Titik Guntari 47-87

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 41

Jurnal Advokatura Indonesia

(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi


Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Penal and Non Penal Efforts


In Combating Environmental Crimes

Upaya Penal dan Non Penal


Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Titiek Guntari
[email protected]
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Jl. Kramat Raya No. 25, Senen Jakarta Pusat

Abstract
Besides being beneficial for the welfare of the community, development can also
have an impact on the environment, such as pollution and environmental damage.
Development has a long-term goal, not only for the current generation but also
for generations to come, so development must be sustainable, for that we must
look at environmental sustainability in a harmonious and balanced manner. In
order to preserve the environment, it is necessary to have legal instruments, so
that in Indonesia Law number 32 of 2009 was issued concerning the protection
and management of the environment, one of which regulates criminal provisions,
although there are already legal instruments and many cases of environmental
crimes have been resolved. but there's still a lot that can't be done. In this
research, the problem is how penal and non-penal legal efforts are carried out to
tackle environmental crimes. The approach method used in this study is a
juridical normative approach, the type and source of the data focuses on
secondary data, primary data is more supportive. Data collection techniques by
conducting library research, equipped with field research. The data analysis was
carried out qualitatively. The results show that the prevention of environmental
crimes can be done through the penal route which focuses on the repressive
nature after the crime has occurred and the non-penal route focuses on the
preventive nature. Combating environmental crimes by means of criminal law
begins with legislative policies, namely starting from criminalization, formulating
the purpose of punishment and determining appropriate and rational types of
criminal sanctions, while the non-penal route aims to overcome conducive factors
that cause environmental crimes, for example the industrial sector. by using
proactive technology that is environmentally friendly (clean technology), with
amdal, environmental quality standards, etc.

Keywords: Penal and Non-Penal Law, environment,community welfare

Abstrak
Pembangunan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat juga dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan, seperti terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang, tidak

Vol 1 No 1 2022 47
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang,
sehingga pembangunan harus berkelanjutan, untuk itu kita wajib memelihata
kelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Untuk menjaga
kelestarian lingkungan perlu perangkat hukum, hingga di Indonesia dikeluarkan
Undang – undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, yang didalamnya salah satunya mengatur ketentuan pindana,
meskipun sudah ada perangkat hukum dan sudah banyak kasus tindak pindana
lingkungan hidup yang sudah diselesaikan tapi masih banyak juga yang belum
dapat di selesaikan. Dalam peneletian ini yang menjadi permasalahan adalah
upaya hukum penal dan non penal yang bagaimana dilakukan untuk
menanggulangi tindak pidana lingkungan. Metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif yuriidis, jenis dan sumber
datanya menitikberatkan pada data sekunder, data primer lebih menunjang.
Teknik pengumpulan data dengan melakukan penelitian kepustakaan, dilengkapi
dengan penelitian lapangan. Analisis datanya dilakukan secara kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup
dapat melalui jalur penal yang menitikberatkan pada sifat represif sesudah
kejahatan terjadi dan jalur non penal menitikberatkan pada sifat preventif.
Penanggulangan tindak pidana lingkungan dengan sarana hukum pidana dimulai
dengan kebijakan legislatif yaitu mulai dari kriminalisasi, merumuskan tujuan
pemidanaan dan penetapan jenis sanksi pidana yang tepat dan rasional, sedangkan
jalur non penal sasarannya menanggulangi faktor – faktor kondusif penyebab
terjadinya tindak pidana lingkungan hidup, misalnya sektor industri dengan
mengguunakan teknologi proaktif yang akrab lingkungan (teknologi bersih),
dengan amdal, baku mutu lingkungan, dll

Kata Kunci: Hukum Penal dan Non Penal, Lingkungan Hidup, Kesejahteraaan
Masyarakat

A. Pendahulian
Seperti telah diketahui bahwa setiap kegiatan pembangunan disamping
menimbulkan manfaat bagi kesejahteraan, juga dapat menimbulkan resiko
terhadap lingkungan seperti terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Pembangunan mempunyai tujuan panjang dalam arti bahwa pembangunan
tidak hanya untuk generasi sekarang melainkan juga untuk generasi yang akan
datang, sehingga pembangunan harus berkelanjutan. Untuk menunjang
pembangunan yang berkelanjutan ini kita wajib memelihara kelestarian
lingkungan hidup yang serasi dan seimbang.
Pada tahun 1982 telah dikeluarkan Undang – undang Nomor 4 tahun 1982
tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai pertanda awal

Vol 1 No 1 2022 48
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

pengembangan perangkat hukum, dimana undang – undang tersebut menjadi


dasar upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Meskipun dalam masalah
lingkungan hidup sudah ada beberapa peraturan yang mengaturnya, tetapi secara
komprehensif atau disebut environmental oriented law adalah dengan lahirnya UU
No 4 Th 1982 tersebut diatas. Selanjutnya UU No 4 Th 1982 diganti dengan UU
No 23 Th 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan di ganti lagi dengan
UU No 32 Th 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu ketentuan yang diatur dalam UU
Lingkungan Hidup adalah mengenai ketentuan pidana. Dengan dicantumkannya
kenentuan pidana dalam UU Lingkungan Hidup maka terjadilah kriminalisasi
sekaligus penalisasi perbuatan yang dianggap merusak lingkungan hidup seperti
yang diatur dalam Undang – undang tersebut.
Dengan kriminalisasi suatu perbuatan perusakan dan pencemaran
lingkungan hidup dianggap sedemikian rupa sehingga diperlukan suatu
pengaturan yang di ancam dengan pidana.
Meskipun sudah ada payung hukumnya dan sudah cukup banyak kasus
tindak pidana lingkungan hidup yang sudah diselesaikan, baik melalui proses
peradilan maupun diluar proses peradilan, sebagaimana bisa dilihat dari data
MenLHK dimana pada periode 2015 – 2021 Ditjen Gakkum LHK menangani
6.143 pengaduan, memberikan 2.185 sanksi administrasif dan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebanyak 214 kasus.
Sementara itu gugatan perdata yang dilayangkan Ditjen Gakkum sebanyak
31 gugatan, 14 diantaranya inkracht dengan ganti rugi pemulihan LHK Rp. 20,7
Trilyun. Kemudian kasus pidana LHK yang sudah P21 ada 1,156. Ditjen Gakkum
juga melakukan 417 operasi TSL, 671 operasi pembalakan liar dan 653 operasi
pembahan. 1
Namun demikian masih banyak masalah lingkungan hidup yang belum
dapat terselesaikan, seperti masalah industri yang tidak taat amdal sehingga
mencemari lingkungan. Kemudian juga masalah penebangan hutan, dimana

1
www.menlhk.go.id

Vol 1 No 1 2022 49
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Indonesia merupakan salah satu negara dengan hutan hujan tropis terluas di dunia,
ketika penebangan hutan yang masif masih terjadi, maka semua fungsi hutan
terancam dan manusia sendirilah yang akan menuai dampaknya. Selanjutnya juga
masalah polusi udara akibat dari banyaknya kendaraan bermotor dan juga industri
dan lain – lain. Masalah lingkungan hidup yang semakin parah dan membawa
dampak yang signifikan terhadap manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan pada hakekatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 2
Bahwa upaya menanggulangi kejahatan dapat melalui jalur penal dan jalur
non penal. Jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan /
pemberantasan / penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non
penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan / penangkalan /
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 3
Sehingga berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Upaya Penal dan Non Penal Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup”.
1. Kebijakan penal yang bagaimana dilakukan dalam menanggulangi
tindak pidana lingkungan?
2. Kebijakan non penal yang bagaimana dilakukan dalam menanggulangi
tindak pidana lingkungan?
B. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif yuridis karena peneliti melakukan studi kepustakaan, baik terhadap
bahan hukum primer, sekunder maupu tertier.

2
Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Kriminal”, (Makalah disampaikan pada Seminar
Kriminologi VI, Semarang, 16 – 19 September 1991), hlm 2
3
Barda Nawawi Arief, “Upaya Non Penal Dalam Kebijalan Penanggulangan Kejahatan”,
(Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi Vi, Semarang, 16 – 18 September 1991), hlm 2

Vol 1 No 1 2022 50
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Dari bahan hukum primer yang diteliti adalah peraturan perundang –


undangan yurisprudensi. Bahan hukum sekunder yang diteliti adalah hasil – hasil
penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum.
Adapun bahan hukum tertier yang diteliti adalah kamus dan ensiklopedia.
1. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan menitikberatkan pada data
sekunder, sedangkan data primer lebih bersifat penunjang.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh terutama dengan
melakukan penelitian kepustakaan, disamping itu dilengkapi dengan penelitian
lapangan di KLH yang berupa pengamatan dan wawancara.
3. Analisis Data
Analisis data dilakukan decara kualitatif, jadi setelah seluruh data dari hasil
penelitian terkumpul, data tersebut diolah. Pengolahan data dilakukan dengan cara
menyuntingan, kording dan pembuatan label. Kemudian setelah itu data dianalisis
dan disajikan dalam bentuk uraian – uraian.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


A. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Lingkungan
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana meruakan terjemahan istilah bahasa Belanda yaitu
“strafbaarfeit”. Hukum pidana Belanda memakai istilah “strafbaarfeit”, kadang
juga “deliet” yang berasal dar bahasa Latin Delictum. Hukum pidana negara –
negara Anglo Saxon memakai istilah “offense” atau “criminal act” untuk maksud
yang sama.
Utrecht menyalin istilah strafbaarfeit menjadi peristiwa pidana sama seperti
yang terdapat dalam UUD Sementara 1950 yang juga memakai istilah peristiwa
pidana.
Van der Hoeven, mengatakan bahwa yang dapat dipindana ialah pembuat,
bukan “feit” itu. Dia juga mengusulkan istilah strafwaardig feit (stafwaardig
artinya patut dipindana).

