Kerjasama Indonesia

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

KERJASAMA INDONESIA-FILIPINA DALAM MENANGANI TERORISME

DI WILAYAH PERBATASAN PERAIRAN

Oleh:

Irma Yunita
Nim : 6211151210
([email protected])
Dosen: Dr. Agus Subagyo S.IP., M.Si

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Jenderal Achmad Yani

Abstract

This research aims to know the implementation of cooperation between


Indonesia and Philippines to solve terrorism. Researchers also will analized the
background of this cooperation, programs and constraints derived from security
cooperation. Methods The study is Qualitative. Most of the data were collected
through literature study, documentation, and online data searches. This research was
conducted in the Indonesian National Police, National Counter Terrorism Agency
and the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia. The results showed
that underlying the establishment of cooperation to meet the national interests of both
countries have the same problem in the field of terrorism, which has been known to
have links with terrorism network in different countries, one of Indonesia and the
Philippines. Program of cooperation between government of Indonesia and the
Philippines has been implemented. Intelligence exchange program conducted through
the sharing of information through the network named e-ADS and i24/7, while the
capacity building program of personnel and training persama between the

1
government of Indonesia and the Philippines held at the Centre. The results of the
exchange of information between the two countries could find out the terrorist
network that have relevance in both countries and the growing capacity of personnel
for doing joint training.

Keyword: Indonesia, Philippines, Terrorism, Security, Cooperation

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Kawasan Asia Tenggara adalah suatu kawasan yang dinamis, tidak
hanya dalam bidang ekonomi, perdagangan, dan keuangan, tetapi juga politik.
Seiring dengan berkembangnya kawasan Asia Tenggara, tentu setiap anggota
negara yang berada di kawasan ini tidak hanya menginginkan perkembangan-
perkembangan di dalam bidang perdagangan dan ekonomi saja, tetapi mereka
juga menginginkan suatu rasa aman dari segala hal, yang dapat mengganggu
segala aktivitas yang mereka lakukan dan hal yang dapat mengancam
kedaulatan mereka.
Salah satu hal yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan
mengancam kedaulatan suatu negara adalah terorisme. Terorisme secara
umum, memiliki pengertian sebagai suatu bentuk serangan (faham atau
ideologi) yang terkoordinasi, dimana serangan itu dilancarkan oleh suatu
kelompok tertentu, dimana serangan tersebut bertujuan untuk membangkitkan
perasaan takut di kalangan masyarakat.
Indonesia dan Filipina merupakan negara republik yang terdapat di
Asia Tenggara. Kedua negara ini termasuk kedalam golongan negara yang
sedang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki letak
geografis yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan
Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia
berbatasan darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini
di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor (mantan bagian
provinsi dari indonesia).
Negara tetangga lainnya yang memiliki kedekatan geografis dengan
Indonesia adalah Singapura, Filipina, Australia. Sedangkan Filipina, atau

2
Republik Filipina memiliki letak geografis pada sebelah utara berbatasan
dengan Laut Cina dan Pulau Formosa (Taiwan), Sebelah Selatan berbatasan
dengan wilayah laut Kepulauan Indonesia, sebelah Timur berbatasan dengan
Samudera Pasifik, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Seperti yang kita ketahui, negara-negara berkembang memiliki banyak sekali
masalah-masalah internal yang menghambat kemajuan negara mereka.
Salah satu masalah yang menghambat Indonesia dan Filipina adalah
konflik mengenai terorisme. Lalu bagaimanakah sikap kedua negara ini dalam
menghadapi dan mengatasi konflik-konflik terorisme tersebut? Dalam
mengatasi terorisme tersebut kedua negara ini telah melakukan kerjasama
bilateral dalam bidang keamanan untuk menanggulangi masalah terorisme.
Dibawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kerjasama yang dilakukan
kedua negara dalam bidang keamanan.

B. Rumusan Masalah

Landasan Teori

A. Neorealisme
Teori hubungan internasional yang akan peneliti gunakan dalam
penelitian ini adalah neorealisme yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz.
Neorealisme pada intinya memfokuskan pada struktur sistem, pada unit-unit
yang saling berinteraksi dan perubahan sistem yang terjadi akibat perubahan
distribusi kapabilitas yang dimiliki antar unit-unit tersebut.
Neorealis muncul sebagai implikasi dari pengaruh globalisasi terhadap
hubungan internasional. Globalisasi dengan berbagai variannya telah
mengubah politik internasional menjadi post-international politics dimana
aktor non negara mulai ikut serta sebagai aktor dominan selain negara.1
Pada neorealisme, aktornya adalah sistem itu sendiri, dimana sistem
bertindak sebagai pengekang perilaku negara yang kebijakannya relevan
dengan isu-isu yang ada dan yang akan bertahan. Menurut Waltz negara-
negara merupakan unit-unit yang serupa, namun yang membedakan adalah
1
Yulius P. Hermawan, Transformasi dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008)
hal 43.

3
kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa, sehingga
menimbulkan apa yang disebut perimbangan kekuatan.2
Salah satu perbedaan yang sedikit mencolok dari realisme dengan
neorealisme adalah bahwa dalam neorealisme memungkinkan adanya
kerjasama. Neorealisme mengenal adanya kerjasama antarnegara. Namun,
kerjasama ini juga dilakukan atas dasar self interest yang digunakan untuk
tujuan survival negara tersebut.3
B. Kerjasama Bilateral

Kerjasama bilateral merupakan salah satu istilah daripada bentuk-


bentuk interaksi dalam hubungan internasional berdasarkan pada banyaknya
pihak yang melakukan interaksi. Interaksi dilakukan antar dua negara untuk
memenuhi kepentingan masing-masing. Kerjasama bilateral adalah kerjasama
yang dilakukan antara dua negara. Kerjasama ini biasanya dalam bentuk
hubungan diplomatik, pendidikan, keamanan atau kebudayaan4.

Menurut T.May Rudi dalam bukunya Study Strategys, dalam


transformasi sistem internasional Pasca Perang Dingin: Kerjasama bilateral
adalah sebuah kerjasama yang terbentuk dari berbagai komitmen individu
untuk mencapai kesejahteraan secara kolektif yang merupakan hasil dari
adanya persamaan kepentingan5.

