Admin Ilrej,+111-121

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

E-ISSN : Regent, et.al.

ISSN : Hal. 111-121


ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021

PELANGGARAN HAK CIPTA SINEMATOGRAFI


DI INDONESIA: KAJIAN HUKUM PERSPEKTIF
BERN CONVENTION DAN UNDANG-UNDANG
HAK CIPTA
Regent1, Alif Firdausa2, Revlina Salsabila Roselvia3, M. Rahmat Hidayat4, Hari Sutra Disemadi5*
1,2, 3,4,5
Fakultas Hukum, Universitas Internasional Batam, Batam
*Koresponden: [email protected]

Abstract
Copyright is a protection provided to people in the country of Indonesia as a form of
appreciation for works that are made or produced in the form of visual, audiovisual, and other
things and examples of these intellectual property rights such as songs, films, works of art in
the form of paintings and many other things. The function of copyright itself is to protect these
works from individuals who want to plagiarize or imitate these copyrighted works so that other
people are encouraged to generate ideas and works for the Indonesian nation. And this is
protected by Indonesian Copyright Law and as we know Copyright has various types and one
of them is the cinematography which is regulated in Article 40 Letter m Copyright Law, an
example of cinematography. these are like commercials, cartoons, and documentaries. The
exclusive rights owned by the creator in Article 9 Copyright Law and the regulation of sanctions
related to the perpetrator who records and distributes the recording or copyright infringement
that he has committed are regulated in Electronic Information and Transaction Law and this
research compare the Copyright of Indonesian law with the Bern Convention where in this
convention there is the Droit Moral or the right of the creator to claim his creation and raise
objections against acts that intend to change and reduce. The development of technology and
the internet makes it easier for many things to become practical but there are increasing
problems that arise in the field of Copyright in the field of cinematography such as imitation.
Piracy or imitation is an act committed by irresponsible persons who want to profit from the
work of another person without their permission or knowledge.
Keywords: Cinematography; Bern Convention; Piracy; Copyright.

Abstrak
Hak cipta merupakan perlindungan yang diberikan kepada masyarakat di tanah air Indonesia
sebagai bentuk apresiasi atas karya-karya yang dibuat atau diproduksi dalam bentuk visual,
audiovisual, dan hal-hal lain serta contoh hak kekayaan intelektual tersebut seperti lagu, film,
karya seni berupa lukisan dan banyak hal lainnya. Fungsi hak cipta itu sendiri adalah untuk
melindungi karya-karya ini dari individu yang ingin menjiplak atau meniru karya-karya berhak
cipta ini sehingga orang lain didorong untuk menghasilkan ide dan karya untuk bangsa
Indonesia. Dan ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta Indonesia dan seperti yang kita
ketahui Hak Cipta memiliki berbagai jenis dan salah satunya adalah sinematografi yang diatur
dalam Pasal 40 Huruf m Undang-Undang Hak Cipta, contoh sinematografi. ini seperti iklan,
kartun, dan dokumenter. Hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta dalam Pasal 9 Undang-
Undang Hak Cipta dan pengaturan sanksi terkait pelaku yang mencatat dan mendistribusikan
pelanggaran rekaman atau hak cipta yang telah dilakukannya diatur dalam Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan penelitian ini membandingkan Hak Cipta hukum

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 111
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
Indonesia dengan Bern Convention di mana dalam konvensi ini terdapat Droit Moral atau hak
pencipta untuk mengklaim ciptaannya dan menimbulkan keberatan terhadap tindakan yang
bermaksud untuk mengubah dan mengurangi. Perkembangan teknologi dan internet
memudahkan banyak hal menjadi praktis namun ada peningkatan masalah yang muncul di
bidang Hak Cipta di bidang sinematografi seperti imitasi. Pembajakan atau tiruan adalah
tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang ingin mendapat
untung dari pekerjaan orang lain tanpa izin atau pengetahuan mereka.
Kata Kunci: Sinematografi; Bern Convention; Pembajakan; Hak Cipta.

