Final GEUDP Waesano ESIA Document - Bahasa PDF
Final GEUDP Waesano ESIA Document - Bahasa PDF
Final GEUDP Waesano ESIA Document - Bahasa PDF
April 2019
GEUDP-WS-RPT-HSE-004 Rev 1 - Waesano ESIA
Didanai oleh: World Bank Group dan New Zealand Foreign Affairs & Trade Aid Programme
Daftar Singkatan
Tabel
Tabel 3-1 Well pad dan Fasilitas Pendukung di Rencana Lokasi Proyek ............................................................. 3-1
Tabel 3-2 Kebutuhan Lahan ............................................................................................................................... 3-12
Tabel 3-3 Skema Pengadaan Tanah untuk Proyek ............................................................................................ 3-13
Tabel 3-4 Indikatif Tenaga Kerja Pemrakarsa Proyek......................................................................................... 3-14
Table 3-5 Tenaga Kerja Kontraktor pada Tahap Konstruksi................................................................................ 3-14
Tabel 3-6 Tenaga Kerja Kontraktor pada Tahap Pengeboran ............................................................................. 3-15
Tabel 3-7 Peralatan untuk Konstruksi................................................................................................................. 3-17
Tabel 3-8 Material untuk Konstruksi ................................................................................................................... 3-17
Tabel 3-9 Kondisi Jalan Akses Saat Ini .............................................................................................................. 3-18
Tabel 3-10 Kebutuhan Air untuk Pengeboran ..................................................................................................... 3-30
Tabel 3-11 Kebutuhan Bahan Kimia untuk Pengeboran ..................................................................................... 3-31
Tabel 3-12 Semen dan Bahan Tambahan (Additives) ........................................................................................ 3-32
Tabel 3-13 Bahan Bakar Diesel dan Pelumas .................................................................................................... 3-33
Tabel 3-14 Bahan Kimia Pengolahan Air ............................................................................................................ 3-33
Tabel 3-15 Kebutuhan Caustic Soda untuk Pengeboran.................................................................................... 3-33
Tabel 3-16 Perlengkapan Pengeboran (Sumur Standar) ................................................................................... 3-34
Tabel 3-17 Estimasi Produksi Lumpur Bor dan Serbuk Bor ............................................................................... 3-35
Tabel 3-18 Prakiraan Jadwal Proyek .................................................................................................................. 3-42
Tabel 4-1 Interaksi Dampak ................................................................................................................................. 4-4
Tabel 4-2 Kajian Awal Dampak............................................................................................................................ 4-5
Tabel 4-3 Sumber Data untuk Studi Rona Awal ................................................................................................. 4-16
Tabel 4-4 Riwayat Studi Rona Awal ................................................................................................................... 4-17
Tabel 4-5 Terminologi Penilaian Dampak ........................................................................................................... 4-20
Table 4-6 Definisi Jenis Dampak ........................................................................................................................ 4-21
Program ini difokuskan pada area yang belum terbangun (green field area) di bagian timur Indonesia.
Berdasarkan rekomendasi dari Kementerian ESDM, lokasi pertama yang diusulkan berada di Desa Wae Sano,
Pulau Flores. Aktivitas ini ditujukan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia dan
untuk meningkatkan pengembangan yang berkelanjutan dalam sektor energi yang harus mempertimbangkan
dampak lingkungan dan sosial.
ESIA mencakup kegiatan eksplorasi, termasuk pekerjaan sipil awal yang diperlukan untuk membuktikan status
sumber daya panas bumi sebelum kegiatan eksploitasi. Proyek masih dalam tahap perencanaan, tata letak dan
operasinya dapat berubah menurut evaluasi yang sedang berlangsung. ESIA telah melihat dampak dari sudut
pandang lansekap serta mengkaji dan menganalisis dampak lingkungan dan sosial terhadap pilihan tata letak
awal. Sifat dan skala kegiatan pada tahap ekspolitasi, termasuk sifat dan skala kegiatan produksi dan transmisi
energi, belum dapat dipahami secara utuh pada saat penyusunan ESIA ini. Akan tetapi, dampak-dampaknya
akan dipertimbangkan sebagai bagian dari area terdampak (area of influence) oleh proyek pada masa
mendatang. AECOM melakukan penapisan reseptor sensitif serta potensi dampak dan manfaat berdasarkan
skenario eksploitasi umum yang dikembangkan bersama dengan tim teknis.
Bagian berikut ini memberikan ikhtisar mengenai kegiatan Proyek Eksploitasi Panas Bumi Waesano1, tujuan
ESIA, dan struktur dokumen ini.
1.1. Umum
Indonesia terletak pada “Cincin Api” Pasifik yang menciptakan sebuah pola dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, Maluku hingga Sulawesi Utara dan menyimpan potensi sumber daya panas bumi yang signifikan.
Badan Geologi Indonesia memperkirakan bahwa Indonesia menyimpan potensi sumber daya panas bumi
sebesar sekitar 28.500 Mega Watt (MW). Mengingat kebutuhan sumber daya energi baru untuk memenuhi
permintaan Indonesia yang terus meningkat, dan manfaat panas bumi sebagai sumber daya energi yang alami,
dapat diperbaharui dan ramah lingkungan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target yang ambisius untuk
pengembangan panas bumi. Namun, penggunaan sumber daya panas bumi untuk pembangkit listrik hingga
September 2016 hanya mencapai 1.513 MW, dibandingkan dengan 852 MW2 pada 2006.
Pengembangan hulu energi panas bumi diharapkan berkontribusi dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) pada 2030 hingga 29%, dibandingkan dengan proyeksi emisi berdasarkan skema Business-as-Usual
(BAU). Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan suatu target ambisius untuk meningkatkan
kontribusi panas bumi sebagai pembangkit listrik menjadi 8% pada 2025 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
ESDM No. 5899 K/20/MEM/2016 tentang Penerbitan Rencana Usaha Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2016-2025 (Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia, 2016).
1
Menurut Badan Pusat Statistik, format penulisan desa ini menggunakan dua kata, yaitu Wae Sano. Sedangkan nama yang
digunakan untuk proyek adalah Waesano, satu kata.
2
http://www.ebtke.esdm.go.id/post/2016/11/10/1428/bisnis.panas.bumi.indonesia.masih.menarik.investor
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
1-1
Saat ini, Indonesia memiliki 69 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang diharapkan memenuhi target 7.239 MW
daya listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada 2025. Salah satu area
berpotensi adalah Pulau Flores, yang akan disebut sebagai Pulau Panas Bumi Flores3 oleh Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian ESDM dalam waktu dekat. Pulau Flores memiliki potensi panas bumi sebesar
659 MW dan sumber daya panas bumi sebesar 745,5 MW. Pulau Flores saat ini mengalami kekurangan tenaga
listrik sebanyak 8,5 MW dari kebutuhan aktual tenaga listrik, yaitu sebesar 13,5 MW4.
PT SMI berencana untuk melaksanakan GEUDP di daerah sekitar Desa Wae Sano dan Sano Nggoang,
Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores – Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hingga
kini, lapangan uap masih banyak yang belum tereksplorasi; namun diharapkan bahwa Proyek utama pada
awalnya akan mengembangkan kapasitas pembangkit listrik 10 – 32 MW. PT SMI telah mengidentifikasi area
prospek komersial utama di Kecamatan Sano Nggoang.
Begitu proyek bergerak ke tahap produksi, proyek akan mencakup produksi sumur, pipa saluran uap, stasiun
pemisahan, fasilitas pembangkit listrik dan sumur reinjeksi. Pekerjaan sipil awal akan diperlukan untuk
pembangunan jalan akses, tapak sumur (well pad), perpipaan dan base camp, sebagaimana dijelaskan secara
rinci pada Bagian 3.
Saat ini, proyek sedang dalam proses mendapatkan persetujuan pemerintah melalui proses hukum Republik
Indonesia yang berlaku untuk mengkaji dampak dan risiko lingkungan hidup dan sosial pada tahap eksplorasi
proyek dalam bentuk dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UPL). ESIA ini disusun bersamaan dengan proses penyusunan dokumen UKL-UPL, yang
dipersiapkan untuk memenuhi persyaratan Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia. PT SMI telah
menerapkan kepatuhan terhadap pedoman ini untuk memenuhi praktik industri yang berlaku.
ESIA ini menggambarkan dan mengkaji kegiatan spesifik untuk tahap eksplorasi Kegiatan Proyek Eksplorasi
Panas Bumi Waesano.
Pengadaan tanah;
Perekrutan tenaga kerja;
3
http://prodaya.com/indonesia-segera-tetapkan-flores-geothermal-island/
4
http://www.ebtke.esdm.go.id/post/2016/11/03/1413/7.239.mw.dari.69.wkp
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
1-2
Perbaikan jalan akses;
Pengeboran eksplorasi;
Pengujian sumur;
Rincian pekerjaan sipil awal ini, beserta penjelasan proyek utama, disajikan dalam Bagian 3 dari dokumen ESIA
ini.
Perizinan;
Desain terperinci;
Pengadaan tanah;
Pengeboran sumur;
Pengujian sumur;
Diperkirakan kegiatan ini akan berlangsung selama sekitar 35 bulan. Jadwal sementara Proyek dapat dilihat
pada Lampiran F.
Tahap eksploitasi adalah tahap pengembangan yang terpisah dari lingkup Proyek Eksplorasi Panas Bumi
Waesano. Untuk ESIA, skenario eksploitasi secara umum akan dirancang dengan tim teknis. Berdasarkan
skenario, AECOM melakukan penapisan reseptor sensitif serta potensi dampak dan manfaat. Jadwal kegiatan
pada tahap eksploitasi belum dapat dipahami secara utuh pada saat penyusunan ESIA yang dilakukan sebelum
studi kelayakan selesai disusun.
Pelaksanaan analisis kesenjangan untuk menentukan lingkup studi dampak lingkungan dan sosial lebih
lanjut yang diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap Kebijakan Upaya Perlindungan Bank
Dunia;
Pelaksanaan studi rona awal tambahan yang diperlukan untuk mendukung kajian dampak yang
diperlukan; dan
Penyusunan dokumen ESIA ini, dengan mengintegrasikan semua dokumen kajian rona awal dan
dampak.
Tujuan umum upaya ini adalah untuk mengkonfimasi kepatuhan tahap eksplorasi Proyek terhadap berbagai
pedoman serta standar lingkungan dan sosial, yang meliputi:
Ruang lingkup studi ESIA ini dirancang untuk memenuhi tujuan yang spesifik sebagai berikut:
Menggambarkan aspek kegiatan dan dampak lingkungan, sosial, kesehatan dan keselamatan dari
rencana Proyek serta membuat kajian yang relevan dan realistis, serta mengkompilasi Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMP) yang kuat;
Melaksanakan evaluasi berdasarkan tinjauan yang menyeluruh atas informasi dan dokumentasi
lingkungan dan sosial yang sudah ada (UKL/UPL);
Mengkaji kepatuhan Proyek terhadap persyaratan berdasarkan Pedoman Lingkungan, Kesehatan dan
Keselamatan World Bank Group (Pedoman EHS); dan
Memberi saran kepada Pemrakarsa Proyek agar patuh terhadap semua kebijakan dan pedoman
lingkungan lain yang relevan.
Dokumen ini telah disusun sebagai dokumen yang berdiri sendiri (tidak harus dibaca bersamaan dengan
UKL/UPL yang disetujui oleh Republik Indonesia). Dokumen ini telah disusun dengan mengacu pada kebijakan
dan prosedur safeguard (perlindungan) Bank Dunia yang terpicu untuk Proyek Eksplorasi Panas Bumi Waesano,
termasuk:
OP/BP 4.04 tentang Habitat Alami, karena intervensi proyek meliputi pengeboran dan jalan akses dekat
(atau kemungkinan berada di dalam) area yang dilindungi termasuk area konservasi dan lingkungan
danau asam yang unik, yang mana ketentuan untuk langkah-langkah konservasi dan mitigasi yang
tepat akan diperlukan selama pekerjaan;
OP/BP 4.11 Cagar Budaya sebagai tindakan pencegahan awal (beberapa cagar budaya setempat telah
diidentifikasi selama studi pelingkupan);
OP/BP 4.36 Hutan, karena area dengan kegiatan kehutanan dapat menjadi bagian dari area terdampak
(area of influence) oleh proyek pada masa mendatang;
OP/BP 4.12. tentang Pemukiman Kembali Secara Tidak Sukarela. Jika pengadaan tanah diperlukan,
pengadaan tanah akan dilakukan berdasarkan willing buyer-willing seller, namun ada kemungkinan
beberapa kegiatan pengadaan tanah yang dilakukan secara tidak sukarela untuk pembangunan jalan,
serta ada kemungkinan terjadinya pembatasan akses sumber daya hutan pada tahap eksploitasi pada
masa mendatang;
Kebijakan OP 4.37 tentang Keselamatan Bendungan dipicu karena kebutuhan pembangunan kolam
sedimentasi dan aspek keselamatan terkait kegagalan struktur kolam, atau bekerja di dalam dan di
sekitar kolam.
Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia menyarankan agar keseluruhan area terdampak oleh Proyek (area of
influence) dikaji dalam ESIA ini. Dalam Proyek Eksplorasi Panas Bumi Waesano, area of influence meliputi
Bagian 1 – Pendahuluan
Bagian 11 – Referensi
Peraturan yang mendasari skema Proyek Pengembangan Hulu Energi Panas Bumi (GEUDP) PT SMI adalah
Peraturan Kementerian Keuangan No. 62/PMK.08/2017 tentang Pengelolaan Dana Pembiayaan Infrastruktur
Sektor Panas Bumi (PISP), yang menyebutkan penyediaan data dan informasi panas bumi atas nama
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Mengacu pada Surat Direktur Jenderal Pendanaan dan Pengelolaan Risiko, Kementerian Keuangan No.
34/PR/2018, PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), Badan Usaha Milik Negara di bawah Kementerian
Keuangan ditunjuk untuk melakukan pengeboran eksplorasi di area Wae Sano atas nama Pemerintah Indonesia
dengan menggunaan pendanaan bersama oleh Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia sebagai bagian dari
pendanaan Proyek Pengembangan Hulu Energi Panas Bumi (GEUDP). Waesano adalah salah satu area
prospektif panas bumi dengan skema pengeboran oleh pemerintah yang diajukan oleh Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), berdasarkan surat Menteri ESDM No. 9553/03/MEM.E/2017. Pada tingkat
regional, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menetapkan peraturan tentang hidrologi, Daerah Aliran
Sungai (DAS) dan perencanaan tata tata ruang, sedangkan pemerintah Kabupaten Manggarai Barat
menetapkan peraturan tentang pengelolaan limbah padat dan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05/2012 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang
Wajib Memiliki Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), eksplorasi panas bumi di Waesano tidak perlu
memiliki dokumen AMDAL; akan tetapi kegiatan ini harus melakukan studi tentang Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang dikenal sebagai UKL-UPL di Indonesia.
Untuk pengadaan tanah, Proyek memerlukan area tanah di Kecamatan Sano Nggoang untuk pembangunan well
pad dan sejumlah fasilitas pendukung seperti jalan akses, area penyimpanan peralatan dan material (laydown
area), basecamp konstruksi, dan sebagainya. Terdapat tiga (3) skema untuk pengadaan tanah dan kompensasi:
sewa dengan hak untuk membeli tanah swasta; perjanjian sewa tanah hutan; dan tanah yang diperlukan untuk
perbaikan jalan akses. Skema kepemilikan tanah pada hutan lindung berdasarkan pada Undang-Undang Nomor
41/1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. Nomor
P.27/MenLHK/Setjen/Kum.1/7/2018 terkait Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
2-1
Berbagai peraturan nasional yang relevan, termasuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Kementerian, Keputusan Kepala BAPEDAL (Badan Pengelolaan
Dampak Lingkungan Hidup), dan peraturan regional Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Manggarai
Barat tercantum pada Lampiran D. Peraturan ini memastikan bahwa kegiatan utama pengembangan dapat
dikelola secara berkelanjutan sehubungan dengan perlindungan dan konservasi lingkungan.
Terdapat enam dari sepuluh Manual Operasi (OP/BP) menurut Kebijakan Upaya Perlindungan Lingkungan dan
Sosial Bank Dunia yang harus dipertimbangkan untuk rencana Proyek Waesano, di antaranya:
OP/BP 4.04 tentang Habitat Alami, karena intervensi proyek meliputi pengeboran dan jalan akses dekat
(atau kemungkinan berada di dalam) area yang dilindungi termasuk area konservasi dan lingkungan
danau asam yang khas, yang mana ketentuan untuk langkah-langkah konservasi dan mitigasi yang
tepat akan diperlukan selama pekerjaan;
OP/BP 4.11 Cagar Budaya sebagai tindakan pencegahan awal, tidak ada benda cagar budaya
teridentifikasi selama penapisan;
OP/BP 4.12. tentang Pemukiman Kembali Secara Tidak Sukarela. Jika pengadaan tanah diperlukan,
pengadaan tanah akan dilakukan berdasarkan willing buyer-willing seller, namun ada kemungkinan
beberapa kegiatan pengadaan tanah yang dilakukan secara tidak sukarela untuk pembangunan jalan,
serta ada kemungkinan terjadinya pembatasan akses sumber daya hutan pada tahap eksploitasi pada
masa mendatang.
OP/BP 4.36 Hutan, karena area dengan kegiatan kehutanan dapat menjadi bagian dari area terdampak
(area of influence) oleh proyek pada masa mendatang ;
Kebijakan OP 4.37 tentang Keamanan Bendungan dipicu karena kebutuhan akan waduk pengendapan
dan isu keselamatan terkait kegagalan waduk, atau bekerja di dalam dan di sekitar waduk.
Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia mempersyaratkan bahwa keseluruhan area terdampak (area of
influence) oleh Proyek dikaji dalam laporan ESIA. Dalam Proyek Eksplorasi Panas Bumi Waesano, area of
influence mencakup luasnya dampak dalam tahap eksploitasi, walaupun tahap ini baru ada di masa mendatang
dan tidak didanai dalam proyek ini.
Komponen lingkungan yang wajib diikutsertakan dalam ESIA (dan sejauh mana elemen-elemen tersebut
didefinisikan) ditentukan dalam OP/BP 4.1 Bank Dunia tentang Kajian Lingkungan. Proses penapisan dan
pelingkupan harus mempertimbangkan pedoman ini terkait rencana pengembangan, geografi dan kondisi
lingkungan yang ada, untuk menentukan cakupan dan tingkat detail yang diperlukan untuk menyediakan
informasi rona awal yang sesuai guna mendukung ESIA.
Tujuan utama kebijakan upaya perlindungan lingkungan dan sosial Bank Dunia adalah untuk membantu
menghindari, meminimalisir atau mengurangi dampak penting proyek terhadap manusia dan lingkungan. Proyek
Pedoman (guidance note) untuk staf “Mengelola Risiko Dampak Penting terhadap Masyarakat dari Masuknya
Tenaga Kerja Sementara untuk Proyek” diterbitkan pada 1 Desember 2016, dan disebarkan ke seluruh staf
operasional Bank Dunia. Tujuan utama pedoman ini adalah untuk memastikan bahwa staf Bank Dunia
memahami bahwa masuknya tenaga kerja sementara untuk pekerjaan konstruksi yang didukung Bank jelas-jelas
merupakan sebuah dampak terkait proyek yang harus dikaji dan dikelola. Prinsip utama untuk mengkaji dan
mengelola risiko secara benar dari dampak penting terhadap masyarakat yang dapat timbul oleh masuknya
Tenaga Kerja Sementara untuk Proyek meliputi:
Mengurangi masuknya tenaga kerja asing dengan menggunakan tenaga kerja setempat. Tergantung
pada besaran dan tingkat keterampilan tenaga kerja setempat, porsi tenaga kerja yang diperlukan untuk
Proyek dapat direkrut secara lokal;
Mengkaji dan mengelola risiko masuknya tenaga kerja berdasarkan instrumen yang sesuai, seperti
Rencana Pengelolaan Masuknya Tenaga Kerja yang mencakup kegiatan spesifik yang harus dilakukan
untuk meminimalkan dampak terhadap masyarakat setempat dan Rencana Pengelolaan Camp Tenaga
kerja yang mencakup aspek spesifik pembangunan dan pengoperasian Camp tenaga kerja;
Mengikutsertakan tindakan mitigasi sosial dan lingkungan dalam kontrak pekerjaan sipil.
Akhirnya, pedoman ini dengan sangat jelas membahas pemasalahan sensitif “fraternization” (pergaulan) dari
masuknya tenaga kerja dan membuat pedoman praktis bagi proyek untuk secara proaktif mengatasi risiko
terkait. Masuknya tenaga kerja dan pengikutnya dapat mengakibatkan dampak penting sosial dan lingkungan
terhadap masyarakat setempat, khususnya jika masyarakatnya adalah masyarakat desa, terpencil atau sedikit.
Potensi dampak ini harus diidentifikasi. Setelah kontraktor ditunjuk dan kontraktor memutuskan untuk pencarian
tenaga kerja yang diperlukan, maka rencana mitigasi akan mengacu pada dokumen ESMP (Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Sosial).
Pemrakarsa Proyek harus membuat kontrak pekerjaan sipil yang mereka kelola dengan memperhatikan (i)
jumlah dan karakteristik masuknya tenaga kerja; (ii) keberadaan dan implementasi tindakan mitigasi dalam
Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMP); dan (iii) apakah permasalahan yang diidentifikasi dalam
ESMP atau yang serupa dengan permasalahan yang muncul di Proyek Waesano telah terjadi, atau ada
kemungkinan terjadi. Jika diperlukan, rencana tindakan spesifik proyek menanggapi temuan-temuan dari kajian
ini akan disiapkan dan dilaksanakan.
Semua parameter kualitas udara yang dikaji selama periode pemantauan akan dibandingkan dengan standar
WHO. Kecuali untuk NH3 dan H2S, standar nilai WHO diambil dari Air Quality Guidelines Global Update (WHO,
2005). Target interim atau sasaran antara (IT-1, IT-2, IT-3) diberikan untuk beberapa parameter sebagai
pengakuan atas kebutuhan akan pendekatan bertahap untuk pemenuhan pedoman yang direkomendasikan.
Untuk NH3 dan H2S, standar diambil dari Pedoman Kualitas Udara WHO untuk Eropa (WHO, 2000).
Sedangkan untuk kebisingan, nilai yang diukur selama periode pemantauan harus dibandingkan dengan standar
WHO yang diambil dari Occupational and Community Noise (WHO, 2001). Dalam dokumen ini, standar
kebisingan diberikan dalam dua istilah, yaitu kebisingan siang hari (Ls) dan kebisingan malam hari (Lm). Ls
adalah tingkat tekanan suara secara terus-menerus yang ekuivalen dengan bobot A, diukur dari pukul 7 pagi
hingga 10 malam dan Lm diukur dari pukul 10 malam hingga 7 pagi.
PT SMI telah mengembangkan Manual Operasi dan Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMS) untuk
digunakan dalam programnya dalam mendukung investasi pemerintah setempat melalui berbagai pendanaan
infrastruktur. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMS) PT SMI disusun berdasarkan sistem negara
(peraturan pemerintah Indonesia). Terdapat beberapa pedoman yang telah diterbitkan oleh PT SMI berkaitan
dengan Perlindungan Lingkungan Sosial (ESS), seperti ESMS Proyek, ESS untuk persyaratan multilateral dan
saat ini sedang dilakukan penyusunan pedoman ESS untuk tingkat perusahaan. Seluruh pedoman tersebut
telah mencakup pengadaan tanah, Kesehatan dan Keselamatan, dan Penduduk Asli dan telah sesuai dengan
Kebijakan Upaya Perlindungan Internasional (Bank Dunia, ADB, IFC).
ESMS dipantau oleh Divisi Evaluasi Lingkungan Sosial dan Jasa Konsultasi (ELJ) di bawah Direktorat
Manajemen Risiko. Divisi ELJ ini dikepalai oleh seorang pemimpin tim yang berpengalaman. Bersama dengan
tim terdiri atas spesialis lingkungan dan sosial, PT SMI telah berkomitmen untuk meluaskan Divisi ELJ dan
merekrut lebih banyak spesialis lingkungan dan/atau sosial dalam waktu dekat untuk memperkuat Divisi ELJ. PT
SMI telah memiliki akses ke konsultan lingkungan dan sosial melalui Divisi Jasa Konsultasi.
Kebijakan Kesehatan, Keselamatan dan Lingkungan PT SMI memastikan tempat kerja yang aman bagi
karyawan dan kontraktor PT SMI untuk melaksanakan pekerjaan mereka tanpa risiko terhadap diri mereka
sendiri, orang lain atau lingkungan. Saat terdapat potensi yang menyebabkan cidera atau dampak lingkungan
negatif terhadap orang atau lingkungan, PT SMI akan mengidentifikasi dan mengurangi risiko serendah mungkin
yang dapat diterapkan, maupun mendukung pemulihan dan rehabilitasi karyawan dalam kejadian kecelakaan
kerja. PT SMI mendorong efisiensi energi dan sumber daya maupun pengurangan limbah, emisi dan
pencegahan polusi.
Kebijakan Upaya Perlindungan Lingkungan PT SMI menyebutkan bahwa aktivitas yang berpotensi memberi
dampak terhadap lingkungan dikelola dengan pendekatan yang bertanggung jawab, proaktif dan berbasis
manajemen risiko. PT SMI telah membuat komitmen untuk patuh terhadap seluruh persyaratan peraturan
lingkungan di Indonesia dan memastikan seluruh karyawan dan kontraktor sadar akan komitmen ini. PT SMI
harus meminimalkan gangguan terhadap flora dan fauna setempat, dan mencegah polusi terhadap tanah, air
dan udara.
Selain ESMS, PT SMI telah menyetujui ESMF untuk seluruh Proyek Pengembangan Hulu Energi Panas Bumi
(GEUDP) guna memberikan acuan dan pedoman bagi staf manajemen, konsultan, dan pihak terkait lain yang
berpartisipasi dalam GEUDP berupa sekumpulan prinsip, peraturan, prosedur dan pengaturan institusional untuk
menapis, mengkaji, mengelola dan memantau tindakan mitigasi terhadap dampak lingkungan dan sosial dalam
kegiatan investasi. Tujuan ESMF adalah memastikan bahwa semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam
Proyek patuh terhadap persyaratan, prosedur, peraturan terkait pengelolaan lingkungan sesuai dengan
peraturan Pemerintah Indonesia yang berlaku dan ketentuan tambahan sesuai dengan Kebijakan Upaya
Perlindungan Bank Dunia yang relevan.
Proyek ini merencanakan 2 tahap pengeboran. Tahap 1 akan mencakup tiga pengeboran slimhole pada Well
Pad A, B, atau E. Ruang lingkup aktivitas dalam Tahap 2 akan mencakup satu pengeboran standard hole pada
well pad yang terpilih setelah Tahap 1 selesai. Lokasi alternatif untuk well pad dipersiapkan untuk mengantisipasi
perubahan Proyek. Diagram alir Proyek secara keseluruhan digambarkan pada Gambar 3.2. Survei rona awal
dan kajian untuk ESIA ini dilakukan berdasarkan informasi ini. Selain itu, analisis sensitivitas dilakukan
berdasarkan konsultasi tambahan dengan masyarakat pada akhir Maret 2017 dan selama survei lokasi kedua
pada November 2017 (lihat Bagian 6.7). Konsultasi lebih lanjut akan dilakukan sebelum proses pengadaan
tanah.
Well pad dan fasilitas pendukung yang dipilih berdasarkan informasi deskripsi proyek per 22 Desember 2017 dan
hasil penelusuran pada 14 Mei 2018 dicantumkan pada Tabel 3-1 berikut ini.
Tabel 3-1 Well pad dan Fasilitas Pendukung di Rencana Lokasi Proyek
Potensi area panas bumi dan lokasi pad terletak di dalam Desa Waesano, Kecamatan Sano Nggoang
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3-1.
Sumber: Pre Feasibility Report - Waesano Geothermal Project, JACOBS, February 2018
Pengembangan sumber daya panas bumi dapat dipisahkan menjadi tahap-tahap berikut ini:
Pengumpulan data
Studi prakelayakan
Pengeboran sumur
Pengujian sumur
Penilaian reservoir
Studi kelayakan
Rencana pengeboran
Tahap 6: Konstruksi
Mengelola sumber daya panas bumi, pemantauan dan simulasi cadangan panas bumi (reservoir)
Pembangkit listrik
Penutupan sumur
Pengeboran sumur produksi (make-up well drilling), pengujian sumur, simulasi reservoir
Dipahami bahwa tahap eksploitasi adalah tahap pengembangan yang terpisah dari lingkup Proyek Eksplorasi
Panas Bumi Waesano. Sifat dan skala kegiatan pada tahap ekspolitasi, termasuk sifat dan skala kegiatan
produksi dan transmisi energi, belum dapat dipahami secara utuh pada saat penyusunan ESIA ini. Jika
pengeboran menyimpulkan bahwa sumber daya panas bumi mencukupi untuk produksi energi, dan terdapat
permintaan produksi listrik tambahan yang mencukupi di Pulau Flores, sumber daya dapat dikembangkan.
Pengembangan ini akan terjadi di luar tahap Proyek Eksplorasi Panas Bumi Waesano.
Studi lingkungan dan sosial Proyek Waesano dibatasi oleh area of interest dan area of influence. Area of interest
adalah area dimana rencana Proyek dan/atau kegiatan akan dilakukan oleh proyek Eksplorasi Panas Bumi
Waesano. Sementara area of influence adalah area lingkungan dan sosial yang diprediksikan terdampak oleh
kegiatan eksplorasi panas bumi selama survei pendahuluan, maupun tahap rekayasa teknis dan tahap
pengeboran eksplorasi. Dalam hal ini, area of influence ditentukan berdasarkan kondisi hidrologi, arah dan
kecepatan angin serta distribusi area pemukiman.
Kemungkinan kegiatan pada tahap eksploitasi meliputi aktivitas yang tercantum di atas, namun juga akan
mencakup berlangsungnya eksploitasi sumber daya (abstraksi dan penggunaan uap panas bumi serta reinjeksi
brine dan kondensat), pengeboran dan pengujian sumur selanjutnya, konstruksi dan operasi pembangkit listrik
tenaga panas bumi, fasilitas lapangan uap (steam field), jalan akses, dan jalur transmisi. Skala pengembangan
(jumlah dan lokasi sumur, ukuran dan kapasitas pembangkit listrik, ukuran dan penataan infrastruktur transmisi)
tidak diketahui hingga sumber daya selesai dieksplorasi sepenuhnya, namun studi kelayakan mengindikasikan
kemungkinan antara 10-50 MW, dengan kapasitas maksimum yang diharapkan 30 MW.
Tahap eksplorasi yang dijelaskan di bawah ini adalah skenario eksplorasi umum yang dirancang bersama
dengan Tim Teknis PT SMI.
Pengadaan Tanah;
Pengeboran Eksplorasi;
Pengujian Sumur;
Dalam proyek panas bumi, pekerjaan sipil mencakup pembangunan jalan akses, well pad dan pembangkit listrik.
Kegiatan ini mungkin dapat mengakibatkan modifikasi lanskap dan perubahan bentang alam dan kepentingan
budaya.
Satu lokasi pengeboran yang terdiri dari drill pad dan area untuk fasilitas terkait membutuhkan lahan seluas 1,5 –
3,5 ha. Oleh karenanya, konstruksi lokasi pengeboran akan berpotensi mengakibatkan modifikasi lanskap,
perubahan dan berkurangnya vegetasi, erosi tanah, pencemaran air permukaan dan perubahan bentang alam.
Tujuan utama pemilihan lokasi adalah untuk menempatkan lokasi sumur dengan memperhatikan pertimbangan
lingkungan dan sosial.
ESIA ini mencakup konsultasi dengan masyarakat setempat sebagai bagian dari proses Pemilihan Lokasi untuk
Proyek Waesano bersamaan dengan survei teknik lain seperti sipil dan geosains. Proses ini sedang berlangsung
dan semua lokasi well pad belum ditetapkan (belum final) pada saat penyusunan ESIA. Diskusi latar belakang
proses pemilihan lokasi yang berlangsung dalam 18 bulan terakhir termasuk interaksi antara tim ESIA dan tim
desain disediakan dalam Sub bab 3.4.2.
3.2.1.2. Perizinan
Sebelum memulai kegiatan Proyek Eksplorasi Waesano, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan
Konservasi Energi (EBTKE) sebagai Pemrakarsa Proyek akan memastikan diperolehnya semua izin/persetujuan
yang diperlukan. Dinas-dinas terkait di Kabupaten Manggarai Barat termasuk masyarakat yang terkena dampak
di Waesano juga akan diinformasikan tentang rencana Proyek. Sosialisasi proyek telah dilaksanakan beberapa
kali dengan pemangku kepentingan sebagai bagian dari konsultasi publik. Konsultasi publik dilaksanakan pada 3
November 2016 di Dusun Nunang di Desa Wae Sano.
Proyek ini telah mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat karena berpotensi
meningkatkan kekurangan tenaga listrik di Kabupaten Manggarai Barat dan potensi penyediaan investasi dan
infrastruktur di Pulau Flores. Dukungan Pemerintah Manggarai Barat telah ditunjukkan dengan penerbitan Surat
Keputusan Bupati Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 170/ KEP/HK / 2016 tertanggal 8
Agustus 2016 tentang Penetapan Sekretariat Bersama untuk Pemanfaatan Potensi Panas Bumi Waesano untuk
Energi Listrik di Kabupaten Manggarai Barat (Lampiran A).
Menurut Peraturan Kabupaten Manggarai Barat Nomor 9 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Manggarai Barat 2012-2032, butir 2 Pasal 13 menyatakan bahwa Kecamatan Sano Nggoang
direncanakan sebagai lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi. Area tersebut telah dikonfirmasikan untuk
pemanfaatan energi panas bumi, yang berarti terdapat peluang pengembangan area tersebut. Oleh karenanya,
lokasi eksplorasi panas bumi Waesano di Kecamatan Sano Nggoang sesuai dengan Rencana Ruang (RTRW)
berdasarkan Peraturan Kabupaten Manggarai Barat Nomor 9 tahun 2012 (lihat Gambar 3-4). Kesesuaian area
rencana proyek dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat juga telah dikonfirmasi oleh
institusi lokal terkait sebagaimana disebutkan dalam Surat Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Pemukiman
Rakyat No. PUPR.760/477/VI/2018 (Lampiran B).
Sesuai dengan Undang-Undang Indonesia No. 21 tahun 2014 tentang Izin Panas Bumi, izin panas bumi tidak
diperlukan dalam tahap eksplorasi yang bertujuan untuk menilai keberadaan sumber daya panas bumi. Izin akan
diperlukan dalam tahap eksploitasi selanjutnya dan diperoleh oleh Badan Usaha yang memiliki area konsesi
panas bumi yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral setelah proses lelang.
Sehubungan dengan pemanfaatan area kehutanan untuk eksplorasi panas bumi, menurut Peraturan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 terkait Pedoman Pinjam
Pakai Area Kehutanan, pasal 4 dan 5 menetapkan bahwa pemanfaatan area hutan di luar kegiatan kehutanan
hanya dapat dilakukan untuk kegiatan dengan tujuan strategis, termasuk kegiatan terkait Panas Bumi dan harus
berdasarkan pada Izin Pinjam Pakai.
Selain itu, berdasarkan peta status hutan (skala 1:250.000) dari Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. SK3991 tahun 2014 tertanggal 14 Mei 2014, keseluruhan lokasi Proyek (termasuk hutan
masyarakat dalam area GEUDP Waesano) terindikasi terletak dalam APL (Area Penggunaan Lain) dan tidak
dianggap sebagai area Hutan Lindung kecuali lokasi well pad WS-D dan WS-B1 alternatif (Gambar 3-5).
Survei bersama dengan UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Kabupaten Manggarai Barat diperlukan sebelum
pengajuan perizinan apapun untuk pengeboran dalam area hutan.
Proses seluruh perizinan yang disebutkan di atas akan membutuhkan Izin Lingkungan. Mengacu pada Peraturan
Pemerintah Indonesia No. 27 tahun 2012 terkait Izin Lingkungan, Pemrakarsa Proyek akan melakukan kajian
lingkungan dan sosial (terdokumentasikan dalam UKL-UPL atau laporan AMDAL) untuk menganalisa kelayakan
lingkungan dan sosial (Surat Kelayakan Lingkungan Hidup atau SKKLH) Proyek sebelum mendapatkan izin
lingkungan dari Bupati. Pekerjaan pengeboran eksplorasi panas bumi akan memerlukan studi UKL-UPL dan
pekerjaan eksploitasi akan memerlukan UKL-UPL atau AMDAL tergantung skala Proyek sesuai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2012. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi
dengan kapasitas lebih dari atau sama dengan 55 MW akan membutuhkan studi AMDAL.
Tahap pertama kegiatan pra-konstruksi melibatkan survei topografi dan survei geoteknik untuk menentukan
lokasi kegiatan pengeboran yang optimal dan mendukung desain teknik sipil yang diperlukan. Kegiatan ini akan
dilakukan oleh tim kecil pelaksana survei pengeboran tanah dan geoteknik.
Kegiatan survei geosains bertujuan untuk mengumpulkan data geosains terkait estimasi parameter kunci
reservoir (suhu, kedalaman, luas, dan sebagainya) sebelum kegiatan pengeboran eksplorasi. Survei umumnya
dimulai dengan mengumpulkan sampel dan data dari manifestasi permukaan yang sudah ada, dan kemudian
berlanjut ke survei permukaan dan sub-permukaan dengan menggunakan penyelidikan kondisi geologi,
geokimia, dan geofisika. Survei lainnya akan terus dilakukan, termasuk kajian dampak sosial dan lingkungan.
5
Peta area PIPPIB revisi XIII dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan, No.SK.6559 tanggal 4 Desember 2017, menurut Surat Instruksi Presiden RI No. 6/2013. Surat tersebut
menginstruksikan, bahwa semua Gubernur dan Bupati agar mengacu kepada peta tersebut sebagai referensi sebelum
mengeluarkan izin lokasi baru untuk proyek baru (izin lokasi merupakan salah satu persyaratan untuk izin-izin lainnya, yaitu
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Surat ini dikeluarkan oleh Presiden untuk memperbaiki pengelolaan kawasan
hutan terutama hutan alam primer dan hutan lahan gambut untuk menurunkan emisi yang diakibatkan oleh deforestasi dan
degradasi hutan
6
Pernyataan ini berdasarkan Surat Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan – BPKH Wilayah IV tanggal 1 Maret 2018.
Kegiatan eksplorasi akan dilaksanakan di area masing-masing well pad yang didesain sesuai dengan tujuannya
(slimhole dan standard hole) dengan luas sekitar 0,54-1,03 ha (slimhole) dan 1,35-2,38 ha (standard hole) untuk
masing-masing well pad guna mengakomodir pekerjaan sipil terkait penggalian dan pengurugan tanah. Satu well
pad sangat mungkin untuk mengakomodasi lebih dari satu sumur karena teknik pengeboran modern
mengizinkan penetrasi lateral dengan directional drilling. Dalam upaya untuk mengurangi dampak pada
masyarakat setempat, lokasi well pad akan ditentukan dengan mempertimbangkan jarak yang sesuai dari area
dengan sensitivitas tinggi, semisal area tempat tinggal dan area yang memiliki nilai ekologi dan budaya yang
tinggi.
Komponen proyek berikut ini akan memerlukan lahan. Informasi rinci area lahan yang diperlukan disajikan pada
Tabel 3-2.
Area (Ha)
Dari Tabel 3-2, terdapat tiga kategori kepemilikan tanah berdasarkan kedekatan lokasi dengan kegiatan Proyek
dan tahapan pengembangannya, yaitu:
1. Perbaikan jalan akses dari jalan raya Trans Flores ke area Proyek. Untuk perbaikan jalan akses
sebagai bagian dari Proyek, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Manggarai Barat
berkomitmen untuk membebaskan 23 bidang tanah untuk segmen jalan dengan total area 0,74 Ha yang
rinciannya dapat dilihat pada 3.2.6. Komitmen ini disebutkan dalam Surat Kepala Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang No. PUPR.620/BM/946/V/2018 terkait Pernyataan Dukungan Pembebasan
Lahan untuk Jalan Akses yang diperlukan oleh Proyek Panas Bumi Waesano (Lampiran C). Proses
pengadaan tanah ini akan dilakukan menurut Undang-Undang Indonesia Nomor 2 tahun 2012, di mana
untuk tanah dengan total luas kurang dari 5 Ha, proses pengadaan tanah dapat dilakukan langsung
antara institusi pemerintah dan para pihak yang berhak. Walaupun hal ini akan dikelola oleh pemerintah
daerah kabupaten, PT SMI akan memastikan bahwa terdapat kerangka transaksi yang transparan
melalui konsultasi dan sosialisasi, sementara kompensasi untuk tanah adat akan berdasarkan pada
pengakuan adat setempat jika dianggap perlu.
2. Area di sekitar Proyek (termasuk semua area pada Tabel 3-2 kecuali area untuk Perbaikan Jalan
Akses dan WS-D). Skema sewa lahan akan digunakan untuk tanah di area well pad (WS-A, WS-B, dan
WS-E) dan fasilitas pendukung seperti base camp, camp pengeboran, pipa pengambilan air/instalasi
pengolahan air, dan sebagainya. Sebagian besar tanah berada di bawah kepemilikan swasta. Proses
sewa lahan akan diselesaikan sebelum kegiatan konstruksi dimulai. PT SMI akan memastikan adanya
3. WS-D. Salah satu dari lokasi well pad potensial (WS-D) terletak di area hutan dan merupakan milik
pemerintah; oleh karenanya, Proyek harus mendapat izin untuk meminjam dan menggunakan tanah
hutan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Area Kehutanan.
Ringkasan lebih lanjut tentang skema dan proses kepemilikan tanah disajikan pada Tabel 3-3.
Untuk tahap Eksplorasi Proyek Panas Bumi Waesano, pengadaan tanah terlebih dahulu akan melalui
penyewaan kepada pemilik. Skema penyewaan oleh PT SMI dapat dilakukan sesuai dengan surat penunjukan
SMI yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. Perjanjian sewa antara PT SMI dan pemilik tanah akan
berdasarkan pada kebutuhan Proyek dengan ketentuan khusus yang mengantisipasi mekanisme pembelian
tanah pada masa mendatang oleh pihak ketiga (pengembang atau penugasan kepada IPP SOE) atau bahkan
Kementerian ESDM ketika cadangan panas bumi ditemukan di area yang direncanakan dan Pemerintah
berkeinginan untuk mengembangkan prospek tersebut.
No Posisi Jumlah
1 Manajer Lapangan 1
Staf Penghubung dengan Masyarakat
2 1
(Community Liaison)
3 Staf Keamanan 1
4 Staf Lingkungan 1
5 Sarjana Teknik Bidang Konstruksi 1 (mungkin orang Indonesia atau
ekspatriat)
6 Pengawas Konstruksi 1 atau 2 (mungkin orang Indonesia
atau ekspatriat)
7 Tenaga Ahli Geologi Eksplorasi 1
8 Tenaga Ahli Geologi Rig (Rig Geologists) 2
9 Tenaga Ahli Teknik Pengujian Sumur 1 (mungkin orang Indonesia atau
(Well Test Engineer) ekspatriat)
10 Tenaga Ahli Teknik Pengeboran (Drilling
1
Engineer)
11 Company Man 4 (mungkin orang Indonesia atau
ekspatriat)
12 Staf Administrasi 1
13 Akuntan Lapangan (Site Accountant) 1
14 Staf Pengadaan (Procurement Officer) 1
15 Manajer Base Camp 1
16 Staf Base Camp 5
17 Pengemudi 4
Total 26 – 27
Sumber: PT SMI, 15 Desember 2016
No Posisi Jumlah
1 Manajer Proyek 1
2 Asisten Proyek & Kontrol Dokumen 1
3 Insinyur Sipil dan Struktur 4
4 Tenaga Mekanik 1
5 Tenaga Kelistrikan 1
6 Tukang Las 1
7 Pengadaan Proyek 1
8 Tenaga untuk Kontrol Finansial/Biaya 1
9 QA/QC (Kendali Mutu) 1
10 Tenaga Ahli Lingkungan, Kesehatan dan Keselamatan (EHS) 2
11 Tenaga Keamanan 10
12 Store Keeper 2
Area material konstruksi (quarry) setempat yang terdekat berlokasi di Zona 184002 m Arah Timur dan 9040574
Arah Utara 51s, atau Garis Lintang (80.972886:104.659937) atau pada 8o40’8” (LS) / 120o7’44” (BT) , dan telah
diidentifikasi sebagai sumber untuk material bebatuan umum yang diperlukan dalam pengembangan Lokasi
Proyek. Quarry saat ini dikelola oleh PT Floresco dengan lisensi pertambangan Kelas C yang terletak di Timur
Laut dari Lokasi Eksplorasi dan material yang diperlukan harus diangkut ke lokasi dengan truk di sepanjang jalan
umum eksisting, dengan estimasi 2.400 muatan truk dibutuhkan untuk mengangkut sekitar 12.000 m3 material
bebatuan ke lokasi.
Jalan umum akan digunakan untuk akses ke lokasi proyek. Kajian mobilisasi rig akan dilakukan sebelum
memindahkan peralatan pengeboran yang mencakup hal berikut:
Jarak pemindahan;
Perizinan;
Kondisi jalan;
Kendala;
Kajian ini akan dilakukan oleh tim Pemrakarsa yang terdiri dari Rig Superintendent/Tool pusher, Staf Keamanan,
Kesehatan, dan Lingkungan (HSE), dan pengawas transportasi.
Sebagai bagian dari proses pengadaan tanah, pemilik tanah akan diberi informasi tentang penundaan kegiatan
konstruksi, untuk memberi mereka kesempatan membersihkan pohon atau memanen tanaman. Vegetasi yang
tersisa akan dibersihkan dari lokasi dan tanah pucuk (topsoil) akan dipindahkan dan disimpan. Vegetasi yang
dibersihkan, yang masih dapat tumbuh, jika memungkinkan akan dijadikan humus (mulch) dan dipertahankan
bersama dengan tanah pucuk dan disimpan sebagai media tumbuh untuk kegiatan lanskap atau remediasi.
Pekerjaan persiapan akan meliputi pengaturan tinggi muka tanah dan pembersihan, penggalian, dan
pengurugan tanah untuk menurunkan dan menaikkan permukaan lokasi proyek. Permukaan jalan raya dan well
pad akan didesain untuk menjaga keseimbangan antara volume gali dan urug untuk konstruksi serta
meminimalkan atau menghilangkan kelebihan sisa material atau material urug tambahan di luar material yang
diambil dari quarry untuk keperluan stabilisasi.
Pekerjaan ini akan memerlukan mobilisasi peralatan berat ke lokasi melalui jalan umum, dan ke titik-titik masuk
koridor. Sebelum mobilisasi peralatan berat ke lokasi, inisiator akan melakukan survei rute untuk memastikan
adanya koridor yang sesuai, dan akan memfasilitasi setiap pengaturan sementara dengan instansi berwenang
yang relevan apabila diperlukan, seperti menaikkan kabel listrik dan jasa. Pekerjaan ini meliputi penilaian
kapasitas muatan jembatan dan struktur.
Keseluruhan jalan akses dari jalan Trans Flores (Labuan Bajo – Ruteng ke Danau Sano Nggoang ditunjukkan
pada Gambar 3-7, Gambar 3-8 dan Gambar 3-9.
Lokasi masing-masing well pad telah dipilih berdasarkan hasil survei sumber daya panas bumi dan pemeriksaan
keteknikan sipil. Tata letak well pad tipikal ditunjukkan pada Gambar 3-10. Lokasi well pad meliputi kolam dengan
kapasitas sekitar 500 m3 pada kedalaman kira-kira 2,5 – 3,0 m (digunakan untuk Tahap 1: Pengeboran Slimhole)
dan 3.000 m3 pada kedalaman sekitar 4 m (digunakan untuk Tahap 2: Pengeboran Standard Hole). Dalam
jangka pendek, kolam akan digunakan selama pengeboran untuk menangkap sedimen dan selama terjadi hujan
deras, untuk menampung kelebihan air limpasan permukaan. Setiap aliran air pada permukaan akan diekstrak
dan dikembalikan ke proses pengeboran dan tidak akan keluar dari lokasi pengeboran; diharapkan tidak akan
ada kelebihan air selama operasi pengeboran tipikal. Kolam juga akan digunakan selama tahap pengujian untuk
mengumpulkan fluida panas bumi sebelum reinjeksi.
Sebagai pelengkap, fluida panas bumi akan diuji terhadap karakteristik limbah berbahaya sesuai dengan
peraturan Indonesia. Jika terbukti berbahaya, maka akan diperlakukan sebagai limbah berbahaya dan disimpan
dalam fasilitas tempat penyimpanan sementara pada well pad selama kegiatan pengeboran. Untuk kepentingan
keamanan publik, well pad akan dipagari untuk mencegah penerobos.
Tata letak masing-masing well pad (WS-A, WS-B, WS-D, dan WS-E) dan fasilitas infrastruktur dijelaskan pada
Lampiran E.
Logistik;
Mess;
Genset; dan
Pagar.
Sebuah bengkel kecil sementara akan dibangun untuk fasilitas pemeliharaan rutin dan perbaikan kecil kendaraan
dan mesin di well pad. Semua bahan bakar dan minyak pelumas yang dikumpulkan di bengkel akan disimpan
sesuai dengan peraturan Indonesia. Limbah seperti minyak pelumas bekas, saringan, baterai dan limbah umum
akan dikelola sesuai dengan sistem pengelolaan limbah yang sudah ada sesuai peraturan yang berlaku.
Proyek Eksplorasi Panas Bumi juga akan menerapkan dua jenis pengeboran, slimhole standard hole. Selama
program pengeboran Tahap 1, pengeboran slimhole akan dimulai pada dua well pad, yaitu WS-B dan WS-D,
Selama kegiatan pengeboran, terdapat potensi peningkatan kebisingan dan dampak terhadap kualitas udara.
Durasi emisi dan kebisingan mesin adalah 24 jam/hari selama operasi pengeboran.
Sumber kebisingan:
Partikulat selama pencampuran lumpur dan semen (debu kimia lumpur dan semen);
Gas downhole yang dilepaskan pada shaker (karbon dioksida, H2S, metana (zat organik yang
terdekomposisi);
Sumber: https://petrominer.com/
Kedalaman pengeboran dapat mencapai 1.500 m hingga 2.500 m, tergantung pada kedalaman reservoir panas
bumi pada lokasi tersebut. Sumur eksplorasi, oleh karenanya, sering dibor lebih dalam daripada tipikal sumur
Bagian atas masing-masing lubang sumur dibor bertahap dengan diameter bor yang semakin kecil. Hal ini
meminimalkan risiko semburan (blow-out) dengan menghindari pengeboran lubang terbuka yang lebih dalam
dari peralatan pada permukaan (pencegah semburan atau blow-out preventer) yang dapat menghindari dan lebih
penting, memungkinkan pemasangan casing dari sisi dinding untuk menutup lapisan atas dari bagian dalam
sebuah sumur. Unsur-unsur penting dari lapisan atas, seperti akuifer air tanah tidak akan terpapar kontaminasi
dari lumpur pengeboran dan cairan panas bumi yang akan bergerak naik dan turun di dalam sumur serta akan
dijaga dari semburan dari bawah permukaan (subsurface) ke dalam rongga selama tahap pengujian.
Pengeboran akan memperhitungkan formasi batuan litologi, tekanan yang akan dilalui, dan akan dilakukan
sesuai dengan prosedur operasi standar yang berlaku untuk kegiatan pengeboran panas bumi. Dalam kegiatan
pengeboran panas bumi, adalah hal yang umum untuk mengalami kehilangan sirkulasi fluida pengeboran karena
hilangnya ke dalam formasi batuan. Dengan demikian, material untuk pencegah kehilangan fluida pengeboran
harus disiapkan, seperti mica yang digunakan untuk mengisi celah (gap), air, sekam padi, dan sebagainya
Untuk menghindari kemungkinan semburan bertekanan tinggi, pencegah semburan atau Blow Out Preventer
(BOP) akan dipasang pada permukaan. Jika terjadi semburan, BOP secara otomatis akan menutup permukaan
sumur. Kinerja katup utama dan pengukur tekanan akan diperiksa secara periodik untuk memastikan bahwa
semua instrumen pengukuran dan mekanisme reaksi (mekanik dan listrik) berfungsi dengan baik dan tidak ada
kebocoran. Selain itu, jika blow-out terjadi dan BOP ini diaktifkan, maka tekanan dan temperatur tinggi akan
dapat diatasi dengan dengan menginjeksi fluida/lumpur dingin melalui katup sekunder. Tipikal bagian sumur
untuk pengeboran standar ditunjukkan pada Gambar 3-12.
Pengeboran simhole dapat mencapai kedalaman sampai dengan 2.000 m, tergantung kepada kedalaman
reservoir panas bumi pada lokasi tersebut. Diameter sumur eksplorasi tergantung pada desain pengeboran, yang
akan dibor dengan casing berdiameter sekitar 3”. Tipikal bagian truk dan sumur untuk pengeboran slimhole
masing-,masing ditunjukkan pada Gambar 3-14 dan 3-15.
Sumber air yang dapat diandalkan dibutuhkan untuk menyediakan kebutuhan puncak di salah satu well pad
selama operasi pengeboran. Investigasi terhadap potensi sumber air dan lokasinya telah dipertimbangkan dan
telah disimpulkan, bahwa air danau dari Danau Sano Nggoang akan dimanfaatkan sebagai sumber air baku
untuk pengeboran. Sumber air lainnya seperti air permukaan atau air tanah tidak dapat digunakan karena debit
Air danau diambil dengan menggunakan pompa (suction lift pump), dan dialirkan ke fasilitas pengolahan air
sementara, yang terletak di area terbuka antara Pad A dan B. Fasilitas yang serupa akan disediakan di Camp
Pengeboran untuk memfasilitasi distribusi air ke Pad D (atau E, tergantung pada urutan pengeboran). Karena air
danau bersifat asam, maka material pompa akan dipilih yang tahan terhadap air asam.
Air danau akan dipompa ke fasilitas pengolahan air, di mana cairan kaustik ditambahkan melalui pena injeksi
untuk menetralkan kadar asamnya. Untuk meningkatkan dosis cairan tersebut, air akan dilewatkan melalui mixer
statis, sebelum disimpan di tangki penyimpanan, yang dibuat dari kontainer berukuran 20 kaki.
Fasilitas pengolahan air akan dibangun sebagai instalasi bersifat sementara dan mobile sehingga pompa
pengambilan air (intake pump), peralatan pembubuhan bahan kimia dan pompa distribusi air dapat dipindahkan
antara dua lokasi fasilitas sesuai keperluan. Fasilitas sementara termasuk diantaranya penggunaan Pipa
Victaulic yang dapat dikonfigurasi ulang menurut kebutuhan operasional.
Air yang telah diolah dari tangki penyimpanan akan didistribusikan ke well pad yang memerlukan, tergantung
pada kebutuhan urutan pengeboran. Disamping kebutuhan distribusi air yang diolah untuk kegiatan pengeboran,
akan terdapat juga kebutuhan pemindahan brine di antara well pad untuk injeksi.
Umumnya, pemompaan air danau akan terus dilakukan sejalan dengan operasi pengeboran. Kemungkinan
durasi pemompaan air tidak dapat diestimasi dalam hitungan bulan atau minggu. Hal ini akan tergantung pada
kebutuhan air selama operasi pengeboran.
Untuk saat ini, rencana penyediaan air bersih bagi base camp kontraktor sipil dan base camp pengeboran akan
disediakan oleh truk tangki di mana air diambil dari sumber air yang tidak mengganggu ketersediaan air untuk
kebutuhan masyarakat setempat dan berkoordinasi dengan institusi setempat terkait. Berdasarkan jumlah
pekerja dan standar kebutuhan air untuk kota sedang, diasumsikan bahwa total kebutuhan air rumah tangga
adalah 120 liter/orang/hari, sehingga total kebutuhan air dapat dihitung sebagai berikut:
Selama konstruksi: 120 liter/orang/hari x 96 orang = 11.520 liter/hari atau 11.52 m3/hari;
Selama operasi untuk pengeboran slimhole: 120 liter/orang/hari x 45 orang = 5.400 liter/hari atau
5,4 m3/hari;
Selama operasi untuk pengeboran standard hole: 120 liter/orang/hari x 92 orang = 11.040 liter/hari
atau 11,04 m3/hari.
Berdasarkan litologi dan target kedalaman pengeboran untuk setiap sumur, kebutuhan bahan/material akan
sama. Bahan lumpur pengeboran mencakup campuran air dengan bentonit (untuk peningkatan viskositas
lumpur), dan bahan-bahan tertentu seperti Barium Sulfat (untuk meningkatkan densitas) dan lain-lain (Tabel 3-
11). Perhatian bahwa tidak semua bahan-bahan tambahan (additives) ini mungkin ada dalam fluida pengeboran
yang akan digunakan untuk Proyek. Pasokan lumpur pengeboran dan bahan penyemenan akan dilakukan oleh
kontraktor yang ahli di bidangnya. Kebutuhan soda kaustik untuk air pengeboran disajikan dalam Tabel 3-15.
Perlengkapan pengeboran untuk kegiatan pengeboran meliputi rig, pompa lumpur, sistem sirkulasi fluida
pengeboran, kompresor udara, BOP, unit penyemenan dan perlengkapan pengeboran lain sebagaimana
disajikan pada Tabel 3-16.
3.2.8.6. Lumpur Bor (Drilling Mud) dan Serbuk Bor (Drlling Cuttings)
Lumpur bor (Drilling Mud) adalah fluida atau cairan yang digunakan dalam pengeboran panas bumi. Lumpur bor
berfungsi sebagai pelumas yang mengurangi gesekan pada cutting bit dan mencegah terjadinya kemacetan
pada poros bor (drilling shaft) ketika mencapai bagian badan sumur yang lebih sempit. Kegiatan pengeboran
akan menggunakan lumpur berbasis air. Selain itu, lumpur bor juga menggunakan material lain sebagai aditif.
Material ini dapat dalam bentuk padat dan cair yang berfungsi sebagai ballast, viscofier, penetral pH, dan aditif
lain. Lumpur bor berpotensi menjadi salah satu penggunaan terbesar berdasarkan volume karena kebutuhan
cairan untuk sumur pengeboran dengan kedalaman sekitar 1.500 hingga 2.500 m.
Serbuk bor (Drilling Cuttings) adalah suatu potongan formasi batuan dan/atau material lain yang dibuang dari
lubang bor selama pengeboran panas bumi. Galian pengeboran dapat dipisahkan dari fluida pengeboran melalui
shale shaker, dan fraksi cair dikembalikan ke tangki lumpur bor sebelum digunakan kembali. Shale shaker terdiri
dari serangkaian saringan bergetar (vibrating screens) yang memisahkan potongan kasar dari cairan. Pada
saluran masuk, material dilepaskan secara merata melalui saringan bergetar Saringan hanya dapat menyaring
partikel padat dalam ukuran tertentu yang dapat melewatinya. Gerakan saringan bergetar didesain untuk
mengangkut padatan yang melebihi ukuran (serbuk bor) ke ujung pembuangan pada shale shaker. Beberapa
saringan dengan ukuran berbeda dapat digunakan untuk membuang padatan dengan diameter berbeda.
Menurut Peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 21 tahun 2017 tentang Pengelolaan
Limbah Lumpur Bor dan Serbuk Bor pada Pengeboran Panas Bumi, disebutkan bahwa lumpur bor dan serbuk
bor dari pengeboran panas bumi yang menggunakan bahan dasar air/atau udara tidak termasuk dalam kategori
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Tipikal tata letak well pad ditunjukkan pada Lampiran E, yang menunjukkan kolam penampungan air/lumpur bor
dengan total kapasitas sekitar 3000 m3. Kolam yang didisain untuk proyek Waesano ini akan digunakan untuk
memisahkan air bersih dan air yang mengandung limbah padat yang dihasilkan selama proses pengeboran.
Kolam akan dilapisi dengan lapisan High-density Polyethylene (HDPE) di bagian dasarnya untuk memastikan
tidak ada rembesan ke dalam tanah dan air tanah. (mengacu pada Gambar 3-16).
Sebelum mencapai kolam penampungan lumpur dari proses pengeboran, padatan yang dihasilkan akan
dipisahkan menggunakan shale shaker dan sistem kendali padatan kemudian dikumpulkan dalam fasilitas
penyimpanan sementara, sebelum dibuang ke fasilitas pembuangan limbah pengeboran permanen. Untuk itu,
fasilitas penyimpanan sementara pada setiap lokasi sumur akan terdiri dari bak penampung serbuk bor (cutting
pit) didasari dengan lapisan beton dengan saluran pembuangan yang terhubung ke kolam prnampungan proses
pengeboran. Untuk pengeboran slimhole, volume limbah diprakirakan kecil, sehingga area penyimpanan
sementara (stockpile) yang dilapisi dengan HDPE akan disediakan di samping well pad. Lumpur bor yang
diesktraksi dalam unit shale shaker akan didaur ulang dan dimasukkan kembali ke dalam sistem fluida
pengeboran untuk digunakan kembali dalam proses pengeboran yang masih berlangsung.