Dalam proses pelaksanaan kerjasama bilateral Spiegel menyatakan


bahwa dapat ditemukan 3 motif6, yaitu:

1) Memelihara Kepentingan Nasional


2) Memelihara Perdamaian
3) Meningkatkan Kerjasama Ekonomi

2
Ibid.
3
Ibid.
4
Yanuar Ikbar, Metodologi & Teori Hubungan Internasional (Bandung : PT Refika Aditama, 2014)
hal 273.
5
T.May Rudy, Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin
(Bandung : Refika Aditama, 2002) hal 5.
6
Steven L.Spiegel, World Politics in A New Era (Orlando: Hartcourt College Publishers, 1995) hal 67.

4
Hubungan bilateral mengandung dua unsur pemaknaan, yakni: konflik
dan kerjasama. Antara keduanya memiliki arti yang saling bergantian
tergantung dari konsep apa yang ditawarkan antara kedua negara menurut
motivasi-motivasi internal dan opini yang melingkupinya. Serta terbianya
hubungan bilateral yang diupayakan oleh suatu negara dengan negara lain
dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan diantara keduanya. Seperti yang
dikemukakan oleh Coplin, bahwa:7

“Melalui kerjasama internasional, negara-negara berusaha


memecahkan masalah sosial, ekonomi, dan politik. Tipe yang pertama
menyangkut kondisi-kondisi di lingkungan internasional yang apabila
tidak diatur akan mengancam negara-negara yang terlibat. Tipe kedua
mencakup keadaan sosial, ekonomi, dan politik domestik tertentu yang
dianggap membaawa konsekuensi luas terhadap sistem internasional
sehingga dipersepsikan sebagai masalah internasional bersama.”

Gambaran mengenai hubungan bilateral tersebut tidak lepas dari


kepentingan nasional masing-masing negara untuk mengadakan hubungan dan
menjalin kerjasama antara kedua negara, dan tidak tergantung hanya pada
negara dekat saja melainkan juga negara yang jauh letaknya secara geografis. 8
Dua negara yang menjalin kerjasama bilateral ini tentu mengharapkan
keuntungan.

Kerjasama akan melahirkan kesepakatan bersama berupa


ketentuanketentuan yang harus dipatuhi bersama bagi terjadinya harmonisasi
hubungan diantara keduanya. Tentunya kesepakatan-kesepakatan yang telah
dilahirkan merupakan kebijakan yang akan memberi keuntungan bagi kedua
negara yang bekerjasama sesuai dengan tujuan dari masing-masing negara
yang hendak dicapainya.9

7
William D Coplin, Pengantar Politik Internasional Suatu Telaah, Terj. Marcedes Marbun (Bandung:
Sinar Baru Argelsindo, 2003).
8
Rian Novianto, Hubungan Bilateral Indonesia-Rusia Pasca Tragedi sukhoi 2012, skipsi., Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2013, hal 11.
9
Ibid, hal 12.

5
C. Konsep Terorisme

Terorisme didefinisikan dengan berbagai arti oleh para penstudi.


Keberagaman ini berarti menunjukan bahwa tidak ada definisi universal
mengenai terorisme itu sendiri. Terdapat berbagai interpretasi tentang
pengertian teror, teroris dan terorisme.

Beberapa ahli mencoba mendefinisikan pengertian terorisme seperti


yang dikemukakan oleh T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Poitical
Agitation, sebagai berikut, terorisme adalah penggunaan teror sebagai tindakan
simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku
politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan
kekerasan dan ancaman kekerasan.

Sedangkan Federal Bereau of Investigation (FBI) mendefinisikan


terorisme sebagai penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas
seseorang atau hara untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil
dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.

Dari beberapa penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa


terorisme merupakan suatu aksi yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau
kelompok untuk menyebabkan ketakutan yang menggunakan kekerasan untuk
mencapai tujuannya, baik terorganisir atau tidak, juga dapat menimbulkan
penderitaan fisik ataupun psikologis dalam waktu berkepanjangan.

Maraknya pemikiran radikalisme hingga tindak perilaku terorisme


dewasa ini, seakan menjadi salah satu permasalahan krusial yang patut
diperhatikan. Tak dapat diduga maupun juga disangka, aksi demi aksi
melawan hukum dalam melancarkan serangan yang konon katanya jihad
namun justru membahayakan banyak pihak tak bersalah, kadang menjadi
tanda tanya besar bagi kita semua, mengapa hal tersebut dilakukan, tanpa
memikirankan dampak dan akibat apa yang kedepannya akan terjadi. Berikut
telaahan penulis mengenai penyebab akut terjadinya tindak radikalisme dan
terorisme, diantaranya adalah:10

10
Abdullah Abidin, Faktor-faktor radikalisme dan terorisme, www.liputan6.com, 21 April 2017.

6
1. Pendidikan Rendah 

Latar belakang pendidikan yang rendah dianggap


merupakan salah satu penyebab mengapa generasi muda ataupun
anak sekolahan sangat tertarik untuk terlibat dalam kegiatan
radikal. Acapkali generasi muda tidak memiliki pengetahuan yang
memadai untuk mencari jalan alternatif penyelesaian suatu
masalah selain bertindak radikal ataupun melakukan aksi-aksi
ekstrim. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa
seseorang dengan latar pendidikan tinggi hingga bergelar doktor
sekalipun dapat menjadi salah seorang aktor intelektual dibalik
penyebaran ajran radikal dan terorisme.

