Self-Healing Sebagai Metode Pengendalian Emosi: M. Anis Bachtiar, Aun Falestien Faletehan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.

php/psikologi
https://doi.org/10.33367/psi.v6i1.1327

Self-Healing sebagai Metode Pengendalian Emosi


M. Anis Bachtiar1, Aun Falestien Faletehan2*
UIN Sunan Ampel Surabaya
[email protected], [email protected]
*Correspondence

Abstract
Article Information: The problems of stress and failure in emotion management
Received 20 September 2020 among teenagers have always been a major concern among
Revised 24 April 2021 scholars and practitioners. Recent literature has been trying to
Accepted 19 May 2021
find the best formula to help teenagers to control their emotions.
Keywords: This study aims to examine the influence of self-healing on
Emotion management; teenagers' emotion management. Based on an experimental-
Pencak silat; Self-healing; quantitative approach including both pre-test and post-test
Spiritual development designs, this study details how structured training and practice
of self-healing may help individuals in managing their
emotions. By taking a research setting in one of the theoretically
selected educational institutions, this study periodically tested
and observed 40 students as training participants. As a result,
apart from demonstrating the uniqueness osf self-healing
training which involves spiritual development processes (e.g.,
pembaiatan, religious learning) and physical exercise (e.g.,
pencak silat, relaxed breathing training), the findings also show
that self-healing has a positive impact on students' ability to
control their emotion.
Abstrak
Kata Kunci: Problematika stress dan kegagalan pengendalian emosi
Pengendalian emosi; dikalangan remaja selalu menjadi perhatian utama dikalangan
Pengembangan spiritual; akademisi dan praktisi. Beberapa literatur mutakhir masih
Pencak silat; self-healing
berusaha menemukan formula terbaik untuk membantu remaja
dalam mengendalikan emosi. Studi ini bertujuan untuk menguji
pengaruh self-healing terhadap kemampuan pengendalian emosi
remaja. Dengan menggunakan pendekatan eksperimen-
kuantitatif berbasis desain pre-test dan post-test, studi ini
menjelaskan bagaimana sebuah pelatihan dan praktek self-
healing terstruktur bisa membantu seseorang dalam
mengendalikan emosi. Melalui pengambilan setting penelitian
di salah satu lembaga pendidikan yang sudah terseleksi secara
teoritis, studi ini menguji dan mengobservasi 40 siswa sebagai
partisipan pelatihan secara berkala. Hasilnya, selain
mendemonstrasikan keunikan pelatihan self-healing yang
melibatkan proses pengembangan spiritual (misal: pembaiatan,
pengajian) dan penguatan raga (misal: pencak silat, pelatihan
pernafasan), temuan riset juga menunjukkan bahwa pelatihan
self-healing berdampak positif terhadap kemampuan siswa
dalam mengendalikan emosinya.

Copyright holder © 2021 M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan


This article is licensed under CC-BY-SA | 41
M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

PENDAHULUAN
Kalangan remaja terutama bagi mereka yang masih berada di bangku sekolah,
termasuk kelompok yang rentan mengalami stress (Ben Mabrouk dkk., 2017; Elliott,
2014; Jacob dkk., 2013; van Berkel & Reeves, 2017). Di samping masih berada dalam
masa pencarian jati diri yang terkadang membingungkan, mereka juga dituntut untuk
bisa berhasil dalam hal akademik dan juga kehidupan sosial (Franco dkk., 2019;
Koudela-Hamila dkk., 2020). Banyak dari anak muda yang kemudian gagal dalam
mengendalikan emosi akibat tidak bisa membagi waktu antara urusan akademik,
kebutuhan sosial, dan keperluan relaksasi (Eltink dkk., 2018; Fogaca, 2021; Lin dkk.,
2020), sehingga memicu emosi negatif atau marah yang pada akhirnya memicu
penyimpangan buruk di kalangan remaja (Das & Avci, 2015). Secara khusus untuk
siswa, penyebab stress biasanya muncul dari faktor terkait akademik, dinamika aktivitas
kelompok, relasi sosial, aspek interpersonal, faktor dorongan dan tuntutan personal, dan
proses pembelajaran di kelas (Melaku dkk., 2015).
Melihat peliknya problem pengendalian emosi dikalangan remaja, sejumlah
peneliti mengarahkan perlunya manajemen emosi untuk mengurangi tingkatan stress
sekaligus bermanfaat untuk membenahi kinerja akademik siswa dan membantu mereka
dalam membangun relasi sosial yang positif di lingkungan sekitar (Fogaca, 2021; Moore
dkk., 2021). Pengendalian emosi, atau anger management, merupakan skill mereduksi
amarah atau stress yang diperlukan semua individu (Kadiyono & Anmarlina, 2016).
Amarah adalah emosi yang normal dialami setiap orang (Ayebami & Janet, 2017) dan
mencakup banyak perasaan seperti takut, malu, bersalah, tidak berdaya dan lemah.
Meskipun kemarahan adalah bagian penting dari fitrah manusia yang terkadang
membantu untuk beradaptasi dan bertahan menghadapi tantangan hidup (Pilania dkk.,
2015), kecenderungan marah yang tidak terkontrol akan berakibat pada perilaku negatif.
Hal ini dikarenakan unsur-unsur emosi marah kebanyakan terdiri dari sifat-sifat negatif
dan bisa terekspresikan dalam wujud kekerasan, melukai diri sendiri, dan agresi fisik
ataupun verbal sehingga mengganggu orang lain (te Brinke dkk., 2021).
Oleh karenanya, setiap individu sangat penting untuk bisa mengelola emosi
secara baik karena kemarahan dan emosi bukanlah sesuatu yang bisa dihilangkan
sepenuhnya (Pilania dkk., 2015). Lebih rumit pula dalam mengelola amarah daripada
menahan atau membiarkannya mengingat sifat amarah yang mudah naik dan turun; atau
moody mengikuti alur situasi yang berkembang di sekitar (te Brinke dkk., 2021). Oleh
karenanya, diperlukan banyak metode untuk bisa mengendalikan emosi secara efektif.
Self-healing merupakan salah satu metode yang cukup mendapatkan perhatian
karena dianggap bisa membantu seseorang untuk mengendalikan emosi dan amarah
(Chan dkk., 2013; Crane & Ward, 2016). Self-healing secara harfiah mengandung
makna penyembuhan diri, karena kata healing sendiri diartikan sebagai “a process of
cure”: suatu proses pengobatan/penyembuhan. Self-healing dimaksudkan sebagai suatu
proses pengobatan atau penyembuhan yang dilakukan sendiri melalui proses