Setelah selesainya proses pengeboran, limbah sisa pengeboran (serpihan batuan halus, lumpur bentonit) yang
tertinggal dalam kolam penampungan akan dipindahkan menggunakan excavator sebagai persiapan
penggunaan kolam untuk menampung brine selama pengujian sumur. Limbah sisa pengeboran tersebut akan
dibawa ke lokasi pembuangan limbah permanen yang juga menampung limbah yang dihasilkan dari lokasi
pengeboran lainnya.
Lumpur bor dan serbuk bor dari pengeboran panas bumi (dengan bahan dasar udara/fluida yang diaerasi),
dipastikan tidak termasuk golongan limbah berbahaya dan beracun, sesuai dengan Peraturan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 21 tahun 2017 tentang pengelolaan limbah lumpur bor dan serbuk bor
pada pengeboran panas bumi. Meskipun demikian, pengambilan sampel dan uji laboratorium lumpur bor dan
serbuk bor harus dilakukan sebagai tindakan pencegahan. Jika pengujian laboratorium menunjukkan bahwa
material lumpur bor dan serbuk bor tergolong sebagai limbah berbahaya dan beracun, akan ditangani dan
disimpan sementara sesuai dengan standar Peraturan Indonesia untuk limbah B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun), dan akan dibuang keluar lokasi Proyek oleh operator limbah berbahaya berlisensi ke fasilitas
pengelolaan limbah berbahaya yang berlisensi. Pengujian limbah hasil pengeboran dan pelaporan hasilnya akan
dijelaskan lebih lanjut dalam uraian Prosedur Pengelolaan Limbah di bawah ini.
Limbah serbuk bor bisa dimanfaatkan untuk memproduksi material konstruksi seperti beton, material dinding
penahan, atau aditif untuk batu bata (sesuai dengan Lampiran II dan III Peraturan Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral No. 21 tahun 2017), jika material dianggap layak oleh ahli geoteknik untuk digunakan
kembali. Namun, mengingat volume limbah yang diprakirakan relatif kecil selama tahap pengeboran eksplorasi
Tindakan pengelolaan lain yang akan dilakukan di setiap well pad untuk menampung limbah atau potensi limbah
B3 yang dihasilkan selama proses pengeboran meliputi:
Pembuatan saluran drainase di sekeliling batas tapak bor (pad) untuk mencegah limpasan keluarnya
bahan pencemar karena adanya hujan. Aliran air hujan ini akan mengalir melalui pemisah minyak/air
(oil/water separator) sebelum dialirkan ke kolam penampungan;
Pengendalian muka air di kolam penampungan untuk mencegah luapan. Sebuah pipa dan katup
pengatur akan dipasang di kolam penampungan untuk digunakan saat pengeringan kolam bilamana
diperlukan; dan
Penahan bahan berbahaya atau B3 (contoh: bahan bakar, aditif lumpur) di area yang aman, termasuk
perlindungan yang efektif dari cuaca, dan dengan penyediaan tanggul (bunding) untuk menampung
adanya tumpahan.
Dengan mengacu pada konfirmasi terhadap hasil uji laboratorium yang menyatakan bahwa limbah pengeboran
yang dihasilkan dari pengeboran Waesano tidak digolongkan sebagai berbahaya (B3), limbah tersebut akan
dibuang ke pembuangan permanen di dalam fasiltias tempat penimbunan limbah (landfill). Fasilitas penimbunan
limbah akan berlokasi di dalam area Proyek dan desain penempatan serta konstruksinya harus akan
memepertimbangkan kondisi geoteknik, hidrogeologik maupun sosial/lingkungan setempat. Unsur utama tempat
penimbunan limbah akan mencakup:
Penentuan ukuran untuk menampung volume maksimum yang diantisipasi dari seluruh limbah
pengeboran padat yang dihasilkan selama tahap pengeboran eksplorasi, termasuk penimbunan kembali
dengan tanah pucuk sebagai bagian dari pemulihan kembai lokasi proyek;
Pemasangan lapisan kedap air untuk mencegah rembesan setiap produk limbah ke dalam tanah dan
sistem air tanah di bawah landfill. Bahan lapisan akan sama dengan yang digunakan untuk kolam
penampungan pengeboran (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3-16);
Drainase di sekeliling untuk menangkap setiap aliran permukaan ke dalam landfill selama adanya
limpasan dari curah hujan;
Penimbunan limbah setidaknya 2 m di bawah permukaan tanah untuk meminimalkan potensi paparan
terbuka terhadap lingkungan. Hal ini dapat dicapai dengan memasang tutup dengan permeabilitas
rendah atau low permeable cap (10-7 cm/detik) di atas timbunan sampah dan menutupinya dengan
tanah pucuk (topsoil) sebagai bagian dari proses pemulihan kembali lokasi proyek.
Gambar 3-16 Tipikal Sumuran Pengeboran untuk Sumur Konvensional dengan Lapisan Kedap
Air dan Struktur Pembagian Air Bersih
Beberapa tindakan harus dilakukan untuk mengelola dan menghindari potensi dampak negatif terkait
penggunaan, penyimpanan dan pembuangan limbah lumpur bor dan serbuk bor. Tindakan-tindakan yang
dijelaskan di bawah ini berfokus pada pencegahan dampak negatif sebagai berikut:
Harus ada Safety Data Sheets (SDS) untuk semua lumpur bor dan fluida pengeboran serta dikaji untuk
memastikan material tersebut tidak tergolong B3 sesuai dengan Peraturan Pengelolaan Limbah Panas
Bumi.
Kolam penampungan limbah pengeboran harus dilapisi dengan material yang layak untuk mencegah
pembuangan ke dalam tanah, air tanah dan saluran air. Kolam penampungan limbah pengeboran harus
memiliki volume penampungan yang mencukupi tanpa kompromi. Selama pengeboran, kapasitas
penampungan harus diperiksa setiap jam dan batas permukaan yang sudah ditentukan sebelumnya harus
diatur dengan adanya pembuangan (misalnya kapasitas kolam harus dijaga pada atau di bawah 80% dari
kapaitas total.);
Contoh lumpur bor dan serbuk bor yang bersifat representatif akan diuji di laboratorum dengan
menggunakan teknik pengujian Toxic Characteristic Leaching Potential (TCLP). Pengujian TCLP akan
dilakukan sesuai dengan Metode US-EPA 1311 atau metode yang diatur dalam peraturan Indonesia sesuai
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.63 tahun 2016 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Fasilitas Penimbunan Akhir. Paling sedikit
diambil satu contoh setiap 50 m3 material limbah dalam kolam penampungan limbah pengeboran. Hasil uji
ini akan menentukan bagaimana material disimpan dan dibuang:
o Limbah B3 harus disimpan dengan cara yang tepat untuk mencegah pembuangan ke dalam tanah,
air tanah dan saluran air;
o Seluruh izin dan persetujuan yang relevan terkait buangan limbah B3 harus diperoleh dari instansi
yang berwenang;
o Volume setiap limbah B3 yang disimpan di lokasi Proyek harus diminimalisir dengan meningkatkan
frekuensi pengambilan jika perlu. Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 di lokasi
Proyek selama maksimal 30 hari dan limbah tersebut harus disimpan dalam fasilitas yang tahan
cuaca dan aman dengan struktur tanggul untuk menampung tumpahan atau kebocoran;
o Limbah B3 harus dibuang keluar lokasi Proyek oleh operator limbah B3 berlisensi ke fasilitas
pengelolaan limbah B3 yang berlisensi.
Jika hasil pengujian laboratorium menyatakan bahwa material lumpur bor dan serbuk bor tidak tergolong B3,
material tersebut dapat dibuang ke tempat pembuangan permanen dalam fasilitas penimbunan di dalam
area Proyek. Sebagai alternatif, jika material tersebut dinyatakan layak oleh ahli geoteknik, maka dapat
berpotensi digunakan untuk menghasilkan material konstruksi;
Prosedur pengangkutan limbah yang baik harus diterapkan untuk memastikan tidak terjadi tumpahan
selama pemindahan lumpur bor dan serbuk bor. Material harus diangkut di dalam struktur bejana yang tepat
dan diberi label yang jelas;
Saat terjadi tumpahan (minyak atau lumpur), selama pengeboran atau pengangkutan, tumpahan harus
dibendung dan dilakukan remediasi secara benar. Perangkat yang digunakan saat terjadi tumpahan (spill
kits) akan ditempatkan di lokasi, dekat tempat kerja. Metode pembendungan tumpahan akan bergantung
pada faktor lokasi tumpahan termasuk banyaknya tumpahan, lokasi tumpahan dan lingkungan penerima.
Semua staf dan pekerja akan dilatih dengan benar tentang bagaimana menggunakan spill kits dan lokasi-
lokasinya pada well pad harus ditandai dengan jelas;
Seluruh Well pad harus didesain dengan drainase di sekeilingnya untuk mencegah keluarnya limpasan
semua jenis limbah termasuk tumpahan yang tidak terduga. Drainase harus didesain untuk menangani
kemungkinan adanya laju aliran permukaan tanah yang dapat terjadi selama hujan deras di lokasi, semua
aliran harus melalui pemisah minyak/air sebelum dibuang ke dalam kolam penampungan.
Gambar 3-17 menjelaskan diagram alir pembuangan lumpur bor dan serbuk bor.
Kegiatan panas bumi akan menghasilkan limbah cair dan limbah padat, termasuk limbah organik dan limbah
domestik selama pembersihan dan persiapan lahan, perbaikan jalan akses, pembangunan well pad dan
infrastruktur, kegiatan pengeboran maupun pengujian sumur. Laporan UKL-UPL memperkirakan jumlah pekerja
adalah sekitar 96 orang selama tahap konstruksi dan 92 orang selama tahap operasi termasuk staf Proyek dari
Pemrakarsa. Para pekerja ini akan menghasilkan berbagai jenis limbah domestik. Tipikal volume rata-rata
timbulan sampah domestik limbah rumah tangga di Indonesia adalah 2,5-2,75 liter/orang/hari atau 0,625 – 0,70
kg/orang/hari (SNI 19-3983-19957). Sementara itu, tipikal volume air limbah adalah 80%8 dari total kebutuhan air
bersih; seorang pekerja akan menghasilkan sekitar 96 liter/orang/hari.
Pengurangan limbah domestik sebanyak mungkin harus diterapkan sebelum pembuangan limbah. Sebagai
contoh: menggunakan dispenser untuk air minum pengganti air kemasan dalam botol. Pada area well pad dan
base camp, limbah harus dipilah dan disimpan berdasarkan kategori limbah organik dan non-organik sebelum
dibawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Pembuatan kompos limbah organik akan dilakukan apabila
memungkinkan serta penggunaan kembali limbah non-organik sebelum dikirim ke Tempat Pemrosesan Akhir
(TPA) terdekat di Labuan Bajo berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK).
Dalam hal limbah cair, area well pad dan konstruksi jalan akan disediakan toilet portabel. Toilet portabel harus
dibersihkan setiap hari dan pembuangan dilakukan ke tangki septik.
7
SNI 19-3983-1995 mengenai Spesifikasi Timbulan Sampah di Kota Kecil dan Kota Sedang di Indonesia.
8
Tchobanoglous and Burton, 1991
3.2.8.9. Limbah B3
Limbah B3 dari kegiatan pengeboran dapat berasal dari sisa-sisa limbah lap katun yang terkontaminasi minyak
maupun sisa lampu neon (TL), baterai/aki bekas, pelarut (solvents) dan kemasan yang terkontaminasi. Prosedur
penanganan limbah B3 harus mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah B3. Prosedur penyimpanan limbah harus mengacu pada Keputusan Kepala Bapedal Nomor 01 tahun
1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3.
Limbah B3 akan disimpan dalam wadah yang tepat dengan pengemasan yang dibuat dari material yang sesuai
dengan sifat limbah B3. Seluruh wadah limbah B3 akan dilengkapi dengan simbol/rambu peringatan dan label
berbahaya sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2013 tentang Simbol dan
Pelabelan Limbah B3. Limbah B3 akan diangkut dan dibuang ke lokasi pengelolaan limbah B3 yang berlisensi
oleh operator pengelolaan limbah B3 yang berlisensi.
Selama pengujian sumur, akan terdapat pelepasan uap secara horizontal dari atas Atmospheric Test Tank (juga
disebut Silencer), yang akan disertai gas panas bumi (sebagian besar gas CO2 dan H2S). Dalam tangki ini, fluida
dua fasa akan dipisahkan menjadi uap dan brine. Gas akan cenderung terangkat oleh gumpalan uap dan
menyebar dengan aman, walaupun peralatan pemantauan gas akan digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa
konsentrasi gas yang aman pada permukaan tanah tidak terlampaui. Brine akan dilimpahkan keluar dari bawah
tangki melalui weir (bendung) dan menuju kolam pengumpul pada well pad.
Durasi pengujian sumur akan bervariasi sesuai dengan jenis dan ukuran sumur (tipikal untuk slimhole sekitar 1
minggu dan sumur standar sekitar 1 bulan). Selama periode pengujian, laju alir yang dikeluarkan dari sumur
akan bervariasi dari pengeluaran penuh hingga turun mungkin sekitar 20% untuk sumur standar (terbatas dari
waktu ke waktu oleh kapasitas injeksi yang tersedia), sementara itu untuk slimhole kemungkinan besar akan
dikeluarkan dengan kapasitas penuh.
Pada interval berkala atau terus-menerus selama pengujian laju alir, cairan dalam kolam pengumpul well pad
harus dipindahkan ke sumur yang telah selesai di lapangan untuk injeksi. Pemindahan akan melalui pipa baja
karbon dengan pompa propulsi atau gravitasi (jika memungkinkan).
Selama operasi pengeboran normal, akan ada pelepasan udara minimal, meskipun ada hidrogen sulfida (H2S)
mungkin dilepaskan dari tangki lumpur (kontraktor rig pengeboran akan menyediakan perlengkapan pemantauan
untuk mendeteksi dan memperingatkan tingkat H2S yang tidak normal) dan mungkin terdapat sedikit uap panas
(steam) yang terbentuk dari tangki lumpur jika temperatur downhole tinggi. Jika terjadi “kick” dari sumur, yang
akan cenderung melepaskan fluida lubang sumur, terdiri dari fluida pengeboran, uap panas (steam) dan brine,
diverter di atas rig akan mengarahkan pembuangan jauh dari lantai rig menuju tangki lumpur. Jika “kick” tetap
terjadi atau berlebihan, perlengkapan pencegah semburan (blow out preventer) akan dioperasikan untuk
mengisolasi sumur dan mencegah pelepasan lebih jauh. “Kick” kemudian akan dikendalikan dengan memompa
air dingin ke dalam lubang sumur untuk melepaskan tekanan lubang sumur.
Dampak penurunan kualitas udara disebabkan oleh pelepasan gas downhole (H2S) di dalam shaker dan area
steam kicks. Gas H2S larut dalam udara yang membutuhkan aerosol, seperti kabut, akan menyala dengan
oksigen atmosfer untuk membentuk senyawa yang mengandung belerang yang lebih teroksidasi.
Jika keseluruhan program eksplorasi tidak mengindikasi sumber daya yang dapat dikembangkan secara
ekonomis, sumur tersebut kemudian akan disumbat dan ditinggalkan.
Pengembangan (eksploitasi) akan dilakukan setelah proyek eksplorasi di Waesano selesai. Aktivitas pada
tahapan eksploitasi kemungkinan akan mencakup aktivitas yang telah disebutkan di atas untuk pengeboran
sumur-sumur konstruksi lebih lanjut, konstruksi dan operasi pembangkit listrik tenaga panas bumi, jalur pipa uap
(steam) dan air brine, jalan akses dan jalur transmisi kemudian aktivitas eksploitasi sumber daya yang sedang
berlangsung (abstraksi dan penggunaan uap panas bumi dan reinjeksi brine yang telah dipisahkan), ditambah
dengan kemungkinan pengeboran dan pengujian make-up wells di masa mendatang.
Jika proyek dikembangkan, maka tim eksplorasi akan membersihkan lokasi proyek, memindahkan dan
membuang puing-puing apapun sesuai dengan sifatnya. Kelebihan material (misalnya lumpur atau bahan kimia
semen dan barang habis pakai pengeboran) harus dipindahkan oleh kontraktor jasa pengeboran dan
dikembalikan ke inventaris mereka. Beberapa material yang masih bisa dimanfaatkan (long lead materials)
disimpan oleh Kontraktor dan digunakan pada proyek-proyek selanjutnya. Seluruh kolam penampungan
pengeboran akan dikuras (cairan akan dipompa kembali ke sumur), dan saluran air dengan permukaan rendah
akan dibiarkan terbuka untuk mencegah pengumpulan air hujan. Semua katup kepala sumur akan dirantai dan
digembok rapat. Semua lubang serbuk bor (cuttings pits) akan ditutup dengan tanah dan ditanami kembali.
Lokasi akan diserahterimakan kepada Kementerian ESDM untuk pemeliharaan dan keamanan lebih lanjut
hingga pengembang selanjutnya diberikan konsesi dan mengambil tanggung jawab atas lokasi proyek. Jika
proyek dianggap tidak dapat dikembangkan, maka tim eksplorasi akan menyumbat dan menutup masing-masing
lubang dengan memasukkan kerikil ke dalam sumur dan diikuti dengan sumbat semen (cement plug). Kepala
sumur akan dipotong sesuai permukaan lantai cellar dan dinding cellar dibongkar dan dipindahkan ke dasar
Lapisan pada kolam penampungan limbah pengeboran di well pad akan dibuang dan dinding kolam
penampungan diratakan sesuai permukaan tanah yang ada. Galian kolam penampungan akan diurug kembali
serta diberi lapisan topsoil setebal sekitar 150 - 200 mm dan dikontur sesuai keperluan. Jalan yang tidak ingin
dipertahankan oleh masyarakat setempat akan dibongkar, disebar permukaannya dengan topsoil dan ditanami
kembali. Bangunan-bangunan pendukung permanen (seperti gudang atau kantor) akan ditawarkan kepada
masyarakat setempat untuk digunakan. Jika mereka tidak ingin menggunakannya, maka bangunan tersebut
akan dihancurkan dan lokasi akan ditutup dengan topsoil dan ditanami kembali. Koam serbuk bor (cuttings pits)
akan ditutup dengan topsoil dan ditanami kembali.
Prakiraan jadwal proyek secara mendetail diberikan pada Lampiran E per Februari 2018. Keseluruhan Peroyek
akan diselesaikan dalam waktu sekitar 881 hari. Prakiraan jadwal Proyek diringkas dalam Tabel 3-18.
Tahap 2
Konstruksi
Pengeboran
Long Lead Items
Mobilisasi
Pengeboran 1 Sumur
Pengujian Sumur
Penyusunan Laporan
Laporan Akhir kepada Komite Bersama
Keputusan untuk Tender atau Alokasi
Operasi Eksplorasi Waesano oleh SMI selesai
Untuk memenuhi permintaan pengguna, diperlukan peningkatan kapasitas pembangkit listrik dan perluasan jalur
transmisi.Sektor tenaga listrik tengah berkembang cepat untuk memenuhi permintaan ini, terutama melalui
penggunaan sumber energi tradisional. Kapasitas pembangkit listrik Indonesia naik dari 22,5 GW pada 2005
menjadi 53 GW pada 2014, meningkat menjadi 55 GW pada 2015. Berbagai sumber energi ditunjukkan pada
Gambar 3-19 (Sumber: Buku Statistis Tenaga Listrik Nomor 29 tahun 2016). Sebagaimana ditunjukkan,
kebanyakan listrik dihasilkan dari batu bara, dengan sekitar 13% dihasilkan dari panas bumi dan tenaga air. Di
Nusa Tenggara Timur, 79% tenaga listrik dihasilkan dari diesel, dengan sekitar 4% dihasilkan dari sumber daya
panas bumi (Gambar 3-20).
Terdapat kekhawatiran global yang meningkat terhadap dampak perubahan iklim dan faktor-faktor kontributor
antropogenik yang menyebabkan pemanasan atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil dan konversi
penggunaan lahan dari hutan ke pertanian atau ladang rumput adalah dua faktor yang paling signifikan yang
telah meningkatkan konsentrasi CO2 global, yang merupakan Gas Rumah Kaca (GRK) antropogenik utama yang
berkontribusi pada tingkat GRK yang belum pernah terjadi sebelumnya di atmosfer. Terutama dikarenakan
perubahan penggunaan pertanian/lahan, konsentrasi atmosfer global metana dan nitrogen oksida juga telah
meningkat. Kontribusi Indonesia bagi emisi global saat ini menempati peringkat sembilan dunia, setara dengan
Kerajaan Inggris dan Meksiko. Karena Indonesia adalah negara berpenduduk keempat terbesar dunia, emisi per
kapitanya rendah secara komparatif. Delapan puluh satu persen emisi Indonesia berasal dari tiga sumber utama;
perubahan penggunaan lahan (deforestasi) (48%), sektor energi (20%), dan kebakaran lahan gambut (13%).
Panas
Bumi Mesin-Gas
1%
Turbin Gas 3%
8%
Air
10%
Batubara
Siklus 49%
Gabungan
18%
Diesel
11%
Sumber: (Direktorat Jenderal Tenaga Listrik, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015)
Energi Panas
Matahari Bumi
Energi Air
1% 4%
1%
Batubara
15%
Diesel
79%
Sumber: (Direktorat Jenderal Tenaga Listrik, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015)
Dengan mempertimbangkan kebutuhan menyeimbangkan kebutuhan energi negara yang bertujuan mengurangi
total emisi, peningkatan kapasitas pembangkit listrik tahunan tengah berlangsung yang melatarbelakangi
komitmen Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi negara dari
7% pada 2016 menjadi 15% pada 2025 melalui Keputusan Presiden No. 5 tahun 2006. Pada 2014, undang-
undang ini telah diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2014 yang disebutkan pada pasal 9 ayat
f.1 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan porsi energi terbarukan menjadi setidaknya 23% pada
2025:
Perundang-undangan baru ini jelas menunjukkan komitmen yang lebih besar dari pemerintah untuk mendukung
perkembangan sumber energi terbarukan di seluruh Indonesia.
Banyak sumber daya panas bumi di Indonesia juga terdapat di pulau-pulau dengan pusat mayoritas populasi di
mana kebutuhan listrik tinggi dan terus meningkat, walaupun juga terdapat sumber daya di beberapa lokasi
terpencil seperti Indonesia bagian Timur yang menawarkan kesempatan untuk perbaikan kemiskinan melalui
elektrifikasi pedesaan, dan/atau mengganti pembangkit bahan bakar diesel yang mahal.
Laporan statistik listrik 2015 (Direktorat Jenderal Listrik, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, 2015),
menyebutkan bahwa hanya sejumlah kecil energi – 1.435 MW – dihasilkan dari tenaga panas bumi. Laporan
Bank Dunia menjelaskan bahwa tingkat partisipasi sektor swasta yang rendah adalah satu alasan perkembangan
panas bumi lebih lambat dari yang diharapkan (World Bank Group, 2016). Risiko sumber daya yang tinggi adalah
salah satu hambatan utama yang dipertajam oleh biaya pengeboran eksplorasi. Satu solusi yang diberikan
Pencarian potensi prospek panas bumi dilakukan melalui pemetaan geologis, pengambilan contoh (sampling)
geokimia dari mata air dan sungai beserta pelaksanaan survei geofisik. Lokasi umum stasiun pembangkit tenaga
listrik panas bumi pada awalnya dibatasi oleh keseluruhan sumber daya panas bumi. Akan tetapi, tapak fisik dari
stasiun pembangkit tenaga listrik, well pad, dan jalan akses yang diperlukan kecil, dibandingkan dengan
keseluruhan area eksploitasi. Penggunaan pengeboran sumur terarah (directional drilling) untuk mencapai
sumber daya panas bumi memungkinkan adanya penyesuaian lokasi kluster sumur untuk meminimalkan
pengadaan tanah dan menghindari pemukiman kembali serta menghindari benda cagar budaya atau fitur
lingkungan yang sensitif. Di Waesano, lokasi yang dimungkinkan untuk kluster potensi sumur tambahan telah
dipertimbangkan, bergantung pada proses pemilihan lokasi dengan memperhitungkan beberapa pertimbangan
lingkungan dan sosial. Secara khusus, PT SMI belum mengambil pilihan untuk mengembangkan lebih banyak
lokasi yang diminati dari sudut pandang teknis pengeboran untuk menghindari area flora dan fauna sensitif,
pengembangan yang akan menyebabkan permasalahan pengadaan tanah dan risiko dampak yang lebih besar
bagi masyarakat jika terjadi pelepasan effluen yang tidak disengaja.
Informasi perencanaan awal yang diberikan kepada AECOM pada 2016 terdiri dari 6 lokasi well pad, 1, 2, 3, 3’,
4, dan Well pad A’, dengan studi awal geoscience awal yang mengidentifikasi lokasi-lokasi tersebut sebagai
lokasi yang menguntungkan untuk operasi panas bumi. Selanjutnya survei dan evaluasi lokasi dilakukan di
masing-masing lokasi (Gambar 3-21).
Pad 1 – Terletak di dekat Desa Sano Nggoang dan dekat dengan jalan aspal eksisting yang dapat ditingkatkan
menjadi jalan akses lokasi. Lokasi pad terdiri dari gabungan area datar dan pegunungan berhutan, lebih jauh
terdapat dua rumah di tanah pertanian yang langsung berdekatan dengan/berada di lokasi. Survei lebih lanjut
terhadap area di sekitarnya akan diperlukan untuk memverifikasi bahwa rumah tinggal ini tidak akan terdampak
oleh operasi pengeboran.
Pad 2 – Terletak dekat wilayah bagian Utara dari Desa Wae Sano, lokasi tersebut saat ini diakses melalui jalur
tanah kecil. Sementara lokasinya sendiri sangat berhutan di area yang agak bergunung, akan diperlukan
pekerjaan pembersihan lahan yang signifikan maupun pembangunan jalan akses untuk peralatan pengeboran
sebelum lokasi dapat dianggap siap untuk operasi.
Pad 3 – Lokasi ini terletak di area selatan dari Desa Wae Sano, sangat dekat dengan perumahan pedesaan.
Jalan setapak dari tanah adalah rute akses saat ini menuju lokasi pad dan harus diperbarui untuk menjadi jalan
akses yang layak. Hasil investigasi terhadap lokasi menyarankan bahwa pad dipindahkan ke barat untuk
mencegah aktivitas yang dapat berdampak pada perumahan penduduk setempat. Area yang telah dilakukan
investigasi menunjukkan dataran yang relatif datar; akan tetapi, vegetasi dan pohon-pohon yang padat menutupi
sebagian besar area dan akan memerlukan pembersihan lahan.
Pad 3’ – Diinvestigasi sebagai alternatif terdekat ke arah barat dari Pad 3, lokasi ini dipertimbangkan untuk
mencegah gangguan pada perumahan penduduk setempat di Desa Wae Sano. Berbagi akses jalan tanah saat
ini yang sama dengan Pad 3, yang sekali lagi perlu untuk diperbarui selama aktivitas konstruksi, lokasi sangat
curam dan berbukit runcing dengan vegetasi yang lebih padat dan sejumlah pohon-pohon besar. Pekerjaan
pembersihan lahan yang signifikan harus diselesaikan sebelum konstruksi dapat dimulai di area ini.
Pad 4 – Terletak di bagian Timur dari Pad 1, lokasi ini terletak di daerah pegunungan yang curam. Jalan aspal
yang sempit terletak dekat dengan lokasi pad dan dapat ditingkatkan menjadi jalan akses untuk mobilisasi
peralatan pengeboran. Akan tetapi, sepanjang area tertentu pada jalan saat ini merupakan area pertanian padi ,
walaupun lokasi pad pada saat ini hanya terdiri dari sedikit pepohonan dengan sedikit vegetasi lainnya.
Investigasi area sekitar menunjukkan kemungkinan alternatif ke arah tenggara dengan area datar dengan
Pad A’ – Lokasi Pad A’ ini terletak di wilayah pusat Desa Wae Sano, langsung di tepi bagian timur dari Danau
Sano Nggoang. Rumah (Camp) peristirahatan terletak di sebelahnya di tepi danau, lebih lanjut di sana saat ini
nampaknya tidak ada rute jalan akses untuk mobil/truk, sehingga pekerjaan jalan yang signifikan harus dilakukan
dengan menghubungkan pad ke rute jalan akses utama. Lokasi ini sendiri terdiri dari vegetasi lebat dan pohon-
pohon besar yang memerlukan pembersihan lahan terkait pekerjaan jalan yang lebih signifikan.
Lokasi-lokasi awal ini menunjukkan adanya kendala kondisi topografi yang signifikan di masing-masing lokasi
serta infrastruktur eksisting setempat saat ini. Wilayah Wae Sano sendiri terdiri dari medan yang curam dan
sangat berbukit yang terdapathutan lebat, dengan sesekali beberapa area yang lebih datar yang seringkali terdiri
dari struktur setempat seperti prumah tinggal/sekolah/layanan masyarakat/jalan. Pengembangan well pad di area
awal ini akan sangat mahal dan/atau menyebabkan gangguan serius terhadap masyarakat setempat. Adapun
terkait beberapa lokasi alternatif well pad yang dipertimbangkan sebagai opsi yang lebih layak secara sosial dan
lingkungan telah dicermati.
Gambar 3-21 Tinjauan Lokasi Well Pad Pilihan Awal (April 2016)
Pada akhir 2016, 6 lokasi awal Well pad A, B, C, D, E dan F direlokasi dan didesain ulang yang dipertimbangkan
sebagai alternatif yang paling mungkin sebagai lokasi awal well pad. Seluruh potensi lokasi pad diperiksa secara
seksama dengan jalan kaki dan kelayakannya dievaluasi sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Kunjungan
Lokasi oleh Jacobs pada Maret 2017 (Gambar 3-22). Hasilnya dirangkum sebagai berikut:
Pad A – Terletak di dekat lokasi awalPad A, yang terletak di sebelah tenggara jalan eksisting, dengan jalan akses
baru yang akan diperlukan untuk menjembatani kesenjangan sepanjang 150 m antara jalan eksising dan lokasi
pad ini. Lokasi juga dekat dengan tepi Danau Sano Nggoang, yaitu hanya 200 meter dari tepi danau. Kondisi
permukaan tanah memiliki lereng landai yang akan memerlukan pekerjaan tanah sedang yang akan dilakukan
sebelum konstruksi pad. SelebihnyaSelain itu, terdapat sebuah rumah kecil yang terletak 150 meter dari lokasi
pad ini di seberang sungai kecil yang ada.
Pad B – Kondisi lokasi-lokasi Pad B sebelumnya sangat buruk, terdiri dari incised valley yang dalam pada
permukaan suatu aliran. Lokasi baru terletak sekitar 300 m ke arah utara, langsung di belakang perumahan
eksistingdengan jalur tsetapak yang ada sepanjang sekitar 150 m yang tersedia untuk perbaikan menjadi jalan
akses. Lokasi ini relatif datar dengan pekerjaan tanah minor yang diperlukan pada lereng dan bagian belakang
Pad C – Lokasi C terletak di tengah-tengah dalam lingkaran banyaknya rumah-rumah yang sangat
dekat.dengan makam dan tepi danau. Selain itu, fumarol terletak sangat dekat dengan lokasi pad, dengan
aliran eksisting yang langsung mengalir melalui lokasi. Walau lahan mungkin akan tersedia,namun pad ini akan
dibangun di tengah-tengah Desa Wae Sano, dan dengan demikian rencana untuk mengembangkan lokasi ini
telah diabaikan.
Pad D – Terletak pada topografi yang sangat curam dengan hutan lebat, pengamatan lokasi menjadi sulit,
sementara lokasi awal yang ditemukan dianggap bahwa lokasi ini hanya dapat mengakomodasi pad yang sangat
kecil. Namun, hasil analisis topografi lebih lanjut dapat memberikan lokasi tempat yang lebih baik di dalam area
sekitarnya. Jalan eksisting melewati dekat dengan pad D, walaupun akan ada perbaikan sekitar 1,5 km
sepanjang jalan ini yang akan diperlukan sebelum konstruksi pad untuk memungkinkan akses dari jalan lingkar
danau, hal ini akan membuat lokasi ini sebagai lokasi paling terpencil dari seluruh pad.
Pad E – Lokasi sebelumnya untuk tempat ini adalah terletak pada topografi terjal yang memerlukan investasi
modal yang lebih besar untuk mengembangkan pad dan jalan akses. Oleh karena itu, tempat ini direlokasi 350
m ke arah timur, menempatkannya langsung berdekatan dengan jalan akses utama untuk pengembangan serta
meniadakan kebutuhan pembangunan jalan akses. Namun, topografi pad ini menempatkan pad sepanjang
garis punggung bukit yang terjal dan sempit dengan lebar yang tersedia hanya 40 m pada satu titik. Pelebaran
pad menjadi 50 m dapat dimungkinkan jika dinding penahan dibangun sepanjang garis punggung bukit, namun
studi secara seksama serta survei topografi lebih lanjut dari tempat ini masih diperlukan untuk mengoptimalkan
tata letak dan memulai konstruksi.
Pad F – Lokasi awal menempatkan pad ini di punggung bukit yang sempit yang layak untuk pad yang lebih kecil.
Namun, punggung bukit tersebut saat ini telah digunakan sebagai makam dan jalan yang baru dibangun dimana
mengesampingkan lokasi ini sebagai salah satu opsi. Dipertimbangan pengaturan kembali route jalan, namun,
topografi wilayah ini terdiri dari rangkaian punggung bukit yang sempit, yang menjadi tidak mungkin memenuhi
secara ekonomis. Lokasi sekitarnya juga disurvei sebagai potensi alternatif; namun, seluruh punggung bukit
terdekat sudah ditempati oleh rumah, jalan dan sebuah sekolah serta tidak ada alternatif ideal yang dapat
ditempatkan, sehingga Pad F diabaikan.
Gambar 3-22 Tinjauan Lokasi Well pad yang Dipilih (Maret 2017)
Pasca relokasi dan re-evaluasi selanjutnya dari 6 lokasi awal disimpulkan bahwa hanya 4 lokasi tempat baru
yang layak untuk konstruksi well pad. Well pad tersebut meliputi pad; A, B, D dan E yang menghasilkan rencana
pengembangan konstruksi saat ini untuk WS-A, WS-B, WS-D dan WS-E dan masig-masing fasilitas
pendukungnya (area penampungan hasil galian, camp pengeboran dan sebagainya), lihat Gambar 3-23.
Pemilihan lokasi well pad telah dievaluasi, dengan pertimbangan yang dibuat pada kondisi pengeboran,
kapasitas energi panas bumi, kedekatan dengan infrastruktur/pengembangan saat ini, maupun situs lokal penting
yaitu markah tanah (landmark) dan situs sakral.
Survei dilakukan pada bulan November 2017 pada Well pad A, B, D, E untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
tentang masing-masing lokasi dengan temuan yang dijelaskan berikut ini:
Well pad B – Terletak di wilayah Nunang pada tanah milik pribadi, kunjungan ke rencana lokasi well pad
mengungkap adanya informasi bahwa lokasi tersebut terletak di dalam desa tua bersejarah yang disebut
Kampung Laja dari Keluarga Nunang dimana beberapa benda purbakala Compang dan Nekara ditemukan di
tempat pada area yang dahulu pernah digunakan untuk aktivitas dan pemujaan leluhur. Batas desa historis tidak
diketahui dengan jelas, dan menurut kepala adat setempat, area ini terlarang untuk aktivitas non-budaya,
Setelah temuan-temuan ini, Proyek telah menentukan alternatif-alternatif baru WS-B1 dan WS-B4. Namun,
rencana alternatif baru terletak di dalam hutan lindung dari hasil konfirmasi mengenai status lahannya oleh UPT
Kesatuan Pengelolaan Hutan Kabupaten Manggarai Barat menurut surat Kepala Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Wilayah XIV tertanggal 1 Maret 2018. Survei bersama dengan Tim UPT juga diperlukan untuk
mengkofirmasi status lahan.
Survei lokasi oleh Jacobs pada 13 Mei 2018 mengkonfirmasi bahwa alternatif lokasi well pad WS-B1 dan WS-B4
tidak layak dalam hal kondisi topografinya. Dengan demikian, WS-B dipilih sebagai yang paling layak
dibandingkan dengan WS-B1 dan WS-B4. Walaupun satu keluarga dan Kepala Desa Wae Sano sangat khawatir
dengan jarak antara pemukiman terdekat dan rencana sumur standar (kira-kira 60 m) dan lokasi saat ini dimana
benda purbakala Nekara ditemukan, Jacobs menyatakan WS-B merupakan lokasi pilihan terbaik untuk
dimulainya pengeboran sumur standar pertama. Konsultasi intensif lebih jauh dengan Kepala Desa wae Sano
diperlukan untuk memastikan adanya penerimaan sosial .
Well pad D – Terletak di wilayah Dasak, rencana area well pad initerletak di dalam hutan lindung dari hasil
konfirmasi mengenai status lahannya oleh UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Kabupaten Manggarai Barat
menurut surat Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIV tertanggal 1 Maret 2018. Survei
bersama dengan Tim UPT juga diperlukan untuk mengkonfirmasi status lahannya. Tidak ada tanaman produktif
atau tanaman pangan yang ditanam oleh masyarakat karena lahan kawasan hutan terlarang untuk aktivitas
pertanian. Sekitar 500 m ke arah selatan dari rencana lokasi, terdapat satu tempat historis yang disebut Golo
Lampang – desa asal leluhur Mata Wae. Adanya potensi dampak atau gangguan pada area ini berpotensi
menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat.
Well pad E – Terletak di wilayah Taal, Well pad E adalah lahan milik pribadi, di mana tanaman pertanian teramati
di area ini, seperti pohon nangka dan kelapa. Berdasarkan kunjungan lokasi ke area ini, rencana lokasi terletak di
dalam desa tua bersejarah yang disebut Kampung Wewa dimana bukti struktur batu ditemukan, yang
menindikasikan bahwa struktur rumah dan pemukiman leluhur tradisional pernah ada di sini; oleh karenanya
pengadaan tanah harus disetujui oleh ketua adat (Tua Golo).
Setelah temuan ini, Proyek telah menentukan alternatif baru WS-E. Lokasi akhir akan ditentukan
berdasarkan konsultasi lebih lanjut dengan ketua adat dan masyarakat.
9 compang bate, yang merupakan suatu altar/mezbah yang telah ditentukan oleh kelompok etnis sebaga pusat spiritual desa
yang melindungi, memberi serta mengatur sumber-sumber kehidupan kelompok etnis (naga beo/golo).
Analisis setempat terhadap air danau mengungkap bahwa air ini sangat asam dengan pH 2,6, yang membuatnya
tidak cocok untuk digunakan dalam aktivitas proyek tanpa pengolahan dengan tambahan bahan kimia. Begitu
pula beberapa sumber air alternatif telah diidentifikasi dengan penentuan area tangkapan dari peta-peta area
yang lebih luas di sekitar lokasi sebagaimana dirinci pada Gambar 3-24. Masing-masing daerah tangkapan air
kemudian diinspeksi dengan berjalan kaki dengan bantuan pemandu dari penduduk setempat serta dilakukan
pemeriksaan pH, kapasitas, ketersediaan air masing-masing area tangkapan air.
Opsi 1 – Aliran air yang berlokasi terpusat pada suatu lembah terpencil dan merupakan incised valley yang
dalam, sekitar 2 km timur laut WS-D, daerah tangkapan air meliputi area sekitar 3,7 km2. Terdapat sedikit
pemukiman di area tersebut, sehingga kekhawatiran untuk mengganggu persediaan air untuk desa minimal.
Pengukuran mengindikasikan debit airsebesar 800L/detik pada saat kunjungan, lebih dari cukup untuk
menyediakan kebutuhan air pengeboran sebesar 100L/detik. Namun, petunjuk yang ada mengindikasi bahwa
aliran air kemungkinan kering selama musim kemarau, yang memerlukan verifikasi melalui pemeriksaan lebih
lanjut, walaupun ada kemungkinan bahwa opsi pengambilan ini hanya dapat dilakukan selama musim hujan.
Pengukuran pH netral sebesar 7,8 diamati sebagai pH yang dapat dgunakan untuk tujuan pengeboran.
Perbedaan elevasi antara lokasi pengambilan air dan well pad tertinggi (WS-D) adalah sekitar 230 meter yang
dapat menggunakan pompa tunggal.
Opsi 2 – Area tangkapan air yang sedikit lebih luas dari Opsi 1, yang menempati area seluas 4,2 km2 dengan
debit air yang teramati sebesar 1.300L/detik. Debit air yang lebih besar disebabkan keberadaan air danau
(bersifat asam) yang mengalir menuju area tangkapan yang menyebabkan pH 2,6 yang akan menyebabkan
permasalahan untuk pengeboran tanpa tambahan zat penetralisir. Aliran lain yang terletak sedikit hulu dari
saluran masuk air danau telah diperiksa dan diperoleh pH 7,7, namun area tangkapan untuk aliran ini kecil dan
petunjuk yang ada mengindikasikan debit air yang sangat rendah pada musim kemarau, hal ini menjadikan
sumber air ini tidak dapat diandalkan.
Opsi 3 – Area tangkapan air yang ekstensif menempati wilayah seluas 50 km2 yang terletak di jembatan utama
eksisting yang melewati jalan akses menuju lokasi ini. Diharapkan akan adanya aliran yang cukup di sungai ini
sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan proyek walau belum diverifikasi. Namun, jarak antara area
tangkapan dan lokasi ini cukup jauh terkait Opsi 1 dan 2, dengan jarak dari lokasi pengambilan air ini ke WS-A
Opsi 4 – Walaupun bersifat sangat asam, Danau Sano Nggoang masih menunjukan sebagai sumber air
pengeboran yang dapat diandalkan dengan segera, namun masih memerlukan pengolahan tambahan
dibandingkan dengan Opsi 1-3 agar dapat diterima untuk digunakan dalam penggunaan pengeboran. Suatu
fasilitas pengolahan air di lokasi harus dibangun untuk menyesuaikan pH dari 2,6 menjadi nilai pH netral.
Evaluasi awal dari area tangkapan air menunjukan bahwa sumber air permukaan yang paling dapat diandalkan
adalah Opsi 3, namun Opsi 1 layak berdasarkan musim yang kemungkinan dapat memberikan bantuan pasokan
air dalam suatu periode tertentu. Walaupun dikarenakan perlunya panjang perpipaan air untuk Opsi 3, proposisi
dapat dibuat untuk suatu evaluasi potensi sumber air tanah di sekeliling lokasi untuk mengkonfirmasi bahwa Opsi
3 masih merupakan pilihan yang paling layak.
Setelah analisis ini, sumber air yang dekat dan dapat diandalkan sepanjang tahun dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan air puncak untuk salah satu dan semua well pad; dengan demikian disimpulkan bahwa air dari Danau
Sano Nggoang yang akan dimanfaatkan sebagai air baku untuk kebutuhan pengeboran.
Air akan dipompa dari danau menuju dua fasilitas pengolahan air yang bersifat sementara di lokasi untuk
dicampur dengan larutan soda kaustik untuk menyeimbangkan pH. Fasilitas pengolahan air pertama terletak di
area terbuka antara WS-A dan WS-B dan akan menyediakan air pengeboran untuk well pad-well pad ini, dengan
fasilitas yang kedua terletak di camp pengeboran dan menyediakan air ke WS-D dan WS-E akan tergantung
pada urutan pengeboran. Setelah air baku ada di fasilitas pengolahan, air danau yang bersifatasam akan diolah
dan dinetralkan dengan soda kaustik cair yang ditambahkan melalui pena injeksi (injection quill). Pencampur
statis akan memastikan penyelesaian reaksi yang memadai, sebelum penyimpanan air yang sudah diolah dalam
kontainer 20 ft3.
Kedua fasilitas didesain untuk bersifat sementara dan dapat dipindahkan dengan pompa pengambilan air, sistem
pembubuhan zat kimia dan pompa distribusi air dapat saling ditukar antara masing-masing fasilitas sesuai yang
dibutuhkan untuk kebutuhan air berdasarkan urutan pengeboran. Walau kemungkinan berbagi komponen sesuai
yang diperlukan, namun fasilitas akan beroperasi secara independen untuk melayani well pad yang dituju
masing-masing.
Selain persyaratan distribusi air yang telah diolah, terdapat juga kebutuhan untuk memindahkan brine di antara
well pad untuk injeksi ke dalam sumur. Brine yang dihasilkan dari hasil pengujian sumur akan dikumpulkan dalam
kolam pengumpul yang terdekat dengan masing-masing sumur sebelum dipindahkan ke well pad lain. Situasi
akan terjadi dimana pemindahan brine akan diperlukan terkait distribusi air untuk aktivitas pengeboran. Gambar
3-25 dan Gambar 3-26 memberikan rincian kondisi rencana jalur pipa, sementara Gambar 3-27 menguraikan
spesifikasi teknis untuk fasilitas pengolahan air.
Gambar 3-25 Gambaran Rencana Jalur Pipa Air Pengeboran (Oktober 2017)
Air untuk kebutuhan domestik akan dibawa ke lokasi proyek dengan truk tangki air sesuai yang diperlukan.
Kebutuhan air dan kaustik soda dirinci dalam Tabel 3-19.
Tabel 3-19 Kebutuhan Sistem Pengolahan Air Berdasarkan Aktivitas Pengeboran
Sumber daya Variabel Slimhole Sumur Standar
Debit maksimal selama 250.gpm 1.100.gpm
Air Danau pengeboran
Debit rata-rata selama 80.gpm 550.gpm
pengeboran (kontinyu)
Laju dosing maksimal selama 9.000.L/minggu 35.000.L/minggu
Kaustik Soda Cair pengeboran
Laju dosing rata-rata selama 2.800.L/minggu 17.000.L/minggu
pengeboran (kontinyu)
Fasilitas infrastruktur yang saat ini terletak di wilayah Wae Sano tidak dapat digunakan untuk pengangkutan
semua peralatan dan material yang diperlukan ke berbagai lokasi melalui jalan, dengan demikian kombinasi
beberapa rute akses jalan akan digunakan selama kegiatan operasi. Rencana rute akses dengan gambaran
jalan adalah sebagai berikut sebagaimana disajikan pada peta dalam Gambar 3-7, Gambar 3-8, dan Gambar 3-
9.
Fasilitas Pelabuhan di Labuan Bajo – Pemeriksaan dermaga eksisting dan pertemuan dengan otoritas
pelabuhan mengungkapkan bahwa pelabuhan dapat menampung kapal dengan kapasitas hingga 11.000 ton.
Dermaga cukup kuat untuk pembongkaran peralatan pengeboran serta dilaporkan bahwa 40 ton excavator
sebelumnya telah dibongkar di pelabuhan ini tanpa ada masalah. Namun, tidak terdapat fasilitas carnage di
pelabuhan walau kapal Ro-Ro yang membawa crane melakukan kunjungan dua mingguan ke pelabuhan dan
dapat digunakan untuk pembongkaran.
Jalur Nasional Trans-Flores – Peralihan untuk Jalan Nasional adalah sekitar 30 km dari pelabuhan dan
membutuhkan rata-rata satu jam untuk mencapainya. Jalan tersebut seharusnya cukup untuk mobilisasi
pengeboran dan jalan digunakan sepenuhnya. Pekerjaan perbaikan minimal diperlukan; namun rangkaian tiga
tikungan tajam akan membutuhkan pelebaran setempat dengan perkerasan agar design vehicles dapat melewati
tikungan ini tanpa masalah. Juga terdapat empat jembatan eksisting di mana alignment jalan buruk dan perlu
lebih banyak pelebaran setempat dengan perkerasan bersamaan dengan pemangkasan minor sisi sungai untuk
memungkinkan lewatnya design vehicles tanpa hambatan. Jembatan-jembatan itu sendiri tidak bermasalah
dengan lebar dan kapasitas muatan yang mencukupi.
Jalan Provinsi ke Lokasi Proyek – Membentang sejauh 22 km dari Jalan Nasional Trans-Flores ke Desa
Waesano, ruas jalan ini dalam kondisi buruk dengan beberapa bagian hanya dapat dilewati oleh 4WD. Pekerjaan
peningkatan dan perbaikan substansial diperlukan untuk dapat dilakukan mobilisasi peralatan pengeboran.
Harus diperhatikan bahwa sebagian besar pekerjaan jalan akan diperlukan pada 8 km pertama karena jalan
menurun ke lembah. Total sebanyak 30 pekerjaan re-alignment diperlukan, 13 ruas jalan yang curam harus
ditangani dan permasalahan drainase perlu diperbaiki pada 35 lokasi. Perkerasan eksisting terdiri dari batun kali
bulat yang saat ini runtuh dan memerlukan perbaikan dengan batu cacah yang didatangkan dari luar lokasi.
Jembatan baru dibutuhkan, bersamaan dengan perbaikan dek jembatan dan 3 penyeberangan baru pada bagian
sungai degan muka air rendah.
Design Vehicle – Dengan mempertimbangkan kondisi jalan eksisting dan yang direncanakan, disarankan bahwa
design vehicle yang dipakai untuk proyek ini adalah kendaraan penggerak utama tunggal dan lowboy trailer yang
cukup besar untuk mengangkut kontainer 40’. Spesifikasi untuk dimensi kendaraan adalah panjang 15 m dengan
trailer selebar 2,8 m. Terdapat beberapa jalan eksisting terjal yang mungkin akan memerlukan kendaraan
pembantu kedua untuk melewati ruas-ruas ini, walau hal ini akan perlu dikaji begitu perbaikan jalan selesai.
Alternatif lebih lanjut sedang dicermati untuk mengangkut piling rigs untuk memasang conductor casing, karena
kendaraan tradisional yang lebih besar selain dari design vehicle yang disebutkan di atas telah digunakan untuk
tugas ini. Namun, kendaraan yang lebih besar akan memerlukan perbaikan jalan lebih lanjut dimana secara
ekonomis tidak didukung tahap ini, oleh karenanya, penyelidikan akan alternatif lain perlu dilanjutkan.
Indonesia telah memiliki ketergantungan substansial terhadap pembangkit listrik tenaga uap panas berbahan
bakar fosil, dan kondisi kekurangan (shortfall) substansial dalam ketersediaan daya listrik berdasarkan
kebutuhan per kapita. Walau proyek panas bumi Waesano ini memberikan kontribusi kecil bagi keseluruhan
Dari sudut pandang lingkungan dan sosial, proyek terletak dalam lahan pertanian pedesaan dan lahan hutan.
Skenario ‘tanpa proyek’ tidak menghasilkan beberapa manfaat yang disediakan oleh proyek (seperti perbaikan
akses jalan, potensi elektrifikasi pedesaan, rencana investasi masyarakat dari PT SMI, dan beberapa peluang
kerja). Namun, proyek juga berpotensi mengganggu flora dan fauna, mengurangi kualitas air dan udara apabila
tindakan mitigasi tidak dilaksanakan dengan benar. Secara keseluruhan, tindakan mitigasi tersedia untuk
mengurangi dampak yang diprakirakan dan implementasinya; skenario ‘tanpa proyek’ akan mengakibatkan
hilangnya potensi peluang-peluang manfaat yang dapat disediakan di sekitar lokasi proyek.
Beberapa well pad baru mungkin diperlukan. Untuk proyek dengan potensi kapasitas maksimum hanya 30 MW,
berdasarkan pengalaman internasional dan kapasitas sumur panas bumi rata-rata, maka mungkin akan
diperlukan 4 sumur produksi lagi, ditambah dengan 2 sumur injeksi. Kemungkinan layak untuk mengebor sumur
produksi tambahan dari pad yang sama yang digunakan untuk pengeboran eksplorasi (dengan menggunakan
sistem directional drilling untuk menyebarkan zona produksi berbagai sumur secara lateral), namun untuk
keperluan perencanaan yang konservatif, maka 2 well pad tambahan mungkin diperlukan, yang juga akan
menyediakan kapasitas pad yang memadai untuk sumur injeksi. Diantisipasi bahwa pad tambahan ini masih
dalam area of interest yang teridentifikasi, pada umumnya diselipkan antara pad eksplorasi.
Pembangkit tenaga listrik juga perlu diletakkan dekat dengan area well pad, dengan lokasi yang mungkin adalah
menuju ujung selatan danau, dekat dengan Pad A.
Well pad akan dihubungkan ke pembangkit tenaga listrik dengan pipa yang berada di atas tanah. Apabila
memungkinkan, pipa ini akan dipasang di sepanjang jalan akses well pad, walaupun dalam beberapa area
mungkin diperlukan untuk dipasang lintas wilayah, dalam hal ini koridor perpipaan sederhana akan diperlukan,
kira-kira dengan lebar 3 m, termasuk jalur untuk akses kendaraan di sepanjang rute jalur pipa.
Kemudian pengujian sumur secara horizontal dilakukan untuk memberikan informasi lebih akurat tentang output
aliran, karakteristik brine dan uap panas (steam). Hal ini melibatkan pemasangan sementara pipa dan pemisah
steam/gas dekat dengan sumur yang sedang diuji dan rock muffler.
Jika layak, sumur kemudian dikonversi menjadi sumur produksi. Sumur yang tidak layak dapat digunakan untuk
reinjeksi atau ditinggalkan (ditutup).
Kluster produksi akan dihubungkan ke separator, scrubber dan pembangkit listrik oleh pipa baja terisolasi. Pipa
dua fasa yang membawa uap dan brine akan digunakan dari kluster ke separator umum, ketika kluster lain akan
memiliki separator yang berada di lokasi, dengan pipa uap menuju pembangkit listrik. Pipa-pipa ini dipasang di
atas fondasi beton dengan rel luncur untuk pergerakan bebas dalam arah aksial untuk pengembangan pipa pada
saat dimulai beroperasinya pembangkit listrik. Rupture discs akan ditempatkan pada saluran pipa uap langsung
ke bagian hilir dari separator .
Kondensasi yang terbentuk dalam saluran pipa uap dikumpulkan dalam condensate pots dan dilepas secara
berkala (setiap beberapa menit) melalui katup pelepasan secara otomatis (steam traps). Fluida yang menguap
dikumpulkan dalam saluran terbuka untuk ditransfer ke kolam uap di lokasi pembangkit listrik dimana dapat
direinjeksikan. Untuk memberikan tindakan “scrubbing” ini dalam saluran pipa uap, diusulkan bahwa pembangkit
listrik terletak setidaknya 900 m dari separator. Pada pembangkit listrik, uap melaju melalui scrubbers untuk
pembersihan akhir sebelum pengiriman ke turbin.
Untuk mengendalikan tekanan uap dengan berbagai muatan pembangkit listrik, dan apabila ada trip pada
pembangkit listrik, kelebihan uap akan dilepaskan ke atmosfer melalui rock muffler (sistem ventilasi uap) untuk
mengendalikan kebisingan.
Apabila mungkin, saluran pipa akan diarahkan sepanjang koridor lain misalnya jalan. Insulasi panas akan
mengakibatkan temperatur bagian luar pipa yang diperkirakan sebesar 50 ºC, yang cukup rendah untuk
menghindari cidera individu.
Tergantung pada hasil uji sumur produksi, beberapa jika tidak semua sumur dapat ditentukan sebagai non-
artesis (yaitu brine dan uap dari reservoir tidak akan mengalir ke atas melalui suatu sumur tanpa beberapa
bentuk stimulasi). Operasi stimulasi umumnya melibatkan injeksi udara bertekanan tinggi untuk menurunkan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
3-61
permukaan air pada sumur. Setelah penghentian injeksi secara tiba-tiba, sumur akan melepaskan air dan mulai
menguap untuk menghasilkan aliran yang terus ada. Selama periode pemeliharaan atau ada kendala teknis (trip)
pada pembangkit listrik, tindakan mematikan sepenuhnya sumur produksi nonartesis tidaklah diinginkan karena
stimulasi sumur diperlukan untuk memulai ulang produksi, dimana memiliki implikasi waktu dan biaya, maupun
dampak lingkungan lain yang meliputi penggunaan energi. Selama periode tersebut, sumur ini dapat dipelihara
dalam produksi dengan laju alir yang dikurangi secara signifikan (bleed flow) dengan uap langsung dilepaskan ke
atmosfer.
Uap dapat digunakan dalam turbin uap konvensional, dipasangkan dengan generator. Buangan uap yang
dihasilkan dari turbin mengalir ke kondensator (heat exchanger yang menyebabkan uap terkondensasi). Air dari
kondensator didinginkan di menara pendingin basah (wet cooling towers) konvensional. Berlawanan dengan
pembangkit panas konvensional, pembangkit uap panas bumi menggunakan direct contact condensers, dan
sebenarnya menghasilkan surplus kondensat, lebih atau di atas kehilangan air yang menguap ke atmosfer dari
menara pendingin. Surplus kondensat dikembalikan ke ladang uap untuk reinjeksi.
Alternatifnya, uap dapat digunakan di pembangkit listrik binary, dimana di dalamnya uap dilewatkan melalui heat
exchanger, di mana uap tersebut berubah menjadi cair (kondensat dikembalikan lagi ke ladang uap untuk
reinjeksi) dan menggunakan kandungan panasnya untuk pemanasan dan kemudian menghasilkan uap
secondary (binary) working fluid (Uap yang dihasilkan dari pemanasan air panas bumi yang kemudian
menggerakan generator untuk menghasilkan sumber daya listrik), yang pada gilirannya dimuaikan melaui suatu
turbin pembangkit, dikondensasi dan dikembalikan ke heat exchanger untuk proses evaporasi dan penggunaan
lebih lanjut dalam proses dengan siklus cairan tertutup. Kondensasi fluida binary normalnya dilakukan dalam
heat exchanger, yang kering dan menggunakan pendingin udara, yang mengakibatkan tapak pembangkit tenaga
listrik sedikit lebih luas.
Kedua jenis pembangkit tenaga listrik akan melepaskan gas yang tidak dapat dikondensasikan (Non
Condensable Gas-NCG) ke atmosfer. Jumlah gas dan komposisinya tidak dapat ditentukan hingga setelah
pengeboran eksplorasi selesai, tetapi tipikal proyek panas bumi di Indonesia memiliki kurang dari 2% hingga 5%
kandungan NCG dalam uap. NCG terutama terdiri atas karbon dioksida (CO2), dengan sedikit hydrogen sulfida
(H2S). Pengembang pembangkit tenaga listrik harus melakukan pemodelan buangan yang tepat, tetapi praktik
industri yang normal adalah melepaskan NCG ke dalam Menara pendingin atau cooling tower plume (baik
menara pendingin basah atau kering) yang memberikan daya apung yang mencukupi sehingga gas cukup
terencerkan di bawah tingkat paparan 24 jam sebelum kembali ke tanah, dimana pada faktanya tidak kembali.
Pengurangan H2S normalnya tidak diperlukan dan tidak diprakirakan akan dibutuhkan di Waesano.
Jaringan pipa reinjeksi, sama dengan jaringan pipa produksi, akan diarahkan ke sepanjang koridor yang sudah
ada, misalnya jalan. Untuk meminimalkan risiko polusi, seluruh jaringan pipa akan dibangun sesuai dengan kode
internasional yang berlaku, yang mengharuskan pengujian terhadap tekanan yang lebih tinggi daripada tekanan
pengoperasian maksimum dan tidak akan gagal di bawah kondisi operasi normal atau selama kejadian seismik
dalam kriteria desain. Kerusakan yang diakibatkan dari sumber-sumber eksternal, seperti truk besar, sangatlah
tidak mungkin karena muatan yang ditimbulkan umumnya lebih kecil dari muatan yang diinduksi secara seismik.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
3-62
Jika terjadi kegagalan pada perpipaan reinjeksi, brine akan dialihkan melalui katup pengosongan darurat ke flash
tank pengosongan brine darurat yang berukuran besar. Perpipaan brine dan reinjeksi kondensat akan dipasang
di atas tanah (kecuali bila saluran melewati bawah jalan) untuk memungkinkan indentifikasi awal adanya
kebocoran dan tindakan perbaikan jika hal ini terjadi. Jumlah tumpahan yang tersisa akan bergantung pada
lokasi kegagalan pipa dengan kondisi terburuk adalah jika kegagalan berada dekat dengan well pad reinjeksi dan
mengeringkan keseluruhan volume brine dalam perpipaan.
KATEGORI A
Proyek diperkirakan memiliki dampak sosial dan/atau lingkungan hidup yang siginifikan, yang merugikan,
beragam, tidak dapat berbalik atau belum pernah terjadi sebelumnya.
KATEGORI B
Proyek diperkirakan memiliki dampak sosial dan/atau lingkungan hidup yang terbatas, yang merugikan, dan
dapat diatasi dengan mudah melalui tindakan mitigasi.
KATEGORI C
Proyek diperkirakan memiliki dampak merugikan minimal atau tanpa dampak merugikan, termasuk proyek
perantara finansial tertentu.
KATEGORI FI
Proyek yang melibatkan investasi pendanaan Bank melalui perantara finansial, dalam subproyek yang mungkin
mengakibatkan dampak merugikan bagi lingkungan hidup.
