Self-Healing Sebagai Metode Pengendalian Emosi: M. Anis Bachtiar, Aun Falestien Faletehan
Self-Healing Sebagai Metode Pengendalian Emosi: M. Anis Bachtiar, Aun Falestien Faletehan
Self-Healing Sebagai Metode Pengendalian Emosi: M. Anis Bachtiar, Aun Falestien Faletehan
php/psikologi
https://doi.org/10.33367/psi.v6i1.1327
Abstract
Article Information: The problems of stress and failure in emotion management
Received 20 September 2020 among teenagers have always been a major concern among
Revised 24 April 2021 scholars and practitioners. Recent literature has been trying to
Accepted 19 May 2021
find the best formula to help teenagers to control their emotions.
Keywords: This study aims to examine the influence of self-healing on
Emotion management; teenagers' emotion management. Based on an experimental-
Pencak silat; Self-healing; quantitative approach including both pre-test and post-test
Spiritual development designs, this study details how structured training and practice
of self-healing may help individuals in managing their
emotions. By taking a research setting in one of the theoretically
selected educational institutions, this study periodically tested
and observed 40 students as training participants. As a result,
apart from demonstrating the uniqueness osf self-healing
training which involves spiritual development processes (e.g.,
pembaiatan, religious learning) and physical exercise (e.g.,
pencak silat, relaxed breathing training), the findings also show
that self-healing has a positive impact on students' ability to
control their emotion.
Abstrak
Kata Kunci: Problematika stress dan kegagalan pengendalian emosi
Pengendalian emosi; dikalangan remaja selalu menjadi perhatian utama dikalangan
Pengembangan spiritual; akademisi dan praktisi. Beberapa literatur mutakhir masih
Pencak silat; self-healing
berusaha menemukan formula terbaik untuk membantu remaja
dalam mengendalikan emosi. Studi ini bertujuan untuk menguji
pengaruh self-healing terhadap kemampuan pengendalian emosi
remaja. Dengan menggunakan pendekatan eksperimen-
kuantitatif berbasis desain pre-test dan post-test, studi ini
menjelaskan bagaimana sebuah pelatihan dan praktek self-
healing terstruktur bisa membantu seseorang dalam
mengendalikan emosi. Melalui pengambilan setting penelitian
di salah satu lembaga pendidikan yang sudah terseleksi secara
teoritis, studi ini menguji dan mengobservasi 40 siswa sebagai
partisipan pelatihan secara berkala. Hasilnya, selain
mendemonstrasikan keunikan pelatihan self-healing yang
melibatkan proses pengembangan spiritual (misal: pembaiatan,
pengajian) dan penguatan raga (misal: pencak silat, pelatihan
pernafasan), temuan riset juga menunjukkan bahwa pelatihan
self-healing berdampak positif terhadap kemampuan siswa
dalam mengendalikan emosinya.
PENDAHULUAN
Kalangan remaja terutama bagi mereka yang masih berada di bangku sekolah,
termasuk kelompok yang rentan mengalami stress (Ben Mabrouk dkk., 2017; Elliott,
2014; Jacob dkk., 2013; van Berkel & Reeves, 2017). Di samping masih berada dalam
masa pencarian jati diri yang terkadang membingungkan, mereka juga dituntut untuk
bisa berhasil dalam hal akademik dan juga kehidupan sosial (Franco dkk., 2019;
Koudela-Hamila dkk., 2020). Banyak dari anak muda yang kemudian gagal dalam
mengendalikan emosi akibat tidak bisa membagi waktu antara urusan akademik,
kebutuhan sosial, dan keperluan relaksasi (Eltink dkk., 2018; Fogaca, 2021; Lin dkk.,
2020), sehingga memicu emosi negatif atau marah yang pada akhirnya memicu
penyimpangan buruk di kalangan remaja (Das & Avci, 2015). Secara khusus untuk
siswa, penyebab stress biasanya muncul dari faktor terkait akademik, dinamika aktivitas
kelompok, relasi sosial, aspek interpersonal, faktor dorongan dan tuntutan personal, dan
proses pembelajaran di kelas (Melaku dkk., 2015).
