Kata Kunci: Historikal: Perpustakaan; Dinasti Abbasiyah

A. PENDAHULUAN
Bermulanya sejarah ditandai dengan manusia mulai mengenal tulisan sebagai
simbol-simbol yang digunakan untuk bahasa komunikasi. Setiap peradaban manusia
yang tumbuh dan berkembang tidak pernah terlepas dari tulis menulis baik ditulis pada
daun, batu, kayu, kulit hewan atau media lainya, yang kemudian pada zaman sekarang
sudah berkembang menjadi sebuah buku. Buku merupakan hasil pemikiran manusia
dari masa ke masa yang memuat sejarah, kebudayaan dan peradaban manusia dari masa
kemasa. Dengan buku generasi berikutnya dapat melihat dan mengetahui transformasi
ilmu pengetahuan dari masa ke masa (Fadjar Abdullah, 2006).
Jika kembali kepada konteks sejarah Islam, kemajuan yang dicapai umat Islam
di bidang ilmu pengetahuan pada masa kekhalifahan, sangat ditunjang oleh keberadaan
perpustakaan. Fasilitas ini tersebar di kota-kota besar Islam pada masa itu. Fungsinya
tak sekadar tempat simpan pinjam buku, tapi juga merupakan pusat kajian ilmu
pengetahuan.
Sejarah mencatat, sejumlah kota besar yang pernah menjelma sebagai kutub
peradaban Islam, misalnya Baghdad, Kordoba (Andalusia), Kairo, ataupun Damaskus,
sudah memiliki perpustakaan besar yang representatif. Koleksinya mencapai ribuan
buku dan manuskrip yang sebagian besar adalah karya para ulama, ilmuwan, dan
cendekiawan besar pada masa itu.
Pada masa Dinasti Abbasiyah di bagi atas tiga fase. Fase pertama (132 H/750 M-
132H/847 M) melakukan penerjemahan buku-buku dalam bahasa Yunani, Syiria,
Sanskerta, China dan Persia ke dalam bahasa Arab. Fase kedua
(232H/847M-334H/945M), pada khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid yang
banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi. Fase ketiga
(334H/945 M-347H/1005M) pada masa khalifah al-Makmun buku-buku yang banyak
diterjemahkan dalam bidang filsafat dan kedokteran. Setelah bidang-bidang ilmu yang
telah diterjemahkan semakin meluas, fase ketiga merupakan permulaan untuk
menyaring, menganalisa dan menerima ataupun menolak pengetahuan dari peradaban
lain. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan banyak munculnya karya-
karya ilmuan dan berkembangnya produksi kertas sehingga semakin besar gerakan
pengumpulan naskah-naskah. Keadaan ini terjadi ketika peradaban muslim dilanda
perdebatan ilmu pengetahuan dan buku-buku yang bersangkutan menjadi kunci utama
untuk menyampaikan gagagsan dan menerima kebenaran. Sehingga kebutuhan akan
buku semakin meningkat dan menyebabkan banyaknya didirikan perpustakaan di
berbagai dunia Islam (Suwito, 2005).
Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan sejarah perkembangan
perpustakaan di masa Dinasti Abbasyiyah. Muthakin misalnya menyatakan bahwa pada
masa Abbasiyah, Baitul Hikmah menjadi pusat sumber utama bagi para ulama atau
peneliti di kota Baghdad. Baitul Hikmah atau yang dikenal sebagai rumah
kebijaksanaan, dikembangkan sejak pemerintahan khalifah kedua yang dipimpin oleh
Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M). Abu Ja’far al-Manshur dikenal sebagai khalifah
yang sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan. Dengan regulasinya, ia mempelopori
penerjemahan karya ilmiah dan sastra dari bahasa asing. Sejumlah besar buku dari
India, Yunani Kuno, Bizantium, Persia dan Suriah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Tradisi ini diikuti oleh penerusnya, khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan
keturunannya, khalifah Al-Ma'mun (813-833 M). Di era Al-Ma'mun, Baitul Hikmah
menyaksikan peningkatan yang luar biasa. Akibatnya, Baitul Hikmah tidak hanya
menjadi rumah bagi banyak buku, tetapi juga sebagai pusat penerjemahan, penelitian
dan publikasi, studi astrologi, dan lembaga pendidikan pada umumnya (Muthakin,
2020).
Perkembangan perpustakaan di dunia Islam mencapai puncaknya terjadi pada
masa kekuasaan Bani Abbas atau Daulah Abbasiyah. Berbeda dengan masa
pemerintahan kekhalifahan Bani Umayyah, pada masa kekhalifahan Daulah
Abbasiyyah, tradisi ilmiah dan ilmu pengetahuan berkembang demikian pesat sehingga
mendorong tumbuhnya pusat-pusat studi ilmu pengetahuan termasuk perpustakaan
(Agus Rifa’i, 2010).
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, berdiri sebuah tempat penyimpanan koleksi
yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid yang merupakan perpustakaan terbesar di masa