Proyek Eksplorasi Panas Bumi Waesano dianggap sebagai proyek Kategori B, karena dampak tahap eksplorasi
dianggap berada pada lokasi yang spesifik, dalam lokasi yang terbatas, dapat berbalik ke kondisi semula
dan/atau dapat dimitigasi, memerlukan penyusunan ESIA, dan bertujuan sedapat mungkin menghindari area
lingkungan dan sosial yang sensitif yang telah diidentifikasi dalam ESIA ini. Namun, walaupun potensi dampak
akan berkurang secara signifikan setelah mempertimbangkan hasil analisis sensitivitas pada tahap proses
desain, kegiatan proyek mencakup dimulainya sebuah pengembangan yang besar di area pedesaan dengan
fasilitas infrastruktur yang terbatas, oleh karena itu sejumlah strategi mitigasi dan upaya pemantauan diusulkan.
Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia OP 4.01 tentang Kajian Lingkungan mempersyaratkan bahwa tahap
ini menandai permulaan interaksi dengan masyarakat setempat, jika belum dimulai, untuk menentukan
permasalahan utama yang harus dikembangkan, dan untuk memastikan bahwa dampak terhadap masyarakat
dan reseptor sensitif akan dijelaskan sebagai bagian dari proses kajian dampak lingkungan. Penting untuk
memahami nilai-nilai yang diterapkan masyarakat setempat terhadap lingkungan fisik dan sosial mereka yang
mungkin terdampak oleh proyek.
Kegiatan pelingkupan menentukan Kerangka Acuan untuk sebuah proyek. Jika suatu dampak berpotensi
menjadi signifikan (lihat definisinya), maka kondisi elemen lingkungan yang relevan saat ini ditentukan oleh hasil
pengukuran rona awal. Lebih lanjut, jika interaksi Proyek dengan elemen lingkungan tersebut kompleks atau sulit
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
4-2
untuk diprediksi, dampak tersebut memerlukan studi detail untuk menjelaskan dampak yang diantisipasi, dan
akibat dari mitigasi.
1 Kualitas udara Mobilisasi material dan Penurunan kualitas udara Dampak penurunan kualitas udara selama tahap konstruksi Identifikasi penerima dampak sensitif
peralatan, pembersihan dan selama pembersihan dan berpotensi signifikan bagi aktivitas masyarat dan area pemukiman terdekat yang dapat terdampak oleh
persiapan lahan, perbaikan persiapan lahan, pembangunan sekitar yang dilewati kendaraan proyek, khususnya selama musim emisi dari rencana pembangunan.
jalan akses, dan infrastruktur dan well pad, kemarau. Potensi kenaikan konsentrasi polutan (CO, NOx, SOx) dari Diskusi tentang potensi dampak dan
pembangunan well pad dan perbaikan jalan akses, serta emisi kendaraan karena pembakaran bahan bakar fosil dan distribusi rekomendasi.
infrastruktur mobilisasi material dan partikulat (debu setempat) kemungkinan berasal dari aktivitas berikut:
peralatan - persiapan lokasi seluas 12,17 ha pada Tahap 1 dan 10,58 ha
pada Tahap 2;
- emisi debu fugitive (PM10 dan PM2,5) selama konstruksi
berasal dari penggalian dalam kegiatan konstruksi well pad dan
fasilitas pendukung lain;
- mobilisasi material dan perlengkapan konstruksi; dan
- perbaikan jalan akses.
2 Kualitas udara Pengeboran eksplorasi Penurunan kualitas udara Dampak penurunan kualitas udara selama tahap operasi yang Identifikasi penerima dampak sensitif
karena peralatan off-road berpotensi signifikan bagi aktivitas masyarat dan area pemukiman terdekat yang dapat terdampak oleh
sekitar. Potensi peningkatan konsentrasi polutan (CO, NOx, SOx) emisi dari rencana pembangunan.
kemungkinan berasal dari rig pengeboran eksplorasi dan emisi Diskusi tentang potensi dampak dan
kendaraan karena pembakaran bahan bakar fosil. rekomendasi..
3 Kualitas udara Pengujian sumur Penurunan kualitas udara Dampak penurunan kualitas udara selama pengujian sumur yang Identifikasi penerima dampak sensitif
karena emisi H2S selama berpotensi signifikan bagi kegiatan masyarakat sekitar dan pekerja terdekat yang dapat terdampak oleh
pengujian sumur dan area permukiman. Potensi peningkatan konsentrasi H2S emisi dari rencana pembangunan.
kemungkinan berasal dari semburan uap panasyang dihasilkan dari Diskusi tentang potensi dampak dan
pengujian sumur. rekomendasi.
4 Kebisingan Mobilisasi peralatan dan Peningkatan tingkat kebisingan Dampak terjadinya tingkat kebisingan selama tahap konstruksi yang Mengidentifikasi potensi penerima
material, pembersihan dan karena konstruksi berpotensi signifikan bagi aktivitas masyarakat dan area pemukiman dampak yang sensitf dan
persiapan lahan, perbaikan sekitar yang kemungkinan berasal dari aktivitas berikut: memperkirakan dampak dari rencana
jalan akses, pembangunan - persiapan lahan seluas 12,17 ha untuk Tahap 1 dan 10,58 ha konstruksi terhadap mereka.
well pad dan infrastruktur untuk Tahap 2; Menentukan upaya penurunan
- konstruksi well pad dan fasilitas pendukung kebisingan yang mungkin diperlukan
- mobilisasi peralatan dan material untuk kegiatan Proyek agar
memenuhi standar.
5 Kebisingan Pengeboran eksplorasi Tingkat kebisingan meningkat Kegiatan pengeboran akan melibatkan penggunaan mesin yang akan Mengidentifikasi reseptor sensitif yang
karena pengeboran eksplorasi menghasilkan kebisingan. Dampak timbulnya tingkat kebisingan berpotensi terdampak dan
selama pengeboran eksplorasi dan pengujian sumur yang berpotensi memperkirakan besar dampak dari
signifikan bagi kegiatan masyarakat sekitar dan area permukiman rencana konstruksi.
kemungkinan berasal dari mobilisasi peralatan dan material. Menentukan upaya penurunan
kebisingan yang mungkin diperlukan
bagi kegiatan Proyek agar memenuhi
standar.
6 Kebisingan Pengujian sumur Tingkat kebisingan meningkat Timbulnya kebisingan selama pengujian dan pembuktian sumur Mengidentifikasi reseptor sensitif yang
karena pengujian sumur berasal dari proses pelepasan vertikal (vertical discharging) maupun berpotensi terdampak dan
kebisingan lain terkait kegiatan operasi umum well pad dan base memperkirakan besar dampak dari
camp. rencana konstruksi.
Menentukan upaya penurunan
kebisingan yang mungkin diperlukan
bagi kegiatan Proyek agar memenuhi
standar.
7 Tutupan lahan dan Mobilisasi peralatan dan Dampak dari konstruksi Perubahan tata guna tanah dari penggunaan lahan saat ini akan Mengidentifikasi tutupan dan tata
Perencanaan Tata material, pembersihan dan infrastruktur sipil berdampak pada kondisi pertanian, mata pencaharian suatu kelompok guna lahan berdasarkan perencanaan
Ruang persiapan lahan, perbaikan masyarakat, dan lingkungan pemukiman. Pengembangan proyek tata ruang
jalan akses, dan berpotensi menimbulkan dampak terhadap penggunaan lahan Foto aerial tampak atas tutupan lahan
pembangunan well pad dan eksisting dengan menggunakan lahan untuk rencana well pad, area
infrastruktur penampungan hasil galian, jalan akses, dan base camp.
8 Tanah Pembersihan dan persiapan Dampak erosi tanah Kemungkinan tanah longsor atau erosi harus diantisipasi pada lokasi- Studi rona awal tanah
lahan, pembangunan well pad lokasi dengan kemiringan lebih dari 30%. Pekerjaan gali dan urug
dan infrastuktur terkait konstruksi jalan akses di area dengan lereng yang curam
10 Tanah Pengujian sumur Kontaminasi tanah karena Kebocoran pipa dapat terjadi selama pengujian sumur, yang Studi rona awal tanah
kebocoran pipa selama melepaskan fluida panas bumi (brine) ke tanah. Kebocoran kecil lebih
pengujian sumur mungkin terjadi dibandingkan kebocoran pipa besar pada sambungan
antar pipa.
11 Kualitas air Pembersihan dan persiapan Penurunan kualitas air danau Penurunan kualitas air danau berpotensi signifikan selama kegiatan Rona awal kualitas air dan kajian
permukaan lahan, pembangunan well pad karena pembersihan dan konstruksi dari kegiatan persiapan lokasi untuk area seluas 12,17 ha dampaknya
dan infrastruktur persiapan lahan serta tanah pada Tahap 1 dan 10,58 ha pada Tahap 2. Erosi tanah berpotensi Menentukan jenis pengelolaan yang
longsor dan erosi terjadi selama konstruksi karena pembersihan lahan, penggalian, mungkin diperlukan agar kualitas air
pekerjaan tanah dan pekerjaan sipil untuk pembangunan well pad dan permukaan tetap sesuai dengan
infrastruktur. Aktivitas ini menyebabkan adanya pembersihan vegetasi peraturan terkait.
dan paparan topsoil terhadap efek langsung dan air hujan dan air Kajian kualitas air untuk air
limpasan permukaan. permukaan.
12 Kualitas air Pengeboran eksplorasi Penurunan kualitas air danau Pelepasan yang tidak disengaja atau tumpahan limbah pengeboran, Rona awal kualitas air dan kajian
permukaan karena potensi sisa fluida fluida dan lumpur pengeboran akan menyebabkan kekeruhan dampaknya
pengeboran masuk ke badan air sementara jika dilepaskan ke badan air. Untuk sementara, lumpur bor Menentukan jenis pengelolaan yang
yang tumpah (tergantung pada volume yang tumpah) akan tampak mungkin diperlukan agar kualitas air
sebagai kekeruhan (plume) pada permukaan air yang akan permukaan tetap sesuai dengan
berdampak pada rona awal kejernihan air dan mengganggu kegiatan peraturan terkait.
fotosintesis setempat. Kajian kualitas air untuk air
permukaan.
13 Hidrologi dan Pembersihan dan persiapan Perubahan keseimbangan air Konstruksi jalan akses, well pad, perpipaan dan base camp Studi data rona awal tentang potensi
Hidrolika lahan, dan pembangunan well berpotensi mengubah aliran alami sumber air. Hal ini berpotensi dan dampak air limpasan.
Permukaan pad dan infrastruktur. mengganggu arah aliran air yang sudah ada, khususnya saat jalan
akses melintasi saluran mata air.
14 Hidrologi dan Pengeboran eksplorasi Potensi kekurangan air Aktivitas pengeboran akan melibatkan pengambilan air danau. Studi data rona awal dan kajian
Hidrolika permukaan karena pengambilan Estimasi kebutuhan air rata-rata selama pengeboran adalah sekitar 80 dampak
Permukaan air pada tahap pengeboran gpm untuk pengeboran slimhole, dan 550 gpm untukstandard hole,
eksplorasi dan pada kondisi puncak sebesar 250 gpm untuk pengeboran
slimhole dan 1100 gpm untuk pengeboran standard hole. Hal ini
berpotensi menurunkan volume air danau.
15 Kuantitas Air Tanah Pengeboran eksplorasi Potensi kekurangan air tanah Proyek tidak akan menggunakan air tanah sebagai alternatif untuk Tidak ada kajian lebih lanjut yang
karena pengambilan air pada penyediaan air selama pengeboran sumur. Sementara itu, dalam diperlukan
tahap pengeboran eksplorasi pelingkupan teridentifikasi beberapa sumber air tanah di sekitar area
well pad. Namun, setelah survei lapangan yang dilakukan oleh Proyek
pada akhir 2017, ditentukan bahwa Proyek akan mengambil air dari
danau. Dengan demikian, tidak akan menganggu sumber air
masyarakat.
16 Kesehatan Pembersihan dan persiapan Dampak dari pembersihan dan Pembersihan vegetasi berpotensi menghasilkan limbah organik dari Studi data rona awal dan kajian
Lingkungan lahan persiapan lahan karena produksi pemotongan vegetasi dan pencabutan tunggul pohon. dampak limbah
sampah hijau
17 Kesehatan Mobilisasi peralatan dan Dampak limbah padat domestik Potensi masalah lingkungan terkait dengan timbulan limbah domestik Studi data rona awal dan kajian
Lingkungan material, pembersihan dan dari pekerja konstruksi dari aktivitas pekerja di base camp. Timbulan limbah padat domestik dampak limbah
persiapan lahan, perbaikan meliputi limbah organik dan non organik.
jalan akses, dan
pembangunan well pad dan
infrastruktur
18 Kesehatan Mobilisasi peralatan dan Dampak limbah cair domestik Potensi masalah lingkungan terkait dengan produksi limbah domestik Studi data rona awal dan kajian
Lingkungan material, pembersihan dan selama konstruksi termasuk produksi air limbah domestik dari aktivitas basecamp. Air dampak limbah
persiapan lahan, perbaikan buangan domestik tidak dicirikan sebagai bahan berbahaya dan
jalan akses, dan konstruksi beracun (B3). Namun, pencemaran ini dapat menyebabkan dampak
well pad dan infrastruktur bagi badan air penerima, termasuk penipisan oksigen terlarut,
eutrofikasi, masalah estetika maupun bau dan kekeruhan sebagai
akibat dari adanya padatan terlarut
19 Kesehatan Mobilisasi peralatan dan Limbah padat dan limbah cair Berbagai jenis potensi limbah berbahaya dan beracun (B3) dapat Studi potensi timbulnya limbah
Lingkungan material, pembersihan dan yang berbahaya dan beracun dihasilkan dari kegiatan bengkel dan perawatan kendaraan, termasuk berbahaya dan kajian dampak
persiapan lahan, perbaikan (B3) penyaring bekas, selang bekas/rusak, baterai/peralatan elektronik
jalan akses, dan konstruksi bekas; dan bahan kimia aditif padat/bubuk bekas/kadaluarsa.
well pad dan infrastruktur, Sementara limbah cair meliputi pelumas, fluida hidrolik dan bahan
pengeboran eksplorasi dan kimia adkitif pengeboran.
pengujian sumur
20 Kesehatan Pengeboran eksplorasi Dampak dari lumpur bor dan Kegiatan pengeboran akan menghasilkan lumpur bor dan serbuk bor Studi rona awal dan kajian dampak
Lingkungan serbuk bor dalam bentuk rock debris. Salah satu kegiatan penting adalah limbah
pengelolaan lumpur dan serbuk bor yang berpotensi dihasilkan dalam
volume besar. Lumpur bor dan serbuk bor harus dikelola sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
21 Perubahan Iklim Mobilisasi peralatan dan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) GRK untuk proyek ini terkait dengan pembakaran bahan bakar diesel Inventarisasi GRK dan kajian potensi
material, pembersihan dan selama persiapan dan dari peralatan off-road dan on-road maupun kendaraan pekerja. dampak
persiapan lahan, perbaikan pembangunan Kenaikan kumulatif dari konsentrasi GRK di atmosfer secara global
jalan akses, dan dapat berasal dari beberapa sumber seperti pembakaran bahan bakar
pembangunan well pad dan fosil, hasil sampingan dari pertanian, pembersihan lahan dan lain-lain.
infrastruktur
22 Perubahan Iklim Pengeboran eksplorasi dan Emisi gas rumah kaca selama Operasional emisi gas rumah kaca terkait dengan kegiatan rig Inventarisasi GRK dan kajian potensi
pengujian sumur pengeboran dan pengujian pengeboran, operasional kendaraan pekerja, dan emisi GRK fugitive dampak
sumur selama pengujian sumur.
23 Flora Perbaikan Jalan Akses dan Dampak terhadap vegetasi Kegiatan konstruksi untuk pengeboran eksplorasi akan melibatkan Identifikasi flora dan studi rona awal
Pembangunan Infrastruktur selama persiapan dan pembersihan lahan dan persiapan lokasi pengeboran untuk konstruksi serta kajian dampak
dan Well pad pembangunan well pad. Kegiatan ini dapat secara langsung berdampak pada
vegetasi.
24 Flora Pengeboran eksplorasi dan Dampak terhadap vegetasi Gangguan pada flora merupakan potensi dampak signifikan dari Identifikasi flora dan studi rona awal
Pengujian sumur selama pengeboran dan pengeboran eksplorasi dan pengujian sumur yang diperkirakan serta kajian dampak
pengujian sumur menghasilkan partikulat/limbah yang akan melekat pada tanaman. Hal
ini akan berpotensi menyebabkan tanaman layu dan mati.
25 Fauna Darat Mobilisasi Peralatan dan Dampak terhadap spesies satwa Kegiatan konstruksi berpotensi menimbulkan dampak terhadap Studi rona awal keanekaragaman
Material, dan Pembangunan liar yang sensitif selama kehidupan satwa liar di dalam dan di luar tapak proyek melalui hayati dan kajian dampak difokuskan
Infrastuktur dan Well pad persiapan dan pembangunan berbagai cara, termasuk pekerjaan infrastruktur sipil, konstruksi jalan pada satwa liar yang tercantum dalam:
akses baru, serta dampak langsung dan tidak langsung terhadap IUCN Red List (kecuali Least Concern)
kehidupan satwa liar. Flora dan Fauna Indonesia yang
Dilindungi
26 Fauna Darat Pengeboran eksplorasi dan Dampak terhadap spesies satwa Pengeboran dan pengujian sumur berpotensi berdampak secara Studi rona awal keanekaragaman
Pengujian sumur liar yang sensitif selama langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan satwa liar. Dampak hayati dan kajian dampak difokuskan
pengeboran dan pengujian langsung dapat berasal dari pertemuan dengan satwa liar pada well pada satwa liar yang tercantum dalam:
sumur pad, koridor jalan atau base camp. Satwa liar yang mobile seperti IUCN Red List (kecuali Least Concern)
mamalia, burung dan herpetofauna juga dapat terdampak oleh kontak Flora dan Fauna Indonesia yang
langsung dengan saluran pipa panas. Dampak tidak langsung dapat Dilindungi
terjadi karena kejadian tidak disengaja, misalnya paparan tanah atau
air terhadap material berbahaya dan penyebaran material ini keluar
lokasi.
27 Mata pencaharian Pengadaan Tanah Dampak dari pengadaan tanah Eksplorasi proyek memerlukan penggunaan lahan termasuk sewa Wawancara langsung dengan pemilik
dan pendapatan terhadap kehilangan lahan dan lahan untuk well pad dan fasilitas pendukungnya (misalnya base lahan untuk mengidentifikasi
gangguanmata pencaharian camp, area penyimpanan), dan pembelian lahan untuk pelebaran kehilangan lahan dan perubahan mata
pada masyarakat jalan akses. pencaharian yang belum dilakukan
melalui proses pemerintah pada saat
Kondisi lahan eksisting di area ini didominasi oleh perkebunan skala rona awal ESIA dilakukan.
kecil milik masyarakat seperti kemiri dan kopi. Kehilangan lahan Informasi rona awal umum dari data
karena pengadaan tanah (baik melalui sewa atau pembelian) sekunder dan wawancara dengan
berpotensi menimbulkan gangguan bagi pendapatan dan mata kepala desa dan tokoh masyarakat
pencaharian masyarakat yang bergantung pada kegiatan perkebunan. sebagai bagian dari proses ESIA akan
digunakan sebagai dasar untuk
melakukan kajian dampak.
28 Mata pencaharian Perekrutan tenaga kerja, Meningkatkan peluang kerja dan Jumlah pekerja yang diperlukan untuk eksplorasi Proyek relatif kecil, Mengumpulkan data sekunder tentang
dan pendapatan perbaikan jalan akses, kesempatan berusaha untuk dan beberapa di antaranya dapat diperoleh dari penduduk desa profil sosial ekonomi masyarakat di
mobilisasi peralatan dan memperbaiki mata pencaharian setempat dan/atau penduduk di wilayah tersebut. Sekitar 96 orang Sano Nggoang dan Wae Sano di mana
material, dan pembangunan masyarakat akan dikontrak selama kegiatan konstruksi well pad dan fasilitas fasilitas Proyek akan dibangun,
well pad dan infrastruktur pendukung dan lebih dari 65 orang akan dikontrak selama tahap termasuk tingkat pekerjaan, distribusi
pengeboran. pekerjaan/mata pencaharian, tingkat
Selain itu, ada kebutuhan untuk pekerjaan subkontrak seperti kemiskinan dan pendapatan, dan
penambangan material konstruksi dari quarry, perbaikan jalan akses, informasi relevan lain yang akan
dan pemeliharaan pengeboran, maupun pemasokan barang dan jasa berguna bagi Proyek untuk
yang dapat disediakan oleh penduduk lokal. megoptimalkan manfaat positif bagi
Peluang bekerja dan kesempatan berusaha ini berpotensi masyarakat.
memberikan dampak positif untuk memperbaiki kondisi masyarakat
setempat.
29 Mata pencaharian Mobilisasi peralatan dan Gangguan terhadap aktivitas Area di sekitar Desa Waesano dan Kecamatan Sano Nggoang Kondisi rona awal sosial akan
dan pendapatan material, dan perbaikan jalan ekonomi masyarakat (misal dianggap sebagai area hijau yang belum dikembangkan di mana mata digunakan untuk memahami
akses aktivitas pertanian dan pencaharian masyarakat didominasi oleh pertanian. Terdapat juga penggunaan lahan dan mata
ekowisata) potensi perbaikan peluang ekowisata di sekitar Danau Sano Nggoang. pencaharian masyarakat saat ini,
Wisatawan saat ini datang ke area untuk aktivitas mengamati burung, termasuk pertanian dan ekowisata
dan mengunjungi situs budaya. yang mungkin terdampak tapak proyek.
Walaupun kedua aktivitas tersebut masih relatif belum dikembangkan, Informasi ini akan digunakan sebagai
kegiatan Proyek dimungkinkan dapat menimbulkan gangguan dasar untuk memahami tingkat potensi
terhadap mata pencaharian masyarakat. gangguan dan mengembangkan
mitigasi yang sesuai.
30 Populasi dan Rekruitmen tenaga kerja, Migrasi pekerja dan penduduk Dipahami bahwa ketrampilan dan pengalaman yang diperlukan bagi Pengumpulan data rona awal terkait
migrasi perbaikan jalan akses non-lokal yang disebabkan oleh mayoritas tenaga kerja kemungkinan tidak dapat diperoleh dari kecenderungan migrasi akan dilakukan
Proyek penduduk desa setempat. Hadirnya penduduk di luar penduduk lokal, sebagai dasar untuk mengkaji dampak
secara sementara akan meningkatkan populasi dan jumlah migrasi yang dikaitkan dengan adanya
yang masuk ke desa. Walaupun jumlahnya kecil, kemungkinan bahwa peningkatan penduduk selain
hadirnya Proyek akan memicu migrasi orang yang mencari peluang penduduk lokal pada area tersebut
dari Proyek. (pekerja dan penduduk non-lokal yang
Selain itu, perbaikan jalan lokal dan regional akan memungkinkan mencari peluang dari Proyek).
lebih banyak akses menuju area Sano Nggoang dan Wae Sano yang Selain itu, studi rona awal sosial juga
digunakank orang yang berkunjung di area tersebut.. akan dilakukan untuk memahami
pengalaman masyarakat dengan
kehadiran penduduk luar.
31 Ekowisata Mobilisasi peralatan dan Gangguan pada kegiatan Danau Sano Nggoang sudah memilikipangsa pasar ekowisata dalam Pengumpulan data kondisi rona awal
material, pembersihan dan ekowisata skala kecil, dengan adanya kunjungan wisatawan untuk kegiatan lebih lanjut untuk memahami kegiatan
persiapan lahan, perbaikan mengamati burung dan mengunjungi situs budaya. Terdapat area ekowisata masyarakat, dan pentingnya
jalan akses, dan perkemahan untuk pengamat burung, yang seringkali digunakan oleh ekowisata sebagai mata
pembangunan well pad dan wisatawan asing. pencaharian/tingkat ketergantungan
infrastruktur, pengeboran Namun, industri tersebut masih belum berkembang, namun terdapat masyarakat. Selain itu juga
eksplorasi kemungkinan bahwa kegiatan Proyek akan mengakibatkan gangguan mengidentifikasi partisipasi pemangku
pada kegiatan ekowisata ini dalam jangka pendek. kepentingan pada pengembangan
ekowisata di area tersebut.
32 Ekowisata Mobilisasi peralatan dan Dampak positif pada ekowisata Kegiatan ekowisata pada area Sano Nggoang dan Wae Sano masih Sebagaimana di atas
material, perbaikan jalan akses belum begitu berkembang – kemungkinan karena terbatasnya akses.
Rencana pengembangan Proyek yang meliputi perbaikan pada jalan
regional dari Labuan Bajo (pelabuhan) dan jalan lokal untuk
mengakses area well pad yang direncanakan, akan dapat mendorong
lebih banyak wisatawan yang menghasilkan dampak positif pada
ekowisata.
33 Kesehatan Mobilisasi peralatan dan Meningkatnya emisi debu dan Gangguan kesehatan masyarakat adalah dampak turunan dari Identifikasi kondisi kesehatan, perilaku
masyarakat material kebisingan sementara yang penurunan kualitas udara dan peningkatan kebisingan dari kegiatan hidup sehat, dan status penyakit
mengganggu kesehatan konstruksi. Dampak ini berpotensi signifikan pada masyakatdi masyarakat
masyarakat sekeliling area proyek.
34 Kesehatan Pengujian sumur Risiko paparan H2S pada Selama pengujian sumur, terdapat risiko paparan H2S dari kejadian Sebagaimana di atas.
masyarakat kesehatan masyarakat yang tidak direncanakan pada masyarakat sekitar.
Dipahami bahwa masyarakat terdekat tinggal sekitar 80 m dari well
pad WS-B.
35 Lalu lintas, Mobilisasi peralatan dan Gangguan lalu lintas kendaraan Pekerjaan infrastruktur sipil akan terdiri atas perbaikan koridor jalan Studi data rona awal kondisi lalu lintas,
transportasi, dan material konstruksi dan truk untuk rig dan konstruksi tapak sumur (well pad). Peralatan dan material untuk perhitungan lalu lintas dan kajian
keamanan pengeboran yang melewati pekerjaan sipil meliputi pengiriman komponen rig melalui berbagai dampak
masyarakat koridor jalan yang ada dan jenis dan ukuran truk untuk pengeboran eksplorasi yang akan dikirim
desa-desa dari Labuan Bajo ke lokasi Proyek melalui Jalan Trans Flores dan
jaringan jalan lokal
36 Lalu lintas, Pengeboran eksplorasi Gangguan lalu lintas dari Pengeboran eksplorasi akan melibatkan perjalanan karyawan dari Tidak ada penilaian lebih lanjut yang
transportasi, dan kegiatan pengeboran eksplorasi base camp ke well pad, maupun untuk pemeliharaan kendaraan diperlukan
keamanan dan pengujian sumur pendukung secara berkala. Namun karena jumlah pekerja yang tidak
masyarakat signifikan dan ukuran kegiatan yang relatif kecil dibandingkan tahap
eksploitasi, potensi dampak kemungkinan tidak signifikan.
37 Lalu lintas, Penutupan lokasi Gangguan lalu lintas kendaraan Pengelolaan lalu lintas kendaraan pasca operasi dan truk rig Studi data rona awal kondisi lalu lintas,
transportasi, dan dari kegiatan penutupan lokasi pengeboran yang melewati koridor jalan eksisting dan pedesaan. perhitungan lalu lintas dan kajian
keamanan yang akan melibatkan kendaran Kegiatan ini dapat berpotensi menimbulkan masalah lalu lintas. dampak
masyarakat dan truk rig pengeboran yang
melalui koridor jalan yang ada di
desa-desa
38 Keselamatan Mobilisasi peralatan dan Risiko keselamatan pengguna Meningkatnya kepadatan lalu lintas pada jalan umum sebagai akibat Data rona awal tentang masyarakat
masyarakat material, perbaikan jalan akses jalan dan masyarakat yang dari mobilisasi konstruksi Proyek berpotensi untuk menimbulkan pengguna jalan, perilaku keselamatan
tinggal di sepanjang jalan akses bahaya keselamatan bagi pengguna jalan. Paparan pada bahaya dan kesadaran masyarakat,
keselamatan dapat berpotensi menyebabkan cidera, khususnya pada kualitas/kondisi jalan dan transportasi,
pengguna yang rentan, seperti pejalan kaki yang menyebrang jalan dan jika memungkinkan, riwayat
dan anak-anak yang mungkin bermain dekat area Proyek. kecelakaan lalu lintas pada area
tersebut.
39 Keselamatan Mobilisasi peralatan dan Dampak pada kualitas jalan Rencana pengembangan proyek akan meliputi perbaikan jalan Informasi tentang kondisi kualitas jalan
masyarakat material, perbaikan jalan akses publik dan akses masyarakat regional dari Labuan Bajo (pelabuhan) dan jalan lokal untuk dan penggunaan jalan diperoleh
mengakses area well pad yang direncanakan, menimbulkan dampak sebagai dasar untuk mengidentifikasi
positif pada akses masyarakat misalnya akses ke area desa-desa, peluang bagi Proyek untuk
kecamatan, dan perkebunan lain yang mungkin memperbaiki status menciptakan dampak positif bagi
ekonomi beberapa penduduk desa. kenyamanan masyarakat.
40 Kenyamanan Pengeboran eksplorasi Gangguan pada sumber air Proyek memiliki sejumlah alternatif sumber air untuk kegiatan Tidak ada kajian lebih lanjut yang
masyarakat masyarakat pengeboran sumur eksplorasi, termasuk air permukaan dan danau. diperlukan.
Sementara itu, survei pelingkupan telah mengidentifikasi
permasalahan yang ada pada masyarakat dalam mendapatkan air,
karena area yang kering.
Namun, setelah survei lapangan yang dilakukan oleh Proyek pada
akhir 2017, ditentukan bahwa Proyek akan mengambil air dari danau.
Sehingga, tidak mengakibatkan gangguan pada sumber air
masyarakat, karena kualitas air danau tidak dapat digunakan untuk
tujuan rumah tangga/domestik.
41 Visual Mobilisasi peralatan dan Dampak visual selama Selama konstruksi, lanskap visual eksisting akan terganggu oleh Studi data rona awal dan kajian
material, pembersihan dan persiapan dan pembangunan adanya kegiatan persiapan lahan dan konstruksi jalan raya, perpipaan dampak visual
persiapan lahan, perbaikan dan well pad. Lanskap visual juga dapat terganggu oleh adanya
jalan akses dan pembangunan akumulasi limbah, mobilisasi alat berat dan konstruksi komponen
well pad dan infrastruktur akhir Proyek
42 Visual Pengeboran eksplorasi Dampak visual selama Pengeboran sumur akan mengakibatkan beberapa dampak tambahan Studi data rona awal dan kajian
pengeboran yang ditemui pada konstruksi. Dampak tambahan dapat diakibatkan dampak visual
dari pemasangan rig dan kegiatan pengeboran, walaupun
kemungkinan hal ini dalam jangka pendek dan tidak signifikan
mengganggu keseluruhan panorama. Mereka juga akan menyediakan
pencahayaan tambahan jika diperlukan kegiatan pengeboran pada
malam hari yang mungkin mempunyai dampaknya sendiri.
43 Struktur sosial dan Pengadaan tanah Perselisihan pada masyarakat Lahan adalah aset penting bagi masyarakat berbasis pertanian, Informasi mengenai status kepemilikan
persepsi tentang kepemilikan lahan termasuk pada area Sano Nggoang dan Wae Sano. Satu dari paling lahan dan legalitas (sertifikasi), dan
masyarakat banyak masalah umum yang muncul selama pengadaan tanah pada kepemilikan lahan, termasuk data
area dimana masih ada kepemilikian lahan tradisional adalah historis dan identifikasi adanya cagar
perselisihan mengenai kepemilikan. budaya yang ada pada lahan.
Pengembangan Proyek yang mengakibatkan pengadaan tanah
seringkali menimbulkan kompetisi antar masyarakat untuk mendapat
keuntungan (kompensasi) dari kompensasi tanah.
44 Struktur sosial dan Semua kegiatan proyek Perubahan pada persepsi Hadirnya pekerja yang berasal dari luar lokasi (bukan penduduk Pengumpulan data rona awal nilai adat,
persepsi masyarakat dan gangguan pada setempat) akan menimbulkan tekanan sosial baru dari pengenalan dan tradisi budaya masyarakat.
masyarakat nilai, norma dan praktik budaya budaya, agama, dan perilaku sosial yang berbeda. Keresahan dan
setempat konflik masyarakat dapat meningkat jika tidak dikelola secara efektif.
45 Cagar Budaya Pembersihan dan persiapan Dampak pada cagar budaya Masyarakat sekitar rencana area Proyek adalah masyarakat dengan Penilaian terhadap potensi keberadaan
lahan dan pembangunan well fisik dan gangguan pada akses budaya yang tradisional, yang nilai budayanya masih melekat pada benda cagar budaya di dalam tapak
pad dan infrastruktur pada situs budaya benda cagar budaya, termasuk lahan pada area kampung tua dan proyek yang memiliki nilai signifikan
nilai historis Danau Sano Nggoang. Perubahan penggunaan lahan bagi masyarakat.
pada tahap pengembangan Proyek berpotensi menyebabkan dampak
terhadap benda cagar budaya. Selain itu, terdapat beberapa situs
budaya dan komunal yang berada dekat dengan area Proyek dimana
akses masyarakat terhadap situs tersebut harus tetap terjaga.
46 Hak Pekerja Perekrutan dan pengelolaan Dampak pada kondisi umum Diantisipasi bahwa akan terdapat lebih banyak kontraktor Penilaian potensi risiko bagi Proyek
tenaga kerja kerja dibandingkan staf yang direkrut untuk Proyek. Terdapat potensi risiko untuk melanggar hak pekerja yang
pelanggaran hak pekerja baik oleh Proyek maupun kotnraktor. sudah diatur, dengan perhatian khusus
pada penanganan masyarakat
setempat.
47 Kesehatan dan Semua kegiatan proyek Risiko Kesehatan dan Terdapat potensi risiko K3 untuk pekerja konstruksi Proyek karena Penilaian potensi risiko bagi Proyek
keselamatan kerja Keselamatan Kerja (K3) pada ada kemungkinan mereka dihadapkan pada sejumlah kegiatan fisik untuk melanggar kondisi kerja tenaga
pekerja yang memiliki potensi untuk menyebabkan cidera dan, pada beberapa kerja dan meningkatkan paparan
kasus, kematian. tenaga kerja pada risiko K3.
Hal paling penting dari proses dampak lingkungan adalah menjelaskan nilai-nilai lingkungan eksisting, pada
suatu tingkat yang dapat menggambarkan dampak proyek, dan menetapkan kondisi rona awal untuk
pemantauan adanya perubahan yang dapat terjadi karena dampak proyek. Untuk komponen lingkungan, baik
aspek fisik maupun ekologi, tingkat kajian kondisi rona awal yang tepat ditentukan dalam proses pelingkupan.
Tingkat, dimana kondisi awal lingkungan perlu dikaji, dapat berkisar dari survei tinjauan pustaka terhadap
informasi/data sekunder yang mungkin telah tersedia, hingga kajian lapangan secara lengkap dari parameter
lingkungan tertentu yang terimplikasi dan pengembangan data primer yang spesifik pada proyek. Untuk aspek
sosial/masyarakat penting untuk melakukan kajian data sekunder yang mungkin sudah ada dalam catatan
pemerintah atau informasi sensus masyarakat lain, namun penting pulakonsultasi masyarakat dilakukan untuk
menentukan permasalahan utama di dalam masyarakat.
Data Sumber
Foto Satelit Ortho photo PT Jacobs (2017)
Data Meteorologis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Iklim (Curah hujan, Temperatur udara, PT SMI (Laporan Penapisan GEUDP ES, 2016)
Kelembaban udara relatif, kecepatan dan
arah angin)
Kualitas Udara dan Tingkat Bau Data Primer
Tingkat Kebisingan Data Primer
Fisiografi Data Pemetaan Badan Informasi Geospasial (BIG)
Geologi dan Geomorfologi Peta Geologi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi)
– Lembar Komodo (1978) dan Ruteng (1994).
PT SMI (Studi Pra-Kelayakan GEUDP Proyek Panas Bumi Waesano)
Badan Perencanaan Tata Ruang (Perencanaan Tata Ruang Kabupaten
Manggarai Barat, 2010)
Tanah Badan Geologi
PT SMI (Studi Pra-Kelayakan GEUDP Proyek Panas Bumi Waesano)
Badan Perencanaan Tata Ruang (Perencanaan Tata Ruang Kabupaten
Manggarai Barat, 2010)
Tata Guna tanah dan Status Tanah Peta Topografi (Peta Rupa Bumi Indonesia) Skala 1:25.000, BIG (2001)
Informasi, data, rekomendasi dan kajian yang terkandung dalam Laporan (secara kolektif, “Informasi”):
tunduk pada ruang lingkup, jadwal dan batasan dan keterbatasan lain pada Perjanjian dan kualifikasi
yang terkandung dalam Laporan (“Keterbatasan”);
menggambarkan penilaian profesional AECOM dalam hal keterbatasan dan standar industri untuk
persiapan laporan yang serupa;
bisa berupa informasi yang diberikan kepada Konsultan yang belum diverifikasi secara independent;
belum diperbaui sejak tanggal penerbitan Laporan dan akurasinya terbatas pada periode waktu dan
kondisi dimana Laporan dikumpulkan, diproses, dibuat atau diterbitkan;
harus dibaca secara keseluruhan dan bagian daripadanya tidak boleh dibaca diluar konteks seperti
disebutkan;
dipersiapkan untuk tujuan khusus yang dijelaskan dalam Laporan dan Perjanjian;
dalam hal kondisi subpermukaan tanah, lingkungan atau geoteknik, bisa didasarkan atas pengujian
yang terbatas dan pada asumsi dimana kondisi seperti disebutkan seragam dan tidak berubah-ubah
baik secara geografis atau dalam periode waktu tertentu.
Selama penyusunan draft ESIA sebelumnya terdapat kerangka waktu terbatas yang diberikan untuk
mengembangkan laporan dan melakukan kunjungan lokasi dalam minggu pertama setelah pertemuan
awal, berdasarkan desain Proyek yang diberikan pada AECOM pada 27 Oktober dan 3 November 2017.
Sebagai catatan, beberapa lokasi pelebaran jalan tidak dikonfirmasikan sebelum kunjungan lokasi,
sementara tiga (3) alternatif well pad WS-B1, WS-B4, dan WS-E (alternatif) hanya teridentifikasi pada
22 Desember 2017, karena sensitivitas budaya dari lokasi awal yang baru teridentifikasi selama
kunjungan lapangan. Area baru yang direncanakan ini disurvei selama proses pengungkapan ESIA
yang meliputi kunjungan penelusuran bersama dengan masyarakat setempat;
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
4-19
Survei dan pengambilan sampel rona awal satu musim dilakukan dengan mempertimbangkan
kecukupan data musim kemarau untuk tujuan kajian dampak seperti untuk kualitas udara, dan kurang
variasi diantara musim. Data sekunder disajikan untuk musim kedua;
Data tingkat kabupaten digunakan untuk menjelaskan beberapa rona awal sosial karena keterbatasan
informasi dari kantor kecamatan dan desa; dan
Wawancara dan inventarisasi sosial ekonomi pemilik tanah tidak dapat dilakukan karena Proyek masih
dalam proses penentuan batas tanah dan pemetaan kepemilikan lahan pada saat pengungkapan ESIA
dan survei penelusuran bersama dilakukan.
Keterbatasan studi ini diharapkan dapat ditindaklanjuti setelah konsultasi publik kedua berikutnya untuk
pengungkapan dan konsultasi ESIA dan ESMP yang direncanakan dilaksanakan sebelum finalisasi desain.
Proses kajian dampak tidak hanya mempertimbangkan komponen proyek yang direncanakan dalam kondisi
normal, namun harus meliputi pertimbangan interaksi proyek dengan kondisi yang tidak direncanakan atau
kondisi abnormal yang dapat terjadi selama masa proyek. Interaksi yang tidak direncanakan ini dapat ditimbulkan
oleh proyek, seperti kecelakaan, tumpahan atau perubahan yang diperlukan oleh kondisi eksternal, atau mungkin
terkait dengan kondisi lingkungan yang abnormal atau ekstrim yang mungkin dapat terjadi melalui masa proyek
seperti badai ekstrim atau kejadian seismik.
Istilah Definsi
Keparahan Dampak dan Besaran Dampak
Keparahan Dampak Keparahan dampak adalah suatu fungsi dari berbagai pertimbangan yang meliputi besaran
dampak, durasi dampak, luas sebaran dampak, dan kepatuhan hukum maupun pedoman
Besaran Dampak Estimasi besaran dampak (misal ukuran area yang rusak atau terdampak % dari sumber daya
yang hilang atau terdampak dsb), yang memengaruhi tingkat keparahan.
Sifat Dampak
Dampak Negatif Dampak yang dianggap menggambarkan perubahan buruk dari kondisi awal, atau
memperkenalkan faktor baru yang tidak diinginkan.
Dampak Positif Dampak yang dianggap menggambarkan perbaikan pada kondisi awal, atau memperkenalkan
Pada proses ESIA penting untuk mendefinisikan potensi dampak proyek terhadap lingkungan dan/atau sosial
dan juga hasil keluaran dari melaksanakan upaya mitigasi dampak. ESIA tidak hanya menjelaskan dampak
langsung proyek itu sendiri, namun juga cara dimana proyek akan berinteraksi dengan pengaruh lainnya diluar
proyek yang dapat menyebabkan dampak turunan sosial atau lingkungan. Dengan demikian terdapat beberapa
jenis dampak berbeda yang harus dipertimbangkan sebagaimana dijelaskan pada Tabel 4-6.
Evaluasi dampak akan ditentukan dengan keparahan dampak, sifat dan sensitivitas dari lingkungan yang
menerima dan kemungkinan terjadinya dampak.
Keparahan Dampak: keparahan dari suatu dampak adalah fungsi dari beberapa pertimbangan termasuk
besaran dampak, durasi dampak, persebaran dampak, dan ketaatan hukum dan pedoman;
a. Keparahan Dampak
Kriteria yang dijelaskan di atas digunakan untuk menentukan keparahan dampak yang akan dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut:
Besaran dampak: besaran perubahan yang disebabkan seperti persentase sumber daya yang mungkin
hilang, perubahan yang diprakirakan pada suatu tingkatan bahan pencemar, atau ukuran secara
kuantitatif terhadap kerugian atau manfaat bagi masyarakat;;
Durasi dampak: keseluruhan periode waktu dimana dampak diprakirakan berlangsung;
Persebaran dampak: persebaran geografis dari perubahan lingkungan hidup, atau tingkat dimana
dampak sosial dapat mencapai masyarakat terdekat, sekitarnya atau bahkan masyarakat umum;
Standar berdasarkan regulasi dan pedoman: status dampak terkait dengan regulasi atau perundang-
undangan yang berlaku, perbandingan hasil yang diprakirakan dengan standar dan pedoman yang
diakui yang relevan dengan proyek, lokasi dan konteksnya.
Dimanapun memungkinkan, keparahan dampak harus dijelaskan dalam istilah kuantitatif, berdasarkan nilai
numerik, dibandingkan dengan batas sesuai peraturan, standar atau pedoman proyek, atau jumlah orang yang
berpotensi terkena dampak. Namun, dalam beberapa contoh perlu untuk melakukan lebih banyak pendekatan
kualitatif pada definisi beberapa hasil, baik karena estimasi kualitatif secara sederhana tidak memungkinkan,
atau karena evaluasi numerik tidak relevan (hal ini khususnya benar pada beberapa elemen sosial, seperti
persepsi masyarakat).
Tinggi: perubahan utama pada lingkungan hidup eksisting yang kemungkinan tidak berbalik atau akan
menimbulkan kerugian lingkungan hidup untuk periode waktu tertentu.
Medium: perubahan pada lingkungan hidup eksisting yang akan mengubah statusnya saat ini, namun
tidak menghentikan perannya dalam lingkungan hidup atau dapat dengan mudah dikembalikan.
Rendah: suatu perubahan pada lingkungan hidup eksisting tetapi hanya sedikit reseptor sensitif atau
suatu perubahan yang akan bersifat sementara.
Sedikit: dapat diukur tetapi tidak ada perubahan efektif pada nilai lingkungan hidup saat ini.
Kriteria dimana sensitivitas lingkungan yang menerima dikaji dapat dijelaskan sebagai:
Kelimpahan
o Kelangkaan: adalah reseptor terdampak pada kejadian yang jarang dari kondisi lingkungan,
atau parameter sosial (seperti misalnya spesies atau habitat langka);
o Ukuran atau besaran: penting untuk menjelaskan jumlah kerugian yang mungkin relevan
terhadap dampak pada elemen lingkungan atau sosial tertentu.
Kemampuan adaptasi
o Kemampuan bertahan (Resilience): apa kemampuan elemen lingkungan atau sosial tertentu
untuk bertahan dari perubahan (misalnya dampak sosial/kesehatan mungkin memiliki hasil
yang berbeda pada anggota masyarakat yang sangat tua atau sangat muda);
o Kemampuan untuk pulih: apa potensi untuk pulih kembali dari dampak, seberapa tuntas
pemulihan itu dan butuh berapa lama untuk pulih.
Kondisi
o Tingkat gangguan: adalah kondisi elemen lingkungan atau sosial pada kondisi alamiahnya,
atau apakah sudah terganggu oleh aktivitas lain pada masa lalu.
Untuk peristiwa yang tidak direncanakan, atau situasi ekstrem, peluang kejadian bahwa kondisi lingkungan
tertentu akan berlangsung dapat dianggap sebagai kemungkinan kualitatif, sesuai kategori yang dijelaskan pada
Tabel 4-7.
Peluang kejadian diestimasikan berdasarkan pengalaman dan ketersediaan bukti yang mana suatu peristiwa
serupatelah terjadi sebelumnya. Dampak yang dihasilkan dari kejadian rutin atau yang direncanakan (operasi
normal) digolongkan sebagai yang memiliki peluang kejadian tinggi.
Untuk tujuan menjabarkan sifat penting dampak pada ESIA ini, terminologi yang telah diadopsi dijelaskan dalam
Tabel 4-8.
Suatu dampak yang dianggap meningkatkan kondisi lingkungan awal atau mengenalkan
Dampak Positif
faktor baru yang diinginkan.
Dampak Dapat Diabaikan Besarnya perubahan hampir sama dengan variasi alami.
Dapat terdeteksi tetapi tidak signifikan – harus dimitigasi lebih lanjut jika memungkinkan
Dampak Minor
namun merupakan risiko yang dapat diterima.
Signifikan, dapat disetujui untuk mitigasi; harus dimitigasi lebih lanjut untuk memungkinkan
Dampak Moderat
penerimaan dampak pada nilai ambang batas.
Dampak Mayor Signifikan, dapat dikendalikan melalui mitigasi; harus dimitigasi – tidak dapat diterima.
Tidak dapat ditoleransi, tidak dapat dikendalikan melalui mitigasi – alternatif harus
Dampak Kritis
diidentifikasi – Proyek dihentikan.
Kritis: perubahan yang sangat signifikan pada lingkungan yang ada yang kemungkinan tidak dapat
dikembalikan lagi.
Mayor: perubahan besar dalam lingkungan yang sudah ada yang akan menyebabkan kehilangan nilai
lingkungan untuk periode waktu tertentu.
Moderat: perubahan pada lingkungan yang sudah ada yang akan mengubah kondisinya saat ini namun
tidak akan mengentikan perannya dalam lingkungan atau dapat dengan mudah dikembalikan.
Minor: perubahan pada lingkungan yang sudah ada namun ada sedikit reseptor sensitif atau suatu
perubahan yang akan terjadi pada jangka pendek (sementara).
Dapat diabaikan: dapat diukur namun tidak ada perubahan efektif pada nilai lingkungan saat ini.
Positif: jika dampak positif teridentifikasi; tidak ada besaran dan sensitivitas yang diukur. Hal ini
dianggap cukup untuk mengindikasikan bahwa proyek diharapkan menghasilkan dampak positif, tanpa
mengidentifikasi sifat penting dampak yang kemungkinan terjadi.
Harus diperhatikan bahwa dampak kritis tidak dapat diterima untuk operasi yang direncanakan, dan hanya dapat
ditoleransi dalam hal kejadian yang tidak terencana atau insidental, dan hanya ketika kemungkinan terjadi telah
berkurang melalui perencanaan proyek menjadi sangat rendah atau tidak mungkin terjadi.
Sifat penting masing-masing dampak ditentukan dengan membandingkan keparahan dampak dengan
sensitivitas reseptor pada matriks sifat penting dampak yang diberikan dalam Tabel 4-9.
Dampak kejadian yang tak direncanakan didefinisikan dimana kemungkinan terjadi dapat dianggap berasal,
keparahan dampak harus dipertimbangkan sehubungan dengan kemungkinan terjadinya sebagaimana
dijelaskan dalam Tabel 4-10.
Sensitivitas Reseptor
Dampak yang dikaji sebagai dampak yang dapat diabaikan tidak memerlukan pengelolaan atau mitigasi
tambahan karena besaran dampak cukup kecil untuk sensitivitas reseptor yang cukup rendah, dan kontrol yang
cukup,atau diperhitungkan dalam desain proyek. Dampak yang dapat diabaikan oleh karenanya dianggap tidak
signifikan, dan tidak memerlukan tindakan perbaikan apapun lebih lanjut.
Dampak yang dievaluasi sebagai minor, moderat atau mayor akan memerlukan penerapan tindakan pengelolaan
atau mitigasi lebih lanjut. Dampak moderat sampai mayor dianggap signifikan. Untuk dampak yang berpotensi
mayor, obyek mitigasi adalah mengurangi risiko/dampak sisa ke tingkat moderat.
Pada pengembangan tindakan mitigasi untuk mengurangi dampak moderat, yang terpenting adalah pada
pembuktian bahwa dampak telah diturunkan pada tingkat yang serendah mungkin. Tidak akan selalu praktis
untuk menurunkan dampak moderat ke dampak minor dengan pertimbangan efektivitas biaya proyek.
Dampak yang dievaluasi sebagai kritis tidak dapat dikelola dan dimitigasi, dan dengan demikian memerlukan
pemilihan alternatif untuk menghilangkan sumber potensinya. Dampak-dampak tersebut tidak dapat dilihat
sebagai bagian dari operasi normal proyek, dan hanya dapat dipertimbangkan jika desain proyek telah
mengambil langkah yyang memungkinkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya dampak menjadi serendah
mungkin.
Untuk kajian dampak sosial, pendekatan yang sama dilakukan sebagaimana dampak lingkungan; namun
terminologinya telah sedikit diubah untuk mempertimbangkan penafsiran masyarakat. Sehingga, daripada
mengacu pada potensi dampak yang memiliki tingkatan skala sifat penting (setiap permasalahan sosial dapat
bersifat sangat penting untuk beberapa atau banyak pihak), istilah sifat penting/mendesak (urgency) digunakan
untuk menunjukkan proses prioritisasi yang diperlukan untuk menangani masalah sosial dalam masyarakat.
Tingkatan sifat penting (atau urgensi) dampak untuk beragam masalah sosial dievaluasi menurut Tabel 4-11.
Sensitivitas Reseptor
Sifat penting dampak sosial untuk berbagai masalah sosial didefnisikan sebagaimana pada Tabel 4-12.
Tabel 4-12 Kajian Sifat Penting (Urgensi) Dampak Masyarakat dan Sosial
Sifat Penting
Pemindahan Masyarakat Kenyamanan Sosial dan Publik Kesehatan Masyarakat
Dampak
Positif Hasil akan menimbulkan manfaat ekonomi Penyediaan kenyamanan publik atau Hasil yang dapat
untuk masyarakat. kenyamanan yang sebelumnya diharapkan untuk
belum tersedia. meningkatkan kesehatan
masyarakat.
Dapat Untuk Pemindahan Masyarakat – hanya Akan menantang persepsi dan Tidak berlaku.
Diabaikan berlaku pada hasil yang termitigasi dimana mungkin dapat menyebabkan rasa
relokasi akan mempertahankan gaya hidup tidak nyaman yang harus dijelaskan
tetapi mungkin tidak memenuhi kebutuhan kepada beberapa penduduk dalam
budaya. masyarakat dengan jumlah yang
Akan menginduksi Perpindahan ekonomi tidak signifikan
yang minimal.
Hasil Ekonomis yang termitigasi dimana
solusi jangka panjang dapat ditemukan
melalui beberapa usaha oleh salah satu
pihak.
Minor Untuk Pemindahan Masyarakat – hanya Kemungkinan mempengaruhi sedikit Tidak berlaku.
berlaku pada hasil keluaran yang termitigasi individu dan akan mengganggu gaya
dimana relokasi akan mempertahankan hidup atau kebiasan mereka saat ini.
gaya hidup tetapi mungkin tidak memenuhi Akan menantang persepsi dan dapat
kebutuhan budaya. menyebabkan rasa tidak nyaman
Akan menginduksi beberapa perpindahan yang harus dijelaskan diantara
ekonomi, memengaruhi sebagian kecil beberapa kelompok dalam
rumah tangga; skala pada tingkat lokal, dan masyarakat, skala pada tingkat lokal,
untuk durasi pendek. dan dalam durasi pendek. Akan
Hasil Ekonomi yang termitigasi yang hanya mengubah fungsi harian atau
dapat diselesaikan dengan tindakan satu menghilangkan sumber daya untuk
kali kompensasi yang mungkin tidak sejumlah kecil keluarga atau rumah
berkelanjutan. tangga.
4.6. Mitigasi
Proses kajian ditujukan untuk mengidentifikasi dampak dan manfaat terkait dengan aktivitas Proyek dan cara
untuk mengatasinya selama tahap perencanaan dan desain Proyek. Tujuan utama proses kajian adalah untuk
mengurangi dampak negatif dan meningkatkan manfaat atau dampak positif pada setiap kegiatan apapun yang
dimaksud. Tindakan mitigasi yang direncanakan akan dijelaskan, dan langkah-langkah atau pengendalian
tambahan akan direkomendasikan dimana ada dampak yang masih dianggap tidak dapat diterima.
Dalam menentukan strategi mitigasi yang sesuai terdapat hierarki respon, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar4-3.
Mengurangi di Lokasi: Hal ini melibatkan penambahan sesuatu terhadap desain dasar untuk mengurangi
dampak – pengendalian polusi masuk dalam kategori ini
Mengurangi pada Penerima Dampak: Jika suatu dampak tidak dapat dikurangi di lokasi, kemudian
langkah-langkah dapat dilaksanakan di luar lokasi
Perbaikan atau Pemulihan: Beberapa dampak melibatkan kerusakan yang tidak dapat dihindari pada
suatu sumber daya. Perbaikan meliputi langkah-langkah restorasi dan pemulihan kembali
Kompensasi Program/Kompensasi melalui Tindakan Lain: Dimana pendekatan mitigasi lain tidak
mungkin atau efektif sepenuhnya, maka kompensasi untuk kehilangan atau kerusakan mungkin sesuai.
Terdapat juga kemungkinan kejadian yang tidak direncanakan dan ekstrim serta kondisi lingkungan yang tidak
biasa yang mungkin dapat menimbulkan dampak penting (major) atau bahkan kritis. Merupakan kewajiban
pemrakarsa proyek untuk mengurangi kemungkinan kejadian tersebut serendah mungkin, dan bahkan
setelahnya adalah bagian yang diperlukan dari proses mitigasi untuk menjelaskan respon jika kondisi tersebut
terjadi. Sekali lagi terdapat hierarki respon dari kejadian tersebut:
Pengendalian: hal ini adalah respon untuk menangani potensi dampak negatif pada saat itu dan situasi
darurat yang mungkin terjadi, dapat meliputi hal-hal seperti kapasitas pemadam kebakaran hutan, atau
bahkan menghentikan rencana kerja untuk kejadian cuaca yang ekstrim;
Pemulihan: dalam hal telah terjadi kondisi darurat, penting untuk mengidentifikasi bagaimana
Pemrakarsa Proyek akan merespon terhadap kemungkinan dampak negatif seperti rencana pemulihan
yang dapat termasuk rencana tindakan untuk pencegahan atau penghentian tumpahan, atau paket
kompensasi pada pihak terdampak.
Banyak tindakan mitigasi atau pengendalian akan memerlukan tingkat pengelolaan untuk memastikan
keberhasilannya dalam mengurangi potensi dampak sampai pada tingkatan dampak sisa (sifat penting dampak
yang termitigasi) yang diharapkan melalui proses ESIA. Pada umumnya implementasi tindakan mitigasi
bertujuan untuk mengurangi keparahan dampak, namun dalam beberapa kasus dimana tingkat besaran dan luas
kegiatan Proyek yang mempengaruhi tingkat keparahan tidak dapat dikurangi, mitigasi akan direncanakan untuk
mengelola sensitivitas lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak. Hal ini sebagaimana direncanakan
dalam pengelolaan dampak sosial misalnya dalam kasus dimana lingkup pengadaan tanah tidak dapat dikurangi,
mitigasi dalam bentuk restorasi mata pencaharian untuk mengurangi kerentanan masyarakat akan diusulkan.
Kebanyakan dari hasil sisa (termitigasi) ini masih memerlukan tingkat pemantauan melalui implementasi proyek
untuk memastikan bahwa proses pengelolaan mitigasi efektif.
Tindakan mitigasi (baik sosial dan lingkungan) yang telah diajukan dalam eksplorasi ESIA ini telah
dipertimbangkan penggunaannya pada masa mendatang. Semaksimal mungkin, Proyek akan berusaha untuk
menetapkan strategi mitigasi lingkungan dan sosial yang kokoh dan akan terus diterapkan sebagai kemajuan
proyek. Upaya pengelolaan dan pemantauan ini yang memberikan informasi pada Rencana Pengelolaan
Lingkungan dan Sosial (ESMP) yang merupakan bagian dari ESIA.
Hasil proses kajian lingkungan adalah berbagai dampak sisa dari tingkat keparahan (severity) yang bervariasi,
dan keandalan yang bervariasi pada strategi mitigasi, yang mengurangi keparahan dampak lingkungan asli dari
risiko yang dikaitkan dengan proyek. Walaupun banyak strategi mitigasi diterapkan melalui desain proyek, akan
terdapat sejumlah dampak yang signifikan yang harus dimitigasi dengan pengelolaan terus menerus selama
tahap konstruksi dan operasi proyek. Ada juga sejumlah tindakan pemulihan yang akan berlangsung sebagai
bagian dari decommissioning atau penutupan proyek. ESMP menunjukkan komitmen atas nama pemrakarsa
proyek untuk pengelolaan berkaitan dengan masalah lingkungan dan sosial ini melalui implementasi dan
penutupan proyek.
ESMP terdiri atas kumpulan tindakan mitigasi, pemantauan dan langkah kelembagaan yang harus dilakukan
selama implementasi dan operasi proyek untuk menghindari, mengurangi, atau mengkompensasi dampak buruk
sosial dan lingkungan. Termasuk prioritas dari berbagai tugas; menunjukkan tanggung jawab dalam organisasi,
dan rencana jangka waktu untuk pencapaiannya. Termasuk referensi pada sejumlah rencana dan prosedur
pengelolaan yang lebih mendetail yang harus diikuti dalam organisasi, seperti program pemantauan lingkungan,
keselamatan masyarakat dan kebijakan keamanan, rencana konsultasi masyarakat, prosedur pemeliharaan dan
jadwal. Seharusnya juga menjelaskan hasil yang diinginkan berupa kejadian dan parameter yang terukur sejauh
memungkinkan yang seharusnya mencakup kriteria indikator kinerja, target, atau persetujuan yang dapat
ditelusuri selama periode waktu tertentu, dan menunjukkan sumber daya yang menyanggupi untuk implementasi
rencana tersebut. Seharusnya pula menunjukkan respon yang harus dilakukan, dalam hal kriteria kinerja tidak
terpenuhi maka sebagai contoh seharusnya merekomendasikan tindakan pemulihan segera oleh adanya suatu
elemen infrastuktur pengurangan polusi yang kelihatannya tidak berhasil. Langkah-langkah dan tindakan
diidentifikasi sebagaimana diperlukan bagi Proyek untuk mematuhi perundang-undangan dan peraturan yang
berlaku, semua ini harus tercakup dalam ESMP.
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4-3, pengembangan ESMP adalah sebuah proses yang berulang-ulang,
sebagai bagian dari proses ESIA, pengungkapan terhadap publik akan temuan analisis lingkungan dan sosial
adalah satu langkah penting, dan seringkali ESMP akan diperbaiki atas dasar masukan dari masyarakat. Juga
pada keseluruhan proyek ketika realitas dari implementasi Proyek menjadi semakin terlihat, sering terjadi
keadaan dimana prosedur dimodifikasi dan dioptimalkan, atau secara sederhana cara yang lebih baik dalam
melaksanakan sesuatu menjadi lebih jelas dibandingkan pada tahap perencanaan proyek sebelumnya. Sehingga
ESMP, serta prosedur pemantauan dan pengelolaan merupakan sekumpulan dokumen hidup (living document),
yang mencerminkan status dari pendekatan dan rencana pengelolaan lingkungan dan sosial saat ini
ESMP harus secara umum sesuai dengan Analisis Dampak Lingkungan sesuai peraturan Indonesia (AMDAL)
yang juga berisi Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-
RPL). Untuk tahap Eksplorasi Panas Bumi Waesano saat ini, rencana pengelolaan dan pemantauan yang
diperlukan disajikan dalam UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup). Dokumen UKL-UPL mengandung semua elemen ESMP, namun karena persyaratan yang
sedikit lebih sempit, dokumen tersebut tidak mencakup semua permasalahan yang dipersyaratkan oleh
Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia yang telah diadopsi dalam ESMF GEUDP. Sebagai catatan,
Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia memperjelas bahwa kepatuhan terhadap proses perundang-
undangan setempat adalah hal mendasar pada pengelolaan lingkungan sebuah proyek. ESMP yang diajukan
untuk Proyek mencakup langkah-langkah UKL-UPL maupun langkah-langkah tambahan yang memperhatikan
kebutuhan kepatuhan lebih lanjut dengan Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia dan ESMF GEUDP.