Vol 1 No 1 2022 51
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Hazewinkel-Suringa mengatakan istilah delict kurang diersengketakan,


karena hanya istilah strafbaarfeit itu telah biasa dipakai
Moeljatno dan Ruslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana, meskipun
bukan untuk menerjemahkan strafbaarfeit itu. Moeljatno menolak istilah
peristiwa pidana karena katanya peristiwa itu adalah pengertian yang konkret
yang hanya menunjukkan kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya matinya
orang. Hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang
mati karena perbuatan orang lain.
Moeljatno tidak menyetujui istilah tindak pidana sebagaimana yang
dipergunakan dalam Undang – undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang –
undang Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya, dikarenakan bahwa “tindak”
sebagai kata tidak begitu dikenal maka diperundang – undangan yang memakai
kata “tindak pidana” baik dalam pasal – pasal sendiri maupun dalam
penjelasannya hampir selalu memakai kata “perbuatan”. Strafbaarfeit diartikan
olehnya sebagai suatu perbuatan yang diancam pidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Moeljatno juga mengatakan bahwa perbuatan pidana itu dapat disamakan
dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaarfeit yang meliputi pula
pertanggung jawaban pidana. Katanya criminal act itu berarti kelakuan dan
akibat, yang disebut juga actus reus.
A.Z Abidin mengusulkan pemakaian istilah “pembuatan kriminal”, karena
“perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu kurang tepat, karena 2 (dua) kata
benda bersambungan, yaitu “perbuatan” dan “pidana”, sedangkan tidak ada
hubungan logis antara keduanya. Jadi, mestipun dia tidak sama istilahnya dengan
Moeljatno, tetapi keduanya dipengaruhi oleh istilah yang di pakai di Jerman, yaitu
“tat” (perbuatan) atau “andlung” dan tidak maksud untuk menterjemahkan kata
“feit” dalam bahasa Belanda itu. Namun A.Z Abidin menambahkan bahwa lebih
baik dipakai istilah pidananya saja yang umum dipakai oleh para sarjana, yaitu
delict (dari bahasa Latin delictum).
Roeslan Saleh, selain memakai istilah “perbuatan pidana” juga memakai
istilah “delik”.

Vol 1 No 1 2022 52
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Oemar Seno Aji, disamping menggunakan istilah “tindak pidana” juga


memakai istilah “delik”.4
Di dalam membahas pengertian pindak pidana, maka terlebih dahulu kita
harus mengetahui arti dari pindak pidana itu sendiri. Menurut Andi Hamzah
pengertan dari tindak pidana itu sendiri terbagi atas 2 (dua) aliran, yaitu:
a. Aliran Monistis
Yaitu aliran dimana delik dirumuskan secara bulat artinya tidak
memisahkan antara perbuatan dan akibatnya disatu pihak dan
pertanggungjawaban di lain pihak. Yang di ikuti oleh :
1) Simons, yang merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang
berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
2) Jonkers dan Utrecht, memandang rumusan Simons merupakan rumusan
yang lengkap, yang meliputi:
a) Diancam dengan pidana oleh hukum
b) Bertentangan dengan hukum
c) Dilakukan oleh orang yang bersalah
d) Orang yang dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya
3) Van Hamel, merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai kelakuan
manusia yang dirumuskan dalam undangn – udang, melawan hukum
yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan
b. Aliran Dualistis
Yaitu aliran yang memisahkan antara perbuatan dan akibatnya di satu pihak
dan pertanggung jawabannya di lain pihak. Yang di ikuti oleh:
1) VOS, mengatakan suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan
perundang – udangan diberi pidana, jadi suatu kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.
2) Clark Marshall, yang memberi batasan delik (crime) sebagai berikut: “A
crime is any act omission prohibited by law for the protectionof the

4
Andi Hamzah, Asas – asas Hukum Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal 86 – 88.

Vol 1 No 1 2022 53
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

public, and made punishable by the state in a judicial proceeding in its


own name, it is a public wrong as distinguised from a mere private
wrong or civil injury to and individual”. Jelas disini hanya di utarakan
bagian actus reus itu, tidak dilanjutkan dengan mens rea (pertanggung
jawaban pidana).
3) A. Z Abidin, mengatakan bahwa pandangan monistis yang dianut
mayoritas sarjana hukum dapat menghasilkan ketidak adilan dengan
mengemukakan kasus hipotesis:
Perempuan A berselisih dengan perempuan C. Untuk melampiaskan
dendamnya maka A membuat sehingga seorang lelaki yang bernama B
melakukan pemerkosaan terhadap C. Lelaki yang dipilih oleh A tidak
mampu bertanggung jawab sesuai dengan pasal 44 KUHP (sakit jiwa).
Berarti bahwa ada satu unsur atau dua unsur delik yang tidak terbukti
adalah kemampuan bertanggung jawab dan atau kesenjangan (dolus).
Menurut pemeriksaan dokter psikiater (saksi ahli) dan beberapa saksi ahli
B memang sakit jiwa. Kalau hakim mau konsekuen pada pandangan
monistis, sudah tentu ia membebaskan atau melepaskan dari segala
tuntutan baik B yang menjadi pembuat materil alias pelaku (pleger), in
casus manus ministra, berarti tidak terbukti adanya delik, karena sat atau
dua unsur delik tidak terbukti. Konsekuensinya adalah bahwa manus
domina pembuat intelektual, penganjur atau pemancing (uitlokker).
Perempuan A juga tidak dapat dijatuhi sanksi karena tidak ada delik.
Atas dasar uraian tersebut maka syarat pemidanaan dapat dibagi menjadi
2 (dua) yaitu:
c. Actus Reus (delictum), yaitu:
Perbuatan kriminal sebagai syarat pemidanaan obyektif.
d. Mens Rea, yaitu:
Pertanggung jawaban kriminal sebagai syarat pemidaan subyektif.
Hazewinkel – Suringa menulis bahwa sesuai fungsinya, sistem undang – undang
pidana Belanda lebih baik dikatakan suatu kelakuan manusia (yang meliputi
perbuatan dan pengabdian) yang memenuhi rumisan yang dilarang oleh undang –

Vol 1 No 1 2022 54
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

undang dan diancam dengan pidana. Lalu karena itu, kita mengabstakkan
memenuhi syarat umum melawan hukum, bersalah dan juga dapat dipertanggung
jawabkan. Meskipun ia memisahkan antara actus reus pada kalimat pertama dan
mens rea pada kalimat kedua, dia tidak memisahkan secara tajam antara
keduanya. Yang pertama bersifat konkret dan yang kedua bersifat umum.5
Dengan adanya dua aliran tersebut maka akan mengakibatkan konsekuensi
yang berbeda pula secara teoritis dalam hukum acara pidana, terutama dalam
pemberian pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Dalam pandangan aliran monistis, maka bila salah satu unsur delik tidak
terbukti, maka harus dibebaskan (vrijspraak). Jika apakah yang terbukti
itu salah satu unsur subyektif (misalnya kesalahan sengaja / alpa atau
maupun pertanggungjawab, atau tidak ada alasan pemaaf), maupun salah
satu unsur obyektif (misalnya unsur melawan hukum atau tidak ada
alasan pembenar) tidaklah menjadi persoalan dan amar putusannya harus
berbunyi bebas (vrijspraak). Jika semua unsur terbukti maka terdakwa
harus dihukum
b. Dalam aliran dualistis, karena pemisahan unsur perbuatan dan unsur di
pelaku, maka konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur obyektifnya
(misalnya unsur melawan hukum atau tidak ada alasan pembenar), maka
bunyi amar putusan adalah bebas (vrijspraak). Namun, jika yang tidak
terbukti unsur subyektifnya (misalnya mampu bertanggung jawab,
kesalahan baik sengaja / alpa, tidak ada alasan (pemaaf)), maka amar
putusan berbunyi dilepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van
rechtsvervolging). Jika semua unsur (subyektif dan obyektif) terbukti
maka pelaku harus dijatuhi pidana
Dalam KUHAP (Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana) Republik
Indonesia, memakai aliran dualisme dikarenakan kedua aliran tersebut memiliki
kesamaan pendapat tentang unsur – unsur delik yaitu bahwa perumusan delik
harus sesuai dengan perundang – undangan. Hal ini tampak pada pasal 191
KUHAP, yang berbunyi :