A. PENDAHULUAN
Globalisasi dan modernisasi menyebabkan perkembangan yang signifikan terhadap
berbagai bidang seperti sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Indonesia yang tergolong ke dalam
negara berkembang telah melakukan berbagai upaya didalam memajukan perkembangan
diberbagai sektor salah satunya didalam teknologi informasi (internet) karena adanya
perkembangan dibidang teknologi membawa dampak dalam kehidupan baik secara langsung
maupun tidak langsung.1 Tetapi dengan adanya perkembangan dibidang teknologi maupun
digital juga membawa beberapa dampak yang mana mencakup ruang lingkup yang tidak
mengenal batas negara karena bersifat global.2 Dalam kehidupan, semakin hari internet semakin
dibutuhkan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti saat berbelanja online, melakukan
pelayanan jasa, layanan penyedia informasi dan di dalam layanan maupun fitur yang ada di
internet mengandung unsur kekayaan intelektual baik dari aspek hak cipta seperti karya musik,
fotografi maupun sinematografi. Seiring dengan berjalannya waktu semakin banyak masalah
yang timbul seperti pembajakan, penjiplakan dan berbagai permasalahan lainnya.3
Karya cipta sendiri masuk kedalam ruang lingkup Hukum Kekayaan Intelektual. Di
Indonesia Hak Cipta diatur didalam Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU
Hak Cipta). Pada hakikatnya Hak Kekayaan Intelektual diberikan sebagai bentuk penghargaan
atau apresiasi atas hasil kreativitas seseorang baik dalam bentuk penemuan maupun hasil karya
cipta maupun seni. Salah satu bentuk karya cipta yang dilindungi ialah Sinematografi yang
diatur didalam Pasal 40 Huruf m UU Hak Cipta. Sinematografi ialah karya cipta yang memiliki
wujud berupa gambar bergerak seperti film dokumenter, iklan, kartun anak atau film yang
dibuat berdasarkan skenario. Sinematografi ini merupakan bentuk dari audiovisual.
Permasalahan yang sering kali timbul dalam bidang sinematografi ialah pembajakan dan
plagiarisme yang sering kali ditemukan namun kurang terlalu diperhatikan. Perlindungan
terhadap hal tersebut diatur didalam Undang-Undang No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
sedangkan untuk perlindungan film berdasarkan substansi diatur didalam Undang-Undang No.
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (UU ITE).

1
Eko Rial Nogroho and Wahyu Priyanka NP, “Tanggung Gugat Pemegang Hak Cipta Terhadap Perbuatan
Melawan Hukum Pelanggaran Hak Cipta.” 2, no. 2 (2019): 23–37.
2
Ni Made Rian Ayu Sumardani and I Made Sarjana, “Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya
Sinematografi Terkait Pembajakan Film Pada Situs Online,” Kertha Semaya 4, no. 2 (2016): 4.
3
Dewa Gede Yudi Putra Wibawa and I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, “Upaya Mediasi Dalam Penyelesaian
Sengketa Pelanggaran Hak Cipta,” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 10 (2019): 1–15.

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 112
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
Hak Cipta dalam ranah digital memiliki keunikan tersendiri di dalam perlindungan hukum
karena menggunakan bantuan teknologi dan informasi (internet).4 Oleh karenanya, Undang -
Undang yang mengatur Hak Cipta tentang film harus memiliki aturan yang kuat untuk mengatur
mengenai konsep pelindungan Hak Cipta sendiri di dalam konteks audiovisual. Akibat yang
ditimbulkan dari keikutsertaan Indonesia di dalam World Trade Organization (WTO) dan
Persetujuan Trips mengakibatkan Indonesia harus mematuhi sistem Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) yang berlaku secara internasional seperti menyamakan prinsip-prinsip dasar atau standar
minimal sistem yang diberlakukan sama dengan negara lain sedangkan untuk audio Indonesia
sudah meratifikasi WIPO Copyright Treaty sebagai landasan hukum perlindungan.5 Oleh
karenanya, dapat dilihat Berne Convention adalah salah satu peraturan internasional yang dapat
memberikan jawaban atau sebagai landasan hukum terkait konsep pelindungan hak cipta
audiovisual dalam hal ini terdapat film pada ranah digital yang mana berdasarkan aturan
tersebut dapat dilakukan pengkajian tentang bagaimana bentuk perlindungan terhadap karya
cipta berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia dan bagaimana pula peranan peraturan
internasional HKI yang menjadi basis dari peraturan yang berlaku. Berdasarkan paparan di atas
tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji perlindungan Hak Cipta Sinematografi menurut
UU Hak Cipta di Indonesia dan perlindungan Hak Cipta Sinematografi menurut Bern
Convention.

B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji permasalahan yang di angkat dalam
penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengutamakan data sekunder
(data yang diperoleh secara tidak langsung). Data sekunder dalam penelitian ini dikaji
menggunakan teknik analisis deskriptif-kualitatif dengan menggunakan pendekatan perundang-
undangan dan pendeketan konseptual terkait perlindungan hak cipta.

C. PEMBAHASAN
1. Perlindungan Hak Cipta Sinematografi Menurut Undang-Undang Hak Cipta di
Indonesia
Pada perkembangan penggunaan media sosial sekarang ini yang mempermudah dalam
mendapatkan berbagai hiburan dan dikarenakan maraknya perekaman film secara illegal yang
merugikan pencipta film tersebut maka HKI berperan sangat penting di dalam melindungi hasil-
hasil karya cipta dari para pencipta film, lagu maupun iklan sehingga menghindari dari hal-hal
seperti plagiat ataupun perekaman secara illegal.6 Dalam jurnal ini dibahas tentang

4
A Agustianto and Y Sartika, “Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia
Dalam Pemberian Fasilitas Kredit Pada Perbankan Di Kota Batam.,” Journal of Judicial Review 19, no. 2 (2019):
129–144.
5
Abdul Atsar, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional Untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan
Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.,” Jurnal Law Reform Program Studi
Magister Ilmu Hukum 13, no. 2 (2017): 284.
6
Bagus Fauzan and Miranda Risang Ayu, “Perlindungan Hak Cipta Sinematografi Pada Medium Internet Menurut
Beijing Treaty Dihubungkan Dengan Sistem Hukum Indonesia,” ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum
Kenotariatan Fakultas Hukum UNPAD 3, no. 1 (2019): 58–79,
http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/acta/article/view/acta-v3n1a4/acta.v3n1a4.