Penerapan GIS sendiri tidak dapat mengatasi inkonsistensi pendapat professional dalam menentukan dan
memberikan kepentingan relative pada masing-masing dari banyak kriteria yang dipertimbangkan dalam analisis
kesesuaian. Metode Proses Hirarki Analitik (AHP) (Saaty, 1980) digunakan berkombinasi dengan GIS untuk
mengatasi masalah ini. Metode ini digunakan luas oleh pengambil keputusan untuk menetapkan prioritas dalam
pengambilan keputusan multi-kriteria.
Analisis spasial dilakukan berdasarkan metode Simple Additive Weighing (SAW). Hasil penilaian ini
adalah peta indeks kesesuaisan berdasarkan parameter lingkungan.
Setelah itu, parameter terpilih disusun ke dalam indeks sensitivitas dan diberikan bobot untuk masing-masing
parameter. Penggolongan sensitivitas pada masing-masing variable lingkungan yang mengacu pada peraturan
pemerintah dan penilaian ahli ditunjukkan pada Tabel 4-13.
**Area terlarang. Cagar budaya mengacu pada obyek apapun yang secara formal diakui oleh pemerintah atau tercantum
dalam Dinas Kebudayaan tingkat daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 terkait Cagar
Budaya, maupun obyek dan situs dengan tingkat kepentingan budaya untuk masyarakat setempat termasuk makam dan situs
alam yang penting bagimasyarakat setempat.
Walaupun tidak ada persyaratan regulasi spesifik untuk jarak terlarang aktivitas proyek dari area cagar budaya atau makam,
penting untuk memastikan bahwa tapak proyek tidak tumpeng tindih dengan lokasi cagar budaya, atau yang lainnya, konsultasi
lebih lanjut dengan masyarakat setempat diperlukan.
Kepentingan relatif antara dua kriteria diukur berdasarkan skala numerik dari 1 hingga 9, sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 4-14.
Skala kepentigan relatif digunakan sebagai acuan untuk membuat klasifikasi ringan dari skala kepentingan relatif
yang digunakan dalam penilaian ini sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4-15.
Perbandingan berpasangan digunakan untuk mendapatkan bobot kepentingan kriteria keputusan. Kriteria
kualitatif dan kuantitatif dapat dibandingkan menggunakan penilaian (ahli) dalam skala tabel kepentingan relatif.
Pada studi ini, 3 (tiga) penilaian ahli digabungkan untuk mendapatkan bobot kepentingan krriteria keputusan.
Untuk menyatukan beberapa kuesioner dari beberapa ahli adalah dengan menggunakan persamaan geometric
rata-rata:
Dimana:
Kriteria 1 2 3 n
1 1 GM12 GM13 GM1n
2 GM21 1 GM23 GM2n
3 GM31 GM32 1 GM3n
n GMn1 GMn2 GMn3 1
Kegiatan konsultasi selama pengembangan ESIA, termasuk pelingkupan ESIA dan dua kegiatan
konsultasi kondisi awal ESIA (kegiatan konsultasi kedua kondisi awal ESIA dilaksanakan dikarenakan
perubahan pada alternatif Proyek);
Rencana pelibatan pemangku kepentingan pada masa mendatang dan pengelolaan keluhan.
Selain itu, Rencana Detail Pelibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Plan-SEP) disusun,
termasuk konsultasi yang diperlukan untuk melakukan mitigasi dampak spesifik yang teridentifikasi. Dokumen
meliputi analisis pemangku kepentingan, rencana konsultasi untuk kelompok wanita dan rentan, dan jadwal
program selama tahap eksplorasi Proyek (lihat Lampiran H Rencana Pelibatan Pemangku Kepentingan).
Sosialisasi telah dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 17
tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Kajian Dampak Lingkungan. Pemangku
kepentingan yang terlibat dalam konsultasi mencakup pemimpin sosial/masyarakat, camat dan kepala desa dari
desa di area Proyek maupun pejabat pemerintah daerah setempat. Hasilnya digunakan sebagai dasar untuk
pelingkupan ESIA.
Survei pertama dilakukan dari 3 hingga 6 November 2016 di Kecamatan Sano Nggoang untuk mengumpulkan
informasi rona awal maliputi kondisi mata pencaharian, kegiatan budaya, kondisi kesehatan dan keselamatan
dan persepsi masyarakat, yang berfokus pada 2 desa yaitu Sano Nggoang dan Wae Sano. Selain itu, konsultasi
dengan masyarakat setempat juga dilakukan dari 21 hingga 23 Maret 2017, yang berfokus pada pemetaan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
5-1
sensitivitas partisipatoris dengan masyarakat setempat untuk menggambarkan reseptor sensitif misalnya lokasi
budaya, tempat ibadah, mata air dan sebagainya untuk meminimalkan potensi dampak dari pengembangan
Proyek terhadap area sensitif, juga pengumpulan data rona awal sosial tambahan masyarakat di Desa Pulau
Nuncung. Kronologiskonsultasi putaran pertama disajikan pada Tabel 5-1.
Tabel 5-1 Kegiatan Konsultasi Kondisi Rona Awal ESIA yang Pertama
Waktu Pemangku Kepentingan Permasalahan Kunci yang Dikonsultasikan Lokasi
yang Dikonsultasi dengan Pemangku Kepentingan Kepentingan
3-6 November Masyarakat Desa Wae Kondisi mata pencaharian, aktivitas budaya, kondisi Desa Wae Sano dan
2016 Sano dan Sano Nggoang, kesehatan dan keamanan dan persepsi masyarakat Sano Nggoang
wawancara untuk putaran pada 2 desa
pertama studi kondisi awal
21-23 Maret Diskusi kelompok dengan Pemetaan sensitivitas partisipatoris, yang digunakan Desa Wae Sano,
2017 Kepala Desa, Pemimpin untuk analisis sensitivitas Sano Nggoang, dan
budaya, pemuda, wanita Pulau Nuncung
dan rumah tangga
21-23 Maret Wawancara dengan Kondisi mata pencharian dan budaya kepentingan Desa Pulau
2017 pemerintah desa Pulau bagi masyarakat setempat, dan persepsi masyarakat Nuncung
Nuncung
Karena konsultasi kondisi awal lebih fokus pada pencarian informasi terkait kondisi masyarakat dan mengukur
potensi dampak proyek, sedikit informasi terkait aktivitas Proyek yang dibagi. Hasil konsultasi dilampirkan pada
Bagian 6 hingga 8 ESIA ini.
Tabel 5-2 Kegiatan Konsultasi Kondisi Rona Awal ESIA yang Kedua
Waktu Pemangku Kepentingan Permasalahan Kunci yang Dikonsultasikan Lokasi
yang Dikonsultasi dengan Pemangku Kepentingan Kepentingan
26 November Kepala Desa Wae Sano Ikhtisar masyarakat Wae Sano dan pengembangan Desa Wae Sano
2017 desa
27 November Pemimpin Masyarakat Sejarah keluarga Nunang, nenek moyang, temuan Desa Wae Sano
2017 Klan/Keluarga Nunang – arkeologis, sejarah desa, dan nilai sejarah/budaya
Mantan Kepala Desa Wae Danak Sano Nggoang
Sano
Tu’a Golo Dusun Nunang Sejarah Masyarakat Mata Wae, sejarah desa, s, aset Desa Wae Sano
(Well pad B) dan aktivitas budaya, identifikasi lahan
Masyarakat setempat Tutupan lahan dan survei status well pad A, B, D, E Desa Wae Sano
Desa Wae Sano
28 November Tu’a Golo Dusun Lempe Sejarah keluarga Lempe, sejarah desa, aset dan Desa Wae Sano
2017 (Well pad A) aktivitas budaya, identifikasi lahan
Tu’a Golo Dusun Dasak Sejarah keluarga Dasak, sejarah desa, aset dan Desa Wae Sano
(Well pad D) aktivitas budaya, identifikasi lahan
Camat Kecamatan Sano Konsultasi dengan pemilik lahan untuk pengadaan Kecamatan Sano
Nggoang tanah Nggoang
Kepala Personel Konsultasi dengan pemilik lahan untuk pengadaan Kecamatan Sano
Keamanan Pemerintah tanah Nggoang
Setempat
Masyarakat Setempat Tutupan lahan dan survei status lahan peningkatan Kecamatan Sano
Sama dengan tujuan utama pada konsultasi tahap pertama, hasil konsultasi kondisi awal ESIA tahap kedua ini
diperlukan untuk memperbarui informasi kondisi awal dan kajian dampak pada Bagian 6 hingga 8.
Sejumlah masalah kunci dimunculkan selama acara pengungkapan yang dianggap penting untuk finalisasi
proses dan perencanaan desain Proyek (lihat Lampiran H). Selain sesi pengungkapan ESIA, kunjungan
penelurusan bersama dilakukan pada 14 – 15 Mei 2018 dengan masyarakat setempat dan pemilik tanah. Semua
area yang direncanakan untuk well pad utama dikunjungi, namun tidak termasuk area pelebaran jalan. Rencana
lokasi untuk Well pad A, D, dan E dikonfirmasi selama survei penelusuruan bersama dan telah dibenarkan oleh
masyarakat dan pemilik tanah setempat, akan tetapi selama pertemuan pengungkapan ESIA terdapat
ketidaksetujuan dari beberapa anggota masyarakat dan pemilik tanah sehubungan dengan lokasi Tapak Sumur
(well pad) B, karena pernah ditemukan “nekara” oleh Kepala Desa yang dipercaya sebagai obyek sakral.
Sebagaimana disebutkan pada ESMF untuk GEUDP, Proyek telah mengembangkan Mekanisme Penanganan
Keluhan (GRM) sebagai suatu alat efektif untuk indentifikasi awal, penilaian, dan penyelesaian keluhan terhadap
permasalahan keterlibatan pemangku kepentingan.. Berdasarkan ESMF untuk GEUDP, langkah-langkah berikut
ini akan diambil untuk menangani keluhan.
Detail lebih lanjut tentang rencana Mekanisme Keluhan yang diajukan untuk Proyek dijelaskan pada SEP (lihat
Lampiran H).
Pelibatan dengan pemerintah setempat dan pemilik tanah untuk sisa proses pengadaan tanah;
Pertemuan berkala pemangku kepentingan dengan pemerintah daerah setempat dan kabupaten; dan
Konsultasi dan pelibatan tambahan juga akan diperlukan untuk mengelola potensi dampak lingkungan
dan sosial yang teridentifikasi dalam ESIA melalui tindakan yang dijelaskan pada ESMP.
Daftar pemangku kepentingan yang diajukan untuk terlibat dalam berbagai tahapan proyek disajikan pada
bagian Identifikasi dan Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Plan-SEP) (lihat Lampiran
H). SEP ini menjelaskan kegiatan pelibatan pemangku kepentingan untuk saat ini dan masa mendatang yang
perlu dilakukan PT SMI diluar proses ESIA dan selama masa Proyek, termasuk tindakan pelibatan yang
diperlukan sebagaimana tercantum dalam ESMP.
Area studi mencakup “area of interest” seluas 1.531 ha untuk Proyek Pengembangan Panas Bumi Waesano.
Area of interest ini terletak di dalam dua desa di Kecamatan Sano Nggoang, yaitu Desa Wae Sano dan Sano
Nggoang. Sedangkan Area of Influence (AoI) mencakup area lingkungan penerima yang lebih luas dari batasan
studi, tidak bergantung pada lokasi spesifik well pad atau pengeboran, untuk mendapatkan fleksibilitas pemilihan
lokasi selama proses desain Proyek saat ini. Diskusi berikut ini disusun dari data eksisting yang diberikan dari
berbagai sumber dan data primer pada November 2016 dan November 2017.
6.2.1. Iklim
Kabupaten Manggarai Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya memilki dua musim, yaitu musim kemarau
dan musim hujan. Dari bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia yang tidak banyak
mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Dari bulan Desember sampai dengan Maret
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
6-2
arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik, sehingga terjadi musim
hujan. Masa peralihan antara kedua musim ini adalah dari April-Mei dan Oktober-November.
Akan tetapi dalam konteks siklus musiman ini, perlu diperhatikan bahwa karena Manggarai Barat terletak relatif
dekat dengan benua Australia, maka akan mengalami musim hujan yang lebih pendek dibandingkan wilayah
yang lebih dekat dengan benua Asia.
Berdasarkan tipe iklim Schmidt-Ferguson, tipe iklim Manggarai Barat bervariasi dari tipe B (basah) atau tipe E
(agak kering). Stasiun Labuan Bajo yang mewakili Kecamatan Komodo dan sekitarnya memiliki tipe iklim E (agak
kering); Stasiun Werang yang mewakili Kecamatan Sano Nggoang dan sekitarnya memiliki tipe iklim D (sedang).
Sementara, Stasiun Ranggu yang mewakili Kecamatan Kuwus dan sekitarnya memiliki tipe iklim C (agak basah)
dan Stasiun Compang yang mewakili Kecamatan Macang Pacar dan sekitarnya memiliki tipe iklim B (basah)
(KPHP, 2016).
Berdasarkan lokasi dari Manggarai Barat, banyak uap air yang dibawa dari Samudera Pasifik. Data iklim yang
disajikan di bagian ini telah bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) online untuk
Stasiun Meteorologi Komodo yang terletak sekitar 36 km arah tenggara lokasi Proyek. Tidak ada stasiun
meteorologi terdekat ke area Proyek yang memberikan data iklim yang mewakili area Proyek. Data ini mencakup
curah hujan, temperatur dan kelembaban dan mencakup periode dari tahun 2011 sampai dengan 2015.
Rata-rata curah hujan bulanan dari periode 2011-2017 adalah 101 mm, dengan rata-rata curah hujan bulanan
pada musim hujan berkisar dari 170 mm – 267 mm dan 4 mm – 86 mm pada musim kemarau (Gambar 6-2).
Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada Maret 2013, yang mencapai hingga 412 mm dan curah hujan
terendah yang tercatat adalah 0 mm yang terjadi pada Agustus 2011, Juli 2012 dan September 2014.
Rata-rata temperatur bulanan selama periode 2011-2017 adalah sekitar 27,3 °C (Gambar 6.3). Rata-rata
temperatur bulanan mencapai tertinggi pada September 2012, yang mencapai 29,83 °C dan yang terendah
terjadi pada Agustus 2015 yang mencapai 25,15 °C. Secara keseluhan, terdapat sedikit fluktuasi temperatur dari
tahun ke tahun.
Rata-rata kelembapan bulanan selama periode 2011-2017 sekitar 80,14% (Gambar 6-4). Kelembapan bulanan
pada 2017 mencapai yang tertinggi pada Februari, yang mencapai 88,11% dan yang terendah pada Agustus
2011 sebesar 68,26%.
Gambar 6-5 Wind-Rose yang Menggambarkan Distribusi Arah Angin Tahunan (Periode 2011-
2016)
6.2.2. Topografi
Area Proyek digambarkan sebagai daerah pegunungan di wilayah selatan dari batas Proyek dengan ketinggian
yang lebih tinggi dan dataran yang lebih curam (Gambar 6.6 dan Gambar 6.7). Topografi di wilayah utara
bertolak belakang dengan ketinggian yang lebih rendah. Gunung Golo Tewasano dan Poco Dedeng di selatan
mencapai ketinggian sekitar 1.250 mdpl, memberikan penurunan curam pada topografi yang mengarah ke
Danau Sano Nggoang yang berada pada sekitar 650 mdpl. Sela yang menghubungkan pengunungan ini ke area
dengan ketinggian tinggi lainnya diimbangi dari garis pantai danau . Gunung berapi di wilayah tenggara berada
pada ketinggian yang lebih rendah, yaitu pada 900 mdpl. Berbeda dengan wilayah selatan, tanah di utara
bergelombang menurun dari danau.
Gunung Wae Sano adalah gunung berapi andaritik kuarter bagian atas yang bertumpu pada andesit kuarter yang
lebih tua dari Pegunungan Geliran. Beberapa puing-puing apung tergabung dalam piroklastik gunung Wae Sano.
Wae Sano dianggap sebagai gunung berapi kuarter yang lebih tua karena tidak ada letusan bersejarah yang
tercatat. Badan Geologi (2004) mengacu pada sedimen laut Tersier yang lebih tua, yang diduga mendasari
gunung berapi. Berdasarkan Peta Geologi (Komodo Quadrangle, 1978 dan Ruteng Quadrangle, 1994), lihat
Lampiran I), area studi sebagian besar dkategorikan sebagai Produk Vulkanik Muda. Detailnya dijelaskan di
bawah ini:
Gunung berapi yang masih aktif adalah Gunung Sangeang Api di Pulau Sangeang, dan Gunung Wae Sano di
Pulau Flores. Terdapat tiga kerucut utama dan beberapa danau kawah pada puncak Gunung Sangeang Api.
Pada pusat Gunung Wae Sano terdapat danau kawah, melingkar dalam garis bentuk, berdiameter sekitar 2,5
km. Beberapa mata air panas dan fumarol dengan endapan belerang terdapat di sepanjang danau. Khususnya
produk letusan Gunung Wae Sano terutama terdiri dari tufa, tufa berpasir, dan tufa batu apung, berwarna putih
dan rapuh. Beberapa singkapan kecil lava dan breksit yang terbentuk dari andesit piroksin, andesit vesikuler,
basal, dan basal olivin ditemukan pada gunung api ini.
6.2.3.2. Geofisika
Bentang alam proyek ditentukan berdasarkan zona resistivitas rendah (Schlumberger <10 ohm-m
(AB/2=1000m)). Zona resistivitas rendah berhimpit dengan kawah vulkanis (Danau Sano Nggoang). Badan
Geologi baru-baru ini telah melaksanakan survei MT di area yang luas. Peta dalam laporan terlihat untuk
menunjukkan area luas dengan resistivitas rendah pada kedalaman yang sangat menjanjikan, dan dengn up-
coming di dasar konduktor yang dapat mewakili zona aliran up flow.
6.2.3.3. Geokimia
Mengacu pada Laporan Survei Kimia Panas Bumi Waesano (Jacobs, September 2016), survei survei
pengambilan sampel geokimia selama dua hari telah diselesaikan pada lokasi prospek panas bumi Waesano
dari 13 hingga 14 Juli 2016. Sampel air, gas dan isotop stabil dikumpulkan. Berikut adalah rangkuman hasil dan
interpretasi:
Aktiivtas panas (thermal) Waesano di tepi Danau Sano Nggoang meliputi mata air panas dengan
gelembung gas yang kuat dan beberapa deposisi belerang. Tidak ada ventilasi gas diskrit atau uap. Air
pada mat air panas mengalir ke danau yang asam. Aktivitas dasar danau tidak diketahui namun
terdapat gelembung has dekat tepi danau;
Sampel dari mata air terpanas di Waesano (WS-02, 97°C) dapat dianggap komposisi yang palin dekat
dengan air reservoir dalam, air ini memiliki pH mendekati netral, garam, sodium klorida brine dengan
20.000 ppm klorida. Semua mata air lain begitu berbeda-beda terencer dan didinginkan oleh air tanah
dengan suhu dingin. Beberapa mata air bersifat asam akibat dari oksidasi H2S di permukaan;
Munculnya salinitas tinggi tidak diketahui pasti namun mungkin terbentuk oleh penambahan sedikit air
formasi sedimen pada brine panas bumi yang sedikit mengandung garam (saline). Pengisian yang
paling utama adalah dari air setempat yang bersifat meteorik;
- Pergeseran isotop δ18O yang besar, yaitu sekitar 10% dari air tanah lokal.
Data kimia gas yang baru bermanfaat dalam meningkatkan seluruh indikator temperatur tinggi dari
sumber daya panas bumi;
Tidak ada aktivitas pembentukan fumarole dan konsentrasi silica yang pada umumnya rendah
kemungkinan terkait dengan laju alir massa yang rendah melalui area panas bumi Waesano;
Kenaikan laju alir brine Klorida (Cl) >10 kg/s dari 20.000 ppm diperkirakan terjadi pada area sumber
daya panas bumi, berdasarkan volume curah hujan tahunan pada danau dan klorida danau yang
konstan;
Mata air Werang dan Bobok dengan klorida rendah berada di sebelah utara danau mungkin menjadi
panas oleh aliran keluar dari area panas bumi Waesano, dengan adanya kemungkinan tercampur air
danau. Kondisi aspek kima dari Nampar Mancing tidak menunjukkan adanya indikasi temparatur yang
tinggi di sekitarnya. Sampel air menunjukkan kandungan klorida dan boron tinggi yang tidak diketahui
asalnya;
Secara keseluruhan, kondisi aspek kimia mata air Wae Sano adalah positif dalam hal temperatur,
namun ada beberapa aspek kimia yang belum terpecahkan, termasuk kelebihan boron dan sulfat dalam
danau (karakteristik uap yang bersifat magmatic) dan indikasi kadar gas tinggi dan/atau belerang yang
terkubur;
- Salinitas tinggi dari air pada reservoir tidak menunjukkan adanya kendala yang tidak biasa
(termasuk calcite scaling atau pengendapan mineral kalsit).
- Adanya kemungkinan bahwa salinitas mendapat pengaruh dari air formasi batuan sedimen yang
berarti terbatasnya permeabilitas pada batuan induk reservoir.
- Terdapat indikasi tidak langsung adanya keasamaan material magmatik yang dalam.
- Produksi dari sumber panas bumi Waesano berpotensi memengaruhi aktivitas panas di permukaan
yang kemudian dapat mengubah sifat kimia Danau Sano Nggoang dan memberikan implikasi
terhadap lingkungan.
- Masuknya air danau yang bersifat asam ke dalam reservoir produksi perlu dihindari.
6.2.3.4. Hidrogeologi
Berdasarkan peta hidrogeologi pada area studi yang diambil dari peta hidrogeologis Lembar Flores Indonesia
(Soetrisno S, 1983), sistem akuifer diantisipasi melalui sistem aliran rekahan dan berpori yang terdiri dari tufa
berpasir dengan interkalasi tufa breksi pumiceous (pumiceous breccia tuff). Produktivitas akuifer dianggap
rendah dan tanpa air tanah yang dapat dieksploitasi. Pada umumnya air tanah dalam dan dikendalikan oleh
topografi. Mata air dengan debit rendah berada di dalam area studi (lihat Gambar 6-9).
Dari hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat di dalam area studi menyarankan bahwa masyaraakt
lokal terutama menggunakan aliran mata air dari bukit-bukit sekitarnya (Golo Tewasano, Poco Dendeng, dan
Sano Wai) untuk kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari (air minum, mandi, dsb). Mereka sangat
bergantung pada mata air sebagai sumber air bersih karena kelangkaan air tanah. Badan air terdekat, Danau
Sano Nggoang, terletak di sebelah barat area studi dan tidak digunakan untuk keperluan apapun, karena kalitas
air yang rendah (pH sangat rendah).
Data kuantitas air tanah juga didapatkan dari studi kondisi awal pada November 2016. Pengambilan sampel air
tanah dilakukan pada tiga mata air (WS) (Gambar 6-9). Debit air rata-rata (mata air) ditunjukkan pada Tabel 6-1.
Data mata air sekitar area well pad yang teridentifikasi selama kunjungan lapangan 2017 ditunjukkan pada Tabel
6-2.
Tabel 6-2 Hasil Identifikasi Sumber Mata Air sekitar Well pad
No. Koordinat Koordinate Penjelasan
(E) (N)
1 170157 9034583 Mata air ini digunakan oleh penduduk Dusun Nunang (sebanyak 35
rumah tangga).
2 170068 9034417 Mata air ini digunakan oleh penduduk Dusun Lempe (sebanyak 35
rumah tangga).
3 170060 9034335 Mata air ini adalah sumber pertama yang dibangun oleh masyarakat
Dusun Nunang dan Lempe untuk mengakses air bersih dan masih
digunakan hingga saat ini.
4 170206 9035120 Mata air ini hanya digunakan oleh satu orang kerena lokasinya jauh
dari pemukiman dan debit air sangat kecil.
5 170318 9035194 Mata air milik pribadi yang mengalir ke rumah tinggal di area Dusun
Nunang.
6 169508 9034082 Mata air ini terletak disekitar Danau Sano Nggoang dan digunakan
oleh 2 rumah tangga yang tinggal di tepi danau. Sumber air ini tidak
pernah kering. Selama musim kemarau, penduduk desa Lempe juga
memanfaatkan mata air ini.
7 169139 9037725 Mata air ini digunakan oleh masyarakat di Dusun Taal (sebanyak 60
rumah tangga).
Kecamatan Sano Nggoang dilintasi oleh dua sungai besar diantaranya Wae Rancang yang terletak di Desa
Werang. Kecamatan Sano Nggoang juga dibatasi oleh Sungai Wae Longge di sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Kecamatan Welak. Di sebelah Timur Laut mengalir Sungai Wae Sapo yang memisahkan antara
Kecamatan Sano Nggoang dengan Kecamatan Mbeliling. Tidak ada sungai yang mengalir dalam Area of
influence. Sungai terdekat dari area studi yaitu Sungai Wae Rancang yang berjarak 5 km dari area studi. Tidak
ditemukan sungai perenial (perennial river) lainnya di sekitar area studi, namun tetap terdapat bekas aliran
cabang sungai dengan air yang hanya mengalir selama musim hujan (ephemeral) (Direktorat Jenderal
Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PDASHL), 2016).
Danau Sano Nggoang memiliki luas total sebesar 511 Ha. Pengukuran statis terhadap kedalaman air permukaan
di Danau Sano Nggoang dilakukan sesaat pada dua lokasi di Dusun Lempe dan Dasak selama dua hari (28 dan
29 November 2017), dari pukul 7 pagi hingga 5 sore dengan inverval 2 jam. Tabel 6-3 menyajikan hasil
pengukuran tersebut.
Tabel 6-3 Hasil Pengukuran Kedalaman Air Permukaan di Danau Sano Nggoang (dalam cm)
28th Nov 2017 29th Nov 2017 28th Nov 2017 29th Nov 2017
7 pagi 66 – 68)* 68 -70)* 67 69
9 pagi 66 – 68)* 67 - 68)* 67 69
11 pagi 66 – 68)* 67 - 72)* 67 69
1 siang 66 – 68)* 69 - 71)* 67 69
3 siang 66 – 68)* 70 - 72)** 67 72)**
5 sore 69 72)*** 69 72)***
Sumber: Studi Kondisi Awal PT SMI, 2017
Catatan:
*) Air beriak (naik dan turun)
**) dalam kondisi hujan
***) kondisi setelah hujan
Berdasarkan hasil pengamatan selama dua hari pada musim hujan, jelas bahwa ketinggian air danau
dipengaruhi oleh curah hujan. Pada saat pengukuran, kondisi aliran sungai kering dan tidak ada aliran menuju
maupun aliran dari danau. Pada saat pengamatan, danau dalam kondisi surut, terlihat dari outlet danau yang
kering. Outlet ini hanya akan tergenang ketika ada limpahan air dari danau.Berdasarkan informasi penduduk
desa sekitar danau, air danau dan air yang keluar dari danau tidak digunakan untuk aktivitas rumah tangga
seperti minum, masak dan mandi karena kualitasnya yang buruk. Tidak ada aktivitas memancing di sekitar area
danau. Gambar 6-10 menunjukkan kegiatan pengukuran kedalaman air dan kondisi hidrologi sekitar danau.
Hasil uji fisika sampel tanah ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Kode WAS (%) Laju Perkolasi (cm/jam) COLE C-organik Tekstur (USDA)
Lokasi F (6) F (U) lx (Metode (%)
Clod)
SL A1 59,61 7,871 9,756 -4,25 0,007 3,9 Geluh lanauan
SL A1 62,24 2,363 3,884 -9,55 0,06 3,48 Geluh*
SL 3 47,47 32,337 53,151 -9,55 0,652 5,82 Geluh lanauan
SL 3 79,97 10,835 17,81 -9,55 0,07 5,41 Geluh lampung
SL 2 57,11 4,253 6,991 -9,55 0,015 4,56 Geluh lanauan
SL 2 64,86 0,591 0,612 -0,69 0,044 4,77 Geluh lempung
lanauan
SL 1 52,41 4,017 6,602 -9,55 0,021 4,18 Geluh lanauan
SL1 75,43 1,49 2,171 -7,32 0,015 4,02 Geluh lanauan
Sumber: Survei Kondisi Awal PT SMI, 2016
Kode Lokasi:
SLA1 : Desa Wae Sano SL 2 : Desa Wae Sano
SL 1 : Desa Sano Nggoang SL 3 : Desa Wae Sano
*Geluh merupakan tanah dengan komposisi pasir, debu dan lempung dalam jumlah yang relatif seimbang
Tekstur tanah adalah tingkat kehalusan kondisi tanah yang terjadi karena perbedaan pada komposisi dan
kandungan fraksi dari pasir, lumpur dan tanah liat yang terkandung dalam tanah (Badan Pertanahan
Nasional)). Terdapat 12 kelas tekstur tanah yang dibedakan berdasarkan persentase tiga fraksi tanah yang
digambarkan dalam struktur triangular tanah. Berdasarkan struktur triangular, teridentifikasi sampel yang
memiliki tekstur dominan lempung berlumpur. Contoh tanah ditunjukkan pada Gambar 6-12.
Rencana jalan akses proyek terdiri dari area hutan, padang sabana (savanna), tanah pertanian,
sawah dan area pemukiman. Peta tutupan lahan untuk area jalan akses proyek berdasarkan pada
data tutupan lahan dari Peta Morfologi Indonesia Skala 1 : 25.000 (Badan Informasi Geospasial)
dapat dilihat pada Gambar 6-13. Sebagian besar tutupan lahan dalam area pelebaran jalan adalah
lahan tanaman pangan/perkebunan dan semak belukar.
Rencana lokasi well pad dan fasilitas pendukung terdiri dari area vegetasi, area pemukiman, lahan budidaya dan
badan air. Sebagian besar batas proyek sebelah barat terpisah oleh Danau Sano Nggoang, tutupan hutan
membentuk batas sekeliling danau dan terus membentang lebih jauh ke wilayah selatan. Sebagian kecil dari
batas bagian selatan meliputi lahan hutan lindung. Jalan akses mengelilingi dan mengarah ke danau, di sebelah
barat laut dan barat daya area jalan-jalan ini diapit oleh daerah pemukiman yang terus berlanjut menuju lahan
pertanian dan perkebunan. Lahan yang dibudidayakan juga juga berada sekitar jaringan sungai di sebelah utara.
Tabel 6-5 mengidentifikasi ttutupan lahan pada area proyek. Foto-foto tutupan lahan pada area studi dapat dilihat
pada Gambar 6-14 dan peta pada Gambar 6-15.
Tabel 6-5 Tutupan Lahan dan Komposisi Penggunaan Lahan pada Area Studi
Well pad dan Fasilitas Penunjang Jenis Tutupan Lahan Jenis Penggunaan Lahan
Well pad WS-A Ladang, semak belukar, dan lahan hutan Perkebunan/ladang campuran, seperti
kering kemiri, kopi, dan semak belukar
Well pad WS-B Ladang, semak belukar, dan lahan hutan Perkebunan/ladang campuran, seperti
kering kemiri, kopi, dan semak belukar
Well pad WS-D Semak belukar Perkebunan/ladang campuran, seperti
kemiri dan semak belukar
Well pad WS-E Ladang dan semak belukar -
Area Penampungan Hasil Galian 1 Ladang dan semak belukar Perkebunan/ladang campuran, seperti
(Pengeboran well pad) kemiri dan semak belukar
Area Penampungan Hasil Galian 2 Ladang dan semak belukar Perkebunan/ladang campuran, seperti
(Pengeboran well pad) kemiri dan semak belukar
Area Penampungan Hasil Galian 3 Ladang dan semak belukar Perkebunan/ladang campuran, seperti
(Pengeboran well pad dan Camp kemiri, kopi, dan semak belukar
Kontraktor Sipil)
Data primer dari kualitas udara diperoleh pada November 2016. Pemantauan kualitas udara ambien dilakukan
pada tiga lokasi termasuk Sano Nggoang dan Golo MbU di Werang. Lokasi-lokasi ini terletak pada area
pemukiman dan dapat dianggap mewakili gambaran area reseptor sensitif. Sebelas parameter (tabel 6-6) telah
diukur untuk periode 24 jam.
Konsentrasi polutan pada AQ3 lebih tinggi dibandingkan dua lokasi lainnya. AQ3 adalah rumah penduduk yang
terletak pada sisi jalan, sehingga konsentrasi polutan disini sangat dipengaruhi oleh jumlah kendaraan yang
melewati jalan pada saat pengukuran. Hal ini dapat ditentukan oleh adanya konsentrasi CO yang tinggi pada
lokasi ini. Konsentrasi polutan pada lokasi lain juga dipengaruhi oleh kendaraan. Konsentrasi CO tinggi adalah
seimbang dengan polutan lain yang berkonsentrasi tinggi.
Semua parameter yang diukur selama periode pemantauan tidak melebihi baku mutu baik Standar Pemerintah
Indonesia atau Pedoman Kualitas Udara WHO. Hal ini menggambarkan bahwa udara ambien pada area studi
adalah kondisi yang tidak terdegradasi. Hasil pemantauan, bersama dengan perbandingan terhadap standar
yang disebutkan di atas disajikan pada table 6-6 dan peta lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar
6-24.
6.2.8. Kebisingan
Pemantauan data primer kebisingan lingkungan dilakukan pada November 2016. Pengukuran dilakukan pada
tiga lokasi, yang sama dengan lokasi pengukuran kualitas udara (Gambar 6-24). Pemantauan dilakukan selama
periode 24 jam, dan hasilnya dibagi menjadi Ld, Ln dan Ldn (Tabel 6-7).
Tingkat kebisingan pada area proyek sebagian besar didominasi oleh faktor-faktor alamiah, seperti suara burung
dan serangga; yang lainnya berasal dari suara kendaraan yang melewati titik pengambilan sampel. Kebisingan
pada AQ3 lebih tinggi dibandingkan dua lokasi lainnya. AQ3 adalah rumah penduduk yang terletak di sisi jalan,
sehingga kebisingan disini sangat dipengaruhi oleh jumlah kendaraan yang melewati jalan pada saat
pengukuran. Hal ini dilihat oleh adanya nilai Ld dan Ln yang tinggi pada lokasi ini. Kebisingan pada lokasi lain
kelihatannya juga dipengaruhi oleh kendaraan.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa intensitas kebisingan pada area studi selama siang dan malam hari (Lsm)
masih di bawah batas baku mutu kualitas sebesar 55 dB (A) sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Lingkungan No. 48 tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan Lingkungan. Hasil-hasil tersebut juga
menunjukkan bahwa kebisingan siang hari (Ls) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pada malam hari (Lm)
akan tetapi keduanya masih lebih rendah dari standar pada pedoman WHO. Hasil lengkap penpengukuran
tingkat kebisingan di lapangan ditunjukkan pada Tabel 6-7.
Tingginya kadar logam disebabkan karena adanya aktivitas vulkanik pada area sekitar danau. Karena pH yang
sangat rendah (mencapai 2,81), maka organisme yang hidup di danau juga terbatas, termasuk spesies nekton.
Hanya terlihat beberapa unggas seperti bebek yang teramati beraktivitas sementara pada tepi danau.
Berdasarkan uji laboratorium, hasil konsentrasi TDS melebihi baku mutu (1000 mg/l) pada semua titik sampling.
Konsentrasi TDS berkisar antara 1500 mg/l – 1635 mg/l. konsentrasi TDS yang tinggi bisa diakibatkan
kedekatannya dengan endapan abu vulkanik, yang menyebabkan bahan kimia larut dalam air. Menurut (Effendi,
2003), konsentrasi TDS sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah dan pengaruh
antropogenik (seperti limbah rumah tangga dan industri).
pH
pH atau keasaman merupkan parameter untuk mengetahui kadar asam/basa. pH air menentukan kelarutan dan
ketersediaan biologis dari unsur kimia seperti nutrisi dan logam berat (Rao, 1989). Dampak abu vulkanik dapat
menurunkan nilai pH akibat sulphur dioksida yang terlarut dalam air. Proses lain yang mempengaruhi pH air
adalah degradasi bakteri organik dan konversi zat anorganik karena menggunakan oksigen (Rasolofomanana,
2009). Hasil pengukuran pH pada semua titik sampling menunjukkan pH yang sangat rendah, yang berksar
antara 2,81 – 3,85, sedangkan standar baku mutu yang sesuai peraturan adalah pH 6-9. Tingkat pH rendah juga
menyebabkan air yang bersifat korosif.
BOD mendefinisikan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecah zat organik dalam
badan air, dan memberikan indikasi yang baik mengenai tingkat pencemaran organik. Air dengan kadar BOD
tinggi biasanya akan memiliki kadar oksigen yang rendah karena mikroorganisme menggunakan oksigen yang
tersedia untuk menghancurkan zat organik, sehingga tidak meninggalkan oksigen bagi organisme lain. Nilai BOD
pada semua lokasi sampling melebihi Nilai Ambang Batas Regulasi (RL) berdasarkan Peraturan pemerintah No.
82 tahun 2001 tentang kelas I (2 mg/l). Hasil laboratorium menunjukkan konsentrasi BOD berkisar antara 220,7
mg/l – 227,3 mg/l. Kemungkinan besar, terdapat sejumlah besar sampah organik, seperti vegetasi yang
membusuk, tanaman yang mati, daun atau potongan rumput yang masuk ke danau; oleh karena itu akan
banyak bakteri yang ada untuk mengurai limbah ini. Dalam kasus ini, permintaan oksigen akan tinggi (karena
banyaknya bakteri) sehingga tingkat BOD akan tinggi.
COD adalah pengukuran kebutuhan oksigen untuk oksidasi kimia. COD tinggi memberi dampak negatif pada
lingkungan karena oksigen untuk organisme hidup dikonsumsi untuk oksidasi kimia. Sama dengan BOD, COD
juga digunakan sebagai indikator pencemaran air. Pada umumnya COD tinggi mengindikasikan menurunnya
kualitas air. Hasil uji laboratorium yang dilakukan pada semua titik sampling menunjukkan konsentrasi tinggi
COD yang melebihi baku mutu (10 mg/l), yang berkisar antara 524,1 mg/l – 750,3 mg/l. Serupa dengan BOD, hal
ini kemungkinan besar karena proses geokimia alamiah.
DO adalah jumlah oksigen terlarut dalam air. Konsentrasi DO berkaitan dengan aliran air yang menyebabkan
difusi oksigen dari udara ke dalam air. DO dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperature, tekanan,
turbulensi dan tingkat polusi. Konsentrasi DO yang rendah umumnya menunjukkan menurunnya kualitas air.
Hasil dari pengukuran pada semua titik sampling menunjukkan konsentrasi di bawah standar (6 mg/l), berkisar
antara 2,14 mg/l – 2,38 mg/l. Bila kadar BOD tinggi, kadar oksigen terlarut (DO) menurun karena oksigen yang
tersedia di dalam air dikonsumsi oleh bakteri.
Amonia (NH4+)
Senyawa ammonia sangatlah beracun bagi organisme akuatik bahkan pada tingkat yang relatif rendah.
Peningkatan kadar amonia juga dapat menyebabkan berkurangnya pertumbuhan spesies yang dibesarkan
dalam sistem akuakultur intensif (Schuler, 2008). Berdasarkan penelitian (Wickins, 1976) yang dikutip dalam
(Schuler, 2008); Konsentrasi 0,45 mg/l NH3-N menyebabkan penurunan 50% pada pertumbuhan lima spesies
udang penaid. Hasil pengukuran di tiga dari empat lokasi pengambilan sampel menunjukkan konsentrasi yang
melampaui baku mutu (0,5 mg/l) yang berkisar mulai dari 0,849 mg/l – 0,930 mg/l. Berdasarkan siklus nitrogen,
amonia (NH4+) dihasilkan dari degradasi bakteri zat organik (amonifikasi). Semakin tinggi zat organik, semakin
tinggi pula konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia yang tinggi menggambarkan kandungan organik yang tinggi
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
6-24
pula. Nitrogen organik berasal dari beberapa sumber, antara lain limbah domestik, seperti sampah, kotoran
manusia dan hewan; selain itu juga berasal dari limbah industri maupun air alamiah yang terpapar oleh sisa-sisa
tumbuhan (Huheey, 1993).
Besi (Fe)
Besi dalam air dapat terlarut, tersuspensi dan tergabung dengan zat organik dan anorganik lain. Besi dapat
terlarut dalam air ketika danau memiliki dasar yang sangat dalam, pH air rendah (asam) dan mengandung
banyak karbon dioksida terlarut. Pada air permukaan, kandungan Fe yang lebih besar dari 1 mg/l sangat jarang
ditemukan. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa kandungan Fe berkisar dari 1,081 mg/l – 2,104 mg/l,
dimana konsentrasi ini melebihi baku mutu yang ditetapkan (0,3 mg/l). Kandungan besi dalam air adalah indikasi
pengaruh batuan vulkanik terhadap kualitas air. Semakin dekat ke daerah vulkanik, semakin besar pula
kandungan Fe. Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan oleh kadar oksigen yang rendah di perairan. Secara
keseluruhan, hal ini disebabkan oleh faktor alamiah.
Mangan (Mn)
Mangan dapat juga ditemukan di dasar reservoir dimana kondisi anaerobik terjadi karena proses dekomposisi.
Tingkat yang lebih besar dapat terjadi pada air tanah dan danau yang dalam. Kandungan mangan yang tinggi
dapat menyebabkan bau dan warna kecoklatan pada air. Hasil pengujian laboratorium yang dilakukan pada
semua titik sampling menunjukkan nilai mangan yang berkisar dari 0,303 mg/l – 1,052 mg/l, yang secara
signifikan melebihi baku mutu (0,1 mg/l).
Klorida (Cl)
Pelapukan batu dan tanah melepaskan klorida ke dalam air. Kebanyakan klorida dapat larut. Tingkat klorida pada
umumnya meningkat dengan meningkatnya tingkat mineral. Hasil pengujian laboratorium pada empat titik
sampling, menunjukkan tiga dengan nilai klorida yang melebihi baku mutu (600 mg/l), berkisar dari 620,07 mg/l –
631,37 mg/l. Klorida juga dapat berasal dari sumber-sumber buatan manusia, tetapi sebagian besar disebabkan
oleh faktor alamiah.
Sulfat (SO4)
Menurut (Syahrul, 2012), kelarutan sulfat dalam air dapat disebabkan oleh aspek geologis, seperti kelarutan
tinggi gipsum mineral dan polusi. Berdasarkan pengukuran, kandungan sulfat pada semua titik sampling melebihi
baku mutu (400 mg/l), yaitu berkisar dari 718,91 mg/l – 750,08 mg/l,. Anion sulfat dapat terjadi secara alamiah
dalam air, dan tingkat sulfat tinggi dalam air berasal dari sulfur dioksida bergas dari erupsi vulkanik (Sutriati,
2012).
Belerang dapat ditemukan di alam dalam bentuk elemen murni sebagai sulfida atau mineral sulfat. H2S adalah
gas yang muncul dari aktivitas biologis ketika bakteri menguraikan bahan organik dalam ketiadaan oksigen
(anaerob). Gas ini juga muncul dari aktivitas vulkanik (Ratcliff dalam Wibowo, 2012). Toksisitas H2S meningkat
dengan penurunan pada nilai pH (Effendi, 2003). Dihydrogen sulfida dapat bersifat korosif terhadap logam. Hasil
penilaian yang telah dilakukan pada semua titik pengujian menunjukkan kandungan belerang tinggi yang jauh
melebihi baku mutu (0,002 mg/l), yang berkisar antara 0,058 mg/l – 0,720 mg/l.
Hasil analisis kualitas air permukaan pada area studi ditunjukkan pada Tabel 6-8.
Berdasakan analisis kualitas air tanah, pada semua parameter yang dijadikan sample ditemukan masih berada
dalam kriteria baku mutu sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan 416 pada 1990. Hasil
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
6-25
analisis kualitas air tanah pada area studi ditunjukkan pada Tabel 6-9. Hasil analisis laboratorium menunjukkan
bahwa kualitas air tanah bagus. Semua parameter memenuhi standar peraturan.
Gambar 6-16 Pengambilan Sampel Air Permukaan (Danau) dan Air Tanah (Mata Air)
Sumber: Studi Kondisi Awal PT SMI, 2016 Kode Lokasi: Kode Lokasi:
Catatan: GW01: Desa Sano Nggoang GW04: Desa Kandang
*) Peraturan Kementerian Kesehatan No. 416/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan GW02: Desa Wae Sano GW05: Desa Lenda
Kualitas Air, Lampiran II GW03: Desa Wae Sano
1. Titik 1 (LL01), jalan yang menghubungkan Wae Sano ke Sano Goang/Taal/Werang, dan sebaliknya.
2. Titik 2 (LL02), jalan yang menghubungkan Wae Sano/Taal/Werang ke Sano Goang, dan sebaliknya.
3. Titik 3 (LL03), alan yang menghubungkan Wae Sano/Sano Goang ke Taal/Werang, dan sebaliknya.
4. Titik 4 (LL04), jalan yang menghubungkan Werang ke Labuan Bajo, dan sebaliknya.
Jalan akses ke lokasi proyek adalah jalan perkerasan dengan lebar jalan sekitar 3 m. Ada dua kategori jalan
pada lokasi proyek, jalan diperkeras dan jalan yang tidak diperkeras . Lokasi pengambilan sampel lalu lintas
adalah pada jalan yang diperkeras. Kondisi jalan yang diperkeras adalah dalam kondisi yang cukup baik dengan
kerusakan kecil pada beberapa lokasi.
Untuk memahami pola lalu lintas pada lokasi, pengukuran lalu lintas dilakukan selama tiga hari yang mewakili
hari libur umum (Sabtu dan Minggu) dan satu hari kerja (Senin) dengan pengukuran setiap 2 jam, yang dibagi ke
dalam tiga waktu; pagi, siang dan sore. Waktu pagi mulai dari 7 – 9 Pagi, siang pada 11 – 1 Siang, dan sore
pada 3 – 5 Sore. Pengukuran lalu lintas dilakukan dengan menghitung jumlah kendaraan yang melewati jalan-
jalan ini maupun informasi karakteristik jalan yang kemudian dikonversi untuk memperoleh tingkat pelayanan
jalan (Level of Service-LoS) berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI).
Dalam menghitung volume lalu lintas berdasarkan MKJI, kendaraan digolongkan dalam tiga kelas; kendaraan
berat (High Vehicles-HV), kendaraan ringan (Light Vehicles-LV), dan sepeda motor (Motorcycle-MC). Kendaraan
berat meliputi bus, makro bus, mini truk, medium truk, dan truk berat. Kendaraan ringan meliputi mobil, minibus,
dan pick-up. Transportasi umum pada area studi jarang ditemukan; transportasi umum hanya tersedia pada rute
Labuan Bajo – Werang. Hasil jumlah total kendaraan pada area studi disajikan dalam tabel berikut ini.
Tingkat Pelayanan Jalan (LoS) merupakan suatu ukuran yang diguinakan untuk menentukan kualitas suatu ruas
jalan dalam melayani arus lalu lintas yang melaluinya. Kriteria pelayanan jalan dapat dilihat pada Tabel 6-11.
Tingkat layanan hasil perhitungan pada studi area disajikan pada Tabel 6-12.
Dari hasil pengukuran volume lalu lintas mengindikasikan bahwa sepeda motor adalah moda transportasi yang
paling sering digunakan oleh masyarakat setempat. Volume lalu lintas tertinggi dari 4 lokasi sampel adalah LL04,
karena LL04 terletak pada jalan utama yang menghubungkan Werang (ibukota kecamatan) dan kota Labuan
Bajo. Dari perhitungan rasio V/C, semua titik sampling digolongkan sebagai LoS dengan kategori A karena
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
6-32
memiliki rasio V/C dibawah 0,02. Kategori A berarti bahwa jalan memiliki arus lalu lintas bebas. Hanya terdapat
satu jalan akses yang terhubung menuju area proyek dan jalan utama (Labuan Bajo – Ruteng).
Area studi terletak dalam area dimana Yayasan Burung Indonesia telah melakukan kajian keanekaragaman
hayati khususnya terhadap burung pada 2012. Berdasarkan kajian, Yayasan Burung Indonesia mengeluarkan
Area Burung-Burung Penting (Important Bird Area - IBA) yang mencakup Hutan Sesok. Mengacu pada IFC 6
Guidance Note dari IFC PS 6, terdapat dua spesies burung endemik yang dikategorikan terancam punah
(endangered) menurut kategori IUCN Red List dapat memicu Habitat Kritis10. Salah satu diantaranya adalah
keanekaragaman hayati yang penting untuk justifikasi Area Burung Penting (IBA) oleh Yayasan Burung
Indonesia11. Penjelasan spesies burung yang terancam punah tersebut didiskusikan pada Sub Bagian 6.3.2.3.
Walaupun kajian lengkap habitat kritis tidak dilakukan, lima kriteria untuk identifikasi habitat kritis menurut IFC
GN6 digunakan untuk mempertimbangkan potensi habitat kritis dalam area studi. Kriteria tersebut adalah:
Spesies terancam punah atau sangat terancam punah secara global atau nasional;
6.3.1. Flora
Data tentang keanekaragaman jenis flora di area studi sangat terbatas dibandingkan dengan hutan lindung di
sekitarnya, yaitu Cagar Alam Mbeliling. Secara umum, jenis habitat flora utama di area studi adalah hutan hujan
tropis dataran rendah, hutan tanaman industri dan hutan sub-montana dengan ketinggian 600-1.230 meter di
atas permukaan laut. Pohon yang dominan termasuk Eucalyptus urophylla, Calliandra calothyrsus, Artocarpus,
Syzgium, Prunus sp, Elaeocarpus sp, Podocarpus imbricatus and Prunus arborea.
Penjelasan flora pada bagian ini berdasarkan atas pengamatan singkat yang menggunakan pendekatan
penilaian cepat (Rapid Assessment). Pendekatan ini ditujukan untuk memberikan gambaran umum dari potensi
area yang mungkin dipilih sebagai lokasi pengeboran eksplorasi untuk Proyek Panas Bumi Waesano, khususnya
rencana well pad pada WS-A, WS-B, WS-D, WS-E dan alternatif-alternatifnya. Lokasi rencana fasilitas tambahan
lainnya meliputi area penampungan material untuk masing-masing well pad, instalasi pengolahan air sementara
dan camp konstruksi sipil (lihat Gambaran Proyek pada Bagian 3). Informasi tersebut kemudian digunakan
sebagai masukan untuk penyusunan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
Secara umum, lokasi proyek dapat dikategorikan sebagai habitat yang termodifikasi yang telah terpengaruhi oleh
aktivitas manusia sejak lama, kecuali untuk rencana well pad WS-D. Walaupun well pad WS-D terindikasi pada
10
Critical Habitat adalah konsep yang dikembangkan oleh International Finance Corporation (IFC) dalam Standard Kinerjanya
atau Performance Standard 6 (PS6) tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Berkelanjutan dari Sumber
Daya yang berkembang (Living Resources). Habitat kritis adalah suatu gambaran dari area konservasi keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia. Hal tersebut diperhitungkan baik prioritas secara global maupun nasional dan membentuk prinsip-prinsip
konservasi ‘Kerentanan atau Vulnerability' (ancaman) dan tidak tergantikan atau 'irreplaceability' (jarang/distribusi terbatas).
11
Yayasan Burung Indonesia telah mengeluarkan Zona Data mengenai Important Bird Area (IBA) dalam Hutan Sesok
berdasarkan kajian mereka yang dilaksanakan pada tahun 2012. Informasi detail mengenai IBA ini diberikan dalam Lampiran
G.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
6-33
kawasan hutan, pengamatan lapangan memberitahukan bahwa komposisi vegetasi pada area yang
direncanakan untuk well pad WS-D tidak berbeda dengan sebagian besar kawasan bukan hutan. Dilaporkan
oleh masyarakat setempat bahwa kepala desa sebelumnya bersama dengan masyarakat setempat untuk
menanam tanaman komersial pada tanah mereka dan kawasan hutan terdekat pada tahun 80an12. Jenis
tanaman budidaya lain yang umum adalah kemiri, kopi, kacang areca, bambu, kelapa dan lada.
Semua segmen rencana jalan akses akan berada pada area bukan kawasan hutan (Areal Penggunaan Lain atau
APL). Tidak terlihat adanya habitat sensitif di sepanjang jalan akses selama pengamatan.
Lokasi WS-A ini adalah di Dusun Lempe, Desa Wae Sano dan tidak jauh dari batas desa antara Desa Wae
Sano dan Pulau Nuncung. Jenis habitat flora di area ini dikategorikan sebagai campuran semak belukar dan
kebun. Jenis vegetasi yang ditemukan di area meliputi Kemiri (Aleurites moluccana) Bijaema (Elacocarpus
petiolata), Pinang (Areca catechu), Kakao, Bambu (Bambusa sp), Haubesi (Olea paniculata), and Gamal
12
The previous Wae Sano Village Head engaged local community in his local economic development program. The main
objective of the program is to increase local community income level by increasing the agricultural commodity production with
plantation of commercial trees as much as possible.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA)
6-34
(Gliricidia sepium). Kepadatan vegetasi diperkirakan kurang dari 1000 pohon/ha. Kemiri, pinang dan kakao
memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat setempat dan sering ditemukan secara sporadis, sedangkan Gamal
seringditemukan sebagai batas lahan milik penduduk setempat. Pohon bambu dibiarkan tumbuh liar dan
digunakan oleh masyarakat setempat sebagai alternatif bahan bangunan rumah mereka. Tidak ada spesies
vegetasi teramati yang dilindungi baik oleh peraturan konservasi Pemerintah Indonesia maupun kategorisasi
Lembaga konservasi Internasional.
Lokasi WS-B ini adalah di Dusun Nunang dan lokasinya relatif dekat dengan lokasi Compang (batuan andesit)
yang merupakan pertanda bahwa tempat tersebut pernah dihuni oleh nenek noyang atau pendahulu masyarakat
yang saat ini tinggal di Dusun Nunang dan dusun-dusun lainnya di Desa Wae Sano. Lokasi ini disebut Lingko
Laja oleh masyarakat setempat.
Jenis vegetasi yang ditemukan pada lokasi ini sama dengan pada lokasi well pad WS-A. Tidak terlihat adanya
spesies vegetasi yang dilindungi selama pengamatan baik oleh peraturan konservasi Pemerintah Indonesia
maupun kategorisasi lembaga konservasi Internasional.
Lokasi WS-D ini adalah pada kawasan hutan yang tidak jauh dari Dusun Dasak. Tempat ini merupakan tanah
bergelombang dengan kerapatan vegetasi dengan kategori tinggi (> 70%). Vegetasi yang teramati meliputi
Kemiri (Aleurites moluccana), Bijaema (Elacocarpus petiolata), Haubesi (Olea paniculata) and Bambu.
Sensitivitas lokasi WS-D tersebut terhadap perubahan lanskap yang disebabkan oleh pembersihan lahan
dianggap rendah dan dampaknya pada ekosistem di area ini tidak singifikan, karena tidak ditemukan spesies
flora yang dilindungi.
Lokasi WS-E ini adalah pada jalan desa menuju Dusun Dasak dengan permukaan tanah yang relatif datar dan
terbuka. Lokasi ini digolongkan sebagai daerah dengan kerapatan vegetasi rendah (kurang dari 1000 pohon / ha)
dan dikombinasikan dengan semak belukar serta tanaman jagung dan pohon-pohon di sekitarnya, seperti
kelapa, kemiri dan lain-lain. Sensitivitas lokasi WS-E terhadap perubahan lanskap yang disebabkan oleh
pembersihan lahan dianggap rendah dan dampaknya pada ekosistem di area ini tidak siginifikan, karena tidak
ada spesies yang dilindungi.
Area penampungan sisa material 1 terletak di sebelah utara dan tidak jauh dari WS-D. Vegetasi yang ditemukan
pada lokasi inidigolongkan sebagai semak belukar dan tanaman bambu yang tersebar secara sporadis.
Area penampungan sisa material 2 digunakan untuk menampung material hasil pengeboran dari WS-E, yang
berada dengan area well pad tersebut Hampir tidak dijumpa vegetasi dengan struktur yang tinggi. Saat survei
dilakukan, teramati bahwa lahan pada lokasi ini adalah perkebunan jagung yang telah dipanen. Sensitivitas
kedua lokasi ini terhadap perubahan lanskap yang disebabkan oleh pembersihan lahan dianggap rendah dan
dampaknya pada ekosistem di area tersebut tidak siginifikan, karena tidak ada spesies yang dilindungi.
Lokasi basecamp ini dekat dengan lokasi Bumi Perkemahan (Camping Ground) yang berada di tepi Danau Sano
Nggoang, Desa Wae Sano. Permukaan tanah pada lokasi ini relatif datar dengan kerapatan vegetasi yang
dikategorikan sedang (41% - 70%). Kemiri dapat dijumpai dengan mudah pada lokasi ini. Selain itu, dijumpai
pula jenis pohon lain seperti Hue (Eucalyptus Alba), Bijaema (Elacocarpus Petiolata), Haubesi (Olea Paniculata),
Kakau or pinus pegunungan (Casuarina Equisetifolia), Manuk molo (Decaspermum Fruticosum) and Oben
(Eugenia Littorale). Sensitivitas lokasi terhadap perubahan lanskap yang disebabkan oleh pembersihan lahan
dianggap rendah dan dampaknya pada ekosistem di area ini tidak signifikan, karena tidak ditemukan spesies
dilindungi.
Saat ini, terdapat tiga lokasi (Area Penampungan Sisa Material 4, 5 dan 6) yang dipilih sebagai area
penampungan material hasil galian untuk perbaikan jalan. Tiga lokasi ini terletak pada sisi jalan yang
menghubungkan Desa Wae Sano dan Wae Lolos (jalan masuk Jalan Trans-Flores). Secara umum, vegetasi
yang tumbuh pada tiga lokasi ini adalah tanaman kebun seperti pisang, singkong, kelapa, kemiri, gamal dan
semak belukar. Tanaman gamal digunakan sebagai pembatas atau pagar. Tidak ditemukan adanya spesies
dilindungi.
Sama halnya dengan pengamatan flora, metode kajian cepat (Rapid Assessment) juga digunakan untuk
memberi gambaran umum. Selain pengamatan visual dan suara, wawancara dengan narasumber dari
masyarakat setempat juga dilakukan. Pengamatan dilakukan pada lokasi Proyek untuk kegiatan pengeboran,
khususnya di Dusun Lempe, Nunang, dan Dasak. Namun, tidak dilakukan penghitungan frekuensi perjumpaan
dengan satwa liar tersebut (point counting) selama pengamatan di tiap situs. .
Spesies burung yang yang teridentifikasi pada area studi dicantumkan pada tabel dibawah ini (Tabel 6-13).
Delapan spesies dikategorikan sebagai spesies yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Indonesia13 dan
semuanya dianggap sebagai tidak mengkhawatirkan atau berisiko rendah (Least Concern - Lc) oleh IUCN Red
List Data Book 14. Dua spesies burung migran juga tercatat selama pengamatan dan wawancara, dimana dua
burung yang terdaftar adalah spesies endemic bagi Flores. Penjelasan lebih lanjut untuk burung=burung yang
dilindungi, burung migran, dan burung endemic dibahas di bawah ini. Keberadaan burung-burung ini dicatat
ketika mereka bertengger diatas pohon atau terbang selama survei. Tidak ada sarang burung teramati selama
survei. Oleh karena itu, catatan spesies burung-burung yang dijumpai selama pengamatan pada masing-masing
lokasi tidak menggambarkan bahwa burung-burung tersebut merupakan jenis burung penetap (resident birds) di
masing-masing lokasi. Data lebih lanjut menggambarkan distribusi regional burung-burung ini pada lokasi studi
dan area sekitarnya. Kemungkinan besar, burung-burung tersebut bersarang pada hutan-hutan lindung di Blok
Sesok yang termasuk Lanskap atau bentang alam Mbeliling dan berada di lokasi proyek untuk mencari
makanan.
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1999 telah mencantumkan semua jenis burung dari beberapa famili burung
yang dilindungi termasuk famili Accipitridae – Elang Bonelli (Aquila fasciata), famili Nectariniidae – Burung Madu
Matari (Nectarinia Solaris), family Alcedinidae – Cekakak Tunggir Putih (Caridonax fulgidus). Spesies dilindungi
lainnya adalah Common Hill Myna (Gracula Religiosa Mertensi). Justifikasi untuk perlindungan spesies-spesies
tersebut adalah penurunan populasi yang signifikan diakibatkan oleh perburuan dan penurunan habitat yang
disebabkan oleh penebangan hutan.