42 | Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, Vol. 6 No. 1 Juni 2021


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

keyakinannya sendiri dan juga didukung oleh lingkungan dan faktor eksternal
penunjang (Crane & Ward, 2016). Self-healing sangat berkaitan dengan keyakinan
karena konteks self atau diri menjadi elemen yang penting dalam memotivasi
kepercayaan diri seseorang. Selain itu, self-healing juga berkaitan dengan komunikasi
intrapersonal karena adanya proses dialog internal yang terjadi di dalam ruang self itu
sendiri. Self sendiri dapat dibatasi sebagai “individu known to individual” yang di
dalamnya memuat sejumlah komponen dan proses yang dapat diidentifikasi seperti
kognisi, persepsi, memori, rasa/hasrat, motivasi, kesadaran, dan hati nurani (Beck dkk.,
2002).
Penerapan self-healing bisa dalam bentuk praktek individu atau melalui
bimbingan secara terstruktur seperti pelatihan (Hongo dkk., 2018). Dalam bentuk yang
terakhir tersebut, self-healing bisa dimodifikasi secara komprehensif oleh seorang
trainer dan kemudian diajarkan kepada individu-individu lain. Pengembangan pelatihan
self-healing bisa bervariasi. Beberapa praktek terkadang memasukkan elemen-elemen
pengaya seperti sisi spiritual, pembersihan jiwa, gerak fisik, bela diri, dan sebagainya.
Dalam konteks Indonesia, tradisi pencak silat menjadi salah satu budaya dan seni bela
diri yang memiliki unsur-unsur self-healing dalam proses pelatihannya. Literatur saat ini
belum begitu banyak mengkaji peranan pelatihan self-healing dalam membantu
pengendalian emosi di kalangan remaja, terutama melalui kombinasi pelatihan psikis
dan fisik secara bersamaan. Oleh karena itu, dengan mengambil setting penelitian
pelatihan pencak silat yang dikelola oleh Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama (IPSNU)
Pagar Nusa di Jombang, riset ini mengkaji pengaruh pelatihan self-healing (dengan
kombinasi pelatihan psikis dan fisik) terhadap kemampuan siswa dalam mengontrol
emosi. Hipotesis studi ini menunjukkan bahwa pelatihan self-healing memiliki dampak
positif terhadap kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi.

METODE
Mengingat pentingnya upaya pengendalian emosi dikalangan remaja melalui
pelatihan self-healing, studi ini didesain untuk mengamati lebih jauh bagaimana dampak
pelatihan self-healing terhadap kemampuan remaja dalam mengendalikan emosi.
Dengan mengambil setting lokasi di lembaga pendidikan di Jombang, Jawa Timur, studi
ini mengambil pendekatan kuantitatif eksperimental untuk menguji proposisi dan
keterkaitan pelatihan self-healing terhadap kemampuan remaja dalam mengendalikan
emosi.
Studi ini menggunakan paradigma kuantitatif dengan pendekatan eksperimen
pada kelompok tunggal yang menerapkan desain tempo dua tahap: pra test dan post test.
Penelitian kuasi eksperimen amat bermanfaat untuk menentukan efek variabel bebas
terhadap variabel tergantung, di mana pengaruh variabel-variabel lain dieliminasi
sedemikian rupa secara terkontrol (Faisal, 1999). Rancangan kuasi eksperimen
dibangun atas dasar materi ekuivalen pada kelompok tunggal.

Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi Vol. 6 No. 1 Juni 2021 | 43


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Data riset berasal dari filter atas beberapa sekolah-sekolah Ma’arif NU di


kabupaten Jombang, Jawa Timur yang aktif melakukan pelatihan Pagar Nusa dengan
muatan pembelajaran dan praktek self-healing. Dari jumlah populasi sebanyak 426
sekolah, ditemukan 12 sekolah yang aktif mengikuti pelatihan. Kemudian peneliti
memilih satu sekolah, yakni SMPNU Mojoagung, sebagai sampel utama dengan dasar
tingkat intensitas dalam pelaksanaan pelatihan self-healing. Jumlah siswa yang aktif
mengikuti latihan sebanyak 40 siswa. Dalam konteks ini, peneliti menggunakan
rancangan sampel non-probabilitas dengan teknik pengambilan purposive sampling,
yaitu sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dengan didasarkan pada kriteria dan
pertimbangan tertentu. Penentuan sampel berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
(1) kontinuitas dalam pelatihan; (2) usia peserta pelatihan hampir setara; (3) tingkat
pendidikan; dan (4) tidak mengikuti kegiatan organisasi bela diri lain.
Di fase awal dalam memahami nuansa dan profil setting penelitian, peneliti
melakukan wawancara mendalam dengan jajaran pengurus, dewan guru, pelatih dan
siswa. Selanjutnya, dalam proses penggalian data, peneliti juga mengamati secara
langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh sekolah penyelenggara
pelatihan, yang meliputi teknik-teknik pelatihan atau pemberian materi, dan juga reaksi
dan praktek dari para siswa di waktu sebelum dan setelah mengikuti pelatihan.
Namun pada dasarnya, riset ini bertumpu pada data angket yang disebarkan
kepada 40 siswa peserta pelatihan sebagai responden. Angket menggunakan tipe
pertanyaan pilihan berganda. Jawaban sudah disediakan dalam angket dan para
responden tinggal memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan opininya. Responden
cukup memberikan tanda X pada jawaban yang sesuai dengan preferensi mereka.
Pilihan jawaban terdiri dari empat pilihan: sering/sangat, kadang- kadang,
jarang/kurang, dan tidak pernah. Isi angket menjelaskan sembilan indikator untuk
mengetahui perubahan emosi: (1) merasa jengkel; (2) merasa gelisah; (3) merasa
frustasi karena harus menunggu sesuatu; (4) selalu berfikir negatif; (5) merasa sulit
berkonsentrasi; (6) merasa marah; (7) merasa sulit untuk mengambil keputusan; (8)
merasa kehilangan rasa humor; dan (9) mengalami ledakan emosi. Indikator ini
merupakan adaptasi dari Depression Anxiety Stress Scales (DASS) yang dirancang
untuk mengukur besarnya tiga keadaan emosi yang bersifat negatif: depresi, kecemasan,
dan stres (Crawford & Henry, 2003).
Proses penggalian data riset ini mencakup empat fase. Fase pertama meliputi
seleksi terhadap populasi sekolah yang mengikuti pelatihan Pagar Nusa dengan materi
self-healing untuk dijadikan sampel penelitian. Kemudian, fase kedua adalah
penyebaran angket sebagai masa pelaksanaan pre-test. Fase ketiga adalah pemberian
treatment eksperimental selama delapan minggu dalam bentuk praktek penerapan self-
healing, yang kemudian juga dilanjutkan dengan pelaksanaan post-test berupa
pertanyaan dalam bentuk angket lanjutan. Dalam fase treatment eksperimental ini,
peserta pelatihan diberi materi bela diri fisik dan psikis bermuatan self-healing yang

44 | Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, Vol. 6 No. 1 Juni 2021


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

menjadi ciri khas pelatihan Pagar Nusa. Pada akhirnya, fase keempat riset ini adalah
analisis atas data yang sudah diperoleh dari pre-test dan post-test. Karena penelitian ini
menggunakan paradigma kuantitatif, maka analisis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan analisis data kuantitatif dengan rumus (Sudijono, 2012) sebagaimana
berikut:

Keterangan :
F
P : Persentase
P = -------- x 100 %
F : Frekuensi yang dicari
N
N : Jumlah responden

PAPARAN HASIL
Pelatihan self-healing dalam setting penelitian ini merupakan pengembangan
dari pelatihan pencak silat Pagar Nusa yang menjadi tradisi dan program pembinaan
siswa Lembaga Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU) Jombang yang bekerjasama dengan
Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama (IPSNU) Pagar Nusa. IPSNU Pagar Nusa adalah
satu-satunya wadah yang sah bagi organisasi pencak silat di lingkungan NU
berdasarkan keputusan Muktamar. Organisasi ini berstatus lembaga milik NU yang
penyelenggaraan dan pertanggungjawabannya sama seperti lembaga–lembaga NU
lainnya. Status resmi kelembagaan inilah yang menjadikan seni pelatihan pencak silat
Pagar Nusa wajib dilestarikan dan dikembangkan oleh seluruh warga NU. Segala
kegiatan yang berhubungan dengan pencak silat seperti pelatihan fisik hingga mental,
atau muatan nilai-nilai pendidikan hingga sistem pengamanan, merupakan bidang
garapan lembaga ini.
Materi pelatihan seni bela diri pencak silat Pagar Nusa meliputi beberapa
tahapan seperti wawancara, pembaiatan, pengajian, pelatihan pernafasan, dan praktek
bela diri atau pencak silat. Berbagai tahapan tersebut diberikan secara holistik dan
berkesinambungan. Wawancara adalah tahap awal untuk pengenalan lebih dalam antara
instruktur pelatih dengan siswa. Kemudian, pembaiatan adalah proses mengajak peserta
untuk mendatangi makam dan kemudian dilakukan perjanjian dan sumpah agar mereka
tidak lagi melanggar lima dosa (molimo) yaitu mencuri, berzina, mencandu narkoba,
meminum minuman memabukkan, dan bermain judi. Jika melanggar, mereka siap akan
menerima hukuman dari organisasi dan juga sanksi transendental dari Allah. Setelah
dibaiat, peserta akan mendapatkan pengajian atau pembelajaran agama secara rutin.
Proses ini biasa disebut dengan pemberian tausiyah yakni pembelajaran tentang akhlak
yang terpuji. Beriringan dengan proses tersebut, peserta juga rutin mendapatkan
pelatihan fisik yakni berupa praktek bela diri atau pencak silat dan juga latihan olah
pernafasan.

Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi Vol. 6 No. 1 Juni 2021 | 45


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Dalam setting penelitian tersebut, studi ini dilakukan untuk mengetahui


pengaruh pelatihan dan praktek self-healing terhadap kemampuan siswa dalam
mengendalikan emosinya. Setelah dilakukan pre-test dan post-test, hasil riset
menunjukkan beberapa temuan terkait sembilan indikator.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang selalu
merasa jengkel terhadap sesuatu (kondisi sebelum dan setelah test).
Tabel 1. Merasa jengkel (pre-test dan post-test)
Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sering jengkel 35 87,5
B. Jengkel 5 12,5 35 87,5
C. Agak jengkel 5 12,5
D. Tidak jengkel
Jumlah 40 40 100 40 100

Tabel 1 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa sebagian besar responden (87,5%)
menyatakan bahwa mereka sering mengalami perasaan jengkel. Sementara itu, terdapat
12,5% responden yang menyatakan bahwa merasa jengkel tapi tidak seberapa sering.
Kemudian setelah dilakukan pelatihan dan praktek self-healing, terdapat perubahan
signifikan. Sebagian besar responden (87,5%) menyatakan bahwa mereka mengalami
perasaan jengkel, dan 12,5% responden menyatakan merasa agak jengkel tapi tidak
sering. Sisi positifnya, tidak ada lagi responden yang merasa sering jengkel, seperti
yang terjadi dalam fase pre-test yang tampak dalam tabel 1.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang selalu
merasa gelisah ketika merespon sesuatu (kondisi sebelum dan setelah test).
Tabel 2. Merasa gelisah (pre-test dan post-test)
Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sangat gelisah
B. Gelisah 35 87,5
C. Jarang gelisah 5 12,5 35 87,5
D. Tidak gelisah 5 12,5
Jumlah 40 40 100 40 100

Tabel 2 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa sebagian besar responden (87,5%)
menyatakan bahwa mereka merasa gelisah sementara hanya 12,5% responden yang
menyatakan bahwa mereka jarang merasa gelisah. Kemudian setelah dilakukan
pelatihan dan praktek self-healing, terdapat perubahan signifikan. Sebagian besar
responden (87,5%) menyatakan bahwa merasa jarang gelisah dan bahkan 12,5%
responden menyatakan bahwa mereka tidak lagi merasa gelisah. Sisi positifnya, tidak
ada lagi responden yang merasa gelisah, seperti yang terjadi dalam fase pre-test yang
tampak dalam tabel 2.

46 | Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, Vol. 6 No. 1 Juni 2021


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang selalu


merasa frustasi manakala harus menunggu sesuatu (kondisi sebelum dan setelah test).
Tabel 3. Merasa frustasi karena harus menunggu sesuatu (pre-test dan post-test)
Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sangat frustasi
B. Frustasi 35 87,5 10 25
C. Jarang frustasi 5 12,5 15 37,5
D. Tidak frustasi 15 37.5
Jumlah 40 40 100 40 100

Tabel 3 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa sebagian besar responden (87,5%)
merasa frustasi manakala harus menunggu sesuatu dan sebagian kecil responden
(12,5%) menyatakan bahwa mereka jarang mengalami frustasi. Kemudian setelah
dilakukan pelatihan dan praktek self-healing, terdapat perubahan yang cukup signifikan.
Hanya 25% responden yang menyatakan merasa frustasi, 37,5% responden menyatakan
jarang mengalami frustasi, dan 37,5% responden menyatakan tidak lagi merasa frustasi
ketika harus menunggu sesuatu. Sisi positifnya adalah adanya penurunan secara
signifikan atas jumlah responden yang merasa frustasi ketika di fase pre-test.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang selalu
berfikir negatif (kondisi sebelum dan setelah test).

Tabel 4. Selalu berfikir negatif (pre-test dan post-test)


Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sangat berfikir negatif 35 87,5 15 37,5
B. Berfikir negatif 5 12,5 10 25
C. Jarang berfikir negatif 10 25
D. Tidak berfikir negatif 5 12.5
Jumlah 40 40 100 40 100

Tabel 4 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa sebagian besar responden (87,5%)
menyatakan bahwa mereka sering berfikir negatif dan hanya 12,5% responden
menyatakan berfikir negatif. Kemudian setelah dilakukan pelatihan dan praktek self-
healing, terdapat perubahan yang cukup signifikan. 37,5% responden menyatakan
bahwa mereka sering berfikir negatif, 25% responden menyatakan bahwa pernah
berfikir negatif, 25% responden menyatakan jarang berfikir negatif, dan sisi positifnya,
terdapat 20% responden yang menyatakan bahwa mereka tidak lagi pernah berfikir
negatif.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang merasa
sulit berkonsentrasi (kondisi sebelum dan setelah test).

Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi Vol. 6 No. 1 Juni 2021 | 47


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Tabel 5. Merasa sulit berkonsentrasi (pre-test dan post-test)


Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sangat merasa sulit berkonsentrasi
B. Merasa sulit berkonsentrasi
C. Agak merasa sulit berkonsentrasi 35 87,5 20 50
D. Tidak merasa sulit berkonsentrasi 5 12,5 20 50
Jumlah 40 40 100 40 100

Tabel 5 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa sebagian besar responden (87,5%)
menyatakan bahwa mereka merasa agak sulit berkonsentrasi dan sebagian kecil
responden (22,5%) menyatakan bahwa mereka agak sulit berkonsentrasi. Kemudian
setelah dilakukan pelatihan dan praktek self-healing, terdapat perubahan yang
signifikan. 50% responden menyatakan agak merasa sulit berkonsentrasi dan 50%
responden juga menyatakan bahwa mereka tidak lagi merasa sulit untuk berkonsentrasi.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang merasa
mudah marah (kondisi sebelum dan setelah test).
Tabel 6. Merasa marah (pre-test dan post-test)
Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sangat merasa marah
B. Merasa marah 10 25
C. Agak merasa marah 25 62,5 35 87,5
D. Tidak merasa marah 5 12,5 5 12,5
Jumlah 40 40 100 40 100

Tabel 6 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa 25% responden menyatakan mudah
merasa marah, 62,5% responden menyatakan merasa agak mudah marah, dan hanya
12,5% responden menyatakan bahwa meraka tidak mudah merasa marah. Kemudian
setelah dilakukan pelatihan dan praktek self-healing, terdapat perubahan yang cukup
signifikan. Sebagian besar responden (87,5%) menyatakan bahwa mereka merasa
mudah agak marah dan sebagian kecil responden (12,5%) menyatakan bahwa mereka
tidak mudah merasa marah lagi.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang merasa
mudah marah (kondisi sebelum dan setelah test).
Tabel 7. Merasa sulit untuk mengambil keputusan (pre-test dan post-test)
Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sangat merasa sulit untuk mengambil
keputusan 35 87,5 5 12.5
B. Merasa sulit untuk mengambil keputusan 5 22,5 25 62,5
C. Agak merasa sulit untuk mengambil keputusan 10 25
D. Tidak merasa sulit untuk mengambil keputusan
Jumlah 40 40 100 40 100

48 | Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, Vol. 6 No. 1 Juni 2021


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Tabel 7 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa sebagian besar responden penelitian
(87,5%) menyatakan bahwa mereka merasa sulit dalam mengambil keputusan. Selain
itu, sebagian kecil dari responden (22,5%) juga menyatakan bahwa mereka agak merasa
sulit dalam mengambil keputusan. Kemudian setelah dilakukan pelatihan dan praktek
self-healing, 12,5% responden ternyata menyatakan merasa masih sulit mengambil
keputusan. Kemudian sebagian besar responden (62,5%) menyatakan merasa agak sulit
mengambil keputusan dan 25% responden menyatakan bahwa mereka tidak merasa sulit
dalam mengambil keputusan.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang merasa
kehilangan rasa humor (kondisi sebelum dan setelah test).
Tabel 8. Merasa kehilangan rasa humor (pre-test dan post-test)
Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sering merasa kehilangan rasa humor 35 87,5 5 12,5
B. Merasa kehilangan rasa humor 5 22,5 10 25
C. Agak merasa kehilangan rasa humor 15 37,5
D. Tidak merasa kehilangan rasa humor 10 25
Jumlah 40 40 100 40 100

Tabel 8 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa sebagian besar responden (87,5%)
menyatakan sering merasa kehilangan rasa humor dan sebagian kecil responden
(22,5%) menyatakan bahwa mereka merasa kadang kehilangan rasa humor. Kemudian
setelah dilakukan pelatihan dan praktek self-healing, terdapat perubahan yang cukup
signifikan. 12,5% responden menyatakan sering merasa kehilangan rasa humor, 25%
responden menyatakan merasa kehilangan rasa humor, 37,5% responden menyatakan
agak merasa kehilangan rasa humor, dan 25% responden menyatakan tidak merasa
kehilangan rasa humor. Dua kelompok responden terakhir adalah kelompok yang baru
muncul setelah dilakukan post-test.
Perubahan kemampuan siswa dalam menghadapi kebiasaan diri yang mengalami
ledakan emosi (kondisi sebelum dan setelah test).
Tabel 9. Mengalami ledakan emosi (pre-test dan post-test)
Pre-test Post-test
Alternatif Jawaban N
F % F %
A. Sering mengalami ledakan emosi 10 25 35 87,5
B. Mengalami ledakan emosi 15 37,5 5 22,5
C. Kadang mengalami ledakan 10 25
emosi 5 12,5
D. Tidak mengalami ledakan emosi
Jumlah 40 40 100 40 100

Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi Vol. 6 No. 1 Juni 2021 | 49


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Tabel 9 menjelaskan kondisi awal peserta sebelum dilakukan pelatihan dan


praktek self-healing yang menggambarkan bahwa 25% responden menyatakan sering
mengalami ledakan emosi, 37,5% responden menyatakan mengalami ledakan emosi,
25% responden menyatakan kadang mengalami ledakan emosi, dan 12,5% responden
menyatakan tidak mengalami ledakan emosi. Kemudian setelah dilakukan pelatihan dan
praktek self-healing, terdapat perubahan yang cukup mengejutkan. Berdasarkan hasil
penelitian sebagaimana pada tabel 18, sebagian besar 87,5% responden menyatakan
bahwa mereka masih sering mengalami ledakan emosi dan 22,5% responden
menyatakan mengalami ledakan emosi.

PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis angket di pre-test dan post-test, secara umum dapat dilihat
bahwa memang ada pengaruh positif terhadap kondisi emosional para siswa antara masa
sebelum dan masa sesudah mengikuti pelatihan self-healing. Hal ini juga berarti bahwa
materi pelatihan self-healing mengandung unsur terapi yang berguna untuk mengelola
emosi para siswa. Secara umum, kondisi emosi siswa setelah mengikuti pelatihan tidak
sampai pada kondisi yang mengarah pada kecemasan atau depresi.
Temuan ini mendukung literatur berkembang yang menunjukkan adanya relasi
kuat antara self-healing dan anger management. Sebagai misal, self-healing menjadi
teknik prioritas dalam pengurangan stress dan menjadi alat manajemen emosi yang
relevan bagi beberapa profesi khusus seperti tenaga medis dan mahasiswa keperawatan
(Chan dkk., 2013; Crane & Ward, 2016). Studi lain menguraikan percontohan intervensi
self-healing pada kasus perawat dan juga pasien yang ternyata dapat membantu mereka
dalam mengurangi stres dan kelelahan emosi (Hongo dkk., 2018).
Pada prinsipnya, artikel ini menekankan bahwa penyelesaian manajemen emosi
tidak hanya menekankan pada aspek psikologis semata, meskipun stress bermuara dari
sisi psikologis. Harus ada keseimbangan dengan mengobati stress melalui penyembuhan
psikis dan juga penyegaran fisik. Hal ini mendukung salah satu hasil studi lain yang
mengatakan bahwa konsep kesehatan adalah konstruk multidimensional yang meliputi
kesehatan fisik, psikis, dan spiritual (Litalien dkk., 2021). Ketika banyak literatur yang
menggambarkan bahwa perilaku spiritual lintas agama seperti sholat atau do’a (Achour
dkk., 2019) dan meditasi adalah beberapa contoh terapi yang bisa membantu mereduksi
stress yang dialami individu, studi ini juga mendukung temuan populer tersebut (Innes
& Selfe, 2014; Wongtongkam dkk., 2014). Bahkan studi ini mendemonstrasikan bahwa
untuk metode pengendalian stress tidaklah hanya dengan terapi psikologis atau spiritual
semata. Harus ada keseimbangan dengan turut menyertakan adanya penyegaran fisik,
seperti melalui bela diri atau pencak silat yang sudah dimodifikasi dan diintegrasi
dengan elemen spiritual, agar metode pengendalian emosi semakin bisa efektif. Hal ini
dilihat dari konstruksi self-healing melalui praktik pencak silat Pagar Nusa yang
mendeskripsikan dualitas keseimbangan antara pelatihan rohani dan jasmani.

50 | Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, Vol. 6 No. 1 Juni 2021


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Memang, salah satu elemen penting dalam pelatihan bela diri atau pencak silat
adalah adanya praktek self-healing. Sebagai salah satu budaya penting di Indonesia,
pencak silat merupakan keterampilan bela diri yang memiliki ajaran filosofis yang
tinggi. Pencak silat akan berbahaya jika dimiliki dan dikuasai oleh orang yang tidak
bertanggung jawab. Filosofi pencak silat pada hakikatnya adalah mencari kebenaran
sejati yaitu pandangan hidup dan kebijaksanaan manusia dalam kaitannya dengan nilai-
nilai budaya, kemasyarakatan, moral dan agama yang dihormati masyarakat Indonesia.
Seorang pelaku silat dituntut memiliki sikap taqwa, tanggap, kuat, tanggon, dan
trengginas. Pencak silat yang bernilai tinggi mengandung materi pendidikan untuk
membentuk manusia yang berkarakter baik, berbudi pekerti yang luhur, mampu
mengendalikan diri, serta mengamalkan berbagai perbuatan terpuji yang memberi
implikasi positif bagi pembentukan diri dan pengembangan masyarakat (Ediyono &
Widodo, 2019). Pada intinya, seseorang yang menguasai pencak silat harusnya bisa
mengontrol diri dan tidak mudah terbawa amarah.
Fungsi self-healing dalam pelatihan silat begitu nampak jelas seperti
pengendalian diri, menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan estetika dengan berpedoman
pada moral dan agama. Hal inilah yang menjadi garansi bahwa pelatihan ketrampilan
beladiri silat dapat membantu siswa untuk lebih dapat mengendalikan emosi dan
mengembangkan sikap toleransi sesama manusia. Inilah yang memungkinkan seseorang
terbebas dari berbagai tekanan psikologis dalam hidupnya. Salah satu studi
menggambarkan bahwa amat memungkinkan bagi seseorang untuk melatih manajemen
emosi dan kecemasan meskipun ia adalah seorang yang memiliki skill bela diri yang
mumpuni seperti Taekwondo (Chang & Hwang, 2017).
Salah satu temuan riset ini cukup mengejutkan manakala siswa peserta pelatihan
self-healing tetap gagal mengendalikan ledakan emosi dan sedikit sulit dalam
mengambil keputusan setelah mendapatkan treatment. Mereka memang berhasil dalam
tujuh indikator lain seperti mengurangi rasa jengkel, marah, gelisah, frustasi, fikiran
negatif, kesulitan konsentrasi, dan mudah mengekspresikan rasa humor. Beberapa studi
memang menggambarkan bahwa ledakan emosi merupakan sesuatu yang sulit
diprediksi dan cenderung menjadi dorongan internal yang bersifat instan dan moody (te
Brinke dkk., 2021) dan terkadang setiap individu sesekali pasti merasakan pengalaman
ledakan ini. Begitu pula dengan kaitan antara stress and pengambilan keputusan.
Beberapa riset mengindikasikan bahwa stres dan beban tambahan pada sistem manusia,
yang disebabkan oleh tugas memori kerja paralel, bisa mengganggu proses pengambilan
keputusan yang sedang dilakukan individu (Gathmann dkk., 2014; Pabst dkk., 2013).

