De Jure: Urgensi Judicial Review Satu Atap Oleh Mahkamah Konstitusi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

ISSN Print : 2715-9531

ISSN Online : 2716-0467


Volume 1 Nomor 2, Juni 2020
de Jure
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Khairun

Urgensi Judicial Review Satu Atap Oleh Mahkamah


Konstitusi

Tenri Wulan Aris


Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, e-mail: [email protected]

Abstract
The Constitutional Court and the Supreme Court are judicial power actors who, based on the
provisions of the constitution, have the same authority to examine judicial regulations even at
different levels. The Constitutional Court examines the law against the Basic Law, while the
Supreme Court examines the statutory provisions under the law against the law. These
provisions cause a power point of contact between the Constitutional Court and the Supreme
Court in a judicial review. the tangent precisely in practice has the potential to cause polemic,
as happened in the decision of the Constitutional Court No. 30 / PUU-XVI / 2018 and MA
Decision No.65 P / HUM / 2018. These two decisions actually contradict each other in deciding
the legal status of political party functionaries who are running for candidates for DPD
members. The potential to cause a lot of polemic with the practice of judicial review on two
roofs proves the need for proper legal politics to address this issue. In this study using the
method of doctrinal research, using a theoretical approach (theoretical approach), a statutory
approach, and a conceptual approach. Sources of data used in the form of primary and
secondary legal materials through literature review. This study concludes that the concept of
two-roof testing practiced in Indonesia is not an ideal choice because it raises many problems,
both technically and theoretically. Thus, placing the Constitutional Court as the sole institution
authorized to conduct legal norm testing is a legal political choice that is needed today in order
to realize effective justice that provides legal certainty for justice seekers.
Keywords: One Roof Judicial Review; Constitutional Court; Supreme Court

PENDAHULUAN
Hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia membawah
konsekuensi terhadap cabang kekuasaan kehakiman di Indonesia yakni praktik
kekuasaan kehakiman dengan sistem bifurkasi (bifurcation system). Dalam sistem
bifurkasi, kekuasaan kehakiman dibagi menjadi dua cabang utama, yaitu cabang
peradilan biasa (ordinary court) yang bermuara pada Mahkamah Agung dan cabang
peradilan konstitusi (constitutional court) yang mempunyai wewenang untuk
melakukan judicial review suatu produk undang-undang terhadap konstitusi, dalam hal
ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.1Namun, pelaksanaan wewenang judicial
review dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia tidak secara absolut memberikan

1
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan Hukum”,
Kompas, 24 September 2002. Dikutip dari Ni’matul Huda, (2008), UUD 1945 dan Gagasan Amandemen
Ulang, Jakarta: Rajawali Pers, hlm 252.

142
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi melainkan juga kepada Mahkamah Agung


dalam pelaksanaan kewenangan judicial review.
Kewenangan judicial review merupakan mekanisme kontrol terhadap pembuatan
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan dengan kualitas rendah, atau bahkan
peraturan perundang-undangan tersebut memuat materi yang merugikan warga negara.
Namum mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang dipraktikkan di
Indonesia dengan sistem dua atap justru berpotensi menimbulkan konflik hukum baru.
Apabila di telisik lebih jauh kebelakang, banyak sekali konflik hukum yang yang terjadi
antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Konflik hukum yang dimaksud
adalah banyaknya putusan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang
saling bertentangan dalam menilai suatu isu hukum sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan (justiciabelen) dan masyarakat secara
umum.
Pertentangan norma tersebut terjadi, misalnya pada putusan terkait dengan sifat
melawan hukum materiil dalam perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 2Kemudian
putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 1.110/K/Pid.Sus/2012 yang dalam putusannya
justru menggunakan dasar hukum yang telah dinyatakan tidak sah dan mengikat oleh
Mahkamah Konstitusi.3 Kasus lain yang cukup menimbulkan kontroversi adalah
persoalan mengenai legalitas calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
berasal dari unsur partai politik. Mengenai persoalan ini Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan putusan yang kontras dalam menilai isu
hukum tersebut. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 30/PUU-XVI/2018
memutuskan jika pengurus partai politik tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon
anggota DPD, sementara Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 65 P/HUM/2018
justru memutuskan jika pengurus partai politik bisa mencalonkan diri sebagai calon
anggota DPD pada pemilu 2019. Hadirnya perbedaan dalam menilai isu hukum tersebut
diakibatkan dari desain kewenangan judicial review dalam satu atap. Terjadinya
perbedaan putusan dalam perkara yang serupa tentu tidak baik dan bertentangan dengan
kepastian hukum.4
Persoalan rumit lain yang akan terjadi apabila model pengujian peraturan perundang-
undangan tetap berada dalam dua atap adalah dalam hal penentuan subjek pengujian
pada saat dilakukan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang terhadap Undang-Undang, namun produk hukum yang diuji tersebut tidak
bertentangan secara langsung dengan Undang-Undang sebagai batu uji tetapi