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 113
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
pengunggahan film tanpa izin pencipta termasuk ke dalam pelanggaran HKI atau tidak, dan apa
konsekuensi yang akan di dapat oleh orang yang melakukan perekaman film secara illegal baik
yang berusaha mencoba mengambil keuntungan dari “karya cipta film” tersebut maupun yang
tidak. Dalam hal ini sebagai langkah antisipasi pemerintah menetapkan Pasal 54 UU Hak Cipta
untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta melalui media social serta
melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penyebaran konten berhak cipta. Sehingga
kesimpulan dari jurnal ini bahwa karya cipta film merupakan sesuatu hal yang dilindungi dan
mengunggah karya cipta film tanpa izin dari pencipta dan mengambil keuntungan dari film
tersebut dapat digugat ke pengadilan dan memperoleh sanksi berupa ganti rugi dan pidana
karena melanggar Hak Cipta Eksklusif dan dapat dilakukan penutupan atau pemblokiran
terhadap akun media sosial pengunggah film tanpa izin tersebut.7 Dalam Pasal 9 – 40 TRIPS
Agreement sudah digolongkan jenis-jenis HKI yang dilindungi salah satunya adalah Hak Cipta
(Copyrights) dan hal ini juga diatur di dalam UU Hak Cipta dan jika terdapat oknum yang
melakukan pelanggaran dengan cara pemanfaatan terhadap film tersebut maka dapat dikenakan
Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta, dan dapat digugat ganti rugi dengan Pasal 96 ayat (1) UU
Hak Cipta yang diajukan oleh pencipta ke Pengadilan Niaga. Sesuai dengan penjelasan pada
Pasal 100 Ayat (1) UU Hak Cipta dan ganti rugi yang dibayarkan dapat berupa penghasilan
yang diperoleh dari film tersebut kepada pencipta.
Sanksi bagi pelaku yang melakukan tindakan tersebut dikenai dengan Pasal 113 UU ITE
yaitu perekaman atau pendistribusian tanpa izin serta upaya yang dilakukan pemerintah yaitu
memblokir situs tersebut oleh Kemenkominfo yang bekerja sama dengan Kementrian Hukum
dan HAM. Bidang teknologi yang kian pesat berkembang telah mempengaruhi dan banyak
merubah berbagai pola kehidupan manusia secara signifikan, salah satunya dengan
menciptakan suatu masyarakat informasi. Saat ini segala informasi yang kemudian didukung
dengan kemajuan teknologi membuat publikasi keseluruh penjuru bumi terkesan sangat mudah,
yaitu melalui internet. Dalam kisah sejarahnya internet muncul sekitaran tahun 1960-an, oleh
Departemen Pertahanan dari Amerika Serikat. Dengan proyek yang mereka jalankan pada saat
itu bernama Advanced Research Projects Agency yang menjadi asal mulanya sebelum terbentuk
teknologi internet.
Internet memberi kemudahan bagi siapapun yang mengaksesnya mendapatkan informasi
yang di inginkan. Internet sendiri merupakan suatu kekayaan intelektual di bildang teknologi
dan informasi dari yang kita kenal internet juga disebut dunia maya karena seolah-olah adanya
sisi lain atau adanya suatu lingkungan baru yang berbentuk nyata. 8 Sayangnya kemajuan
teknologi informasi khususnya internet bukan hanya membawa sisi positif nya saja kedalam
kehidupan manusia namun juga memiliki dampak yang negatif. Jika berbicara hak kekayaan
intelektual pada khususnya hak cipta banyak sekali dijumpai permasalahan yang terjadi, apalagi

7
Ayup Suran Ningsih and Balqis Hediyati Maharani, “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film
Secara Daring,” Jurnal Meta-Yuridis 2, no. 1 (2019): 13–32, https://doi.org/http://dx.doi.org/10.26877/m-
y.v2i1.3440.
8
Ali Ismail Shaleh et al., “Perlindungan Hukum Terhadap Persamaan Merek Untuk Barang Atau Jasa Yang
Sejenis : Studi Merek Bossini,” Journal of Judicial Review 22, no. December (2020): 291–300.