SIMPULAN
Studi yang menekankan pada data pre-test dan post-test dalam praktek self-
healing di pencak silat Pagar Nusa ini menghasilkan dua poin penting: 1). Self-healing
adalah aktivitas terstruktur yang seimbang dalam hal melibatkan proses pengembangan

Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi Vol. 6 No. 1 Juni 2021 | 51


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

spiritual (misal: pembaiatan, pengajian) dan penguatan raga (misal: pencak silat,
pelatihan pernafasan. Berbagai tahapan tersebut diberikan secara holistik dan
berkesinambungan. Pelaksanaan pelatihan ini juga menunjang adanya evaluasi atau
ujian pada setiap tingkatan materi. Materi ujian adalah seputar isu-isu spiritual
keagamaan dan praktik bela diri atau pencak silat. 2). Self-healing memiliki dampak
positif terhadap kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Selain indikator pada
ledakan emosi dan kesulitan dalam pengambilan keputusan yang masih dialami peserta
setelah post-test, mayoritas siswa menunjukkan indikasi perubahan positif karena bisa
menghilangkan indikator-indikator emosi negatif lain seperti merasa jengkel, merasa
gelisah, merasa frustasi karena harus menunggu sesuatu, selalu berfikir negatif, merasa
sulit berkonsentrasi, merasa marah, dan merasa kehilangan rasa humor.

DAFTAR PUSTAKA
Achour, M., Binti Abdul Ghani Azmi, I., Bin Isahak, M., Mohd Nor, M. R., & Mohd
Yusoff, M. Y. Z. (2019). Job stress and nurses well-being: Prayer and age as
moderators. Community Mental Health Journal, 55(7), 1226–1235.
https://doi.org/10.1007/s10597-019-00410-y
Ayebami, T. V., & Janet, K. (2017). Efficacy of anger management strategies for
effective living among adolescents and youths. IFE PsychologIA, 25(1), 47–58.
Beck, A., Bennett, P., & Wall, P. (2002). AS Communication Studies: The Essential
Introduction. London: Routledge.
Ben Mabrouk, N., Bourgou, S., Staali, N., Hamza, M., Ben Hammouda, A., Charfi, F.,
& Belhadj, A. (2017). Does gender matter? A comparative study of post-
traumatic stress disorder among children and teenager. European Psychiatry,
41(Supplement), S431. https://doi.org/10.1016/j.eurpsy.2017.01.413
Chan, E. S., Koh, D., Teo, Y. C., Hj Tamin, R., Lim, A., & Fredericks, S. (2013).
Biochemical and psychometric evaluation of Self-Healing Qigong as a stress
reduction tool among first year nursing and midwifery students. Complementary
Therapies in Clinical Practice, 19(4), 179–183.
https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2013.08.001
Chang, D., & Hwang, S. (2017). The development of anger management program based
on acceptance and commitment therapy for youth taekwondo players. Journal of
Exercise Rehabilitation, 13(2), 160–167.
https://doi.org/10.12965/jer.1732882.441
Crane, P. J., & Ward, S. F. (2016). Self-healing and self-care for nurses. AORN Journal,
104(5), 386–400. https://doi.org/10.1016/j.aorn.2016.09.007
Crawford, J. R., & Henry, J. D. (2003). The Depression Anxiety Stress Scales (DASS):
Normative data and latent structure in a large non-clinical sample. British
Journal of Clinical Psychology, 42(2), 111–131.
https://doi.org/10.1348/014466503321903544

52 | Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, Vol. 6 No. 1 Juni 2021


