76 319 1 PB
76 319 1 PB
76 319 1 PB
Article History
Received: December, 22th 2019
Revised: May, 9th 2020
Accepted: May, 21st 2020
Wibi Wijaya
Program Studi Pendidikan IPS, STKIP PGRI Sumatera Barat, Padang, Sumatera Barat, Indonesia
[email protected]
ABSTRACT
Giri Mulyo village of West Kayu Ayo district was known as the biggest the biggest chilli-
producing village in Kerinci Regency. In addition, the village also produce the commodity of
potatoes and other agricultural products such as shallots, cabbage, mustard greens, tomatoes,
and other types of vegetables which are marketed to various regions. The purpose of this
research was to investigate the commerce and authority relations formed between chilli
farmers and chilli merchants. This reseach conducted qualitatively through observation, deep
interview and document study to collect desired data. The result of study showed that in
terms of commodity price, the farmers were dependant to merchant decision, and in fact they
sometimes suffered losses. Moreover, the chilli farmers especially the sharecroppers sold their
product to merchants because they had been their old clients. This relation was maintained
because the farmers and the sharecroppers usually depended on them in running their
farming business. Furthermore, the authority relation formed between the parties was also
influenced by factors of culture, farmer’s helplessness, and market situation.
Keywords: Commerce, Power Relation, Chilli Agriculture
ABSTRAK
Desa Giri Mulyo, Kecamatan Kayu Aro Barat merupakan daerah penghasil cabai terbesar di
Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Selain komoditas cabai, daerah ini juga penghasil
komoditas kentang dan hasil pertanian lainnya seperti bawang merah, kubis, sawi, tomat,
dan jenis sayuran lainnya yang dipasarkan ke berbagai daerah. Tulisan ini bertujuan untuk
mengungkap tataniaga dan relasi kuasa yang terjadi antara petani cabai dengan saudagar
cabai. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data
melalui observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketergantungan harga dari petani sangat tinggi kepada saudagar
meskipun petani mengalami kerugian. Petani cabai di Desa Giri Mulyo, terutama petani
penggarap sebagian besar menjual hasil panen cabai kepada saudagar kerena sudah
memilki hubungan langganan sejak lama. Hubungan langganan yang terjalin karena petani
cabai bergantung kepada saudagar dalam menjalankan usaha tani. Selain itu, relasi kuasa
yang terjalin antara petani cabai dengan saudagar karena adanya faktor budaya, faktor
ketidakberdayaan, dan faktor situasi pasar.
Kata Kunci: Tataniaga, Relasi Kuasa, Pertanian Cabai
Corresponding Author
Name : Wibi Wijaya
Email : [email protected]
24 | Wibi Wijaya
1. Pendahuluan
Relasi kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dikuasai oleh negara, atau sesuatu yang
dapat diukur, karena kekuasaan ada di setiap masyarakat. Setiap ada relasi, dipasitkan di
sana ada kekuasaan. Kuasa ada dimana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara
berbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia.
Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung dimana-mana dan di situ
tedapat sistem, aturan, susunan, dan regulasi. Kekuasaan ini tidak hadir dari luar,
melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam
dan memungkinkan semuanya terjadi. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam relasi
kuasa adalah pengaruh atas kapital, baik berupa aset, uang, dan sarana fisik lainnya
(Damsar, 2005).
Realita tumpang tindihnya sebuah kekuasaan juga terdapat dalam dunia pertanian
Indonesia. Sebagai bentuk kepemilikan modal sang penguasa, hal tersebut dikarenakan
Negara Indonesia merupakan negara pertanian yang menjadi roda penggerak ekonomi
nasional. Hal ini dikarenakan bidang pertanian merupakan salah satu kegiatan manusia
yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok yaitu kebutuhan pangan (Nasrullah,
2015). Sektor pertanian terdiri dari beberapa sektor, salah satu diantaranya adalah
subsektor holtikultura. Adapun produk dari subsektor holtikultura adalah komoditas cabai.
Dimana komoditas cabai menjadi produk unggulan pertanian Indonesia yang terus
dikembangakan dalam berbagai bidang usaha pertanian. Perkembangan dunia usaha pada
dewasa ini ditandai dengan makin tajamnya persaingan. Khususnya dalam sektor
pertanian holtikultura. Oleh sebab itu, peran tataniaga sangat penting dan merupakan
sasaran dari setiap pelaku ekonomi pertanian. Keberhasilan suatu usaha atau aktifitas
ekonomi pertanian sangat ditentukan oleh keberhasilan proses tataniaganya. Tataniaga
adalah kunci berhasilnya usaha tani. Dalam tataniaga, komoditas pertanian terdapat aktor
atau pelaku ekonomi yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.
