De Jure: Urgensi Judicial Review Satu Atap Oleh Mahkamah Konstitusi
De Jure: Urgensi Judicial Review Satu Atap Oleh Mahkamah Konstitusi
De Jure: Urgensi Judicial Review Satu Atap Oleh Mahkamah Konstitusi
Abstract
The Constitutional Court and the Supreme Court are judicial power actors who, based on the
provisions of the constitution, have the same authority to examine judicial regulations even at
different levels. The Constitutional Court examines the law against the Basic Law, while the
Supreme Court examines the statutory provisions under the law against the law. These
provisions cause a power point of contact between the Constitutional Court and the Supreme
Court in a judicial review. the tangent precisely in practice has the potential to cause polemic,
as happened in the decision of the Constitutional Court No. 30 / PUU-XVI / 2018 and MA
Decision No.65 P / HUM / 2018. These two decisions actually contradict each other in deciding
the legal status of political party functionaries who are running for candidates for DPD
members. The potential to cause a lot of polemic with the practice of judicial review on two
roofs proves the need for proper legal politics to address this issue. In this study using the
method of doctrinal research, using a theoretical approach (theoretical approach), a statutory
approach, and a conceptual approach. Sources of data used in the form of primary and
secondary legal materials through literature review. This study concludes that the concept of
two-roof testing practiced in Indonesia is not an ideal choice because it raises many problems,
both technically and theoretically. Thus, placing the Constitutional Court as the sole institution
authorized to conduct legal norm testing is a legal political choice that is needed today in order
to realize effective justice that provides legal certainty for justice seekers.
Keywords: One Roof Judicial Review; Constitutional Court; Supreme Court
PENDAHULUAN
Hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia membawah
konsekuensi terhadap cabang kekuasaan kehakiman di Indonesia yakni praktik
kekuasaan kehakiman dengan sistem bifurkasi (bifurcation system). Dalam sistem
bifurkasi, kekuasaan kehakiman dibagi menjadi dua cabang utama, yaitu cabang
peradilan biasa (ordinary court) yang bermuara pada Mahkamah Agung dan cabang
peradilan konstitusi (constitutional court) yang mempunyai wewenang untuk
melakukan judicial review suatu produk undang-undang terhadap konstitusi, dalam hal
ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.1Namun, pelaksanaan wewenang judicial
review dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia tidak secara absolut memberikan
1
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan Hukum”,
Kompas, 24 September 2002. Dikutip dari Ni’matul Huda, (2008), UUD 1945 dan Gagasan Amandemen
Ulang, Jakarta: Rajawali Pers, hlm 252.
142
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
2
Terjadi dualisme penegakan hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 033/PUU-
IV/2006. Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut memutuskan bahwa penerapan “sifat melawan
hukum materiil” dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang
Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan
inkonstitusional. Namun, Mahkamah Agung pasca putusan tersebut ternyata masih menggunakan
penafsiran “sifat melawan hukum materiil” mengikuti yurisprudensi, misalkan dalam putusan Nomor
103K/Pid/2007.
3
Mahkamah Agung dalam putusan pada tingkat kasasi Nomor 1.110/K/Pid.Sus/2012
menjatuhkan hukuman dengan menggunakan dasar hukum yang telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi yakni Pasal 76 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, pembatalan terhadap pasal
tersebut dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-V/2007 tentang Pengujian terhadap UU
No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
4
Lihat Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung No. 65
P/HUM/2018
143
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
bertentangan langsung dengan aturan yang lebih tinggi, dalam hal ini Undang-Undang
Dasar.
Hadirnya kewenangan judicial review merupakan perkembangan dari gagasan modern
tentang negara hukum demokratis. Secara teoritik dimaksudkan: pertama, mencegah
warga negara dari dominasi kekuasaan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) oleh lembaga negara, serta menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam
hubungan peran antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua,
menjamin dan melindungi agar setiap warga negara terlindung dari penyalahgunaan
kekuasaan yang dapat mencedrai hak–hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi.5
Konflik hukum yang terjadi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
mungkin akan terus menimbulkan persoalan apabila masih terjadi dualisme pengujian
norma hukum di Indonesia. Karena tidak mustahil terjadi persinggungan normatif secara
vertikal yang justru bersifat kontradiktif, hal tersebut sangat mungkin apabila dalam
praktik kedua lembaga tersebut menggunakan paradigma hukum yang berbeda untuk
pengujian peraturan perundang-undangan terkait, yang dapat saja berujung pada putusan
yang berbeda secara mencolok.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian doktrinal6, karena selama yang dikaji adalah
norma hukum maka penelitian tersebut merupakan penelitian hukum doktrinal. Adapun
dalam penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum yang meliputi bahan hukum
Primer (primary sources of authorities), bahan hukum sekunder (secondary sources of
authorities), serta bahan hukum tersier. Dalam penelitian hukum yang dimaksudkan
dengan bahan hukum primer adalah semua norma hukum yang berkaitan dengan
penelitian ini, dibentuk atau dibuat secara resmi oleh lembaga negara yang berwenang
membuat aturan tersebut.7 Untuk bahan hukum sekunder adalah seluru informasi
tentang hukum, seperti karya-karya akademis, buku, hasil penelitian, dan lainnya.
