Titik Guntari 47-87
Titik Guntari 47-87
Titik Guntari 47-87
Titiek Guntari
[email protected]
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Jl. Kramat Raya No. 25, Senen Jakarta Pusat
Abstract
Besides being beneficial for the welfare of the community, development can also
have an impact on the environment, such as pollution and environmental damage.
Development has a long-term goal, not only for the current generation but also
for generations to come, so development must be sustainable, for that we must
look at environmental sustainability in a harmonious and balanced manner. In
order to preserve the environment, it is necessary to have legal instruments, so
that in Indonesia Law number 32 of 2009 was issued concerning the protection
and management of the environment, one of which regulates criminal provisions,
although there are already legal instruments and many cases of environmental
crimes have been resolved. but there's still a lot that can't be done. In this
research, the problem is how penal and non-penal legal efforts are carried out to
tackle environmental crimes. The approach method used in this study is a
juridical normative approach, the type and source of the data focuses on
secondary data, primary data is more supportive. Data collection techniques by
conducting library research, equipped with field research. The data analysis was
carried out qualitatively. The results show that the prevention of environmental
crimes can be done through the penal route which focuses on the repressive
nature after the crime has occurred and the non-penal route focuses on the
preventive nature. Combating environmental crimes by means of criminal law
begins with legislative policies, namely starting from criminalization, formulating
the purpose of punishment and determining appropriate and rational types of
criminal sanctions, while the non-penal route aims to overcome conducive factors
that cause environmental crimes, for example the industrial sector. by using
proactive technology that is environmentally friendly (clean technology), with
amdal, environmental quality standards, etc.
Abstrak
Pembangunan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat juga dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan, seperti terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang, tidak
Vol 1 No 1 2022 47
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang,
sehingga pembangunan harus berkelanjutan, untuk itu kita wajib memelihata
kelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Untuk menjaga
kelestarian lingkungan perlu perangkat hukum, hingga di Indonesia dikeluarkan
Undang – undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, yang didalamnya salah satunya mengatur ketentuan pindana,
meskipun sudah ada perangkat hukum dan sudah banyak kasus tindak pindana
lingkungan hidup yang sudah diselesaikan tapi masih banyak juga yang belum
dapat di selesaikan. Dalam peneletian ini yang menjadi permasalahan adalah
upaya hukum penal dan non penal yang bagaimana dilakukan untuk
menanggulangi tindak pidana lingkungan. Metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif yuriidis, jenis dan sumber
datanya menitikberatkan pada data sekunder, data primer lebih menunjang.
Teknik pengumpulan data dengan melakukan penelitian kepustakaan, dilengkapi
dengan penelitian lapangan. Analisis datanya dilakukan secara kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup
dapat melalui jalur penal yang menitikberatkan pada sifat represif sesudah
kejahatan terjadi dan jalur non penal menitikberatkan pada sifat preventif.
Penanggulangan tindak pidana lingkungan dengan sarana hukum pidana dimulai
dengan kebijakan legislatif yaitu mulai dari kriminalisasi, merumuskan tujuan
pemidanaan dan penetapan jenis sanksi pidana yang tepat dan rasional, sedangkan
jalur non penal sasarannya menanggulangi faktor – faktor kondusif penyebab
terjadinya tindak pidana lingkungan hidup, misalnya sektor industri dengan
mengguunakan teknologi proaktif yang akrab lingkungan (teknologi bersih),
dengan amdal, baku mutu lingkungan, dll
Kata Kunci: Hukum Penal dan Non Penal, Lingkungan Hidup, Kesejahteraaan
Masyarakat
A. Pendahulian
Seperti telah diketahui bahwa setiap kegiatan pembangunan disamping
menimbulkan manfaat bagi kesejahteraan, juga dapat menimbulkan resiko
terhadap lingkungan seperti terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Pembangunan mempunyai tujuan panjang dalam arti bahwa pembangunan
tidak hanya untuk generasi sekarang melainkan juga untuk generasi yang akan
datang, sehingga pembangunan harus berkelanjutan. Untuk menunjang
pembangunan yang berkelanjutan ini kita wajib memelihara kelestarian
lingkungan hidup yang serasi dan seimbang.