Struktur pasar dimana tataniaga produk agribisnis masih menunjukkan
kecenderungan oligoponis atau oligopolis. Sehingga posisi petani menengah dan kecil dalam
struktur tataniaga agribisnis cabai seringkali tidak berdaya, dan salah satu sebabnya
adalah lemahnya informasi pasar yang ada di tingkat petani. Dengan hanya mengandalkan
deregulasi, tanpa memperhatikan karakteristik keberadaan petani kecil (petani cabai), akan
semakin memperlebar kesenjangan antara pelaku pasar bagi produk-produk agribisnis
lainnya (Pakpahan, 1999). Di sini posisi tawar petani tidak hanya ditentukan oleh seberapa
banyak hasil pertanian yang dipanen, melainkan juga dipengaruhi oleh besarnya modal
yang telah dikeluarkan untuk usaha tani yang berasal dari bantuan pemilik modal.
Bantuan tersebut didapatkan petani kecil dari saudagar/tengkulak yang biasa melakukan
proses tataniaga pertanian. Bantuan tersebut mencakup semua hal, mulai dari penyewaan
lahan sampai pada penentuan harga hasil panen yang telah dilakukan. Oleh karena itu,
petani kecil dalam hal ini menjadi objek kekuasaan dari pemilik modal yang telah
melakukan tataniaga pertanian sejak dari awal hingga proses akhir tataniaga tersebut.
Bila dihubungkan dengan produk pertanian, menurut Limbong (1998), pertanian yaitu
segala kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-
barang hasil pertanian dari produsen ke tangan konsumen. Termasuk di dalamnya
kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk barang dari barang yang
ditujukan untuk lebih mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih
tinggi kepada konsumen. Untuk sampainya barang dan jasa dari produsen ke konsumen
dengan lancar, maka dalam tataniaga diperlukan adanya suatu pola atau sistem yang baik.
Menurut Azzaino (2000), sistem tataniaga yang adil itu ialah yang dapat memberikan
kepuasan untuk kepentingan produsen, lembaga tataniaga, serta konsumen melalui
mekanisme yang efisien dan pengintegrasian penawaran dan permintaan melalui pedagang
perantara yang aktifitasnya menambah kegunaan komoditi dengan menciptakan suatu
organisasi distribusi dalam kerangka sistem tersebut.
Produktivitas hasil pertanian selalu mengalami fluktuasi, sedangkan harga hasil
pertanian di tingkat produsen cenderung mengalami peningkatan yang cukup berarti, hal
ini diduga berkaitan dengan rendahnya produktivitas dari hasil pertanian. Fluktuasi harga
yang tinggi di sektor pertanian merupakan suatu fenomena yang umum akibat
ketidakstabilan (inherent instability) pada sisi penawaran. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya diantaranya mendiskusikan tentang tataniaga dan relasi pemilik
modal serta analisis pemasaran cabai dan bawang merah dan komoditi pertanian lainnya.
Penelitian Amang (2016) menunjukkan bahwa wujud dari tataniaga bawang merah di
Kabupaten Nganjuk meliputi dua proses. Proses tersebut meliputi proses produksi dan
distribusi, dengan prioritas pada pemasaran dalam proses distribusi. Tataniaga bawang
merah sebagai bagian dari kebijakan program kawasan agropolitan, yang bertujuan untuk
lebih mengangkat nama bawang merah Nganjuk ke luar daerah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tani, namun dalam implementasinya justru lebih banyak
memberikan manfaat bagi pemilik kapital dan menguasai tataniaga bawang merah.