Sementara untuk bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang melengkapi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.8
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data bahan hukum dengan studi
kepustakaan, yaitu mengkaji berbagai aturan-aturan terkait yang relevan dengan
penelitian dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Dalam
penelitian ini menggunakan tiga metode pendekatan, yakni: pertama, pendekatan kasus
(case approach), adalah pendekatan dengan menelaah kasus-kasus berkaitan dengan
penelitian ini. Kedua, pendekatan perundang-undangan (statute approach), adalah
pendekatan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penelitian. Ketiga, pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan ini dipilih
karena penelitian ini beranjak doktrin-doktrin dalam bidang ilmu hukum. Dari penelitian
5
Jimlly Ashiddiqie, (2005), Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
Jakarata: Konstitusi Press, hlm 11.
6
Penelittian hukum dibagi dalam dua ragam pendekatan yaitu, (i) pendekatan penelitian hukum
doktrinal; (ii) pendekatan penelitian hukum non-doktrinal. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, (2013),
Hukum Konsep Dan Metode, Malang: Setara Press, hlm 35.
7
Ibid., hlm 79.
8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2007), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm 33.
144
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
ANALISIS
1. Permasalahan Judicial Review Dua Atap
Konsep judicial review secara sederhana dipahami sebagai konsep untuk menguji
peraturan tertulis yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Istilah judicial menunjukan
kewenangan lembaga judiciary.Sementara, cakupan pengertiannya sangat luas karena
tidak hanya menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang diuji, tetapi juga
berkaitan dengan segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
dibawah UUD.9
Judicial review merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji keabsahan
dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif dihadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk-
produk cabang kekuasaan legilatif dan eksekutif adalah konsekuensi dari dianutnya
prinsip check and balances berdasarkan pada doktrin pemisahan kekuasaan (separation
of power).10 Oleh karena itu, kewenangan untuk melakukan judicial review melekat
pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian dilakukan
bukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen maka pengujian tersebut dinamakan
legislative review. Jika pengujian perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah yang
berada pada struktur yang lebih tinggi terhadap produk perundang-undangan yang
dihasilkan oleh pemerintah yang berada dibawahnya, maka pengujian tersebut
dinamakan administrative review atau executive review.11Konteks tulisan ini, yang
dimaksud dengan pengujian ialah yang diberikan kepada lembaga peradilan, sehingga
disebut sebagai judicial review.
Judicial review dalam sistem hukum Indonesia memberikan dan membagi kewenangan
tersebut kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung. Mengenai pembagian kewenangan judicial review antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah secara eksplisit diatur dalam UUD
NRI Tahun 1945 tepatnya dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1) mengatur bahwa:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai kewenanagan lain yang diberikan oleh undang-undang”. Sementara itu
dalam ketentuan pasal 24C ayat (1) mengatur bahwa: “Mahkamah konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa wewenang
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Merujuk pada ketentuan di atas maka kewenanagn judicial review yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terdapat perbedaan dalam hal obyek dan
9
Jimly Ashiddiqie, Model-Model … op. cit., hlm 2-3.
10
Abdul Mukthie Fadjar,(2006), Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Jakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, hlm 34-35..
11
Ni'matul Huda, (2008), UUD 1945 dan Gagasan..., Op.Cit., hlm 29-30.
145
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
12
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Pengkajian Konstitusi
Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang Undangan, (Jakarta: Tim Pengkajian Konstitusi
Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan), hlm 30-31.
146
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
13
Jimly Assihiddiqie,(2006), Perihal Undang-Undang, Kepanitraan MKRI, hlm 7.