Pada tahun 1982 telah dikeluarkan Undang – undang Nomor 4 tahun 1982
tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai pertanda awal
Vol 1 No 1 2022 48
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
1
www.menlhk.go.id
Vol 1 No 1 2022 49
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Indonesia merupakan salah satu negara dengan hutan hujan tropis terluas di dunia,
ketika penebangan hutan yang masif masih terjadi, maka semua fungsi hutan
terancam dan manusia sendirilah yang akan menuai dampaknya. Selanjutnya juga
masalah polusi udara akibat dari banyaknya kendaraan bermotor dan juga industri
dan lain – lain. Masalah lingkungan hidup yang semakin parah dan membawa
dampak yang signifikan terhadap manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan pada hakekatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 2
Bahwa upaya menanggulangi kejahatan dapat melalui jalur penal dan jalur
non penal. Jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan /
pemberantasan / penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non
penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan / penangkalan /
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 3
Sehingga berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Upaya Penal dan Non Penal Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup”.
1. Kebijakan penal yang bagaimana dilakukan dalam menanggulangi
tindak pidana lingkungan?
2. Kebijakan non penal yang bagaimana dilakukan dalam menanggulangi
tindak pidana lingkungan?
B. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif yuridis karena peneliti melakukan studi kepustakaan, baik terhadap
bahan hukum primer, sekunder maupu tertier.
2
Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Kriminal”, (Makalah disampaikan pada Seminar
Kriminologi VI, Semarang, 16 – 19 September 1991), hlm 2
3
Barda Nawawi Arief, “Upaya Non Penal Dalam Kebijalan Penanggulangan Kejahatan”,
(Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi Vi, Semarang, 16 – 18 September 1991), hlm 2
Vol 1 No 1 2022 50
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 51
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 52
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
4
Andi Hamzah, Asas – asas Hukum Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal 86 – 88.
Vol 1 No 1 2022 53
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 54
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
undang dan diancam dengan pidana. Lalu karena itu, kita mengabstakkan
memenuhi syarat umum melawan hukum, bersalah dan juga dapat dipertanggung
jawabkan. Meskipun ia memisahkan antara actus reus pada kalimat pertama dan
mens rea pada kalimat kedua, dia tidak memisahkan secara tajam antara
keduanya. Yang pertama bersifat konkret dan yang kedua bersifat umum.5
Dengan adanya dua aliran tersebut maka akan mengakibatkan konsekuensi
yang berbeda pula secara teoritis dalam hukum acara pidana, terutama dalam
pemberian pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Dalam pandangan aliran monistis, maka bila salah satu unsur delik tidak
terbukti, maka harus dibebaskan (vrijspraak). Jika apakah yang terbukti
itu salah satu unsur subyektif (misalnya kesalahan sengaja / alpa atau
maupun pertanggungjawab, atau tidak ada alasan pemaaf), maupun salah
satu unsur obyektif (misalnya unsur melawan hukum atau tidak ada
alasan pembenar) tidaklah menjadi persoalan dan amar putusannya harus
berbunyi bebas (vrijspraak). Jika semua unsur terbukti maka terdakwa
harus dihukum
b. Dalam aliran dualistis, karena pemisahan unsur perbuatan dan unsur di
pelaku, maka konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur obyektifnya
(misalnya unsur melawan hukum atau tidak ada alasan pembenar), maka
bunyi amar putusan adalah bebas (vrijspraak). Namun, jika yang tidak
terbukti unsur subyektifnya (misalnya mampu bertanggung jawab,
kesalahan baik sengaja / alpa, tidak ada alasan (pemaaf)), maka amar
putusan berbunyi dilepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van
rechtsvervolging). Jika semua unsur (subyektif dan obyektif) terbukti
maka pelaku harus dijatuhi pidana
Dalam KUHAP (Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana) Republik
Indonesia, memakai aliran dualisme dikarenakan kedua aliran tersebut memiliki
kesamaan pendapat tentang unsur – unsur delik yaitu bahwa perumusan delik
harus sesuai dengan perundang – undangan. Hal ini tampak pada pasal 191
KUHAP, yang berbunyi :
5
Ibid, hal 88-91
Vol 1 No 1 2022 55
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 56
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 57
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 58
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:Alumni, 1992)
hlm 149
7
Ibid
8
Ibid
Vol 1 No 1 2022 59
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
(politik kriminal) ini dapat ditempuh dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana nonpenal.