2. Krisis Identitas

Secara umum, target perekrutan anggota kelompok radikal


ataupun ekstrimisme acapkali berasal dari kelompok generasi
muda yang masih dalam tahap pencaharian jati diri. Dalam proses
perekrutan, generasi muda sangat rentan terhadap tekanan
kelompok dan juga membutuhkan sebuah panutan hidup. Tekanan
kelompok dilakukan dengan adanya perekrutan dan seleksi oleh
organisasi radikal berkedok kelompok keagamaan dan forum
studi yang terbatas. Apabila salah seorang target telah masuk
kedalam lingkungan kelompok radikal dan ekstrim, maka
tindakan selanjutnya sang perekrut akan mulai melakukan tahapan
komunikasi yang lebih intensif guna mempengaruhi pola pikir dan
perilaku sang target, baik dengan cara dialog, ceramah, atau
bahkan sebuah ritual. Pengaruh kelompok perekrut ini sangatlah
besar karena tanpa disadari, secara terus menerus si target akan
dituntun mengikuti arus perubahan dan penanaman nilai-nilai
kelompok radikal.

3. Minimnya Kondisi Ekonomi

7
Keadaan ekonomi yang kurang memadai disertai dengan
sikap apatis terhadap kondisi kehidupan lingkungan sekitar, dapat
dianggap menjadi salah satu faktor penyebab untuk menarik
generasi muda dalam melakukan tindakan radikal. Acapkali
generasi muda tidak memiliki kebanggaan secara materi dan tidak
memiliki pandangan positif mengenai masa depan yang dihadapi
di dunia ini. Biaya sekolah yang mahal, membuat sebagian
generasi muda menjadi putus sekolah dan tidak mempunyai
pekerjaan hingga penghasilan yang memadai, terkadang dijadikan
salah satu faktor kekesalan terhadap sistem perekonomian yang
dianggap kebarat-baratan atau liberal, lantaran sistem yang ada
dinilai tidak pro terhadap rakyat dan tidak juga memberikan
kesejahteraan terhadap dirinya. Dengan keadaan tersebut,
penghancuran terhadap dirinya dan orang lain dianggap sebagai
suatu hal yang wajar, karena materi yang saat ini tidak diperoleh
akan digantikan dengan kenikmatan akhirat sebagai imbalannya
melakukan perjuangan dan pengorbnannya setelah mati syahid.

4. Keterasingan secara Sosial dan Budaya

Adanya rasa keterasingan di lingkungan dan jarak diantara


masyarakat umum dengan hubungan anggota radikal merupakan
salah satu penyebab yang membuat generasi mudah rentan
bergabung dengan organisasi radikal. Sehingga, dengan adanya
rasa keterasingan dan jarak tersebut, kelompok terorisme yang
tidak merasa menjadi bagian dimasyarakat akan merasa tidak
memiliki hubungan emosional dan terikat terhadap masyarakat
disekelilingnya. Tak ayal sebuah kelompok radikal seringkali
melakukan aktifitas penghancuran terhadap fasilitas umum dan
memakan korban rakyat sipil.

5. Keterbatasan Akses Politik

8
Aspirasi politik yang tidak tersalurkan melalui jalur politik
formal berdasarkan kaedah hukum yang berlaku, acapkali menjadi
salah satu alasan untuk sebuah organisasi melakukan aksi radikal.
Sehingga dengan melakukan aksi dan tindakan radikal yang
cenderung “nyeleneh” dimata masyarakat, dianggap sebagai
sebuah solusi atau terobosan kontroversial untuk dapat
menyampaikan pesan organisasi ke masyarakat luas. Adanya rasa
ketakutan mendalam, diharapkan oleh sebuah organisasi radikal
akan membuat pesan yang ingin disampaikan tertanam dan
melekat dibenak target khalayak.

Pembahasan

Sejarah Terorisme di Indonesia dan Filipina

Terorisme merupakan suatu tindakan yang di dalamnya mengandung unsur


kekerasan, yang memiliki tujuan untuk menyebarkan teror, sehingga akan berdampak
pada terciptanya ketakutan dan kekhawatiran di dalam masyarakat. Terorisme pada
umunya lebih banyak terdapat di negara-negara yang sistem sosial dan politiknya
belum memiliki kestabilan dalam bidang politik, ekonomi, dan keamanan, dimana
negara-negara yang biasanya belum memiliki kestabilan ini merupakan negaranegara
yang berkembang.

Lalu apa sebenarnya pengertian dari terorisme internasional? Terorisme


Internasional adalah suatu tindakan perlawanan terhadap sistem kekuasaan domestik
atau internasional, baik dalam bidang politik maupun ekonomi yang tidak dapat
diterima oleh suatu kelompok, yang dilakukan dengan tindak kekerasan untuk
menuntut perubahan secara menyeluruh terhadap sistem tersebut. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Kegley dan Witkopf: “Terorisme diartikan kepada aspek perlawanan
terhadap kekuasaan atau dominasi yang menekan, yang kegiatannya sudah terencana
dengan matang dan melakukan tindakan tersebut secara rahasia di dalam suatu
negara”.

Walaupun terorisme bukanlah suatu hal yang baru di dunia internasional,


tetapi terorisme menjadi perhatian utama masyarakat internasional sejak terjadinya

9
peristiwa penyerangan bom terhadap gedung World Trade Center di New York, dan
Markas Pertahanan Amerika Serikat Pentagon, pada 11 September 2001 yang
menewaskan hampir 3.000 korban. Kejadian yang menimbulkan perasaan yang
mencekam di dunia internasional, menyebabkan terorisme menjadi sebuah isu global
dan mempengaruhi kebijakan politik setiap negaranegara di dunia. Sehingga
menjadikan terorisme sebagai musuh internasional yang harus diperangi secara
bersama-sama.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki


17.448 buah pulau dan total luas wilayah sekitar 3,1 juta km2 . Indonesia berbatasan
laut dengan sepuluh negara tetangga dan berbatasan darat hanya dengan tiga negara,
yaitu Timor Leste, Malaysia, dan Papua Nugini. Luasnya wilayah perairan dan
panjangnya garis pantai Indonesia merupakan suatu tantangan tersendiri bagi
Indonesia. Hal ini dikarenakan, perbatasan Indonesia seringkali digunakan sebagai
pintu masuk teroris dan penyelundupan senjata, terutama yang berasal dari wilayah
Filipina Selatan.