itu. Perpustakaan ini bernama Bayt Al-Hikmah dan bertahan hingga tahun 1258 M
setelah adanya penyerangan dari bangsa Mongol ke Baghdad. Perpustakaan Bayt al-
Hikmah ini didirikan oleh khalifah Harun al-Rasyid, dan kemudian menjadi besar pada
masa khalifah al-Ma’mun. Perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas yang
di dalamnya terdapat banyak buku. Bayt al-Hikmah pada masa kejayaannya telah
menjadi pusat studi di mana para cendikiawan dan pecinta ilmu berkumpul untuk
berdiskusi, muthala’ah, menerjemah, dan menyalin buku (Rhoni Rodin dan Julita Zara,
2020).
Perpustakaan Bait al hikmah merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan
yang berlangsung selama 508 tahun. Pada masanya perpustakaan Baiul Hikmah menjadi
sebuah kombinasi yang baik dari sebuah perpustakaan dimana perpustakaan dijadikan
sebagai pusat akademi dan sarana penerjemahan, penerbitan buku, diskusi dan pusat
observasi bintang (Nining Sudiar, 2014).
Demikianlah beberapa penelitian yang berkaitan dengan perpustakaan pada
masa Dinasti Abbasiyah. Penelitian yang peneliti lakukan ini lebih menekankan pada
kajian sejarahnya dan juga melihat bagaimana manfaat, serta hikmah yang diperoleh
dari analisa terhadap perkembangan perpustakaan yang terjadi pada masa Dinasti
Abbasiyah. Karena pada masa Dinasti Abbsiyah ini umat Islam mengalami kejayaan
dan kemajuan yang sangat luar biasa, dimana salah satu penunjang kemajuan tersebut
adalah eksistensi perpustakaannya. Hal inilah yang menjadi titik focus dan sentral yang
dibahas dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka/ studi literatur yang
berkaitan dengan pendidikan Islam di Indonesia. Dengan kata lain, istilah Studi
Literatur ini juga sangat familiar dengan sebutan studi pustaka. Ada beberapa metode
yang dapat dilakukan untuk melakukan Studi Literatur, seperti mengupas (criticize),
membandingkan (compare), meringkas (summarize), dan mengumpulkan (synthesize)
suatu literatur. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu studi
literatur dengan menitikberatkan pada segi mengupas, meringkas dan mengumpulkan
suatu literatur, kemudian diberikan analisis terhadap data yang telah dikumpulkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
tema tulisan dengan judul Kajian Historikal Terhadap Perkembangan Perpustakaan Di
Masa Dinasti Abbasiyah dan Konteksnya di Masa Sekarang. Dimana tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis bagaimana perkembangan perpustakaan saat itu. Untuk
kemudian akan dianalisis bagaimana relevansinya dengan masa sekarang ini.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sejarah Dinasti Abbasiyah
Berdirinya Dinasti Abbasiyah tidak lepas dari peran Abu Muslim Al-Khurasani,
di tangannya pecahlah revolusi terbesar dalam sejarah Islam, dengan tumbangnya
Dinasti Ummayah. Ahli sejarah Barat memanggilnya Great Revolution in Islam. 5
Pendiri Dinasti Abbasiyah adalah Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn Al-Abass. Kekuasaannya berlangsung 132-656 H atau 750-1258 M. Pada
mulanya, ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Tahun 762 M untuk
lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara Abu Ja`far Al-Manshur
memindahkan ibu kota ke Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesipon. Dengan
demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa
Persia (Vita Ery Oktaviyani, 2018).
Saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah
geografis dunia Islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam,
Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke China. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi
intensif antara daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses
asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Pembagian kelas dalam masyarakat
Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukuan, melainkan berdasarkan
jabatan, menurut jarzid Zaidan, masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar,
kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah
(Bani Hasyim) para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima), Kaum
bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya. Dan para petugas khusus,
tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama,
pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani (Aminullah, 2017).