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa upaya menanggulangi kejahatan
melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindakan /
pemberantasan / penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non
penal lebih menitikberatkan sifat preventive (pencegahan / penangkalan /
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.9
Penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana yang balik baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.10
Penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal adalah berupa
pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan melalui media massa.11
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor – faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor
– faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah – masalah atau kondisi –
kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian secara makro dan global, maka
upaya – upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam
menanggulangi sebab – sebab dan kondisi – kondisi yang menimbulkan
kejahatan.12
Usaha – usaha non penal ini misalnya dengan pendidikan dalam rangka
mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya.
Mengenai hubungan antara kebijakan sosial, kebijakan penegakan hukum
dan kebijakan kriminal menurut Barda Nawawi dapat dilihat dari skema
Hoefnagels sebagia berikut:
9
Ibid, hlm 2
10
Ibid, hlm 6
11
Ibid, hlm 2
12
Ibid, hlm 3
Vol 1 No 1 2022 60
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 61
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
13
Keputusan Seminar Kriminologi Ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hlm 4
Vol 1 No 1 2022 62
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
14
Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Menanggulangi Kejahatan dengan Pidana Penjara
(Bandung : Alumni, 1994), hlm 93-95
15
Ibid, hlm 36
16
Barda Nawari Arief, Op. Cit. Hlm 13
17
Ibid.
Vol 1 No 1 2022 63
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
18
Ibid. Hlm 14
19
Barda Nawawi Arief. Op. Cit. Hlm 38
Vol 1 No 1 2022 64
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
20
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981) hlm 44-47
21
Ibid, hlm 39
22
Sudarto, Op. Cit, hlm 160
Vol 1 No 1 2022 65
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
defence. Social defence planning ini pun harus merupakan bagian yang integral
dari rencana pembangunan nasional.23
Dengan mengutip pendapat W. Clifforf dari Crime Prevetion and Criminal
Justice Section UNO yang dikemukakan pada The 32nd International Seminat
Course on Reform in Criminal Justice di Jepang, Muladi menyatakan sebagai
berikut:
...... On the one hand there is the need for a wider view or criminal policy as
an integral part of general political and social policy of a given country. It is a
reflection of local mores and customs and a by product of development. From this
wider view-point criminal policy cannot be something a part from the more
general social situation but must be developed from it and through it.24
Dijelaskan pula oleh Muladi bahwa sebagai bagian yang integral dari
keseluruhan politik kriminal yang juga merupakan bagian dari politik sosial maka
kriminalisasi oleh pembuat undang – undang berarti harus juga memperhatikan
kemampuan dari badan penegek hukum lainnya yang terlibat dalam pelaksanaan
politik itu. Artinya kriminalisasi itu jangan hendaknya justru menyebabkan over
criminalization yang dapat menyebabkan kelampauan beban tugas dari aparat –
aparat penegak hukum. 25
Selanjutnya mengenai kebijakan penggunaan sanksi pidana seabgai salah
satu sarana politik kriminal, maka mengenai kebijakan – kebijakan tindakan –
tindakan apa yang seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi
pelanggaran hukum harus merupakan suatu perencanaan yang matang.
Suatu perencanaan di dalam menetapkan sanksi pidana mengandung di
dalamnya suatu kebijakan memilih dan menetapkan sebagai alternatif, yang
dilakukan berdasar suatu pertimbangan yang rasional. Langkah utama kebijakan
menetapkan suatu sanksi pidana adalah justru menetapkan tujuan yang ingin
dicapai, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi yang mengutip pendapat Karl. Q.