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Das, G. Y., & Avci, I. A. (2015). The effect of anger management levels and
communication skills of Emergency Department staff on being exposed to
violence. Medicinski Glasnik, 12(1), 99–104.
Ediyono, S., & Widodo, S. T. (2019). Memahami makna seni dalam pencak silat.
Panggung, 29(3), 299–313. https://doi.org/10.26742/panggung.v29i3.1014
Elliott, G. (2014). Are our kids really that angry? An empirical investigation into
adolescent aggression in the South African context (1st ed. NV). Anchor
Academic Publishing.
Eltink, E. M. A., Ten Hoeve, J., De Jongh, T., Van der Helm, G. H. P., Wissink, I. B., &
Stams, G. J. J. M. (2018). Stability and change of adolescents’ aggressive
behavior in residential youth care. Child & Youth Care Forum: Journal of
Research and Practice in Children’s Services, 47(2), 199–217.
https://doi.org/10.1007/s10566-017-9425-y
Faisal, S. (1999). Format-Format Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fogaca, J. L. (2021). Combining mental health and performance interventions: Coping
and social support for student-athletes. Journal of Applied Sport Psychology,
33(1), 4–19. https://doi.org/10.1080/10413200.2019.1648326
Franco, M., Hsiao, Y.-S., Gnilka, P. B., & Ashby, J. S. (2019). Acculturative stress,
social support, and career outcome expectations among international students.
International Journal for Educational and Vocational Guidance, 19(2), 275–
291. https://doi.org/10.1007/s10775-018-9380-7
Gathmann, B., Schulte, F. P., Maderwald, S., Pawlikowski, M., Starcke, K., Schäfer, L.
C., Schöler, T., Wolf, O. T., & Brand, M. (2014). Stress and decision making:
Neural correlates of the interaction between stress, executive functions, and
decision making under risk. Experimental brain research, 232(3), 957–973.
https://doi.org/10.1007/s00221-013-3808-6
Hongo, A., Hashimoto, R., Shibata, K., Miao, T., & Suzuki, M. (2018). Studying how
the Self-healing Method can offer new hope for stressed and fatigued caregivers.
Impact, 2018(12), 87–89. https://doi.org/10.21820/23987073.2018.12.87
Innes, K. E., & Selfe, T. K. (2014). Meditation as a therapeutic intervention for adults at
risk for Alzheimer’s disease—Potential benefits and underlying mechanisms.
Frontiers in psychiatry TA - TT -, 5, 40.
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2014.00040
Jacob, T., EB, I., & Raz, O. (2013). Stress among healthcare students—A cross
disciplinary perspective. Physiotherapy theory and practice, 29(5), 401–412.
https://doi.org/10.3109/09593985.2012.734011
Kadiyono, A. L., & Anmarlina, F. (2016). Teknik Yoga sebagai intervensi dalam
melakukan anger management pada wanita dewasa awal. Jurnal Intervensi
Psikologi (JIP), 8(2), 185–201.
https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol8.iss2.art3

Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi Vol. 6 No. 1 Juni 2021 | 53


M. Anis Bachtiar & Aun Falestien Faletehan | Self-Healing

Koudela-Hamila, S., Smyth, J., Santangelo, P., & Ebner-Priemer, U. (2020).


Examination stress in academic students: A multimodal, real-time, real-life
investigation of reported stress, social contact, blood pressure, and cortisol.
Journal of American College Health, 1–12.
https://doi.org/10.1080/07448481.2020.1784906
Lin, X.-J., Zhang, C.-Y., Yang, S., Hsu, M.-L., Cheng, H., Chen, J., & Yu, H. (2020).
Stress and its association with academic performance among dental
undergraduate students in Fujian, China: A cross-sectional online questionnaire
survey. BMC Medical Education, 20(1), 181. https://doi.org/10.1186/s12909-
020-02095-4
Litalien, M., Atari, D. O., & Obasi, I. (2021). The influence of religiosity and
spirituality on health in Canada: A systematic literature review. Journal of
Religion and Health (In press). https://doi.org/10.1007/s10943-020-01148-8
Melaku, L., Mossie, A., & Negash, A. (2015). Stress among medical students and its
association with substance use and academic performance. Journal of
Biomedical Education, 2015(3), 1–9. https://doi.org/10.1155/2015/149509
Moore, M. F., Montgomery, L., & Cobbs, T. (2021). Increasing student success through
in-class resilience education. Nurse Education in Practice, 50, 102948.
https://doi.org/10.1016/j.nepr.2020.102948
Pabst, S., Schoofs, D., Pawlikowski, M., Brand, M., & Wolf, O. T. (2013). Paradoxical
effects of stress and an executive task on decisions under risk. Behavioral
Neuroscience, 127(3), 369–379. https://doi.org/10.1037/a0032334
Pilania, V. M., Mehta, M., & Sagar, R. (2015). Anger management. Dalam M. Mehta &
R. Sagar (Ed.), A Practical Approach to Cognitive Behaviour Therapy for
Adolescents (hlm. 109–130). Springer India. https://doi.org/10.1007/978-81-322-
2241-5_6
Sudijono, A. (2012). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
(Rajawali pers).
te Brinke, L. W., Schuiringa, H. D., & Matthys, W. (2021). Emotion regulation and
angry mood among adolescents with externalizing problems and intellectual
disabilities. Research in Developmental Disabilities (In press), 109.
https://doi.org/10.1016/j.ridd.2020.103833
van Berkel, K., & Reeves, B. (2017). Stress among graduate students in relation to
health behaviors. College Student Journal, 51(4), 498–510.
Wongtongkam, N., Ward, P. R., Day, A., & Winefield, A. H. (2014). A trial of
mindfulness meditation to reduce anger and violence in Thai youth.
International Journal of Mental Health and Addiction, 12(2), 169–180.
https://doi.org/10.1007/s11469-013-9463-0

54 | Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, Vol. 6 No. 1 Juni 2021

You might also like