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 114
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
di era dunia yang telah mengenal soal perdagangan bebas sehingga membuat semua orang ingin
mendapatkan keuntungan dari cara apapun bahkan dengan merugikan orang lain.9
Perkembangan bidang sinematografi di Indonesia semakin mengalami kemajuan baik
dinilai dari segi penggemar maupun peningkatan kualitas karya dari bidang sinematografi itu
sendiri. Hak yang dimiliki pencipta dilindungi untuk tidak dirugikan oleh pihak lain yang
tertuang pada UU hak Cipta, berdasarkan Pasal 1 ayat 4 UU Hak Cipta “Pemegang Hak Cipta
adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari
Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut
secara sah”. Namun dikarenakan kemajuan teknologi dan seolah tergiur dengan iming - iming
uang membuat maraknya pelaku tindak pidana dalam ranah sinematografi demi mendapatkan
suatu keuntungan semata.10
Hukum hak kekayaan intelektual, kita selalu berbicara mengenai hak karena didalam
suatu karya cipta yang bernilai akan timbul berbagai hak milik si pencipta atau si pemegang
hak cipta. Hak akan selalu dijunjung tinggi dan memiliki kedudukan yang penting didalam
ruang lingkup bangsa Indonesia sebagai bentuk nyata banyak sekali membahas mengenai hak-
hak terutama bagi warga negara Indonesia di dalam undang-undang.11 Hak adalah kuasa untuk
menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak
tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut
secara paksa olehnya.12 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa terdapat beberapa hak yang dimiliki
pencipta terhadap karya ciptaannya, seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 UU Hak Cipta
bahwa Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a UU Hak Cipta merupakan hak
eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang mucul dan
melekat abadi pada penciptanya yang tidak dapat dihapus dan dihilangkan dengan alasan
apapun. Sedangkan Hak ekonomi merupakan hak eksklusif bagi pencipta untuk mendapatkan
manfaat ekonomi dari hasil ciptaan nya. Pelanggaran hak cipta sinematografi dengan bentuk
plagiarisme juga memiliki ketentuan pidana yang disebutkan dalam Pasal 113 ayat (3) UU Hak
Cipta “Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Mengenai penyelesaian sengketanya dapat
diselesaikan dengan diajukan nya gugatan ganti rugi ke pengadilan yang berwenang menangani
masalah hak cipta ini yaitu ke pengadilan niaga.
Pada umumya seseorang dalam menciptakan suatu karya tidaklah digunakan untuk diri
sendiri namun juga agar dapat dinikmati dan dimanfaatkan kepada orang lain. Seiring dengan

9
Hari Sutra Disemadi and Cindy Kang, “Tantangan Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Dalam
Pengembangan Ekonomi Kreatif Di Era Revolusi Industri 4.0,” Jurnal Komunikasi Hukum 7, no. 1 (2021): 387–
402.
10
A. S. Fadhil, “Perlindungan Hukum Hak Cipta Sinematografi Terhadap Kegiatan Download Dan Upload (Telaah
Penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014)” (: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
2018).
11
Hari Sutra Disemadi and Wiranto Mustamin, “Pembajakan Merek Dalam Tatanan Hukum Kekayaan Intelektual
Di Indonesia,” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 6, no. 1 (2020): 83, https://doi.org/10.23887/jkh.v6i1.23442.
12
Lathifah Hanim, “Perlindungan Hukum HaKI Dalam Perjanjian Waralaba Di Indonesia.,” Jurnal Hukum
Fakultas Hukum Unisula 2, no. 1 (2011): 571–89.

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 115
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
perkembangannya seringkali suatu karya dipergunakan secara tidak bertanggung jawab. Dari
kasus yang baru - baru ini dialami oleh salah satu situs streaming film online yang namanya
sudah tidak asing dikalangan para penikmat film di Indonesia, yaitu LK21 dan Indoxxi. Kedua
situs dari banyak situs streaming film online ini dinilai ilegal karena tidak memiliki izin sah
terkait berbagai film yang ada di situsnya. Pembajakan sudah menjadi masalah yang lumrah
dalam hak cipta karya sinematografi atas tindakan seperti itu mereka bisa mendapat banyak
keuntungan dari hasil karya orang lain. Bentuk pelanggaran hak cipta yang kedua yaitu
plagiarisme yang sudah seperti bumbu dalam industri sinematografi, pada dasarnya didalam
UU Hak Cipta tidak memberikan definisi secara jelas tentang plagiarisme tetapi dapat
dirumuskan sebagai penjiplakan ciptaan orang lain dengan cara melanggar hukum, menjadi
miliknya sendiri. Di setiap film favorit seseorang pasti ada suatu momen adegan yang akan
paling diingat karena memiliki latar belakang tersendiri. Dalam prakteknya sering dijumpai film
- film lainnya yang memiliki alur cerita serta adegan yang sebagian besar sama persis dengan
karya sinema sebelumnya. Tidak dapat dipastikan apakah hal tersebut tidak disengaja atau pun
adanya rasa terinspirasi dari karya orang lain.13
Unsur plagiarisme sangat tidak dibenarkan karena dinilai sebagai “Dosa besar” dalam
ruang lingkup hak cipta. Seorang pencipta tentunya memiliki hak eksklusif terhadap hasil karya
ciptaan nya yang kemudian dinilai melanggar jika seseorang memakai hak eksklusif yang
dimiliki oleh orang atas karya hak cipta sinematografi seseorang. Termasuk film merupakan
salah satu dari bagian dari sinematografi sebagai ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta sesuai
dengan Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta. Sudah sangat jelas bahwa plagiarisme memang
dilarang, akan tetapi hendaknya kita tau batasan sampai mana suatu karya (film) dinilai terdapat
unsur plagiarisme. Di dalam Pasal 5 Huruf e UU Hak Cipta “Mempertahankan haknya dalam
hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat
merugikan kehormatan diri atau reputasinya”. Bunyi pasal ini dimaknai bahwa seorang
pencipta memiliki hak atas setiap karya ciptaan nya. Hak tersebut melekat abadi, sehingga
tindakan plagiarisme sangat tidak dibenarkan dalam bentuk cara apapun di dalam hak cipta.
Namun jika ingin menentukan ada tidaknya plagiarisme didalam suatu film ataupun sinetron
memerlukan interpretasi lebih yang ditinjau dari berbagai unsur yang terkandung di dalamnya.