Christiansen sebagai berikut “Prasyarat yang fundamental dalam merumuskan
23
Ibid, hlm 104
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit. Hlm 129
25
Ibid. Hlm 130
Vol 1 No 1 2022 66
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
suatu cara, metode atau tindakan yang rasional ialah bahwa tujuan yang akan di
capai harus telah dirumuskan dengan baik..... Tanpa suatu tujuan kita tidak dapat
bicara tentang cara yang rasional dari politik kriminal, bahkan sebenarnya kita
tidak dapat menggunakan istilah “means” atau pernyataan – pernyataan lain yang
serupa. Akan tetapi patutlah dengan metode – metode yang rasional .... Tujuan
dari aktivitas tertentu tidak pernah merupakan hasil dari suatu keputusan yang
rasional, dan karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain
daripada penerapan metode – metode yang rasional.26
Dikemukakan pula bahwa tujuan umum dari setiap langkah kebijakan
kriminal harus terarah pada perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat, sehingga sudah barang tentu untuk merumuskan sanksi
pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut maka terlebih dahulu harus
dirumuskan tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya
tujuan umum tersebut. Baru kemudian dengan bertolah dan berorientasi pada
tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.27
Setelah dirumuskan tujuan pemidanaan, maka langkah berikutnya adalah
menetapkan sanksi pidana yang pada umumnya meliputi masalah – masalah
menetapkan jenis dan jumlah berat ringannya pidana.
Kebijakan menetapkan jenis sanksi pidana apa yang dianggap paling baik
untuk mencapai tujuan, setidak – tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif. Masalah pemilihan
berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik,
paling tepat, paling patut, paling berhasil atau efektif, jelas merupakan masalah
yang tidak mudah.28
Masalah pemilihan pidana ini bukanlah masalah hukum yang murni dan
tidak dapat dipecahkan semata – mata dengan teknik – teknik hukum yang
normal, namun yang jelas hal ini merupakan suatu masalah penting yang harus
dipecahkan, dan merupakan suatu masalah sangat strategis.29
26
Ibid. Hlm 94
27
Ibid. Hlm 94-95
28
Ibid. Hlm 97-98
29
Ibid. Hlm 98
Vol 1 No 1 2022 67
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
30
Ibid. Hlm 98-99
31
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Op. Cit. Hlm 166
Vol 1 No 1 2022 68
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai sebagai paling
berharga bagi kehidupan manusia.32
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti
bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai –
nilai kemanusiaan yang berada, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran
si pelanggar akan nilai – nilai kemanusiaan dan nila – nilai pergaulan hidup
masyarakat.33
Pada akhirnya sehubungan dengan kebijakan menetapkan sanksi pidana,
maka penerapan metode rasional ialah dengan melakukan suatu penelitian
maupun studi analisa strategis terlebih dahulu. Dengan demikian pidana yang
ditetapkan bukanlah sesuatu yang dibuat secara abstrak semata – mata berdasar
asumsi – asumsi yang hipotesis lebih – lebih salah satu prinsip yang saat ini
cenderung untuk diperhatikan di bidang kebijakan pembangunan ialah prinsip
memperhitungkan biaya dan hasil. Dalam prinsip ini pun jelas terkandung
pengertan adanya penelitian terlebih dahulu karena tanpa penelitian sulit kiranya
untuk dapat memperhitungkan atau membandingan antara biaya dan hasil.
Pidana yang akan ditetapkan adalah pindana yang diharapkan dapat
menunjang tercapainya tujuan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pidana
apa yang dipandang paling efektif dan bermanfaat untuk mencapai tujuan.
Efektivitas pidana harus diukur berdasar tujuan atau hasil yang ingin dicapai.34
32
Ibid. Hlm 167
33
Ibid.