2
Terjadi dualisme penegakan hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 033/PUU-
IV/2006. Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut memutuskan bahwa penerapan “sifat melawan
hukum materiil” dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang
Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan
inkonstitusional. Namun, Mahkamah Agung pasca putusan tersebut ternyata masih menggunakan
penafsiran “sifat melawan hukum materiil” mengikuti yurisprudensi, misalkan dalam putusan Nomor
103K/Pid/2007.
3
Mahkamah Agung dalam putusan pada tingkat kasasi Nomor 1.110/K/Pid.Sus/2012
menjatuhkan hukuman dengan menggunakan dasar hukum yang telah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi yakni Pasal 76 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, pembatalan terhadap pasal
tersebut dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-V/2007 tentang Pengujian terhadap UU
No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
4
Lihat Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung No. 65
P/HUM/2018

143
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

bertentangan langsung dengan aturan yang lebih tinggi, dalam hal ini Undang-Undang
Dasar.
Hadirnya kewenangan judicial review merupakan perkembangan dari gagasan modern
tentang negara hukum demokratis. Secara teoritik dimaksudkan: pertama, mencegah
warga negara dari dominasi kekuasaan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) oleh lembaga negara, serta menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam
hubungan peran antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua,
menjamin dan melindungi agar setiap warga negara terlindung dari penyalahgunaan
kekuasaan yang dapat mencedrai hak–hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi.5
Konflik hukum yang terjadi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
mungkin akan terus menimbulkan persoalan apabila masih terjadi dualisme pengujian
norma hukum di Indonesia. Karena tidak mustahil terjadi persinggungan normatif secara
vertikal yang justru bersifat kontradiktif, hal tersebut sangat mungkin apabila dalam
praktik kedua lembaga tersebut menggunakan paradigma hukum yang berbeda untuk
pengujian peraturan perundang-undangan terkait, yang dapat saja berujung pada putusan
yang berbeda secara mencolok.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian doktrinal6, karena selama yang dikaji adalah
norma hukum maka penelitian tersebut merupakan penelitian hukum doktrinal. Adapun
dalam penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum yang meliputi bahan hukum
Primer (primary sources of authorities), bahan hukum sekunder (secondary sources of
authorities), serta bahan hukum tersier. Dalam penelitian hukum yang dimaksudkan
dengan bahan hukum primer adalah semua norma hukum yang berkaitan dengan
penelitian ini, dibentuk atau dibuat secara resmi oleh lembaga negara yang berwenang
membuat aturan tersebut.7 Untuk bahan hukum sekunder adalah seluru informasi
tentang hukum, seperti karya-karya akademis, buku, hasil penelitian, dan lainnya.
Sementara untuk bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang melengkapi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.8
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data bahan hukum dengan studi
kepustakaan, yaitu mengkaji berbagai aturan-aturan terkait yang relevan dengan
penelitian dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Dalam
penelitian ini menggunakan tiga metode pendekatan, yakni: pertama, pendekatan kasus
(case approach), adalah pendekatan dengan menelaah kasus-kasus berkaitan dengan
penelitian ini. Kedua, pendekatan perundang-undangan (statute approach), adalah
pendekatan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penelitian. Ketiga, pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan ini dipilih
karena penelitian ini beranjak doktrin-doktrin dalam bidang ilmu hukum. Dari penelitian

5
Jimlly Ashiddiqie, (2005), Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
Jakarata: Konstitusi Press, hlm 11.
6
Penelittian hukum dibagi dalam dua ragam pendekatan yaitu, (i) pendekatan penelitian hukum
doktrinal; (ii) pendekatan penelitian hukum non-doktrinal. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, (2013),
Hukum Konsep Dan Metode, Malang: Setara Press, hlm 35.
7
Ibid., hlm 79.
8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (2007), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm 33.