Pada level produksi terlihat adanya hubungan patron-klien yang mencolok antara
petani dengan tengkulak (Fuad, Aenurofik, & Rosyid, 2015). Jika dalam politik relasi ini
dominan muncul karena faktor kekuasanaan (Ansyari, Harsasto, & Fitriyah, 2019), di
sektor tataniaga relasi ini dipicu oleh ketidaktersediaan modal yang dimiliki petani dalam
memenuhi kebutuhan produksinya (Adnyasari, Dewi, & Susrusa, 2017; Anwar, 2011; Fuad
et al., 2015) Kemudian genealogi kuasa telah memungkinkan penguasa untuk
mendominasi pengembangan pertanian sehingga belum efektif memberikan peningkatan
kesejahteraan serta akses terhadap produktivitas petani (Maharani, Edwina, &
Kusumawaty, 2011). Faktanya, sejak tahapan perencanaan sampai dengan implementasi
kepentingan kuasa dan aktor penggerak mendominasi arena kebijakan pengembangan
pertanian. Selain itu, klaim dan pencitraan keberhasilan pengembangan pertanian
merupakan rekayasa yang lahir dari kepentingan dialektis aktor atas dinamika relasi
kuasa. Genealogi kuasa yang diterapkan dalam kasus petani ini hanya menghasilkan
pihak-pihak tertentu yang diuntungkan, yaitu pihak yang memiliki ruang jaringan wacana
(normalizing judgment) yang kuat untuk mempengaruhi pihak lain. Ironisnya petani menjadi
pihak yang dirugikan dalam pengembangan pertanian karena hanya menjadi objek
pengembangan pertanian (Putra & Suyatna, 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Oridilla
(2017) menunjukkan bahwa nilai rantai komoditas cabai merah dalam pola yang tumbuh
secara alami seringkali menjadikan penetapan harga lebih dominan oleh pedagang,,
sehingga petani menerima harga sedikit lebih rendah dibandingkan harga pasar. Beberapa
kendala yang dihadapi dalam pendistribusian cabai merah adalah sulitnya merubah pola
pikir masyarakat tentang usaha tani yang maju, hal ini dimanfaakan baik oleh para pelaku
pasar (mata rantai distribusi) yang lebih menguasai informasi dan selalu mengikuti
perkembangan dinamika pasar.
Semua studi di atas sangat relevan dengan penelitian ini, namun yang menjadi ciri khas
dalam penelitian ini yaitu adanya relasi kuasa yang berasal dari proses tataniaga pertanian
dan dampaknya terhadap petani cabai yang memiliki daya tawar rendah. Adapun
permasalahan petani di Desa Giri Mulyo adalah belum semuanya mandiri dalam
melakukan usahatani. Petani yang tidak memiliki lahan yang cukup luas dan modal yang
cukup harus melakukan cara agar mereka tetap survive melakukan usahataninya. Cara
yang dilakukan petani tersebut diantaranya dengan melakukan pinjaman modal dan
penyewaan lahan yang dibangun atas dasar relasi kuasa yang telah berlangsung sejak
lama. Relasi yang telah dibangun tersebut justru menjadikan posisi dan daya tawar petani
menjadi rendah. Daya tawar yang rendah tidak dilihat dari segi ekonomi saja, namun dari
berbagai aktifitas dan segi kehidupan petani. Sebagai salah satu contoh, petani memiliki
peluang untuk keluar dari jerat dan relasi kekuasaan dari saudagar namun pada situasi
yang ada petani tetap bertahan dalam relasi dalam proses tataniaga pertanian tersebut.
Disinilah letak kebaruan dari penelitian ini.
2. Kerangka Teori
2.1. Relasi Kuasa
Collins mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk
menginstruksikan sesuatu pada pihak lain. Dalam konteks ini, kekuasaan yang dimaksud
tidak hanya dalam konteks individu saja, tetapi juga mencakup lembaga atau organisasi
(Scott, 1994). Siapa pun tidak semata-mata penguasa absolut dari kekuasaan. Kekuasaan
itu sangat halus, terutama ketika melihat bagaiman ia bekerja dan bagaimana ia gagal
bekerja. Tidak ada orang mapan dengan kekuasaan yang sudah dipegang (Nugroho, 2016).
Orang yang sangat berkuasa sekalipun harus terlibat dalam manipulasi sosial yang cukup
kompleks. Ia harus melakukan sesuatu sesuai dengan hukum organisasi sosial (Susilo,
2008).
Ciri-ciri kekuasaan meliputi (1) mengendalikan orang lain, (2) mampu mengontrol pihak
lain, tetapi pasti ada perlawanan atau konsekuensi yang tersembunyi/tidak diharapkan, (3)
dalam menggunakan kekuasaan, selalu saja ada konflik sosial, (4) siapa yang memilki
social resources pastilah menang, dan (5) sesuatu yang dikeluarkan belum tentu
mendapatkan seperti yang diinginkan, karena ada mekanisme kompromi (Susilo, 2008).
Dinamika relasi sosial berkembang di seputar kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan
prosedur penyeimbang kekuasaan, dan sisanya pada konsep ketergantungan. Emerson
mengakui bahwa pola-pola ketergantungan memberikan fondasi struktural, baik bagi
keterpaduan (integration) maupun perbedaan (differentiation) dalam masyarakat. Relasi-
relasi ketergantungan mempersatukan orang selama orang-orang itu saling tergantung,
mereka lebih berpeluang akan membentuk relasi, kelompok, dan tetap melanjutkan relasi
dan kelompok tersebut. Selain itu, juga menciptakan ketidaksetaraan kekuasaan yang
dapat menimbulkan konflik dan perubahan sosial (Ritzer & Smart, 2012).