Melihat peliknya problem pengendalian emosi dikalangan remaja, sejumlah
peneliti mengarahkan perlunya manajemen emosi untuk mengurangi tingkatan stress
sekaligus bermanfaat untuk membenahi kinerja akademik siswa dan membantu mereka
dalam membangun relasi sosial yang positif di lingkungan sekitar (Fogaca, 2021; Moore
dkk., 2021). Pengendalian emosi, atau anger management, merupakan skill mereduksi
amarah atau stress yang diperlukan semua individu (Kadiyono & Anmarlina, 2016).
Amarah adalah emosi yang normal dialami setiap orang (Ayebami & Janet, 2017) dan
mencakup banyak perasaan seperti takut, malu, bersalah, tidak berdaya dan lemah.
Meskipun kemarahan adalah bagian penting dari fitrah manusia yang terkadang
membantu untuk beradaptasi dan bertahan menghadapi tantangan hidup (Pilania dkk.,
2015), kecenderungan marah yang tidak terkontrol akan berakibat pada perilaku negatif.
Hal ini dikarenakan unsur-unsur emosi marah kebanyakan terdiri dari sifat-sifat negatif
dan bisa terekspresikan dalam wujud kekerasan, melukai diri sendiri, dan agresi fisik
ataupun verbal sehingga mengganggu orang lain (te Brinke dkk., 2021).
Oleh karenanya, setiap individu sangat penting untuk bisa mengelola emosi
secara baik karena kemarahan dan emosi bukanlah sesuatu yang bisa dihilangkan
sepenuhnya (Pilania dkk., 2015). Lebih rumit pula dalam mengelola amarah daripada
menahan atau membiarkannya mengingat sifat amarah yang mudah naik dan turun; atau
moody mengikuti alur situasi yang berkembang di sekitar (te Brinke dkk., 2021). Oleh
karenanya, diperlukan banyak metode untuk bisa mengendalikan emosi secara efektif.
Self-healing merupakan salah satu metode yang cukup mendapatkan perhatian
karena dianggap bisa membantu seseorang untuk mengendalikan emosi dan amarah
(Chan dkk., 2013; Crane & Ward, 2016). Self-healing secara harfiah mengandung
makna penyembuhan diri, karena kata healing sendiri diartikan sebagai “a process of
cure”: suatu proses pengobatan/penyembuhan. Self-healing dimaksudkan sebagai suatu
proses pengobatan atau penyembuhan yang dilakukan sendiri melalui proses
keyakinannya sendiri dan juga didukung oleh lingkungan dan faktor eksternal
penunjang (Crane & Ward, 2016). Self-healing sangat berkaitan dengan keyakinan
karena konteks self atau diri menjadi elemen yang penting dalam memotivasi
kepercayaan diri seseorang. Selain itu, self-healing juga berkaitan dengan komunikasi
intrapersonal karena adanya proses dialog internal yang terjadi di dalam ruang self itu
sendiri. Self sendiri dapat dibatasi sebagai “individu known to individual” yang di
dalamnya memuat sejumlah komponen dan proses yang dapat diidentifikasi seperti
kognisi, persepsi, memori, rasa/hasrat, motivasi, kesadaran, dan hati nurani (Beck dkk.,
2002).
Penerapan self-healing bisa dalam bentuk praktek individu atau melalui
bimbingan secara terstruktur seperti pelatihan (Hongo dkk., 2018). Dalam bentuk yang
terakhir tersebut, self-healing bisa dimodifikasi secara komprehensif oleh seorang
trainer dan kemudian diajarkan kepada individu-individu lain. Pengembangan pelatihan
self-healing bisa bervariasi. Beberapa praktek terkadang memasukkan elemen-elemen
pengaya seperti sisi spiritual, pembersihan jiwa, gerak fisik, bela diri, dan sebagainya.