144
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

ini diharapkan dapat menemukan konsep ideal pengujian peraturan perundang-undangan


dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif.

ANALISIS
1. Permasalahan Judicial Review Dua Atap
Konsep judicial review secara sederhana dipahami sebagai konsep untuk menguji
peraturan tertulis yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Istilah judicial menunjukan
kewenangan lembaga judiciary.Sementara, cakupan pengertiannya sangat luas karena
tidak hanya menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang diuji, tetapi juga
berkaitan dengan segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
dibawah UUD.9
Judicial review merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji keabsahan
dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif dihadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk-
produk cabang kekuasaan legilatif dan eksekutif adalah konsekuensi dari dianutnya
prinsip check and balances berdasarkan pada doktrin pemisahan kekuasaan (separation
of power).10 Oleh karena itu, kewenangan untuk melakukan judicial review melekat
pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian dilakukan
bukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen maka pengujian tersebut dinamakan
legislative review. Jika pengujian perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah yang
berada pada struktur yang lebih tinggi terhadap produk perundang-undangan yang
dihasilkan oleh pemerintah yang berada dibawahnya, maka pengujian tersebut
dinamakan administrative review atau executive review.11Konteks tulisan ini, yang
dimaksud dengan pengujian ialah yang diberikan kepada lembaga peradilan, sehingga
disebut sebagai judicial review.
Judicial review dalam sistem hukum Indonesia memberikan dan membagi kewenangan
tersebut kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung. Mengenai pembagian kewenangan judicial review antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah secara eksplisit diatur dalam UUD
NRI Tahun 1945 tepatnya dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1) mengatur bahwa:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai kewenanagan lain yang diberikan oleh undang-undang”. Sementara itu
dalam ketentuan pasal 24C ayat (1) mengatur bahwa: “Mahkamah konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa wewenang
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Merujuk pada ketentuan di atas maka kewenanagn judicial review yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terdapat perbedaan dalam hal obyek dan

9
Jimly Ashiddiqie, Model-Model … op. cit., hlm 2-3.
10
Abdul Mukthie Fadjar,(2006), Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Jakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, hlm 34-35..
11
Ni'matul Huda, (2008), UUD 1945 dan Gagasan..., Op.Cit., hlm 29-30.

145
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

batu uji pengujiannya. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.
Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019 telah mengatur terkait jenis
dan hierarki norma hukum yang menjadi parameter jika nantinya terjadi judicial review
atas suatu norma hukum, maka akan menunjukan kompetensi kekuasaan mana antara
Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung yang berwenang melakukan judicial
review atas norma tersebut. Adapun hierarki norma yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
meliputi: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; (3) Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah;
(5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; dan (7) Peraturan Daerah/Kota.
Meskipun secara konstitusional kewenangan judicial review antara Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung sudah diatur dan dibagi secara eksplisit oleh
konstitusi. Namun, nyatanya dalam praktik di lapangan keputusan yang dikeluarkan
antara kedua lembaga kekuasaan kehakiman ini justru sering menimbulkan polemik
dalam sistem hukum Indonesia sebagai akibat dari adanya dualisme judicial review,
memberikan kewenangan judicial review yang sama dengan tingkatan yang berbeda
kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman yang berbeda tapi sederajat tentu saja akan
menimbulkan problematik.
Adanya dualisme judicial review yakni di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
menimbulkan persoalan meski menggunakan jenjang norma yang berbeda dan tidak
sederajat. Hal ini bukan hanya pada persoalan teknis semata yang diperbaiki. Akan
tetapi persoalan potensialnya adalah bahwa sistem hukum kita mempraktikkan teori
hukum berjenjang (stufenbau theory), artinya berlaku asas lex superior derogat lex
inferior, dimana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Dalam konteks ini setiap norma
dituntut berada dalam satu frekuensi dengan norma yang tertinggi, tetapi menjadi aneh
apabila dalam proses judicial review dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan kehakiman
yang berbeda atap, tentu saja akan terdapat banyak perbedaan, baik mekanisme maupun
paradigma hukum para hakimnya. 12
Kedua lembaga yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung menggunakan tolak
ukur hukum yang berbeda dalam menjalankan fungsi pengujiannya sehingga dapat saja
berujung pada putusan yang berbeda secara mencolok. Hal inilah yang harus difikirkan,
karena perbedaan putusan menimbulkan ketidakpastian hukum. Apakah kita ingin terus
membiarkan terjadinya konflik hukum akibat adanya perbedaan pandangan antara kedua
cabang kekuasaan kehakiman ini dalam menafsirkan suatu norma.
Judicial review yang dominan dipraktikkan di dunia, dikelompokan menjadi 2 (dua)
sistem, yaitu centralised system (sistem yang terpusat) merupakan sistem pengujian
yang hanya dilakukan dan difokuskan oleh satu lembaga saja, misalnya oleh
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, atau lembaga khusus lainnya. Sistem yang
kedua adalah decentralised system (sistem tidak terpusat) berbeda dengan sistem yang
pertama, jika pada sistem kedua pengujian tidak hanya dilakukan oleh satu badan