34
Ibid. Hlm 100-101
Vol 1 No 1 2022 69
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
35
Sudarto, Hukum dan hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm.102
Vol 1 No 1 2022 70
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 71
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
pidana lingkungan selama ini dilakukan dengan pendekatan atau garis – garis
kebijaksanaan yang berorientasi pada nilai, yaitu nilai – nilai masyarakat
menghendaki agar perbuatan mencemarkan dan merusak lingkungan dianggap
perbuatan yang tercela sehingga perlu dipidana.
Menurut Sudarto, dalam menghadapi masalah kriminalisasi harus
diperhatikan hal – hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata
materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka
penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau sprirituil) atas
warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil.
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas.36
Adapun Barda Nawawi Arief dengan mengutip pendapat Bassioni
mengatakan bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi
harus berdasarkan pada faktor – faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam faktor, termasuk hal berikut:
1. Keseimbangan sarana – sarana yang digunakan dalam hubungannya
dengan hasil yang di cari atau yang ingin dicapai.
2. Analisis biaya terhadap hasil – hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan – tujuan yang dicari.
36
Sudarto. Op.Cit., hlm 44-47.
Vol 1 No 1 2022 72
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
3. Penilaian atau penaksiran tujuan – tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas – prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber –
sumber tenaga manusia.
4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenan
dengan pengaruh – pengaruhnya yang sekunder. 37
Kalau kita melihat pada pendapat Soedarto dan Bassioni diatas, badan
legislatif kita di dalam membuat peraturan perundang-undangan lingkungan hidup
belum berorientasi pada apa yang dikemukakan oleh Soedarto dan Bassioni
tersebut. Hal ini disebabkan karena Badan Legislatif kita belum berorientasi pada
kebijaksanaan bahwa setiap peraturan hendaknya didukung oleh hasil penelitian.
Belum adanya orientasi ilmiah ini antara lain disebabkan oleh sumber –
sumber keuangan yang belum memadai, seperti yang dikemukakan oleh Bassioni
yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut : Bahwa Perkembangan
dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini lamban datangnya karena
proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara
lain terletak pada sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu.38
Mengenai kebijakan penggunaan sanksi hukum pidana sebagai salah satu
sarana politik kriminal, selama ini di dalam proses legislatif tidak dipersoalkan
mengapa kebijakan terhadap lingkungan hidup perlu ditanggulangi dengan
menggunakan sanksi hukum pidana, sehingga penggunaan sanksi hukum pidana
sebagai salah satu saran politik kriminal dianggap sebagai hal yang wajar.
Menurut Muladi dalam hubungannya dengan penggunaan sanksi pidana
dijelaskan bahwa apabila untuk suatu sistem kebijakan kriminal yang rasional
diperlukan penetapan tujuan terlebih dahulu, maka kebijakan yang pertama – tama
harus dimasukkan dalam perencanaan strategi di bidang pemidanaan adalah
menetapkan tujuan pidana dan pemidanaan.39
Dalam praktek pembuatan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
selama ini tidak pernah dirumuskan mengenai tujuan pidana dan pemidanaan ini.
Mengutip Mahrus Ali dalam konteks Undang – undang nomor 32 tahun 2009
37
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Op.Cit., hlm. 162
38
Barda Nawawi Arief. Op.Cit., hlm. 15
39
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.Cit., hlm. 95
Vol 1 No 1 2022 73
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
40
Mahrus Ali, “Model Kriminalisasi Berbasis Kerugian Lingkungan dan Aktualisasinya Dalam
Undang – undang nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlisungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup”. Bina Hukum Lingkungan volume 5 Nomor 1, Oktober 2022, hlm 23-24
Vol 1 No 1 2022 74
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 75
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 76
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
masalah yang tidak dapat diatasi semata – mata dengan jalur “penal”. Disinilah
keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur “non
penal”.
Di Indonesia salah satu isu utama dalam pengendalian dampak lingkungan
adalah masalah pencemaran dari industri. Perkembangan pembangunan Indonesia
yang sangat pesat konsekuensinya adalah meningkatnya pula kerusakan
lingkungan terutama di pulau Jawa dimana 75% industri berada. Kerusakan
lingkungan ini meningkat terutama dalam hal pencemaran air, udara dan tanah.