5
Ibid, hal 88-91

Vol 1 No 1 2022 55
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Ayat 1 : Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,


kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tdak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Ayat 2 : Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pindana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.
Ayat 3 : Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketka itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah
terdakwa perlu ditahan.
Dalam penjelasan pasa 191 ayat (1) menyebutkan yang dimaksud
dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan
meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim
atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut
ketentuan hukum acara pidana ini. Maka jelas bahwa bila perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti, maka amar putusan harus
berbunyi bebas (vrijspraak), hal ini sesuai dengan aliran dualistis.
Putusan pada ayat (2) pasa 191 KUHP adalah dilepas dari tuntutan
(ontslag van rechtscervolging) dikarenakan tidak terbukti itu adalah
unsur subyektif (misalnya unsur kesalahan).
2. Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Didalam undang – undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak kita jumpai pengertian tentang tindak
pidana lingkungan hisup, UUPPLH hanya merumuskan tentang perbuatan –
perbuatan yang termasuk tindak pidana lingkungan hidup. Tindak pidana
lingkungan diatur pada BAB XV, mulai dari pasal 97 s/d pasal 120 UUPPLH.
Perbuatan – perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana adalah
perbuatan pencemaran dan perusakan lingkundan hidup, seperti undang – undang
sebelumnya tetapi dalam UUPPLH rumusan tindak pidananya lebih spesifik.

Vol 1 No 1 2022 56
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Selain itu ada perbedaan antara UUPPLH dengan undang – undang


sebelumnya (undang – undang No 4 tahun 1982 tentang Ketentuan – ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang – undang No 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), yaitu bahwa dalam Undang – undang
No. 4 tahun 1982 perumusan deliknya merupakan delik material, yaitu delik yang
rumusannya memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan yang telah
menimbulkan akibat.
Sedangkan undang – undang No.23 tahun 1997 perumusan deliknya bersifat
delik material dan delik formal. Delik formal yaitu delik yang rumusannya
memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan yang dilarang, tanpa
memandang akibat dari perbuatan. Perumusan delik yang diatur dalam Undang –
undang No 32 Tahun 2009 yang sekarang ini berlaku, perumusannya juga bersifat
delik material dan delik formal namun perumusan delik formalnya lebih banyak
dibandingkan dengan undang – undang No.23 tahun 1997.
Adapun perbuatan yang termasuk delik material menurut undang – undang
No. 32 Tahun 2009 yang diatur dalam pasal 98 dan pasal 99 yaitu setiap orang
yang dengan sengaja atau kelaliannya melakukan :
a. Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien,
baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.
b. Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien,
baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup dan mengakibatkan orang luka dan / atau bahaya
kesehatan manusia.
c. Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien,
baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup dan mengakibatkan orang luka berat atau mati.
Sedangkan perbuatan – perbuatan yang termasuk delik formel yang diatur
dalam pasal 100 s/d pasal 115 Undang – undang No. 32 Tahun 2009 adalah :
a. Perbuatan yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau
baku mutu gangguan

Vol 1 No 1 2022 57
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

b. Perbuatan melepaskan dan / atau mengedarkan produk rekayasa genetik


ke media lingkungan yang bertentangan dengan peraturan perundang –
udangan atau izin lingkungan
c. Perbuatan melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
d. Perbuatan menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
e. Perbuatan melakukan dumping limbah dan / atau bahan ke media
lingkundan hidup tanpa izin
f. Perbuatan memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
g. Perbuatan melakukan pembakaran lahan
h. Perbuatan melakukan usaha dan / atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan
i. Perbuatan menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal
j. Perbuatan pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin
lingkungan tanpa dilengkapi dengan ambal atau UKL – UPL
k. Perbuatan pejabat pember izin usaha dan / atau kegiatan yang
menerbitkan izin usaha dan / atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin
lingkungan.
l. Perbuatan memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi atau memberikan keterangan yang tidak
benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan
menegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
m. Perbuatan penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah
n. Perbuatan dengan sengaja, mencegah, menghalang halangi atau
menggagalkan pelaksanaan tugas
3. Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Kejahatan
Kejahatan apapun bentuknya adalah suatu perbuatan yang sangat
membahayakan dan merugikan masyarakat sehingga masyarakat perlu mendapat

Vol 1 No 1 2022 58
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

perlindungan. Dalam rangka melindungi masyarakat inilah maka diusahakan


untuk mengendalikan dan menanggulangin kejahatan.
Usaha – usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
problema sosial yang dinamakan kejahatan ini (disebut dengan politik atau
kebijakan kriminal) dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sudah barang tentu
tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga
dengan menggunakan sarana – sarana non penal.
Salah satu upaya untuk mengatasi problem sosial dengan menggunakan
sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan
hukum. Disamping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk
dalam bidang kebijakan sosial.
Kebijakan sosial (social policy) adalah segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup pelindungan
masyarakat.6
Jadi didalam pengertian “Social Policy”, sekaligus tercakup di dalamnya
“Social Welfare Policy” dan “Social Defence Policy”.
Kebijakan penegakan hukum, menurut Barda Nawawi Arief pada intinya
adalah penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial.7 Kebijakan penegakan hukum ini
mencakup baik bukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi dan lain –
lain.
Adapun kebijakan kriminal menurut Barda Nawawi Arief yang dikutip dari
Marc Ancel adalah pengaturan atau penyusun secara rasional usaha – usaha
pengendalian kejahatan oleh masyarakat.8 Di atas telah dijelaskan bahwa usaha –
usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan atau mengurangi kejahatan

6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:Alumni, 1992)
hlm 149
7
Ibid
8
Ibid

Vol 1 No 1 2022 59
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

(politik kriminal) ini dapat ditempuh dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana nonpenal.
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa upaya menanggulangi kejahatan
melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindakan /
pemberantasan / penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non
penal lebih menitikberatkan sifat preventive (pencegahan / penangkalan /
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.9
Penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana yang balik baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.10
Penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal adalah berupa
pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan melalui media massa.11
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor – faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor
– faktor kondusif ini antara lain berpusat pada masalah – masalah atau kondisi –
kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian secara makro dan global, maka
upaya – upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam
menanggulangi sebab – sebab dan kondisi – kondisi yang menimbulkan
kejahatan.12
Usaha – usaha non penal ini misalnya dengan pendidikan dalam rangka
mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya.
Mengenai hubungan antara kebijakan sosial, kebijakan penegakan hukum
dan kebijakan kriminal menurut Barda Nawawi dapat dilihat dari skema
Hoefnagels sebagia berikut:

9
Ibid, hlm 2
10
Ibid, hlm 6
11
Ibid, hlm 2
12
Ibid, hlm 3

Vol 1 No 1 2022 60
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Sumber : Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, hlm 4


Dari skema tersebut dapat disimpulkan bahwa, upaya rasional untuk
menanggulangi kejahatan dari masyarakat (kebijakan kriminal) pada hakikatnya
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum dalam arti luas (mencakup
baik hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi dan lain – lain).
Disamping itu, karena tujuannya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk
dalam bidang kebijakan sosial. Dengan demikian, kebijakan sosial, kebijakan
penegakan hukum dan kebijakan kriminal mempunyai tujuan akhir yang sama
yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena
itu kebijakan sosial, kebijakan penegakan hukum dan kebijakan kriminal harus
merupakan kebijakan yang terpadu (integral).
Tujuan umum dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Bertolak dari konsepsi yang demikian
kiranya, maka dalam Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dinyatakan bahwa
“Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk sosial

Vol 1 No 1 2022 61
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan


memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa
mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.13
Identifikasi dari beberapa aspek atau bentuk – bentuk perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan adalah sebagai berikut :
1. Dilihat dar sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan
anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat maka
timbullah pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana
adalah penanggulangan kejahatan / penindasan kejahatan / penegakan
kejahatan / pengendalian kejahatan.
2. Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahaya
orang (si pelaku), maka timbul pendapat bahwa tujuan pidana adalah
untuk memperbaiki si pelaku / rehabilitasi / reformasi / treatment of
offenders / reduksi / readuptasi sosial / resosialisasi / pemasyarakatan /
pembebasan. Memperbaiki si pelaku mengandung makna mengubah atau
mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum.
3. Dilihat dari sudut perlunya pelindungan masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau
reaksi terhadap pelanggar pidana, maka dapat dikatakan tujuan pidana
adalah mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga
masyarakat pada umumnya dalam melakukan reaksi terhadap si
pelanggar sering pula dikatakan bahwa pidana dimaksudkan untuk
menyediakan saluran untuk mewujudkan motif – motif balas dendam
atau untuk menghindari balas dendam.
4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya
mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan
dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan / dapat dikatakan bahwa