12
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Pengkajian Konstitusi
Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang Undangan, (Jakarta: Tim Pengkajian Konstitusi
Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan), hlm 30-31.

146
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

peradilan saja.13 Pengujian dengan decentralised system seperti dipraktikkan di negara


Amerika, dimana Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya sama-sama
berwenang memutuskan perkara judicila review. Namun yang perlu ditegaskan bahwa
meskipun badan peradilan dibawah Mahkamah Agung juga berwenang melakukan
judicial review tetapi semuanya berada dalam satu atap di bawah naungan Mahkamah
Agung. Artinya judicial review yang diputuskan oleh badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung bisa dilakukan banding ke peradilan yang berada di atasnya, dengan
demikian tidak akan menimbulkan konflik hukum antara satu putusan dengan putusan
lain karena putusan akhirnya tetap berada dibawah kendali Mahkamah Agung, sehingga
menjamin adanya kepastian hukum.
Kewenangan judicial review merupakan perwujudan dari prinsip checks and balances
yang menempatkan semua lembaga negara pada posisi yang setara, sehingga dapat
saling kontrol dan saling mengimbangi dalam praktik penyelenggaraan negara. 14 Dalam
konteks judicial review bekerjanya prinsip checks and balance ditandai dengan hadirnya
putusan-putusan atas perkara judicial review yang dilaksanakan oleh seluru kalangan,
artinya putusan-putusan tersebut tidak menimbulkan polemik.
Pilihan pemberian sepenuhnya kewenangan judciail review kepada Mahkamah
Konstitusi merupakan pilihan politik hukum yang tepat, karena keberadaan Mahkamah
Konstitusi memang didesain untuk menangani perkara ketatanegaraan atau perkara
konstitusi guna menegakkan prinsip negara hukum demokratis. Oleh karena itu,
Mahkamah Konstitusi selain sebagai penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga
merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).
2. Persoalan Teknis Judicial Review di Mahkamah Agung
Persoalan rumit lain yang akan terjadi apabila model pengujian peraturan perundang-
undangan tetap berada dalam dua atap adalah dalam hal penentuan subjek pengujian,
bilamana pada saat dilakukan judicial review peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang (misalnya: Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah), namun produk hukum yang diuji tersebut tidak
bertentangan secara langsung dengan Undang-Undang sebagai batu uji tetapi
bertentangan langsung dengan aturan yang lebih tinggi, dalam hal ini Undang-Undang
Dasar.
Tentu hal ini akan menimbulkan kerumitan tersendiri untuk menentukan siapa subjek
yang berhak untuk melakukan judicial review,apakah Mahkamah Agung atau
Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk melakukan pengujain tersebut. Jika
melakukan penafsiran secara hukum, Mahkamah Agung tidak berwenang dalam
pengujian tersebut, karena Mahkamah Agung hanya berwenang jika pengujiannya
menggunakan batu uji Undang-Undang sedangkan peraturan yang hendak diuji tidak
bertentangan dengan Undang-Undang terkait tetapi bertentangan langsung dengan
Undang-Undang Dasar, yang mana pengujiannya bukan ranah dari Mahkamah Agung.
Sebaliknya juga tentu bukan merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi karena
produk yang diuji kedudukannya di bawah Undang-Undang. Persoalan seperti ini

13
Jimly Assihiddiqie,(2006), Perihal Undang-Undang, Kepanitraan MKRI, hlm 7.
14
Ni’matul Huda, (2018), Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, Cetakan
Pertama, Yogyakarta: FH UII Press, hlm 2.