Sistem Pemerintahan Dan Periodesasi Dinasti Abbasiyah


Pada zaman Dinasti Abbasiyah sistem pemerintahan yang diterapkan berbeda-
beda sesuai dengan perubahan politik, social, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah diantaranya:
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan
mawali.
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah (Fuad Riyadi, 2014).

Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.


Ketika Daulah Abasiyah memegang tampuk kekuasaan tertinggi Islam, terjadi banyak
perubahan dalam kehidupan masyarakat. Kekuasaan Bani Abbasiyah berlangsung
dalam kurun waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H (750 M-
1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode :
a. Periode pertama (132 H/750 M-232 H/847 M). Disebut periode pengaruh
Persia pertama.
b. Periode kedua (232 H/847 M-334 H/945 M). Disebut masa pengaruh Turki
pertama.
c. Periode ke tiga (334 H/ 945 M-447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti
Buwaih atau pengaruh Persia kedua.
d. Periode ke empat (447 H/1055 M-590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan
dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh Turki dua.
e. Periode ke lima (590 H/1194 M-565 H/1258 M). Merupakan masa
mendekati kemunduran dalam sejarah peradaban Islam (Aminullah, 2017).

Pusat Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Dinasti Abbasiyah adalah bangsa yang peduli akan ilmu pengetahuan. Pada
awalnya ilmu pengetahuan berasal dari Al-Qur`an dan hadits. Orang Islam keturunan
non Arab khususnya orang-orang Persia berpendapat bahwa mereka merasa perlu
mempelajari tata bahasa Arab (nahwu) dan philologi serta syair-syair sebelum Islam.
Dimana dalam hal ini diperlukan adanya studi geneologi dan history untuk memahami
Al-Qur`an dan haditst pada fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far al-
Mansyur, Khalifah Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun. Mereka ini merupakan
khalifah-khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya
mereka ini sangat menjaga dan memelihara buku-buku baik yang bernuansa agama
maupun umum, baik karya ilmuan muslim maupun non muslim, baik karya-karya
ilmuan yang semasanya maupun pendahulunya (Hassan, 2015). Hal ini terlihat jelas dari
sikap-sikap khalifah seperti pesannya Harun al-Rasyid kepada para tentaranya untuk
tidah merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan perang. Begitu juga khalifah
al-Makmun yang menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan lainnya
untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, sampai pada akhirnya masih dilakukan pada
masa khalifah al-Makmun sehingga Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan (Fuad Riyadi, 2014).

Pusat Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Perpustakaan Islam pertama yang berdiri di Baghdad adalah Baitul Hikmah.
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan dan pusat penerjemahan pada masa Dinasti
Abbasiyah. Baitul hikmah ini terletak di Baghdad, dan Bagdad ini dianggap sebagai
pusat intelektual dan keilmuan pada masa zaman kegemilangan Islam (The golden age
of Islam). Karena sejak awal berdirinya kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan
kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya K. Hitti menyebut bahwa
Baghdad sebagai profesor masyarakat Islam.
Pada masa Abbasiyah Baitul Hikmah ini diperluas penggunaannya, dimana
lembaga ini telah dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid yang menjadi pusat segala
kegiatan keilmuan. Pada masa Harun al-Rasyid lembaga ini bernama Khizanah al-
Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan
pusat penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalih
bahasakan berbagai naskah kuno dan menyusun berbagai penjelasannya.
Perkembangan perpustakaan Bait al-Hikmah, cikal bakalnya berawal dari masa
kekhalifaan Abu Ja'far al-Mansur dengan nama Biro Penerjemahan, kemudian
dikembangkan oleh Harun al-Rasyid dengan merubah namanya menjadi Khizanah al-
Hikmah, namun perpustakaan ini mencapai puncak kemajuannya pada masa
kekhalifahan al-Ma'mun. Di perpustakaan Bait al-Hikmah tersedia naskah-naskah dari
berbagai bidang ilmu baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Dengan demikian
siapapun yang membutuhkan atau ingin membaca diperbolehkan masuk ke
perpustakaan tersebut. Selain itu, di perpustakaan ini dijadikan sebagai pusat kajian
ilmiah, tempat berdiskusi para ilmuwan, pusat penelitian, pusat penerjemahan, pusat
pendidikan, dan pusat observatori. Melalui perpustakaan Bait al-Hikmah sebagai pusat
penerjemahan, maka berkembanglah berbagai macam ilmu seperti ilmu sains dan
kedokteran, sastra, filsafat, dan ilmu-ilmu agama lainnya (Muh. Quraisy Mathar, 2020).
Tujuan utama didirikannya Baitul Hikmah adalah untuk mengumpulkan dan
menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing ke dalam bahasa Arab. Inilah yang menjadi awal
kemajuan yang dicapai Islam, yaitu menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan
peradaban. Pada waktu itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan
peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu
pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Lembaga pendidikan ini didirikan
berkat adanya usaha dan bantuan dari orang-orang yang memegang kepemimpinan
dalam pemerintahan.
Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya
menjadi Baitul Hikmah. Pada masa Makmun inilah ilmu pengetahuan dan intelektual
mencapai puncaknya. Pada masa ini Baitul Hikmah digunakan secara lebih maju yaitu
sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium,
bahkan Etiopia dan India. Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad ibn
Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-jabar dan astronomi dan juga Beliau adalah
salah satu guru besar di Baitul Hikmah. Orang-orang Persia lain juga diperkerjakan di
Baitul Hikmah. Pada masa itu direktur Baitul Hikmah adalah Sahl Ibn Harun. Di bawah
kekuasaan al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan
tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika. Pada 832
M, al-Makmun menjadikan Baitul Hikmah di Baghdad sebagai akademi pertama,
lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga penerjemahan. Kepala
akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid Gibril ibn
Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua ke dua.