Peristiwa-peristiwa terorisme yang terjadi di Indonesia pada umumnya


dilakukan oleh kelompokkelompok yang mengusung nilai dan norma agama tertentu
sebagai dasar aksi mereka yang akhirnya menjadi dan meninggalkan konflik yang
bersifat horizontal di dalam masyarakat. Menurut beberapa pengamat, Indonesia
menarik sebagai target serangan dari “sarang” teroris karena Indonesia memiliki
beberapa faktor. Dua faktor utama karena lemahnya kontrol pemerintah pusat dan
maraknya ketidakstabilan sosial-politik. Faktor lain yang juga menentukan adalah
populasi penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Mengapa populasi penduduk yang mayoritas beragama Islam menjadi faktor


yang menyebabkan Indonesia menjadi target serangan dari sarang teroris? Hal ini
dikarenakan hampir beberapa konflik di Indonesia di sebabkan oleh konflik antar
umat beragama, yaitu konflik yang terjadi antar umat Muslim dan umat Kristiani di
berbagai wilayah yang terdapat di Indonesia, salah satunya adalah konflik yang terjadi
di Ambon.

10
Melihat ke masa lampau, Indonesia memiliki perkembangan sejarah terorisme
yang berkaitan dengan keinginan-keinginan untuk mendirikan negara Islam, bahkan
keinginan ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Jamaah Islamiyah bahkan
telah aktif sejak tahun 90-an di Indonesia. Namun, terorisme mulai menjadi topik
utama di Indonesia ketika terjadinya serangan Bom Bali I pada bulan Oktober 2002.

Tujuan dari aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, masuk ke dalam


kategori criminal terrorisme, karena terorisme yang terjadi di Indonesia didasari oleh
motif kelompok tertentu yang didalamnya terdapat bentuk terror dari suatu agama
atau kepercayaan yang bertujuan untuk melakukan upaya balas dendam.5 Contohnya
saja seperti Jamaah Islamiyah, organisasi radikal ini melandaskan setiap aksiaksi
terorisme yang mereka lakukan dengan berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam.

Lalu siapakah dalang dari aksiaksi terorisme yang terjadi di Indonesia?


Beragam peristiwa peledakan yang terjadi di Indonesia selalu saja dikaitkan dengan
aktifitas kelompok radikal Jamaah Islamiyah dan kelompok Noordin M Top. Seperti
peledakan kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta pada tahun 2000, Kedutaan Besar
Malaysia pada tahun 2000, Bom Bali I pada tahun 2002, Hotel JW Marriot di Jakarta
pada tahun 2003, Bom Bali II pada tahun 2005, serta Hotel JW Marriot dan Ritz-
Carlton di Jakarta pada tahun 2009.

Dalam konteks dinamika perkembangan terorisme, terlihat jelas bahwa


terorisme yang terjadi di Indonesia memiliki target-target yang berbeda, pola-pola
yang berbeda, dan pelaku-pelaku yang berbeda pula. Selain itu, aksi terorisme yang
terjadi setelah tahun 2010 menunjukkan skala yang lebih kecil dibandingkan dengan
tahuntahun sebelumnya yang terlihat dari jumlah aksi serangan teroris yang semakin
berkurang, dan jumlah korban yang semakin berkurang juga.

Sebagai salah satu negara kepulauan, Filipina memiliki garis pantai yang
sangat panjang yakni 36.289 km. Sementara itu Filipina hanya memiliki sedikit luas
wilayah daratan, yaitu mencapai 30.000 km persegi. Karena merupakan sebuah
negara kepulauan, Filipina tidak memiliki perbatasan darat, dan akses keluar masuk di
Filipina di dominasi oleh jalur maritim. Sehingga Filipina memiliki permasalahan
yang serupa seperti yang terjadi di Indonesia, yaitu tantangan mengenai wilayah

11
perbatasan yang seringkali digunakan sebagai pintu masuk teroris dan penyelundupan
senjata.

Awal perkembangan terorisme di Filipina tidak jauh berbeda dengan yang


terjadi di Indonesia, walaupun keberagaman suku, ras dan agama di Filipina tidak
terlalu banyak seperti yang ada di Indonesia. Di Filipina, yang di dominasi oleh
penduduk yang beragama Katolik, mengalami teror-teror dan pemberontakan selama
berpuluh-puluh tahun dari Bangsa Moro yang beragama Muslim di bagian Filipina
Selatan. Konflik-konflik internal yang terdapat di Filipina ini akhirnya menjadi cikal
bakal konteks lahirnya berbagai kelompok teror dalam negeri yang kemudian
menjalin jaringan dengan organisasi teror regional (Jamaah Islamiyah), dan
internasional (Al-Qaeda).

Permasalahan keamanan yang terjadi di Filipina bersumber di daerah Filipina


Selatan, dimana di daerah tersebut terdapat gerakan Muslim Moro yang berusaha
memisahkan diri dari Filipina. Pada tahun 70-an, gerakan separatis yang terdapat di
Filipina Selatan dipimpin oleh Moro National Liberation Front (MNLF), sedangkan
pada tahun 80- an gerakan separatis yang terdapat di Filipina Selatan ini di dominasi
oleh Moro Islamic Liberation Front (MILF). MILF diketahui sebagai pecahan dari
MNLF yang lebih bersifat radikal. Tidak hanya MNLF dan MILF, pada awal tahun
90-an Abu Sayyaf Group muncul sebagai kelompok radikal, dan saat ini dianggap
sebagai ancaman teroris sekaligus kriminal utama bagi pemerintahan Filipina.

Jika seluruh serangan domestik maupun transnasional yang terjadi di negara


ini dihitung, Filipina adalah negara di kawasan Asia Tenggara yang mengalami
insiden terorisme yang paling banyak. Jumlah terorisme di Filipina hampir mencapai
600 insiden dari tahun 1969 hingga 2009. Lalu dari segi jumlah korban, Humans
Rights Watch menyatakan bahwa korban kelompok-kelompok ekstrimis Islam yang
terdapat di Filipina sejak tahun 2000 hingga 2007 telah mencapai lebih dari 1.700
orang.