14
Ni’matul Huda, (2018), Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, Cetakan
Pertama, Yogyakarta: FH UII Press, hlm 2.
147
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
15
Janpatar Simamora, (2013),Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Vol.25, No.3, Oktober, hlm 390.
16
Maftuh Effendi,(2013), Kewenangan Uji Materill Peraturan Perundang-Undangan di Bawah
Undang-Undang, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamh Agung RI, hlm 46
17
https://Www.Google.Com/Amp/S/Amp.Kompas.Com/Nasional/Read/2018/04/10/10161061/Sid
ang-Uji-Materil-Tertutup-Ma-Sebut-Karena-Batas-Waktu. Diakses 29 Februari 2020.
18
Data dari Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan.Lihat https://leip.or.id/statistik-
data-perkara-mahkamah-agung.diakses 29 Februaru 2020.
148
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
berada dibawahnya. Olehnya itu Mahkamah Agung tidak perlu lagi dibebankan dalam
kewenanganjudicial review.19
Kedua, secara teknis perbedaan yang mencolok antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahakamh Agung adalah tidak adanya mekanisme persidangan jarak jauh
(teleconference) di Mahakamh Agung, sementara di Mahkamah Konstitusi tersedia
mekanisme persidangan jarak jauh. Dengan mekanisme teleconference akan
mempermudah para pihak terutama yang berada di daerah yang jangkauannya jauh
dengan institusi Mahkamah Agung, yang ingin melakukan judicial review sebuah perda.
Dengan tidak adanya mekanisme persidangan jarak jauh akan sangat mempersulit para
pencari keadilan, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan
besar yang terdiri dari banyak pulau sehingga menjadi beban bagi masyarakat atau
pemerintah daerah. Serta dengan proses pengujian yang tidak transparan dalam
persidangan uji materil maka bisa dikatakan bahwa proses pengujian yang selama ini
dilakukan di Mahkamah Agung telah melanggar asas independensi dan impartial juga
asas peradilan cepat dan biaya ringan.20
Melihat banyaknya perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung setiap tahunnya yang
berakibat pada tidak efektifnya proses beracara, khususnya untuk perkara uji materi,
maka sudah saat untuk melakukan pembenahan dengan mengurangi beban perkara yang
dihadapi oleh Mahkamah Agung. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan
merubah sistem judicial review dimana Mahkamah Agung tidak perlu diberikan
kewenangan melakukanjudicial review lagi, kewenangan tersebut cukup dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi. Pilihan tersebut menjadi semakin rasional mengingat
kemungkinan akan terjadi pengurangan beban perkara yang ditangani oleh Mahkamah
Konstitusi ketika sudah dibentuknya peradilan khusus yang menangani sengketa
pilkada.
Keberadaan peradilan khusus pilkada telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 157 ayat
(1) bahwa: “perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan
peradilan khusus”. Pembentukan peradilan khusus pilkada direncanakan akan dibentuk
sebelum diselenggarakan pilkada serentak 2024. 21 Jika peradilan khusus pilkada akan
terbentuk tentu jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi akan berkurang
secara drastis, mengingat banyak perkara yang masuk di Mahkamah Konstitusi adalah
sengketa pilkada.
3. Judicial Review Satu Atap Dibawah Mahkamah Konstitusi
Dalam konsep negara hukum demokratis (democracy rechsttaat) pembuatan kebijakan
untuk pelaksanaan pemerintahan tidak hanya di fokuskan pada aspek legalistas
19
Uji materil di Mahkamah Agung dilakukan oleh hakim yang berada di Kamar Tata Usaha
Negara, oleh karena itu penulis hanya membandingkan jumlah perkara yang ditangani oleh hakim di
Kamar Tata Usaha Negara.Jika mengambil jumlah perkara secara keseluruan di Mahkamah Agung maka
tentu tidak tepat jika diperbandingkan karena banyak jenis sengketa yang ditangani oleh Mahkamah
Agung dengan sistem kamar berbeda, sesuai dengan jenis perkara yang dihadapi.