Selanjutnya terdapat sebuah konsep keterlekatan relasional. Keterlekatan relasional
merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded)
dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Konsep
“disituasikan secara sosial” bermakna tindakan ekonomi. Misalnya, tindakan ekonomi
dalam hubungan langganan antara penjual dan pembeli yang merupakan suatu bentuk
keterlekatan relasional. Dalam hubungan pelanggan, terjadi hubungan interpersonal antara
penjual dan pembeli yang melibatkan berbagai aspek sosial, budaya, agama, dan politik
dalam kehidupan mereka berdua (Damsar, 2009).
Dalam The Making of the English Working Class, E.P. Thompson memperkenalkan
konsep ekonomi moral (moral economy). Maksudnya ialah tindakan ekonomi yang
mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Kepentingan ekonomi
ini dalam praktiknya telah mewarnai tindakan ekonomi dalam berbagai bentuk, seperti
mengahalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan secara sepihak. Scott
mendefinisikan ekonomi moral sebagai pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan
definisi kerja mereka tentang eksploitasi pandangan mereka tentang pungutan-pungutan
terhadap hasil produksi mereka, mana yang dapat ditoleransi dan mana yang tidak dapat
ditoleransi. Dalam ekonomi moral, menurut Scott petani akan memerhatikan etika
subsistensi dan norma resiprositas yang berlaku dalam masyarakat (Indrayani, 2013).
2.2. Tataniaga
Menurut Kotler (2012) tataniaga merupakan suatu keragaman kegiatan bisnis yang
mencakup pengaliran barang dan jasa yang bermula dari titik produksi sampai ke titik
pembeli atau konsumen akhir. Jasa yang dimaksud mencakup semua fungsi yang
merupakan suatu benda dalam bentuk waktu, tempat dan milik. Titik produksi ialah
tempat tempat atau waktu dimana biasanya terjadi suatu transaksi awal setelah barang
diproduksi atau suatu titik dimana suatu hasil pertanian biasa dijual oleh produsen.
Sedangkan titik konsumsi ialah bilamana produksi itu dimakan atau di konsumsi. Kegiatan
tataniaga adalah sebagian dari kegiatan distribusi yang menimbulkan suatu kesan seolah-
olah orang-orang yang bergerak di dalam bagian ini bersifat statis, menunggu saja apa yang
akan mereka peroleh dari produsen untuk dibagikan kembali kepada konsumen.
Sedangkan marketing (tataniaga) sebaliknya bersifat dinamis karena tata niaga mencakup
semua persiapan, perencanaan dari segala sesuatu yang bersangkut paut dengan
perpindahan, peralihan milik atas sesuatu barang atau jasa serta pelaksanaan
perpindahan dan peralihan tersebut (Hanafie, 2010).
Lebih singkat, tataniaga adalah segala kegiatan yang bersangkut paut dengan semua
aspek proses yang terletak di antara fase kegiatan sektor produksi barang-barang dan jasa-
jasa sampai kegiatan sektor konsumen. Dengan demikian, rangkaian aktifitas tataniaga
lebih luas dari aktifitas pasar yang menjadi ruang pertemuan antara pembeli dan pedagang
untuk saling berinteraksi dan bertransaksi (Zusmelia & Firdaus, 2016). Kegiatan utama
dalam tataniaga adalah, marketing yang merupakan kegiatan moving process atau moving
activities. Menurut Mubyarto, sistem pemasaran atau marketing yang efisien harus mampu
memenuhi dua syarat yaitu: 1) Mampu menyampaikan hasil dari petani produsen kepada
konsumen dengan biaya semurah-murahnya. 2) Mampu mengadakan pembagian yang adil
pada keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir pada semua pihak yang ikut
serta dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut (Zusmelia, 2000). Yang
dimaksud dengan adil dalam hal ini adalah pemberian balas jasa pada fungsi-fungsi
pemasaran sesuai dengan kontribusi masing-masing aktor.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Obyek dalam
penelitian kualitatif adalah obyek yang alamiah/natural setting yang apa adanya, tidak
dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki obyek, setelah
berada di obyek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak berubah (Sugiyono, 2016). Alat
pengumpul data pada penelitian ini adalah observasi terlibat, wawancara mendalam dan
studi dokumen. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yang lebih
ditekankan pada interprestasi peneliti. Data yang didapat di lapangan, baik dalam bentuk
data primer maupun dalam bentuk data sekunder dicatat dengan catatan lapangan.
Adapun proses tahapan analisis data yaitu dengan reduksi data, penyajian data dan
verifikasi atau penarikan kesimpulan (Miles & Huberman, 1992).