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Berdirinya Lembaga Baitul Hikmah


Yang memotivasi berdirinya lembaga Baitul Hikmah yaitu didorong oleh
keinginan meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians;
yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk menjadi
kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini juga aktif
menerjemahkan karya-karya Yunani.
Dan juga yang menjadi motivasi lainnya dalam pembentukan lembaga Baitul
Hikmah adalah disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
a. Melimpahnya kekayaan negara dan tingginya apresiasi khalifah al-Makmun
terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti ilmu filsafat,
kedokteran, astronomi, dan lain-lain, dan juga kecintaannya terhadap seni
musik. Bersatunya dana dengan keinginan ini melahirkan sebuah pemikiran
yang positif yaitu mengembangkan pendidikan lebih maju lagi yang
ternyata pemikiran ini mendapat sambutan yang positif dari para
pembantunya dan dari masyarakat.
b. Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan anggota masyarakat (dari
berbagai lapisan sosial) terhadap kegiatan keilmuan, yang menyebabkan
mereka bisa bekerja bahu-membahu satu sama lain tanpa mengalami beban
psikologis yang disebabkan oleh perbedaan etnis, agama, status sosial dan
lain sebagainya. Disini profesionalitas dijunjung tinggi dengan sikap
terbuka, sehingga tidak mengherankan jika waktu itu orang-orang etnis non
arab dan non muslim banyak sekali peranannya dan saling bekerjasama.
Mereka bisa menjalankan tugas dengan tenang meskipun yang
memerintahkan adalah khalifah orang muslim.

Aktivas dan Peran Perpustakaan Baitul Hikmah


Motif utama berdirinya lembaga Baitul Hikmah dimaksudkan untuk
menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya
klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa
Arab, khususnya umat Islam. Salah seorang yang paling berperan, Hunayn bin ishaq,
mengadakan perjalanan ke Alexandria dan singgah pula di Syiria dan Palestina untuk
mencari karya-karya kuno tersebut. Faktor-faktor yang mendorong umat Islam
melakukan kegiatan penerjemahan dan transfer ilmu-ilmu kuno adalah : 1) Suasana
Persaingan (prestise) antara orang-orang Arab dengan lainnya; 2) Keinginan untuk
menguasai ilmu-ilmu yang belum dimiliki; 3) Dorongan ayat-ayat Al-Qur’an (ajaran
Islam) tentang menuntut ilmu pengetahuan; dan 4) Kemajuan ilmu pengetahuan
merupakan konsekuensi dari peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonom.
Dengan berdirinya Baitul Hikmah, kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan
menjadi lebih maju. Khalifah berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-
ilmuwan terbaiknya. Kemudian mereka dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan
Bizantium dengan tugas mencari karya-karya ilmuwan/ filosof klasiknya. Melalui
kegiatan-kegiatan inilah pada akhirnya umat Islam bisa mengembangkan karya-karya
kuno seperti Hypokrates, Euclides, Galen dan lain-lain.
Pesatnya perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini untuk
memperluas peranannya, bukan saja sebagai lembaga penerjemah, tetapi juga meliputi
hal-hal sebagai berikut: 1) Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi
keilmuwan bagi masyarakat, yang antara lain ditunjukkan dengan berdirinya
perpustakaan di kota Baghdad; 2) Sebagai pusat dan forum kegiatan pengembangan
keilmuan, sehingga semua perangkat risetnya juga dilengkapi dengan observatorium
astronomi; dan 3) Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan pengembangan pelaksanaan
pendidikan.
Faktor-faktor pendukung kemajuan intelektual pada masa tersebut, ditentukan
oleh dua hal, yaitu:
a. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang
lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang
masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna.
Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat di bidang
pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu,
terutama filsafat.
b. Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa
Khalifah al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase
kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun hingga tahun 300 H.
Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan
kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama
setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang
diterjemahkan semakin meluas