13
Keputusan Seminar Kriminologi Ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hlm 4

Vol 1 No 1 2022 62
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan


masyarakat.14
Sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsepsi
kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi
segala usaha yang resional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu
kesatuan yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan
dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula di padukan dengan usaha – usaha
lain yang bersifat “Nonpenal”. Usaha – usaha nonpenal ini dapat meliputi bidang
yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan
nasional. Tujuan utama dari usaha – usaha non penal ini adalah memperbaiki
kondisi – kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pegaruh
preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian diliat dari sudut kriminal,
keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai
kedudukan yang sangat strategis. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini
justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.15
Mengenai upaya nonpenal yang mempunyai kedudukan sangat strategis ini
dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut ; bahwa upaya nonpenal ini
harus ditujukan untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup yang sehat (secara materiil dan immateriil) dari faktor – faktor
kriminogen. Ini berarti masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan
sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor anti kriminogen yang merupakan
bagian integral dari keseluruhan politik kriminal.16
Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini berarti perlu digali, dikembangkan dan
dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya
untuk pengefektifkan dan mengembangkan extra legal system atau informal and
traditional system yang ada dimasyarakat.17

14
Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Menanggulangi Kejahatan dengan Pidana Penjara
(Bandung : Alumni, 1994), hlm 93-95
15
Ibid, hlm 36
16
Barda Nawari Arief, Op. Cit. Hlm 13
17
Ibid.

Vol 1 No 1 2022 63
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Disamping upaya – upaya nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan


masyarakat lewat kebijakan sosial dengan menggali berbagai potensi yang ada
dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai
sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu
misalnya media pers / media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal
dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari
aparat penegak hukum.18
Di atas telah diuraikan bahwa penanggulangan dengan sarana hukum pidana
(penal) berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Sehingga
dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal ini terdapat dua
masalah sentral yaitu :
1. Masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak
pidana.
2. Masalah penentuan tentang sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau
dikenakan kepada pelanggar.19
Untuk menghadapi masalah sentral yang pertama, yang sering disebut
masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal – hal yang pada intinya sebagai
berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubugan dengan ini maka
penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas
warga masyarakat.

18
Ibid. Hlm 14
19
Barda Nawawi Arief. Op. Cit. Hlm 38

Vol 1 No 1 2022 64
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

3. Penggunaan hukum pidana harus pula diperhatikan kapasitas atau


kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).20
Selanjutnya dengan mengutip salah satu laporan dalam Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa masalah kriminalisasi dan
dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang
dianut oleh Bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan
atau tidak bertentangan dengan nilai – nilai fundamental yang berlaku dalam
masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut di hukum dalam
rangka penyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.21
Selain itu dalam mengadakan kriminalisasi pembentuk undang – undang
harus menyadari daya kemampuan dari hukum pidana dalam menanggulangi
kejahatan, akan tetapi sebaliknya juga tidak boleh dipandang terlalu remeh seolah
– olah tidak mempunyai efek sama sekali. Yang jelas ialah bahwa hukum pidana
harus dipandang mempunyai fungsi yang subsidier, artinya bahwa dalam usaha
melindungi masyarakat terhadap kejahatan hendaknya digunakan upaya – upaya
lain lebih dulu dan apabila upaya – upaya ini kurang memadai barulah hukum
pidana digunakan.22
Hal ini dikemukakan pula oleh Sudarto dalam kaitannya dengan
perkembangan masyarakat dan pembentukan hukum pidana sebagai berikut :
Kita harus memandang hukum pidana itu sebagai hukum yang mempunyai
fungsi subsider; hukum pidana hendaknya baru digunakan apabila upaya – upaya
lain diperkirakan kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai.
Akan tetapi kalau tokoh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat
dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau yang lazim digunakan dalam
kongres tersebut (maksudnya : Kongres PBB ke empat tahun 1980 tentang
Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku) dalam planning for sociall

20
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981) hlm 44-47
21
Ibid, hlm 39
22
Sudarto, Op. Cit, hlm 160

Vol 1 No 1 2022 65
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

defence. Social defence planning ini pun harus merupakan bagian yang integral
dari rencana pembangunan nasional.23
Dengan mengutip pendapat W. Clifforf dari Crime Prevetion and Criminal
Justice Section UNO yang dikemukakan pada The 32nd International Seminat
Course on Reform in Criminal Justice di Jepang, Muladi menyatakan sebagai
berikut:
...... On the one hand there is the need for a wider view or criminal policy as
an integral part of general political and social policy of a given country. It is a
reflection of local mores and customs and a by product of development. From this
wider view-point criminal policy cannot be something a part from the more
general social situation but must be developed from it and through it.24
Dijelaskan pula oleh Muladi bahwa sebagai bagian yang integral dari
keseluruhan politik kriminal yang juga merupakan bagian dari politik sosial maka
kriminalisasi oleh pembuat undang – undang berarti harus juga memperhatikan
kemampuan dari badan penegek hukum lainnya yang terlibat dalam pelaksanaan
politik itu. Artinya kriminalisasi itu jangan hendaknya justru menyebabkan over
criminalization yang dapat menyebabkan kelampauan beban tugas dari aparat –
aparat penegak hukum. 25
Selanjutnya mengenai kebijakan penggunaan sanksi pidana seabgai salah
satu sarana politik kriminal, maka mengenai kebijakan – kebijakan tindakan –
tindakan apa yang seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi
pelanggaran hukum harus merupakan suatu perencanaan yang matang.
Suatu perencanaan di dalam menetapkan sanksi pidana mengandung di
dalamnya suatu kebijakan memilih dan menetapkan sebagai alternatif, yang
dilakukan berdasar suatu pertimbangan yang rasional. Langkah utama kebijakan
menetapkan suatu sanksi pidana adalah justru menetapkan tujuan yang ingin
dicapai, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi yang mengutip pendapat Karl. Q.
Christiansen sebagai berikut “Prasyarat yang fundamental dalam merumuskan

23
Ibid, hlm 104
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit. Hlm 129
25
Ibid. Hlm 130

Vol 1 No 1 2022 66
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

suatu cara, metode atau tindakan yang rasional ialah bahwa tujuan yang akan di
capai harus telah dirumuskan dengan baik..... Tanpa suatu tujuan kita tidak dapat
bicara tentang cara yang rasional dari politik kriminal, bahkan sebenarnya kita
tidak dapat menggunakan istilah “means” atau pernyataan – pernyataan lain yang
serupa. Akan tetapi patutlah dengan metode – metode yang rasional .... Tujuan
dari aktivitas tertentu tidak pernah merupakan hasil dari suatu keputusan yang
rasional, dan karakteristik dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain
daripada penerapan metode – metode yang rasional.26
Dikemukakan pula bahwa tujuan umum dari setiap langkah kebijakan
kriminal harus terarah pada perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat, sehingga sudah barang tentu untuk merumuskan sanksi
pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut maka terlebih dahulu harus
dirumuskan tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya
tujuan umum tersebut. Baru kemudian dengan bertolah dan berorientasi pada
tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.27
Setelah dirumuskan tujuan pemidanaan, maka langkah berikutnya adalah
menetapkan sanksi pidana yang pada umumnya meliputi masalah – masalah
menetapkan jenis dan jumlah berat ringannya pidana.
Kebijakan menetapkan jenis sanksi pidana apa yang dianggap paling baik
untuk mencapai tujuan, setidak – tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif. Masalah pemilihan
berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik,
paling tepat, paling patut, paling berhasil atau efektif, jelas merupakan masalah
yang tidak mudah.28
Masalah pemilihan pidana ini bukanlah masalah hukum yang murni dan
tidak dapat dipecahkan semata – mata dengan teknik – teknik hukum yang
normal, namun yang jelas hal ini merupakan suatu masalah penting yang harus
dipecahkan, dan merupakan suatu masalah sangat strategis.29

26
Ibid. Hlm 94
27
Ibid. Hlm 94-95
28
Ibid. Hlm 97-98
29
Ibid. Hlm 98

Vol 1 No 1 2022 67
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Penetapan jenis pidana oleh pembuat undang – undang antara lain


dimaksudkan untuk menyediakan seperangkat sarana bagi para penegak hukum
dalam rangka menanggulangi kejahatan. Di samping itu, dimaksudkan pula untuk
membatasi para penegak hukum dalam menggunakan sarana pidana yang telah
ditetapkan itu.
Mereka tidak boleh menggunakan sarana pidana yang tidak lebih dahulu
ditetapkan oleh pembuat undang – undang. Dengan demikian jenis pidana yang di
pilh dan ditetapkan oleh pembuat undang – undang mengkat dan membatasi para
penegak hukum lainnya (Hakim, Jaksa).30
Mengenai masalah penentuan tentang sanksi apa yang sebaiknya dikenakan
kepada pelanggar, maka yang perlu diperhatikan pula ialah bahwa penggunaan
sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan
mempertahakankan kepentingan – kepentingan sosial. Kepentingan – kepentingan
sosial yang mengandung nilai – nilai tertentu yang perlu dilindungi menurut
Barda Nawawi Arief yang mengutip pendapat Bassiouni ialah :
1. Pemelihataan tertib masyarakat.
2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya –
bahaya tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain.
3. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.
4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan – pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan
keadilan individu.31
Pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi
masyarakat, suatu pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan
berbahaya bagi masyarakat.
Bagi Indonesia yang mempunyai falsafah Pancasila, maka pendekatan
humanistis dalam menggunakan sarana pidana perlu diperhatikan. Hal ini penting
tidak hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah
kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung

30
Ibid. Hlm 98-99
31
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Op. Cit. Hlm 166

Vol 1 No 1 2022 68
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai sebagai paling
berharga bagi kehidupan manusia.32
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti
bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai –
nilai kemanusiaan yang berada, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran
si pelanggar akan nilai – nilai kemanusiaan dan nila – nilai pergaulan hidup
masyarakat.33
Pada akhirnya sehubungan dengan kebijakan menetapkan sanksi pidana,
maka penerapan metode rasional ialah dengan melakukan suatu penelitian
maupun studi analisa strategis terlebih dahulu. Dengan demikian pidana yang
ditetapkan bukanlah sesuatu yang dibuat secara abstrak semata – mata berdasar
asumsi – asumsi yang hipotesis lebih – lebih salah satu prinsip yang saat ini
cenderung untuk diperhatikan di bidang kebijakan pembangunan ialah prinsip
memperhitungkan biaya dan hasil. Dalam prinsip ini pun jelas terkandung
pengertan adanya penelitian terlebih dahulu karena tanpa penelitian sulit kiranya
untuk dapat memperhitungkan atau membandingan antara biaya dan hasil.
Pidana yang akan ditetapkan adalah pindana yang diharapkan dapat
menunjang tercapainya tujuan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pidana
apa yang dipandang paling efektif dan bermanfaat untuk mencapai tujuan.
Efektivitas pidana harus diukur berdasar tujuan atau hasil yang ingin dicapai.34

Upaya Penal Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup


Proses pembangunan dapat membawa kemajuan. Kemajuan dalam
masyarakat, namun dalam usaha – usaha melakukan pembangunan tidak boleh di
lupakan adanya gangguan – gangguan terhadap usaha dalam mensejahterakan
masyarakat. Orang mengira bahwa kejahatan akan lenyap dengan sendirinya
apabila ada kemajuan – kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi, tapi
kenyataanya tidak demikian, kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi

32
Ibid. Hlm 167
33
Ibid.
34
Ibid. Hlm 100-101

Vol 1 No 1 2022 69
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

ternyata disertai kemajuan aktivitas kejahatan, bahkan hampir dapat dikatakan


bahwa ekonomi itu sendiri merupakan biang dari perkembangan kejahatan.35
Salah satu kejahatan karena perkembangan ekonomi adalah kejahatan di
bidang lingkungan hidup yang berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup. Kejahatan ini sangat berbahaya karena melanggar hak – hak orang lain atas
lingkungan yang bersih dan sehat.
Bahaya pencemaran dan kerusakan lingkungan, terutama di sektor industri
pertambangan dan energi, sangat mempengaruhi lingkungan hidup, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsungnya industri pertambangan
dan energi akan menyebabkan terkurasnya sumber alam dan kerusakan maupun
pencemaran lingkungan, sedangkan pengaruh tidak langsung menyebabkan
gangguan – gangguan terhadap bidang sosial, ekonomi dan budaya. Dampak
ekonomi misalnya turunnya pendapatan dan timbulnya pengangguran akibat
tercemar atau rusaknya sumber pencarian penduduk. Sedang dampak sosial
budaya akan dapat merubah masyarakat dari masyarakat petani menjadi
masyarakat yang industri, kemudian terjadi urbanisasi, dll.
Bahwa karena perbuatan pencemaraan dan kerusakan lingkungan ini sangat
berbahaya maka perlu upaya untuk menanggulangi kejahatan di bidang
lingkungan hidup ini. Usaha untuk menanggulangi kejahatan lingkungan hidup ini
dilihat dari aspek kebijakan kriminal dapat dilakukan dengan berbagai upaya,
yaitu dapat menggunakan sarana penal dan sarana non penal .
Penggunaan sarana penal sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
kejahatan sebagai suatu masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan
penegakan hukum dan kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang
kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Untuk menanggulangi kejahatan dengan sarana penal, sebelum penegakan
hukum dimulai dengan kebijakan legislatif untuk membuat peraturan hukum
pidana di bidang lingkungan hidup yang baik. Kebijakan legislatif yang sering

35
Sudarto, Hukum dan hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm.102

Vol 1 No 1 2022 70
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

mendapat sorotan adalah kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai


tindak pidana atau sering disebut kebijakan kriminalisasi.
Kriminalisasi adalah suatu proses penetapan suatu perbuatan atau
pengabaian sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Maksudnya suatu perbuatan
untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana perlu ditetapkan oleh penguasa
(Pembuat undang – undang).
Kriminalisasi dan penalisasi terhadap perbuatan yang dianggap merusak
lingkungan hidup dan tercemarnya lingkungan hidup di Indonesia terjadi sejak
dikeluarkannya Undang – undangan nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sehingga semenjak tahun 1982
perbuatan merusak dan mencemarkan lingkungan dianggap sebagai tindak pidana
dan terhadap pelakunya dapat di ancam pidana.
Sebagaimana kita ketahui Undang – undang nomor 4 tahun 1982, telah
beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dirubah oleh undang – undang
Nomor 32 tahun 2009.
Menurut hasil penelitian – penelitian dapat diungkap bahwa alasan – alasan
yang digunakan untuk menetapkan suatu perbuatan pencemaran dan kerusakan
lingkungan sebagai tindak pidana lingkungan dalam undang – undang nomor 32
tahun 2009 adalah bahwa tindak pidana lingkungan hakekatnya merupakan
perbuatan yang tercela, karena akibatnya sangat merugikan baik terhadap
lingkungan hidup maupun terhadap generasi yang akan datang, sehingga tidak
dibenarkan dari sudut norma hukum dan norma – norma sosial lainnya.
Dari alasan dan dasar pertimbangan kriminalisasi nampak bahwa sanksi
hukum pidana ditetapkan berdasarkan pada garis – garis kebijaksanaan tertentu,
yaitu bahwa sanksi hukum pidana digunakan terhadap perbuatan pencemaran dan
kerusakan lingkungan :
1. Yang membahayakan kesehatan dan nyawa manusia;
2. Menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat;
3. Membahayakan kelestarian lingkungan.
Disamping itu dengan melihat garis – garis kebijaksanaan tersebut
disimpulkan bahwa untuk mengkriminalisasikan suatu perbuatan sebagai tindak

Vol 1 No 1 2022 71
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

pidana lingkungan selama ini dilakukan dengan pendekatan atau garis – garis
kebijaksanaan yang berorientasi pada nilai, yaitu nilai – nilai masyarakat
menghendaki agar perbuatan mencemarkan dan merusak lingkungan dianggap
perbuatan yang tercela sehingga perlu dipidana.
Menurut Sudarto, dalam menghadapi masalah kriminalisasi harus
diperhatikan hal – hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata
materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka
penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau sprirituil) atas
warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil.
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan – badan penegak hukum yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas.36
Adapun Barda Nawawi Arief dengan mengutip pendapat Bassioni
mengatakan bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi
harus berdasarkan pada faktor – faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam faktor, termasuk hal berikut:
1. Keseimbangan sarana – sarana yang digunakan dalam hubungannya
dengan hasil yang di cari atau yang ingin dicapai.
2. Analisis biaya terhadap hasil – hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan – tujuan yang dicari.