Selama survei kondisi rona awal, berdasarkan hasil wawancara dengan pemandu wisata setempat untuk
pengamatan burung yang tinggal di Desa Nunang (Tuan Hendrikus) tercatat dua burung migran termasuk
Oriental honey buzzard atau Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) dan Rainbow Bee-Eater atau Kirik-Kirik
(Merops ornatus). Informasi ini juga telah dikonfirmasikan oleh pemerhati burung professional setempat (Tuan
Samuel Rabenak) yang telah terlibat dalam beberapa pemantauan burung yang diprakarsai oleh Yayasan
Burung Indonesia dalam Lesser Sunda Islands atau Kepulauan Nusa Tenggara (Sumbawa – Flores).
13
Pemerintah Indonesia mengeluarkan daftar jenis vegetasi dan satwa liar yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar
14
Spesies terancam berdasarkan IUCN Red List (juga dikenal sebagai IUCN Red List or Red Data List), ditemukan pada tahun
1964, adalah inventaris status konservasi spesies biologi secaa global yang paling lengkap di dunia The International Union for
Conservation of Nature (IUCN) adalah organisasi Internasional utama tentang status-status konservasi spesiesi.
Terkait pola pergerakan Kirik-Kirik Australia (Rainbow Bee-Eater), sebagian besar ahli ilmu burung setuju bahwa
pola pergerakannya rumit dan tidak sepenuhnya dipahami. Setelah berkembang biak, populasi di selatan
bergerak ke sebelahutara antara Februari dan Juni (sebagian besar antara Maret dan Mei) untuk menghabiskan
musim dingin di Australia utara, Papua Nugini atau Indonesia Bagian Timur. Mereka kembali ke wilayah tempat
berkembang biak mereka di Australia bagian selatan antara Agustus dan awal November, walaupun sebagian
besar antara pertengahan September dan pertengahan Oktober. Di Australia bagian utara, sebagian populasi
ada a sepanjang tahun, dengan beberapa individu berpindah ke habitat yang berbeda selama musim tidak
berkembang biak, sedangkan burung-burung lainnya dari populasi tersebutbermigrasi ke Australia bagian
selatan. Sikep Madu Asia (Rainbow Bee-Eater) yang teramati dalam area studi di bulan November mungkin
merupakan sebagian dari sejumlah besar Sikep Madu Asia (Rainbow Bee-Eater) yang kembali ke area
berkembang biak mereka di Australia selatan.
Burung Gagak Flores atau Flores crow (Corvus Florensis) memiliki populasi yang sangat kecil, sesuai penurunan
yang terus menerus akibat deforestasi di habitat asalnya, Pulau Flores (Gambar 6-21). Oleh karenanya mereka
digolongkan sebagai Terancam16. Burung Gagak yang agak kecil ini selama survei kondisi awal teramati ada
dalam area untuk rencana lokasi well pad .
15
John C. Mittermeier, Irfan Rosyadi, and K. David Bishop did the observation in Wallacea Region and documented in their
paper wit the title “The status of Oriental Honey Buzzard Pernis ptilorhynchus in Wallacea, with a description of the first record
for Ternate”
16
http://datazone.birdlife.org/species/factsheet/22705956
Studi lebih lanjut direkomendasikan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik akan terjadinya spesies
endemik ini dalam area untuk lokasi well pad yang diajukan khususnya pada area hutan (WS-D dan WS-B1)
sebelum melakukan Penilaian Habitat Kritis menurut IFC GN 6.
Mengacu pada lima kriteria IFC GN6 untuk Habitat Kritis, sebagian besar area studi terpicu sebagai Habitat Kritis
berdasarkan tiga kriteria yang dibahas di bawah ini
Spesies yang terancam punah atau sangat terancam punah secara global atau nasional;
Walaupun Burung Gagak Flores (Corvus Florensis) dan Celepuk Flores (Otus alfredy) tidak dikategorikan dalam
spesies yang dilindungi, keduanya adalah spesies yang terancam secara global menurut IUCN Red List.
Terdapat dua spesies burung endemic yang tergolong Terancam Punah oleh kriteria IUCN Red List yang teramati
selama survei kondisi rona awal meliputi Burung Gagak Flores (Corvus Florensis) dan Celepuk Flores (Otus
alfredy). Burung Gagak Flores (Flores Crow) adalah salah satu keanekaragaman hayati utama yang digunakan
oleh Yayasan Burung Internasional untuk menjustifikasi Hutan Sesok sebagai salah satu dari Area Burung
Penting (Important Bird Area) di Pulau Flores dengan kriteria A1 (Spesies yang terancam punah secara global)
dan A2 (spesies dengan keragaman terbatas).
Danau Sano Nggoang dan keseluruhan ekosistemnya secara luas dipublikasikan sebagai ekosistem yang unik.
Dengan kedalaman hingga 500 m, danau ini dikatakan sebagai satu diantara danau kawah terdalam di dunia.
Danau dan area sekitarnya dengan luas secara keseluruhan sebesar 5.500 hektar sebagian besar merupakan
hutan lindung karena masih berupa kawasan hutan dan adanya spesies burung endemic seperti Burung Gagak
Flores (Flores crow) dan Flores Monarch asli. Disamping burung-burung, terdapat tempat-tempat dengan
kelimpahan flora dan fauna menarik yang dapat dilihat pada area ini. Walaupun saat ini ekosistem ini tidak begitu
terancam, keunikan ekosistem ini harus dilestarikan.
Source: http://datazone.birdlife.org/site/factsheet/sesok-iba-indonesia#
Status Konservasi
No Nama Setempat Nama Latin Nama International WS-A WS-B WS-D WS-E
GoI IUCN Penyebaran
1 Elang Bonelli*** Aquila fasciata Bonelli’s Eagle Dilindungi Lc Afrika Timur, Timur X
Tengah, Asia Selatan,
Cina, Asia Tenggara,
Nusa Tenggara, dan
Timor Leste
2 Cekakak Tunggir Putih** Caridonax fulgidus White-rumped Kingfisher Dilindungi Lc Penyebaran Burung X X X X
Terbatas (BST) – Endemik
ke Nusa Tenggara
3 Bubut Alang-alang** Centropus bengalensis Lesser Coucal Tidak Dilindungi Lc Sumatra, Kalimantan, X X X
Jawa, Bali, Sulawesi,
Maluku, Nusa Tenggara
4 Kepodang Kuduk Hitam** Oriolus chinensis Black-naped Oriole Tidak Dilindungi Lc Sumatra, Kalimantan, X X X X
Jawa, Bali, Sulawesi,
Nusa Tenggara
5 Kehicap Ranting*** Hypothymis azurea Black-naped Monarch Tidak Dilindungi Lc Sumatra, Kalimantan, X X X X
Jawa, Bali, Sulawesi,
Nusa Tenggara
6 Tiong Emas** Gracula Religiosa Common Hill Myna Dilindungi Lc Jawa – Pulau Sunda yang X X X X
Lebih Rendah
(Sumbawa dan Flores)
7 Cikukua Tanduk** Philemon buceroides Helmeted Friarbird Tidak Dilindungi Lc X X X
8 Celepuk Maluku** Otus magicus Moluccan scops owl Tidak Dilindungi Lc Maluku, Nusa Tenggara X
9 Celepuk Wellacea** Otus silvicola Wellace’s Scops-Owl. Tidak Dilindungi Sumbawa dan Flores X
10 Srigunting Wellacea*** Dicrurus densus Wellacean Drongo Tidak Dilindungi Lc Sumbawa, Maluku, Nusa X X X
Tenggara
11 Burung Madu Matari*** Nectarinia Solaris Flame-breasted Sunbird Dilindungi Lc Sumatra, Kalimantan, X
Jawa, Bali, Sulawesi,
12 Itik Gunung*** Anas superciliosa Pacific black duck Tidak Dilindungi Lc Indonesia, papua Nugini,
Australia, Selandia Baru
13 Walik Kembang*** Ptilinopus melanospilus Black-Naped Fruit Dove Tidak Dilindungi Lc Sulawesi, Maluku, Nusa X X X X
Tenggara
14 Sikep Madu Asia* Pernis ptilorhynchus Oriental honey buzzard - Lc Migran – Siberia
16 Tiong Lampu Biasa** Eurystomus orientalis Oriental Dollarbird - Lc Rentang geografis lebar – X
Asli di beberapa negara
termasuk Indonesia
17 Itik Benjut* Anas gibberifrons Sunda teal Nt Lc Sumatra, Kalimantan,
Jawa, Bali, Sulawesi,
Nusa Tenggara
18 Tesia Timor*** Tesia everetti Russet-capped Tesia Tidak Dilindungi Lc Penyebaran Burung X X X
Terbatas (BST) – Endemik
ke Nusa Tenggara
Sumbawa, Flores
19 Kipasan Flores* Rhipidura diluta Brown-capped Fantail Tidak Dilindungi Lc Pulau Sunda yang
Lebih Bawah
(Sumbawa dan Flores).
20 Kacamata Wellacea*** Zosterops Wellacey Yellow spectacle white-eye Tidak Dilindungi Lc Penyebaran Burung X X
Terbatas (BST) – Endemik
ke Nusa Tenggara
21 Paok la'us*** Pitta elegan Elegan Pitta Tidak Dilindungi Lc X X X X
25 Gagak Flores*** Corvus Florensis Flores crow Tidak Dilindungi Ed Penyebaran Burung X X X X
Terbatas (BST) –
Endemic ke Flores
26 Pergam Hijau*** Ducula aenea Green imperial pigeon Tidak Dilindungi Lc X X X X
29 Elang ular jari pendek*** Circaetus gallicus Short-toed snake-eagle Tidak Dilindungi Lc X
41 Sepah kerdil*** Pericrocotus lansbergei Litle minivet Tidak Dilindungi Lc Penyebaran Burung X
46 Celepuk Flores*** Otus alfredy Flores scops-owl Tidak Dilindungi Ed Penyebaran Burung X
Terbatas (BST) –
Endemik ke Flores
47 Punai flores*** Treron floris Flores Green pigeon Tidak Dilindungi Lc Penyebaran Burung X
Terbatas (BST) – Endemik
ke Nusa Tenggara
48 Pergam Punggung hitam*** Ducula lacermulata Dark-backed imperial pigeon Tidak Dilindungi Lc Penyebaran Burung X X
Terbatas (BST) – Endemik
ke Nusa Tenggara
49 Cabai emas*** Dicaeum igniferum Golden-rumped Flowerpecker Tidak Dilindungi Lc Penyebaran Burung X
Terbatas (BST) – Endemik
ke Nusa Tenggara
50 Cabai dahi hitam*** Nectarinia solaris Black-fronted flowerpecker Tidak Dilindungi Lc X
51 Burung-madu matari*** Anthreptes malacensis Flame-breasted sunbird Tidak Dilindungi Lc Penyebaran Burung X X
Terbatas (BST) – Endemik
ke Nusa Tenggara
52 Burung madu kelapa*** Streptopelia Chinenesis Plain-throated sunbird Tidak Dilindungi Lc X X
tigrina
Sumber: Pengamatan Lokasi, 4-10 November 2016 dan 22-28 November 2017
Catatan:
*) wawancara; **) dapat didengar jelas ***) terlihat
RI = dilindungi oleh Pemerintah RI berdasarkan Peraturan Pemerintah Indonesia No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
IUCN: Lc = Risiko Rendah; Ed = Terancam; Nt = Hampir Terancam; V= Rentan; Cr = Sangat Terancam; Cd = Bergantung pada konservasi; Insp = Spesies Alien Invasif
6.3.3.1. Fitoplankton
Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan pada titik-titik pengambilan sampel meliputi Bacillariophyceae (diatom),
Chlorophyceae (alga hijau), Cyanophyceae (cyanobacteria), Cryptophyceae (cryptophytes), dan Dinophyceae
(dynoflagellates) (Tabel 6-14). Kelimpahan terbanyak teramati pada titik SW2 yang mencapai 69.305.143 sel /
m3. Diatom adalah jenis fitoplankton umumnya paling banyak ditemuikan dan jenis yang paling umum ditemui di
perairan air tawar. Detail komunitas fitoplankton di area studi ditunjukkan pada Gambar 6-24.
Fitoplankton dihitung dengan menggunakan Ln melalui metode enumerasi (sensus-SRC dan strip-SRC).
Berdasarkan indeks keseragaman dan dominansi, kondisi fitoplankton di semua lokasi memiliki nilai yang
hamper sama, berkisar dari 0,01 hingga 0,29 untuk indeks keseragaman dan dari 0,71 hingga 0,99 untuk indeks
dominansi. Sebaran individu antar jenis sangat tidak merata. Indeks dominansi mendekati angka 1
mengindikasikan bahwa terdapat spesies yang mendominasi pada lokasi tertentu.
Zooplankton berada pada tingkat tropik kedua di dalam ekosistem perairan, dan keberadaannya bergantung
pada keberadaan fitoplankton. Zooplankton berfungsi sebagai perantara bagi proses transfer energi dari
produsen primer (fitoplankton) ket organisme dengan tingkat lebih tinggi pada rantai makanan, seperti ikan.
Zooplankton yang ditemukan di area studi mleiputi Rotifera, Protozoa, crustaceans, Pelecypoda, Diptera,
Nematodes dan Polychaeta. Detail lebih lanjut mengenai komunitas zooplankton di area studi dapat dilihat pada
Tabel 6-15.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium dengan metode enumerasi (sensus-SRC) dan perhitungan
menggunakan Ln, jumlah taksa zooplankton yang ditemukan pada setiap titik pengamatan berkisar antara 7-12
taksa. Taksa terbanyak ditemukan di SW 4 (Danau Sano Nggoang, 50 meter dari saluran keluar danau).
Kelimpahan tertinggi berada di SW4, yang mencapai 64.513 individu/m3.
Organisme makrobentik hanya ditemukan pada sample bentk yang diambil pada titik SW3; semuanya adalah
Potamon sp, suatiu jenis kepiting air tawar, dan mereka ditemukan pada kerapatan 21 individu per m2 (PT SMI,
2016). Tidak ditemukan spesies mikrobentik pada lokasi SW1, SW2 dan SW4. Sebagai akibatnya, indeks
dominansi untuk lokasi tersebt adalah 1, yang mengidikasikan dominansi penuh oleh satu spesies.
Lokasi Proyek untuk Kegiatan Eksplorasi Panas Bumi Waesano berlokasi di Kecamatan Sano Nggoang. Titik-titik
Well Pad akan berlokasi di Desa Wae Sano dan Sano Nggoang. Desa Pulau Nuncung merupakan desa terdekat
(berlokasi di sebelah Barat Danau Sano Nggoang) dari wilayah area panas bumi yang tidak akan menjadi lokasi
well pad. Desa tersebut termasuk dalam ruang lingkup area studi, karena berpotensi adanya dampak tidak
langsung dari kegiatan eksplorasi panas bumi di area ini, seperti dampak kualitas udara karena kegiatan
mobilisasi dan konstruksi well pad serta fasilitas pendukung maupun kebutuhan pekerja lokal selama tahap
konstruksi dan operasi.Data yang digunakan untuk studi kondisi rona lingkungan ini mencakup sumber sekunder
seperti data sensus pemerintah, serta survei rumah tangga terhadap penduduk di Desa Wae Sano, Sano
Nggoang dan Pulau Nuncung yang dilakukan pada tahun 2016. Telah dilakukan wawancara terhadap total
perwakilan dari 96 rumah tangga, terdiri dari 88 responden laki-laki dan 8 responden perempuan. Responden
laki-laki lebih banyak diwawancara daripada responden perempuan karena sebagian besar kepala keluarga
adalah laki-laki. Umur responden laki-laki diantara 26-84 tahun, dan usia responden perempuan berkisar 35-55
tahun. Responden ini tinggal di Dusun Nunang, Lempe, Ta’al, Dasak, dan Wakar di Desa Wae Sano; Dusun
Nggoang, Golo Mburing, Cowang Anak, dan Bokak Rangga di Desa Sano Nggoang; serta Dusun Lokong dan
Kandang di Desa Pulau Nuncung. Rincian selanjutnya terdapat pada pada Tabel 6-16.
Pada bagian berikut ini akan merangkum info yang relevan berkaitan dengan aktivitas Proyek dan potensi
dampak, sedangkan informasi selebihnya tentang profil kondisi rona awal masyarakat dilampirkan pada laporan
ini dalam Lampiran I.
6.4.1.1. Populasi
Total penduduk di Kabupaten Manggarai Barat adalah 257.582 orang dengan laju pertumbuhan penduduk
mencapai 2,34% pada tahun 2015-2016. Hal ini merupakan peningkatan sebesar 0,05% dari tahun sebelumnya,
Tingkat pertumbuhan penduduk yang sama juga tercatat di Kecamatan Sano Nggoang yaitusekitar 1%. Tingkat
pertumbuhan pada kedua area relatif tidak signifikan; hal ini menunjukkan adanya perubahan yang minimal pada
jumlah populasi atau sedikit hubungan terhadap migrasi masuk dengan jumlah yang besar.
Pada tingkat desa, dari hasil konsultasi selama studi ESIA diketahui bahwa tidak terdapat banyak migrasi masuk
yang terjadi di desa Wae Sano, Sano Nggoang dan Pulau Nuncung. Sementara itu, dilaporkan bahwa pria
dewasa di kabupaten tersebut biasanya pindah ke kota untuk mencari peluang kerja. Hal ini mengakibatkan
pertumbuhan penduduk yang rendah pada desa-desa tersebut. Jumlah total penduduk di tiga desa tersebut
pada tahun 2016 adalah 2.094 orang, jumlah ini hanya 1,12% dari jumlah penduduk Kabupaten Manggarai
Barat.
Pada tingkat kecamatan, kepadatan penduduk di Kecamatan Sano Nggoang pada tahun 2016 tercatat sekitar 59
orang per km2. Dari total penduduk sekitar 14.368 orang, penduduk Desa Wae Sano adalah sekitar 8,38% dari
penduduk di Kecamatan Sano Nggoang, dengan kepadadatan penduduk yang sama pada kecamatannya, yaitu
60 orang per km2. Namun, keduanya berpenduduk sedikit dibandingkan kabupaten Manggarai Barat secara
umum, dimana Desa Sano Nggoang dan Pulau Nuncung bahkan merupakan area yang kurang padat.
Interaksi antara kepadatan penduduk dan kualitas lingkungan dalam hal peningkatan kepadatan penduduk akan
menyebabkan adanya perubahan lingkungan, seperti perubahan iklim dan perubahan tata guna lahan (Hunter,
2000). Mengacu pada standar skala kualitas lingkungan (Keputusan Kementerian Lingkungan No. 2 tahun 1988),
kepadatan penduduk di Kecamatan Sano Nggoang adalah dibawah .5000 orang per km2 dengan skor 5, yang
masuk pada kategori “Sangat Baik”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa daya tamping penduduk dalam
area studi masih sesuai dengan standar kualitas lingkungan17 yang berlaku.
Metode perhitungan tenaga kerja di Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang nomor 13 tahun
201318 sejalan dengan standar internasional (ILO), yaitu berumur 15-64 tahun. Data statistik kabupaten
Manggarai Barat (2016) mengidentifikasi bahwa terdapat 153.492 orang dalam kategori usia produktif yang
tinggal di Kabupaten Manggarai Barat; sekitar 109.577 diantaranya dikategorikan sebagai tenaga kerja,
sementara 43.915 orang adalah penduduk bukan pekerja (seperti anak sekolah dan ibu yang tidak bekerja).
Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2016 adalah 71,38%. Jumlah ini sama
dengan tahun sebelumnya, yaitu 71,39%. Sementara Tingkat Pengangguran Terbuka (Open Unemployment
Rate - OUR) adalah 2,36% dari total tenaga kerja dan sama dengan tahun sebelumnya. Jumlah ini relatif rendah,
khususnya dengan tingkat atau kesempatan kerja yang sangat tinggi, yaitu sekitar 97,64%. Hal ini dapat
mengindikasikan kebutuhan kerja yang rendah terhadap Proyek yang berasal dari tenaga kerja pada tingkat
kabupaten.
17
Kriteria penilaian dan rentang kepadatan penduduk kota, yang mengacu pada standard kualitas lingkungan dari Kementerian
Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 1988 adalah sebagai berikut: Nilai1 = kepadatan penduduk sangat buruk (>20.000 orang per
km2); Nilai 2 = kepadatan penduduk buruk (15.000 – 20.000 orang per km2); Nilai 3 = kepadatan penduduk sedang (10.000 –
14.999 orang per km2); Nilai 4 = kepadatan penduduk baik (5.000 – 9.999 orang per km2); dan Nilai 5 = kepadatan penduduk
sangat baik (<5.000 orang per km2)
18
https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf
6.4.1.3. Pendidikan
Indikator kualitas dan kesejahteraan masyarakat dalam area tertentu dapat diamati dari partisipasi masyarakat
terhadap pendidikan yang ditunjukkan oleh besarnya Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada penduduk dengan
kategori usia sekolah. Meningkatnya angka partisipasi sekolah menggambarkan pencapaian pada sektor
pendidikan, khususnya terkait dengan pengembangan fasilitas pendidikan.
Berdasarkan Data Statistik Kabupaten Manggarai Barat 2017, APR perempuan pada umumnya lebih tinggi untuk
semua kategori usia dibandingkan dengan penduduk laki-laki pada rentang usia yang sama. Rata-rata APS
kabupaten di atas 50%.
Salah satu hambatan dalam aspek pendidikan adalah kurangnya jangkauan dan akses terhadap penyediaan
pendidikan, khususnya untuk masyarakat kurang mampu atau penduduk yang tinggal di area pedesaan dan
terpencil. Hal ini menimbulkan angka partisipasi sekolah yang rendah. Permasalahan ini ditemukan pada tiga
desa dalam area studi. Karena hanya terdapat 3 Sekolah Menengah Atas di Kecamatan Sano Nggoang dan
tidak ada Sekolah Menengah Atas di Desa Wae Sano, Desa Sano Nggoang dan Desa Pulau Nuncung, para
pemuda yang ingin melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas atau sederajat harus meninggalkan desa mereka.
Tingkar pendidikan rata-rata masyarakat yang bekerja pada area studi adalah tamatan Sekolah Dasar. Hanya
sangat sedikit yang memiliki gelar Diploma IV atau Sarjana pada tahun 2015 (yaitu kira-kira 3% dari penduduk
pada tiga desa). Angka ini akan bermanfaat bagi Proyek untuk memahami gambaran umum tentang tingkat
Pendidikan dari potensi pencari kerja di tiga desa.
Pada tahun 2016, Kabupaten Manggarai Barat adalah kabupaten peringkat 15 dari 22 kabupaten di Provinsi
Nusa Tenggara Timur dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan skor 60,63. Hal ini terdiri atas
harapan hidup sebesar 66,19, harapan usia sekolah 10,67, rata-rata harapan sekolah 6,82 dan pendapatan per
kapita Rp. 7.149.000 per tahun (Biro Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2017).
6.4.2. Sosial-Ekonomi
6.4.2.1. Ekonomi Regional
Proporsi pendapatan terbesar untuk Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2016 dihasilkan oleh sektor
pertanian, kehutanan dan perikanan (42,63%), diikuti oleh sekotar pertanian, kehutanan, dan perikanan
(42,12%), kemudian administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (12,78%); sektor konstruksi
(12,31%); sedangkan lainnya dibawah 10%. Tidak ada pergeseran utama pada struktur ekonomi sehubungan
dengan sektor industri antara tahun 2012 dan 2016. Tingkat pertumbuhan ekonomi sedikit meningkat dari
34,45% pada 2015 menjadi 4,76% pada 2016. Pertumbuhan tertinggi muncul dari sektor penyediaan akomodasi
dan jasa penyediaan makanan serta minuman sebesar 5,96% dan pertumbuhan terendah terjadi pada sektor
jasapenyediaan air bersih, pengelolaan sampah dan daur ulang sebesar 2,28%. Sektor pertanian, kehutanan
dan perikanan yang merupakan tulang punggung perekonomian di Kabupaten Manggarai Barat hanya tumbuh
0,23% (tetap konstan).
Sebagian besar penduduk di Kabupaten Manggarai Barat bekerja pada sektor pertanian (73,40%), kemudian
diikuti dengan sektor jasa sebesar 9,26%; perdagangan, hotel dan restoran sekitar 4,93%; sektor transportasi
Pada Kecamatan Sano Nggoang, masyarakat juga bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian
mereka, termasuk di Desa Wae Sano, Sano Nggoang, dan Pulau Nuncung, dimana mayoritas masyarakat
bekerja sebagai petani (92,98%), sebagaimana disajikan dalam Kecamatan Sano Nggoang pada data Gambar
(2016).
Hal ini juga diketahui dari hasil survei ESIA, bahwa mayoritas rumah tangga yang diwawancarai di Desa Wae
Sano, Sano Nggoang dan Pulau Nuncung bekerja sebagai petani untuk mata pencaharian utama mereka. Hanya
beberapa dari mereka bekerja pada sektor jasa dan swasta, maupun pengusaha. Selain pekerjaan utama,
beberapa anggota masyarakat pada area studi juga memiliki sumber pendapatan sekunder . Strategi mata
pencaharian sampingan ini diambil agar dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga jika mereka hanya
bergantung pada satu mata pencaharian utama. Diketahui pula dari hasil survei ESIA bahwa kegiatan sampingan
yang dilakukan oleh masyarakat pada area studi biasanya masih dalam sektor yang sama seperti kegiatan
usaha utama, karena mungkin itu adalah satu-satunya ketrampilan yang dimiliki dalam suatu rumah tangga.
Informasi ini dapat digunakan oleh Proyek untuk memahami ketrampilan kerja yang tersedia pada masyarakat
dalam area terdampak oleh Proyek, yang sebagian besar pada pekerjaan di bidang pertanian. Hanya sejumlah
kecil persentase masyarakat yang telah terbiasa dengan ketrampilan industri. Pada sisi lain hal ini menunjukkan
kebergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian, yang mana Proyek mungkin perlu menggunakannya
untuk pembangunan Proyek.
Hasil wawancara menemukan bahwa masyarakat Wae Sano telah mengalami perubahan-perubahan besar pada
mata pencaharian mereka dalam riwayat baru-baru ini. Selama tahun 1970an dan 1980an, kebijakan pemerintah
mengubah pemukiman mereka dan sistem pengaturan yang berlaku serta sentralisasi pemekaran pemukiman
pedesaan menjadi kampung (dusun) dan desa. Sebelumnya mereka bertempat tinggal pada lokasi yang tersebar
dalam blok-blok kecil unit pemukiman dengan dasar pengelolaan lapangan bersama. Administrasi desa
memaksa penduduk setempat pindah ke desa dan kampung sebagaimana mereka berada saat ini (Desa Wae
Sano, Sano Nggoang, dan Pulau Nuncung).
Perubahan ini diikuti oleh modifikasi pada pola mata pencaharian mereka dimana berkebun atau pertanian
subsisten dikelompokkan dan dikonversi menjadi perkebunan jangka panjang, yaitu kelapa dan kemiri. Mereka
membudidayakan tanaman ini pada beberapa area di Sano Nggoang yang dahulu adalah padang sabana
(savanna) yang diubah menjadi hutan dan perkebunan. Sebagai contoh, dusun Taal dahulunya adalah suatu
area padang rumput. Secara bertahap mereka juga mengabaikan sistem subsistensi mereka dan mulai
menumbuhkan produksi untuk pasar, yang rentan terhadap kenaikan dan penurunan pada nilai tanaman. Dalam
kondisi demikian,masyarakat Wae Sano umumnya rentan terhadap pengaruh pasar. Mereka tidak lagi memiliki
kebebasan pada pasar. Ketika sebelumnya masyarakat memenuhi penghidupan mereka dengan bercocok
tanam, sekarang penghidupan mereka didasarkan atas pendapatan yang dihasilkan melalui penjualan hasil
panen kemiri atau sumber perkebunan lain atau dengan menjual hewan ternak.
Perubahan mata pencaharian ini mengubah arah pengelolaan tanah mereka, dari tanah komunal menjadi
kepemilikan individu. Adat dan kebiasan masih digunakan sebagai pedoman, namun sistem kepemilikan tanah
saat ini telah mempengaruhi ikatan komunal dengan adanya pengurangan hubungan erat yang dibangun dengan
memiliki tanah bersama.
Informasi mata pencaharian lebih lanjut khususnya padaterhadap masyarakat terdampak akibat pengadaan
tanah tidak dapat diperoleh selama penyusunan ESIA ini karena masih kurangnya gambaran detail lokasi detail
Proyek, akan tetapi informasi kondisi awal secara umum pada setiap mata pencaharian masyarakat yang dapat
terdampak oleh Proyek di tiga desa dimana Proyek akan dikembangkan disajikan pada sub bagian berikut ini.
6.4.2.3. Pertanian
Sebagaimana disajikan pada Gambar 6-15 terkait peta tutupan lahan, beberapa area Manggarai Barat tertutupi
oleh tanah pertanian dan tanah perkebunan. Total area persawahan di Kabupaten Manggarai Barat pada 2016
adalah sekitar 36,361 ha, dengan produktivitas sawah basah adalah 5,79 ton/ha dan sawah kering sebesar 1,46
Secara umum, jenis pohon yang ditanam oleh petani baik di area Kabupaten Manggarai dan Kecamatan Sano
Nggoang adalah tanaman tradisional, seperti kemiri, mete, kopi, dan cengkeh. Komoditi perkebunan pertanian
terbesar pada 2016 adalah kopi, kemiri dan kakao. Di Sano Nggoang, 2016 sebanyak 285.83 ton, jumlah ini
menurun dibandingkan dengan produksi pada 2015 sebesar 345,05 ton.
Kemiri juga menjadi komoditas superior pada desa yang terletak pada dataran tinggi di sekeliling area Proyek,
seperti Desa Sano Nggoang dan Wae Sano (Gambar 6-26). Menurut sejarah, kepala desa Sano Nggoang
membawa bibit pertama tanaman kemiri pada 1969. Perkebunan pertama terjadi pada 1980 dan tanaman
dihasilkan secara rutin tiap tahun. Masyarakat akan menjual kemiri ke pengumpul yang datang ke desa.
Kemudian, komoditas akan dibawa ke Ruteng sebelum dikirim ke Surabaya. Untuk masyarakat lokal pada desa
yang berpotensi terkena dampak, kemiri menjadi salah satu sumber pendapatan bagi beberapa rumah tangga.
Sebagian besar menggunakan komoditas tersebut untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Beberapa
menggunakannya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga (Gambar 6-27).
Kebergantungan dan nilai masyarakat terhadap tanah dan aktivitas pertanian mengindikasikan potensi
sensitivitas tanah yang tinggi bagi orang-orang yang berpotensi terkena dampak; hal ini harus dipertimbangkan
oleh Proyek dalam proses pengadaan tanah, khususnya ketika hal ini mempengaruhi tanah pertanian.
Peternakan hewan tercatat sebagai satu komoditas rumah tangga penting, baik untuk pendapatan dan konsumsi
keluarga. Di Kecamatan Sano Nggoang, kebanyakan hewan adalah kerbau dan babi, sebagaimana disajikan
6.4.2.5. Kehutanan
Luas area hutan di Manggarai Barat pada 2017 adalah 275.489,60 Ha; sebagian besar atau 45% adalah Taman
Nasional Laut sementara hampir 20% adalah Taman Nasional. Luas area hutan berdasarkan statusnya dalam
area Proyek (yaitu Area of interest dan Area of influence), ditunjukkan pada tabel dan Gambar 3-3 berikut ini.
Luas Area (Ha) Persentase (%) Luas Area (Ha) Persentase (%)
1 Danau 216,4 14 508,1 20
2 Hutan lindung 48,8 3 63.3 2
3 APL (ditujukan untuk 1.265,8 83 1.993,9 78
penggunaan lain)
Total 1.531,1 100 2.565,3 100
Sumber: Studi Kondisi Rona Awal PT. SMI, 2017
Dalam area Proyek, hutan utama adalah hutan Blok Sesok yang terletak di sekeliling Danau Sano Nggoang
(Gambar 6-20). Berdasarkan data profil Desa Wae Sano (Desa Wae Sano, 2014), area hutan di Desa Wae Sano
adalah 20.000 hektar, yang terdiri dari 19.000 hektar hutan milik negara, 918 hektar hutan rakyat dan hutan adat,
30 hektar hutan/agroforestri yang dimiliki institusi sektoral dan 1.052 hektar milik individu. Dari total area 19.000
hektar hutan milik negara, sekitar 18.000 hektar memiliki status hutan lindung19. Sementara itu, Desa Pulau
Nuncung memiliki total area hutan 250 hektar, yang terdiri dari 50 hektar hutan lindung, 100 hektar hutan
rakyat20, 50 hektar hutan adat21 dan 50 hektar hutan alami22 (Desa Pulau Nuncung, 2014).
Sayangnya tidak ada peta yang tersedia di data Profil Desa untuk menunjukkan lokasi pasti masing-masing jenis
hutan yang berbeda ini pada tiga desa. Akan tetapi studi ESIA telah mengidentifikasi bahwa hutan dimanfaatkan
masyarakat untuk perkebunan kopi dan kemiri.
6.4.2.6. Industri
Pada 2016, jumlah industri kecil dan industri rumah tangga di Kabupaten Manggarai Barat telah meningkat,
walaupun jumlahnya masih relatif kecil. Hal ini juga memengaruhi permintaan tenaga kerja. Ada peningkatan
jumlah tenaga kerja yang yaitu 10 orang untuk usaha kecil dan 360 orang di industri rumah tangga (Biro Pusat
Statistik Kabupaten Manggarai Barat, 2017).
Kebanyakan kegiatan usaha industri terletak di Kabupaten Manggarai Barat adalah industri pertanian dan
kehutanan. Pada tiga desa terdapat sejumlah usaha kecil yang telah ada dan tumbuh dalam beberapa tahun
terakhir, sejalan dengan pertumbuhan pariwisata.
Pemerintah Wae Sano telah menerapkan program perbaikan ekonomi untuk rumah tangga dengan membentuk
beberapa kelompok usaha pada 2010. Kelompok usaha ini dibentuk dengan mempertimbangkan potensi bisnis
yang dapat dikembangkan pada Desa Wae Sano, berdasarkan potensi besar sumber daya alam dan pariwisata
misalnya dengan keberadaan Danau Sano Nggoang. Hal itu mencakup agen perjalanan, rumah tinggal,
kerajinan, pemrosesan makanan setempat, peternakan ikan, dan toko minuman. Informasi ini dapat berguna
19
Hutan Lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang fungsi utamanya untuk melindungi pendukung kehidupan dengan
pengelolaan terhadap tata-air, pencegahan banjir, pengendalian erosi, pengendalian intrusi air laut, dan pemeliharaan
kesuburan tanah
20
Hutan Rakyat adalah kawasan hutan hak yang tunduk pada hak kepemilikan menurut Undang-Undang RI No. 41/1999.
21
Hutan Adat didefinisikan sebagai kawasan hutan negara berlokasi dalam hukum adat setempat, memiliki nilai budaya tinggi
bagi masyarakat, dan umumnya dikelola secara komunal untuk kepentingan masyarakat menurut Undang-Undang RI No.
41/1999.
22
Hutan Asli didefinisikan sebagai hutan utama, tidak tersentuh oleh kegiatan manusia
a. Pohon Palem. Masyarakat menggunakan pohon palem untuk memproduksi gula nira maupun
menggunakannya sebagai serat untuk bahan atap tambahan bagi perumahan (terlihat dalam Gambar 6-30).
Gambar 6-30 Pemanfaatan Ijuk dari Pohon Palem untuk Bahan Atap
b. Daun Sirih. Memakan daun sirih (terlihat dalam Gambar 6-31) pada umumnya adalah salah satu dari
kebiasaan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Sirih dari Desa Wae Sano dan Sano Nggoang terkenal akan
kualitasnya dan dipesan oleh masyarakat dari daerah lain. Biasanya, sirih dijual di pasar siang pada Desa
Werang, ibukota Kecamatan Sano Nggoang. Sirih dijual dalam ikat yang terdiri dari 15 batang, masing-masing
batang seharga 1000 rupiah. Ikatan ini kemudian diikat dalam kumpulan 15 ikat dan masing-masing ikatan
berharga 20.000 rupiah (1,50 Dolar Amerika).
Umumnya, wanita Flores memproduksi selendang tenun lebar untuk digunakan sebagai selimut untuk pria dan
sarung untuk wanita. Songke Manggarai lebih panjang dibandingkan sarung tenun umumnya – 2 meter. Selain
digunakan sebagai sarung yang dapat dipakai di sekitar pinggang, wanita dapat menggunakan songke sebagai
kemben. Selain itu, kepala Songke dapat digunakan pada pernikahan adat dan untuk menutupi jenazah. Kain
Songke dapat diperoleh langsung dari perajin di Desa Wae Sano atau di pasar siang di Desa Werang. Harga
Songke berkisar dari 30.000 – 100.000 rupiah (2,26 Dolar Amerika) untuk syal dan 200.000 – 500.000 rupiah
(15,03 – 37,59 Dolar Amerika) untuk sarung. Songke juga dapat ditemukan di toko souvenir di Labuan Bajo.
Terdapat banyak homestay di Desa Wae Sano yang dikelola oleh orang setempat dalam sebuah kelompok,
gereja, atau secara individu. Jumlah kelompok usaha homestay di Wae Sano adalah sekitar 15 kelompok. Biaya
untuk tinggal di homestay berkisar dari 100.000 – 350.000 rupiah (7,52 – 26,31 Dolar Amerika) per orang per
malam.
Pada wilayah studi terdapat beberapa potensi sumber daya alam untuk dimanfaatkan oleh Proyek pada kegiatan
konstruksi. Berdasarkan data dari Kecamatan Sano Nggoang, potensi utama material quarry (galian untuk
material konstruksi) adalah pasir dan batu. Di Desa Wae Sano, potensi quarry terbesar adalah tanah cadas
(ground rock) yang berada di Dusun Ta’al. Berdasarkan keterangan dari Kepala Desa Wae Sano, potensi
material konstruksi yang tersedia di desa Wae Sano meliputi batako di Dusun Nunang dan Dusun Ta’al (dimiliki
oleh perorangan), material batu dan pasir di Dusun Nunang (dimiliki oleh perorangan), dan pasir dan batu di
Dusun Ta’al milik ulayat (komunal). Demikian juga, pasir dan batu dapat juga ditemukan di Desa Sano Nggoang
(dimiliki oleh perorangan). Sayangnya berdasarkan Data Kecamatan dalam Angka (2016), sebagian besar quarry
ini belum memiliki izin; satu-satunya quarry dengan izin terletak di Desa Golo Leleng di Wae Sapo dan Wae
Longge yang dikelola oleh PT Floresco dibawah lisensi pertambangan Kelas C.
6.4.2.8. Ekowisata
Potensi pariwisata di daerah Wae Sano23 dapat dikembangkan untuk meningkatkan ekonomi lokal di wilayah
studi terutama ekowisata, termasuk area sumber daya berikut ini. Berdasarkan hasil wawancara, wisatawan
23
Wilayah Wae Sano (artinya dalam bahasa Manggarai: air danau) meliputi daerah sekitar Danau Sano Nggoang (artinya
dalam bahasa Manggarai: danau yang membara atau panas atau mendidih), yang terdiri dari tiga desa: Wae Sano, Sano
Nggoang dan Pulau Nuncung
Terkait potensi ekowisata dan konservasi burung, Yayasan Burung Indonesia melibatkan orang-orang di Dusun
Nunang untuk membangun kapasitas mereka dalam menerima wisatawan di desa mereka. Yayasan Burung
Indonesia memprakarsai dua program termasuk bantuan teknis untuk persipan homestay dan kursus bahasa
inggris. Sekitar 12 rumah tangga dilibatkan dalam pengembangan homestay dan setidaknya 10 warga desa
menghadiri Kursus Bahasa Inggris. Menurut Yayasan Burung Indonesia, jumlah wisatawan yang megunjungi
Desa Wae Sano pada 2014 (271 wisatawan) meningkat secara signifikan dibandingkan dengan 2012 (85
wisatawan) dan 2013 (76 wisatawan). Waktu tinggal mereka hanya 1-2 hari. Namun, jumlah tersebut kurang
ketika dibandingkan dengan wisatawan yang mengunjungi desa dekat Cagar Alam Mbeliling, Liang Nda. Jumlah
wisatawan yang mengunjungi Liang Da pada 2014 (800 wisatawan) juga meningkat secara signifikan jika
dibandingkan dengan 2012 (244 wisatawan) dan 2013 (400 wisatawan).
Danau vulkanik ini terletak di sebelah tenggara kawasan Hutan Mbeliling dan Blok Hutan Sesok. Hutan Mbeliling
sendiri berperan penting sebagai penampung dan sumber air untuk area di sekeliling area termasuk Labuan
Bajo.
b. Danau Sesok. Terletak di sebelah atas Dusun Nunang, pada puncak dan lereng gunung berapi Poco Dedeng
dengan titik puncak 1.230 meter di atas permukaan laut. Hutan Sesok juga menawarkan pengamatan burung
yang menarik dengan kombinasi antara spesies burung air yang datang di Danau Sano Nggoang dan spesies
burung lain yang mendiami kawasan hutan di sekitar danau. Hutan ini didominasi oleh vegetasi hutan tropika
hijau yang semi dilestarikan.
c. Wae Bobok. Adalah mata air panas yang terletak sekitar 10 meter dekat Danau Sano Nggoang. Digunakan
oleh masyarakat di desa Wae Sano untuk mandi sehari-hari. Wisatawan juga menggunakan air hangat untuk
mandi. Kondisinya masih alami dan belum dikembangkan (Gambar 6-37).
d. Puncak Golo Dewa. Untuk wisata budaya dan keagamaan, wisatawan dapat mengunjungi kompleks desa tua
di bukit Golo Mblecek. Desa ini adalah desa leluhur masyarakat Nunang yang konon berasal dari Minangkabau
dan sebagian dari Kerajaan Bima. Selain itu, terdapat sebuah gereja tua pada tepi danau yang merupakan pusat
penyebaran agama Katolik pertama di desa Wae Sano dan sekitarnya.
24
Titik koordinat danau: 809’- 8036’S, 122045-122051’E
g. Atraksi lokal lainnya di tiga desa yang terdampak memiliki nilai budaya dan agama bagi masyarakat,
termasuk Gereja Nunang dan Watu Nggoang (lihat Bagian 6.4.3.4 untuk detail lebih lanjut).
Infrastruktur desa Wae Sano untuk pariwisata lebih berkembang dibandingkan dengan Sano Nggoang. Dusun
Nunang di Desa Wae Sano adalah pusat dari semua kegiatan pariwisata Danau Sano Nggoang. Di dusun ini,
wisatawan bisa mendapatkan tempat menginap berupa homestay, makanan dan minuman dan pemandu
wisata25. Saat ini terdapat 12 buah homestay26 yang dimiliki oleh baik perseorangan dan kelompok masyarakat di
Dusun Nunang dan tiga di Dusun Lempe sebagai fasilitas akomodasi. Hal yang paling menantang bagi
perkembangan pariwisata di desa adalah terkait infrastruktur listrik; rumah tinggal yang menyediakan kamar
untuk homestay menggunakan solar-cell atau generator untuk penerangan pada malam hari. Desa Wae Sano
juga memiliki kelompok usaha pariwisata yang mencakup kelompok usaha homestay, pengolahan makanan dan
minuman , tracking, sanggar, kerajinan tangan tenun, ternak unggas, kerajinan anyaman bambu, ikan air tawar,
pembuatan gula merah, kacang mete, tanaman obat, pemrosesan minyak kelapa sawit dan kerajinan tanah liat.
Sementara itu, pengembangan ekowisata di Desa Sano Nggoang masih terbatas; tidak ada homestay yang
tersedia di desa, denga demikian tidak ada wisatawan yang tinggal di desa dan tidak ada orang di Desa Sano
Nggoang yang bekerja sebagai pemandu wisata. Wisatawan bisanya hanya melewati desa ini sebagai bagian
dari perjalanan dengan berjalan sekitar danau.
Lembaga Ekowisata Desa telah didirikan di Desa Wae Sano untuk mengakomodasi keinginan dan kebutuhan
penduduk Desa Waesano untuk mengembangkan ekowisata terpadu. Pendirian ini difasiltasi oleh Yayasan
Burung Indonesia, organisasi non pemerintah yang aktif dalam mengatur berbagai kegiatan di wilayah Wae Sano
dan sekitarnya. Lembaga ini telah menjalin kerja sama dengan pemerintah Desa Wae Sano dalam mengelola
ekowisata di Desa Sano Nggoang dengan sistem bagi hasil, dimana 30% pendapatan akan dimasukkan pada
kas desa, 30% pada kas Lembaga dan 40% untuk kegiatan konservasi.
Berdasarkan wawancara dengan Dinas Kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Manggarai pada 2017, program
peningkatan pariwisata di 2017-2018 di Desa Wae Sano meliputi pengembangan jalan akses sepanjang 2 km
menuju Sabana (lokasi ekowisata burung) dekat Danau Sano Nggoang. Status tanah untuk jalan akses selama
studi ESIA adalah masih pada tahap proses pengadaan tanah.
Pada 2018, perkembangan pariwisata di Desa Wae Sano tidak menjadi fokus / program utama pemerintah
Kabupaten Manggarai Barat; hal ini karena sekitar 90% dana berasal dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
akan difokuskan untuk peningkatan pariwisata Batu Licin di Labuan Bajo.
Kondisi jalan pada area studi di Desa Wae Sano dan Sano Nggoang sudah diperkeras, sehingga dapat
memudahkan aksesibilitas masyarakat untuk menuju ke/dari desa. Hanya Desa Pulau Nuncung yang memiliki
jalan yang belum diperkeras. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat, pemerintah Kecamatan Sano
Nggoang menyediakan pasar mingguan yang beroperasi pada hari-hari tertentu setiap minggu. Sebagai contoh
di Desa Werang ((±5-6 km dari area studi) terdapat pasar Inpres yang beroperasi setiap Sabtu. Di desa lain
pasar beroperasi setiap Senin, Kamis dan Selasa.
Berdasarkan data BPS, pada 2016 lembaga ekonomi di Kecamatan Sano Nggoang meliputi 1 unit Koperasi Unit
Desa (KUD) dengan 20 anggota, 5 Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan total 432 anggota, 1 Koperasi Serba
Usaha (KSU) dengan 31 anggota, 1 Kooperasi Petani dengan 63 anggota, dan 2 Gabungan Kelompok Petani
(GAPOKTAN) dengan total keanggotaan 344 orang (Biro Pusat Statistik Kecamatan Sano Nggoang, 2017).
Sebagan besar responden yang disurvei pada 2016 menggambarkan bahwa semua lembaga ekonomi ini masih
aktif dan bermanfaat bagi masyarakat ketika mengalami kesulitan keuangan untuk berbagai kebutuhan.
Lembaga ekonomi ini juga membantu membeli berbagai produk pertanian, khususnya kemiri dan kopi.
Wanita memiliki peran yang cukup signifikan dalam rumah tangga sebagaimana dapat dilihat dalam keterlibatan
utama mereka dalam kegiatan pertanian seperti panen dan pemrosesan kemiri. Wanita juga berkontribusi pada
pendapatan rumah tangga melalui industri kecil rumah tangga seperti kerajinan anyaman dari daun pandan,
tenun ikat/songket, dan membantu pengelolaan homestay bagi wisatawan.
Sehubungan dengan Proyek, survei ESIA telah mengidentifikasi adanya kekhawatiran dan harapan, termasuk
kebutuhan akan listrik untuk mendukung kegiatan rumah tangga, untuk mendapat penerangan yang cukup,
meningkatkan ekonomi lokal meliputi industri rumah tangga maupun meningkatkan kemajuan desa mereka
(Desa Wae Sano, Sano Nggoang dan Pulau Nuncung). Beberapa dari mereka tidak memiliki kekhawatiran pada
pengembangan Proyek namun beberapa sedikit ada kekhawatiran mengenai dampak negatif dari
pengembangan Proyek yang meliputi gangguan keindahan alami Danau Sano Nggoang, mereka juga takut jika
kebakaran terjadi selama kegiatan pengeboran.
Tingkat pendapatan masyarakat di suatu wilayah dapat digunakan sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat
secara umum. Terdapat banyak faktor yang memengaruhi tingkat pendapatan suatu rumah tangga. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan, usia, jenis pekerjaan, tingkat kepemilikan aset
rumah tangga, keluarga serta jarak dari rumah ke lokasi usaha berdampak secara signfikan pada tingkat
pendapatan rumah tangga.
Hasi survei ESIA mengidentifikasi informasi berikut ini terkait pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di tiga
desa terdampak yaitu Desa Wae Sano, Sano Nggoang dan Pulau Nuncung yang akan membantu untuk
memahami status kesejahteraan masyarakat saat ini ketika mengkaji potensi dampak pada masa mendatang
dari Proyek terhadap mata pencaharian masyarakat.
Berdasarkan hasil survei dengan kuesioner kepada 96 kepala/anggota rumah tangga, 72 responden (75%)
memiliki tingkat pendapatan rumah tangga kurang dari Rp. 500.000 (37,54 Dolar Amerika) per bulan. Sekitar 13
responden (13,5%) dengan tingkat pendapatan rumah tangga dalam rentang Rp. 500.000 (37,54 Dolar Amerika)
hingga Rp. 1.000.000 (75,08 Dolar Amerika) per bulan dengan sisa 11 responden (12,3%) memiliki tingkat
pendapatan diatas Rp. 1.000.000 (75,08 Amerika Dolar). Informasi lebih lanjut tentang tingkat pendapatan rumah
tangga dapat dilihat pada Tabel 6-19.
BPS menetapkan garis kemiskinan makanan (GKM) pada September 2015, dan khususnya untuk masyarakat
pedesaan di Kabupaten Manggarai Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur GKM adalah sebesar Rp. 263.746
(19,80 Dolar Amerika) / bulan / kapita. Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 orang,
berdasarkan data dari tingkat pendapatan rumah tangga responden dan GKM yang tergambarkan, kelompok
rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan dalam area studi (yaitu rumah tangga dengan tingkat
pendapatan kurang dari Rp. 500.000 (37,54 Dolar Amerika) per bulan) adalah sebanyak 72 rumah tangga (75%).
Disamping kepala keluarga, beberapa anggota keluarga juga bekerja dan menghasilkan uang; 46,8% memiliki
pendapatan kurang dari Rp. 500.000 per bulan, hanya sejumlah kecil (7,29%) memiliki pendapatan antara Rp.
500.000 hingga Rp. 1.000.000(37,54 hingga 75,08 Dolar Amerika) atau lebih dari Rp. 1.000.000 per bulan
(4,17%).
Menganalisis kondisi tingkat perekonomian rumah tangga akan lebih baik jika tidak hanya memperhitungkan
tingkat pendapatan rumah tangga namun juga tingkat pengeluaran rumah tangga. Hal ini penting karena pada
umumnya terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pendapatan dan pengeluaran. Dengan memperhatikan
tingkat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, hal ini juga dapat membedakan konsep kemiskinan
subjektif, kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif. Data tentang tingkat pengeluaran rumah tangga per bulan
disajikan pada Tabel 6-20. Data tersebut menunjukkan bahwa persentase tingkat pengeluaran rumah tangga
terbesar berada dalam rentang Rp. 500.000 hingga Rp. 1.000.000 per bulan sebanyak 31,25%, sementara
tingkat pengeluaran kurang dari Rp. 500.000 per bulan sebanyak 36,46% dan sisanya sebesar 15,63%
responden mengeluarkan lebih dari Rp. 1.000.000 per bulan. Perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran
menunjukkan bahwa beberapa responden memiliki pengeluaran yang lebih tinggi daripada pendapatan mereka,
yang menunjukkan arus kas negative setiap bulannya.
Kesejahteraan masyarakat yang rendah ini mungkin mengindikasikan pengharapan yang tinggi terhadap
manfaat eknomis Proyek terhadap masyarakat dalam meningkatkan pendapatan, seperti melalui penyediaan
listrik gratis yang diharapkan mendorong perkembangan pariwisata di wilayah tersebut.
6.4.2.12. Kemiskinan
Berdasarkan data statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (2017), Upah Minimum Regional (UMR) di Kabupaten
Manggarai Barat pada 2016 adalah sekitar Rp 1.425.000 per bulan (setara dengan 104,78 Dolar Amerika) atau
sekitar 3,5 Dolar Amerika per hari. Jumlah ini masih dianggap rendah, karena sangat dekat dengan garis
kemiskinan global sebesar 1,90 Dolar Amerika per hari. Dibandingkan dengan data Indonesia pada tahun yang
sama, upah minimum di Kabupaten Manggarai Barat lebih rendah dibandingkan Provinsi Nusa Tenggara Timur
sebesar Rp 1.525.000 per bulan (113,41 Dolar Amerika). Hal ini dapat menunjukkan potensi harapan yang tinggi
dari masyarakat dan pemangku kepentingan setempat terhadap dampak positif Proyek bagi kabupaten.
Terkait kemiskinan, BPS (Biro Pusat Statistik) mendefinisikan bahwa penduduk miskin adalah mereka yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada 2016, jumlah penduduk
miskin di Kabupaten Manggarai Barat adalah sebanyak 19,35% atau 49.550 orang dengan garis kemiskinan
sebesar Rp 282.142 (20,77 Dolar Amerika) per kapita per bulan. Diketahui bahwa 10.266 keluarga masuk dalam
kategori pra-sejahtera. Namun, jumlah keluarga pra-sejahtera di Kabupaten Manggarai Barat pada 2016 telah
menurun dibandingkan 2014, karena penerapan program pengentasan kemiskinan nasional dari pemerintah,
seperti Program Beras Miskin (Raskin, program subsidi beras untuk masyarakat miskin).
Di Kecamatan Sano Nggoang, jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) yang telah diidentifikasi oleh BPS adalah
1.571 rumah tangga (Biro Pusat Statistik Kecamatan Sano Nggoang, 2016) atau sekitar 6.284 orang (dengan
27
https://ntt.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/318
Jumlah pasti rumah tangga miskin pada tiga desa tidak tersedia selama survei ESIA, namun hal ini teridentifikasi
dari konsultasi dengan aparat desa dan masyarakat di Desa Wae Sano yang untuk membantu orang miskin,
beragam program sosial telah diterapkan dalam masyarakat.
Pada Agustus 2016, pemerintah mendistribusikan Raskin ke Kecamatan Sano Nggoang, sebanyak 263.430 kg
atau sekitar 92,98% dari target program RASKIN (program beras subsidi). Desa Wae Sano, Sano Nggoang dan
Pulau Nuncung memiliki rumah tangga miskin masing-masing sebesar 134, 147 dan 98.Setiap rumah tangga
miskin diberikan program pemerintah berupa 180 kg beras (Kecamatan Sano Nggoang, 2016). Selain itu,
terdapat keluarga sangat miskin (RTSM) di Desa Wae Sano dan Sano Nggoang yang masing-msing sebanyak
39 rumah tangga dan 7 rumah tangga,. Setiap keluarga sangat miskin di Desa Wae Sano dan Sano Nggoang
juga diberikan program dana pemerintah masing-masing sebesar Rp 1.972.756 dan Rp 2.267.857, memalui
Program Keluarga Harapan (PKH) (Biro Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat, 2017).
Kelompok Etnis Manggarai umumnya tinggal di Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat dan
Kabupaten Manggarai Timur di Pulau Flores. Orang-orang Manggarai mempraktikkan struktrur warisan
patrilinear, dengan garis keturunan diwariskan oleh laki-laki. Bahasa Manggarai terdiri dari beberapa dialek, yaitu
Pae, Mabai, Rejong, Mbaen, Pota, Manggarai Pusat, Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Empat dialek
pertama adalah bahasa dari kelompok etnis terpisah yang menyesuaikan dengan orang Manggarai pada masa
lampau. 28.
Menurut orang Manggarai, mereka membutuhkan lima hal utama untuk bertahan hidup:
Masyarakat Kecamatan Sano Nggoang, khususnya di Desa Wae Sano disebut sebagai Mata Wae (Mata Wae)
yang merupakan kelompok sub-etnis suku Manggarai dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas (hamente)
yang diturunkan dari wilayah Sano Ngoang dan sekitarnya. Pada umumnya mereka memiliki identitas dan tradisi
yang sama seperti kelompok sub-etnis yang lain di Manggarai. Mereka dibedakan oleh dialek merekamaupun
beberapa tradisi khusus. Namun umumnya mereka mengakui diri mereka sebagai orang Mata Wae, yang
merupakan identitas yang berbeda.
Ada tiga versi asal-usul leluhur Mata wae. yang pertama disebut berasal dari Minangkabau (Minang-Sumatra)
versi kedua berasal dari Gowa (Sulawesi Selatan) dan versi ketiga disebut mereka berasal dari Pulau Sumba.
Sejarah masyarakat Mata Wae berasal dari daerah yang disebut Lampang yang merupakan desa tua dimana
para leluhur desa Wae Sano, Sano Nggoang dan Pulau Nuncung menetap untuk pertama kalinya. Lampang
berlokasi di area perbukitan Desa Wae Sano sebelah Utara Danau Sano Nggoang. Berdasarkan hasil
wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada 2017 dengan tokoh-tokoh masyarakat di
Dusun Dasak, Taal, dan Lempe maupun Desa Wae Sano, diperoleh informasi bahwa semua penduduk di
wilayah tersebut berasal dari leluhur yang sama, yaitu – desa tua Lampang. Dengan demikian, walau tidak
terdapat ritual atau upacara budaya khusus yang dilaksanakan terkait dengan keberadaan Danau Sano
28
http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-manggarai.html
Di Desa Wae Sano, masyarakat Mata Wae terbagi dalam tiga klan / keluarga utama – Lako, Nando dan Dese.
Masyarakat Loko sebagian besar tinggal di Desa Sano Nggoang dan Dusun Lempe, dan masyarakat Nando
tinggal di Dusun Taal. Masyarakat Dese adalah masyarakat pendatang yang menikah dengan masyarakat Wae
Sano. Identitas masyarakat masih tetap bersifat internal pada masyarakat, kedudukan sosial berbasiskan pada
sejarah dan pernikahan.
Secara umum, masyarakat Mata Wae adalah masyarakat lokal dari area Sano Nggoang. Mereka memiliki
pengakuan yang berbeda atas identtias mereka sebagai sub-etnis Manggarai, masih mengakui keberadaan Tua
Golo sebagai pemimpin mereka yang dihormati untuk urusan sosial dan adat (termasuk perselisihan lahan), dan
mengakui suatu area adat merupakan desa tua (lihat Bagian 6.4.3.4). Namun, mereka tidak dianggap sebagai
kategori penduduk asli yang rentan yang dimaksud dalam Kebijakan Upaya Perlindungan Bank Dunia, yang
telah diadopsi dalam dokumen ESMF GEUDP. Terdapat beberapa karakteristik yang dipertimbangkan yaitu
masyarakat Mata Wae dikenali sebagai kelompok dominan dalam area terdampak, sedangkan praktik budaya
dan sistem kepemilikan lahan tradisional mereka hilang sejak adanya gereja dan pengenalan program sertifikasi
nasional dari pemerintah pada 1980an. Hal ini juga telah dikonfirmasikan dalam Laporan Penapisan Lingkungan
dan Sosial GEUDP, tertanggal 25 Maret 2016, yang menyatakan bahwa tidak ada penduduk asli yang tinggal
dalam area kepentingan Proyek.
Dalam budaya Manggarai, tanah adalah ibu, sumber kehidupan dan memberi identitas diri serta masyarakat bagi
masyarakat Manggarai. Tanah juga suatu pra syarat untuk membangun sebuah desa. Seperti halnya untuk
masyarakat Manggarai, konflik terkait tanah selalu menjadi hal yang serius.
Dalam budaya Manggarai, dengan dan melalui tanah, suatu sistem dibentuk, peraturan dan etika diperkuat,
solidaritas dilestarikan, lebih lanjut kehidupan dan semua aspeknya ditumbuhkan. Dari sudut pandang ini,
masyarakat Manggarai tahu istilah ‘gendang one lingko pe’ang’ yang berarti bahwa masyarakat Manggarai tidak
hanya percaya bahwa desa dengan pusatnya, mbaru gendang (rumah gendang), adalah sangat penting namun
juga lingko, sebagai tanah dan lahan subur bagi masyarakat, adalah sumber kehidupan.
Lingko, sebagaimana dilihat pada Gambar 6-29, dibentuk ketika masyarakat Manggarai berpindah dari gaya
hidup nomaden ke kehidupan menetap, yang memerlukan area tempat tinggal (beo – desa). Pemukiman baru
didapatkan dengan membersihkan hutan, suatu praktik yang dikenal sebagai lingko. Dalam setiap beo jumlah
lingko tergantung pada kemampuan warganya untuk membersihkan kawasan hutan terdekat, maupun populasi
setiap beo. Masing-masing lingko memiliki luas yang berbeda dan diberi nama yang khas, seringkali mengacu
pada benda-benda alam seperti nama tumbuhan atau sungai-sungai setempat. Dimana lingko berbatasan
dengan lingko tetangga, garis batas (disebut rahit) diterapkan untuk menetapkan hak kepemilikan atas setiap
lingko.