Dalam konteks Indonesia, tradisi pencak silat menjadi salah satu budaya dan seni bela
diri yang memiliki unsur-unsur self-healing dalam proses pelatihannya. Literatur saat ini
belum begitu banyak mengkaji peranan pelatihan self-healing dalam membantu
pengendalian emosi di kalangan remaja, terutama melalui kombinasi pelatihan psikis
dan fisik secara bersamaan. Oleh karena itu, dengan mengambil setting penelitian
pelatihan pencak silat yang dikelola oleh Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama (IPSNU)
Pagar Nusa di Jombang, riset ini mengkaji pengaruh pelatihan self-healing (dengan
kombinasi pelatihan psikis dan fisik) terhadap kemampuan siswa dalam mengontrol
emosi. Hipotesis studi ini menunjukkan bahwa pelatihan self-healing memiliki dampak
positif terhadap kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi.
METODE
Mengingat pentingnya upaya pengendalian emosi dikalangan remaja melalui
pelatihan self-healing, studi ini didesain untuk mengamati lebih jauh bagaimana dampak
pelatihan self-healing terhadap kemampuan remaja dalam mengendalikan emosi.
Dengan mengambil setting lokasi di lembaga pendidikan di Jombang, Jawa Timur, studi
ini mengambil pendekatan kuantitatif eksperimental untuk menguji proposisi dan
keterkaitan pelatihan self-healing terhadap kemampuan remaja dalam mengendalikan
emosi.
Studi ini menggunakan paradigma kuantitatif dengan pendekatan eksperimen
pada kelompok tunggal yang menerapkan desain tempo dua tahap: pra test dan post test.
Penelitian kuasi eksperimen amat bermanfaat untuk menentukan efek variabel bebas
terhadap variabel tergantung, di mana pengaruh variabel-variabel lain dieliminasi
sedemikian rupa secara terkontrol (Faisal, 1999). Rancangan kuasi eksperimen
dibangun atas dasar materi ekuivalen pada kelompok tunggal.
menjadi ciri khas pelatihan Pagar Nusa. Pada akhirnya, fase keempat riset ini adalah
analisis atas data yang sudah diperoleh dari pre-test dan post-test. Karena penelitian ini
menggunakan paradigma kuantitatif, maka analisis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan analisis data kuantitatif dengan rumus (Sudijono, 2012) sebagaimana
berikut:
Keterangan :
F
P : Persentase
P = -------- x 100 %
F : Frekuensi yang dicari
N
N : Jumlah responden
PAPARAN HASIL
Pelatihan self-healing dalam setting penelitian ini merupakan pengembangan
dari pelatihan pencak silat Pagar Nusa yang menjadi tradisi dan program pembinaan
siswa Lembaga Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU) Jombang yang bekerjasama dengan
Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama (IPSNU) Pagar Nusa. IPSNU Pagar Nusa adalah
satu-satunya wadah yang sah bagi organisasi pencak silat di lingkungan NU
berdasarkan keputusan Muktamar. Organisasi ini berstatus lembaga milik NU yang
penyelenggaraan dan pertanggungjawabannya sama seperti lembaga–lembaga NU
lainnya. Status resmi kelembagaan inilah yang menjadikan seni pelatihan pencak silat
Pagar Nusa wajib dilestarikan dan dikembangkan oleh seluruh warga NU. Segala
kegiatan yang berhubungan dengan pencak silat seperti pelatihan fisik hingga mental,
atau muatan nilai-nilai pendidikan hingga sistem pengamanan, merupakan bidang
garapan lembaga ini.
Materi pelatihan seni bela diri pencak silat Pagar Nusa meliputi beberapa
tahapan seperti wawancara, pembaiatan, pengajian, pelatihan pernafasan, dan praktek
bela diri atau pencak silat. Berbagai tahapan tersebut diberikan secara holistik dan
berkesinambungan. Wawancara adalah tahap awal untuk pengenalan lebih dalam antara
instruktur pelatih dengan siswa. Kemudian, pembaiatan adalah proses mengajak peserta
untuk mendatangi makam dan kemudian dilakukan perjanjian dan sumpah agar mereka
tidak lagi melanggar lima dosa (molimo) yaitu mencuri, berzina, mencandu narkoba,
meminum minuman memabukkan, dan bermain judi. Jika melanggar, mereka siap akan
menerima hukuman dari organisasi dan juga sanksi transendental dari Allah. Setelah
dibaiat, peserta akan mendapatkan pengajian atau pembelajaran agama secara rutin.