Dampak tersebut dapat diketahui dari bahan – bahan pencemaran yang
dikeluarkan dari industri, seperti BOD (Biochemical Oxygen Demands),
suspended solids, partikulat, sulfur dan nitrogen oksida, karbon monoksida dan
logam – logam.
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, konsep pencegahan pencemaran dapat
digambarkan sebagai penggunaan proses, praktek, bahan dan energi guna
menghindarkan atau mengurangi timbulnya pencemaran dan limbah. Pencegahan
pencemaran secara fundamental mengalihkan fokus perlindungan lingkungan dari
penanggulangan melalui “end of pipe” yang reaktif dengan pengolahan
pencemaran setelah terjadinya pencemaran ke pemikiran “front of process” yang
preventif dengan menekankan bahwa pencemaran seharusnya tidak boleh
terjadi.41
Selanjutnya dijelaskan bahwa pencegahan pencemaran bermanfaat, karena:
1. Mengurangi atau menghindarkan timbulnya polutan;
2. Menghindarkan pindahnya polutan dari satu medium ke medium
lainnya;
3. Meningkatkan pengurangan dan / atau menghilangkan polutan;
4. Mengurangi resiko kesehatan;
5. Memajukan pengembangan teknologi pengurangan sumber;
6. Menggunakan energi, bahan dan sumber lebih efisien;
7. Mengurangi kebutuhan akan penegakan yang mahal;
41
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 1994) hlm. 327-328
Vol 1 No 1 2022 77
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
42
Ibid. hlm.329
43
Ibid
44
Ibid. hlm.332
Vol 1 No 1 2022 78
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
45
Ibid. hlm.333
Vol 1 No 1 2022 79
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
2. Bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin
keselamatannya;
3. Bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan diperguunakan secara
aman dan efisien.
Pencemaran yang menyebabkan kondisi yang tidak menghiraukan
kenikmatan kerja dan kesehatan karyawan menurunkan efisiensi kerja dan
produktivitas karyawan. Pada kondisi demikian pengusaha akan menanggung
akibat oleh karena angka sakit yang tinggi, angka kecelakaan, absenteisme dan
lain – lain. Langkah – langkah pencegahan pencemaran lingkungan kerja / ruang
kerja perlu dilakukan seperti:
1. Penggunaan alat pelindung diri;
2. Perbaikan teknik pada instalasi atau gudang guna mengurangi kondisi
lingkungan kerja (engineering control) seperti misalnya perbaikan
ventilasi, exhauser, membuang debu / gas berbahaya, baik langsung ke
luar gedung ataupun melalui cerobong asap dan lain – lain.
Pada umumnya usaha pencegahan pencemaran industri dapat berupa:
1. Peningkatan kesadaran lingkungan diantara karyawan dan pengusaha
khususnya, masyarakat umumnya, tentang akibat – akibat buruk suatu
pencemaran.
2. Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain
mengadakan monitoriing berkala guna mengumpulkan data selengkap
mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas
udara, air dan sebagainya.
3. Penanganan atau penerapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam
peraturan perundang-udangan.
4. Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan
planologi kota, pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi,
penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan
perlengkapan instalasi pembuangan, tidak melalui air maupun udara.
5. Penyempurnaan alat produksi melalu kemajuan teknologi, diantaranya
melalui modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan –
Vol 1 No 1 2022 80
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 81
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Penanaman Modal menurut Undang – undang nomor 1 tahun 1967 dan undang –
undang nomor 6 tahun 1986 yang ditetapkan pada tanggal 27 Juli 1985.
Permendagri nomor 1 tahun 1985 ini mengatur pengendalian pencemaran
dini bagi proyek – proyek baru PMDN / PMA maupun pengendalian pencemaran
represif bagi proyek – proyek PMDN / PMA lama yang izin HO-nya telah terbit
sebelum berlakunya Permendagri, yang telah berproduksi dan telah menimbulkan
pencemaran.