Pembagian lingko – dikenal sebagai sistem lodok – menggambarkan tata letak tradisional rumah-rumah desa
Manggarai. Rumah pilar (mbrang niang) dibangun mengelilingi pilar pusat utama, seperti sebuah lingkaran yang
dibentuk sekitar pilar (Sri bonkok). Pilar pusat ini membentuk suatu altar dan/atau tempat untuk persembahan,
seperti pada penti (Tahun Baru). Atap kediaman berbentuk kerucut dan dibuat dari ijuk atau alang-alang.
Pada area studi, lahan dikelola secara tradisional (sebelum kemerdekaan Indonesia) dibawah kewenangan tu’a
golo. namun, sejalan dengan era perkembangan dan perkembangan perundang-undangan di Indonesia,
khususnya perundang-undangan Agraria, pola pengelolaan kepemilikan tanah pada area studi berkembang dari
sistem komunal menjadi lebih kepada sistem perorangan. Peran tu’a golo saat ini berfokus pada penyelesaian
konflik dan ritual dan/atau upacara adat, seperti ‘upacara peletakan batupertama untuk pengembangan.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari hasil wawancara dengan sekretaris Desa Wae Sano dan
beberapa aparat desa serta tokoh adat, status lahan dalam studi area umumnya dimiliki melalui hak kepemilikan.
Bukti kepemilikan lahan pribadi sebagian besar melalui tanda terima pembayaran dari Pajak Bumi dan Bangunan
Informasi detail tentang status lahan untuk masing-masing rencana fasilitas Proyek dapat dilihat pada
Dokumen Laporan Pendahuluan LARAP (Lampiran L).
Masyarakat Manggarai dipimpin oleh tu’a golo, yang memiliki wewenang untuk keseluruhan wilayah termasuk
desa, lahan, hutan dan saluran air. Dibawahnya adalah tu’a beo (pemimpin dusun) dan tu’a teno, yang
bertanggung jawab untuk menangani urusan terkait tanah. Tu’a teno dipilih melalui kesepakatan dari pemilik
lahan.
Tanggung jawab utama tu’a golo adalah sebagai pemberi jalan keluar dari suatu masalah dan memimpin
upacara adat, sedangkan peran tu’a teno lebih sebagai mediator dalam menyelesaikan masalah-masalah
sengketa tanah. Dalam area studi Wae Sano29, terdapat Sembilan tu’a golo30 yang masih melakukan tugas dan
peran mereka dengan baik.
Pada umumnya kegiatan adat di desa sekitar Wae Sano adalah pernikahan, kematian dan pembangunan rumah
baru/bangunan baru, sedangkan upacara adat terkait pada siklus pertanian jarang diadakan. Upacara
pernikahan biasanya dilangsungkan antara bulan Juni hingga Oktober, karena pada bulan tersebut adalah bulan
panen sehingga cukup banyak uang berputar di desa. Sementara itu, upacara kematian akan dilakukan ketika
seseorang meninggal dunia dan kadang-kadang tanpa persiapan. Biasanya pada upacara kematian, warga
sangat membutuhkan keberadaan Lembaga Ekonomi untuk mengatasi situasi yang mendadak. Upacara adat
biasanya dipimpin oleh seorang tu’a golo.
Saat ini, intensitas konflik pada tiga desa di Wae Sano cenderung jarang terjadi setidaknya dalam satu tahun
terakhir. Konflik sebagian besar terjadi diantara warga asli pada masalah garis batas tanah dan masalah
keluarga. Jika suatu konflik terjadi, permasalahan biasanya diselesaikan dalam keluarga atau Lembaga adat di
bawah wewenang tu’a golo. Perselisihan umumnya diselesaikan melalui Lonto Leok (konsensus), dengan cara
adat Manggarai, khususnya dalam penyelesaian sengketa tanah. Dalam forum Lonto leok, digunakan simbol
adat dan budaya Manggarai, dan dalam forum sengketa tanah ini diusahakan untuk diselesaikan secara damai.
Jumlah kasus yang diselesaikan pada tingkat desa kecil jika permasalahan tidak dapat diselesaikan pada tingkat
keluarga dan lembaga adat.
Peran pemuka tradisional ini terus memudar dengan kehadiran dan peran institusi pemerintah (misal
kepala desa, lembaga pemerintah, dsb.).
Adat dan budaya tradisional yang ada pada masyarakat Manggarai tradisional antara lain adalah sebagai
berikut, akan tetapi beberapa dari praktik di bawah ini tidak dilakukan lagi atau semakin menurun:
a. Tari tradisional Manggarai seperi Tari Caci, tari Ndundu Ndake, Tari Tetek Alu, Tari Pacek Mawo, Tari
Tuk Mawo, Tari Sanda dan Tari Kiris. Masing-masing tarian tradisional memiliki maknanya sendiri yang
telah diceritakan dari secara turun temurun dan masih dipraktikkan dan dilestarikan hingga sekarang.
b. Tuak: mekanisme adat tradisional dimana ketika suatu keluarga ingin berbicara sepatah atau dua patah
kata dalam cara tradisional dengan orang lain dan khususnya dengan Tu’a Golo membawa tuak yang
terbuat dari nira, rokok dan uang sebagai persembahan.
c. Tradisi Curu dan kapu; penyambutan tamu, konsep penghormatan dan kekeluargaan masyarakat
29
Wae Sano di sini merefleksikan daerah sekeliling Danau Sano Nggoang, yang terdiri dari Desa Wae Sano, Desa Sano
Nggoang dan Desa Pulau Nuncung
30
Pembagian golo sudah ada sebelum pembagian administratif diterapkan, dan terkadang tidak sama jumlahnya dengan
pembagian menurut struktur pemerintahan. Misalnya, di desa Wae Sano secara administratif ada tujuh dusun tapi hanya
mempunya tiga golo; Sano Nggoang mempunyai jumlah dusun dan golo yang sama, hanya namanya berbeda; Pulau Nuncung
mempunyai empat dusun dan dua golo
Sementara itu, terdapat beberapa peninggalan dan bangunan tua pada area studi yang memiliki nilai budaya dan
agama bagi masyarakat, yaitu:
a. Gereja dan rumah pastor paroki Wae Sano, dibangun dari kayu dan terletak pada tepi Danau Sano
Nggoang. Gereja ini merupakan pusat penyebaran agama Katolik pertama di desa Wae Sano dan
sekitarnya.
b. Kompleks desa tua di atas pebukitan Golo Mbelecekdi sebelah timur Nunang. Desa ini adalah desa
nenek moyang warga Nunang. Menurut cerita masyarakat, nenek moyang mereka adalah dari
Minangkabau dan sebagian berasal dari Kerajaan Bima.
c. Artefak berupa compang32 dan pemakaman tua di Puncak Lampang; desa tua dari nenek moyang
warga Nunang.
d. Watu Nggoang di Dusun Nggoang, desa Sano Nggoang, dimana batu terletak pada desa tua dan
makam nenek moyang Nggoang. Sebelum 1970 batu tersebut dipercaya bersinar pada malam hari,
namun tidak diketahui penyebab batu tidak lagi bersinar. Hingga studi ini dilakukan, tempat tersebut
masih dipertahankan dan digunakan sebagai tempat untuk mengirimkan persembahan pada nenek
moyang pada upacara tertentu atau ketika warga desa hendak merantau. Masyarakat Dusun Nggoang
meminta agar tidak mengganggu atau memindahkan tempat keramat tersebut karena diyakini akan
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
e. Desa tua Lampang – sebelah utara Danau Sano Nggoang, dianggap sebagai cagar budaya karena
keterikatan secara historis dengan masyarakat Mata Wae, dimana area danau terkenal sebagai lokasi
leluhur Mata Wae ketika mereka pertama datang untuk tinggal di Sano Nggoang. Namun nilai budaya
yang diwariskan dari danau telah mulai memudar dengan kehadiran gereja dan program pembangunan
dari pemerintah. Tidak ada lagi ritual atau upacara adat khusus yang dilakukan terhadap danau.
Pemukiman ditandai berada dalam golo dimana di sana seharusnya terdapat gendang atau rumah tradisional
luas untuk golo, kemudian compang atau batu atau tempat belajar, kemudian terdapat jalan masuk dan keluar
sebagai suatu tanda adanya kampung, serta terdapat natas sebagai tempat umum. Terdapat banyak kampung
tua yang telah ditinggalkan, ditandai pula dengan bekas kebun dan pemakaman yang masih dilestarikan dan ada
secara turun-temurun. Seperti bekas kampung Golo Lampang, sebagai asal usul semua penduduk atau klan di
Wae Sano, kemudian kampung Wewa yang merupakan asal usul masyarakat Dusun Taal, dan terdapat juga
kampung bekas masyarakat di Sano Nggoang. Lahan bekas kampung dan asset di dalamnya dijaga oleh warga
hingga sekarang. Lokasi indikatif dari sumber daya cagar budaya fisik (Physical Cultural Heritage Resources -
PCR) dalam area studi ini berdasarkan hasil pemetaan partisipatif dengan masyarakat setempat pada Maret
2017 yang ditunjukkan pada Gambar 6-38. Pemetaan PCR ini juga dipertimbangkan dalam analisis sensitivitas
untuk memberikan pemahaman yang lebih baik akan beberapa area yang sensitive secara budaya selama
proses pemilihan lokasi Proyek saat ini (peta partisipasi awal dengan berbagai catatan dari masyarakat
dilampirkan pada SEP, lihat Lampiran H).
Selain struktur tradisional, lembaga sosial lain yang berpengaruh pada masyarakat Manggarai pada area studi
kali ini adalah lembaga keagamaan, dalam hal ini adalah Gereja Katolik33 dan lembaga pemerintah yang diwakili
oleh aparat desa (kepala desa dan anak buahnya). Tiga pilar ini memengaruhi kehidupan sosial penduduk Wae
31
Curu merupakan tradisi menyambut tamu dengan cara mengarak mereka sepanjang jalan menuju rumah. Tiba di rumah,
para tamu akan disambut dengan tradisi kapu, yaitu penyambutan dengan menggunakan ayam jantan putih sebagai tanda
rasa keikhlasan hati dan rasa kekeluargaan. Sebagai pelengkap hidangan disajikan juga tuak, minuman khas untuk
menghilangkan dahaga dan lelah selama berjalan jauh. Di akhir prosesi, para tamu biasanya memberikan uang sebagai
ungkapan doa kepada Tuhan dan tanda hormat kepada arwah nenek moyang yang telah meninggal.
32
Compang merupakan tempat persembahan atau tempat permohonan bagi penduduk beo (kampung); biasanya berbentuk
bangunan batu berundak-undak yang terletak di tengah beo
33
Gereja Katolik di Flores mempunyai sejarah yang cukup panjang,yaitu sejak kedatangan biarawan Dominikan dari Portugis di
Flores Timur pada abad 16. Di Manggarai situasinya berbeda karena wilayah ini tidak pernah dikunjungi atau didatangi oleh
Portugis ,dan dikontrol oleh kerajaan Gowa dan Bima yang masuk Islam sejak awal abad 17. Kontrol ini dikukuhkan dengan
Perjanjian Bongaya tahun 1667 antara Kerajaan Bima dan Belanda saat Belanda memegang kendali penjajahan. Misionaris
SVD yang membuka lokasi di Ruteng pada tahun 1920an memulai protes penerapan hukum muslim dan pada tahun 1928
belanda mengijinkan Manggarai mempunyai raja yang dipilih sendiri. Maribeth Erb, op cit. halaman 258
Baik padaKabupaten Manggarai maupun Kecamatan Sano Nggoang, agama Katolik dianut oleh lebih dari 74%
penduduk. Agama Islam menjadi agama terbesar kedua di area ini, dengan pemeluk sebanyak 57.597 orang di
Kabupaten Manggarai Barat dan 3.622 orang di Kecamatan Sano Nggoang. Seperti halnya pada desa-desa di
area studi, hanya terdapat dua agama yang dianut oleh masyarakat yaitu Katolik dan Islam. Mayoritas penduduk
setempat pada area ini adalah beragama Katolik, dengan jumlah pemeluk masing-masing sebanyak 1.132 orang
di Desa Wae Sano, 840 orang di Desa Sano Nggoang, dan 560 orang di Desa Pulau Nuncung.
34
Salah satunya adalah Ibu Maria Sumur Habur, Ketua Lembaga Ekowisata Danau Sano Nggoang. Beliau aktif dalam
pendirian dan pengelolaan lembaga masyarakat sejak awal tahun 2000 dan pada pemilihan kepala desa terakhir (tahun 2016)
sempat diusulkan menajdi salah satu calon, namun akhirnya beliau menolak pengusulan tersebut. Wawancara mendalam di
desa Wae Sano, 4 Oktober 2016
Indikator kesehatan lainnya yang dapat memberikan gambaran umum dari kondisi kesehatan masyarakat adalah
jumlah kelahiran dan kematian bayi. Tingginya jumlah kematian mengindikasikan kondisi kesehatan masyarakat
yang buruk. Pada data Kabupaten Manggarai Barat tahun 2017 menunjukkan bahwa terdapat 4.740 bayi yang
lahir hidup dan 14 yang sakit hingga meninggal pada tahun 2016 (Biro Pusat Statistik dari Kabupaten Manggarai
Barat, 2017), hal ini menunjukkan bahwa kematian bayi kurang dari 1%.
Data mengenai status kesehatan masyarakat di tingkat desa tidak tersedia pada saat survei ESIA dilakukan,
akan tetapi informasi terkait penyakit, fasilitas kesehatan dan kondisi perumahan di bagian berikut akan
membantu pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi kesehatan masyarakat
Pada tahun 2016, terdapat 2.085 unit Posyandu aktif yang tercatat di Kabupaten Manggarai Barat dan sebanyak
9,83% merupakan kader aktif di Kecamatan Sano Nggoang. Banyaknya masyarakat di Kabupaten Manggarai
Barat yang mendapat rujukan perawatan ke fasilitas kesehatan lain seperti rumah sakit pemerintah, rumah sakit
swasta dan praktik dokter relatif kecil. Kabupaten memiliki satu rumah sakit umum yaitu Rumah Sakit Umum
Daerah Manggarai Barat yang terletak di Jalan Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, rumah
sakit swasta yang ada adalah Rumah Sakit Siloam yang terletak di Labuan Bajo pula. Kedua rumah sakit
diprioritaskan bagi masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat. Dalam hal ketersediaan personel kesehatan, data
Statistik Kabupaten Manggarai Barat (2017) mengidentifikasi bahwa terdapat 1 dokter spesialis, 16 dokter umum
dan 6 dokter gigi yang bekerja di beberapa pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pada 2016; pekerja
kesehatan lain meliputi 369 perawat, 213 bidan, dan 238 personel medis lain.
Sementara itu, fasilitas kesehatan di Kecamatan Sano Nggoang didominasi oleh pusat kesehatan terpadu
(Posyandu) (42 unit) dan pusat kesehatan desa (Poskedes) (9 Unit). Jika masyarakat kecamatan Sano Nggoang
dirujuk ke Rumah Sakit, maka mereka harus pergi ke Labuan Bajo untuk mendapat perawatan di Rumah Sakit
Umum Daerah Manggarai Barat.
Pada tingkat desa, Desa Wae Sano memiliki 1 Pustu (Puskesmas Pembantu) dan 3 Posyandu (Pusat Pelayanan
Kesehatan Terpadu); Desa Sano Nggoang memiliki 2 Poskesdes (Pusat kesehatan Desa) dan 4 Posyandu; dan
Desa Pulau Nuncung hanya memiliki 2 Posyandu. Terdapat 2 perawat di Pustu Desa Wae Sano; dan terdapat 1
perawat dan 1 bidan di Poskesdes Desa Sano Nggoang.
6.5.4. Perumahan
Pada tahun 2016, data statistik Manggarai Barat (Biro Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat, 2017)
menunjukkan bahwa sekitar 85,84% status tempat tinggal merupakan milik pribadi. Persentase kedua terbesar
Di area perkotaan yang padat penduduk dimana kepemilikan rumah tinggal dapat menjadi masalah sosial dan
sering digunakan untuk mengindikasikan tingkat kemiskinan, sedangkan ketika mayoritas masyarakat mampu
untuk tinggal di rumah mereka sendiri, hal ini dapat mengindikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
relatif baik. Informasi lebih lanjut mengenai kondisi tempat tinggal masyarakat seharusnya dipertimbangkan
untuk pemahaman tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, seperti ketersediaan air bersih, listrik dan
sanitasi sebagaimana didiskusikan pada bagian berikut.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2015 (Biro Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat, 2016),
jenis atap yang paling banyak digunakan sebagai bagian dari rumah didominasi oleh atap seng dengan
persentase 95,35% diikuti dengan atap berjenis ijuk/jerami sekitar 2,58%. Sedangkan jenis dinding terbanyak
masih didominasi oleh jenis anyaman bambu sekitar 36,95%, kemudian diikuti oleh dinding kayu dan dinding
batako masing-masing sebesar 35,87% dan 22,62%. Jenis lantai paling banyak didominasi oleh lantai semen
sekitar 57,29%, sedangkan jenis lantai tanah sekitar 25,03%. Kondisi ini sama seperti yang teramati pada area
tempat tinggal di tiga desa Wae Sano, Sano Nggoang dan Pulau Nuncung.
Sumber air bersih yang diperoleh rumah tangga di Kabupaten Manggarai Barat didominasi oleh mata air
terlindungi sebesar 39,66% dan mata air tak terlindungi sebesar 17%. Salah satu dari mata air pegunungan
disebut Golo Lampang yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga. Masyarakat di
desa Wae Sano sebagian besar menggunakan mata air pegunungan Poco Dedeng yang dialirkan melalui pipa
ke pemukiman penduduk. Sumber air bersih lain meliputi air kemasan botol dan sumur bor/pompa. Hal ini juga
teridentifikasi pada tiga desa.
Sumber penerangan utama yang digunakan oleh rumah tangga di Kabupaten Manggarai Barat adalah listrik dari
PLN (Perusahaan Listrik Negara) sekitar 47%. Selain itu, masih banyak orang yang menggunakan sumber
penerangan selain listrik dalam bentuk lampu tradisional (pelita/sentir) atau obor sebanyak 34,91%, hal ini
karena PLN belum dapat menjangkau area atau penduduk tidak mampu membayar penggunaan listrik dari PLN.
Sementara itu, masyarakat di area studi umumnya menggunakan lampu SEHEN (Super Ekstra Hemat Energi)
atau lampu yang menggunakan tenaga surya, yang disediakan oleh PLN atau perusahaan swasta lainnya, atau
generator pribadi sebagai sumber penerangan. Lampu SEHEN masih aktif digunakan oleh masyarakat namun
mulai menurun penggunaanya karena kesulitan dalam pengisian ulang daya baterai atau untuk pelanggan yang
tidak mampu membayar. Masyarakat biasanya dikenakan biaya Rp. 37.000 per bulan untuk berlangganan
penggunaan lampu atau mereka harus membayar Rp. 3.000.000 untuk pemasangan per unit.
Sistem tenaga surya untuk rumah tidak cukup untuk menyediakan listrik selama 24 jam. Listrik yang terbatas ini
digunakan untuk keperluan rumah tangga saja. Tidak ada sarana umum yang menggunakan listrik (penerangan
umum, telepon umum, dsb) tersedia.
6.5.4.4. Sanitasi
Fasilitas penting lain untuk mengukur tingkat kesejahteraan adalah kepemilikan toilet (kakus), karena hal ini
memengaruhi kesehatan lingkungan. Pada 2016, rumah tangga yang memiliki toilet sendiri di Kabupaten
Manggarai Barat adalah sekitar 55,34%. Tempat pembuangan tinja masih didominasi dengan pembuatan lubang
dan penimbunan limbah (sekitar 49,92%), sementara 24,37% penduduk menggunakan tangki sebagai tempat
pembuangan tinja dan 21,14% penduduk memilih buang air besar di pantai/tanah kosong/halaman; sisanya
memilih buang air besar di kolam/sawah/sungai/danau/laut. (Biro Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat,
2017). Hal ini karena mereka tidak memiliki toilet di rumah. Hal ini menggambarkan kesadaran masyarakat yang
rendah tehadap kesehatan dan sanitasi lingkungan.
Pada tahun 2016, total pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas masing-masing adalah 1.016 dan 24 kasus. Dari
24 kecelakaan lalu lintas, ada 19 korban meninggal, 10 luka parah dan 12 luka ringan. Seluruh korban yang
meninggal mendapat kompensasi dari PT Jasa Marga, operator jalan tol milik pemerintah yang membangun dan
menyediakan layanan jalan tol di Indonesia. Namun. kerugian finansial pada tahun 2016 hampir dua kali lipat
lebih tinggi dibanding tahun 2015. Tabel berikut memperlihatkan jumlah pelanggaran dan kecelakaan di
Manggarai Barat sejak tahun 2012 hingga 2016.
Table 6-21 Number of Traffic Violations and Accidents in West Manggarai, 2012 - 2016
Tahun Total Total Kematian Cidera Serius Cidera Ringan Kerugian
Pelanggaran Kecelakaan (Orang) (Orang) (Orang) Finansial
Lalu Lintas (Ribu Rupiah)
2012 3.073 24 8 39 24 176.450
2013 2.116 21 14 8 5 73.100
2014 3.889 28 9 14 23 92.250
2015 1.300 35 20 9 31 47.000
2016 1.016 24 19 10 12 82.650
Sumber: (Central Bureau of Statistics of West Manggarai Regency, 2017)
1. Pra-Sosialisasi;
Pra-sosialisasi didakan untuk mengenalkan kegiatan Eksplorasi Panas Bumi Waesano pada masyarakat.
Kemudian, tahapan pertama dari konsultasi publik diadakan untuk mengkomunikasikan gambaran Proyek
Waesano dan potensi dampak lingkungan dan sosial, untuk mendiskusikan proses ESIA serta untuk menangkap
aspirasi masyarakat tentang Proyek tersebut. Disebabkan adanya kesenjangan yang teridentifikasi dari
konsultasi tahap pertama, sesi konsultasi lainnya diadakan sebelum tahap kedua konsultasi pemangku
kepentingan yang direncanakan diadakan setelah penyelesaian ESIA. Sebagai tambahan terhadap hal ini,
konsultasi dengan masyarakat setempat juga diadakan selama survei rona awal sosial ekonomi untuk ESIA.
Wawancara sosial ekonomi menggunakan kuesioner persepsi masyarakat yang dilakukan pada bulan November
2016 dan Maret 2017. Dari 96 responden, sebagian besar dari mereka (85 responden) setuju terhadap rencana
Proyek dan sekitar 8% dan 3% masing-masiing tidak setuju dan tidak menjawab, lihat Gambar 6-41.
8%
3%
Setuju
Tidak Menjawab
89% Tidak Setuju
Banyak responden menyatakan kekhawatiran bahwa Proyek akan menyebabkan polusi lingkungan (15%),
bencana alam dan kerusakan lingkungan (17%), dan sekitar 14% responden menyampaikan rasa takut akan
kegagalan dalam proses pengembangan panas bumi. Kerusakan lingkungan yang ditakutkan oleh responden
merujuk pada kegiatan pengeboran yang dapat berdampak pada keseimbangan ekosistem, peningkatan
timbulnya penyakit, mempengaruhi keindahan alam dan lingkungan setempat, atau menyebabkan polusi
lingkungan seperti polusi udara yang akan mengganggu kesehatan masyarakat.
Sebanyak 33% responden mengekspresikan bahwa mereka mengharapkan Proyek berhasil, dan 11%
responden berharap pekerja Proyek harus berasal dari area setempat. Mereka juga berharap bahwa Proyek
akan meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, harapan lain masyarakat ditunjukkan pada Gambar 1-
34 pada Lampiran I Profil Kondisi Awal Masyarakat.
Sama Pentingnya
Kemiringan 1,00 0,69 0,41 0,41 0,84 0,69 0,58 0,69 0,69
Perencanaan Tata
Ruang 1,44 1,00 0,84 0,69 0,58 0,41 0,48 0,69 1,00
Status Kehutanan 2,47 1,19 1,00 2,47 1,71 1,00 1,44 2,92 2,47
Potensi Reseptor
Sensitif 2,47 1,44 0,41 1,00 1,19 0,69 0,69 1,44 2,92
Hidrologi 1,19 1,71 0,58 0,84 1,00 0,33 0,48 1,44 1,19
Indeks Kerentanan
Bencana 1,44 2,47 1,00 1,44 3,00 1,00 1,44 2,47 2,47
Geologi 1,71 2,08 0,69 1,44 2,08 0,69 1,00 1,44 2,47
Hidrogeologi 1,44 1,44 0,34 0,69 0,69 0,41 0,69 1,00 0,69
Tutupan Lahan 1,44 1,00 0,41 0,34 0,84 0,41 0,41 1,44 1,00
Total Baris 14,60 13,02 5,68 9,33 11,94 5,63 7,22 13,55 14,90
Setelah itu matriks perbandingan berpasangan dinormalisasikan agar menghasilkan bobot. Matriks dinormalisasikan dengan membagi nilai pada masing-masing sel baris dengan total sel
baris pada masing-masing kolom. Jumlah nilai pada masing-masing kolom akan sama dengan 1. Terakhir, vektor bobot parameter dibuat dengan merata-rata nilai pada masing-masing
sel baris dari matriks perbandingan berpasangan yang dinormalisasikankan. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6-24.
Kemiringan 0,07 0,05 0,07 0,04 0,07 0,12 0,08 0,05 0,05 0,0677 7%
Perencanaan
Tata Ruang 0,10 0,08 0,15 0,07 0,05 0,07 0,07 0,05 0,07 0,0783 8%
Status Kehutanan 0,17 0,09 0,18 0,26 0,14 0,18 0,20 0,22 0,17 0,1780 18%
Potensi Reseptor
Sensitif 0,17 0,11 0,07 0,11 0,10 0,12 0,10 0,11 0,20 0,1199 12%
Hidrologi 0,08 0,13 0,10 0,09 0,08 0,06 0,07 0,11 0,08 0,0891 8%
Indeks
Kerentanan
Bencana 0,10 0,19 0,18 0,15 0,25 0,18 0,20 0,18 0,17 0,1772 18%
Geologi 0,12 0,16 0,12 0,15 0,17 0,12 0,14 0,11 0,17 0,1402 14%
Hidrogeolo-gi 0,10 0,11 0,06 0,07 0,06 0,07 0,10 0,07 0,05 0,0767 8%
Tutupan Lahan 0,10 0,08 0,07 0,04 0,07 0,07 0,06 0,11 0,07 0,0729 7%
Total Baris 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 100%
CI = λmax - N/ N -1
CR = CI / RI
Dimana:
N = Jumlah parameter (N=9)
λmax = Nilai eigen maksimum dari N matriks urutan
CI = Indeks Konsistensi
RI = Indeks Acak (RI = 1.45)
CR = Rasio Konsistensi
PENILAIAN KONSISTENSI
λ-n 0,34
CI 0,04
CR * 0,03
Hasilnya menunjukkan bahwa rasio konsistensi kurang dari 0,1 yang berarti adanya inkonsistensi masih dapat
ditoleransi dan penilaian dapat diandalkan.
KemiringanKemir
Perencanaan Tata Ruang (8%)
Status Hutan (18%)
Potensi Receptor Sensitif (12%)
Hidrologi (9%)
Indeks Kerentanan Bencana (18%)
Geologi (14%)
Hidrogeologi (8%)
Tutupan Lahan(7%)
Dimana
Ts = Nilai kesesuaian
xi = Nilai sel raster
wi = Faktor bobot
Hasil dari metode jumlah terbobot adalah rentang maksimum dan minimum skor total piksel. Untuk mengenali
bagian yang paling sesuai, hasil digolongkan menurut penggolongan indeks kesesuaian. Penggolongan
selanjutnya menghasilkan Indeks Sensitivitas. Hasil masing-masing parameter sensitivitas tersebut dijelaskan
pada lampiran K Peta Sensitivitas berdasarkan Parameter.
Hasil pemetaan sensitivitas partisipatif disajikan dalam Gambar 4.4 berikut ini. Proses dan
keterlibatan masyarakat untuk menghasilkan peta dijelaskan pada Lampiran H Rencana Pelibatan
Pemangku Kepentingan.
Indeks Sensitiivtas
No Parameter
Penjelasan WS-A dianggap sebagai area yang WS-B dianggap sebagai area yang sangat WS-D dianggap area dengan WS-E dianggap area dengan
sangat sensitif karena jaraknya sensitif dikarenakan jaraknya yang relatif sensitivitas tinggi karena lokasinya sensitivitas rendah – medium.
yang relatif dekat dengan mata air terletak dalam area hutan lindung. Sebagian besar area sekitar adalah
dekat ke area pemukiman masyarakat.
yang digunakan oleh masyarakat Sebagian besar area adalah semak semak belukar. Tidak ada tanaman
Berlokasi dalam desa hitoris tua yang
sebagai sumber air bersih mereka. belukar. Tidak ada tanaman pangan, pangan, sumber air atau area
disebut Kampung Laja untuk Keluarga
Dekat lokasi WS-A adalah warisan sumber air atau area pemukiman pemukiman yang teridentifikasi. Satu-
sejarah Compang yang dianggap Nunang. Aktivitas pengujian dan teridentifikasi. Penyelidikan lebih lanjut satunya parameter dengan sifat
sebagai cagar budaya signifikan. pengeboram sumur memiliki sejumlah harus dilakukan untuk mengidentifikasi penting yang tinggi adalah terkait
Namun, berdasarkan wawancara potensi dampak negatif pada penduduk besaran dampak dan tindakan yang kenaikan persentase lereng. Desain
Penjelasan Basecamp Area penyimpanan Penampungan material Penampungan material Penampungan material WTP 1 dianggap area WTP 1 dianggap area
pengeboran sama dengan WS-A galian 1 dianggap area galian 2 dianggap area galian 3 sama dengan yang sangat sensitif yang sangat sensitif
dianggap sebagai area dan dianggap memiliki dengan sensitivitas dengan sensitivitas WS-A dan dianggap karena relatif dekat karena relatif dekat
dengan sensitivitas sensitivitas tinggi medium. Kebanyakan medium. Kebanyakan memiliki sensitivitas dengan Danau Sano dengan Danau Sano
medium. Sebagian karena jaraknya yang areanya adalah areanya adalah tinggi karena jaraknya Nggoang dan mata air Nggoang dan mata air
besar area sekitarnya relatif dekat dengan tanaman. Sumber air tanaman. Sumber air yang relatif dekat yang digunakan oleh yang digunakan oleh
adalah tanaman mata air yang dan area pemukiman dan area pemukiman dengan mata air yang masyarakat untuk masyarakat untuk
pangan. Sumber air digunakan oleh teridentifikasi pada teridentifikasi pada digunakan oleh sumber utama air sumber utama air
dan area pemukiman masyarakat sebagai jarak medium. jarak medium. masyarakat sebagai bersih mereka. bersih mereka.
teridentifikasi pada sumber air bersih Parameter lain dengan Parameter lain dengan sumber air bersih Penyelidikan lebih Penyelidikan lebih
jarak medium. utama mereka. Dekat sifat penting medium sifat penting medium utama mereka.. Dekat lanjut harus dilakukan lanjut harus dilakukan
Parameter lain dengan WS-A ditemukan adalah terkait dengan adalah terkait dengan WS-A ditemukan untuk mengidentifikasi untuk mengidentifikasi
sifat penting medium adanya warisan historis bencana dikarenakan bencana dikarenakan adanya warisan historis besaran dampak dan besaran dampak dan
terkait perencanaan yang disebut Compang; kenaikan persentase kenaikan persentase yang disebut Compang; tindakan yang tindakan yang
tata ruang dan yang dianggap sebagai lereng. Desain yang lereng. Desain yang yang dianggap sebagai diperlukan untuk diperlukan untuk
kerawanan bencana cagar budaya yang tepat akan digunakan tepat akan digunakan cagar budaya yang mengelola potensi mengelola potensi
banjir, penurunan signifikan. Namun, untuk mengelola risiko untuk mengelola risiko signifikan. Namun, dampak negatif pada dampak negatif pada
muka tanah, dan bersarkan wawancara akan digunakan untuk akan digunakan untuk bersarkan wawancara mata air dan badan air. badan air.
tornado sebagai dengan Tua Golo mengelola risiko dan mengelola risiko dan dengan Tua Golo
bencana alam yang Lempe, Compang persentase lereng. persentase lereng. Lempe, Compang
paling umum di dapat direlokasi. dapat direlokasi.
Kabupaten Manggarai
Barat.
Sumber: Hasil GIS berdasarkan analisis tata ruang, 2016
Kebisingan;
Tanah;
Sebagaimana dijelaskan pada Bagian 3, kajian sifat penting dampak baik sebelum dan sesudah mitigasi
dijelaskan oleh tingkat keparahan setiap dampak yang mungkin terjadi, sensitivitas reseptor lingkungan dan
probabilitas suatu kejadian yang akan terjadi. Dalam bagian ini potensi dampak tanpa perubahan penting pada
kondisi lingkungan tidak dilaporkan. Setiap aspek lingkungan di atas telah dipertimbangkan untuk berbagai
komponen Proyek selama tahap eksplorasi. ESIA ini mempertimbangkan aktivitas terkait dengan tahap
eksplorasi dan aktivitas dari skenario eksploitasi secara umum/tipikal. Bagian 7.2 menyajikan ringkasan sifat
penting dampak lingkungan sisa (setelah mitigasi) dari dampak yang teridentifikasi.
Harus diperhatikan bahwa jumlah well pad yang disebutkan pada deskripsi Proyek menunjukkan 6 well pad dan
hanya 3 well pad terpilih untuk tahap eksplorasi. Analisis ini membahas semua well pad yang direncanakan (6
ditambah base camp dan sumur reinjeksi).
Penerima dampak atau reseptor sensitif terhadap potensi dampak kualitas udara karena Proyek Eksplorasi
Panas Bumi adalah penduduk setempat yang tinggal dekat dengan area Proyek. Berdasarkan pemetaan
sensitivitas pada Gambar 6-44, reseptor sensitif yang diperkirakan adalah Dusun Nggoang, Dasak, Nunang
Lempe dan Taal, yang merupakan are pemukiman terdekat pada lokasi well pad yang direncanakan.
Menurut pedoman untuk penggunanya (ENVIRON International Corporation, 2013), tujuan metode CalEEMod
adalah untuk menyediakan kerangka yang seragam bagi Lembaga/insitusi pemerintah, perencana tata guna
lahan, dan profesional lingkungan untuk memperkirakan potensi emisi berkaitan dengan penggunaan baik
konstruksi maupun operasional dari suatu proyek tata guna lahan. Hal ini dimaksudkan bahwa estimasi emisi ini
sesuai untuk penggunaan pada dokumen ketaatan California Environmental Quality Act (CEQA) untuk kualitas
udara dan dampak perubahan iklim. Akan tetapi, pengguna individu dapat mengembangkan penggunaan
tambahan untuk estimasi emisi dari model tersebut untuk menunjukkan ketaatan terhadap peraturan lembaga
setempat.
CalEEMod menggunakan model yang diterima secara luas untuk estimasi emisi yang dikombinasikan dengan
data awal yang sesuai yang dapat digunakan jika informasi spesifik lokasi tidak tersedia. Selain itu, pengguna
diberikan kesempatan untuk memberikan nilai tetap (default values) dan metodologi dari peraturan yang sudah
ada untuk penggunaan pada wilayah spesifik mereka. Jika tidak ada informasi yang disediakan oleh pengguna,
digunakan nilai yang berlaku di Amerika yang sesuai jika perbedaan regional tidak dapat ditentukan. Panduan
pengguna CalEEMod juga memperingatkan bahwa sebagian besar data default terkait dengan lokasi dan tata
guna lahan didasarkan pada survei atas tata guna lahan yang ada. Harus diperhatikan jika proyek menyimpang
secara signifikan dari jenis dan tampilan/fitur yang disertakan pada survei yang membentuk bukti substansial
yang mendukung data default. Pada situasi ini data spesifik lokasi yang didukung oleh bukti substansial harus
digunakan jika tersedia.
Indonesia tidak memiliki peraturan atau pedoman spesifik terkait metode untuk estimasi emisi konstruksi. Oleh
karena itu untuk Proyek ini CalEEMod digunakan. Estimasi emisi dihitung menggunakan data terakhir yang
tersedia, asumsi-asumsi dan faktor-faktor emisi pada saat dokumen ini dipersiapkan. Studi selanjutnya mungkin
menggunakan data yang diperbaharui, asumsi-asumsi, dan faktor-faktor emisi yang mungkin belum tersedia saat
ini.
Berdasarkan jadwal proyek yang disediakan oleh Pemrakarsa Proyek, konstruksi dai rencana proyek akan
terbagi pada empat tahap konstruksi utama. Tahap konstruksi pertama adalah perbaikan jalan akses utama.
Berbagai sumber emisi konstruksi dipertimbangkan dalam CalEEMod untuk perhitungan emisi. Sumber emisi
utama yang dibuat modelnya pada CalEEMod untuk konstruksi rencana Proyek meliputi hal-hal berikut ini:
Emisi gas buang dari kendaraan on-road dan peralatan bergerak yang dikaitkan dengan perjalanan
bolak-balik dari para pekerja, vendor, dan perjalanan pengangkutan;
Emisi fugitive dari perataan permukaan tanah (grading), debu yang terbawa roda, kandungan debu dari
arus udara turbulen pada jalan yang tidak diperkeras, erosi angin dari tumpukan material konstruksi
yang tidak ditutup, pengangkutan material, dsb.
Tabel 7-1 Jadwal Konstruksi Rencana Proyek
Tahap (a) Jenis Tahap Tanggal Mulai Tanggal Berakhir Perkiraan Perkiraan
CalEEMod (bln/tgl/thn) (bln/tgl/thn) Luas Area Durasi
(ha)
Perbaikan Jalan Perataan (kasar) November 2018 Februari 2019 0,74 3 Bulan
Akses Utama
Konstruksi Well Perataan (halus) November 2018 Februari 2019 0,54 – 1,03 3 Bulan
pad Slimhole Konstruksi Bangunan November 2018 Februari 2019 0,54 – 1,03 3 Bulan
Konstruksi Well Perataan (halus) Januari 2020 Maret 2020 1,35 – 2,38 2 Bulan
pad Standar Konstruksi Bangunan Januari 2020 Maret 2020 1,35 – 2,38 2 Bulan
Penutupan Lokasi Pembongkaran Mei 2020 Juli 2020 0,54 – 2,38 2 Bulan
Catatan:
(a) Berdasarkan jadwal tahap konstruksi dari Pemrakarsa Proyek. Konstruksi well pad meliputi konstruksi fasilitas lain dan
mobilisasi rig pengeboran.
Emisi CO, NOx, SO2, PM10, and PM2.5 dari peralatan konstruksi off-road dihitung dalam CalEEMod
menggunakan faktor emisi yang diambil dari model kualitas udara OFFROAD 2011 (ENVIRON International
Corporation, 2013) untuk peralatan off-road berdasarkan jenis peralatan dan peringkatan daya kuda
(horsepower) peralatan. Tabel 7-2 di bawah ini merangkum daftar peralatan konstruksi yang digunakan pada
model CalEEMod untuk menghitung emisi dari peralatan konstruksi off-road.
Emisi gas buang yang terkait dengan kendaraan on-road dihitung dalam CalEEMod menggunakan model default
dari campuran berbagai armada kendaraan, faktor emisi diambil dari faktor emisi sumber bergerak on-road pada
model EMFAC2014 bersama dengan estimasi default mengenai jumlah dan panjang perjalanan kendaraan on-
road untuk pekerja dan vendor. Perjalanan kendaraan dan panjang perjalanan yang diperkirakan untuk rencana
Proyek dirangkum dalam Tabel 7-3 di bawah ini. Untuk menghitung emisi yang akan dihasilkan dari peralatan
bergerak on-road selama pengangkutan keluar lokasi (off-site), tambahan perjalanan vendor dan jarak mil yang
ditempuh kendaraan ditambahkan pada estimasi emisi kendaraan on-road.
Tabel 7-3 Perkiraan Perjalanan Kendaraan Konstruksi dan Panjang Perjalanan untuk Rnecana
Proyek
Panjang Panjang Panjang
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Perjalanan Perjalanan Perjalanan
Tahap Peralatan Perjalanan Perjalanan Perjalanan
Pekerja Vendor Pengangkutan
On-road Pekerja Vendor Pengangkutan
(mile) (mile) (mile)
Perbaikan 8 20 0 50 (c) 16.8 6.6 20
Jalan
Akses
Utama
Konstruksi 17 96 (a) 38 (b) 50 (c) 16.8 6.6 20
Well pad
Slimhole
Konstruksi 17 32 (d) 13 (b) 13 (c) 16.8 6.6 20
Well pad
Standard-
Hole
Penutupan 6 15 (e) 0 0 16.8 6.6 20
Lokasi
Catatan:
(a) 96 perjalanan pekerja didasarkan pada jumlah total pekerja konstruksi dari Pemrakarsa;
(b) Jumlah perjalanan vendor diasumsikan 40% perjalanan pekerja;
Emisi debu fugitive dalam bentuk PM10 and PM2.5 akan dihasilkan oleh berbagai sumber kegiatan yang terjadi
pada lokasi konstruksi Proyek. Evaluasi emisi fugitive selama konstruksi melibatkan sumber emisi seperti debu
dari pemindahan material dan lalu lintas kendaraan yang diakibatkan dari kegiatan konstruksi. Pemindahan
material selama konstruksi paling banyak terkait dengan tahap perataan permukaan tanah (grading). Emisi
fugitive dari pemindahan material dihitung dalam CalEEMod berdasarkan asumsi-asumsi model default bersama
dengan estimasi proyek tambahan sebesar 400 cubic yards tanah yang didatangkan per hari. Emisi debu fugitive
yang dikaitkan dengan lalu lintas kendaraan seperti perjalanan bolak-balik pekerja dan vendor dan perjalanan
pengangkutan dihitung dalam model berdasarkan faktor emisi dari EMFAC2014 bersama dengan perkiraan
jumlah perjalanan dan jarak tempuh kendaraan (mile), dirangkum pada Tabel 7-3 di atas. Emisi yang dikaitkan
dengan rencana kegiatan konstruksi dihitung dalam model CalEEMod.
Karena Indonesia tidak memiliki perundang-undangan terkait ambang batas untuk emisi konstruksi, untuk tujuan
studi ini, dampak emisi konstruksi dinilai berdasarkan ambang batas yang ditetapkan oleh the South Coast Air
Quality Management District in southern California (SCAQMD, 2015). Rencana Proyek mungkin akan
mengakibatkan timbulnya emisi terkait konstruksi yang melebihi ambang batas signifikan harian SCAQMD
apapun.
Tabel 7-4 menyajikan ringkasan emisi konstruksi harian puncak per tahapan pekerjaan. Sebagaimana
ditunjukkan pada tabel, ambang batas emisi harian SCAQMD tidak akan melebihi emisi konstruksi harian
puncak. Kontributor terbesar pada emisi konstruksi harian puncak adalah perbaikan jalan akses utama dan
konstruksi well pad slimhole.
Tabel 7-4 Emisi Harian Puncak untuk Masing-Masing Tahap dan Tahun Konstruksi (Belum
Dimitigasi)
Tahap Emisi Harian Puncak (lb/day) (a)
NOx CO SO2 PM10 Total PM2.5 Total
Ambang Batas (b) 100 550 150 150 55
Perbaikan Jalan Akses Utama 60 36 0 10 6
(c)
Signifikan? TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
Konstruksi Well pad Slimhole 60 36 0 12 6
Signifikan? (c) TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
Konstruksi Well pad Standar 27 19 0 8 5
Signifikan? (c) TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
Penutupan Lokasi 33 22 0 4 2
Signifikan? (c) TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
Catatan:
(a) Estimasi emisi yang disajikan dalam tabel ini dihitung menggunakan data terakhir yang tersedia, asumsi-asumsi, dan
faktor-faktor emisi pada saat dokumen ini disiapkan. Studi selanjutnya mungkin menggunakan data yang diperbaharui,
asumsi-asumsi, dan faktor-faktor emisi yang saat ini tidak tersedia.
(b) ambang batas ditetapkan oleh the South Coast Air Quality Management District (SCAQMD, 2015).
(c) Sifat penting dampak ditentukan dengan membandingkan emisi harian puncak tertinggi secara langsung terhadap
ambang batas.
Aktivitas: Mobilisasi peralatan dan material, pembersihan dan persiapan lahan, perbaikan jalan akses
dan pembangunan well pad dan infrastruktur.
Penjelasan: Peralatan konstruksi off-road dan on-road akan menghasilkan emisi karena pembakaran
bahan bakar dan operasi peralatan. Emisi debu fugitive juga akan dihasilkan oleh berbagai hal
Emisi harian puncak NOx selama tahap konstruksi tidak diprediksikan melebihi ambang batas
SCAQMD. Dengan demikian, tingkat keparahan dampak dinilai sebagai rendah. Emisi NOx
diperkirakan menyebar ke area pemukiman masyarakat; namum konsentrasi di udara
diperkirakan sebagai dampak minor yang terjadi dalam jangka pendek selama konstruksi.
Sehingga sensitivitas dampak disimpulkan sebagai medium. Dengan tingkat keparahan
dampak rendah dan sensitivitas medium, tanpa mitigasi sifat penting dampak dianggap
moderat.
Mitigasi: UKL-UPL mensyaratkan sejumlah tindakan mitigasi termasuk menggunakan kendaraan yang
telah lolos uji emisi, pemeliharaan mesin berkala, membatasi jam operasional untuk alat berat
atau perlu perhatian terhadap kegiatan terutama pada area yang berdekatan dengan kegiatan
masyarakat, dan melengkapi pekerja dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai. Selain
pada ESIA ini, Rencana Pengelolaan Kendaraan dan Lalu Lintas (Vehicle Traffic Management
Plan-VTMP) harus dipersiapkan, yang akan mencakup
Emisi gas buang dari pengoperasian peralatan off-road dan on-road pada area Proyek
termasuk truk, ekskavator, generator diesel atau peralatan mesin lainnya, akan
dikendalikan oleh kontraktor dengan memastikan bahwa emisi diminimalisir dengan
melakukan perawatan/servis mesin secara berkala untuk memenuhi standar emisi yang
relevan;
Memastikan mesin kendaraan dan peralatan di lokasi Proyek dimatikan apabila tidak
digunakan;
Jadwal pergerakan kendaraan dan jumlah kendaraan yang beroperasi pada waktu tertentu
untuk membatasi emisi yang ditimbulkan;
Mesin dan peralatan yang akan digunakan dalam Proyek harus sesuai dengan spesifikasi
teknis yang ditentukan atau standar desain kinerja peralatan yang diakui;
Personil yang relatif setiap saat bekerja di lokasi proyek harus selalu memiliki APD yang
memadai; dan
Aktivitas: Mobilisasi peralatan dan material, pembersihan dan persiapan lahan, perbaikan jalan akses
dan pembangunan well pad dan infrastruktur.
Penjelasan: Emisi debu fugitive yang dihasilkan oleh berbagai sumber aktivitas terjadi pada lokasi
konstruksi Proyek seperti pekerjaan tanah untuk penggalian dan pekerjaan sipil terkait
konstruksi well pad, pembuangan serbuk bor sumur, pembersihan vegetasi, timbunan tanah,
dan pergerakan peralatan dan kendaraan. Pekerjaan tanah untuk penggalian dan pekerjaan
sipil terkait konstruksi well pad, pembersihan vegetasi, penimbunan tanah, dan pergerakan
peralatan dan kendaraan akan menghasilkan emisi karena debu fugitive.
Emisi debu diperkirakan menyebar hanya dalam lokasi sumber saja. Sehingga sensitivitas
dampak adalah medium. Dengan tingkat keparahan dampak rendah dan sensivitas medium,
tanpa mitigasi sifat penting dampak dianggap minor.
Mitigasi: UKL-UPL mensyaratkan tindakan mitigasi meliputi penyiraman jalan secara berkala terutama
selama musim kemarau; pembatasan jam pengoperasian alat berat atau kegiatan terutama
pada area yang berdekatan dengan kegiatan masyarakat; mengontrol kecepatan kendaraan di
lokasi Proyek terutama selama musim kemarau dan kondisi berangin; menutupi truk; dan
melengkapi para karyawan dan pekerja dengan APD yang memadai untuk perlindungan
terhadap debu. Selain itu, tindakan mitigasi berikut ini akan dimasukkan dalam ESMP:
Untuk volume timbunan material yang dapat ditangani, dapat digunakan geotekstil untuk
menutupi timbunan tanah guna mencegah erosi dan debu diakibatkan oleh angin;
Penyediaan fasilitas pencucian kendaraan untuk meminimalkan jumlah timbunan material
yang tertinggal di jalan akses;
Membatasi ketinggian dari material yang akan diangkut selama masih dapat dilakukan,
untuk meminimalkan debu yang diakibatkan oleh kegiatan bongkar/muat;
Tabel 7-6 menyajikan nilai rata-rata harian emisi zat pencemar yang terkait dengan keseluruhan pengeboran
eksplorasi dari rencana Proyek. Tabel ini mencakup nilai emisi harian maupun penentuan sifat penting dampak.
Sebagaimana ditunjukkan pada tabel ini, nilai ambang batas harian emisi dari SCAQMD mungkin tidak akan
terlewati oleh nilai rata-rata harian emisi NOx pada kegiatan operasi. Penyumbang terbesar terhadap nilai emisi
NOx harian ini adalah operasi rig bor.
Tabel 7-6 Emisi Harian Puncak untuk Rencana Proyek (Belum Dimitigasi)
Sumber Peak Daily Emission (lb/day)
NOx CO SO2 Fug Exh PM10 Fug Exh PM2.5
PM10 PM10 Total PM2.5 PM2.5 Total
Keseluruhan 14 11 0 0.6 0.6 1.2 0.2 0.6 0.8
Tahap
Operasi
Signifikan? No No No NA NA No NA NA No
Catatan: estimasi emisi yang disajikan dalam tabel ini dihitung menggunakan data terakhir yang tersedia, asumsi, dan faktor
emisi pada saat dokumen ini disiapkan.
Penjelasan: Rig pengeboran akan menghasilkan emisi karena pembakaran bahan bakar fosil. Tidak ada
emisi harian selama tahap pengeboran yang diprakirakan melebihi ambang batas SCAQMD.
Oleh karena itu tingkat keparahan dampak dianggap rendah.
Emisi diprakirakan menyebar pada area pemukiman masyarakat dalam periode singkat pada
tingkat yang rendah selama kegiatan konstruksi. Namun, konsentrasinya di udara diharapkan
kembali pulih setelah pengeboran selesai. Dengan demikian, sensitivitas dampak dikaji
sebagai medium. Dengan tingkat keparahan dampak rendah dan sensitivitas medium, tanpa
mitigasi dianggap memiliki sifat penting dampak minor.
Mitigasi: UKL-UPL mensyaratkan tindakan mitigasi periodik pada pemeliharaan pengeboran udara dan
generator listrik, dan tindakan mitigasi berikut ini diikutsertakan dalam ESMP:
Emisi pembuangan uap dari rig pengeboran akan dikendalikan oleh kontraktor dengan
memastikan bahwa emisi diminimalisir melalui servis berkala pada mesin untuk memenuhi
standar emisi yang relevan;
Strategi pemilihan rig pengeboran untuk memperhatikan dampak pada emisi total; dan
Rig pengeboran yang digunakan dalam proyek akan sesuai dengan standar desain kinerja
yang diakui.
Penjelasan: Setelah penyelesaian pengeboran, pada masing-masing sumur akan dilakukan pengujian
aliran selama beberapa jam ke udara. Pengujian sumur mungkin dapat mengeluarkan H2S
yang berpotensi menyebabkan pengaruh buruk pada kesehatan karena paparan jangka
pendek (misal satu jam atau kurang). Jumlah H2S yang dikeluarkan akan bervariasi dari sumur
ke sumur berdasarkan jumlah uap yang ditemukan selama eksplorasi.
Karena dampak kesehatan yang buruk dapat terjadi dalam periode waktu singkat, diasumsikan
bahwa kejadian adanya paparan ini mungkin dapat terjadi dalam kondisi terburuk selama
adanya angin berkecepatan rendah, dan kondisi atmosfer stabil selama waktu yang sebentar
atau tidak ada sebaran zat pencemar yang mungkin akan terjadi. Kondisi ini umum terjadi pada
periode dini hari dalam waktu singkat sebelum atau sejenak setelah matahari terbit.
Emisi H2S akan dikendalikan selama pengujian sumur untuk membatasi volume emisinya.
Oleh karena itu tingkat keparahan dampak dinilai sebagai medium.
Konsentrasi H2S di udara diharapkan kembali pulih setelah pengujian sumur selesai. Sehingga
sensitivitas dampak dikaji sebagai medium. Dengan tingkat keparahan dampak medium dan
sensitivitas medium, dampak dianggap memiliki sifat penting dampak moderat.
• Sosialisasi dengan masyarakat dan kepala desa setempat sebelum memulai pengujian
sumur, terutama tentang prosedur evakuasi keselamatan, apabila terdengar alarm
peringatan dini;
• Mengamankan lokasi sumur dan menetapkan zona aman dan berbahaya di sekitar area
eksplorasi;
• Melengkapi para pekerja dengan APD yang memadai, terutama bagi mereka yang berada
di zona berbahaya;
• Pekerjaan pengeboran dan pengujian sumur perlu dilengkapi dengan rencana tanggap
dan alarm peringatan dini H2S;
• Jika berdasarkan hasil pemantauan konsentrasi H2S melebihi ambang batas, maka akan
dilakukan evaluasi terhadap hasil uji sumur secara seksama untuk menentukan langkah
selanjutnya sehingga konsentrasi H2S di udara ambien sesuai standard yang berlaku.
Sebagai tambahan dalam ESIA ini, mitigasi akan meliputi kebutuhan untuk perencanaan waktu
pelaksanaan pengujian sumur secara vertikal berdasarkan kondisi cuaca (pada keadaan angin
dengan kecepatan rendah); dan memastikan kualitas/integritas sumur untuk mencegah
terjadinya kebocoran.
7.4. Kebisingan
Untuk kajian dampak, kriteria kebisingan spesifik untuk Proyek ditetapkan dengan acuan pada Pedoman IFC
(IFC, 2007) dan Surat Keputusan Kementerian Negara Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996 terkait Baku Mutu
Tingkat Kebisingan Ambien (MENLH, 1996) sebagaimana disajikan pada Tabel 7-7.
Kriteria
Reseptor (a) Periode
Leq (dB(A))
Reseptor Sensitif Off-Site dan On-Site Siang hari (07:00-22:00) 55 (b)
(Fasad Eksternal) Malam hari (22:00 – 07:00) 45 (b)
Siang dan malam hari (00:00 – 24:00) 58 (c)
Industri (pada Batas Well pad ) Siang hari (07:00-22:00) 70 (b)
Malam hari (22:00 – 07:00) 70 (b)
Catatan:
(a) Reseptor sensitf off-site adalah penduduk diluar batas well pad; reseptor sensitif on-site adalah pekerja akomodasi dala
batas well pad;
(b) Dampak kebisingan seharusnya tidak melebihi nilai kriteria atau mengakibatkan peningkatan dalam ambien lebih dari 3
dB(A)
(c) Lima (5) decibel ditambahkan pada kebisingan malam hari yang diperediksikan/diukur (22.00 hingga 07.00).
Tahap konstruksi Proyek akan menghasilkan tingkat kebisingan ambien yang melebihi kriteria spesifik
Proyek sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7-7.
Operasi pengeboran akan menghasilkan tingkat kebisingan ambien yang melebihi kriteria spesifik
Proyek sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7-7.
Untuk mengestimasi tingkat kebisingan dari aktivitas konstruksi, digunakan Road Construction Noise Model
(RCNM) version 1.1 (FHWA, 2006). RCNM telah mengestimasi dampak kebisingan dari alat berat yang
umumnya digunakan dalam aktivitas konstruksi. Jenis dan jumlah peralatan konstruksi yang digunakan selama
masing-masing tahap konstruksi berdasarkan hasil yang diprediksi pada model CalEEMod. Untuk mengestimasi
dampak kebisingan secara konservatif (kasus terburuk), pada masing-masing tahap konstruksi diasumsikan
bahwa semua peralatan akan beroperasi secara bersamaan dan pada beban penuh di lokasi yang sama. RNCM
mengestimasi peningkatan kebisingan pada satu titik reseptor menggunakan formula berikut ini (FHWA, 2006):
Dimana:
CNLi = Kenaikan tingkat bising pada satu reseptor yang diakibatkan dari peralatan i, dalam dB(A)
UF = faktor penggunaan yang menjelaskan fraksi waktu dimana peralatan sedang digunakan, dalam %
Diasumsikan bahwa aktivitas konstruksi hanya akan berlangsung selama siang hari, oleh karena itu
tidak ada kajian yang dilakukan terhadap standar pada malam hari. Pengeboran eksplorasi akan
berlangsung pada siang dan malam hari (24 jam), sehingga kajian dilakukan terhadap semua standar
kebisingan (siang hari, malam hari, serta siang dan malam hari).
Tahap konstruksi pertama melibatkan perbaikan jalan akses utama. Tahap ini diestimasikan memakan waktu
sekitar tiga bulan. Tahap kedua, yang terjadi bersamaan dengan tahap 1 adalah pembangunan well pad untuk
slimhole yang diestimasikan berlangsung selama sekitar tiga bulan. Tahap ketiga adalah pembangunan well pad
untuk standard-hole yang diestimasikan memakan waktu sekitar dua bulan. Tahap terakhir adalah penutupan
lokasi semua well pad yang diestimasikan memakan waktu sekitar dua bulan.
Jenis dan jumlah peralatan konstruksi yang digunakan pada masing-masing tahap konstruksi dan acuan tingkat
tekanan suaranya dicantumkan pada Tabel 7.8. Prakiraan tingkat kebisingan untuk masing-masing tahapan
disajikan pada Tabel 7-9. Berdasarkan tingkat emisi kebisingan yang diprakirakan pada berbagai variasi jarak
yang ditunjukkan dalam tabel tersebut, jarak terhadap tingkat kebisingan yang bervariasi dari setiap tahapan
telah disajikan pada Tabel 7-10.
Tabel 7-8 Daftar Peralatan yang Digunakan pada Tahap Konstruksi Proyek
Tabel 7-9 Tingkat Kebisingan yang Diprediksi pada Berbagai Jarak untuk Masing-Masing
Tahap Konstruksi
Leq (dB(A)) yang Diprediksi
Tahap Konstruksi
50 m 100 m 250 m 500 m 1.000 m 2.000 m 5.000 m
Tahap-1 72 63 51 42 33 24 12
Tahap-2 73 64 52 43 34 25 13
Tahap-3 72 63 51 42 33 24 12
Tahap-4 73 68 55 47 39 32 21
Catatan: Tingkat kebisingan diprediksi berdasarkan penjumlahan sumber kebisingan yang diperkirakan
Tabel 7-9 menunjukkan bahwa potensi dampak kebisingan terbesar terkait dengan Tahap 2 dari tahap konstruksi.
AQ1 dan AQ2 dinilai untuk dampak kebisingan konstruksi kumulatif berdasarkan tingkat kebisingan kondisi awal
yang diukur pada lokasi-lokasi ini. AQ1 dinilai berdasarkan jaraknya terhadap WS-B sedangkan AQ2 diukur
berdasarkan jaraknya terhadap WS-E. Untuk penilaian kondisi terburuk, hanya kontribusi kebisingan Tahap-2
terhadap kondisi rona awal lingkungan yang diukur pada AQ1 dan AQ2 serta dievaluasi terhadap kriteria dampak
disajikan pada Tabel 7-10.
Tabel 7-10 Dampak Kebisingan Konstruksi pada Reseptor Sensitif yang Representatif (Tanpa
Mitigasi)
Reseptor Sensitif Well pad Jarak ke Kontribusi Kebisinga Kebisinga Perubahan Status
yang terdekat well pad Kebisingan n Kondisi n pada Ketaatan
Representatif (m) (Tahap 2) Awal (Ld) Kumulatif Kebisingan (Ya/Tidak)
dB(A) dB(A) (Ld) dB(A) Kondisi
Awal dB(A)
AQ-1 WS-B 375 53 46 53 +7 No
(Dusun Nunang)
AQ-2 WS-E 740 45 44 47 +2 Yes
(Desa Sano
Nggoang)
Catatan:
(a) Tingkat kebisingan dibulatkan pada satu nilai decimal;
(b) Status ketaatan ditentukan dengan membandingkan kebisingan kumulatif siang hari (Ld) terhadap Kriteria Kebisingan Spesifik Proyek yang
relevan sebagaimana disajikan pada Tabel 7-7.
Dampak negatif penting diprakirakan pada AQ-1. AQ2 tidak diprakirakan terdampak oleh kebisingan konstruksi.
AQ1 bukan pemukiman terdekat terhadap WS-B. Pemukiman terdekat hanya berjarak 80 m dari WS-B. Pada
jarak ini, kontribusi kebisingan tahap 2 diprediksi sebesar 70 dB(A) yang menimbulkan kebisingan kumulatif juga
sebesar 70 dB(A). Hal ini mengakibatkan kebisingan pada kondisi awal meningkat lebih dari 10 dB(A) yang
merupakan dampak negatif mayor. Oleh karena itu, penghalang kebisingan harus ada pada lokasi konstruksi
WS-B untuk mengurangi dampak kebisingan terhadap area pemukiman.