20
Adapun proses persidangan di Mahkamah Agung selama ini telah melanggar Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ditegaskan bahwa seluruh pemeriksaan
pengadilan terbuka untuk umum dan putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
21
Lihat ketentuan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota
149
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
kebijakan tersebut (rechmatigheid van bestuur), tetapi harus fokus juga pada aspek
efisiensi (doelmatigheid) dan aspek efektivitasnya (doeltreffenheid) dari kebijakan yang
dibuat agar pelaksanaannya bisa menimbulkan kemanfaatan dan keadilan bagi
masyarakat luas.22 Apabila tolak ukur tersebut kita kontekskan dengan sistem judicial
review yang dipraktikkan saat ini berada dalam dua atap sering menimbulkan koflik
yang berujung pada tidak tercapainya kepastian hukum, efisiensi dan efektivitas bagi
para pencari keadilan. Dengan demikian perlu adanya politik hukum pembaharuan
sistem judicial review dengan mekanisme satu atap yang kewenangan judicial review
bisa difokuskan kepada Mahkamah Konstiusi selaku pelindung konstitusi (the guardian
of constitution).
Pilihan judicial review dengan sistem satu atap yang diintegrasikan di bawah
Mahkamah Konstitusi didasari pada pertimbangan bahwa kewenangan judicial review
berada dalam dua atap tidak hanya menyebabkan terjadinya pertentangan putusan antara
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tetapi juga melahirkan polemik hukum
yang cukup serius dalam praktik ketatanegaraan saat ini oleh karena putusan kedua
Lembaga tersebut sama-sama memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak saling
membatalkan satu sama lain dan apabila tidak diatasi tentu akan menjadi preseden buruk
dalam praktik ketatata negaraan kita.
Selain itu, pembentukan peradilan khusus penyelesaian sengketa pemilihan kepala
daerah yang berakibat pada mengurangnya beban kerja Mahkamah Konstitusi sehingga
Mahkamah Konstitusi hanya fokus pada tugas utamanya sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yakni menguji undang-undang terhadap
Undang Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dari wewenang
tersebut, hakim-hakim Mahkamah Konstitusi nyaris hanya mengadili sengketa
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, itupun tidak rutin jika di
bandingkan dengan beban kerja hakim-hakim di Mahkamah Agung sebagai judex juris
sehingga tepat kiranya jika pengujian semua norma hukum terpusat di Mahkamah
Konstitusi.
KESIMPULAN
Bedasarkan permasalahan sebagaimana terurai dalam pembahasan diatas maka yang
menjadi kesimpulan adalah: Proses judicial review yang dipisahkan antara Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan pilihan sistem yang tidak ideal baik secara
teknis maupun teoritis, serta berpotensi menimbulkan konflik hukum yang rumit. Oleh
karena itu, kedepannya perlu dibuat desain sistem yang tepat dengan cara
mengintegrasikan kewenangan pengujian paraturan perundang-undangan kepada satu
lembaga saja, yaitu Mahkamah Konstitusi. Kedepannya Mahkamah Konstitusi harus
berfungsi sebagai penafsir tunggal peraturan perundang-undangan karena Mahkamah
Konstitusi merupakan penafsir konstitusi. Mahlamah Konstitusi harus mampu menjamin
konsistensi peraturan perundang-undangan, olehnya itu kewenangan Mahkamah
Konstitudi difokuskan pada penyelesaian konflik-konflik hukum ketatanegaraan,
sementara Mahkamah Agung idealnya difokuskan pada penyelesaian konflik hukum
22
Philipus M. Hadjon, et.ac., (2012), Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan
Kedua, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, hlm 6-7
150
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
Daftar Pustaka
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan
Hukum”, Kompas, 24 September 2002.
Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Jakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006.
Jimly Ashiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
Jakarata: Konstitusi Press, 2005.
----------, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Kepanitraan MKRI, 2006.
Janpatar Simamora, Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Vol.25, No.3,
Oktober 2013.
Maftuh Effendi, Kewenangan Uji Materill Peraturan Perundang-Undangan di Bawah
Undang-Undang, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamh
Agung RI, 2013.
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Pers,
2008).
----------, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Yogyakarta: FH UII Press, 2018.
Philipus M. Hadjon, et.ac.,Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan K-
2, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, 2012.
Tim Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian
Peraturan Perundang Undangan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2014.
Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan.Lihat https://leip.or.id/statistik-
data-perkara-mahkamah-agung.diakses 29 Februaru 2020.
https://Www.Google.Com/Amp/S/Amp.Kompas.Com/Nasional/Read/2018/04/10/1016
1061/Sidang-Uji-Materil-Tertutup-Ma-Sebut-Karena-Batas-Waktu. Diakses
29 Februaru 2020.
151
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 103K/Pid/2007.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-V/2007.
152