Semua proses tersebut penulis lakukan kurang lebih selama enam bulan dengan
mengikuti semua proses tataniaga cabai di Desa Giri Mulyo. Informan yang diwawancarai
antara lain petani cabai, saudagar cabai dan Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura
Kabupaten Kerinci. Wawancara dilakukan secara mendalam untuk mengetahui tataniaga
dan relasi kuasa antara saudagar dan petani cabai. Selain itu dokumen-dokumen dari Desa
Giri Mulyo dan Dinas terkait juga dijadikan data untuk melihat fluktuasi harga pangan
khususnya komoditi cabai. Hal tersebut penulis lakukan untuk selanjutnya melakukan
proses triangulasi data. Dari Dinas terkait, penulis mewawancara Kepala Dinas dan dua
Kepala sub bagian Program dan Holtikultura. Pemilihan informan dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik Purposive Sampling, yaitu cara pengambilan subjek penelitian
yang akan menjadi responden dalam penelitian yang berdasar pada kriteria tertentu yakni
kriteria inklusif dan eksklusif (Syamsunie, 2018). Dalam penelitian ini, informan ditentukan
secara sengaja dengan beberapa kriteria tertentu. Infoman tersebut dipilih karena dianggap
mengerti tentang tataniaga cabai dan terjerat dalam relasi kekuasaan yang dilakukan
antara saudagar dengan petani cabai dan dampaknya dari proses tataniaga tersebut.
Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan merreduksi data sesuai dengan tujuan
penelitian dan membuang data yang dianggap tidak perlu. Kemudian penulis menganalisa
data yang sudah dipilah untuk kemudian ditarik kesimpulan yang sesuai dengan fokus
penelitian ini. Sehingga didapatlah hasil penelitian yang representatif yang berguna bagi
banyak pihak.
4. Tata Niaga Cabe di Desa Giri Mulyo
Desa Giri Mulyo merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Kayu Aro Barat
Kabupaten Kerinci. Secara geografis Desa Giri Mulyo terletak pada 180 LS (lintang selatan)
dan 160 BT (bujur timur). Secara topografi, Giri Mulyo termasuk dalam kategori daerah
dataran tinggi dengan ketinggian antara 1500-1600 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Luas wilayah Desa Giri Mulyo adalah 328 Ha, diantaranya terdiri dari tanah peladangan
sebesar 279 Ha dan tanah pemukiman sebesar 49 Ha. Tanah peladangan seluas 299 Ha
yang terdiri dari irigasi teknis seluas 89 Ha, irigasi setengah teknis 150 Ha dan tadah hujan
seluas 50 Ha. Lalu Desa Giri Mulyo memilki tanah bukan peladangan seluas 12 Ha yang
terdiri dari pekarangan/bangunan seluas 27 Ha, tegalan 279 Ha dan lain-lain (sungai,
jalan, makam dan lain-lain) lebih kurang 10 Ha. Pada tahun 2016, Kabupaten Kerinci
dinobatkan sebagai Kabupaten yang menjadi branding pariwisata di Propinsi Jambi. Karena
di daerah ini memiliki banyak objek wisata alam yang masih alami. Selain udaranya yang
sejuk, Kabupaten Kerinci juga memiliki lahan pertanian yang luas dan yang paling menarik
adalah hamparan kebun teh terluas dan tertua di dunia yang terletak di Kecamatan Kayu
Aro. Selain itu pemandangan cantik juga terlihat dari gunung Kerinci dengan ketinggian
3.805 mdpl yang dikelilingi oleh indahnya kebun teh milik PTPN VI Kayu Aro.
Adapun saluran tataniaga dari petani cabai di Desa Giri Mulyo, biasanya memanen
cabai antara satu sampai dua kali dalam seminggu. Orang-orang yang terlibat dalam
tataniaga tersebut terdiri dari petani cabai sebagai produsen, saudagar, pedagang besar,
pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang pengecer hingga konsumen. Namun
berdasarkan temuan penelitian di lapangan, pada saat panen, petani cabai menjual hasil
panenanya tersebut hanya sampai pada saudagar saja, setelah itu cabai baru dipasarkan
kepada pihak berikutnya oleh saudagar. Hal itu karena petani cabai sudah memiliki
hubungan langganan kepada saudagar. Di lapangan, sering sekali terjadi harga produksi
pertanian yang dipasarkan menjadi naik-turun (berfluktuasi) secara tajam, dan kalau saja
harga produksi pertanian berfluktuasi, maka yang sering dirugikan adalah pihak petani
atau produsen. Karena kejadian yang semacam ini, maka petani atau produsen
memerlukan sebuah kekuatan dalam bentuk individu atau berkelompok untuk
melaksanakan tataniaga/pemasaran komoditi cabai ini. Selain itu juga terdapat saluran
lain untuk proses tataniaga oleh petani, namun hal tersebut jarang mereka lakukan (lihat
gambar 1).
