Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen Ditinjau Dari Sosiologi Hukum Islam
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen Ditinjau Dari Sosiologi Hukum Islam
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen Ditinjau Dari Sosiologi Hukum Islam
Nurul Mahmudah,
Institute Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro
[email protected]
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 177
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
A. Pendahuluan
Secara sosiologi, Agama Islam mengalami perubahan terhadap
ritual yang dilakukan masyarakat karena adanya pengaruh budaya
Indonesia. Jika dalam suatu masyarakat memiliki budaya lokal yang
khas maka secara tidak langsung agama yang dianut oleh masyarakat
setempat akan selalu dikaitkan dengan berbagai ritual yang dilakuka.1
Agama, budaya dan masyarakat akan selalu berjalan beriringan sesuai
dengan apa yang di interpretasikan masyarakat bahwa budaya dan
agama adalah satu kesatuan yang tidak akan pernah terpisahkan.
Di Indonesia, Khususnya daerah Jawa terdapat kelompok
Kejawen. Kejawen adalah sebuah corak kepercayaan yang terutama
1
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2003),
ix.
178 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen
yang dianut di pulau Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di
Jawa. Kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok
kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang
terorganisir seperti agama Islam atau agama Kristen. 2 Ciri khas dari
Kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan
agama Budha. Tepatnya adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Masyarakat kejawen khususnya Islam kejawen terdapat tradisi
ritual yang sederhana, formal, jauh dari keramaian serta apa adanya.
Ritual adalah suatu teknik atau cara yang membuat suatu adat
kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan
memelihara mitos, adat sosial, dan agama. Ritual bisa bersifat pribadi
ataupun berkelompok. Wujudnya bisa berupa tarian, drama, doa, dan
sebagainya.3 Secara keseluruhan akrab dangan sebutan “Slametan”4.
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti
selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan
lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu,
menurut Clifford Geertz slametan adalah suatu bentuk acara syukuran
dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara
tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk
bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk.5
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, slametan identik dengan
sesajen yang di persembahkan untuk roh-roh halus. Setelah Islam
masuk ke bumi Nusantara, para penyebar Islam berupaya menyisipkan
nilai-nilai Islam di dalamnya. Mereka berusaha merubah tradisi
slametan bukan lagi sebagai persembahan untuk makhluk halus,
melainkan sebagai sedekah yang tidak hanya merekatkan hubungan
antara masyarakat, akan tetapi juga melatih kepedulian sosial.6
Walaupun kini sudah “Islami”, akan tetapi sebagian umat Islam
masih menolak tradisi tahlillan. Mereka menganggapnya sebagai
bid’ah yang haram. Sebab tradisi tahlilan tidak pernah disyariatkat oleh
2
Ahmad khalil, Islam Jawa, (Sufisme dalam etika dan Tradisi Jawa)
(Malang: UIN Malang Press, 2008), 277.
3
Salah satu contoh prosesi ritual dalam tradisi Jawa nampak pada Ritual
Pengesahan Warga Baru Persaudaraan Setia Hati terate. Lihat Fauzan, “Akulturasi
Islam dan Budaya Jawa: Kajian Pada Ritual ‘Pengesahan’ Warga Baru Persaudaraan
Setia Hati Terate,” Kalam Vol. 6, no. 1 (2012): 105–24.
4
Khalil, Islam Jawa…h. 277.
5
Ibid., 278.
6
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 125.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 179
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
Allah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan
sahabatnya. Tradisi ini merupakan transfer pahala dari orang yang
masih hidup kepada yang sudah mati, dan itu bertentangan dengan
ajaran Islam. Tradisi ini akan membuat orang mudah berbuat dosa,
karena dia berkeyakinan bahwa dosanya bisa ditebus dengan tahlilan
dan dzikir fida’. Hal itu mudah dilakukan oleh orang-orang kaya.
Tradisi ini merupakan tindak pemborosan, karena memberikan
sedekah kepada orang-orang yang tidak membutuhkan (bukan fakir
miskin).
Pendapat ini seirama dengan pandangan Ibnu Hajar al-Haitami.
Dalam al-Fatawi al-Kubra, Ibnu Hajar berpendapat bahwa peringatan
hari ketiga, ketujuh, dan lain-lain yang telah membudaya di
masyarakat, termasuk bid’ah madzmumah (bid’ah tercela), akan tetapi
tidak diharamkan, selama bukan untuk meratapi kematian si mayit.7
Sementara kalangan yang mendukung tradisi tahlilan menilai,
bahwa tradisi ini sama saja dengan ajaran membacakan ayat suci al-
Qur’an untuk orang mati, dimana hal itu merupakan anjuran Islam.
Selain itu, tradisi tahlilan juga mengandung sisi positif, antara lain:
Menumbuhkan semangat dakwah, mengingatkan kita bahwa akhir
kehidupan dan menanamkan jiwa kepedulian sosial terhadap sesama.8
Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian,
termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan
sebagainya.9 Dengan pendekatan analisis historis, Tulisan ini bertujuan
meneliti bagaimana tradisi ritual kematian pada Islam Kejawen.
7
Muhammad Sholikhin, Ritual Kematian Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi,
2010), 165.
8
Ibid.,, 155.
9
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 124.
10
Tebba, Sosiologi Hukum Islam, 1.
180 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen
11
Ibid.,, 1.