147
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

menimbulkan kerumitan dalam penyelesaian sengketa judicial review.15 Tentu saja


kerumitan ini tidak akan terjadi jika kewenangan judicial review diintegrasikan dalam
satu atap. Secara teknis pelaksanaan kewenangan judicial review di Mahkamah Agung
menimbulkan banyak sekali kelemahan sehingga menimbulkan berbagai kritik oleh
akademisi hukum, praktisi hukum, dan para pihak pencari keadilan. Persoalan yang
selalu disoroti, diantaranya:
Pertama, mekanisme pemeriksaan yang tidak transparan serta hukum acara yang tidak
jelas menyebabkan judicial review di Mahkamah Agung sering mendapat kritik dari
para pencari keadilan sekalipun persidangan di Mahkamah Agung dinyatakan dibuka
dan terbuka untuk umum, namun sejatinya dalam pemeriksaan perkara hak uji materil
pihak-pihak terkait tidak dihadirkan dalam persidangan. Demikian pula dengan
pemeriksaan para saksi, untuk keterangan para ahli diajukan dalam bentuk tertulis, bila
dibutuhkan.Persidangan di Mahkamah Agung pengujiannya hanya dilakukan terhadap
berkas permohonan yang diajukan oleh pemohon dan berkas jawaban yang dari pihak
termohon. Sementara persidangan di Mahkamah Konstitusi menerapkan prinsip audi et
alteram partem, dimana para pihak akan didengarkan keterangannya oleh majelis hakim
guna mencari fakta hukum dalam persidangan.
Padahal permohonan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tidak
hanya menguji aspek hukumnya saja, tapi juga menguji fakta hukum. Selain itu putusan
yang dikeluarkan juga bersifat final and binding dan oleh karena objek pengujiannya
norma hukum umum-abstrak, maka putusannya pun berdampak sangat luas bagi
publik.16 Dengan mekanisme seperti itu maka pengujian di Mahkamah Agung terkesan
sangat prosedural dan jauh dari kata progresif dibandingkan dengan Mahkamah
Konstitusi.
Beban perkara yang dihadapi Mahkamah Agung menjadi salah satu alasan proses
beracara Mahkamah Agung menjadi tidak efektif. Hal ini pun dibenarkan oleh Kepala
Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah menyatakan bahwa perkara yang
ditangani Mahkamah Agung cukup banyak, seperti perkara kasasi, perkara peninjauan
kembali (PK), dan perkara hukumnya lainnya. Banyaknya perkara tersebut membuat
Mahkamah Agung bekerja mengejar waktu (target).17 Sebagai perbandingan, misalnya
pada tahun 2018 jumlah perkara yang ditangani Hakim Agung Kamar Tata Usaha
Negara sebanyak 4.378 perkara, sementara jumlah perkara yang ditangani oleh
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2018 sebanyak 151 perkara.18Dari sampel data tahun
2018 tersebut menunjukan bahwa terdapat perbandingan yang sangat jauh.Banyaknya
beban perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung merupakan hal yang wajar,
mengingat Mahkamah Agung merupakan puncak dari semua peradilan umum yang

15
Janpatar Simamora, (2013),Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Vol.25, No.3, Oktober, hlm 390.
16
Maftuh Effendi,(2013), Kewenangan Uji Materill Peraturan Perundang-Undangan di Bawah
Undang-Undang, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamh Agung RI, hlm 46
17
https://Www.Google.Com/Amp/S/Amp.Kompas.Com/Nasional/Read/2018/04/10/10161061/Sid
ang-Uji-Materil-Tertutup-Ma-Sebut-Karena-Batas-Waktu. Diakses 29 Februari 2020.
18
Data dari Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan.Lihat https://leip.or.id/statistik-
data-perkara-mahkamah-agung.diakses 29 Februaru 2020.