Dengan SK Menteri Perindustrian no.20/M/SK/I/1986 tertanggal 24 Januari
1986 telah ditetapkan Lingkup Tugas Departemen Perindustrian dalam
Pengendalian Pencemaran Industri Terhadap Lingkungan Hidup, beserta
Pembagian Tugas Pokok bagi unit – unitnya. Pasal 2 SK tersebut menyatakan
bahwa pengendalian pencemaran industri mencakup:
1. Pencegahan pencemaran insutri baik dalam tahap perencanaan,
pembangunan ataupun pengoperasian industri terdiri dari:
a. Pemilihan lokasi yang dikaitkan dengan rencana tata ruang
b. Studi yang menyangkut dengan pengaruh dari pemilihan lokasi
industri terhadap kemungkinan pencemaran pada lingkungan hidup
yaitu studi Analisis Dampak Lingkungan
c. Pemilihan teknologi proses termasuk desain peralatan dalam
pembuatan produk industri dan penggunaan peralatan untuk
mencegahan pencemaran.
d. Pemilihan sistem pengadaan, penyimpanan, pengolahan, pengemasan
dan pengangkutan bahan baku dan / atau produk industri terutama
bahan beracun dan berbahaya.
e. Pemilihan teknologi pengolahan limbah industri termasuk daur ulang
limbah industri
f. Sistem pengawasan terhadap gejala dan timbulnya pencemaran
industri.
2. Penanggulangan pencemaran industri baik pada tahap pembangunan
maupun pada tahap operasional yang terdiri dari:
Vol 1 No 1 2022 82
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 83
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 84
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
suatu tindak pidana lingkungan hidup atau yang disebut dengan kebijakan
kriminalisasi.
Kebijakan legislatif lain yang menjadi sorotan adalah kebijakan dalam
menentukan sanksi pidana apa yang tepat dan efektif untuk dijatuhkan terhadap
pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Penggunaan sanksi pidana sebagai salah
satu sarana politik kriminal harus melalui suatu perencanaan yang matang dan
berdasarkan pada pertimbangan yang rasional.
Penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan sebelum kejahatan terjadi, sehingga sasaran utamanya
adalah menangani faktor – faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana
lingkungan hidup.
Dalam rangka menanggulangi terjadinya tindak pidana lingkungan hidup
dapat dilakukan berbagai upaya antara lain dengan mengendalikan dampak
lingkungan yang dapat dilakukan dengan berbagai uuaya pengendalian. Untuk
mengendalikan pencemaran lingkungan antara lain dapat menggunakan teknologi
proaktif yang akrap lingkungan (teknologi bersih) untuk mengolah limbah dan
buangannya yang keduanya mengandung resiko tinggi terhadap lingkungan.
E. Daftar Pustaka
Adji, Oemar Seno. “Hukum (Acara) Pindana dalam Prospekdi”. Jakarta :
Erlangga, 1984
----------. “Hukum Hakim Pindana”. Jakarta : Erlangga, 1984.
----------. “Hukum Pidana Pengembangan”. Jakarta : Erlangga, 1985.
----------. “Peradilan Bebas Negara Hukum”. Jakarta : Erlangga, 1985
----------. “KUHAP Sekarang”. Jakarta : Erlangga, 1989.
Adenan, M. “Kejahatan Krah Putih Sebagai Tindak Pindana Khusus”. Makalah
Disampaikan Pada Pertemuan Ilmiah Kejahatan – Kejahatan Kerah Putih
dan Perkembangan Iptek”. Jakarta, 18-20 Januari 1994
Ancel, Marc. Social Defence. 1965
Arief, Barda Nawawi. “Kebijakan Kriminal”. Bahan Seminar Kriminologi VI,
Semarang, 16-18 September 1991
----------. “Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan”.
Bahan Seminar Kriminologi VI, Semarang, 16-18 September 1991
----------. “Kebijakan Hukum Pidana”. Bahan Seminar Kriminologi VI, Semarang,
16-18 September 1991.
----------. “Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara”. Semarang : Ananta, 1994
Vol 1 No 1 2022 85
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 86
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari
Vol 1 No 1 2022 87