36
Sudarto. Op.Cit., hlm 44-47.

Vol 1 No 1 2022 72
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

3. Penilaian atau penaksiran tujuan – tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas – prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber –
sumber tenaga manusia.
4. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenan
dengan pengaruh – pengaruhnya yang sekunder. 37
Kalau kita melihat pada pendapat Soedarto dan Bassioni diatas, badan
legislatif kita di dalam membuat peraturan perundang-undangan lingkungan hidup
belum berorientasi pada apa yang dikemukakan oleh Soedarto dan Bassioni
tersebut. Hal ini disebabkan karena Badan Legislatif kita belum berorientasi pada
kebijaksanaan bahwa setiap peraturan hendaknya didukung oleh hasil penelitian.
Belum adanya orientasi ilmiah ini antara lain disebabkan oleh sumber –
sumber keuangan yang belum memadai, seperti yang dikemukakan oleh Bassioni
yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut : Bahwa Perkembangan
dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini lamban datangnya karena
proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara
lain terletak pada sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu.38
Mengenai kebijakan penggunaan sanksi hukum pidana sebagai salah satu
sarana politik kriminal, selama ini di dalam proses legislatif tidak dipersoalkan
mengapa kebijakan terhadap lingkungan hidup perlu ditanggulangi dengan
menggunakan sanksi hukum pidana, sehingga penggunaan sanksi hukum pidana
sebagai salah satu saran politik kriminal dianggap sebagai hal yang wajar.
Menurut Muladi dalam hubungannya dengan penggunaan sanksi pidana
dijelaskan bahwa apabila untuk suatu sistem kebijakan kriminal yang rasional
diperlukan penetapan tujuan terlebih dahulu, maka kebijakan yang pertama – tama
harus dimasukkan dalam perencanaan strategi di bidang pemidanaan adalah
menetapkan tujuan pidana dan pemidanaan.39
Dalam praktek pembuatan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
selama ini tidak pernah dirumuskan mengenai tujuan pidana dan pemidanaan ini.
Mengutip Mahrus Ali dalam konteks Undang – undang nomor 32 tahun 2009
37
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Op.Cit., hlm. 162
38
Barda Nawawi Arief. Op.Cit., hlm. 15
39
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.Cit., hlm. 95

Vol 1 No 1 2022 73
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH) perlunya


kriminalisasi berbasis kerugian lingkungan, didasarkan kepada beberapa alasan :
Pertama, salah satu pertimbangan dibentuknya undang – undang ini adalah
didasarkan fakta bahwa kualitas lingkungan hidup semakin menurun telah
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,
sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang sungguh
– sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Kedua, tujuan utama
undang – undang tersebut adalah mencegah timbulnya kerugian lingkungan baik
berupa kerusakan atau pencemaran.
Ketiga, instrumen pencegahan, pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), tata ruang, baku
mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya
pengelolaan lingkungan hidup (UKL, UPL), perizinan, instrumen ekonomi
lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit
lingkungan hidup dan instrumen lain sesuai kebutuhan adalah ditujukan untuk
mencegah timbulnya kerugian lingkungan. Oleh karena itu logis apabila
kriminalisasi dalam UUPPLH diorientasikan kepada kerugian lingkungan.40
Mengenai penegakan hukum pidana lingkungan hidup sebagaimana dilihat
dalam penjelasan umum ke 6 UUPPLH bahwa Penegakan hukum pidana dalam
UU ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum disamping maksimum,
perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan
penegakan hukum pidana dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang
mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah
penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas
ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formal tertentu, yaitu
pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air, limbah, emisi dan gangguan.

40
Mahrus Ali, “Model Kriminalisasi Berbasis Kerugian Lingkungan dan Aktualisasinya Dalam
Undang – undang nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlisungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup”. Bina Hukum Lingkungan volume 5 Nomor 1, Oktober 2022, hlm 23-24

Vol 1 No 1 2022 74
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Menurut penjelasan umum ke 6 UUPPLH diatas, dalam UUPPLH


pendekatan hukum pidana tidak seabgai upaya terakhir (Ultimum remedium),
untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup.
Dalam UUPPLH tindak pidana sebagai ultimum remedium diatur hanya
dalam satu pasal, yaitu pasal 100 UUPPLH yang menyatakan:
1. Setiap orang yang melanggar baku mutu air, limbah, baku mutu emisi
atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama
3(tiga) tahun dan denda paling banyak 1.000.000.000,-
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1(satu) hanya dapat
dikenakan apabila sanksi administrasif yang telah dijatuhkan tidak
dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Melihat pasal 100 ayat 2 dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang
tercantum dalam pasal 100 ayat (1) baru dapat dikenakan jika sanksi administratif
tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Ini berarti sanksi pidana
berfungsi sebagai upaya terakhir. UUPPLH untuk pelaku korporasi meletakkan
pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha yang telah
menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam UULH 1997 tidak disebut secara tegas pimpinan atau pengurus
badan usaha, tetapi mengunakan istilah “yang memberi perintah” atau “yang
bertindak sebagai pemimpin”.
UUPPLH pasal 116 – pasal 119
Pasal 116 memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha
dan siapa – siapa yang harus bertanggung jawab jika dilihat rumusan pasal 116
UUPPLH pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam salah satu kondisi
yaitu:
1. Tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha atau atas
nama badan usaha atau
2. Oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan
usaha tidak dapat bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku
fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang

Vol 1 No 1 2022 75
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

yang berdasarkan perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau


hubungan lain misalnya perjanjian pemborongan kerja. Mengenai siapa
yang harus bertanggung jawab pasal 116 ayat 1 : tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a. Badan usaha dan / atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau
orang yang berindak sebagai pemimpin.
Selain itu pasal 118 UUPPLH : Terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada
badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili didalam dan
di luar pengadilan sesuai dengan pasal perundang-udangan selaku pelaku
fungsional. Dengan demikian dari pasal 116 dan pasa 118 dapat disimpulkan ada
tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman, yaitu:
1. Badan usaha itu sendiri
2. Orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin
dalam tidak pidana.
3. Pengurus
Rumusan pasal 118 merupakan terobosan atau kemajuan sebagai upaya
mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh – sungguh
melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemulihan pencemaran atau
perusakan lingkungan manakala memimpin sebuah badan usaha.
Rumusan pasal 118 UUPPLH mirip dengan vicarious liability dalam sistem
hukum Anglo Saxon.

Upaya Non Penal Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup


Diatas telah dijelaskan bahwa penanggulangan kejahatan melalui jalur non
penal lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum kejahatan terjadi, sehingga
sasaran utamanya adalah menangani faktor – faktor konsudif penyebab terjadinya
kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arief, beberapa masalah dan kondisi sosial yang
dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan

Vol 1 No 1 2022 76
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

masalah yang tidak dapat diatasi semata – mata dengan jalur “penal”. Disinilah
keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur “non
penal”.
Di Indonesia salah satu isu utama dalam pengendalian dampak lingkungan
adalah masalah pencemaran dari industri. Perkembangan pembangunan Indonesia
yang sangat pesat konsekuensinya adalah meningkatnya pula kerusakan
lingkungan terutama di pulau Jawa dimana 75% industri berada. Kerusakan
lingkungan ini meningkat terutama dalam hal pencemaran air, udara dan tanah.
Dampak tersebut dapat diketahui dari bahan – bahan pencemaran yang
dikeluarkan dari industri, seperti BOD (Biochemical Oxygen Demands),
suspended solids, partikulat, sulfur dan nitrogen oksida, karbon monoksida dan
logam – logam.
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, konsep pencegahan pencemaran dapat
digambarkan sebagai penggunaan proses, praktek, bahan dan energi guna
menghindarkan atau mengurangi timbulnya pencemaran dan limbah. Pencegahan
pencemaran secara fundamental mengalihkan fokus perlindungan lingkungan dari
penanggulangan melalui “end of pipe” yang reaktif dengan pengolahan
pencemaran setelah terjadinya pencemaran ke pemikiran “front of process” yang
preventif dengan menekankan bahwa pencemaran seharusnya tidak boleh
terjadi.41
Selanjutnya dijelaskan bahwa pencegahan pencemaran bermanfaat, karena:
1. Mengurangi atau menghindarkan timbulnya polutan;
2. Menghindarkan pindahnya polutan dari satu medium ke medium
lainnya;
3. Meningkatkan pengurangan dan / atau menghilangkan polutan;
4. Mengurangi resiko kesehatan;
5. Memajukan pengembangan teknologi pengurangan sumber;
6. Menggunakan energi, bahan dan sumber lebih efisien;
7. Mengurangi kebutuhan akan penegakan yang mahal;
41
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 1994) hlm. 327-328

Vol 1 No 1 2022 77
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

8. Membatasi tanggungjawab yang akan datang dengan kepastian yang


lebih besar;
9. Menghindari pembersihan yang mahan di masa mendatang.
10. Memajukan ekonomi yang lebih kompetetif.42
Dasar pemikiran dari pencegahan pencemaran adalah bahwa ia lebih efektif
dari sudut pembiayaan, lebih dapat diterima secara sosial dan lebih mampu untuk
mengurangi resiko atau kerusakan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan
daripada penanggulangan pencemaran. Dengan demikian, adalah lebih baik untuk
tidak menimbulkan pencemaran dan mencoba untuk mengelolanya (mendaur
ulang, mengolah atau membuang) setelah pencemaran itu terjadi.43
Dalam rangka mengendalikan dampak lingkungan dapat dilakukan berbagai
upaya pengendalian pencemaran lingkungan antara lain dengan penggunaan
teknologi proaktif yang akrab lingkungan (teknologi bersih), yang mampu
menghindarkan terbentuknya limbah dan ini berarti menghilangkan keperluan
untuk mengolah limbah dan buangannya, yang kedua – keduanya mengandung
resiko tinggi terhadap lingkungan.44
Bentuk teknologi proaktif lebih banyak didasarkan pada konsep penggunaan
kembali (rense), pendaur ulangan (recycle), pemanfaatan kembali (recovery), dan
pengambilan kembali (recuperaton), yaitu konsep 4R, dengan disertai
pertimbangan peningkatan efektifitas dan efisiensi proses produksi.
Konsep 4R pada dasarnya ditujukan untuk pendaur ulangan guna digunakan
kembali; pemisahan ketidakmurnian dari limbah sehingga dapat digunakan
kembali; dan pemanfaatan kembali limbah untuk menghasilkan bahan baku
sekunder atau memanfaatkan limbah yang semula dianggap tidak berharga
menjadi produk lain.
Berbagai teknologi yang digunakan dalam 4R ini antara lain adalah
teknologi absorpsi, osmosis terbalik, ion exchange, recovery matrient dan energi
serta bioteknologi.