2. Perlindungan Hak Cipta Sinematografi Menurut Bern Convention


Negara yang berdasarkan hukum dan demi mewujudkan cita-cita negara yang terdapat
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyebutkan “Ikut
berpartisipasi dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan social” maka Indonesia juga ikut turut serta dalam meratifikasi
berbagai persetujuan dunia yang diantaranya Indonesia juga tergabung dalam keangggotaan
WTO (World Trade Organization) maka sebagai konsekuensi yang dihadapi ialah Indonesia
harus benar-benar mematuhi peraturan-peraturan terkait perdagangan yang ditetapkan dalam
WTO dan GATT yang dalam hal ini Hak Kekayaan intelektual juga turut diatur di dalamnya.

13
Daniel Andre Stefano, Hendro Saptono, and Siti Mahmudah, “Perlindungan Hukum Pemegang Hak Cipta Film
Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Yang Dilakukan Situs Penyedia Layanan Film Streaming Gratis Di Internet
(Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta),” Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016):
1–11, https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/11384.

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 116
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
Seperti yang kita ketahui bersama hak cipta ini juga merupakan bagian dari hak kekayaan
intelektual. Hak cipta ini sendiri tersusun dari dua kata yaitu kata ‘Hak’ dan kata ‘cipta’. Kata
hak tersebut seringkali dedifinisikan sebagai suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak-
pihak tertentu yang mana mereka memiliki kebebasan untuk digunakan atau tidak. Sedangkan
kata cipta ini mendeskripsikan kepada hasil ciptaan manusia yang dihasilkan atas sumber daya
yang ada pada dirinya yaitu berupa pikiran, pengetahuan dan pengalaman.
Pada hak cipta (Copyright) ini sendiri terkandung beberapa hak diantaranya hak
ekspolitasi atau yang kita kenal sebagai ekonomi dan hak moral. Hak-hak yang diberikan
kepada pencipta sendiri atas adanya hak ekonomi ini sendiri ialah pencipta tersebut dapat
mengeksploitasi karya cipta yang dihasilkannya demi memperoleh keuntungan bagi dirinya
sehingga dalam hal ini diperlukan adanya perlindungan hukum yang dapat menjamin hak-hak
sang pencipta dan dapat digunakan sebagai sarana dalam menyelesaikan permasalahan
bilamana terjadi sengketa antara pemilik hak cipta (pengelola) dan pihak-pihak yang
melanggarnya. Sedangkan hak moral ini berkaitan dengan hak yang melekat pada seorang
pencipta yang mana hak tersebut tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun
meskipun hak cipta tersebut atau terkait telah dialihkan kepada orang lain. 14 Dalam
perkembangannya terkait perlindungan hak cipta di bidang sinematografi ini sendiri pemerintah
telah meratifikasi konvensi Bern yang mana hal tersebut tertuang didalam Keputusan Presiden
No 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Bern Convention For The Protection Of The Literarry
and Artistic Works yang mana ratifikasi tersebut menjadi dasar dalam menjadikan suatu
perjanjian internasional menjadi hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian apabila
suatu perjanjian tertentu belum diratifikasi, walaupun sudah ditandatangani belumlah
merupakan suatu hukum positif.15 Adapun yang menjadi objek perlindungan yang diatur
didalam konvensi ini ialah karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra,
ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengaturan apapun seperti yang tertuang dalam
ketentuan di Pasal 2 Konvensi ini termasuk didalamnya ialah karya cipta dibidang
sinematografi, sinematografi sendiri ialah ciptaan yang berupa gambar bergerak seperti film
dokumenter, film iklan, film reportase atau film kartun. Yang mana karya sinematografi dapat
dibuat dalam pita solenoid, pita video, piringan cakram atau menggunakan media lain yang
dapat dipertunjukkan di bioskop, televisi maupun media lainnya. Karya sinematografi ini juga
merupakan bagian dari audiovisual.
Salah satu bentuk pelanggaran yang sering kali terjadi di dalam dunia sinematografi di
Indonesia ialah adanya unsur-unsur plagiarisme yang sering kali ditemukan dalam beberapa
film. Contoh nyatanya ialah adanya kesamaan antara alur cerita film “Kau Yang Berasal dari
Bintang” yang ditayangkan oleh stasiun RCTI dengan serial drama Korea yang berjudul “You
Who Came From The Star” yang ditayangkan oleh stasiun tv SBS di Korea. Dalam hal ini pihak
stasiun SBS tersebut bahkan berencana untuk mengambil tindakan hukum karena belum
mendapatkan izin.16