Aktivitas: Mobilisasi peralatan dan material, pembersihan dan persiapan lahan, perbaikan jalan akses
serta pembangunan well pad dan infrastruktur.
Penjelasan: Aktivitas konstruksi akan menggunakan mesin yang akan menimbulkan kebisingan, maupun
sejumlah akitivtas terkait dengan pekerjaan sipil yang bersifat bising.
Mitigasi: UKL-UPL mensyaratkan tindakan mtiigasi termasuk penggunaan kendaraan dengan knalpot
dan peredam suara (silencer) sesuai dengan standard/spesifikasi pabrik, terutama kendaraan
yang berpotensi menimbulkan kebisingan; pembatasan jam mobilisasi peralatan dan material
dengan memperhatikan pengoperasian kendaraan dan peralatan di dekat area penduduk; dan
melengkapi para pekerja dengan APD yang memadai. Selain itu, tindakan mitigasi berikut ini
akan diikutkan dalam ESMP.
Apabila kegiatan konstruksi di Well pad WS-B tidak mungkin dihindari, maka perlu
dipasang dinding penghalang kebisingan yang memadai untuk mengurangi sebaran
kebisingan ke pemukiman terdekat yaitu Dusun Nunang;
Membatasi jam pengoperasian peralatan atau kegiatan tertentu yang menimbulkan suara
bising dengan memperhatikan area penduduk yang berdekatan;
Membatasi paparan pekerja yang menangani peralatan yang bising dan bergetar
(penggunaan APD yang memadai);
Kegiatan konstruksi seharusnya dibatasi pada siang hari, walaupun mungkin akan
memerlukan kegiatan sampai malam hari pada situasi tertentu;
Operasi alat berat, pengeboran, pompa lumpur, kompresor dan generator listrik;
Lokasi well pad telah dipilih sejauh mungkin dari desa jika memungkinkan, baik melalui jarak atau kondisi
topografi. Strategi desain ini bertujuan untuk mengurangi potensi kebisingan dan jenis polusi lain. Aktivitas
pengeboran akan berlangsung pada area yang secara geografis atau topografis jauh dari masyarakat.
Jenis dan jumlah peralatan konstruksi yang digunakan pada masing-masing tahap konstruksi dan tingkat acuan
tekanan suaranya dicantumkan pada Tabel 7-11. Tingkat kebisingan yang diprakirakan pada berbagai jarak untuk
setiap tahap disajikan pada Tabel 7-12. . Berdasarkan tingkat emisi kebisingan yang diprakirakan pada berbagai
variasi jarak yang ditunjukkan dalam tabel tersebut, jarak terhadap tingkat kebisingan yang bervariasi dari setiap
tahapan telah disajikan pada Tabel 7-13.
Tabel 7-11 Daftar Peralatan yang Digunakan pada Tahap Pengeboran Sumur
Drill Rigs 1 77
Generator Set 1 78
Catatan:
(a) Kuantitas berdasarkan pada hasil prediksi CalEEMod (lihat Tabel 7-2);
(b) SPL pada jarak 50 feet berdasarkan pada nilai default dari RCNM.
Tabel 7-12 Tingkat Kebisingan yang Diprediksi pada Berbagai Jarak untuk Masing-Masing
Tahap Pengeboran Sumur
50 67
100 62
250 49
500 41
1,000 33
2,000 25
5,000 15
Catatan:
Tingkat kebisingan diprediksi berdasarkan penjumlahan sumber kebisingan yang diprakirakan
AQ1 dan AQ2 dinilai untuk dampak kebisingan pengeboran kumulatif berdasarkan tingkat kebisingan pada
kondisi awal yang diukur pada lokasi-lokasi ini. AQ1 dinilai berdasarkan jaraknya terhadap WS-B sedangkan AQ2
dinilai berdasarkan jaraknya terhadap WS-E. Kontribusi kebisingan pengeboran terhadap kondisi rona awal
lingkungan yang diukur pada AQ1 dan AQ2 serta dievaluasi terhadap kriteria dampak disajikan pada 7-13.
Tabel 7-13 Dampak Kebisingan Konstruksi pada Reseptor Sensitif yang Representatif (Tanpa
Mitigasi)
Perubahan
Reseptor Sensitif Kontribusi Kebisinga Kebisinga pada
Jarak ke Status
yang Well pad Kebisingan n Kondisi n Kebisinga
well pad Kesesuaian
Representatif terdekat (Tahap 2) Awal (Ld) Kumulatif n Kondisi
(m) (Ya/Tidak)
dB(A) dB(A) (Ld) dB(A) Awal
dB(A)
AQ-1 WS-B Siang 44 46 48 2 Ya
(Dusun Nunang)
Malam 44 39 45 6 Tidak
Siang dan 47 (b) 45 49 4 Tidak
malam
AQ-2 WS-E Siang 36 44 45 1 Ya
(Desa Sano Nggoang)
Dampak negatif penting diprakirakan pada AQ-1. AQ2 tidak diprakirakan terdampak oleh kebisingan konstruksi.
AQ1 bukan merupakan pemukiman terdekat dengan WS-B. Pemukiman terdekat hanya berjarak 80 m dari WS-
B. Pada jarak ini, kontribusi kebisingan diprediksi sebesar 62 dB(A) untuk kebisingan siang hari dan malam hari
serta 64 dB(A) untuk kebisingan siang dan malam hari. Hal ini mengakibatkan kebisingan pada kondisi awal
meningkat lebih dari 10 dB(A) yang merupakan dampak negatif mayor. Oleh karena itu, penghalang kebisingan
harus ada pada lokasi konstruksi WS-B untuk mengurangi dampak kebisingan terhadap area pemukiman.
Penjelasan: Aktivitas pengeboran akan menggunakan mesin yang akan menimbulkan kebisingan.
Banyak lokasi well pad dekat dengan pemukiman masyarakat, sehingga tingkat keparahan
dampak dikaji sebagai medium. Kontribusi kebisingan pengeboran pada kondisi rona awal
dinilai pada AQ1 dan AQ2 serta dievaluasi terhadap kriteria dampaknya. Dampak negatif
penting diprakirakan pada AQ1. AQ2 tidak diprakirakan terdampak oleh kebisingan
pengeboran. Namun pemukiman terdekat pada WS-B yang hanya berjarak 80 meter diprediksi
mengalami peningkatan kebisingan rona awal lingkungan lebih dari 10 dB(A). Dengan
demikian, sensitivitas dampak digolongkan sebagai tinggi. Dengan tingkat keparahan medium
dan sensitivitas tinggi, tanpa mitigasi dampak dianggap memiliki sifat penting dampak mayor.
Mitigasi: Jika lokasi well pad perlu diubah, harus dijaga jarak yang sesuai antara lokasi well pad baru
dan desa setempat. Tindakan mitigasi yang disyaratkan dalam UKL UPL meliputi:
Bila konstruksi di Well pad WS-B tidak mungkin dihindari, dinding penghalang kebisingan
yang tepat dipasang untuk mengurangi kebisingan yang menyebar ke pemukiman
terdekat yaitu Dusun Nunang;
ESIA dan ESMP lebih jauh menyaratkan mekanisme keluhan yang efektif untuk mencatat dan
menanggapi keluhan kebisingan.
Kebisingan yang dikaitkan dengan operasi secara umum pada well pad dan base camp (misal operasi
generator)
Aktivitas pengujian sumur akan jauh dari masyarakat lokal dan timbulnya kebisingan substansial hanya akan
berlangsung 4 hingga 8 jam.
Penjelasan: Kegiatan operasi pengujian sumur akan menimbulkan kebisingan dari pelepasan uap tekanan
tinggi. Kebisingan akan mencapai 110 dB pada sumbernya. Oleh karena itu, tingkat keparahan
dampak dinilai sebagai medium.
Sebagian besar lokasi Well pad dekat dengan pemukiman masyarakat; hal ini mengakibatkan
sensitivitas dampak ini menjadi tinggi. Terdapat satu reseptor sensitif yang berjarak kurang dari
100 meter dari well pad yaitu Dusun Nunang. Dengan tingkat keparahan medium dan
sensitivitas tinggi, tanpa mitigasi sifat penting dampak digolongkan sebagai mayor
Mitigasi: UKL-UPL mensyaratkan tindakan mitigasi meliputi penggunaan peredam suara (silencer);
menetapkan zona penyangga; sosialisasi terhadap masyarakat dan pemuka masyarakat
setempat sebelum memulai kegiatan pengujian sumur; dan perawatan mesin uji sumur dan
generator listrik secara berkala. Sosialisasi dibutuhkan sebelum aktiivtas pengujian sumur.
Selain itu, ESIA mensyaratkan hal-hal berikut ini:
Apabila kegiatan konstruksi di Well pad WS-B tidak mungkin dihindari, maka perlu
dipasang dinding penghalang kebisingan yang memadai untuk mengurangi sebaran
kebisingan ke pemukiman terdekat yaitu Dusun Nunang;
Pengujian sumur secara vertikal (vertical discharge) akan dilakukan pada waktu yang
telah dikomunikasikan kepada dan disetujui oleh masyarakat sekitar;
Desain atmospheric separators untuk uji produksi sumur dioptimalkan untuk pengurangan
kebisingan; dan
Namun, kegiatan panas bumi ini sudah termasuk dalam perencanaan tata ruang untuk Manggarai Barat 2012-
2032 termasuk rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sano Nggoang (Pasal 13 - (2)
e), Daerah Penambangan Panas Bumi (Pasal 31-c) di sekitar Sano Nggoang Danau di Kecamatan Sano
Nggoang, dan Implementasi Rencana Struktur Pemanfaatan Energi Panas Bumi di Danau Sano Nggoang (Pasal
45) meskipun belum diperlihatkan secara terperinci dalam peta (lihat Lampiran B untuk pasal-pasal tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Manggarai Barat 2012 -2032).
Gambar 3-4 menunjukkan pengaturan (alignment) area pengembangan Proyek dalam kaitannya dengan
dokumen perencanaan tata ruang. Rencana fasilitas well pad dan fasilitas tambahan terletak di wilayah yang
ditetapkan sebagai lahan pertanian dan hutan masyarakat. Jalan akses ke semua well pad dan fasilitas
tambahan menggunakan jalan yang ada, dan jalur akses masuk akan dibangun untuk menghubungkan jalan
yang ada ke lokasi well pad.
Tabel 7 14 membandingkan lokasi rencana infrastruktur terkait Proyek dengan penggunaan lahan saat ini dan
rencana tata guna lahan. Berdasarkan data tata guna lahan, rencana well pad terletak di hutan (2), lahan
tanaman (2), lahan semak belukar (1) dan permukiman (1) sementara jalan akses berlokasi pada jalan eksisting.
Tabel 7-14 Tutupan Lahan dan Perencanaan Tata Ruang oleh Infrastruktur Proyek
Penggunaan Lahan
No Infrastruktur Tutupan Lahan*)
(Perencanaan Tata Ruang)
Rencana Well pad (1)
1 Well pad – A Lahan kering (lapangan) dan Lahan/Area Pertanian dan Hutan
semak-semak Masyarakat
2 Well pad – B Lahan kering (lapangan) dan Lahan/Area Pertanian dan Hutan
semak-semak Masyarakat
3 Well pad – D Hutan dan semak-semak Hutan Masyarakat
4 Well pad – E (Alternatif) Lahan kering (lapangan) dan Lahan / Area Pertanian
semak-semak
Fasilitas Penunjang
5 Base Camp Pengeboran Semak belukar Hutan Masyarakat
6 Area Penyimpanan (Laydown Area) Lahan kering (lapangan) Lahan / Area Pertanian
7 Area penampungan hasil galian 1 Lahan kering (lapangan) dan Lahan / Area Pertanian
(Pengeboran well pad ) semak-semak
8 Area penampungan hasil galian 2 Lahan kering (lapangan) dan Lahan/Area Pertanian
(Pengeboran well pad ) semak-semak
9 Area penampungan hasil galian 3 Lahan kering (lapangan) dan Lahan/Area Pertanian
(Pengeboran well pad ) & Kamp semak-semak
Kontraktor Sipil
10 Area penampungan hasil galian 4 Lahan kering (lapangan) dan Lahan/Area Pertanian
(material perbaikan jalan) semak-semak
11 Area penampungan hasil galian 5 Lahan kering (lapangan) dan Lahan/Area Pertanian
(material perbaikan jalan) semak-semak
12 Area penampungan hasil galian 6 Sabana Lahan/Area Pertanian
(material perbaikan jalan)
*) Referensi: Rona Awal Lingkungan Hidup Bagian 6.2.6 Tata Guna Lahan dan Tutupan Lahan
Deskripsi: Proyek akan mengubah tata guna lahan yang ada dari area dampak. Well pad akan dibangun
di atas lahan yang saat ini merupakan hutan masyarakat, lahan tanaman, dan semak-semak.
Lebih jauh Proyek akan mendekat ke area pemukiman yang berdekatan. Perbaikan jalan
akses, jalan penghubung yang baru dan base camp akan berlokasi pada tata guna lahan yang
sama.
Pembangunan Proyek akan mengakibatkan perubahan tata guna lahan yang mempengaruhi
pertanian dan mata pencaharian masyarakat, dan dengan demikian memerlukan langkah-
langkah mitigasi.
Mitigasi: Sejumlah mekanisme perencanaan Proyek dan langkah-langkah mitigasi yang sesuai dengan
persyaratan UKL-UPL, sebagai berikut:
Meminimalkan tapak Proyek pada daerah yang paling sensitif, seperti area dekat
permukiman;
Restorasi atau pemulihan kembali kepada keadaan semula sebelum Proyek dimulai atau
sesuai alternatif yang dipilih oleh pemilik tanah setelah selesainya kegiatan;
Penanaman kembali area yang dibuka harus dilakukan segera setelah kegiatan eksplorasi
selesai untuk memulihkan fungsi ekologis; dan
ESIA dan ESMP mensyaratkan lebih lanjut koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah
setempat secara terus menerus untuk selalu memberikan informasi yang relevan tentang
status dan perkembangan kegiatan Proyek.
Deskripsi: Proyek akan mengubah tata guna lahan yang ada dari area dampak. Well pad akan dibangun
di atas lahan yang saat ini merupakan hutan masyarakat, lahan tanaman, dan semak-semak.
Lebih jauh Proyek akan mendekat ke area pemukiman yang berdekatan. Perbaikan jalan
Pembangunan Proyek akan mengakibatkan perubahan tata guna lahan yang mempengaruhi
pertanian dan mata pencaharian masyarakat, dan dengan demikian memerlukan langkah-
langkah mitigasi.
Mitigasi: Sejumlah mekanisme perencanaan proyek dan langkah-langkah mitigasi yang selaras dengan
persyaratan UKL-UPL. ESIA mensyaratkan sejumlah tindakan mitigasi yang harus dilakukan
meliputi:
Meminimalkan tapak Proyek pada daerah yang paling sensitif, seperti area dekat
permukiman;
Restorasi atau pemulihan kembali kepada keadaan semula sebelum Proyek dimulai atau
sesuai alternatif yang dipilih oleh pemilik tanah setelah selesainya kegiatan;
Penanaman kembali area yang dibuka harus dilakukan segera setelah kegiatan eksplorasi
selesai untuk memulihkan fungsi ekologis; dan
ESIA dan ESMP mensyaratkan lebih lanjut koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah
setempat secara terus menerus untuk selalu memberikan informasi yang relevan tentang
status dan perkembangan kegiatan Proyek.
7.6. Tanah
Erosi tanah berpotensi terjadi selama konstruksi karena pembukaan lahan, penggalian, pekerjaan tanah dan
pekerjaan sipil untuk pembangunan well pad dan infrastruktur. Kegiatan-kegiatan ini mengakibatkan
pembersihan vegetasi dan terbukanya lapisan tanah atas yang terpengaruh langsung oleh adanya curah hujan
dan limpasan aliran permukaan. Tanah dan timbunan sisa material yang terbuka rentan terhadap resiko erosi
dan selanjutnya membawa sedimen ke dalam Danau Sano Nggoang pada saat musim hujan, dengan potensi
mengakibatkan gangguan kualitas air dan sedimentasi pada badan air.
Dalam hal tanah atau lahan terkontaminasi, tanah atau lahan tersebut mungkin mengandung polutan yang
berpotensi menimbulkan pengaruh buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Hal ini bisa menjadi
masalah di lahan pertanian akibat tanah yang terkena dampak, atau jika ada infiltrasi ke dalam air permukaan
atau air tanah. Infiltrasi air permukaan dan air tanah dapat menyebabkan transportasi polutan pada hilir ke lokasi
lain.
Ada potensi kontaminasi tanah oleh produk kimia dan minyak bumi dari:
Selain itu, kebocoran pipa kemungkinan dapat terjadi selama pengujian sumur, pelepasan fluida panas bumi
(brine water) ke tanah. Fluida panas bumi atau brine water adalah cairan panas. Sistem perpipaan untuk Wae
Sano GEUDP akan berlokasi di dalam area well pad. Kebocoran kecil lebih mungkin terjadi daripada kebocoran
perpipaan yang bersifat mayor pada sambungan antar pipa.
Deskripsi: Jika longsor dan erosi tanah terjadi, hal tersebut berpotensi mengangkut sedimen dan merusak
karakteristik alam dari danau. Potensi erosi/longsor dinilai rendah karena ara Proyek adalah
area yang relatif datar dengan kemiringan 0-30%. Area terdampak WS-A, WS-B, dan WS-E
memiliki nilai koefisien limpasan air permukaan (run-off coefficient) sedang (0,5) sedangkan di
WS-D koefisien limpasan relatif kecil, yaitu 0,1.
Kondisi kualitas air danau eksisting telah mengalami penurunan, terutama disebabkan oleh
sedimen karena limpasan air secara alami. Hanya ada sedikit penduduk yang tinggal di
sepanjang danau dan mereka tidak menggunakan air untuk kebutuhan rumah tangga. Kondisi
ini akan bersifat sementara dan akan berhenti setelah konstruksi selesai. Oleh karena itusifat
penting dampak dinilai Minor.
Mitigasi: UKL/UPL mensyaratkan sejumlah langkah untuk membangun drainase di sekeliling area well
pad; menghindari pembukaan lahan di luar koridor well pad; memadatkan tanah dengan
ketebalan minimum 20 cm dengan alat pemadat tanah (compactor); dan memasang dinding
penahan (retaining wall).
Selain itu, ESIA mensyaratkan langkah-langkah berikut untuk memenuhi standar internasional:
Stabilisasi kemiringan (batter) dengan menanam tanaman atau stabilisasi secara fisik;
Langkah-langkah pemasangan penahanan (interception) seperti kolam endapan atau
drainase; dan
Membangun undakan atau teras (terraces) untuk lereng yang curam (dengan tinggi lebih
dari 3m).
Kemungkinan terjadi
Rendah Sedang Minor Sangat Rendah Dapat diabaikan
Rendah
SO002 Penanganan yang buruk, Penyimpanan serta Kecelakaan Tumpahan Bahan Kimia dan
Produk-Produk Minyak Bumi
Aktivitas: Mobilisasi peralatan dan material, pembersihan dan persiapan lahan, perbaikan jalan akses,
dan pembangunan well pad serta infrastruktur.
Seluruh peralatan dan fasilitas di well pad harus memenuhi standar desain internasional
untuk penyimpanan dan pembuangan bahan kimia, pelumas dan bahan bakar yang
aman, pengisolasian/penahanan bahan yang tumpah, termasuk area yang ditanggul
(bunded area), drainasi di sekeliling well pad dan saluran perangkap (interception traps);
Setiap tumpahan yang tidak disengaja (kecelakaan) akan dikelola sesuai dengan
prosedur tanggap darurat tumpahan
Deskripsi: Perpipaan yang mengangkut fluida panas bumi (brine water) selama pengujian sumur
kemungkinan akan mempengaruhi tanah jika terjadi kebocoran pipa. Namun, tingkat
keparahannya dinilai rendah karena fluida pengeboran berbasis air dan dikategorikan sebagai
limbah bukan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Kebocoran lebih mungkin terjadi pada
sambungan antar pipa. Oleh karena itu dampak kebocoran pipa selama pengujian sumur
dinilai Minor.
Potensi reseptor sensitif dampak kualitas air terkait Proyek adalah masyarakat sekitar dalam hal aspek sosial,
budaya dan ekonomi. Air danau memiliki pH rendah dan tidak sesuai untuk keperluan domestik. Selain itu, danau
ini menarik perhatian wisatawan lokal dan internasional yang memberi manfaat pada mata pencaharian
masyarakat setempat. Dampak sosial, budaya dan ekonomi dibahas secara lebih rinci di Bagian 8.
Kajian dampak berdasarkan pada metodologi yang diberikan di Bagian 3. Potensi reseptor sensitif termasuk
masyarakat lokal dan danau. Analisis dampak akan mengevaluasi dampak terhadap kondisi rona awal
lingkungan hidup, mendefinisikan reseptor, menentukan tingkat keparahan dan besarnya dampak serta
kemungkinan terjadinya. Beberapa dampak yang dihasilkan dari Proyek mungkin bersifat Mayor atau Minor, dan
langkah-langkah mitigasi selanjutnya akan mengurangi dampak. Dampak terhadap kualitas air permukaan
didasarkan pada adanya potensi untuk melampaui baku mutu kualitas air sesuai Peraturan Indonesia dan
internasional.
Kajian dampak kualitatif dari dampak kualitas air karena kegiatan eksplorasi menunjukkan bahwa kualitas air
permukaan badan air yang berdekatan tidak diharapkan menimbulkan dampak negatif pada reseptor sensitif.
Karena sebagian besar lumpur pengeboran berbasis air kemungkinan digunakan kembali atau dikembalikan ke
proses pengeboran, hal ini diperkirakan bahwa akan ada jumlah kelebihan air yang terbatas selama operasi
pengeboran pada umumya (typical drilling operation).
Diharapkan bahwa dampak hasil mitigasi terhadap kualitas air permukaan akan tergolong dapat diabaikan
sampai mempunyai sifat penting dampak yang kecil, dan program pemantauan kualitas air akan tersedia untuk
memastikan bahwa langkah-langkah mitigasi tersebut efektif.
Limpasan permukaan terjadi ketika intensitas curah hujan melebihi tingkat infiltrasi tanah. Kondisi ini terjadi
selama musim hujan dari bulan Desember hingga Maret dan kemungkinan selama terjadi badai di musim
Pembersihan lahan dan pekerjaan konstruksi di dataran tinggi berpotensi menyebabkan erosi tanah longsor ke
danau yang menimbulkan sedimentasi, kekeruhan dan endapan tanah. Tingkat sedimentasi yang
berkepanjangan dan tinggi berdampak pada kualitas air danau dan kapasitas tampung dari waktu ke waktu.
Namun, kegiatan yang terkait dengan Proyek Eksplorasi Panas Bumi Waesano diperkirakan memiliki dampak
yang dapat diabaikan terhadap kapasitas tampung danau. Danau ini tidak digunakan sebagai sumber air oleh
masyarakat sekitar atau sebagai habitat bagi komunitas akuatik yang sensitif, kecuali untuk fitoplankton,
zooplankton, benthos dan bakteri. Bagaimanapun, langkah-langkah mitigasi akan dilaksanakan untuk mencegah
konstruksi dan operasi Proyek dari potensi pencemaran pada sungai dan badan air terdekat mengalir ke danau.
Dua indikator utama penurunan kualitas air akibat erosi adalah Total Dissolved Solids (TDS) dan Total
Suspended Solids (TSS). Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan
Pengendalian Pencemaran Air untuk badan air kelas I menentukan ambang batas TDS dan TSS masing-masing
sebesar sebagai 1.000 mg/L dan 50 mg/L. Studi rona awal lingkungan hidup dari TDS pada semua lokasi
pengambilan sampel melebihi ambang batas ini, sementara TSS di semua lokasi pengambilan sampel
memenuhi ambang batas. Pekerjaan persiapan lahan berpotensi meningkatkan kekeruhan di danau. Kekeruhan
tinggi dapat mengakibatkan persepsi negatif terhadap kegiatan eksplorasi panas bumi. Hal ini karena perubahan
apapun yang signifikan pada Danau Sano Nggoang akan menimbulkan dampak budaya dan ekonomi pada
masyarakat (lihat Bagian 8).
Aktivitas: Pembersihan dan persiapan lahan, perbaikan jalan akses dan pembangunan well pad serta
infrastruktur
Deskripsi: Potensi degradasi air permukaan karena pembersihan dan persiapan lahan serta perbaikan
jalan akses dinilai Minor. Hal ini mungkin dapat menyebabkan peningkatan sedimentasi ke
danau melalui anak sungai terdekat menuju well pad dan ke sungai kecil dekat STA 2 dan STA
7 dari lokasi perbaikan jalan akses yang berpotensi menimbulkan dampak buruk atau negatif
pada kualitas air pada kondisi rona awal. Tingkat keparahannya dinilai sedang karena rencana
well pad terdekat (Well pad A) kira-kira berjarak sekitar 100 meter.
Sensitivitas reseptor dinilai rendah karena air danau tidak digunakan untuk kebutuhan rumah
tangga. Kondisi eksisting kualitas air permukaan dan biota di dalamnya telah terdegradasi
karena kondisi alam.
Mitigasi: Sejumlah tindakan disyaratkan di UKL/UPL, seperti membangun drainase di sekeliling area
well pad; menyediakan kolam pengendapan (settling pond); dan kegiatan pembukaan lahan
harus dijadwalkan sebisa mungkin untuk menghindari periode hujan lebat dan angin kencang.
Selain itu, ESIA mensyaratkan langkah-langkah berikut untuk memenuhi standar internasional:
Menggambarkan area-area yang akan dibuka sebelum pembersihan lahan atau aktivitas
pemindahan tanah dimulai untuk membatasi area yang terganggu. Jika memungkinkan,
lakukan pembersihan secara bertahap untuk meminimalkan area yang terganggu dan
pembentukan sedimen pada saat tertentu;
Memastikan desain rinci jalan akses dapat meminimalkan gangguan pola aliran air
permukaan. Menyediakan drainase yang memadai untuk meminimalkan kontaminasi
anak sungai proksimal dari lumpur dan debu oleh adanya pergerakan kendaraan dan
peralatan;
Pelepasan atau tumpahan limbah pengeboran, fluida, dan lumpur bor yang tidak disengaja akan menimbulkan
kekeruhan sementara jika dilepaskan ke badan air. Meskipun lumpur pengeboran berbasis air bukan merupakan
B3, perlu waktu sebelum lumpur halus dari lumpur bor tersebut keluar dari kolom air. Sementara, lumpur bor
yang tumpah (tergantung pada volume yang tumpah) akan berwujud seperti bulu-bulu di permukaan air yang
akan berdampak pada kejernihan air dasar dan mengganggu kegiatan fotosintesis lokal.
Deskripsi: Pelepasan fluida pengeboran yang tidak disengaja merupakan masalah yang signifikan,
terutama di mana limbah cair mungkin dapat mengalir ke Danau Sano Nggoang sehingga
menurunkan kualitas air. Fluida pengeboran berbasis air dan dikategorikan sebagai limbah
non-B3. Namun, tingkat keparahannya dinilai sedang karena dampak ini tidak dapat berbalik
dan lumpur halus sulit untuk mengendap/membentuk flok di dalam air. Pelepasan limbah cair
pengeboran yang tidak disengaja kemungkinan tidak terjadi karena Proyek memiliki desain
yang tepat untuk mengelola dampak ini. Dari pertimbangan ini, dampak adanya potensi sisa
fluida pengeboran yang mencapai badan air dikaji sebagai sifat penting dampak minor.
Mitigasi: Sejumlah mekanisme perencanaan Proyek dan langkah-langkah mitigasi diperlukan di UKL-
UPL, termasuk pengumpulan lumpur bor yang dihasilkan dari kegiatan pengeboran ke dalam
kolam penampung dan dipompa untuk digunakan kembali (a closed-loop fluid system) atau
reinjeksi ke dalam sumur injeksi untuk meminimalkan kelebihan limbah pengeboran, dan kolam
sirkulasi lumpur pengeboran serta kolam lumpur sisa pengeboran harus disediakan. ESIA
mensyaratkan sejumlah tindakan mitigasi yang harus dilakukan mencakup:
Membangun kolam dengan lapisan tahan air seperti HDPE atau geomembran dengan
dasar tanah liat untuk menangkap lumpur bor jika terjadi tumpahan yang tidak disengaja;
Kapasitas desain kolam untuk pengumpulan harus sama atau melebihi volume fluida
pengeboran yang diperlukan selama uji hidrolik awal;
Deskripsi: Selama tahap eksplorasi, jumlah brine water yang terbatas akan dihasilkan selama pengujian
sumur, di mana campuran uap, gas dan fluida panas bumi dilepaskan melalui sebuah
atmospheric separator. Jika dilepaskan ke permukaan air atau akuifer air tanah dangkal, fluida
panas bumi dapat menyebabkan kerusakan tanaman dan membuat air tidak layak untuk
sebagian besar tujuan penggunaan. Oleh karena itu, tingkat keparahan untuk dampak ini
dinilai sedang. Brine water akan dirnjeksi ulang ke dalam sumur injeksi setelah ekstraksi
melalui sumur terpisah; oleh karena itu potensi brine water terlepas ke lingkungan sangat
rendah. Namun, ada potensi dimana cairan panas bumi dapat terlepas ke lingkungan setempat
karena adanya kebocoran/tumpahan fluida panas bumi sebab cairan tersebut dialirkan melalui
pipa dari sumur ekstraksi ke kolam penampung dan kemudian ke sumur reinjeksi, juga potensi
"semburan sumur" (well blow-out) dari sumur bor ketika tekanan formasi tinggi ditemukan,
sehingga peluang kejadian tersebut dianggap mungkin terjadi. Dari pertimbangan ini, dampak
potensi brine water untuk mencapai badan air dikaji memiliki sifat penting dampak Moderat.
Mitigasi: Sejumlah mekanisme perencanaan Proyek dan langkah-langkah mitigasi disyaratkan di UKL-
UPL, termasuk mengelola limbah pengeboran dengan benar dan brine water direinjeksikan
kembali ke dalam sumur injeksi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
No. 13 tahun 2007. ESIA mensyaratkan sejumlah tindakan mitigasi yang harus dilakukan
mencakup:
Pengujian sumur injeksi harus disiapkan dan jalur perpipaan dipasang, sebelum sumur
eksplorasi yang lebih dalam dibangun;
Kapasitas laten akan dipertahankan di kolam untuk menampung fluida (cairan) jika terjadi
kegagalan pipa atau pompa atau pelepasan yang tidak disengaja; dan
Kemungkinan Tidak
Sedang Mungkin dapat Terjadi Moderat Rendah Dapat diabaikan
Terjadi
Rencana Pengelolaan Air akan dikembangkan untuk mengelola limpasan air permukaan dari daerah tangkapan
yang berdekatan. Struktur bangunan sipil seperti gorong-gorong, bendung (weir) dan saluran drainase harus
termasuk dalam desain.
Proyek akan membutuhkan air untuk pengkondisian tanah selama konstruksi yang akan bersumber dari Danau
Sano Nggoang.
Konstruksi jalan akan berada di area galian dan urug. Hal ini berpotensi mengganggu arah aliran air permukaan
yang ada terutama ketika jalan akses melintasi saluran mata air atau sungai. Koridor jalan baru kemungkinan
akan menghalangi aliran air. Struktur drainase dan pengendalian banjir yang tepat harus disediakan.
Platform sumur dan fasilitas base camp akan memiliki pondasi beton. Air akan dibutuhkan dalam campuran
beton. Demikian pula, permintaan air untuk campuran beton akan diperoleh dari air danau.
Aktivitas: Pembersihan dan persiapan lahan serta pembangunan well pad dan infrastruktur.
Deskripsi: Konstruksi well pad dapat mempengaruhi pengalihan saluran mata air. Tingkat keparahannya
dinilai rendah karena aliran air permukaan dan mata air kebanyakan hanya ditemukan di well
pad B. Sementara sensitivitas sumber daya dinilai sedang karena masyarakat memang
memanfaatkan air dari mata air untuk keperluan domestik dan pertanian, oleh karena itu
sensitifitasnya dinilai sedang.
Kegiatan gali dan urug tidak boleh berdampak buruk pada sawah atau lahan pertanian
lain di luar tapak proyek;
Desain sipil harus mencakup sejumlah desain hidrolika, khususnya saluran drainase dan
gorong-gorong untuk memastikan kontinuitas aliran hidraulik. Ketika jalan akses melewati
sawah, gorong-gorong harus termasuk dalam desain untuk mempertahankan aliran yang
memadai; dan
Mekanisme penanganan keluhan untuk memastikan bahwa para pihak yang terkena
dampak dapat melaporkan kondisi abnormal pada air permukaan.
Air danau akan dipompa ke fasilitas pengolahan air, di mana cairan kaustik ditambahkan melalui pena injeksi
untuk menetralkan sifat asam dari air danau. Fasilitas pengolahan air akan dibangun sebagai suatu instalasi
yang bersifat sementara dan dapat berpindah sehingga pompa pengambilan air, peralatan pembubuhan bahan
kimia dan pompa distribusi air dapat dipindahkan antara dua lokasi fasilitas bila diperlukan. Fasilitas sementara
mencakup penggunaan pipa Victaulic yang dapat dikonfigurasi ulang sesuai dengan persyaratan operasional
.
Deskripsi: Potensi Proyek untuk menyebabkan berkurangnya air permukaan karena pengambilan air, sifat
penting dampaknya dinilai sebagai Minor. Tingkat keparahan dianggap edang karena
pengambilan air permukaan dari Danau Sano Nggoang secara terus menerus dapat
mengakbatkan ketidakseimbangan air dibandingkan dengan kondisi eksisting. Dampaknya
diperkirakan akan lebih terasa selama musim kemarau. Namun, sensitivitasnya dinilai Rendah
karena air danau tidak digunakan oleh masyarakat dikarenakan kondisi kualitasnya dan hal ini
tidak akan berdampak pada masyarakat di hilir. Selain itu, selama musim kemarau, ada
periode dimana tidak ada limpahan air secara alami dari danau ke bagian hilir sungai; hal ini
secara alami menyebabkan ephemeral phenomena yang berarti ekosistem telah
menyesuaikan pada periode dimana tidak ada aliran dan tidak akan berdampak buruk oleh
karena perubahan kecil (minor) pada aliran sebagai akibat dari pengambilan air.
Dampak terhadap habitat alami kritis tidak hanya terkait dengan satwa liar tetapi juga terhadap
ekosistem danau dari buangan air dan sedimen yang sengaja atau tidak disengaja atau
selama pengambilan air. Dampak terhadap air permukaan telah dikaji sebagai Minor atau
Moderat tanpa mitigasi dan Dapat Diabaikan dengan adanya mitigasi. Debit pengambilan dan
volume total yang diperlukan adalah tidak signifikan dibandingkan dengan keseluruhan volume
danau dan pengambilannya dapat dikendalikan sehingga tidak akan secara signifikan
mengganggu ekosistem yang unik/habitat kritis. Adanya penurunan muka air danau selama
musim kemarau akan diukur dalam milimeter, dan selama variasi musiman alami dari muka air
danau.
Mitigasi: UKL-UPL mensyarakan untuk memastikan pengambilan air dari Danau Sano Nggoang tidak
melebihi permintaan kebutuhan air untuk pengeboran, sehingga tidak mengurangi volume air
danau secara signifikan. Selain itu pada ESIA langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi:
Pemasangan bendung atau kotak pengumpu untuk memastikan bahwa tata cara
pengaturan aliran yang tepat dapat dipertahankan;
Penggunaan kolam untuk mengumpulkan kelebihan air yang akan digunakan untuk
kegiatan pengeboran;
Pengelolaan limbah yang tidak tepat (termasuk penanganan yang tidak tepat, penyimpanan yang tidak memadai,
dan kurangnya langkah-langkah redundansi untuk penahanan) dapat melepaskan polutan ke lingkungan yang
dapat menimbulkan dampak ekologi lokal, kualitas air permukaan dan air tanah, kualitas tanah pada rona awal,
dan kesehatan manusia melalui berbagai cara (air tanah dan air permukaan, limpasan permukaan, debu atau
sebaran melalui udara, dan menelan langsung atau penghirupan). Agar memberikan langkah-langkah
pengelolaan yang tepat untuk menangani limbah untuk berbagai tahap Proyek ini, penting untuk dapat
menggolongkan limbah untuk berbagai tahap pengembangan Proyek dan mengidentifikasi tata cara penanganan
dan penyimpanan yang tepat serta persyaratan peraturan yang ada untuk masing-masing unsur limbah. Bagian-
bagian selanjutnya menyajikan limbah/aliran limbah dari kegiatan Utama Proyek, komposisinya dan persyaratan
peraturan terkait untuk penanganan dan penyimpanan, jika ada, sebelum diskusi tentang langkah-langkah
mitigasi dan pengendalian yang tepat untuk mencegah atau meminimalkan pembentukan dan pelepasan bahan-
bahan ini secara tidak disengaja
Sangat sedikit reseptor akan terdampak oleh pengelolaan limbah vegetasi yang tidak tepat. Namun, ekosistem
danau dapat terkena dampak dari pembuangan limbah vegetasi ke dalam badan air (yang dapat meningkatkan
konsentrasi BOD dan penurunan DO).
Pemilik tanah yang telah menjual atau menyewakan tanah mereka akan diberi kesempatan untuk memindahkan
benda atau tanaman berharga dari tanah mereka sebelum pembersihan lahan. Pemilik akan didorong untuk
memanen tumbuhan dan tanaman yang dapat ditanam kembali di lokasi yang berbeda. Setelah pembersihan
lahan, pemilik tanah akan ditawari kelebihan vegetasi yang telah dibersihkan pada kesempatan pertama, setelah
itu masyarakat setempat akan diizinkan untuk memanfaatkannya sebagai kayu bakar.
Deskripsi: Dampak limbah hijau dari persiapan lahan dinilai memiliki sifat dampak Minor. Pembersihan
lahan dan vegetasi berpotensi menghasilkan sampah organik dari vegetasi dan penebangan
tunggul pohon. Akan tetapi, sangat sedikit reseptor akan terdampak oleh pengelolaan limbah
vegetasi yang tidak tepat. Oleh karena itu sensitivitasnya dianggap Rendah.
Potensi masalah lingkungan yang terkait dengan timbulan sampah domestik termasuk:
Pengelolaan limbah domestik yang buruk menyebabkan bau menyengat yang menarik perhatian hama
seperti lalat dan tikus yang merupakan vektor penyakit umum;
Limbah seperti pegangan kaleng plastik dan tutup botol plastik dapat berbahaya bagi satwa liar;
Air lindi (leachate) dari limbah domestik dapat menimbulkan dampak pada air tanah dan berpotensi
meningkatkan kebutuhan oksigen kimiawi dan biokimia di badan air penerima (danau); dan
Penyimpanan dan pembuangan sampah domestik organik yang tidak tepat (misalnya, sisa makanan)
berpotensi menimbulkan masalah bau karena penguraian bahan organik dan emisi gas seperti metana,
hidrogen sulfida, dan amonia.
Sampah domestik dihasilkan dari para pekerja di base camp. Dengan mengacu pada SNI 19-3983-1995,
timbulan sampah untuk pekerja adalah sekitar 2,75 liter/orang/hari atau 0,70 kg/orang/hari. Total volume limbah
padat domestik dengan angkatan kerja selama konstruksi sekitar 96 orang diperkirakan sebesar 264 liter/hari
atau 67,2 kg/hari dan 253 liter/hari atau 64 kg/hari selama operasi.
Limbah cair domestik akan dikelola di toilet portabel dan tangki septik. Well pad dan area konstruksi jalan akan
disediakan toilet portabel. Toilet portabel akan dibersihkan setiap hari dan dibuang ke tangki septik. Toilet dan
“Limbah bahan berbahaya dan beracun" atau "limbah B3" didefinisikan sebagai limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan/atau beracun, yang karena sifat, konsentrasi, atau jumlahnya, dapat merusak atau mencemari
lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia. Limbah B3 termasuk bahan yang mudah terbakar, reaktif,
beracun, infeksius, dan korosif.
Berbagai jenis potensi limbah B3 yang berbahaya dan beracun akan dihasilkan dari kegiatan bengkel dan
pemeliharaan kendaraan, termasuk:
Filter bekas;
Selang bekas/rusak;
Selama konstruksi, pengeboran dan pengujian sumur dari pekerjaan eksplorasi serta mesin yang digunakan
untuk beroperasi dan menghasilkan energi listrik akan menggunakan bahan bakar diesel. Diesel mengandung
sejumlah unsur beracun, dan menimbulkan risiko kesehatan manusia jika mencemari lingkungan. Limbah cair B3
lainnya yang digunakan dalam jumlah yang lebih kecil selama pekerjaan eksplorasi kemungkinan akan
mencakup pelumas, cairan hidrolik dan aditif kimia untuk pengeboran sebagaimana disebutkan pada sub bagian
7.9.1. Zat-zat ini secara tidak sengaja dapat tumpah saat pengisian ulang peralatan dan tangki penyimpanan;
pemeliharaan dan penyimpanan kendaraan dan peralatan; penanganan dan pengangkutan minyak dan pelumas
bekas. Tumpahan tidak disengaja lainnya dapat dikaitkan dengan kegagalan peralatan seperti tangki dan selang
yang pecah. Reseptor sensitif dari limbah cair B3 termasuk tanah di dekatnya, air tanah/mata air, badan
air/danau dan vegetasi.
Deskripsi: Jumlah pekerja selama konstruksi sekitar 96 orang dan 92 orang selama operasi. Pekerja ini
akan menghasilkan berbagai limbah domestik seperti sampah kemasan makanan. Tingkat
keparahan dampak ini dinilai sedang karena volume yang akan dihasilkan sekitar 264 liter/hari
selama konstruksi dan 253 liter/hari selama operasi. Sensitivitas rendah karena volume limbah
yang dihasilkan rendah.
Mitigasi: Baik UKL/UPL dan ESIA membutuhkan langkah-langkah mitigasi yang serupa. Ini termasuk
persiapan Rencana Pengelolaan Limbah yang mencakup tempat pembuangan yang sesuai,
memaksimalkan penggunaan kembali dan daur ulang, fasilitas pengumpulan dan
penyimpanan yang memadai, dan menggunakan metode pembuangan yang tepat seperti
sesuai yang diperlukan. Selain itu, Proyek perlu menyediakan penyimpanan sementara untuk
limbah padat domestik, dan berkoordinasi dengan dinas/badan kebersihan setempat dalam hal
mengangkut sampah ke lokasi TPA terdekat.
Deskripsi: Limbah cair domestik (limbah) tidak dikategorikan sebagai limbah cair B3, tetapi dapat
mengandung nutrient tinggi, padatan tersuspensi dan bakteri patogen. Berdasarkan total
pekerja selama pembangunan sumur dan infrastruktur, 9,20 m3/hari air limbah domestik akan
dihasilkan selama konstruksi dan 8,80 m3/hari air limbah domestik akan dihasilkan selama
operasi. Tingkat keparahan dampak ini dinilai rendah karena Proyek akan menyediakan toilet
portabel dengan tangki septik. Sensitivitasnya juga rendah karena limbah akan diolah di
tempat dan tidak boleh menimbulkan dampak terhadap masyarakat setempat.
Menggunakan toilet portabel di well pad, area pekerjaan jalan dan camp pekerja untuk
mengolah buangan air limbah sesuai desain Proyek; dan
Toilet portabel harus digunakan dengan tangki septik yang berfungsi sebagai sistem
pembuangan effluen.
Deskripsi: Limbah B3 umum yang dihasilkan selama konstruksi dan operasi sifat penting dampaknya
dinilai sedang. Pembentukan limbah padat B3 akan memerlukan prosedur pengelolaan limbah
yang tepat sesuai dengan peraturan. Jika tidak dikelola dengan baik, pembuangan limbah B3
dapat menjadi dampak yang signifikan, namun, jumlah limbah yang dihasilkan selama tahap
eksplorasi cenderung kecil dan sangat terlokalisasi karena itu, dampaknya dianggap sebagai
keparahan sedang. Sensitivitas sedang karena berpotensi mencemari tanah.
Mitigasi: UKL-UPL memerlukan sejumlah langkah mitigasi termasuk menyediakan penyimpanan limbah
berbahaya sementara (Tempat Penampungan Sementara/TPS B3) sesuai ketentuan
persyaratan standar dan membuang limbah berbahaya dari lokasi oleh pengangkut limbah
berbahaya yang berlisensi dan dibuang di fasilitas berlisensi sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3. Selain itu, ukuran mitigasi
berikut akan dimasukkan dalam ESMP:
Deskripsi: Selama konstruksi, pengeboran dan pengujian sumur, mesin yang digunakan untuk
mengoperasikan dan menghasilkan energi listrik akan menggunakan bahan bakar diesel yang
mengandung sejumlah unsur beracun. Limbah cair B3 lainnya yang digunakan dalam jumlah
yang lebih kecil selama pekerjaan eksplorasi kemungkinan akan mencakup pelumas, cairan
hidrolik dan aditif kimia untuk pengeboran. Jika tidak dikelola dengan baik, pembuangan
limbah cair B3 bisa menimbulkan dampak yang signifikan. Namun, jumlah limbah yang
dihasilkan selama tahap eksplorasi cenderung kecil dan sangat terlokalisasi; Oleh karena itu,
dampaknya dianggap sebagai keparahan sedang. Reseptor sensitif dari limbah cair B3 adalah
tanah di dekatnya, air permukaan dan vegetasi. Dengan demikian, sensitivitas reseptor-
reseptor ini dianggap tinggi.
Limbah B3 akan dipindahkan dari lokasi oleh pengangkut limbah B3 yang berlisensi dan
dibuang di fasilitas berlisensi; dan
Agar dapat menggunakan kembali fluida pengeboran atau mengurangi jumlah lumpur bor yang digunakan, ada
beberapa opsi sebagai berikut:
Air dapat dipulihkan melalui pembersihan lumpur dimana fluida pengeboran dikeringkan dengan
penghilangan serbuk padat menggunakan shale shaker, saringan atau siklon. Air kemudian dapat
digunakan kembali untuk mencampur fluida pengeboran baru berikutnya dan serbuk padat dapat
dibuang sebagai limbah padat.
Sebisa mungkin, sistem tertutup (closed liquid loop systems) dapat digunakan untuk memulihkan
fluida bor dan meminimalkan tumpahan atau kehilangan.
Cairan kental sisa pengeboran dapat dinjeksikan ke dalam lapisan batuan (strata) sebagai
langkah segera untuk mengontrol penurunan muka tanah (subsidence) jika ada atau mencegah
keruntuhan pori dari ekstraksi cairan. Namun, reinjeksi hanya dapat diterapkan jika cairan bor
yang diuji terbukti sebagai limbah tidak-berbahaya (non-B3), tanah tidak akan terkontaminasi
secara kimia, dan ada lapisan batuan confined dan permeabel yang akan mencegah kembalinya
cairan ke permukaan;
Ada beberapa kejadian dalam pengeboran eksplorasi dimana diinginkan untuk mengebor dengan
tidak menggunakan fluida berbasis tanah liat, terutama di lapisan batuan dimana fluida berbasis
tanah liat berpotensi merusak formasi. Hal ini biasanya terjadi dalam pengeboran tanpa adanya
fluida kembali ke permukaan.
Penanganan lumpur bor dan serbuk bor akan diangkut ke kolam sementara dan kemudian akan
digunakan kembali atau ditimbun (mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral No. 21 tahun 2017 tentang Pengelolaan Limbah Lumpur Pengeboran dan Serbuk
pengeboran Aktivitas Panas Bumi).
Lumpur bor dan serbuk bor akan dikumpulkan di kolam sementara sebelum tahap pengelolaan
selanjutnya dilakukan untuk menghindari limpahan ke badan air. Limbah berikutnya harus
digunakan di tempat untuk bahan bangunan seperti beton, material dinding penahan, bahan baku
atau aditif untuk batu bata, dll. Sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Perkiraan produksi lumpur pengeboran dan serbuk pengeboran masing-masing adalah 70 m3 dan 55 m3 untuk
pengeboran slimhole dan 440 m3 dan 400 m3 untuk pengeboran standar.
Deskripsi: Lumpur bor dan serbuk bor dikategorikan sebagai limbah tidak-berbahaya (non-B3). Sifat
penting dampak dari pengeboran eksplorasi dinilai kecil. Keparahan dampak dianggap sebagai
sedang karena volumenya yang dapat mencapai 440 m3 untuk lumpur bor dan 400 m3 untuk
serbuk bor maksimum (pengeboran standar). Sementara itu sensitivitasnya rendah karena
masyarakat lokal cenderung tidak terpengaruh dan karakteristik lumpur serta limbah adalah
limbah non-B3, oleh karena itu tidak akan membahayakan lingkungan biotik. Selain itu, limbah
dapat dimanfaatkan di tempat sebagai bahan konstruksi.
Mitigasi: UKL/UPL mensyaratkan agar Lumpur bor dan serbuk bor dikelola sesuai dengan Peraturan
MEMR No. 21 tahun 2017 tentang Pengelolaan Limbah Lumpur Bor dan Serbuk Bor pada
Sistem siklus cairan tertutup dapat digunakan untuk memulihkan cairan bor dan
meminimalkan tumpahan atau kehilangan;
Air dapat dipulihkan melalui pembersihan lumpur di mana fluida pengeboran dikeringkan
dengan penghilangan serbuk bor padat dengan menggunakan shale shakers,
penyaringan (screen) atau cyclone. Air kemudian dapat digunakan kembali untuk fluida
baru selanjutnya dan serbuk bor dapat dibuang;
Mengacu pada data rona lingkungan awal (Bagian 6), rencana lokasi untuk pengeboran eksplorasi terutama
terletak di dalam hutan budidaya. Potensi dampak yang dibahas di bawah ini diidentifikasi berdasarkan kajian
dampak kegiatan pengeboran eksplorasi terhadap flora (sekitar 2 ha per lokasi pengeboran).
Di dalam tapak Proyek, komunitas vegetasi akan terkena dampak langsung selama persiapan
lokasi untuk konstruksi well pad dan perbaikan jalan akses. Pembersihan lahan akan
menggunakan excavator dan wheel loader. Dampak ini dianggap relatif kecil karena area Proyek
dikategorikan sebagai Hutan untuk Area Penggunaan Lain (APL) dan saat ini didominasi oleh
pertanian dan perkebunan. Selain itu, area konstruksi di tapak Proyek relatif kecil dibandingkan
dengan keseluruhan area Proyek.
Dampak tidak langsung terhadap habitat dan vegetasi yang berdekatan dengan area kerja dapat
terdiri dari endapan debu yang dihasilkan oleh peningkatan aktivitas lalu lintas/konstruksi,
tumpahan bahan kimia, pembuangan air limbah yang tidak memadai dan pembuangan limbah
padat.
Deskripsi: Kegiatan konstruksi untuk pengeboran eksplorasi akan melibatkan pembersihan dan persiapan
lokasi pengeboran untuk kegiatan konstruksi well pad, perbaikan jalan akses eksisting, dan
persiapan infrastruktur pendukung seperti penyediaan air, kantor Proyek (direction kit) dan
akomodasi pekerja sementara. Kegiatan-kegiatan ini akan berdampak langsung pada vegeasi.
Keparahan dampak dinilai sedang, karena jumlah pohon yang harus ditebang diperkirakan
kurang dari 1.000 pohon/ha. Spesies flora yang terletak di dalam lokasi Proyek perkebunan
industri tidak dilindungi dan hutan sub-montane, dengan demikian sensitivitas dianggap
rendah. Dampak terhadap vegetasi selama persiapan dan pengembangan lokasi dinilai kecil.
Mitigasi: Sejumlah langkah-langkah yang disyaratkan dalam UKL/UPL, seperti memastikan tidak ada
spesies pohon yang tergolong dilindungi yang akan ditebang. Jika ada spesies pohon yang
tergolong dilindungi, pohon tersebut harus diregistrasi dan dipindahkan oleh Proyek ke tempat
lain yang tidak akan terganggu oleh kegiatan Proyek. Selain itu, ESIA mensyaratkan langkah-
langkah berikut:
Melakukan survei vegetasi pada rencana area kerja permanen dan sementara begitu
lokasi well pad final telah diketahui; survei tersebut harus mengidentifikasi spesies yang
menjadi kepentingan konservasi dan/atau pohon besar. Jika memungkinkan, penetapan
lokasi/batas area kerja harus dimodifikasi untuk menghindari dampak langsung terhadap
spesies tanaman yang menjadi kepentingan konservasi dan/atau pohon besar. Jika
modifikasi terhadap batas tapak Proyek tidak dimungkinkan, transplantasi spesies
tanaman langka/dilindungi harus mennjadi pertimbangan;
Menginformasikan dengan jelas area untuk persiapan lahan/ kegiatan lain di lapangan
untuk mencegah hilangnya vegetasi di luar area kerja yang ditentukan;
Konstruksi tidak diizinkan dalam jarak 5 m dari drip line pohon-pohon besar untuk
kepentingan konservasi guna menghindari kerusakan pada akar pohon;
Cuci kendaran secara periodik atau pertimbangan adanya fasilitas pencucian sementara
untuk memastikan bahwa benih dari spesies eksotis dan invasif tidak masuk diakibatkan
oleh adanya lalu lintas kendaraan selama konstruksi;
Restorasi atau pemulihan kembali kepada keadaan semula sebelum Proyek atau
alternatif yang dipilih oleh pemilik tanah setelah selesainya kegiatan sesuai persetujuan
kedua belah pihak;
Inspeksi kendaraan dan peralatan saat mobilisasi untuk membatasi potensi terangkutnya
bibit spesies tanaman bukan tanaman Kondisi Awal/invasif.
Deskripsi: Pengeboran eksplorasi akan melibatkan pengeboran dan pengujian sumur, serta pengelolaan
lumpur dan serbuk bor. Tingkat keparahannya dinilai sedang, karena potensi hilangnya
vegetasi yang disebabkan oleh buangan fluida panas bumi yang tidak disengaja. Tidak ada
spesies flora yang diketahui di lokasi Proyek adalah spesies yang dilindungi, oleh karena itu
sensitivitas dianggap rendah. Dampak terhadap vegetasi dari kegiatan pengeboran dinilai
kecil.
Menjabarkan dengan jelas area untuk persiapan lahan/kegiatan lain di lapangan guna
mencegah hilangnya vegetasi di luar area kerja yang ditentukan;
Restorasi atau pemulihan kembali kepada keadaan semula sebelum Proyek atau
alternatif yang dipilih oleh pemilik tanah setelah selesainya kegiatan sesuai persetujuan
kedua belah pihak; dan
Deskripsi: Dampak merugikan pada tanaman yang tidak terlindung mungkin terjadi pada jarak 5–50 m
dari well silencer akibat semburan berlebihan selama buangan horizontal (horizontal
Mitigasi: Sejumlah tindakan disyaratkan dalam UKL-UPL dan ESIA. Langkah-langkah yang harus
dilakukan meliputi:
Jika layak digunakan, pasang penutup pada tanaman yang berpotensi terpapar pada
jarak 5–50 m dari silencer sumur jika perlu;
Penyemprotan air bersih pada tanaman dapat diterapkan sebagai alternatif apabila
penggunaan penutup tidak mungkin dilakukan;
Mitigasi ini tidak akan diterapkan selama musim hujan karena air hujan akan
membersihkan semprotan garam selama semburan horizontal.
Pekerjaan infrastruktur sipil akan mengakibatkan hilangnya habitat permanen, yang secara
langsung mempengaruhi fauna yang memanfaatkan area ini. Area lahan yang akan dibuka adalah
lahan pertanian atau hutan, dan dampak ini dianggap relatif kecil karena total area yang akan
dibersihkan atau terganggu oleh Proyek kurang dari 50 ha dan dikelilingi oleh habitat yang sama.
Tidak akan ada dampak langsung terhadap zona inti Hutan Sesok atau Cagar Alam Mbeliling.
Konstruksi jalan akses baru akan menghambat pergerakan satwa liar dan habitat fragmen di area
Proyek. Kegiatan ini juga dapat menyebabkan hambatan kendaraan karena peningkatan aktivitas
lalu lintas kendaraan di area tersebut.
Dampak langsung terhadap satwa liar juga dapat terjadi di dalam batas-batas area konstruksi jika
satwa liar masuk ke dalam lokasi konstruksi dan menimbulkan risiko bagi individu di dalam dan di
sepanjang batas lokasi. Mitigasi untuk menangani secara tepat satwa liar yang masuk ke dalam
Sumber dampak tidak langsung terhadap fauna juga mencakup kebisingan dari kegiatan
konstruksi, peningkatan aktivitas manusia secara umum, polusi cahaya malam, yang berpotensi
untuk menimbulkan tekanan (stress) atau disorientasi satwa liar di area Proyek. Kegiatan mitigasi
yang menurunkan tingkat kebisingan dan polusi cahaya malam akan meminimalkan dampak-
dampak ini.
Beberapa spesies konservasi diketahui ada di dalam/dekat dengan rencana area kerja.
FAU001 Dampak terhadap Species Satwa Liar Sensitif selama Persiapan dan Pengembangan
Kegiatan: Mobilisasi peralatan dan material, pembersihan dan persiapan lahan serta pembangunan
infrastruktur & well pad .
Deskripsi: Kegiatan konstruksi untuk pengeboran eksplorasi akan melibatkan pembersihan dan persiapan
lahan lokasi pengeboran, pembangunan well pad, perbaikan jalan akses eksisting, mobilisasi
material dan peralatan, dan persiapan infrastruktur pendukung seperti penyediaan air, kantor
proyek dan akomodasi pekerja sementara.
Keparahannya dinilai sedang, karena jumlah pohon yang harus ditebang diperkirakan kurang
dari 1.000 pohon/ha, apalagi gangguan fauna merupakan dampak sekunder terhadap
peningkatan kebisingan. Studi rona lingkungan awal mencatat 8 spesies burung yang
dilindungi yang sering ditemukan di sekitar lokasi Proyek dan diperkiraan untuk menjauh dari
lokasi di mana kegiatan Proyek berlangsung; oleh karena itu sensitivitas dinilai sedang.
Dampak terhadap Satwa Liar Sensitif selama persiapan dan pengembangan dinilai sedang.
Mitigasi: Mengingat bahwa survei ekologi sebelumnya yang dilakukan untuk studi rona lingkungan awal
ESIA hanya memberikan kajian secara umum atau high-level dari sumber daya ekologis di
area Proyek, disarankan agar dilakukan survei detail untuk memberikan kajian yang lebih
komprehensif tentang kondisi rona awal ekologi mamalia, burung dan herpetofauna (satwa liar
yang kurang bergerak). Survei ini harus fokus pada tapak pengembangan yang direncanakan
ditambah semua area 100m dari tapak. Survei harus dilakukan oleh ahli ekologi yang memiliki
kualifikasi dengan menggunakan metodologi survei yang telah ditetapkan.
UKL-UPL mensyaratkan rencana pengelolaan yang sama dengan dampak kebisingan (seperti
menggunakan kendaraan dengan knalpot dan peredam suara (silencer) sesuai dengan
spesifikasi pabrik, dan membatasi jam mobilisasi untuk peralatan dan material serta akan
memberi perhatian terhadap pengoperasian di dekat area masyarakat), tidak ada spesies
satwa liar yang tergolong dilindungi di area Proyek sebelum pembersihan dan persiapan lahan,
dan jika ada spesies satwa liar tergolong dilindungi, satwa liar harus diregistrasi dan
dipindahkan oleh Proyek ke tempat lain yang tidak akan terganggu oleh kegiatan Proyek.
Pengurangan gangguan terhadap habitat, misalnya tidak melewati tapak Proyek yang
ditentukan;
Pelatihan pekerja konstruksi tentang tanggapan yang tepat bila menemui satwa liar yang
mungkin ditemukan di area Proyek;
Instruksi kepada pekerja konstruksi agar menahan diri untuk tidak mengusik satwa liar,
termasuk menangkap secara ilegal dan berburu;
Instruksi kepada mandor konstruksi untuk menghentikan pekerjaan jika ada banyak
satwa liar atau yang termasuk satwa liar yang dikonservasi memasuki area kerja;
Memagari/memasang pagar papan pada area kerja untuk mencegah masuknya binatang
dan meminimalkan dampak cahaya/ gangguan;
Dampak tidak langsung dapat terjadi karena kecelakaan, seperti paparan tanah atau air terhadap bahan
berbahaya (B3) dan selanjutnya penyebaran dari bahan-bahan ini keluar lokasi melalui aliran air tanah atau air
permukaan. Langkah-langkah mitigasi akan mengurangi kemungkinan terjadiya dampak yang signifikan.
Dampak tidak langsung mungkin juga dihasilkan dari erosi, penyebaran cahaya dan kebisingan dari kegiatan
pengeboran dari kegiatan malam hari. Mitigasi juga akan mengurangi risiko-risiko ini dan kemungkinan terjadinya
dampak signifikan.