Peristiwa seperti peledakan di General Santos City pada tahun 2000,


peledakan di Zamboanga City pada tahun 2001, peledakan di Fitmart Store di
Tacurong pada tahun 2002, peledakan Dermaga Sasa di Davao City pada tahun 2003,

12
peledakan Superferry Fourteen di Manila Bay pada tahun 2004, dan peledakan Hotel
di Zamboanga City pada tahun 2011, merupakan aksiaksi terorisme yang terjadi di
Filipina.

Keterkaitan antara Jamaah Islamiyah dan Moro Islamic Liberation Front

Indonesia dan Filipina adalah negara-negara berkembang yang terdapat di


Asia tenggara. Kedua negara ini memiliki ciri khas yang hampir serupa, yaitu sama-
sama negara kepulauan yang memiliki daerah perbatasan yang merupakan perairan.
Perbatasan yang merupakan perairan ini menjadikan kedua negara memiliki
tantangan-tantangan tersendiri untuk menjaga kedaulatan mereka dari serangan-
serangan yang berasal dari luar negara mereka. Kedua negara ini juga samasama
memiliki organisasi-organisasi radikal yang mengancam kedaulatan kedua negara ini.
Apalagi Indonesia dan Filipina juga saling berbatasan di wilayah perairan yang
terdapat di bagian Utara Pulau Sulawesi dengan Filipina bagian Selatan yaitu
Kepulauan Mindanao.

Kedua perairan yang saling berbatasan ini, sempat menjadi ancaman tersendiri
bagi kedua negara. Hal ini dikarenakan kedua jalur perairan yang terdapat di bagian
Utara Pulau Sulawasi dan Kepulauan Mindanao yang terdapat di bagian Selatan
Filipina tersebut sering digunakan untuk melakukan hal-hal yang ilegal seperti
penyelundupan senjata, dan sebagai pintu masuknya teroris yang berada di kedua
negara. Karena perbatasan perairan ini digunakan sebagai pintu masuknya teroris,
maka hal ini sangat berkaitan dengan teroris-teroris yang terdapat di Indonesia dan
Filipina. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, organisasi radikal yang terdapat di
kedua negara yang dibahas di dalam penelitian ini adalah Jamaah Islamiyah dan
MILF.

Keterkaitan antara pejuang militan Islam di Indonesia dengan Mindanao sudah


ada jauh sebelum terciptanya MILF atau Jamaah Islamiyah. Pulau Sulawesi yang
terdapat di Indonesia telah menjalin ikatan perdagangan dengan Mindanao sejak
berabad-abad. Pada tahun 1960an, setelah kekalahan Kahar Muzakkar dan
pemberontakan Darul Islam yang terjadi di Sulawesi Selatan, banyak pengikutnya

13
yang lari ke Filipina selatan, selain ke Malaysia (Sabah, terutamaTawao), dan tempat
lain di Indonesia, terutama Balikpapan dan Samarinda di Kalimantan Timur.

Kahar Muzakkar adalah seorang pendiri Tentara Islam Indonesia yang


akhirnya bergabung dalam organisasi Darul Islam dan memimpin pemberontakan di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Lalu setelah terciptanya Jamaah Islamiyah
dan MILF, maka kedua organisasi ini memulai kerjasama secara sistematis.
Hubungan yang terjalin antara dua organisasi ini dimulai pada pertengahan hingga
akhir tahun 1980an di Afganihstan. Ketika itu kedua organisasi ini mengikuti
pelatihan yang terdapat di Afghanistan. Para pejuang MILF yang sedang mengikuti
pelatihan di Afghanistan pun dilatih dibawah instruktur yang berasal dari Indonesia,
yang sebagian besar merupakan anggota dari Darul Islam. Pelatihan-pelatihan yang
dilakukan oleh Darul Islam terhadap pejuang MILF bertempat di kamp-kamp milik
seorang pemimpin Afghanistan, yang bernama Abdul Rasul Sayyaf.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah Indonesia menumpas


Darul Islam yang semakin lama semakin mengancam kedaulatan Indonesia. Sehingga
pada saat aksi penumpasan yang terjadi pada tahun 1985, beberapa pemimpin-
pemimpin Darul Islam, yaitu Abu Bakar Bashir dan Abdullah Sungkar serta beberapa
anggotanya melarikan diri ke Malaysia. Setelah itu pada Januari 1993, Abdullah
Sungkar bersama Abu Bakar Bashir pun mendirikan Jamaah Islamiyah. Setelah
pendirian tersebut, Jamaah Islamiyah mulai melakukan perekrutan-perekrutan anggota
mereka dan melakukan pelatihanpelatihan anggotanya di Afghanistan. Tidak lama
setelah pelatihan yang dilakukan di Afghanistan, Jamaah Islamiyah memutuskan
memindahkan pelatihan ke Mindanao dengan alasan Mindanao lebih terjangkau dan
lebih efesien. Apalagi saat itu beberapa pemimpin Jamaah Islamiyah sudah akrab
dengan Salamat Hashim yang merupakan pemimpin MILF.12 Keakraban inilah yang
memudahkan Jamaah Islamiyah untuk melakukan pelatihan-pelatihan yang mereka
lakukan di Mindanao.

Setelah melakukan pelatihan anggotanya di Mindanao, pada Oktober 1994,


Zulkarnaen selaku ketua operasi militer Jamaah Islamiyah memberi perintah kepada
lima anggota Jamaah Islamiyah untuk berpindah dari Afghanistan ke Mindanao guna
mendirikan kamp baru dalam rangka melatih pejuang MILF. Lima anggota tersebut

14
adalah Mustofa, mantan ketua Mantiqi III maupun ketua satuan operasi khusus; Nasir
Abbas; Qotadah alias Basyir, seorang ahli peledak; Okasha alias Zubair, warga
Malaysia dari Sabah; dan seorang yang bernama Nasrullah, yang pernah mengunjungi
Mindanao pada 1989-1990 yang menjadi pemandu kelompok.13 Pelatihan yang
dilakukan oleh Jamaah Islamiyah ini merupakan sebuah balas jasa kepada MILF yang
memberikan mereka tempat untuk melakukan pelatihan. Dimana pelatihan tersebut
berguna untuk bekal pejuang MILF melakukan aksi-aksi yang bertujuan untuk
melepaskan diri dari Filipina.