Jatuhnya Kota Baghdad dan Kehancuran Pepustakaan Baitul Hikmah


Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang
Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral
dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat
maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil
yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam
sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan
yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi,
terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat
pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha
untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha
merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani
Abbas. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah
bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan
menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan
berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334- 447
H/l055 M), Daulah Abbâsiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang
berpaham Syi'ah.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbâsiyah
pada masa tersebut, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah :
a) Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat
dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya
di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b) Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah
kepada mereka sangat tinggi.
c) Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
d) Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya
jabatan wazîr (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada
Syi’ah.
e) Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa
dan jajarannya (Fuad Riyadi, 2014).

Perpustakaan Dinasti Abbasyiyah dan Konteksnya di Masa Sekarang


Peradaban Islam menjunjung tinggi kegiatan intelektual. Bahkan, agama inilah
yang merintis kebangkitan dunia modern, yang dampaknya meluas ke seluruh penjuru
dunia. Salah satu leading sector yang ikut berperan dalam memajukan peradaban Islam
adalah perpustakaan. Perpustakaan dan para pengelolanya ketika itu sangat memiliki
peran yang strategis dan sentral dalam memajukan umat Islam.
Pada dasarnya manfaat belajar sejarah adalah memberikan kesempatan kepada
pembaca untuk memahami berbagai macam hal. Mulai dari perkembangan teknologi,
identitas suatu masyarakat, hingga dapat memahami masalah yang terjadi di saat itu.
Selain itu, manfaat belajar sejarah juga dapat membangun kesadaran moral yang lebih
baik, kemudian dikontektualisasikan dengan kondisi kekinian. Berikut ini beberapa
manfaat dan pelajaran yang dapat diambil dari sejarah perkembangan perpustakaan di
masa Dinasti Abbasiyah, sebagai berikut:
1) Membantu memahami mengenai sejarah perpustakaan di masa Dinasti
Abbasiyah, sehingga memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, sejarah
perpustakaan memberikan gambaran yang jelas mengenai berbagai aspek yang
ada di dunia perpustakaan pada masa lampau khususnya di masa Dinasti
Abbasiyah. Mulai dari bagaimana pengelolaannya, masa kejayaan perpustakaan,
proses perkembangan perpustakaan, dan lain sebagainya.
2) Manfaat belajar sejarah perpustakaan berikutnya yaitu dapat membantu
memahami identitas suatu perpustakaan. Contohnya tahun berdiri perpustakaan,
pendiri perpustakaan, perkembangannya dan lain sebagainya.
3) Dapat membantu memahami masalah saat ini. Dalam hal ini, berbagai macam
peristiwa sejarah perpustakaan yang terjadi di masa lampau bisa menjadi refleksi
untuk melihat masalah yang saat ini terjadi. Misalnya bagaimana keberadaan
perpustakaan menjadi hal penting dan memberikan dampak bagi seluruh dunia.
4) selanjutnya yaitu dengan memahami peristiwa sejarah perpustakaan dan
bagaimana pengaruhnya terhadap dunia saat ini dapat menimbulkan empati dan
pemahaman bagi sekelompok orang. Sehingga dapat lebih menghargai
keberadaan perpustakaan saat ini.
5) Manfaat selanjutnya, dengan mempelajari sejarah perpustakaan khususnya di
masa Dinasti Abbasiyah kita akan memahami bahwa suatu hal yang besar dan
menimbulkan banyak manfaat tidak dapat diraih dengan instan akan tetapi
dimulai dari proses yang sangat sederhana. Dan untuk memperoleh hasil yang
luar biasa maka diperlukan semangat dan usaha yang maksimal.
6) Manfaat belajar sejarah perpustakaan di masa Dinasti Abbasyiyah yang tidak
kalah penting yaitu untuk mendapatkan karir melalui sejarah. Keterampilan yang
diperoleh melalui pembelajaran tentang sejarah perpustakaan, seperti berpikir
kritis, penelitian, menilai informasi, sangat berguna sebagai modal untuk
mendapatkan karir pekerjaan khususnya bagi calon pustakawan yang harus
memiliki bekal mengenai sejarah perpustakaan.
7) Keberadaan perpustakaan merupakan angin segar bagi dunia khususnya dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, mungkin jika saat itu sejarah perpustakaan
tidak dimulai maka saat ini manusia akan buta terhadap pengetahuan.
Perpustakaan merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Di
dalamnya manusia dapat mencari berbagai informasi yang dibutuhkan sehingga
dapat dimanfaatkan dalam keberlangsungan hidup. Disamping manusia harus
beriman kepada Tuhan YME, kekayaan akan ilmu pengetahuan merupakan
penunjang bagi keberhasilan hidup manusia, baik dari segi kehidupan sosial,
penunjang karir dan lain-lain. Dengan ini sudah sepantasnya kita sebagai
manusia yang merasakan manfaat keberadaan perpustakaan untuk lebih
mencintai perpustakaan-perpustakaan yang ada saat ini.