148
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

berada dibawahnya. Olehnya itu Mahkamah Agung tidak perlu lagi dibebankan dalam
kewenanganjudicial review.19
Kedua, secara teknis perbedaan yang mencolok antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahakamh Agung adalah tidak adanya mekanisme persidangan jarak jauh
(teleconference) di Mahakamh Agung, sementara di Mahkamah Konstitusi tersedia
mekanisme persidangan jarak jauh. Dengan mekanisme teleconference akan
mempermudah para pihak terutama yang berada di daerah yang jangkauannya jauh
dengan institusi Mahkamah Agung, yang ingin melakukan judicial review sebuah perda.
Dengan tidak adanya mekanisme persidangan jarak jauh akan sangat mempersulit para
pencari keadilan, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan
besar yang terdiri dari banyak pulau sehingga menjadi beban bagi masyarakat atau
pemerintah daerah. Serta dengan proses pengujian yang tidak transparan dalam
persidangan uji materil maka bisa dikatakan bahwa proses pengujian yang selama ini
dilakukan di Mahkamah Agung telah melanggar asas independensi dan impartial juga
asas peradilan cepat dan biaya ringan.20
Melihat banyaknya perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung setiap tahunnya yang
berakibat pada tidak efektifnya proses beracara, khususnya untuk perkara uji materi,
maka sudah saat untuk melakukan pembenahan dengan mengurangi beban perkara yang
dihadapi oleh Mahkamah Agung. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan
merubah sistem judicial review dimana Mahkamah Agung tidak perlu diberikan
kewenangan melakukanjudicial review lagi, kewenangan tersebut cukup dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi. Pilihan tersebut menjadi semakin rasional mengingat
kemungkinan akan terjadi pengurangan beban perkara yang ditangani oleh Mahkamah
Konstitusi ketika sudah dibentuknya peradilan khusus yang menangani sengketa
pilkada.
Keberadaan peradilan khusus pilkada telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 157 ayat
(1) bahwa: “perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan
peradilan khusus”. Pembentukan peradilan khusus pilkada direncanakan akan dibentuk
sebelum diselenggarakan pilkada serentak 2024. 21 Jika peradilan khusus pilkada akan
terbentuk tentu jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi akan berkurang
secara drastis, mengingat banyak perkara yang masuk di Mahkamah Konstitusi adalah
sengketa pilkada.
3. Judicial Review Satu Atap Dibawah Mahkamah Konstitusi
Dalam konsep negara hukum demokratis (democracy rechsttaat) pembuatan kebijakan
untuk pelaksanaan pemerintahan tidak hanya di fokuskan pada aspek legalistas

19
Uji materil di Mahkamah Agung dilakukan oleh hakim yang berada di Kamar Tata Usaha
Negara, oleh karena itu penulis hanya membandingkan jumlah perkara yang ditangani oleh hakim di
Kamar Tata Usaha Negara.Jika mengambil jumlah perkara secara keseluruan di Mahkamah Agung maka
tentu tidak tepat jika diperbandingkan karena banyak jenis sengketa yang ditangani oleh Mahkamah
Agung dengan sistem kamar berbeda, sesuai dengan jenis perkara yang dihadapi.
20
Adapun proses persidangan di Mahkamah Agung selama ini telah melanggar Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ditegaskan bahwa seluruh pemeriksaan
pengadilan terbuka untuk umum dan putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
21
Lihat ketentuan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota

149
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

kebijakan tersebut (rechmatigheid van bestuur), tetapi harus fokus juga pada aspek
efisiensi (doelmatigheid) dan aspek efektivitasnya (doeltreffenheid) dari kebijakan yang
dibuat agar pelaksanaannya bisa menimbulkan kemanfaatan dan keadilan bagi
masyarakat luas.22 Apabila tolak ukur tersebut kita kontekskan dengan sistem judicial
review yang dipraktikkan saat ini berada dalam dua atap sering menimbulkan koflik
yang berujung pada tidak tercapainya kepastian hukum, efisiensi dan efektivitas bagi
para pencari keadilan. Dengan demikian perlu adanya politik hukum pembaharuan
sistem judicial review dengan mekanisme satu atap yang kewenangan judicial review
bisa difokuskan kepada Mahkamah Konstiusi selaku pelindung konstitusi (the guardian
of constitution).
Pilihan judicial review dengan sistem satu atap yang diintegrasikan di bawah
Mahkamah Konstitusi didasari pada pertimbangan bahwa kewenangan judicial review
berada dalam dua atap tidak hanya menyebabkan terjadinya pertentangan putusan antara
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tetapi juga melahirkan polemik hukum
yang cukup serius dalam praktik ketatanegaraan saat ini oleh karena putusan kedua
Lembaga tersebut sama-sama memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak saling
membatalkan satu sama lain dan apabila tidak diatasi tentu akan menjadi preseden buruk
dalam praktik ketatata negaraan kita.
Selain itu, pembentukan peradilan khusus penyelesaian sengketa pemilihan kepala
daerah yang berakibat pada mengurangnya beban kerja Mahkamah Konstitusi sehingga
Mahkamah Konstitusi hanya fokus pada tugas utamanya sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yakni menguji undang-undang terhadap
Undang Undang Dasar, memutus sengketa wewenang lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dari wewenang
tersebut, hakim-hakim Mahkamah Konstitusi nyaris hanya mengadili sengketa
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, itupun tidak rutin jika di
bandingkan dengan beban kerja hakim-hakim di Mahkamah Agung sebagai judex juris
sehingga tepat kiranya jika pengujian semua norma hukum terpusat di Mahkamah
Konstitusi.