Setelah kelima anggota tersebut sampai di Kamp Abu Bakar, mereka langsung
melakukan pelatihanpelatihan untuk para pejuang MILF. Pelatihan-pelatihan yang
dilakukan oleh Jamaah Islamiyah terhadap MILF sedianya termasuk pelajaran ketat
tentang penggunaan peluncur granat, mortir, senjata anti-tank serta howitzer, selain
senjata kecil. Lalu Nasir Abbas dengan restu Hashim mengambil inisiatif untuk
mencari lokasi yang relatif aman dan terpencil untuk menjalankan pelatihan. Setelah
melakukan pencarian, akhirnya lokasi tersebut ditemukan di daerah bagian atas kamp
Abu Bakar, yang berdekatan dengan perbatasan propinsi antara Maguindanao dan
Lanao del Sur. Lalu menamakan kamp baru tersebut dengan Hudaibiyah.

Kamp Hudaibiyah ini diyakini sebagai kamp bagi anggota Jamaah Islamiyah
untuk melakukan pelatihan-pelatihan bagi para pejuang MILF. Daerah untuk kamp ini
dipilih karena situasi, lingkungan dan kondisinya memungkinkan mereka untuk
melakukan pelatihan yang menggunakan bahan-bahan peledak dan penggunaan
senjata tersebut tanpa membahayakan masyarakat di Mindanao serta tanpa diketahui
oleh pemerintahan Filipina.

Tidak hanya memiliki keterkaitan di dalam melakukan pelatihan-pelatihan,


Jamaah Islamiyah dan MILF juga memiliki kerjasama dalam melakukan aksi-aki
pengeboman yang terdapat di kedua negara. Seperti pengeboman kediaman Dubes
Filipina di Jakarta pada Agustus 2000 dan pengeboman Hari Rizal di Manila pada
Desember 2000. Pengeboman kediaman Dubes Filipina di Jakarta pada Agustus 2000,
yang dilakukan oleh Abdul Jabar bertujuan sebagai aksi menunjukkan protesnya
kepada pemerintahan Filipina yang telah berlaku tidak adil terhadap MILF. Dalam
aksi pengeboman ini dapat kita lihat adanya hubungan emosional yang tercipta antara

15
Jamaah Islamiyah yang terdapat di Indonesia terhadap MILF yang berada di Filipina.
Motif ini juga didasari oleh pandangan Jamaah Islamiyah yang memiliki ideologi
yang sama dengan MILF.

Jamaah Islamiyah dan MILF sama-sama memilki keterkaitan dan menjalin


sebuah kerjasama. Jamaah Islamiyah secara aktif membantu MILF dalam
memberikan pelatihanpelatihan mengenai kemiliteran, dimana warga Filipina maupun
warga Indonesia sama-sama merupakan pelatih maupun siswa. Begitu juga MILF
yang memberikan kamp kepada Jamaah Islamiyah yang terdapat di dekat utara bagian
kamp Abu Bakar yang merupakan kamp terbesar MILF. Tidak hanya itu, dalam setiap
aksi teroris yang mereka lakukan, kedua organisasi ini juga memiliki motif-motif
yang saling berkaitan satu sama lain.

Sehingga dengan adanya visi yang sama yaitu mendirikan negara sendiri,
mempunyai kesamaan dalam melakukan serangan-serangan dan ancaman yang sama
dalam setiap aksi yang dilakukan, memiliki motif yang sama dalam setiap aksi dan
tindakan yang dilakukan, serta adanya interaksi-interaksi dan kerjasama satu sama
lainnya, Jamaah Islamiyah dan MILF memang memiliki suatu keterkaitan yang kuat
satu sama lainnya yang menyebabkan Indonesia dan Filipina melakukan kerjasama
dalam mengatasi mata rantai terorisme yang terdapat di kedua negara.

Kerjasama Indonesia dengan Filipina

Akibat dari kampanye global mengenai terorisme internasional, setiap


negara memiliki kewajiban untuk menanggulangi dan mengatasi terorisme, dengan
melakukan penyelidikan terhadap terorisme yang mungkin dapat berkembang di
setiap negara. Kampanye global ini juga menjadi faktor pemicu bagi negara-negara di
Asia Tenggara untuk mengatasi terorisme yang terdapat di kawasan regional mereka.
Dimana di dalam kawasan tersebut dihuni oleh negara-negara yang berkembang, yang
masih rentan terhadap isu-isu dan berkembangnya terorisme untuk berkerjasama
dalam bidang menumpas terorisme. Apalagi setelah satu tahun dari peristiwa
peledakan WTC dan Pentagon, perhatian masyarakat internasional kembali tercuri
dengan adanya peristiwa peledakan yang terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di
Jalan Legian, Bali, Indonesia pada 12 Oktober 2002.

16
Peledakan yang dikenal dengan peristiwa Bom Bali I ini menyebabkan negara-
negara yang terdapat di Asia Tenggara untuk lebih memperkuat lagi daerah kawasan
yang terdapat di sekitar Asia Tenggara dengan cara melakukan sebuah kerjasama
dalam bidang keamanan. Seperti kerjasama yang dijalin antara Indonesia dan Filipina
dalam bidang pertahanan dan keamanan. Kerjasama dalam bidang keamanan yang
dilakukan antara Indonesia dan Filipina yang dibahas dalam penelitian ini terjadi pada
21 Juni 2005, yang disepakati di Manila. Dalam hal ini kedua negara dirasa perlu
untuk dapat berkerjasama, karena selain memiliki faktor geografis yang saling
menghubungkan kedua negara dan banyaknya keterkaitan antara kelompok radikal
yang terdapat di Indonesia dan Filipina, faktor pemicu lainnya adalah peristiwa
terjadinya peledakan di Rumah Duta Besar Filipina untuk Indonesia yaitu Leonidas
Caday pada 1 Agustus 2000.