Proses ini biasa disebut dengan pemberian tausiyah yakni pembelajaran tentang akhlak
yang terpuji. Beriringan dengan proses tersebut, peserta juga rutin mendapatkan
pelatihan fisik yakni berupa praktek bela diri atau pencak silat dan juga latihan olah
pernafasan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis angket di pre-test dan post-test, secara umum dapat dilihat
bahwa memang ada pengaruh positif terhadap kondisi emosional para siswa antara masa
sebelum dan masa sesudah mengikuti pelatihan self-healing. Hal ini juga berarti bahwa
materi pelatihan self-healing mengandung unsur terapi yang berguna untuk mengelola
emosi para siswa. Secara umum, kondisi emosi siswa setelah mengikuti pelatihan tidak
sampai pada kondisi yang mengarah pada kecemasan atau depresi.
Temuan ini mendukung literatur berkembang yang menunjukkan adanya relasi
kuat antara self-healing dan anger management. Sebagai misal, self-healing menjadi
teknik prioritas dalam pengurangan stress dan menjadi alat manajemen emosi yang
relevan bagi beberapa profesi khusus seperti tenaga medis dan mahasiswa keperawatan
(Chan dkk., 2013; Crane & Ward, 2016). Studi lain menguraikan percontohan intervensi
self-healing pada kasus perawat dan juga pasien yang ternyata dapat membantu mereka
dalam mengurangi stres dan kelelahan emosi (Hongo dkk., 2018).
Pada prinsipnya, artikel ini menekankan bahwa penyelesaian manajemen emosi
tidak hanya menekankan pada aspek psikologis semata, meskipun stress bermuara dari
sisi psikologis. Harus ada keseimbangan dengan mengobati stress melalui penyembuhan
psikis dan juga penyegaran fisik. Hal ini mendukung salah satu hasil studi lain yang
mengatakan bahwa konsep kesehatan adalah konstruk multidimensional yang meliputi
kesehatan fisik, psikis, dan spiritual (Litalien dkk., 2021). Ketika banyak literatur yang
menggambarkan bahwa perilaku spiritual lintas agama seperti sholat atau do’a (Achour
dkk., 2019) dan meditasi adalah beberapa contoh terapi yang bisa membantu mereduksi
stress yang dialami individu, studi ini juga mendukung temuan populer tersebut (Innes
& Selfe, 2014; Wongtongkam dkk., 2014). Bahkan studi ini mendemonstrasikan bahwa
untuk metode pengendalian stress tidaklah hanya dengan terapi psikologis atau spiritual
semata. Harus ada keseimbangan dengan turut menyertakan adanya penyegaran fisik,
seperti melalui bela diri atau pencak silat yang sudah dimodifikasi dan diintegrasi
dengan elemen spiritual, agar metode pengendalian emosi semakin bisa efektif. Hal ini
dilihat dari konstruksi self-healing melalui praktik pencak silat Pagar Nusa yang
mendeskripsikan dualitas keseimbangan antara pelatihan rohani dan jasmani.
Memang, salah satu elemen penting dalam pelatihan bela diri atau pencak silat
adalah adanya praktek self-healing. Sebagai salah satu budaya penting di Indonesia,
pencak silat merupakan keterampilan bela diri yang memiliki ajaran filosofis yang
tinggi. Pencak silat akan berbahaya jika dimiliki dan dikuasai oleh orang yang tidak
bertanggung jawab. Filosofi pencak silat pada hakikatnya adalah mencari kebenaran
sejati yaitu pandangan hidup dan kebijaksanaan manusia dalam kaitannya dengan nilai-
nilai budaya, kemasyarakatan, moral dan agama yang dihormati masyarakat Indonesia.
Seorang pelaku silat dituntut memiliki sikap taqwa, tanggap, kuat, tanggon, dan
trengginas. Pencak silat yang bernilai tinggi mengandung materi pendidikan untuk
membentuk manusia yang berkarakter baik, berbudi pekerti yang luhur, mampu
mengendalikan diri, serta mengamalkan berbagai perbuatan terpuji yang memberi
implikasi positif bagi pembentukan diri dan pengembangan masyarakat (Ediyono &
Widodo, 2019). Pada intinya, seseorang yang menguasai pencak silat harusnya bisa
mengontrol diri dan tidak mudah terbawa amarah.