14
Luh Mas Putri Pricillia and I Made Subawa, “Akibat Hukum Pengunggahan Karya Cipta Film Tanpa Izin
Pencipta Di Media Sosial,” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6, no. 11 (2018): 1–15.
15
Kholis Roisah, “Kebijakan Hukum ‘Tranferability’ Terhadap Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Di
Indonesia,” Law Reform 11, no. 2 (2015): 241, https://doi.org/10.14710/lr.v11i2.15772.
16
“Diprotes Korsel, Sinetron ‘Kau Berasal Dari Bintang’ Berhenti Tayang.,” Kompas, 2014,
https://entertainment.kompas.com/Read/2014/05/03/2016237/Diprotes.Korsel.Sinetron.Kau.Berasal.Dari.Bintan

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 117
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
Berkaitan dengan kasus tersebut dalam hal ini pada hakikatnya Konvensi Bern telah
menjamin bentuk - bentuk perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh si pencipta hal ini
dapat dilihat dari salah satu ketentuan pasal yang terdapat dalam konvensi bern yakni dalam
Pasal 5 Ayat 1 dan 2 yang mana bunyi pasal tersebut tertuang didalam 3 prinsip dasar yang
dianut oleh negara - negara yang meratifikasi konvensi bern. Prinsip tersebut yakni: 1) National
treatment principel: ciptaan yang berasal dari salah satu Negara peserta perjanjian, ciptaan
seorang warga negara, negara peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali
diterbitkan disalah satu Negara peserta perjanjian, harus mendapat perlindungan hukum hak
cipta yang sama seperti yang diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri; 2)
Automatic protection principel: pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara
langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (must not be conditional upon compliance with
any formality); dan 3) Independence of protection principel: suatu perlindungan hukum
diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta.
Prinsip-prinsip tersebut terutama prinsip National Treatment menjadi dasar atas
kewajiban terhadap negara-negara yang telah menandatangani konvensi tersebut untuk
melindungi secara hukum hak cipta karya para pencipta dari negara lain yang ikut
menandatangani konvensi tersebut seolah-olah melindunginya seperti milik negara tersebut.
Namun, dikarenakan setiap negara anggota memiliki sistem dan budaya hukum yang berbeda-
beda sehingga diperlukan pengaturan lebih lanjut demi menjamin perlindungan hukum terhadap
suatu hak cipta di suatu negara yang mana Indonesia mewujudkannya dengan mengeluarkan
Undang-Undang Hak Cipta. Sehingga berdasarkan prinsip-prinsip dasar tersebut meskipun
pihak stasiun SBS di Korea tidak mendaftarkan hasil karya ciptannya tersebut, Indonesia
sebagai negara peratifikasi Konfensi Bern wajib melindungi dan memberikan perlindungan
hukum yang sama seperti melindungi karya cipta hasil pemikiran warga negaranya melalui UU
Hak Cipta.
Setiap film pastinya memiliki unsur-unsur pembangun yang mana unsur-unsur
pembangun tersebut yang akan menjadi pembeda antara film yang satu dengan film yang lain.
Unsur tersebut diantaranya: tema suatu cerita, karakter para tokoh, dialog serta hal-hal lain yang
dituangkan dalam alur cerita film. Dalam hal ini jika semua unsur-unsur tersebut dibuat secara
sama atau mirip maka dapat dipastikan bahwa pembuatan film tersebut telah menjiplak film
lainnya namun kenyataan dilapangan, pembuatan film tersebut mengambil ide cerita dari film
yang lain tetapi hal tersebut dikemas dengan kemasan yang berbeda seperti penamaan tokoh
dan lain sebagainya sehingga sulit untuk menilai telah terjadi unsur plagiarism dalam suatu
cerita. Dan juga terdapat doktrin yang tertuang dalam Pasal 9 Perjanjian TRIPS yang mana
disebutkan dalam suatu hak cipta bahwa perlindungan tersebut hanya akan diberikan kepada
suatu yang nyata dan bukan pada ide, prosedur, pelaksanaan atau konsep sistematis lainnya.
Namun dalam hal ini UU Hak Cipta telah memberikan uraian secara rinci dan jelas,
dimana uraian tersebut dapat terlihat dalam pasal 5 Undang - Undang Hak Cipta yang
menerangkan bahwa “Hak moral atas suatu ciptaan termasuk hak untuk mempertahankan
haknya, dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang
bersifat merugikan diri atau reputasinya.” Dalam penjelasan telah dijabarkan bahwa yang

g.Berhenti.Tayang#:~:Text=Diprotes%2520korsel%252c%2520sinetron%2520’kau%2520berasal%2520dari%2
520bintang’%2520berhenti%2520tayang,-Kompas.Com%2520%252d%252003&Text=Jakarta%252, .