Selain dari faktor peledakan tersebut, tiga warga negara indonesia juga
menjadi korban penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok muslim radikal yang
terdapat di Pulau Jolo bagian Filipina Selatan pada 30 Maret 2005. Faktor-faktor ini
dianggap menjadi pertimbangan bagi kedua negara untuk melakukan kerjasama untuk
dapat menjaga keamanan negara, warga negara, dan kawasan regional, baik secara
langsung maupun tidak langsung dari kegiatan terorisme yang sering terjadi.

Banyaknya kejahatan-kejahatan lintas batas yang terjadi di antara kedua


negara, dan rawannya daerah perbatasan yang terdapat di kedua negara menyebabkan
kedua negara ingin memperkuat hubungan keamanan yang lebih erat lagi. Sehingga
pada 21 Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan kunjungan ke
Manila. Kunjungan yang membahas mengenai keamanan itu akhirnya menciptakan
sebuah kerjasama yang disepakati dalam sebuah Joint Press Statement atau deklarasi
bersama antara Kepala Kepolisian Filipina dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Dimana dengan adanya deklarasi bersama tersebut diharapkan akan dapat
menjadi payung pengaturan kerjasama kedua negara, tidak hanya dalam bidang
keamanan tetapi juga di berbagai bidang, seperti bidang politik, ekonomi, serta bidang
sosial dan budaya.

Setelah melakukan proses deklarasi bersama pada 21 Juni 2005, Pemerintah


Indonesia dan Filipina terus berupaya untuk mengatasi dan menangani masalah

17
terorisme yang sering terjadi di kedua negara. Kedua negara berupaya untuk
meningkatkan kerjasama dalam bidang keamanan untuk mengungkap pelaku
terorisme. Aksi dari tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia dan di Filipina
dianggap sebagai tindakan yang dapat mengancam stabilitas kawasan yang terdapat di
kedua negara, maupun di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan aksi dari
tindakan terorisme merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan secara terorganisir,
dapat terjadi dimana dan kapan saja.

Dukungan yang saling diberikan oleh kedua negara membawa kondisi


Indonesia dan Filipina menjadi lebih stabil, serta kerjasama yang dilakukan oleh
kedua negara berhasil membantu penyelesaian konflikkonflik mengenai isu-isu
keamanan yang terdapat di kedua negara. Banyaknya peristiwa-peristiwa terorisme
yang terjadi dan melibatkan kedua negara menjadi faktor-faktor yang menyebabkan
kedua negara ini mempererat kembali kerjasama keamanan yang pernah terjalin
sebelumnya.

Kerjasama kepolisian yang awalnya hanya dalam bentuk deklarasi bersama


semakin diperkuat dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Indonesia-Filipina menangani Masalah Kejahatan Transnasional dan Bentuk
Kerjasama Kepolisian Lainnya Pada 18 November 2005 yang bertempat di Jakarta.
Kerjasama ini dilakukan kedua negara dikarenakan meningkatnya ancaman kejahatan
transnasional yang terdapat di kedua negara. Sehingga dalam melakukan kesepakatan
ini, kedua negara akan melakukan prosedur-prosedur hukum yang sejalan dengan
hukum dan peraturan yang berlaku di masingmasing negara. Sebagai sesama negara
demokrasi di Asia Tenggara, hubungan diplomatik dan saling pengertian kedua
negara ini mengantarkan Indonesia dan Filipina sebagai dua negara yang dikenal
dunia cukup demokratis di Asia Tenggara. Bahkan, pada 2009, baik Indonesia
maupun Filipina menjadi ikon negara demokrasi di Asia. Pengakuan ikon demokrasi
itu dikemukakan para diplomat dan akademisi Indonesia dan Filipina dalam seminar
bertajuk “Forum on Democracy and Political Violence: Lessons from Indonesia and
Philippines” di Manila, Selasa, 3 November 2009.

Namun demikian, di balik persoalan politik dan demokrasi, ada potensi


ancaman besar terhadap keberlangsungan demokrasi tersebut, baik di Indonesia

18
maupun di Filipina. Ancaman itu berupa gerakan-gerakan teror dan terorisme yang
seolah saling berkejaran dengan capaian demokrasi. Sejak dibukanya hubungan
diplomatik Indonesia dan Filipina pada tahun 1949, hubungan antara Indonesia dan
Filipina yang saling menguntungkan di berbagai bidang telah berkembang dengan
sangat signifikan. Apalagi baik Indonesia maupun Filipina adalah negara yang sama-
sama membangun ASEAN pada tahun 1967. Pada masa ini, dengan semakin
berkembangnya pengertian keamanan kearah yang lebih bersifat multidemensional
dan dengan adanya peristiwa terorisme yang marak terjadi di kedua negara, kedua
negara ini bertekad untuk dapat memperkuat dan mempertahankan hubungan bilateral
dalam jangka waktu panjang untuk menjaga kondisi kawasan Asia Tenggara menjadi
lebih stabil dan aman. Pada tanggal 8 Maret 2011, Presiden Filipina yaitu Benigno S.
Aquino III, melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. dalam kunjungan ini
kedua negara tidak hanya membicarakan sekedar tentang keikutsertaan Indonesia
menjadi bagian anggota dari IMT, tetapi juga melakukan perpanjangan Nota
Kesepahaman antar Pemerintah Indonesia – Filipina menangani Masalah Kejahatan
Transnasional dan Bentuk Kerjasama Kepolisian Lainnya, yang sebelumnya pernah
disepakati pada 18 November 2005.