Gambar 1. Rantai Tataniaga Komoditi Cabai di Desa Giri Mulyo
Sebagian besar petani cabai di Desa Giri Mulyo, terutama petani penggarap menjual
hasil panen cabai kepada saudagar kerena sudah memilki hubungan langganan sejak
lama. Hubungan langganan yang terjalin karena petani cabai khususnya petani penggarap
banyak bergantung kepada saudagar dalam menjalankan usaha taninya. Penjelasan lebih
jauh mengenai ketergantungan yang dialami petani ini akan dibahas pada temuan
berikutnya. Pedagang besar dan pedagang tingkat kecamatan banyak membeli dan
mengambil cabai hasil panen dari petani kepada saudagar, mereka jarang sekali langsung
membeli cabai kepada petani. Cabai yang mereka dapatkan dari saudagar tersebut
selanjutnya mereka jual kepada pedagang pengecer di setiap pasar di berbagai kecamatan
yang ada di Kabupaten Kerinci. Untuk sentra produksi cabai memang paling banyak
terdapat di Kecamatan Kayu Aro Barat dan Kecamatan Kayu Aro. Jadi banyak pedagang
besar dan pedagang lokal tingkat kecamatan yang membeli hasil tani dari Kecamatan Kayu
Aro barat khususnya komoditi cabai. Mereka datang dari Kota Sungai Penuh, Hamparan
Rawang, Semurup, hingga Kecamatan Keliling Danau Kerinci dan daerah lainnya di
Kabupaten Kerinci. Selain itu, dalam transaksi jual beli antara saudagar dengan pedagang
besar atau pedagang tingkat kecamatan, saudagar menaruh harga cabai sesuai harga
pasar, namun hal tersebut tidak berlaku untuk petani cabai sendiri selaku produsen.
Tentunya ini menjadi sebuah fenomena yang sangat merugikan petani dan harus dicarikan
solusinya. Hasil pertanian yang diperjualbelikan di sini adalah cabai hijau muda, cabai
merah besar, dan cabai merah keriting dengan berbagai kriteria.
5. Relasi Kuasa Dalam Tataniaga Pertanian Cabai Giri Mulyo
Faktor sosial budaya masyarakat merupakan salah satu faktor petani cabai terjerat dalam
relasi kuasa pemilik modal (saudagar). Hal tersebut bisa terjadi karena petani cabai
khususnya petani penggarap dengan lahan yang tidak terlalu luas, banyak bergantung
dengan saudagar selaku pemilik modal. Jika dilihat dari aspek budaya petani cabai yang ada
di Desa Giri Mulyo, bahwa sebagian besar petani di sana memiliki sikap tunduk kepada
kondisi alam yang ada, tanpa melihat situasi dan kondisi untuk mengembangkan usaha tani
mereka agar lebih maju.
Petani di daerah penelitian hanya bersikap pasrah. Jika tanaman mereka terserang
penyakit, mereka hanya bisa melakukan perawatan seadanya. Begitu pula pada saat musim
panen tiba, mereka menjualnya dengan sistem langganan yang sudah berlangsung lama
dengan saudagar. Kondisi tersebut terjadi karena mereka sudah banyak dibantu oleh
saudagar yang memodali mereka untuk melakukan usaha tani. Karena petani cabai di sana
banyak memiliki lahan pertanian dibawah 2 ha, dan dengan kondisi tersebut pun mereka
banyak meminjam modal dengan saudagar dengan sistem langganan. Selain itu, saudagar
juga banyak membantu petani jika mereka membutuhkan dana untuk kebutuhan yang
mendesak di luar usaha tani yang mereka lakukan. Seperti biaya tidak terduga untuk
sekolah anak, biaya hajatan, renovasi rumah dan kebutuhan mendesak lainnya. Dengan
konsekuensi itu, pada saat petani memanen hasil taninya mereka harus menjual kepada
langganan dengan kesepakatan tertentu.
Ketidakberdayaan petani sangat erat dengan daya tawar petani itu sendiri. Kenyataan ini
terjadi di Desa Giri Mulyo, dimana posisi petani menengah dan kecil (petani cabai) dalam
struktur tataniaga agrisbisnis yang ada seringkali tidak berdaya, dan salah satu sebabnya
adalah lemahnya informasi pasar dan daya tawar petani (bargaining position) yang ada di
tingkat petani. Petani cabai yang ada hanya mengandalkan deregulasi atau aturan yang
mengikat petani cabai saja, tanpa memperhatikan kondisi petani cabai, maka akan
memperlebar kesenjangan antara pelaku pasar bagi produk-produk agribisnis khususnya
komoditi cabai.