42
Ibid. hlm.329
43
Ibid
44
Ibid. hlm.332

Vol 1 No 1 2022 78
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep pengendalian proaktif


tidak hanya diterapkan pada produksi hilir tetapi bersifat menyeluruh mulai kajian
bahan baku, fluida proses, proses produksi hingga produksi yang dihasilkan.
Pencegahan yang diterapkan pada setiap alur proses terutama dalam hal
pencegahan limbah B3 ditujukan untuk meniadakan atau mereduksi sekecil
mungkin limbah B3 yang timbul, baik dalam hal kualitas, kuantitas maupun
kontinuitasnya.45
Pada pasal 67 Undang – undang nomor 32 tahun 2009 menyatakan bahwa
setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serhta
mengendalikan pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup. Pada pasal 67
tersebut membuka kemungkinan dikembangkan prinsip pencegahan pencemaran
sebagaimana diuraikan diatas, karena ketentuan tercantum dalam pasal tersebut
meliputi pencegahan maupun pengendalian pencemaran dan / atau kerusakan.
Dibawah ini dikemukakan contoh peraturan mengenai pengendalian
pencemaran dalam sektor industri.
Sehubungan dengan masalah pencemaran oleh industri, perlu diperhatikan 2
hal, yaitu:
1. Pencemaran lingkungan kerja / ruang kerja;
2. Pencemaran lingkungan pabrik / kawasan industri dan pencemaran pada
daerah sekitarnya.
Mengenai lingkungan kerja / ruang kerja dikaitkan dengan tenaga kerja atau
pengusaha yang ada di tempat tersebut, yang akan menghirup udara yang tercemar
yang biasanya disebabkan oleh bahan – bahan bakar yang digunakan, proses
pengolahan, mesin – mesin yang digunakan dan lain sebagainya. Hal ini diatur
dalam undang – undang nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Sebagai
dasar dipakai pertimbangan – pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup
dan meningkatkan produks serta produktivitas nasional;

45
Ibid. hlm.333

Vol 1 No 1 2022 79
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

2. Bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin
keselamatannya;
3. Bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan diperguunakan secara
aman dan efisien.
Pencemaran yang menyebabkan kondisi yang tidak menghiraukan
kenikmatan kerja dan kesehatan karyawan menurunkan efisiensi kerja dan
produktivitas karyawan. Pada kondisi demikian pengusaha akan menanggung
akibat oleh karena angka sakit yang tinggi, angka kecelakaan, absenteisme dan
lain – lain. Langkah – langkah pencegahan pencemaran lingkungan kerja / ruang
kerja perlu dilakukan seperti:
1. Penggunaan alat pelindung diri;
2. Perbaikan teknik pada instalasi atau gudang guna mengurangi kondisi
lingkungan kerja (engineering control) seperti misalnya perbaikan
ventilasi, exhauser, membuang debu / gas berbahaya, baik langsung ke
luar gedung ataupun melalui cerobong asap dan lain – lain.
Pada umumnya usaha pencegahan pencemaran industri dapat berupa:
1. Peningkatan kesadaran lingkungan diantara karyawan dan pengusaha
khususnya, masyarakat umumnya, tentang akibat – akibat buruk suatu
pencemaran.
2. Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain
mengadakan monitoriing berkala guna mengumpulkan data selengkap
mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas
udara, air dan sebagainya.
3. Penanganan atau penerapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam
peraturan perundang-udangan.
4. Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan
planologi kota, pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi,
penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan
perlengkapan instalasi pembuangan, tidak melalui air maupun udara.
5. Penyempurnaan alat produksi melalu kemajuan teknologi, diantaranya
melalui modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan –

Vol 1 No 1 2022 80
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

bahan pencemaran yang bersumber pada proses produksi dapat


dihilangkan, setidak – tidaknya dapat dikurangi. Pencemaran dapat
dicegah dengan pemasangan alat – alat khusus untuk preatreatment.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas pada butir 3 tentang kewajiban
pengusaha, di bidang perindustrian telah dikeluarkan “ketentuan – ketentuan
pokok perizinan usaha industri dan tata cara pelaksanaannya dalam lingkungan,
departemen perindustrian”, dimana didalam pasal 14 dengan tegas dinyatakan
kewajiban pengusaha untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap tata
lingkungan hidup.
Dalam hubungan dengen pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan sebagai akibat dari usaha industri oleh Menteri Perindustrian telah
dikeluarkan SK Menteri Perindustrian No.134/M/SK/1988 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Pencemaran Sebagai Akibat Kegiatan Usaha Industri
Terhadap Lingkungan Hidup tertanggal 28 April 1988. SK tersebut ditetapkan
dengan pertimbangan:
1. Bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan industri berwawasan
lingkungan, maka wajib dilakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan
usaha industri;
2. Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas perlu diadakan pengaturan
pencegahan dan pengendaliannya baik bagi perusahaan industri yang
akan didirikan maupun yang telah berdiri yang dapat menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup dengan mengaitkannya dengan Izin
Usaha Industri.
Pasal 2 SK tersebut menyatakan bahwa kegiatan usaha industri perusahaan
industri diwajibkan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran terhadap
lingkungan hidup.
Dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran, perlu diperhatikan
pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1985 tentang tatacara
pengendalian pencemaran bagi perusahaan – perusahaan yang mengadakan

Vol 1 No 1 2022 81
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

Penanaman Modal menurut Undang – undang nomor 1 tahun 1967 dan undang –
undang nomor 6 tahun 1986 yang ditetapkan pada tanggal 27 Juli 1985.
Permendagri nomor 1 tahun 1985 ini mengatur pengendalian pencemaran
dini bagi proyek – proyek baru PMDN / PMA maupun pengendalian pencemaran
represif bagi proyek – proyek PMDN / PMA lama yang izin HO-nya telah terbit
sebelum berlakunya Permendagri, yang telah berproduksi dan telah menimbulkan
pencemaran.
Dengan SK Menteri Perindustrian no.20/M/SK/I/1986 tertanggal 24 Januari
1986 telah ditetapkan Lingkup Tugas Departemen Perindustrian dalam
Pengendalian Pencemaran Industri Terhadap Lingkungan Hidup, beserta
Pembagian Tugas Pokok bagi unit – unitnya. Pasal 2 SK tersebut menyatakan
bahwa pengendalian pencemaran industri mencakup:
1. Pencegahan pencemaran insutri baik dalam tahap perencanaan,
pembangunan ataupun pengoperasian industri terdiri dari:
a. Pemilihan lokasi yang dikaitkan dengan rencana tata ruang
b. Studi yang menyangkut dengan pengaruh dari pemilihan lokasi
industri terhadap kemungkinan pencemaran pada lingkungan hidup
yaitu studi Analisis Dampak Lingkungan
c. Pemilihan teknologi proses termasuk desain peralatan dalam
pembuatan produk industri dan penggunaan peralatan untuk
mencegahan pencemaran.
d. Pemilihan sistem pengadaan, penyimpanan, pengolahan, pengemasan
dan pengangkutan bahan baku dan / atau produk industri terutama
bahan beracun dan berbahaya.
e. Pemilihan teknologi pengolahan limbah industri termasuk daur ulang
limbah industri
f. Sistem pengawasan terhadap gejala dan timbulnya pencemaran
industri.
2. Penanggulangan pencemaran industri baik pada tahap pembangunan
maupun pada tahap operasional yang terdiri dari:

Vol 1 No 1 2022 82
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

a. Penetapan tentang berlakunya standar kualitas limbah bagi jenis


bidang usaha industri serta penetapan tentang nilai ambang batas bagi
suatu lingkungan.
b. Penelitian penyebab pencemaran serta pemberian petunjuk untuk
mengatasinya.
c. Petunjuk mengenai penanganan limbah industri yang mencemarkan
lingkungan melalui cara penyimpanan sementara, daur ulang,
pemusnahan, pembuagan secara aman seperti penimbunan di dalam
tanah atau pengisolasian ke dasar laut dan lain sebagainya, baik dalam
bentuk turun tangan ataupun dalam konsultasi.
Pasal 3 menetapkan lingkup tugas Departemen Perindustrian dalam
pengendalian pencemaran industri yang mencakup pengaturan, pembinaan dan
pengawasan dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Pengaturan
a. Membuat peraturan – peraturan tentang pengendalian pencemaran
industri yang harus dilaksanakan oleh perusahaan – perusahaan dalam
kaitannya dengan izin usaha industri, serta menunjang instansi –
instansi pemerintah lainnya dalam menyusun peraturan – peraturan
yang berkaitan dengan pengendalian pencamaran lingkungan hidup
pada umumnya.
b. Membuat peraturan – peraturan tentang pengamanan bahan beracun
dan berbahaya dalam lingkup kegiatan industri, termasuk pengolahan
limbah industri bahan beracun dan berbahaya.
c. Membuat peraturan – peraturan tentang pemilihan lokasi untuk
industri dalam rangka pengambangan wilayah, yang dikaitkan dengan
rencana umum tata ruang di mana terhadap penentuan dengan letak
geografis dari zona – zona industri, kawasan – kawasan industri dan
lingkungan industri kecil.
2. Pembinaan

Vol 1 No 1 2022 83
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

a. Memberikan pedoman dalam upaya pengendalian pencemaran, antara


lain dengan memberikan buku pandan tentang pengendalian
pencemaran untuk berbagai kegiatan industri
b. Memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai penerapan dari
pedoman / buku tentang pengendalian pencemaran, serta memberikan
informasi teknis tentang hal – hal yang berhubungan dengan
pencemaran industri.
c. Membantu instansi pemerintah dan dunia usaha industri dalam
penelitian terhadap masalah – masalah pencemaran khususnya dalam
mengidentifikasikan sumber pencemaran industri dan upaya
pengendaliannya.
d. Memberikan saran dan petunjuk tentang pengambilan langkah tindak
dalam upaya menghadapi kasus – kasus pencemaran lingkungan,
termasuk penanganan dan pengolahan limbah industri.
3. Pengawasan
a. Mengawasi pelaksanaan dari peraturan tentang pengendalian
pencemaran industri dan penerapan dari pedoman / buku paduan yang
telah ditetapkan.
b. Mengadakan langkah penindakan terhada kasus – kasus pelanggaran
pencemaran industri.
c. Memantau / monitoring terjadinya bencana atau musibah yang
diakibatkan oleh pencemaran industri.
D. Penutup
Penggunaan sarana penal sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi
kejahatan di bidang lingkungan hidup termasuk dalam bidang kebijakan
penegakan hukum. Untuk menanggulangi kejahatan dengan sarana penal sebelum
penegakan hukum dimulai dengan kebijakan legislatif yaitu kebijakan membuat
peraturan hukum pidana di bidang lingkungan hidup yang baik.Kebijakan
legislatif untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik yang sering
mendapat sorotan adalah kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai

Vol 1 No 1 2022 84
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

suatu tindak pidana lingkungan hidup atau yang disebut dengan kebijakan
kriminalisasi.
Kebijakan legislatif lain yang menjadi sorotan adalah kebijakan dalam
menentukan sanksi pidana apa yang tepat dan efektif untuk dijatuhkan terhadap
pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Penggunaan sanksi pidana sebagai salah
satu sarana politik kriminal harus melalui suatu perencanaan yang matang dan
berdasarkan pada pertimbangan yang rasional.
Penanggulangan kejahatan melalui jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan sebelum kejahatan terjadi, sehingga sasaran utamanya
adalah menangani faktor – faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana
lingkungan hidup.
Dalam rangka menanggulangi terjadinya tindak pidana lingkungan hidup
dapat dilakukan berbagai upaya antara lain dengan mengendalikan dampak
lingkungan yang dapat dilakukan dengan berbagai uuaya pengendalian. Untuk
mengendalikan pencemaran lingkungan antara lain dapat menggunakan teknologi
proaktif yang akrap lingkungan (teknologi bersih) untuk mengolah limbah dan
buangannya yang keduanya mengandung resiko tinggi terhadap lingkungan.

E. Daftar Pustaka
Adji, Oemar Seno. “Hukum (Acara) Pindana dalam Prospekdi”. Jakarta :
Erlangga, 1984
----------. “Hukum Hakim Pindana”. Jakarta : Erlangga, 1984.
----------. “Hukum Pidana Pengembangan”. Jakarta : Erlangga, 1985.
----------. “Peradilan Bebas Negara Hukum”. Jakarta : Erlangga, 1985
----------. “KUHAP Sekarang”. Jakarta : Erlangga, 1989.
Adenan, M. “Kejahatan Krah Putih Sebagai Tindak Pindana Khusus”. Makalah
Disampaikan Pada Pertemuan Ilmiah Kejahatan – Kejahatan Kerah Putih
dan Perkembangan Iptek”. Jakarta, 18-20 Januari 1994
Ancel, Marc. Social Defence. 1965
Arief, Barda Nawawi. “Kebijakan Kriminal”. Bahan Seminar Kriminologi VI,
Semarang, 16-18 September 1991
----------. “Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan”.
Bahan Seminar Kriminologi VI, Semarang, 16-18 September 1991
----------. “Kebijakan Hukum Pidana”. Bahan Seminar Kriminologi VI, Semarang,
16-18 September 1991.
----------. “Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana
Penjara”. Semarang : Ananta, 1994

Vol 1 No 1 2022 85
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

----------. “Beberapa Hasil International Meeting of Experts On The Use of


Criminal Sanction In The Protection Of Environment, Internationally,
Domestically and Regionally, Portland, Oregon, USA, 19-23 March
1994”, (Makalah, Semarang : UNDIP).
Atmasasmita, Romli. “Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi”. Bandung
: Mandar Maju, 1995
Danusaputro, Munadjat. “Peranan Pengadilan dalam Menangkal Perusakan
Lingkuungan”. Diskusi Dua Hari Masalah – masalah Prosedural dalam
Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Jakarta, 19-20 Juni 1989.
Hamzah, Andi. “Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan
Hidup”. Diskusi Dua Hari Masalah – masalah Prosedural dalam
Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Jakarta, 19-20 Juni 1989.
----------. “Penegakan Hukum Lingkungan”. Jakarta : Arikha Media Cipta, 1995
Hardjasoemantri, Koesnadi. “Hukum Tata Lingkungan”. Edisi keenam, cetakan
Kesebelas. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 1994
Hartonno, Sunaryati. “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”.
Bandung : Alumni, 1994
----------. “Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir abad ke 20”. Bandung:
Alumni, 1994.
Herkrisnowo, Herkristuti. “Beberapa Masalah Mendasar Dalam Hukum
Lingkungan Hidup (Tinjauan dari Perspektif Sosio-Yuridis)”. Makasalah
disampaikan pada Seminar Nasional Perlindungan Lingkungan Hidup
Dalam Perspektif Yuridis dan Kominologis, Jakarta, 16 Oktober 1996
Husin, Sukanda. “Peranan Hukum Pidana Dalam Memerangi Kejahatan
Lingkungan di Indonesia”. Hukum dan Pembangunan (Desember 1995) :
507.
Indonesia. Kitab undang – undang Hukum Pidana.
Indoensia. Undang – undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Vol 1 No 1 2022 Loqman, Loebby. “Pertanggungan Jawab Pidana Bagi Korporasi
dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup”. Diskusi Dua hari Masalah –
Masalah Prosedural Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Jakarta,
19-20 Juni 1989
Muladi. “Kajian Aspek Hukum Pidana dalam Pengelolaan Lingkungan”.
Makalah, Semarang : UNDIP, tanpa tahun
----------. Dan Barda Nawawi Arief. “Teori – teori dan Kebijakan Pidana”.
Bandung : Alumni, 1992
----------. “Bunga Rampai Hukum Pidana”. Bandung : Alumni, 1992
Reksodiputro, Mardjono, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya
Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”. Jakarta:1993
----------. “Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan”. Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengambdian Hukum. 1995
----------. “Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana”. Jakarta :
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1997.
Saleh, Roeslan. “Stelsel Pidana Indonesia”. Jakarta : Aksara Baru, 1987

Vol 1 No 1 2022 86
Jurnal Advokatura Indonesia
(Upaya Penal dan Non Penal dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Lingkungan Hidup)
Titik Guntari

----------. “Pidana Lain Sebagai Pengganti Pidana Penjara”. Pekanbaru : UTP,


1989
Soekanto, Soerjono. “Pengantar Penelitian Hukum”. Jakarta UI Pres, 1986
----------. dan Sri Mamudji. “Penelitian Hukum Normatif”. Jakarta : Rajawali Pres,
1990.
Stanford H. Kadish, ed. “Encyclopedia of Crime And Justice”. New York : A
Divission of Macmilla Inc. 1983
Sudarto. “Hukum dan Hukum Pidana”. Bandung : Alumni, 1981.
----------. “Kapita Selekta Hukum Pidana”. Bandung : Alumi, 1986
Waluyo, Bambang. “Penelitian Hukum dalam Praktek”. Jakarta. Sinar Grafika,
1991.
United Nations. “Crime Prevention”. New York, UN, 1991

Vol 1 No 1 2022 87

You might also like