Fungsi self-healing dalam pelatihan silat begitu nampak jelas seperti
pengendalian diri, menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan estetika dengan berpedoman
pada moral dan agama. Hal inilah yang menjadi garansi bahwa pelatihan ketrampilan
beladiri silat dapat membantu siswa untuk lebih dapat mengendalikan emosi dan
mengembangkan sikap toleransi sesama manusia. Inilah yang memungkinkan seseorang
terbebas dari berbagai tekanan psikologis dalam hidupnya. Salah satu studi
menggambarkan bahwa amat memungkinkan bagi seseorang untuk melatih manajemen
emosi dan kecemasan meskipun ia adalah seorang yang memiliki skill bela diri yang
mumpuni seperti Taekwondo (Chang & Hwang, 2017).
Salah satu temuan riset ini cukup mengejutkan manakala siswa peserta pelatihan
self-healing tetap gagal mengendalikan ledakan emosi dan sedikit sulit dalam
mengambil keputusan setelah mendapatkan treatment. Mereka memang berhasil dalam
tujuh indikator lain seperti mengurangi rasa jengkel, marah, gelisah, frustasi, fikiran
negatif, kesulitan konsentrasi, dan mudah mengekspresikan rasa humor. Beberapa studi
memang menggambarkan bahwa ledakan emosi merupakan sesuatu yang sulit
diprediksi dan cenderung menjadi dorongan internal yang bersifat instan dan moody (te
Brinke dkk., 2021) dan terkadang setiap individu sesekali pasti merasakan pengalaman
ledakan ini. Begitu pula dengan kaitan antara stress and pengambilan keputusan.
Beberapa riset mengindikasikan bahwa stres dan beban tambahan pada sistem manusia,
yang disebabkan oleh tugas memori kerja paralel, bisa mengganggu proses pengambilan
keputusan yang sedang dilakukan individu (Gathmann dkk., 2014; Pabst dkk., 2013).
SIMPULAN
Studi yang menekankan pada data pre-test dan post-test dalam praktek self-
healing di pencak silat Pagar Nusa ini menghasilkan dua poin penting: 1). Self-healing
adalah aktivitas terstruktur yang seimbang dalam hal melibatkan proses pengembangan
spiritual (misal: pembaiatan, pengajian) dan penguatan raga (misal: pencak silat,
pelatihan pernafasan. Berbagai tahapan tersebut diberikan secara holistik dan
berkesinambungan. Pelaksanaan pelatihan ini juga menunjang adanya evaluasi atau
ujian pada setiap tingkatan materi. Materi ujian adalah seputar isu-isu spiritual
keagamaan dan praktik bela diri atau pencak silat. 2). Self-healing memiliki dampak
positif terhadap kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Selain indikator pada
ledakan emosi dan kesulitan dalam pengambilan keputusan yang masih dialami peserta
setelah post-test, mayoritas siswa menunjukkan indikasi perubahan positif karena bisa
menghilangkan indikator-indikator emosi negatif lain seperti merasa jengkel, merasa
gelisah, merasa frustasi karena harus menunggu sesuatu, selalu berfikir negatif, merasa
sulit berkonsentrasi, merasa marah, dan merasa kehilangan rasa humor.
DAFTAR PUSTAKA
Achour, M., Binti Abdul Ghani Azmi, I., Bin Isahak, M., Mohd Nor, M. R., & Mohd
Yusoff, M. Y. Z. (2019). Job stress and nurses well-being: Prayer and age as
moderators. Community Mental Health Journal, 55(7), 1226–1235.
https://doi.org/10.1007/s10597-019-00410-y
Ayebami, T. V., & Janet, K. (2017). Efficacy of anger management strategies for
effective living among adolescents and youths. IFE PsychologIA, 25(1), 47–58.
Beck, A., Bennett, P., & Wall, P. (2002). AS Communication Studies: The Essential
Introduction. London: Routledge.