12
Roibin, Sosiologi Hukum Islam (Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam
Syafi’i (Malang: UIN Malang Press, 2008), 5.
13
Ibid.,, 20.
14
Fazlur Rahman, Al-Islam (Bandung: Pustaka Pelajar, 1984), 140.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 181
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
15
Tebba, Sosiologi Hukum Islam, 5.
182 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen
16
Ibid., 5.
17
Ibid., 1.
18
khalil, Islam Jawa, (Sufisme dalam etika dan Tradisi Jawa), 277.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 183
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
19
Ibid., 277.
20
Ibid., 278.
21
Ibid., 279.
22
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 124.
23
Ibid., 125.
184 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen
24
khalil, Islam Jawa, (Sufisme dalam etika dan Tradisi Jawa), 280.
25
Muhammad Sholikhin, Ritual Kematian Islam Jawa, 159–60.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 185
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
mengambi liktibar bahwa yang masih hidup juga akan segera menyusul
(mati) dikemudian hari.Aktifitas tahlil/zikir yang berawal dari ajaran
tarekat itulah yang kemudian meluas menjadi tradisi tahlilan.26
Dikatakan sebagai tahlil, karena memang dalam pelaksanaanya lebih
banyak membaca kalimat-kalimat tahlil yang mengesakan Allah
seperti ‘tahlil’ (membaca lailahaillallah),tahmid, dan lain sebagainya
sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari guru
(syekh) suatu daerah tertentu. Kehadiran instrument islam akan selalu
mengakibatkan transformasi sosial (Sosial Transformation) menuju
suatu bentuk baru yang tidak serta merta memotong habis masa lampau
budaya lokal yang dimasukinya, melainkan dapat juga melestarikan
apa saja yang baik dan benar dari masa lampau. Tradisi tahlilan tidak
hanya dikenal dikalangan umat Islam di Indonesia. Menurut Agus
Sunyoto—penulis buku Syekh Siti Jenar—berpendapat bahwa tahlil
juga dilaksanakan di Iran, Hal tersebut didasarkan pada kenyataan
bahwa ketika Imam Khomeini- pemimpin Syi’ah-meninggal juga
diadakan tahlil untuk mendoakanya.27
Menurut Sosiologi Hukum islam, sejak Islam pertama kali
hadir di Indonesia, saat ada orang meninggal dunia bisanya para
tetangga dan kerabat berkumpul untuk menyampaikan rasa duka cita.
Tapi kemudian, pada malam harinya mereka main kartu, mabuk-
mabukan, dan lain-lain. Budaya seperti ini membuat prihatin para
ulama, sehingga sedikit demi sedikit mereka berupaya merubahnya.
Mereka memasukkan budaya-budaya Islami ke dalam tradisi warisan
Hindu ini, seperti membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, tasbih, yang
hingga kini dikenal dengan istilah “tahlilan”. Setelah tahlilan, tuan
rumah biasanya menyajikan makanan dan minuman ala kadarnya,
bahkan tak jarang ditambah dengan bungkusan “berkat” untuk dibawa
pulang. Semua itu dilakukan sebagai sedekah yang pahalanya
dihadiahkan kepada si mayit.28
Dari sini dapat kita pahami, bahwa tradisi slametan pada masa
sekarang sudah berbeda jauh dengan slametan pada zaman dahulu.
Walaupun kini sudah “Islami”, akan tetapi sebagian umat Islam masih
menolak tradisi tahlil. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang
haram. Sebab: Tradisi tahlilan tidak pernah disyariatkat oleh Allah dan
26
Ibid., 162.
27
Ibid., 163.
28
Ibid., 163.
186 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen
29
Ibid., 165.
30
Ibid., 155.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 187
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
188 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen
35
khalil, Islam Jawa, (Sufisme dalam etika dan Tradisi Jawa), 282.
36
Tebba, Sosiologi Hukum Islam, 8.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 189
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
37
Muhammad Sholikhin, Ritual Kematian Islam Jawa, 152.
38
khalil, Islam Jawa, (Sufisme dalam etika dan Tradisi Jawa), 289.
190 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868
Tradisi Ritual Kematian Islam Kejawen
D. Kesimpulan
Kejawen adalah sebuah corak kepercayaan yang dianut di
pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Ciri khas
dari Kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu
dan agama Budha. Nampak bahwa ini adalah sebuah kepercayaan
sinkretisme. Masyarakat kejawen khususnya islam kejawen terdapat
tradisi ritual yang sederhana, formal, jauh dari keramaian serta apa
adanya, Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian,
termasuk kelahiran, kematian pernikahan, dan pindah rumah, dari
papran dapat disimpulkan bahwa tradisi slametan pada masa sekarang
sudah berbeda jauh dengan slametan pada zaman dahulu. Secara luwes,
Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara dengan sebutan
selametan. Tradisi selamatan yang inti pokoknya adalah pembacaan
do’a untuk yang meninggal dunia ini sendiri untuk penentuan hari
pelaksanaannya disesuaikan dengan warisan budaya sebelum Islam,
yakni seperti hari-hari pemujaan yang biasa dilakukan orang-orang
Jawa sebelum datangnya Islam. [.]
39
Muhammad Sholikhin, Ritual Kematian Islam Jawa, 174.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 191
Nurul Mahmudah & Abdur Rahman Adi Saputra
Referensi
192 DOI://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i1.3868