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 118
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
dimaksud dengan “Distorsi ciptaan” adalah tindakan yang dilakukan demi memutarbalikkan
fakta atau identitas ciptaan, yang dimaksud “Mutilasi ciptaaan” adalah proses atau tindakan
menghilangkan sebagian dari suatu ciptaan, dan yang dimaksud “Modifikasi ciptaan” adalah
pengubahan isi dari suatu ciptaan. Batasan-batasan yang telah tertuang dalam peraturan tersebut
pada esensi memerlukan kajian kajian yang lebih mendalam untuk dapat menentukan apakah
telah terjadi plagiarism dalam suatu karya cipta.
Pelanggaran-pelanggaran yang menjadi contoh tersebut menjadi bukti bahwa Tindakan-
tindakan pelanggaran hak cipta khususnya dibidang sinematografi semakin bervariasi. Oleh
sebab itu, penyempurnaan-penyempurnaan regulasi yang berhubungan dengan hak cipta, terus
dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud dari keinginan Indonesia sebagai anggota World
Trade Organization (WTO) demi memaksimalkan perlindungan terhadap hak cipta di Indonesia
sebagai hak yang mendapatkan perlindugan hukum secara ekslusif.

D. PENUTUP
Selain dari Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) ini sendiri, Hak Cipta juga diatur di
dalam ruang lingkup internasional yaitu didalam Konvensi Bern (Bern Convention), konvensi
Bern ini merupakan aturan mengenai hak cipta yang tergolong sangat tua di dalam ruang
lingkup internasional yang mengatur mengenai hak cipta dan salah satunya ialah Sinematografi,
dimana terdapat 45 negara yang telah meratifikasi konvensi ini untuk melindungi Hak Cipta di
dalam ruang lingkup internasional sehingga menghindari atau meminimalisir adanya kemiripan
atau penjiplakan maupun penggadaan terhadap suatu hak cipta. Dan konvensi ini sendiri juga
berfungsi sebagai alat untuk melindungi hak cipta suatu negara dan menjalin Kerjasama dan
keeratan dengan negara-negara anggota konvensi lainnya yang mana hal-hal mengenai
sinematografi di dalam Konvensi Bern (Bern Convention) ini sendiri mengatur bahwa semua
hak cipta terhadap suatu karya terkecuali Sinematografi dan Fotografi hanya dilindungi selama
50 tahun setelah pemegang hak cipta meninggal dunia dan sedangkan untuk sinematografi
sendiri adalah 50 tahun setelah pertunjukan pertama atau setelah film tersebut dibuat apabila
film tersebut tidak pernah ditayangkan dalam jangka waktu 50 tahun sejak pembuatannya maka
di dalam hal ini Konvensi Bern tidak dapat melindungi Hak Cipta dari karya Sinematografi
tersebut.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mengenai Hak Cipta terhadap sinematografi sangatlah
dibutuhkan karena maraknya tindakan-tindakan yang merugikan pemegang hak cipta atau hak
ekslusif dari karyanya tersebut, seperti contohnya saja sinematografi dalam bentuk film-film
yang ditayangkan di dalam bioskop yang memiliki hak cipta yang jelas masih sering dilanggar
oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab seperti melakukan perekaman film pada saat film
diputarkan yang kemudian diunggah ke dalam situs ataupun internet sehingga ia meraup
keuntungan dari hal yang ia lakukan tersebut tetapi bagi pemilik hak cipta atau pemegang hak
ekslusif itu merupakan suatu hal yang sangat amat merugikan dikarenakan jika film tersebut
sudah ada di internet maupun situs film online lainnya maka orang-orang akan lebih memilih
menikmati film tersebut melalui internet atau menggunakan film yang telah diunggah oleh
pelaku pelanggar hak cipta tersebut dan maka dari itu ia mendapatkan hasil dari pelanggaran
yang ia lakukan dan membuat kerugian yang besar kepada pemegang hak cipta terhadap karya
tersebut maka dengan itu dibutuhkannya Hak Cipta di dalam mengatur mengenai tindakan

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 119
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
pelanggaran terhadap Hak Cipta Sinematografi tersebut sehingga meminimalisirkan orang-
orang yang melakukan pelanggaran tersebut dan membuat pemegang hak ekslusif menjadi tidak
dirugikan karena adanya tindakan ini. Sehingga dibutuhkannya suatu aturan yang menegakkan
hukum bagi Hak Cipta suatu karya yang dibuat oleh seseorang.