Ben Mabrouk, N., Bourgou, S., Staali, N., Hamza, M., Ben Hammouda, A., Charfi, F.,
& Belhadj, A. (2017). Does gender matter? A comparative study of post-
traumatic stress disorder among children and teenager. European Psychiatry,
41(Supplement), S431. https://doi.org/10.1016/j.eurpsy.2017.01.413
Chan, E. S., Koh, D., Teo, Y. C., Hj Tamin, R., Lim, A., & Fredericks, S. (2013).
Biochemical and psychometric evaluation of Self-Healing Qigong as a stress
reduction tool among first year nursing and midwifery students. Complementary
Therapies in Clinical Practice, 19(4), 179–183.
https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2013.08.001
Chang, D., & Hwang, S. (2017). The development of anger management program based
on acceptance and commitment therapy for youth taekwondo players. Journal of
Exercise Rehabilitation, 13(2), 160–167.
https://doi.org/10.12965/jer.1732882.441
Crane, P. J., & Ward, S. F. (2016). Self-healing and self-care for nurses. AORN Journal,
104(5), 386–400. https://doi.org/10.1016/j.aorn.2016.09.007
Crawford, J. R., & Henry, J. D. (2003). The Depression Anxiety Stress Scales (DASS):
Normative data and latent structure in a large non-clinical sample. British
Journal of Clinical Psychology, 42(2), 111–131.
https://doi.org/10.1348/014466503321903544
Das, G. Y., & Avci, I. A. (2015). The effect of anger management levels and
communication skills of Emergency Department staff on being exposed to
violence. Medicinski Glasnik, 12(1), 99–104.
Ediyono, S., & Widodo, S. T. (2019). Memahami makna seni dalam pencak silat.
Panggung, 29(3), 299–313. https://doi.org/10.26742/panggung.v29i3.1014
Elliott, G. (2014). Are our kids really that angry? An empirical investigation into
adolescent aggression in the South African context (1st ed. NV). Anchor
Academic Publishing.
Eltink, E. M. A., Ten Hoeve, J., De Jongh, T., Van der Helm, G. H. P., Wissink, I. B., &
Stams, G. J. J. M. (2018). Stability and change of adolescents’ aggressive
behavior in residential youth care. Child & Youth Care Forum: Journal of
Research and Practice in Children’s Services, 47(2), 199–217.
https://doi.org/10.1007/s10566-017-9425-y
Faisal, S. (1999). Format-Format Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fogaca, J. L. (2021). Combining mental health and performance interventions: Coping
and social support for student-athletes. Journal of Applied Sport Psychology,
33(1), 4–19. https://doi.org/10.1080/10413200.2019.1648326
Franco, M., Hsiao, Y.-S., Gnilka, P. B., & Ashby, J. S. (2019). Acculturative stress,
social support, and career outcome expectations among international students.
International Journal for Educational and Vocational Guidance, 19(2), 275–
291. https://doi.org/10.1007/s10775-018-9380-7
Gathmann, B., Schulte, F. P., Maderwald, S., Pawlikowski, M., Starcke, K., Schäfer, L.
C., Schöler, T., Wolf, O. T., & Brand, M. (2014). Stress and decision making:
Neural correlates of the interaction between stress, executive functions, and
decision making under risk. Experimental brain research, 232(3), 957–973.
https://doi.org/10.1007/s00221-013-3808-6
Hongo, A., Hashimoto, R., Shibata, K., Miao, T., & Suzuki, M. (2018). Studying how
the Self-healing Method can offer new hope for stressed and fatigued caregivers.
Impact, 2018(12), 87–89. https://doi.org/10.21820/23987073.2018.12.87
Innes, K. E., & Selfe, T. K. (2014). Meditation as a therapeutic intervention for adults at
risk for Alzheimer’s disease—Potential benefits and underlying mechanisms.
Frontiers in psychiatry TA - TT -, 5, 40.
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2014.00040
Jacob, T., EB, I., & Raz, O. (2013). Stress among healthcare students—A cross
disciplinary perspective. Physiotherapy theory and practice, 29(5), 401–412.
https://doi.org/10.3109/09593985.2012.734011
Kadiyono, A. L., & Anmarlina, F. (2016). Teknik Yoga sebagai intervensi dalam
melakukan anger management pada wanita dewasa awal. Jurnal Intervensi
Psikologi (JIP), 8(2), 185–201.
https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol8.iss2.art3