Dalam kunjungan tersebut, baik Aquino III maupun Yudhoyono dalam


keterangan pers bersama di Istana Merdeka, Jakarta, mengatakan negara-negara di
kawasan ASEAN tidak boleh menjadi surga bagi berkembangnya kekuatan teroris dan
transnational crime. Selain itu, Presiden Yudhoyono mengatakan kerja sama
pemberantasan terorisme juga penting untuk dilakukan karena kedua negara
menghadapi ancaman teroris yang sama sebab kelompok teroris memiliki network
terorism atau jaringan terorisme yang terdapat dikedua negara. Pada kesempatan itu,
Aquino III pun menegaskan Filipina dan Indonesia adalah dua negara yang memiliki
banyak kesamaan permasalahan, yaitu salah satunya adalah adanya ancaman
terorisme.16 Apabila dilihat dari kerjasama keamanan yang sebelumnya antar dinas
kepolisian kedua negara, dapat dilihat bahwa kerjasama yang dilakukan oleh
kepolisian Indonesia dan Filipina membawa kedua negara ini kepada sebuah kondisi
yang mulai stabil dan dapat mengurangi kelompok radikal yang terdapat di kedua
negara. Pada 18 November 2005, kerjasama kepolisian Indonesia dan Filipina sudah

19
dibentuk dengan ditandatanganinya nota kesepahaman. Kesepakatan ini
ditandatangani dan diimplementasikan dengan sangat baik sehingga kedua negara
dapat membantu konflik-konflik yang sedang kedua negara ini hadapi.

Perpanjangan Nota Kesepahaman antar kedua negara yang ditandatangani di


Jakarta tersebut berisi tentang kesepakatan kedua negara untuk lebih meningkatkan
kembali perjanjian yang sebelumnya sudah ada. Diantara lain kerjasama ini selain
membahas mengenai mengatasi terorisme, juga mengatasi masalah di bidang
perdagangan gelap obat terlarang, penyelundupan senjata, perdagangan manusia,
pencurian ikan, pembajakan di laut, perompakan bersenjata di laut, illegal cargo dan
kejahatan di laut lainnya, kejahatan dunia maya, pencucian uang, kejahatan ekonomi
internasional dan kejahatan perbankan, pemalsuan dokumen perjalanan, dan,
kejahatan-kejahatan lain yang disetujui bersama oleh kedua pihak. Komitmen kedua
negara terhadap pertahanan dan keamanan bersama sampai saat ini masih terjalin
dengan baik. Kedua negara dapat memainkan peran-perannya masing-masing dalam
mengurangi isu-isu radikalisme, dan memutuskan mata rantai terorisme yang terdapat
di kedua negara, dengan cara dan kesepakatan yang berlandaskan dengan hukum
nasional masingmasing kedua negara. Kerjasama Indonesia dan Filipina juga
membawa kedua negara ini kedalam suatu hubungan yang baik, sehingga
menyebabkan semakin eratnya hubungan bilateral kedua negara, baik dalam hal
keamanan, pendidikan, perdagangan, kebudayaan, dan kerjasama dibidang yang
lainnya. Dengan kerjasama erat yang terjalin antar kedua negara, dengan secara tidak
langsung kedua negara dapat memberikan sumbangsih kepada keamanan kawasan,
baik secara regional, di Asia Tenggara, maupun secara dunia internasional.

Kesimpulan

Kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara lakukan pada tahun 2005 adalah
kerjasama dalam bentuk dinas kepolisian. Kerjasama yang disepakati dalam deklarasi
bersama itu dideklarasikan pada 21 Juni 2005 di Manila, dimana dalam deklarasi ini
kedua negara sepakat untuk menumpas segala bentuk kejahatan transnational crime
maupun counter terrorism. Setelah itu untuk lebih menjalin sebuah kerjasama yang
lebih serius, Indonesia dan Filipina mengemban suatu kerjasama yang lebih serius lagi
dengan ditandatanganinya kesepakatan kerjasama dalam bidang keamanan, dalam

20
bentuk Nota Kesepahaman antar dinas kepolisian yang ditandatangani pada 18
November 2005.

Dalam kerjasama tersebut kedua negara berhasil melakukan peran-perannya


terhadap satu dengan yang lainnya. Selain itu dalam melakukan kerjasama tersebut
kedua negara juga melakukan pelatihanpelatihan kepolisian dan mengembangkan
kapasitas kepolisian kedua negara. Kedua negara juga membahas mengenai batas-
batas wilayah perairan yang dijadikan teroris-teroris sebagai jalur untuk masuknya
terorisme yang berada di Indonesia maupun Filipina. Selain menjadi jalur masuknya
terorisme, batas perairan kedua negara juga dijadikan sebagai jalur penyelundupan
senjata api, dan di perbatasan kedua negara banyak sekali terdapat tindak kriminal
seperti illegal fishing. Setelah lima tahun berjalannya perjanjian tersebut, kerjasama
yang dilakukan kedua negara membuat kedua negara menjadi lebih stabil dari isu-isu
terorisme yang terdapat di kedua negara.

Hal ini yang menyebabkan kedua negara kembali melakukan perpanjangan


kerjasama di tahun dalam bentuk nota kesepahaman pada 8 Maret 2011. Selain itu
faktor kedua negara melakukan perpanjangan perjanjian tersebut berguna untuk
mempererat hubungan bilateral kedua negara agar dapat menjadi lebih baik lagi
daripada sebelumnya. Kedua negara melakukan perpanjangan kerjasama bertujuan
untuk menjaga stabilitas daerah kawasan regional Asia Tenggara, serta bertekad
dengan adanya perpanjangan kerjasama ini, kedua negara dapat memutuskan mata
rantai terorisme yang memiliki keterkaitan di kedua negara, yang sampai saat ini
masih menghantui Indonesia dan Fiipina, dan dapat mengancam kedaulatan kedua
negara.

Daftar Pustaka

21
Abdullah Abidin, Faktor-faktor radikalisme dan terorisme, www.liputan6.com, 21
April 2017.
Rian Novianto, Hubungan Bilateral Indonesia-Rusia Pasca Tragedi sukhoi 2012,
skipsi., Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2013, hal 11.
Steven L.Spiegel, World Politics in A New Era (Orlando: Hartcourt College
Publishers, 1995)
T.May Rudy, Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin (Bandung : Refika Aditama, 2002) hal 5.
William D Coplin, Pengantar Politik Internasional Suatu Telaah, Terj. Marcedes
Marbun (Bandung: Sinar Baru Argelsindo, 2003).
Yulius P. Hermawan, Transformasi dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2008) hal 43.
Yanuar Ikbar, Metodologi & Teori Hubungan Internasional (Bandung : PT Refika
Aditama, 2014) hal 273.

22

You might also like