Keidakberdayaan dalam menjalankan usahatani komoditi cabai merupakan sebuah
dilema yang dialami oleh petani cabai di Giri Mulyo. Lebih dari itu, terkadang keuntungan
yang mereka dapatkan juga tidak sebanding dengan modal awal tanam yang sudah
dikeluarkan. Faktor cuaca yang sering tidak menentu juga menjadi faktor penyebab
penurunan jumlah kuantitas dan kualitas produksi cabai. Mereka rata-rata melakukan
beberapa kali musim tanam dalam satu tahun lamanya. Tetapi mereka kerap dalam keadaan
merugi dikarena menjadi obyek yang diambil keuntungannya oleh berbagai pihak (objek
eksploitasi). Daya tawar para petani lemah karena kebanyakan dari mereka tak mempunyai
ladang yang luas, sama sekali tidak mempunyai modal atau memiliki modal tapi sangat
terbatas, tidak mempunyai jejaring ke pasar. Kondisi ini membuat mereka semakin terikat
dalam jeratan dan kendali pihak luar seperti para saudagar, pemilik modal, tengkulak,
pedagang besar dan aktor lainnya. Kuatnya jeratan dari pihak yang bermodal besar juga
telah membuat permasalahan pada mekanisme pasar pertanian yang membentuk
ketidakadilan dan eksploitatif. Tidak pada petani saja, melainkan juga kepada seluruh
sumber daya yang terlibat.
Secara sederhana, masalah yang dialami oleh petani cabai di Desa Giri Mulyo dapat dilihat
sebagai bentuk eksploitatif petani. Pada analisa hubungan petani dan beberapa masalah
tersebut dapat dijelaskan pada posisi seorang petani dalam sistem dan mekanisme pertanian
cabai saat ini yang terjerat dalam relasi kuasa oleh masalah utama, yaitu masalah
eksploitasi. Eksploitasi adalah konsep yanng merujuk pada adanya kelompok atau individu
serta suatu kelas yang secara tidak adil atau tidak sewajarnya mengambil suatu keuntungan
dari berbagai sumber yang meruoakan pekerjaan orang lain. Struktur dan pola hubungan
eksploitatif dalam sistim pertanian tataniaga cabai di Desa Giri Mulyo bermula dari
terbatasnya sumber daya. Petani yang memiliki keterbatasan pada lahan, dan mau tidak
mau untuk mengembangkan usaha taninya harus menyewa lahan kepada pemilik
modal/saudagar. Selanjutnya, para petani yang mempunyai keterbetasan modal membuat
mereka terpaksa harus meminjam modal kepada saudagar/pemilik modal dengan
kesepakatan tertentu, misalnya di saat panen tiba petani harus menjadi langganan untuk
menjual hasil panennya kepada saudagar tersebut. Selain itu, ketiadaan informasi pasar
membawa konsekuensi kepada harga di tingkat petani menjadi rendah. Di dalam keadaan
seperti ini perlu dilakukan sebuah bentuk tindakan sosial yang dapat merubah posisi tawar
petani cabai supaya menjadi lebih kuat dalam melakukan kegiatan pertanian. Sehingga para
petanipun bisa memperjuangkan hak-hak mereka. Tindakan sosial tersebut bisa dalam
bentuk pemberdayaan petani, dengan harapan dapat merubah sistem tataniaga menjadi
lebih adil bagi petani.
6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa;
Pertama, tataniaga cabai yang dilakukan oleh petani dan saudagar dimana posisi petani
menengah dan kecil (petani cabai) dalam struktur tataniaga agrisbisnis yang ada seringkali
tidak berdaya, dan salah satu sebabnya adalah lemahnya informasi pasar dan daya tawar
petani (bargaining posistion) yang ada di tingkat petani. Petani cabai yang ada hanya
mengandalkan deregulasi atau aturan yang mengikat petani cabai saja, tanpa
memperhatikan kondisi petani cabai, maka akan memperlebar kesenjangan antara pelaku
pasar bagi produk-produk agribisnis khususnya komoditi cabai. Selain itu, tataniaga
komoditi cabai yang ada di Desa Giri Mulyo yang peneliti temukan sesungguhnya tidak
terlalu panjang dalam segi proses memanen hasil hingga sampai ke pihak berikutnya, atau
dari petani hingga sampai ke konsumen. Hanya saja pada saat proses tataniaga yang ada,
para petani cabai tidak berdaya karena adanya sistem atau situasi yang dikuasai oleh pemilik
modal dan aktor-aktor tertentu yakni saudagar yang memiliki power untuk menguasai segala
proses tataniaga yang dijalankan.
7. Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Seluruh informan dalam
penelitian ini yaitu petani cabai, saudagar cabai, Pemerintah Desa Giri Mulyo serta Dinas
Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten Kerinci. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada civitas akademika STKIP PGRI Sumatera Barat di Padang dan berbagai pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam
melakukan penelitian ini.
8. Conflicts of Interest
Pengambilan data dalam penelitian ini adalah murni untuk kegiatan akademik, untuk itu
penulis menyatakan tidak ada conflicts of interest dalam penulisan artikel ini.
9. Pendanaan
Penelitian ini dilakukan secara mandiri oleh penulis dengan biaya pribadi.
Daftar Pustaka
Adnyasari, P. S., Dewi, R. K., & Susrusa, K. B. (2017). Analisis Sistem Tataniaga Cabai
Merah di Desa Besakih , Kecamatan Rendang , Kabupaten Karangasem. Jurnal
Agribisnis Dan Agrowisata (Journal of Agribusiness and Agritourism), 6(4), 486–494.
https://doi.org/10.24843/JAA.2017.v06.i04.p03.
Amang, B. A. (2016). Relasi Pemilik Kapital Dengan Kekuasaan Dalam Tata Niaga Bawang
Merah di Kabupaten Nganjuk. Jurnal Politik Muda, 5(3), 321–332.
Ansyari, I., Harsasto, P., & Fitriyah, F. (2019). Analisis Patron Klien Terhadap Kemenangan
Partai Golkar Kabupaten Tanah Datar Sejak Reformasi. Indonesian Journal of Religion
and Society, 1(1), 12–23. https://doi.org/10.36256/ijrs.v1i1.9
Anwar, C. (2011). Kajian Efisiensi Tataniaga Cabai Merah Pada Pedagang Pengecer di
Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan, 170–179.
Azzaino. (2000). Pengantar Tataniaga Pertanian. Bogor: Dept. Ilmu Sosia lEkonomi
Pertanian Faperta IPB.
Damsar. (2005). Sosiologi Pasar. Padang: Laboratorium Fisip Unand.
Damsar. (2009). Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fuad, I. Z., Aenurofik, A., & Rosyid, A. (2015). Belenggu Tengkulak Atas Petani
Pembudidaya Lele: Relasi Patron-Klien Budidaya Lele di Wonotunggal Jawa Tengah.
Jurnal Hukum Islam, 13(2), 88–98. https://doi.org/10.28918/jhi.v13i2.488.
Hanafie. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: ANDI Offset.
Indrayani. (2013). Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Kotler. (2012). Manajemen Pemasaran, Analisis Peencanaan dan Pengendalian. Jakarta:
Erlangga.
Limbong. (1998). pengantar Tataniaga Petanian. Bogor: Dept. Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian IPB.
Maharani, E., Edwina, S., & Kusumawaty, Y. (2011). Pemasaran Gula Kelapa di Kabupaten
Indragiri Hilir melalui Pendekatan Struktur, Perilaku & Penampilan Pasar. Indonesian
Journal of Agricultural Economics (IJAE), 2(1), 87–104.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru. Jakarta.: UI Press.
Nasrullah, A. J. (2015). Sosiologi Perdesaan. Bandung: Pustaka Setia.
Nugroho, A., Suharno, & Subroto, T. (2016). Relasi Kuasa Dalam Strategi Pertanahan di
Desa Prigelan. Yogyakarta: STPN Press.
Oridilla B, D. (2017). Analisis Rantai Nilai Komoditas Cabai Merah di Agrowisata Desa
Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Economics Development Analysis
Journal, 6(4), 403–411. https://doi.org/10.15294/edaj.v6i4.22290
Pakpahan. (1999). Pengembangan Pertanian dalam Era Globalisasi. Jakarta: Prisma.
Putra, R. E. N., & Suyatna, H. (2018). Genealogi Kuasa dalam Kebijakan Pengembangan
Pertanian Organik di “Wilayah Pardikan” Jawa. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 5(1), 69–84.
https://doi.org/10.22146/jps.v5i1.35403
Ritzer, G., & Smart, B. (2012). Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media.
Scott, J. C. (1994). Moral Ekonomi Petani; Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.
Jakarta: LP3ES.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Susilo. (2008). 20 Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Syamsunie, C. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan dan Pendidikan (1st ed.). Yogyakarta:
Penebar Media Pustaka.
Zusmelia. (2000). Pemasaran Casiavera dan Implikasinya terhadap Pendapatan Petani.
Universitas Andalas.
Zusmelia, Z., & Firdaus, F. (2016). Traditional Economic Space Management System in
Pasar Raya Padang, West Sumatera After Earthquake 2009. JKAP (Jurnal Kebijakan
Dan Administrasi Publik), 20(2), 24–36. https://doi.org/10.22146/jkap.15581