C. KESIMPULAN
Baitul Hikmah adalah perpustakaan dan pusat penerjemahan pada masa Dinasti
Abbasiyah yang terletak di Baghdad. Pada mulanya Harun ar Rasyid mendirikan
Khizanah Al Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan dan
penelitian. Kemudian pada tahun 815 M Al Ma’mun mengubahnya menjadi Baitul
Hikmah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang berasal dari
Persia, Bizantium, Eithopia dan India. Pada masa Al Ma’mun Baitul Hikmah
mengalami kemajuan yang luar biasa. Karena pada saat itu Baitul Hikmah menjadi
pusat kajian yang memunculkan banyak ilmuwan, baik ilmuwan agama maupun ilmu
umum. Maka di sinilah Baitul Hikmah mempunyai peranan yang cukup besar dalam
memajukan peradaban Islam, bahkan pada masa itu Islam mengalami masa keemasanya
”The golden age of Islam”.

DAFTAR RUJUKAN
Agus Rifa’i. (2010). Perpustakaan dan Kepustakawanan di Dunia Islam Pada Masa
Klasik. Media Pustakawan, 17(1&2), 65–74.
Aminullah, A. N. (2017). Dinasti Bani Abassiyah, Politik, Peradaban Dan Intelektual.
Geneologi PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(2), 13–26.
http://jurnal.uinbanten.ac.id/Index.Php/Geneologi/Article/View/233
Fadjar Abdullah. (2006). Khasanah Islam Indonesia. The Habibie Center.
Fuad Riyadi. (2014). Perpustakaan Bayt Al Hikmah, ”The Golden Age Of Islam.
Libraria Jurnal Perpustakaan, 2(1), 94–117. https://doi.org/DOI:
http://dx.doi.org/10.21043/libraria.v2i1.1192
Hassan, H. I. (2015). Sejarah dan Kebudayaan Islam terj. Islamic History and Culture.
UIN Sunan Kalijaga.
Muh. Quraisy Mathar. (2020). Sejarah Perkembangan Perpustakaan pada Masa
Dinasti Abbasiyah [Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar].
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/id/eprint/17336
Muthakin. (2020). Peran Perpustakaan Baitul Hikmah pada Masa Bani Abbasiyah.
Tsaqofah Jurnal Agama Dan Budaya, 18(1), 52–64. https://doi.org/doi:
http://dx.doi.org/10.32678/tsaqofah.v18i1.3184
Nining Sudiar. (2014). Pengelolaan Perpustakaan Baitul Hikmah. Jurnal Ilmu Budaya,
11(1), 23–31. https://media.neliti.com/media/publications/100422-ID-pengelolaan-
perpustakaan-baitul-hikmah.pdf
Rhoni Rodin dan Julita Zara. (2020). Perkembangan Kepustakawanan Islam Klasik Dan
Kontribusinya Bagi Perpustakaan Masa Sekarang. Jupiter, XVII(1), 1–9.
https://journal.unhas.ac.id/index.php/jupiter/article/view/11307/5837
Suwito. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Kencana.
Vita Ery Oktaviyani. (2018). Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dinasti Abbasiyah
Periode Pertama. Juspi Jurnal Sejarah Peradaban Islam, 2(2), 183–193.
https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.30829/j.v2i2.1734

You might also like