KESIMPULAN
Bedasarkan permasalahan sebagaimana terurai dalam pembahasan diatas maka yang
menjadi kesimpulan adalah: Proses judicial review yang dipisahkan antara Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan pilihan sistem yang tidak ideal baik secara
teknis maupun teoritis, serta berpotensi menimbulkan konflik hukum yang rumit. Oleh
karena itu, kedepannya perlu dibuat desain sistem yang tepat dengan cara
mengintegrasikan kewenangan pengujian paraturan perundang-undangan kepada satu
lembaga saja, yaitu Mahkamah Konstitusi. Kedepannya Mahkamah Konstitusi harus
berfungsi sebagai penafsir tunggal peraturan perundang-undangan karena Mahkamah
Konstitusi merupakan penafsir konstitusi. Mahlamah Konstitusi harus mampu menjamin
konsistensi peraturan perundang-undangan, olehnya itu kewenangan Mahkamah
Konstitudi difokuskan pada penyelesaian konflik-konflik hukum ketatanegaraan,
sementara Mahkamah Agung idealnya difokuskan pada penyelesaian konflik hukum
22
Philipus M. Hadjon, et.ac., (2012), Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan
Kedua, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, hlm 6-7

150
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

pidana-perdata. Menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembagan tunggal


pengujian norma (judicial review) adalah politik hukum yang diperlukan saat ini dalam
rangka mewujudkan peradilan yang efektif terlebih dalam sistem bifurkasi sebagaimana
dianut Indonesia saat ini serta mencegah polemik tumpang tindih putusan yang tidak
memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan khususnya menegani pengujian
norma sebagaimana yang terjadi saat ini. Kebijakan tersebut (judiacial review satu atap)
tepat dilakukan oleh karena kewenagan penyelesaikan perselisihan hasil pemilihan
kepala daerah tidak lagi menjadi wewenang Makamah Konstitusi manakalah telah
terbentuk peradilan khusus penyelesaian sengketa pemilihan kepada daerah. Dengan
adanya pengujian norma (judicial review) satu atap di Mahkamah Konstitusi maka
Mahkamah Agung akan lebih fokus pada tugasnya sebagai Judex Juris yang pada
girannya akan mewujudkan peradilan yang efektif.

Daftar Pustaka
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan
Hukum”, Kompas, 24 September 2002.
Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Jakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006.
Jimly Ashiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,
Jakarata: Konstitusi Press, 2005.
----------, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Kepanitraan MKRI, 2006.
Janpatar Simamora, Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Vol.25, No.3,
Oktober 2013.
Maftuh Effendi, Kewenangan Uji Materill Peraturan Perundang-Undangan di Bawah
Undang-Undang, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamh
Agung RI, 2013.
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Pers,
2008).
----------, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Yogyakarta: FH UII Press, 2018.
Philipus M. Hadjon, et.ac.,Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan K-
2, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, 2012.
Tim Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian
Peraturan Perundang Undangan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2014.
Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan.Lihat https://leip.or.id/statistik-
data-perkara-mahkamah-agung.diakses 29 Februaru 2020.
https://Www.Google.Com/Amp/S/Amp.Kompas.Com/Nasional/Read/2018/04/10/1016
1061/Sidang-Uji-Materil-Tertutup-Ma-Sebut-Karena-Batas-Waktu. Diakses
29 Februaru 2020.

151
de Jure; Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum ⃝ Vol. 1 No. 2 Juni (2020) : 142-152
ISSN Print: 2715-9531 ⃝ ISSN Online: 2716-0467

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 103K/Pid/2007.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-V/2007.

152

You might also like