E. DAFTAR PUSTAKA
Agustianto, A, and Y Sartika. “Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Hak Cipta Sebagai Objek
Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Fasilitas Kredit Pada Perbankan Di Kota Batam.”
Journal of Judicial Review 19, no. 2 (2019): 129–44.
Atsar, Abdul. “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Dan Ekspresi Budaya Tradisional
Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau Dari Undang-Undang No. 5
Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta.” Jurnal Law Reform Program Studi Magister Ilmu Hukum 13, no. 2
(2017): 284.
Kompas. “Diprotes Korsel, Sinetron ‘Kau Berasal Dari Bintang’ Berhenti Tayang.,” 2014.
https://entertainment.kompas.com/Read/2014/05/03/2016237/Diprotes.Korsel.Sinetron.
Kau.Berasal.Dari.Bintang.Berhenti.Tayang#:~:Text=Diprotes%2520korsel%252c%252
0sinetron%2520’kau%2520berasal%2520dari%2520bintang’%2520berhenti%2520taya
ng,-Kompas.Com%2520%252d%252003&Text=Jakarta%252, .
Disemadi, Hari Sutra, and Cindy Kang. “Tantangan Penegakan Hukum Hak Kekayaan
Intelektual Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif Di Era Revolusi Industri 4.0.” Jurnal
Komunikasi Hukum 7, no. 1 (2021): 387–402.
Fadhil, A. S. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Sinematografi Terhadap Kegiatan Download
Dan Upload (Telaah Penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014).” : Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2018.
Fauzan, Bagus, and Miranda Risang Ayu. “Perlindungan Hak Cipta Sinematografi Pada
Medium Internet Menurut Beijing Treaty Dihubungkan Dengan Sistem Hukum
Indonesia.” Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Fakultas Hukum UNPAD 3,
no. 1 (2019): 58–79. http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/acta/article/view/acta-
v3n1a4/acta.v3n1a4.
Hanim, Lathifah. “Perlindungan Hukum HaKI Dalam Perjanjian Waralaba Di Indonesia.”
Jurnal Hukum Fakultas Hukum Unisula 2, no. 1 (2011): 571–89.
Ningsih, Ayup Suran, and Balqis Hediyati Maharani. “Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap
Pembajakan Film Secara Daring.” Jurnal Meta-Yuridis 2, no. 1 (2019): 13–32.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.26877/m-y.v2i1.3440.
Nogroho, Eko Rial, and Wahyu Priyanka NP. “Tanggung Gugat Pemegang Hak Cipta Terhadap
Perbuatan Melawan Hukum Pelanggaran Hak Cipta.” 2, no. 2 (2019): 23–37.
Pricillia, Luh Mas Putri, and I Made Subawa. “Akibat Hukum Pengunggahan Karya Cipta Film
Tanpa Izin Pencipta Di Media Sosial.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6, no. 11
(2018): 1–15.
Roisah, Kholis. “Kebijakan Hukum ‘Tranferability’ Terhadap Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual Di Indonesia.” Law Reform 11, no. 2 (2015): 241.
https://doi.org/10.14710/lr.v11i2.15772.
Shaleh, Ali Ismail, Shabirah Trisnabilah, Fakultas Hukum, and Universitas Diponegoro.
“Perlindungan Hukum Terhadap Persamaan Merek Untuk Barang Atau Jasa Yang
Sejenis : Studi Merek Bossini.” Journal of Judicial Review 22, no. December (2020):
291–300.
Stefano, Daniel Andre, Hendro Saptono, and Siti Mahmudah. “Perlindungan Hukum Pemegang

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 120
E-ISSN : Regent, et.al.
ISSN : Hal. 111-121
ILREJ, Vol. 1, No. 1, Maret 2021
Hak Cipta Film Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Yang Dilakukan Situs Penyedia
Layanan Film Streaming Gratis Di Internet (Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 Tentang Hak Cipta).” Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016): 1–11.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/11384.
Sumardani, Ni Made Rian Ayu, and I Made Sarjana. “Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta
Karya Sinematografi Terkait Pembajakan Film Pada Situs Online.” Kertha Semaya 4, no.
2 (2016): 4.
Sutra Disemadi, Hari, and Wiranto Mustamin. “Pembajakan Merek Dalam Tatanan Hukum
Kekayaan Intelektual Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 6, no. 1 (2020):
83. https://doi.org/10.23887/jkh.v6i1.23442.
Wibawa, Dewa Gede Yudi Putra, and I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati. “Upaya Mediasi
Dalam Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hak Cipta.” Kertha Wicara: Journal Ilmu
Hukum 8, no. 10 (2019): 1–15.

Pelanggaran Hak Cipta Sinematografi di Indonesia: Kajian Hukum Perspektif Bern Convention dan Undang-
Undang Hak Cipta | 121

You might also like