Deskripsi: Kebisingan dan cahaya dari kegiatan pengeboran, peningkatan aktivitas manusia secara
umum, dan polusi cahaya malam berpotensi menimbulkan tekanan (stress) atau disorientasi
satwa liar yang dapat menyebabkan mereka meninggalkan area Proyek. Tingkat
keparahannya dinilai sedang. Studi rona lingkungan awal mencatat 8 spesies burung yang
dilindungi yang saat ini sering ditemukan di sekitar lokasi Proyek, oleh karena itu sensitivitas
dianggap sedang. Dampak terhadap spesies satwa liar yang sensitif selama pengeboran
bersifat moderat.
Mitigasi: Selain pengelolaan kebisingan di Bagian 7.4.3, sejumlah langkah terkait kebisingan juga
disyaratkan dalam UKL-UPL untuk pemeliharaan mesin pengeboran (air drilling machine) dan
generator listrik secara berkala, pemilihan peralatan dengan fitur pengurangan kebisingan dan
cahaya, dan pengaturan zona penyangga . Selain itu, ESIA mensyaratkan hal-hal berikut:
Memagari sekitar area kerja untuk mencegah masuknya hewan dan meminimalkan
dampak cahaya/gangguan selama waktu malam. Aplikasi cahaya searah merupakan
alternatif jika pagar tidak layak;
Pelatihan pekerja selama kegiatan operasi di well pad tentang tanggapan yang tepat bila
menemui satwa liar yang mungkin terjadi di lokasi well pad;
Memasang spanduk yang menyatakan larangan untuk berburu dan menangkap satwa
liar secara illegal; dan
Pelatihan bagi penghuni base camp tentang tanggapan yang tepat adanya pertemuan
dengan satwa liar yang mungkin terjadi dan instruksi kepada penghuni untuk tidak
mengganggu satwa liar.
Deskripsi: Kebisingan dan cahaya dari kegiatan pengeboran, peningkatan aktivitas manusia secara
umum, dan polusi cahaya malam berpotensi menimbulkan tekanan (stress) atau disorientasi
satwa liar yang dapat menyebabkan mereka meninggalkan area Proyek. Tingkat
keparahannya dinilai sedang. Studi rona lingkungan awal mencatat 8 spesies burung yang
dilindungi yang saat ini sering ditemukan di sekitar lokasi Proyek, oleh karena itu sensitivitas
dianggap sedang. Dampak terhadap spesies satwa liar yang sensitif selama pengeboran
bersifat moderat.
Sebagai perbandingan, total emisi GRK untuk rencana Proyek ini kemudian dibandingkan dengan inventarisasi
GRK nasional dari sektor energi (PUSDATIN ESDM, 2015). ESDM PUSDATIN melaporkan bahwa total emisi
GRK dari semua sektor energi (untuk skenario business as usual) pada tahun 2013 diperkirakan sebesar 475
juta MT CO2e. Berdasarkan data yang tersedia dan asumsi yang dibuat, emisi dari konstruksi dapat diabaikan.
Tabel 7-15 Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan Kegiatan Konstruksi (Tidak Termitigasi)
Aktifitas: Pembersihan dan persiapan lahan, mobilisasi peralatan dan material, perbaikan jalan akses
serta pembangunan well pad dan fasilitas infrastruktur.
Deskripsi: Kendaraan dan peralatan konstruksi akan menghasilkan gas rumah kaca yang disebabkan
oleh pembakaran bahan bakar fosil dan pembersihan tanaman yang akan mengakibatkan
hilangnya kapasitas penyerapan karbon dioksida. Pembangunan Proyek akan menjadi net
generatorgas rumah kaca.
Area-area yang terganggu yang tidak lagi dikembangkan dapat ditanami kembali dengan
tanaman/vegetasi lokal agar berfungsi sebagai penyangga untuk kegiatan dan operasi di
masa mendatang dan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan lokal terhadap gas
rumah kaca.
Tabel 7-16 menyajikan emisi CO2e tahunan yang terkait dengan operasi rencana Proyek. Total emisi GRK yang
diperkirakan selama operasi Proyek adalah 1.074 MT CO2e/tahun. Menurut Standar Kinerja IFC 3 (IFC, 2012)
untuk proyek yang diharapkan menghasilkan lebih dari 25.000 MT CO2e /tahun, Pemrakarsa Proyek diwajibkan
untuk melaporkan emisi GRK taunan Lingkup 1 dan 2. Lingkup 1 emisi adalah emisi langsung dari fasilitas yang
dimiliki atau dikendalikan dalam batas proyek secara fisik sedangkan untuk emisi Lingkup 2 adalah emisi tidak
langsung yang terkait dengan lokasi di luar Proyek (off-site).
Sebagai perbandingan, total emisi GRK untuk rencana Pproyek yang diajukan ini kemudian dibandingkan
dengan inventarisasi GRK nasional dari sektor energi (PUSDATIN ESDM, 2015). ESDM PUSDATIN melaporkan
bahwa total emisi GRK dari semua sektor energi (untuk skenario business as usual) pada tahun 2013
diperkirakan sebesar 475 juta MT CO2e. Berdasarkan data yang tersedia dan asumsi yang dibuat, emisi dari
operasi dapat diabaikan.
Tabel 7-16 Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan Kegiatan Operasi (Tidak Termitigasi)
SUS002 Emisi Gas Rumah Kaca selama Eksplorasi dan Pengujian Sumur
Deskripsi: Rig pengeboran akan menghasilkan emisi disebabkan pembakaran bahan bakar fosil. Selama
pengujian sumur, ada potensi untuk memancarkan semburan uap panas yang mengandung
CO2. Namun emisi GRK yang tinggi ini mungkin tidak berdampak pada reseptor sensitif secara
Untuk masing-masing aktivitas eksplorasi, permasalahan social, kesehatan dan keselamatan berikut ini telah
dipertimbangkan:
Sosial ekonomi;
Kesehatan masyarakat;
Kenyamanan masyarakat;
Dampak visual;
Hak tenaga kerja dan permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Tanah untuk empat well pad eksplorasi dan fasilitas pendukungnya akan disewakan dari pemilik tanah –
diperkirakan bahwa Proyek akan menyewa maksimal 1,03 ha tanah untuk masing-masing well pad slimhole
atau 3,15 ha untuk masing-masing well pad standar, dan sekitar 10 ha luas total untuk infrastruktur
pendukung (total area 16,86 Ha); dan
Lahan bagi pelebaran jalan untuk mendukung mobilisasi rig dan material pengeboran; mobilisasi peralatan
dan material pembersihan tanah; dan mobilisasi personel akan dibeli – dengan total pengadaan tanah
sekitar 0,74 Ha pada 22 lokasi.
Rencana Proyek untuk pengadaan tanah akan dilakukan melalui tiga skema yaitu proses penyewaan untuk well
pad dan area fasilitas eksplorasi utama; willing seller – willing buyer untuk pelebaran jalan dimana proses akan
dipimpin oleh Dinas Jalan Regional dan tanah yang dihibahkan didedikasikan untuk keperluan publik. Proses
pengadaan tanah untuk Proyek akan difasilitasi oleh SMI atas nama Pemrakarsa Proyek. Namun, pada tahapan
Proyek saat ini, lokasi dan rincian kebutuhan lahan masih belum dapat dipastikan sepenuhnya; dengan demikian
konsultasi langsung dengan pemilik tanah yang berpotensi terkena dampak tidak dapat dilakukan. Walaupun
Proyek memiliki beberapa rencana titik well pad, lokasi-lokasi well pad ini hanya bersifak indikatif saja dan
memungkinkan bahwa tapak pengeboran mungkin dipindahkan dalam Area Pengaruh Proyek (AOI), tergantung
perubahan kebutuhan Proyek.
Karena lokasi dan kebutuhan lahan belum dikonfirmasi pada saat penyusunan ESIA ini, konsultasi langsung
konsultasi langsung dengan pemiliki tanah yang berpotensi terkena dampak tidak dapat dilakukan. Dengan
demikian, rincian data sosial ekonomi terhadap orang yang terkena dampak tidak dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi besaran dan sifat penting dampak pengadaan tanah. Sehingga akan digunakan informasi umum
mengenai keseluruhan area pengaruh..
Pemilik tanah/rumah tangga dari area tanah tempat dilakukannya aktivitas eksplorasi pengeboran di Desa
Wae Sano – dampak akan bersifat sementara untuk sekitar dua (2) tahun penyewaan tanah selama tahap
eksplorasi; dan
Mereka yang akan mengalami kehilangan tanah permanen karena pengadaan untuk lokasi perbaikan jalan
sepanjang jalan umum yang sudah ada di Kecamatan Sano Nggoang.
Pengamatan dan wawancara dengan masyarakat setempat selama survei kondisi rona lingkungan awal yang
dilakukan untuk ESIA ini mengidentifikasi bahwa penggunaan tanah dalam Area Pengaruh dari rencana Proyek
(AOI) didominasi oleh tanah perkebunan masyarakat/gabungan pemilik tanah individu seperti kemiri, kopi, kakao,
kelapa, cengkeh, dan merica. Mayoritas rumah tangga yang diwawancarai bekerja sebagai petani sebagai
sumber mata pencaharian utama mereka. Hanya beberapa dari mereka yang bekerja pada sektor jasa dan
swasta atau wirausaha sebagai sumber utama pendapatan rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat memiliki kaitan mata pencaharian yang kuat pada tanah pertanian. Namun, kondisi rona lingkungan
Dalam hal status kepemilikan, walaupun masyarakat dalam area studi masih hidup secara tradisional, diketahui
pula dari kondisi rona lingkungan awal ESIA bahwa kepemilikan tanah di Manggarai Barat telah bergeser dari
kepemilikan komunal ke kepemilikan individu; hal ini dapat membuat negosiasi pengadaan tanah secara
sukarela menjadi tidak begitu rumit.
Penjelasan: Kondisi rona lingkungan awal ESIA menunjukkan bahwa penggunaan tanah dalam AOI
didominasi oleh tanah perkebunan, namun tanah tersebut sebagian besar berupa tanah
perkebunan skala kecil yang belum dikembangkan, dengan kebanyakan rumah tangga
memiliki beragam sumber pendapatan; sehingga sensitivitasnya dinilai sebagai sedang.
Proyek telah mengidikasikan bahwa pengadaan tanah akan berlangsung atas dasar sukarela,
melalui willing seller – willing buyer atau sewa, dimana kompensasi yang memadai akan
ditawarkan berdasarkan proses negosiasi yang adil dengan pemilik tanah; namun tanah akan
sepenuhnya dibatasi selama sekitar 2 tahun penyewaan, sementara untuk pelebaran jalan
akan menjadi kehilangan permanen. Oleh karenanya keparahannya dianggap sedang.
Setelah ada konfirmasi lokasi, Proyek akan menyusun Rencana Tindak Pengadaan Tanah dan
Pemukiman Kembali (LARAP) yang akan menerapkan kebijakan Bank Dunia OP 4.12 tentang
Pemukiman Kembali Secara Tidak Sukarela yang telah diadopsi dalam Kebijakan Pemukiman
Kembali ESMF GEUDP.
Langkah-langkah mitigasi berikut diajukan untuk mengelola dampak yang terkait dengan
kehilangan lahan pertanian, yang akan dimasukkan dalam full LARAP yaitu:
Memprioritaskan negosiasi willing buyer-willing seller untuk sewa lahan atau pembelian
lahan;
Mekanisme Penanganan Keluhan (GRM) yang harus ditetapkan agar seluruh kelompok
orang yang terkena dampak dapat menyampaikan kekhawatiran dan keluhan mereka
terkait dengan proses pengadaan tanah.
Mereka yang memiliki aset di atas tanah yang bukan miliknya, yaitu petani bagi hasil yang tidak diakui di
bawah skema kompensasi pemerintah;
Pihak-pihak yang sumber penghasilannya sebagian atau seluruhnya berasal dari bekerja di atas tanah
(misalnya buruh pertanian);
Mereka yang menjadi memiliki akses terbatas pada hutan dan sumber daya alam lainnya, termasuk orang-
orang yang terpengaruh oleh akses terbatas terhadap sumber-sumber pendapatan; dan
Orang-orang rentan yang didefinisikan dalam Bank Dunia OP 4.12 sebagai kelompok "berisiko" termasuk
orang-orang yang, berdasarkan jenis kelamin, suku, usia, cacat fisik atau mental, kerugian ekonomi atau
status sosial mungkin lebih terdampak secara langsung oleh pengadaan tanah dan hilangnya tanah
dan/atau mata pencaharian terkait.
Dalam Proyek AOI, dampak langsung terhadap hilangnya lahan termasuk dampak terhadap tanaman komersial
seperti kemiri, buah pinang, kopi, serta berbagai tanaman pangan yang ditanam secara lokal dan digunakan
untuk konsumsi rumah tangga domestik seperti kelapa, gula kelapa, kakao, beras, jagung, kacang tanah,
kedelai, dan sayuran umum seperti cabai, tomat, ubi jalar, pisang, dan ketela pohon. Sebagian besar perkebunan
ini berskala kecil dan dikelola oleh keluarga sehingga umumnya tidak menggunakan tenaga kerja pertanian
eksternal atau petani bagi hasil. Namun, untuk mempertahankan mata pencaharian, masyarakat juga terlibat
dalam kegiatan terkait lahan skala kecil, umumnya untuk sumber pendapatan sekunder, seperti toko ritel kecil,
penginapan, beternak ayam dan bebek, peternakan lainnya, termasuk kerbau, sapi, babi dan kambing . Hal ini
menunjukkan potensi dampak pengadaan tanah Proyek terhadap mata pencaharian masyarakat selain
kehilangan tanah.
Aktifitas: Pengadaan tanah dan kompensasi, pembangunan well pad dan infrastruktur, perbaikan jalan,
dan mobilisasi peralatan dan material
Deskripsi: Rona lingkungan awal sosial mengidentifikasi sektor pertanian sebagai sumber pendapatan
utama tidak hanya di tingkat regional, tetapi juga untuk masyarakat lokal Wae Sano dan Sano
Nggoang. Karena tantangan dalam modal, keterampilan, dan infrastruktur, sektor pertanian
dalam Proyek AOI relatif belum berkembang dan kurang produktif, dan sebagian besar produk
pertanian hanya digunakan untuk konsumsi domestik. Dengan demikian ada keterikatan
ekonomi masyarakat yang tinggi terhadap tanah di luar hilangnya produksi pertanian; oleh
karena itu, sensitivitas dinilai sebagai sedang.
Tingkat keparahan dinilai sedang mengingat sebagian besar dampak pengadaan tanah akan
bersifat sementara selama sekitar 2 tahun dari sewa tanah; oleh karena itu, dampak terhadap
Mitigasi: UKL-UPL mengamati sejumlah langkah mitigasi untuk mengelola dampak pengadaan tanah
terhadap pendapatan masyarakat, termasuk konsultasi dengan orang-orang yang terkena
dampak dan pemimpin budaya (Tu'a Golo dan Anggota Wau) mengenai mekanisme
kompensasi, bantuan dalam penggunaan kompensasi, dan memprioritaskan orang-orang yang
terkena dampak pengadaan tanah untuk menerima manfaat dari program pengembangan
masyarakat.
Selain itu, langkah-langkah mitigasi berikut akan dimasukkan dalam usulan LARAP untuk
mengelola gangguan lebih lanjut terhadap mata pencaharian masyarakat dan hilangnya
pendapatan, sesuai dengan harapan Bank Dunia:
Kompensasi untuk kerugian ekonomi atau pemindahan akan diberikan sesuai dengan
Bank Dunia OP 4.12 dengan perhatian khusus untuk memastikan bahwa pihak-pihak
yang terkena dampak ekonomi, termasuk orang-orang yang rentan, menerima
kompensasi yang berkaitan dengan dan mencerminkan kehilangan mata pencaharian
atau akses ke sumber-sumber pendapatan;
Program pemulihan mata pencaharian diberikan bagi orang-orang yang rentan dan
terkena dampak secara signifikan - Program ini harus tercakup dalam Program
Pengembangan Masyarakat yang dikembangkan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur
(Persero)35; dan
35
Program Pengembangan Masyarakat yaitu Desa Bhakti Untuk Negeri II (DBUN II) dibentuk oleh PT SMI to mengatasi potensi
dampak buruk terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar dalam area pengaruh dari kegiatan Eksplorasi Panas Bumi
Waesao. Menurut kajian yang dilakukan oleh Yayasan Dian Desa (YDD-LSM yang ditugaskan oleh PT SMI dalam
pelaksanaan program), Kegiatan DBUN II dibagi dalam dua program, yaitu Kategori A dengan program yang terdiri atas
perbaikan fasilitas pendidikan dan rehabilitasi infrastruktur penyediaan air bersih, dan kategori B yang terdiri atas
pengembangan kapasitas kewirausahaan untuk empat komponen, yaitu i.e. kerajinan kain tenun, pengolahan madu dan
kacang mete (non-timber forest product) dan karbonisasi limbah kemiri. Kategori A and program kerajinan kain tenun sudah
mulai sejak Oktober 2018 dimana lainnya akan dimulai pada 2019.
Bahkan untuk lahan yang dimiliki secara individu di mana pemiliknya merupakan pemilik yang berniat untuk
menjual (a willing seller), masih ada potensi sengketa kepemilikan tanah antara anggota masyarakat.
Misalnya, lahan dapat diakui oleh lebih dari satu pemilik, terutama dalam kasus tanah warisan (misalnya
saudara kandung), dan batas-batas petak mungkin diperdebatkan; dan
Ketidaksepakatan penduduk setempat terkait area pengadaan tanah dengan kepentingan budaya.
Wawancara rona awal menunjukkan bahwa masalah lahan sering terkait dengan sengketa perbatasan antara
lahan masyarakat dan hutan lindung. Sengketa terbaru lainnya adalah dengan Dinas Pekerjaan Umum tentang
area lahan lama yang akan digunakan tanpa berkonsultasi dengan pemimpin budaya, yang mengakibatkan
pembatalan proses pengadaan tanah. Penyelesaian alternatif untuk sengketa tanah diketahui dari konsultasi
dengan beberapa pemimpin budaya setempat (tu'a golo). Dilaporkan, dalam budaya Manggarai dan Mata Wae,
sengketa tanah biasanya diselesaikan oleh keluarga dan lembaga adat di bawah otoritas tu’a golo melalui Lonto
Leok (diskusi forum konsensus), menggunakan adat setempat. Simbol adat dan budaya digunakan dalam forum
dengan tujuan penyelesaian secara damai. Hal ini menunjukkan pentingnya peran pemimpin budaya dalam
keputusan terkait masalah lahan.
Deskripsi: Mempertimbangkan area lahan kecil di atas area yang luas yang diperlukan untuk kegiatan
eksplorasi, dan sebagian besar lahan akan digunakan sementara saja melalui sewa, tingkat
keparahan dinilai rendah. Sementara itu, sensitivitas dinilai tinggi. Meskipun Proyek bertujuan
untuk membangun well pad dan infrastruktur Proyek lainnya di atas tanah yang dimiliki secara
pribadi, potensi sengketa tanah dapat muncul ketika pengadaan tanah komunal tidak dapat
dihindari, karena keputusan untuk pelepasan tanah komunal tergantung pada pemimpin
budaya. Potensi perselisihan antar anggota masyarakat atas tanah yang dimiliki secara pribadi
juga ada, karena tanah dalam Proyek AOI biasanya tidak memiliki sertifikasi tanah formal; oleh
karena itu mungkin ada perselisihan tentang batas-batas tanah warisan
Sifat penting dampak dinilai Moderat, namun dengan langkah-langkah mitigasi yang
direncanakan, sifat penting dampak diharapkan akan berkurang menjadi Minor.
Mitigasi: UKL-UPL merekomendasikan konsultasi lebih lanjut mengenai mekanisme kompensasi yang
paling tepat untuk sewa tanah dan prosesnya, memastikan formulir persetujuan dari orang-
orang yang terkena dampak, dan memastikan transparansi dalam proses pengadaan tanah
termasuk metode untuk penentuan nilai kompensasi yang akan dimasukkan sebagai bagian
dari LARAP.
Memprioritaskan negosiasi willing buyer-willing seller untuk sewa lahan atau pembelian
lahan;
Konsultasi secara luas dengan tu'agolo dan pemimpin masyarakat lainnya untuk
mengidentifikasi pemilik tanah legal atau tradisional;
Jika ada sengketa tanah yang muncul dari Proyek, masalah-masalah akan ditangani
melalui konsultasi lebih lanjut dengan pemimpin budaya dengan cara yang sesuai
budaya.
Meskipun Proyek mungkin dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber pendapatan bagi sebagian
anggota masyarakat setempat, Proyek juga dapat menawarkan peluang kerja dan/atau peningkatan pendapatan
untuk bisnis lokal. Sebagai contoh, Proyek akan melakukan kegiatan eksplorasi (misalnya pembersihan lahan,
perbaikan jalan akses dan pengeboran sumur) dan karena itu akan meningkatkan populasi lokal dalam jangka
pendek, membawa lebih banyak pengunjung ke area tersebut. Peningkatan populasi yang dimaksud
memberikan peluang bagi usaha bisnis baru dan dapat menciptakan peluang kerja bagi tenaga kerja tidak
terampil dan non-teknis. Hal ini akan berdampak positif bagi ekonomi masyarakat setempat, tetapi juga disertai
dengan berbagai potensi risiko kompetisi manfaat dengan penduduk setempat, lebih membebani fasilitas dan
infrastruktur publik, masalah kesehatan, dan gangguan terhadap lingkungan setempat, termasuk potensi
ekowisata yang ada.
Proyek memperkirakan jumlah pekerja saat puncak selama tahap eksplorasi sekitar 140 pekerja; ini termasuk
tenaga kerja yang dibutuhkan oleh kontraktor untuk konstruksi well pad dan pengeboran sumur. Puncak
perekrutan tenaga kerja akan terjadi pada tahun pertama Proyek Eksplorasi. Rincian detail tenaga kerja dan
durasi proyek dijelaskan di Bagian 4 Deskripsi Proyek, dari dokumen ini. Mengingat sifat pekerjaan panas bumi,
yang sebagian besar membutuhkan keterampilan khusus, masyarakat lokal kemungkinan hanya akan dapat
Kehadiran tenaga kerja Proyek akan membutuhkan sejumlah barang dan jasa yang diharapkan bersumber dari
perusahaan dan usaha kecil lokal, misalnya pekerja pendatang akan membutuhkan kebutuhan dasar makanan
dan jasa selama mereka tinggal di area Proyek, sementara beberapa kontraktor juga cenderung tinggal di
masyarakat. Selain itu, Proyek telah berkomitmen untuk, sedapat mungkin, memakai sumber daya eksplorasi
dan bahan-bahan dari masyarakat lokal/daerah, termasuk pasokan bahan batuan untuk konstruksi (quarry),
transportasi, perangkat keras dan bahan umum lainnya. Ini adalah peluang bagi penduduk setempat untuk
mendapatkan manfaat dari kemitraan bisnis langsung dan tidak langsung dengan Proyek. Seperti yang diketahui
dalam rona lingkungan awal pada ESIA, fasilitas dan infrastruktur pendukung pariwisata (seperti akomodasi,
kedai makanan, dan layanan penyewaan mobil) adalah bisnis lokal yang berkembang di daerah Wae Sano dan
Sano Nggoang. Lebih lanjut, ada pertumbuhan dalam jumlah bisnis penambangan dan quarry dalam 5 tahun
terakhir.
Aktifitas: Rekrutmen tenaga kerja, perbaikan jalan akses, dan mobilisasi peralatan dan material,
pembangunan well pad dan infrastruktur
Deskripsi: Akan ada dampak positif terhadap ekonomi lokal dari mempekerjakan pekerja lokal untuk
kegiatan eksplorasi. Meskipun kemungkinan hanya sejumlah kecil pekerja lokal yang akan
dipekerjakan, yaitu untuk persyaratan tenaga kerja tidak terampil untuk persiapan lahan dan
pengeboran sumur (diperkirakan 30 orang), diharapkan bahwa posisi tidak terampil ini akan
berasal dari penduduk lokal dan/atau penduduk di Kabupaten Manggarai Barat.
Meskipun kualitas dan kuantitas layanan yang dapat disediakan oleh masyarakat lokal
mungkin terbatas, dampak sosial-ekonomi terhadap peluang bisnis dinilai positif. Dampak tidak
langsung dari kegiatan Proyek dan kehadiran pekerja pendatang diharapkan akan
menghasilkan bisnis dan perusahaan di sektor akomodasi, makanan dan hiburan, dan
memberikan efek berganda pada ekonomi lokal. Selanjutnya, pelaksanaan ESMP yang efektif
akan membuat signifikansi yang dimitigasi positif.
Mitigasi: UKL-UPL mensyaratkan sejumlah langkah untuk mengoptimalkan dampak positif Proyek
terhadap kesempatan kerja dan berusaha termasuk: (a) Memprioritaskan pekerja lokal sesuai
dengan kualifikasi Proyek; (b) Koordinasi dengan agen tenaga kerja lokal dan pemerintah desa
untuk proses rekrutmen lokal; (c) Transparansi dari proses untuk menghindari kecemburuan
sosial di antara anggota masyarakat; (d) Memastikan upah untuk pekerja lokal sesuai dengan
peraturan yang berlaku; dan (e) Memberikan peluang untuk bisnis lokal dalam pengadaan
barang dan jasa untuk mendukung kegiatan Proyek, termasuk layanan nonformal atau tidak
langsung, misalnya jasa transportasi/sewa mobil, katering makanan dan homestay untuk
pekerja.
Langkah-langkah yang terkait dengan pengelolaan tenaga kerja harus dimasukkan dalam
Rencana Pengelolaan Tenaga Kerja (Labour Management Plan) yang harus dikembangkan
oleh Proyek sesuai dengan peraturan nasional dan regional yang berlaku, serta Upaya
Perlindungan Bank Dunia (Mengelola Risiko Dampak Buruk terhadap Masyarakat dari
Pengaruh Masuknya Tenaga Kerja dari Luar yang Bersifat Sementara) Selain itu, langkah-
langkah berikut ini direkomendasikan untuk memastikan bahwa tindakan dan konsultasi yang
tepat dilakukan, selaras dengan ketentuan Bank Dunia:
Mengembangkan prosedur perekrutan tenaga kerja yang transparan, jelas dan netral
yang diungkapkan secara tepat kepada masyarakat setempat; berkoordinasi dengan
Sebagai bagian dari tanggung jawab sosial Proyek, untuk mengoptimalkan dampak
positif terhadap kesempatan berusaha bagi penduduk setempat, untuk mengembangkan
dan mengimplementasikan rencana pengembangan/pemberdayaan masyarakat untuk
mitra bisnis lokal potensial melalui (a) Konsultasi dengan bisnis lokal untuk
mengidentifikasi kebutuhan dan potensi pengembangan; dan (b) Menerapkan
serangkaian sesi pelatihan yang ditargetkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh Proyek; dan
- - Positif - - Positif
Risiko perselisihan sosial antara pendatang dan penduduk lokal dalam persaingan ekonomi, yang
mengakibatkan perubahan pada struktur sosial - risikonya lebih tinggi berdasarkan tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dan ketidakbiasaan dengan kegiatan industri yang mengakibatkan bahkan peluang
lebih rendah untuk memperoleh manfaat dari Proyek;
Peningkatan masalah kesehatan, risiko penyakit menular dan beban pada layanan kesehatan lokal – rona
lingkungan awal mengidentifikasi sedikit penyakit menular yang terkait dengan migrasi masuk, sedangkan
diamati fasilitas dan layanan kesehatan yang ada terlihat buruk;
Peningkatan lalu lintas, potensi kecelakaan di jalan, dan kejahatan karena Area Pengaruh Proyek (AOI)
relatif belum berkembang dengan arus lalu lintas eksisting yang rendah;
Meningkatnya beban dan persaingan untuk penyediaan layanan publik, termasuk tekanan pada akomodasi
dan sewa meskipun ada sejumlah akomodasi untuk tujuan pariwisata yang sudah ada; dan
Inflasi harga-harga lokal dari tanah, perumahan, dan barang dan jasa, dipicu oleh peningkatan pembelian
lahan oleh para pendatang.
Risiko-risiko ini mungkin terjadi di area terkena dampak Proyek (Area of Influence-AOI) karena mayoritas pekerja
semi terampil dan terampil (sekitar 80% dari total kebutuhan tenaga kerja) akan bersumber dari luar masyarakat.
Selain itu, pergerakan pendatang setempat ke dalam area terkena dampak Proyek (Area of Influence-AOI) tidak
akan terbatas pada tenaga kerja proyek, tetapi juga pihak-pihak lain yang mencari manfaat dari Proyek, misalnya
pebisnis, pedagang, pemasok, dan penyedia layanan informal yang tidak dapat ditemukan di desa setempat.
Sifat penting dampak dari potensi risiko PIIM kepada masyarakat lokal telah dibandingkan dengan kondisi rona
lingkungan awal ESIA yang mengidentifikasi bahwa meskipun pertumbuhan populasi di Kabupaten Manggarai
Barat meningkat secara bertahap sejak tahun 2014, di tingkat kecamatan, kepadatan penduduk di Kecamatan
Sano Nggoang masih relatif rendah. Populasi Kecamatan Sano Nggoang 14.241 orang pada tahun 2015,
Rona lingkungan awal juga mengidentifikasi bahwa masyarakat di Wae Sano dan Sano Nggoang menerima
kehadiran pendatang, seperti turis dan peneliti yang tinggal di desa. Hal ini menunjukkan potensi risiko
perselisihan yang lebih rendah antara penduduk lokal dan pendatang.
Deskripsi: Tingkat keparahan dampak dinilai sedang, mengingat sebagian besar tenaga kerja Proyek
akan masuk dalam kelompok masyarakat dan tinggal sementara selama sekitar 2 tahun
selama tahap eksplorasi. Selanjutnya, peningkatan relatif dalam populasi dari migrasi masuk
dan pariwisata cenderung tidak signifikan dibandingkan dengan rona lingkungan awal.
Meskipun jumlah kebutuhan tenaga kerja relatif tidak signifikan dibandingkan dengan populasi
Proyek AOI, area dampak mungkin lebih besar karena akomodasi di Kecamatan Sano
Nggoang mungkin tidak sesuai digunakan untuk akomodasi pekerja, sehingga digunakan yang
ada di Labuan Bajo, yang memiliki infrastruktur dan jasa yang lebih baik.
Potensi reseptor sensitif risiko oleh adanya migrasi masuk atau PIIM terhadap masyarakat
lokal adalah masyarakat Wae Sano dan Sano Nggoang. Meskipun peningkatan kehadiran
bukan penduduk lokal menghadirkan risiko kecil, juga memberikan potensi manfaat seperti
peningkatan penjualan barang dan jasa. Potensi migrasi masuk yang relative kecil dari adanya
Proyek akan mengakibatkan sifat penting dampak dinilai sebagai Minor.
Mitigasi: Pengelolaan dampak merugikan dari arus masuk tenaga kerja akan mengacu pada Pedoman
Catatan Bank Dunia tentang Mengelola Risiko Dampak Buruk terhadap Masyarakat dari
Pengaruh Masuknya Tenaga Kerja dari Luar yang Bersifat Sementara dan Analisis
Pengelolaan Arus Masuk Tenaga Kerja - dengan mempertimbangkan relative kecil kebutuhan
pekerja di seluruh Proyek tahap eksplorasi sekitar 2 tahun, langkah mitigasi yang direncanakan
dapat dilakukan sebagai bagian dari pengelolaan tenaga kerja Proyek, pengembangan
masyarakat, dan rencana keterlibatan pemangku kepentingan, termasuk:
Perencanaan pengurangan risiko PIIM, yang mencakup keterlibatan yang efektif dan
berkelanjutan dengan masyarakat setempat untuk mengoptimalkan kesempatan kerja
dan usaha bagi penduduk setempat, sambil berkonsultasi dengan masyarakat mengenai
arus masuk pendatang atau PIIM, yang termasuk pengungkapan potensi manfaat dan
risiko berkaitan dengan perubahan ini;
Dalam kaitannya dengan pengelolaan tenaga kerja, terutama mereka yang ditugaskan di
base camp, penguatan pengelolaan pekerja kontraktor serta kebijakan dan prosedur
kesehatan dan keselamatan untuk memastikan dimasukkannya standar K3 internasional
untuk meminimalkan risiko penyebaran penyakit menular terhadap masyarakat lokal.
Kehadiran Proyek Waesano diharapkan akan memacu lebih lanjut potensi wisata di Danau Sano Nggoang dan
Hutan Sesok selama eksplorasi, akan ada pelebaran jalan akses, kemudian diaspal pada permukaan jalan ketika
kegiatan eksplorasi telah diselesaikan oleh Proyek berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang (PUPR) Kabupaten yang akan membuka potensi kesempatan ekowisata Dengan pertimbangan bahwa
tahapan Proyek Eksplorasi dalam periode sekitar 2 tahun, perbaikan jalan dan pemeliharaan akan dikelola oleh
Dinas PUPR.
Activity: Kegiatan Proyek, terutama perbaikan jalan akses menuju Danau Sano Nggoang dan
sekitarnya
Description: Pengembangan Proyek akan menghasilkan jalan akses menuhu Danau Sano Nggoang dan
daerah sekitanya yang telah diperbaiki.
Mitigation: Disebabkan durasi jangka pendek dari kegiatan eksplorasi (sekitar 2 tahun), harapan untuk
rencana langkah selanjutnya adalah bahwa pemerintah lokal dan/atau pihak-pihak lain untuk
menjaga lebih lanjut jalan tersebut sebagai akses ke Danau Sano Nggoang dan daerah
sekitarnya.
Mekanisme penanganan keluhan akan dibuat memungkinkan semua kelompok orang yang
terkena dampak dapat menyampaikan kekhawatiran dan keluhan mereka.
- - Positif - - Positif
Meskipun kehadiran Proyek dapat menimbulkan potensi dampak positif terhadap pariwisata lokal dengan
perbaikan jalan akses dan meningkatkan interaksi dengan pendatang (yaitu dampak positif terhadap pariwisata,
lihat Bagian 8.4.4, kegiatan Proyek juga memiliki potensi dampak negatif terhadap lingkungan hidup alami yang
dapat mengakibatkan gangguan terhadap aktivitas pengamatan burung. Peningkatan kebisingan dan paparan
cahaya berpotensi mengganggu wisatawan yang mencari ketenangan dan kedamaian, terutama bagi para
pengamat burung yang bergantung pada aktivitas burung-burung yang tidak terganggu. Selain itu, peningkatan
jumlah wisatawan akan membawa lebih banyak orang dan lebih banyak kebisingan ke area tersebut yang dapat
mempengaruhi pengalaman pengamatan burung. Namun, sebagaimana dibahas di Bagian sebelumnya 7.11,
Proyek bertujuan untuk menjaga jarak aman dengan area burung penting, sebagaimana akan dikonsultasikan
dengan Yayasan BirdLife..
Deskripsi: Selama persiapan lahan dan pengeboran sumur, peningkatan kebisingan dan paparan cahaya
dapat membawa dampak negatif bagi wisatawan. Durasi kegiatan eksplorasi Proyek akan
berlangsung selama kurang lebih 2 tahun, selama waktu itu akan ada intensitas kebisingan
yang tinggi dan paparan cahaya harian. Oleh karena itu tingkat keparahan dinilai sedang.
Kepekaan dianggap sedang mengingat terbatasnya jumlah wisatawan per bulan, yang
mengakibatkan rendahnya sifat penting dampak ekonomi untuk mata pencaharian masyarakat.
Mitigasi: UKL-UPL mensyaratkan sejumlah langkah mitigasi untuk menghindari dampak lebih lanjut dari
Proyek terhadap ekowisata, termasuk: konsultasi dan pengungkapan informasi yang memadai
mengenai kegiatan Proyek kepada masyarakat lokal yang terlibat dalam bisnis ekowisata dan
pemangku kepentingan terkait seperti Yayasan Burung Indonesia (BirdLife Foundation)
sebelum melaksanakan konstruksi serta pengeboran sumur, dan implementasi mekanisme
penanganan keluhan (GRM) mengenai isu-isu ekowisata.
Pengelolaan lingkungan yang tepat untuk mengurangi kebisingan harus ada selama
persiapan lahan dan pengeboran sumur (lihat Bagian 7);
Meminimalkan jumlah pencahayaan buatan yang digunakan di lokasi tapak sumur (pad)
dan menggunakan pencahayaan terarah (pencahayaan menghadap ke bawah);
Risiko kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) dalam peristiwa yang tidak direncanakan.
Seperti yang diketahui dalam data rona lingkungan awal, area terkena dampak Proyek (Area of Influence-AOI)
adalah daerah pedesaan, di mana tingkat kebisingan selama waktu siang dan malam (Ldn), rata-rata, di bawah
50 dba - ini jauh di bawah standar tingkat kebisingan dari Pemerintah Indonesia, juga dalam standar kualitas dari
WHO. Area di sepanjang jalan lokal Kecamatan Sano Nggoang didominasi oleh lahan pertanian termasuk kebun
campuran dan padi. Hanya ada tiga lokasi di mana masyarakat bertempat tinggal di sepanjang jalan, terancam
risiko masalah kesehatan yang lebih besar berhubungan dengan timbulnya debu dan kebisingan.
Selain itu, gangguan kebisingan sementara dapat mempengaruhi masyarakat lokal di seluruh bagian
pengeboran dan pengujian sumur eksplorasi Proyek. Area pemukiman terdekat dengan fasilitas Proyek terletak
sekitar 80 m dari Well pad WS-B, sementara sebagian besar lokasi lain yang diajukan berada di area
perkebunan. Namun, dapat dipahami bahwa beberapa lokasi pengeboran berdekatan dengan daerah pertanian,
di mana masyarakat setempat sering memanen hasil hutan/perkebunan, meskipun tidak setiap hari.
PH001 Dampak Emisi Debu dan Gangguan Kebisingan Sementara pada Kesehatan Masyarakat
Aktifitas: Persiapan lahan, perbaikan jalan akses, mobilisasi peralatan dan material, pengembangan
sumur dan aktivitas pengeboran
Deskripsi: Masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang jalan umum dari Jalan Trans Flores ke jalan-jalan
lokal di Sano Nggoang dan masyarakat di sekitar well pad yang direncanakan dianggap
reseptor sensitif yang mungkin mengalami dampak kesehatan dari meningkatnya kebisingan
dan debu. Orang-orang ini berpotensi terkena debu atau TSP dan akan menghadapi
peningkatan tingkat kebisingan dari konstruksi dan pengeboran, yang dapat berdampak pada
kesehatan mereka. Sementara survei rona lingkungan awal mengidentifikasi infeksi saluran
pernapasan atas sebagai penyakit yang paling umum di Kabupaten Manggarai Barat, tidak
diidentifikasi sebagai masalah kesehatan yang bersifat mayor oleh masyarakat di Wae Sano
atau Sano Nggoang. Hal ini dapat terjadi karena penduduk desa-desa ini tidak sering terkena
faktor lingkungan yang menyebabkan penyakit ini. Oleh karena itu sensitivitas dinilai sedang.
Keparahan dinilai Sedang mengingat skala perbaikan jalan/kegiatan konstruksi dan frekuensi
mobilisasi bahan dan peralatan yang mengeluarkan debu, meskipun hanya akan terjadi dalam
jangka pendek.
Mitigasi: Beberapa langkah mitigasi, yang disajikan di Bagian 7 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
dapat meminimalkan emisi debu dan kebisingan yang dihasilkan selama tahap eksplorasi
Selain itu, untuk menyelaraskan dengan harapan Bank Dunia, Proyek diharapkan untuk
membentuk mekanisme pengaduan yang dapat diakses oleh semua kelompok masyarakat
untuk melaporkan masalah debu/emisi/kebisingan. Jika ada keluhan yang diterima, Proyek
akan melakukan investigasi segera sebagai bagian dari prosedur penyelesaian keluhan.
Kemungkinan
Sedang Sedang Moderat Sedang Minor
Tidak Terjadi
Secara umum, emisi H2S dari tahap eksplorasi dianggap relatif kecil dan tidak akan berdampak terukur pada
lingkungan sekitarnya. Namun, risiko terhadap kesehatan masyarakat masih ada jika insiden paparan H2S yang
tidak direncanakan terjadi, karena akan menghasilkan bau yang dapat menyebabkan iritasi mata atau gangguan
pernapasan.
Deskripsi: H2S diketahui beracun bagi manusia pada konsentrasi tinggi, dan mungkin berdampak negatif
jangka panjang pada konsentrasi yang lebih rendah. Paparan H2S dapat mengakibatkan
antara lain gejala gangguan jantung (cardiovascular) dan pencernaan (gastrointestinal). Gejala
pernapasan mungkin termasuk sesak napas, bronkitis, dan pneumonia. Gejala terkait darah
mungkin termasuk mudah memar, jumlah darah abnormal, anemia, atau gangguan
pembekuan. Selama pengujian sumur, potensi terjadinya emisi H2S akibat dari semburan uap
panas. Hal ini dapat terkait dengan dampak negatif kesehatan masarakat terdekat. Namun
mempertimbangkan skala kegiatan Proyek, desain yang ada, dan preferensi untuk
mengembangkan sumur pada jarak yang aman dari area pemukiman mengakibatkan peluang
kejadian rendah dari peristiwa yang tidak direncanakan, sifat penting dampak dinilai sebagai
Moderat.
Mitigasi: Diharapkan bahwa ada desain yang tepat dari well pad dan langkah-langkah rekayasa teknis,
juga persyaratan dalam UKL-UPL untuk mengelola dampak H2S, antara lain termasuk menjauh
Selain itu, langkah-langkah tambahan berikut diperlukan untuk memastikan risiko minimal H2S
terhadap masyarakat:
ERP harus termasuk langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh siapapun di Area
Terdampak Proyek (AOI), dengan demikian masyarakat luas harus dilibatkan selama
proses perencanaan ERP; dan
ERP yang akan dikonsultasikan dan simulasi kejadian darurat harus dilakukan dengan
masyarakat terdekat untuk memastikan masyarakat mengetahui prosedur keselamatan
(menjauh sementara) jika muncul risiko.
Transportasi dan pengiriman peralatan dan material ke dan dari lokasi Proyek diperkirakan dapat meningkatkan
lalu lintas kendaraan di sepanjang koridor jalan, dan dapat menimbulkan risiko keamanan dan gangguan bagi
warga masyarakat, terutama selama konstruksi dan penutupan lokasi, sementara lalu lintas selama kegiatan
pengeboran akan lebih sedikit, sehingga dianggap dapat diabaikan dan tidak dicakup dalam kajian penapisan
awal (lihat Bagian 4.3).
Sekitar 90 - 110 truk akan dimobilisasi (untuk pengeboran standar) dan diperkirakan akan meningkatkan lalu
lintas kendaraan selama persiapan lokasi dan konstruksi, namun berdasarkan survei lalu lintas, jaringan jalan
eksisting saat ini beroperasi jauh di bawah kapasitas. Baik Labuan Bajo ke Werang dan Werang ke Sano Goang
saat ini mengalami arus lalu lintas yang bebas.
TTS001 Dampak Lalu Lintas Kendaraan dan Truk Rig Pengeboran yang Melewati Koridor Jalan
Eksisting dan Pedesaan
Deskripsi: Dampak lalu lintas karena kegiatan konstruksi dan penggunaan peralatan pengeboran dinilai
sebagai Moderat. Peralatan dan material akan dikirimkan ke lokasi Proyek menggunakan jalan
umum yang ada. Perbaikan jalan akan dilakukan selama pembangunan infrastruktur.
Gangguan lalu lintas diperkirakan akan terjadi di tikungan jalan karena kendaraan berat
bergerak perlahan di bagian jalan tersebut. Diperkirakan bahwa banyak dari kendaraan ini
akan menyebabkan kemacetan lalu lintas di jalan-jalan lokal dan persimpangan. Oleh karena
itu tingkat keparahannya dinilai sedang. Sensitivitas dampak adalah Sedang, karena
masyarakat akan terkena dampak akibat penggunaan jalan Trans Flores oleh Proyek.
Mitigasi: Sejumlah langkah untuk ESIA dan UKL-UPL diperlukan termasuk sebelum konstruksi,
Rencana Manajemen Konstruksi (CMP) akan disusun yang mencakup ketentuan-ketentuan
untuk pengelolaaan lalu lintas.
Kontraktor akan diminta untuk mengadopsi dan mematuhi Rencana Pengelolaan Kendaraan &
Lalu Lintas (VTMP) untuk segmen jalan yang terkena dampak. VTMP minimal harus mencakup
hal-hal berikut::
Koordinasi dengan instansi pemerintah terkait mengenai rute jalan yang terkena dampak;
Perancah konstruksi dan kendaraan yang tidak beroperasi harus sejauh mungkin dari
reseptor sensitif;
Penegakan aturan yang ketat batas kecepatan 20 km per jam melalui desa-desa; dan
Pada jalan lokal, rona lingkungan awal juga melaporkan perilaku keselamatan pejalan kaki yang buruk (misalnya
jalan-jalan di area jalan), ngebut, dan pengendara sepeda motor tidak memakai helm. Meskipun tidak ada
insiden terkait jalan yang tercatat di jalan-jalan lokal baru-baru ini, peningkatan lalu lintas dari Proyek berpotensi
memperburuk kerentanan masyarakat terhadap risiko keselamatan.
TTS002 Risiko Keselamatan Pengguna Jalan dan Masyarakat yang Tinggal di sepanjang Jalan
Akses
Deskripsi: Risiko terhadap keselamatan masyarakat dinilai Moderat, mengingat kemungkinan insiden
terjadi di jalan dimana adanya kesadaran dan perilaku keamanan yang buruk. Meskipun
potensi insiden dapat menyebabkan cedera, namun akan ada jumlah kendaraan yang relatif
sedikit yang dimobilisasi sebagai dibandingkan dengan kebutuhan proyek eksploitasi. Tahap
eksplorasi ini akan berlangsung untuk jangka waktu singkat selama 2 tahun. Pada umumnya
kelompok rentan yang akan terkena risiko insiden lalu lintas adalah anak-anak, pejalan kaki
yang berjalan di sisi jalan, dan petani lokal yang secara tidak sengaja merambah area
pengeboran sumur.
Mitigasi: Sejumlah langkah mitigasi akan diimplementasikan untuk mengelola potensi risiko keamanan
bagi masyarakat, yang sejalan dengan persyaratan UKL-UPL, sebagai berikut:
Rencana Pengelolaan Kendaraan & Lalu Lintas (VTMP) akan memerlukan: pemasangan
rambu lalu lintas di sepanjang jalan yang dilewati oleh lalu lintas Proyek, penetapan batas
kecepatan untuk kendaraan Proyek ketika melewati desa-desa atau adanya kelompok
pejalan kaki, ketentuan pelatihan mengemudi secara aman untuk semua pengemudi,
pembuatan jalur setapak baru di area dengan lalu lintas pejalan kaki yang tinggi, dan
hukuman untuk tindakan yang membahayakan pejalan kaki;
Pengaturan pengunjung memasuki area tapak Proyek dimana fasilitas sedang beroperasi.
Rencana Pengelolaan Keamanan (SMP) akan disusun, termasuk penugasan personel
keamanan lokasi, pencatatan di lokasi atau sistem identifikasi, dan langkah-langkah untuk
menanggapi penyusup;
Sebagai bagian dari tanggung jawab sosial Proyek, mengadakan program kampanye
kesadaran keselamatan untuk masyarakat lokal misalnya memberikan pertemuan-
pertemuan di sekolah lokal untuk memberikan informasi tentang bahaya lalu lintas jalan.
Langkah-langkah ini akan dimasukkan dalam Rencana Pengembangan Masyarakat; dan
Proyek ini awalnya mengidentifikasi bahwa beberapa bagian jalan lokal dalam kondisi buruk karena drainase
yang tidak tepat dan kualitas perkerasan yang buruk. Perbaikan telah direncanakan untuk memperbaiki
beberapa segmen jalan umum yang ada untuk mendukung mobilisasi selama eksplorasi. Meskipun ada
beberapa risiko yang terkait dengan peningkatan lalu lintas dari mobilisasi Proyek, tetapi perbaikan jalan akan
menghasilkan beberapa dampak positif.
Deskripsi: Kondisi jalan yang diperbaiki memungkinkan lebih banyak terjadi kegiatan yang terkait dengan
ekonomi seperti meningkatnya jumlah wisatawan yang dapat memicu pengembangan industri
pariwisata dari pada area tersebut, juada akses yang lebih mudah ke kota dan pasar.
Perbaikan bagian jalan raya juga akan membuat transportasi lebih efisien dan lebih aman.
Oleh karena itu, dampak dari perbaikan jalan umum dinilai sebagai Positif. Akan tetapi,
tindakan-tindakan mitigasi masih diperlukan untuk mencegah dampak negatif dari mobilisasi
alat-alat berat dan material Proyek.
Koordinasi dengan institusi pemerintah terkait, yaitu Dinas Pekerjaan Umum, sebelum
proses perbaikan jalan untuk memastikan keselarasan dengan perencanaan pembangunan
wilayah dan pemeliharaan jalan selanjutnya di masa datang, termasuk pembangunan jalan
setapak lokal dan pemasangan rambu – hal ini dimasukkan dalam usulan SEP.
- - Positif - - Positif
Dampak visual dapat dikaitkan dengan kegiatan Proyek, termasuk pembersihan dan persiapan lahan,
pembangunan well pad dan infrastruktur, pengeboran eksplorasi, pengujian sumur, jalur perpipaan untuk
pengujian aliran sumur, mobilisasi alat/mesin berat dan kendaraan, aktivitas pekerja, dan tempat pembuangan
limbah. Selama konstruksi, lanskap visual yang ada akan diubah melalui kegiatan persiapan lahan dan
pembangunan jalan raya, saluran pipa dan well pad. Selama kegiatan konstruksi, lanskap visual eksisting juga
dapat berubah melalui kegiatan penyiapan lahan, konstruksi jalan, perpipaan dan well pad. Lanskap visual juga
dapat berubah oleh adanya akumulasi limbah, mobilisasi alat berat dan konstruksi akhir komponen Proyek.
Timbulan limbah merupakan sumber potensi dampak visual negatif jika tidak disimpan dan dibuang dengan
benar. Mobilisasi alat berat akan menimbulkan dampak visual negatif sementara sepanjang kegiatan konstruksi
dan konstruksi jalan raya, perpipaan dan well pad akan mengakibatkan perubahan permanen pada lanskap.
Sementara itu, selama operasi Proyek Eksplorasi, pengeboran sumur akan menyebabkan bberapa dampak
tambahan dari:
Instalasi dan aktivitas rig pengeboran yang diprakirakan ini berlangsung dalam jangka pendek dan tidak
akan mengubah keseluruhan panorama secara signifikan; dan
Pencahayaan tambahan jika diperlukan kegiatan pengeboran malam hari. Reseptor sensitif termasuk orang
yang tinggal dan bekerja berdekatan dengan well pad, serta satwa liar. Limpahan cahaya malam hari dapat
mengakibatkan polusi visual untuk reseptor manusia yang sensitif, dan dapat mempengaruhi perilaku satwa
liar, khususnya spesies malam hari seperti kelelawar dan banyak spesies amfibi dan mamalia.
Aktifitas: Pembersihan dan persiapan lahan, mobilisasi peralatan dan material, perbaikan jalan,
pembangunan well pad dan infrastruktur, dan pengeboran eksplorasi.
Deskripsi: Dampak visual dinilai memiliki sifat penting dampak Minor. Reseptor peka sebagian besar
terdiri dari orang yang tinggal dan bekerja di dekat komponen Proyek. Rencana lokasi akan
mengakibatkan perubahan signifikan pada lanskap pedesaan yang ada. Namun, dengan
adanya beberapa reseptor sensitif yang dapat terdampak, sensitivitas dianggap sebagai
Sedang. Sementara itu, tingkat keparahan dianggap Rendah. Meskipun rencana lokasi well
pad dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan terhadap lanskap pedesaan yang ada,
area well pad yang bersifat indiikatif pada lokasi yang direncanakan relatif kecil dalam konteks
keseluruhan area Proyek.
Menjaga warna dan struktur material desain untuk pipa dan rig pengeboran, yang sesuai
dengan kondisi alam, jika memungkinkan dan dapat dilakukan;
Manajemen lokasi konstruksi untuk memastikan bahwa alat-alat berat tetap di area yang
ditentukan;
Memastikan pemulihan kembali lokasi yang akan dilakukan mengacu pada kondisi rona
lingkungan awal dan penggunaan lahan sebelumnya dari area yang terkena dampak.
Dalam hal hubungan dengan kelompok etnis lain, sejumlah kecil orang non-Manggarai terlihat mendiami daerah
tersebut, dengan hubungan yang harmonis di antara kelompok-kelompok tersebut. Tidak ada catatan
perselisihan yang signifikan atau konflik yang terjadi di antara kelompok-kelompok masyarakat, seperti yang
diceritakan oleh kepala desa. Dengan perkembangan pariwisata di wilayah yang lebih luas, masyarakat juga
menjadi terbiasa dengan wisatawan dan peneliti yang mengunjungi daerah tersebut, dan oleh karena itu
diharapkan memiliki tingkat penerimaan yang baik untuk para pendatang.
Meskipun sebagian besar sikap positif terhadap Proyek dan karakteristik masyarakat yang umumnya harmonis,
kegiatan Proyek dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kegiatan pertanian yang dapat
memicu ketegangan sosial dan perselisihan jika tidak dikelola dengan benar. Selain itu, PIIM (baik dari pekerja
pendatang maupun non-penduduk lokal yang mencari peluang dari Proyek) akan memperkenalkan praktik
budaya yang berbeda, agama, tekanan, dan perilaku sosial kepada masyarakat. Beberapa kekhawatiran dicatat
selama konsultasi rona lingkungan awal yang terkait dengan pekerja pendatang yang direkrut oleh Proyek yang
berpotensi menghasilkan perubahan pada struktur/tatanan sosial dan nilai-nilai sosio-budaya dalam kehidupan
masyarakat. Kekhawatiran yang teridentifikasidari masyarakat harus dipertimbangkan selama perencanaan dan
pengembangan proyek dari Rencana Pengelolaan Sosial.
SOC001 Gangguan terhadap Nilai, Norma, dan Praktik Budaya Lokal, dan Perubahan Persepsi
Masyarakat
Deskripsi: Kegiatan Proyek akan memperkenalkan tekanan sosial baru yang berasal dari pengenalan
budaya, agama, dan perilaku sosial yang berbeda dari tenaga kerja pendatang. Keresahan
dan konflik masyarakat juga dapat meningkat jika dampak Proyek pada lingkungan tidak
dikelola secara efektif. Meskipun rona lingkungan awal mengidentifikasi adanya persepsi dan
dukungan positif secara umum dari masyarakat lokal terhadap Proyek, struktur sosial budaya
tradisional dan ikatan sosial yang kuat dikombinasikan dengan peningkatan kehadiran bukan
penduduk setempat disebabkan adanya PIIM serta potensi dampak negatif terhadap
lingkungan mengakibatkan sensitivitas dinilai sebagai Sedang.
Mempertimbangkan skala Proyek pada tahap eksplorasi saat ini dan jumlah kebutuhan tenaga
kerja yang relatif kecil - oleh karena itu lebih sedikit risiko untuk masalah benturan budaya
yang signifikan dengan kebiasaan lokal, tingkat keparahan dinilai Sedang, sehingga dampak
terhadap struktur sosial masyarakat dan persepsi masyarakat adalah diperkirakan Moderat.
Mitigasi: Langkah-langkah berikut ini diusulkan untuk memastikan pengelolaan yang baik potensi
dampak negatif Proyek terhadap struktur sosial dan persepsi masyarakat, untuk mencegah
eskalasi masalah lebih lanjut yang dapat mengakibatkan konflik dan penolakan terhadap
kehadiran Proyek. Langkah-langkah ini juga selaras dengan persyaratan UKL-UPL:
Dalam hal pengelolaan tenaga kerja, pemberian pengenalan/pelatihan yang tepat kepada
seluruh pekerja tentang budaya dan kebiasaan setempat, dan mendorong apresiasi pekerja
terhadap budaya-budaya ini, sebagai bagian dari Kode Etik Proyek; dan
Proyek ini bertujuan untuk menghindari daerah-daerah desa tua yang disebutkan sebelumnya, akan tetapi masih
memilih untuk menggunakan air danau karena keterbatasan sumber air lainnya di sekitar rencana tapak Proyek.
Dengan benda-benda budaya yang teridentifikasi dan sejarah tradisional panjang dari adat istiadat
Manggaraian/Mata Wae, ada potensi benda-benda dan/atau situs-situs budaya lainnya yang mempunyai sifat
penting secara budaya yang mungkin tidak dicatat secara formal oleh pemerintah tetapi diakui secara lokal oleh
masyarakat. Potensi dampak lainnya dapat terjadi yang mempengaruhi akses ke situs budaya seperti mata
air/air terjun yang ditemukan di beberapa lokasi di Kecamatan Sano Nggoang. Sumber daya air juga harus
dianggap sebagai reseptor yang sensitif karena kepentingannya secara budaya dan untuk kehidupan dan mata
pencaharian.
Aktifitas: Pembersihan dan persiapan lahan, dan pembangunan well pad dan pembangunan
infrastruktur pendukung
Deskripsi: Masyarakat lokal Manggaraian/Mata Wae menghargai tanah dan sumber daya air sebagai
properti berharga mereka, sementara Danau Sano Nggoang dianggap memiliki nilai budaya
historis, meskipun ini sudah mulai memudar. Ini merupakan tambahan untuk situs cagar
budaya lain yang teridentifikasi dalam rencana Area Pengaruh Proyek (AOI). Situs-situs ini,
namun tidak memiliki perlindungan pengakuan secara formal dari pemerintah sebagai benda
cagar budaya; Oleh karena itu, sensitivitas reseptor dinilai sedang.
Keparahan juga diprakirakan menjadi Sedang, sebagian besar disebabkan Compang dan
Nekara yang teridentifikasi dalam area rencana Well pads A, B, dan E. Meskipun benda-benda
ini diizinkan untuk direlokasi dengan konsultasi dan persetujuan lebih lanjut dari para pemimpin
budaya dan kepala suku keluarga pemilik, tindakan mitigasi lebih lanjut harus dilakukan untuk
membolehkan Proyek melakukannya. Sifat penting dampak dinilai sebagai Moderat.
Berkonsultasi dengan para pemimpin budaya dan kepala suku keluarga pemilik dari lahan
yang terkena dampak mengenai proses untuk menghindari area budaya yang signifikan,
atau jika penghindaran tidak mungkin, untuk berkonsultasi dengan cara yang dapat diterima
secara budaya untuk merelokasi obyek-obyek budaya yang diketahui dalam rencana lokasi
fasilitas Proyek. Selain itu, konsultasi harus dilakukan sehubungan dengan rencana Proyek
untuk menggunakan air Danau Sano Nggoang untuk keperluan pengeboran sumur.
Konsultasi ini harus dimulai lebih awal selama proses desain Proyek saat ini, sebelum
proses pengadaan tanah;
Menggunakan Peta Sensitivitas yang dikembangkan untuk ESIA ini (Bagian 6.4 Kondisi
Rona Lingkungan Awal Sosial) yang mengidentifikasi beberapa area budaya yang bersifat
penting, dalam menentukan lokasi well pad dan mengkonfirmasikan deskripsi/proses
Proyek termasuk pengambilan air danau untuk pengeboran sumur;
Konsultasi dan koordinasi lebih lanjut dengan dinas budaya regional dan universitas lokal
untuk mengkonfirmasi hasil pemetaan sensitivitas dan mengidentifikasi potensi gangguan
akses ke situs-situs budaya; dan
Pengembangan prosedur penemuan tak terduga benda cagar budaya yang harus dipahami
oleh para kontraktor dan pekerja Proyek.
Risiko yang lebih tinggi dari pelanggaran hak buruh dapat muncul terutama dalam proyek berskala besar yang
melibatkan sejumlah besar angkatan kerja dan banyak kontraktor dan subkontraktor. Meskipun Proyek Waesano
pada tahap eksplorasi hanya akan mempekerjakan sejumlah kecil pekerja, potensi masalah masih ada karena
akan melibatkan pekerja lokal yang mungkin terbiasa dengan proses ketenagakerjaan formal dan sejauh mana
mereka mempunyai hak ketika bekerja dengan Proyek. Bank Dunia mensyaratkan semua proyek yang didanai
untuk menerapkan standar yang sama berdasarkan persyaratan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Hal ini
meliputi berbagai persyaratan pengelolaan tenaga kerja termasuk ketentuan mekanisme penanganan keluhan
bagi pekerja.
Masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dapat terjadi selama tahap eksplorasi termasuk: paparan fluida
dan gas panas bumi, paparan suhu tinggi, bekerja di ruang terbatas dan bahaya kebisingan serta fisik dari
pergerakan kendaraan.
Risiko utama dengan pengeloaan tenaga kerja Proyek tidak hanya akan memastikan pemenuhan persyaratan
hak-hak pekerja, tetapi melakukan upaya yang wajar untuk memastikan bahwa kontraktor patuh. Ini termasuk
memastikan kesetaraan gender dan kesempatan yang sama bagi penduduk setempat untuk memperoleh
manfaat dari bekerja langsung dan tidak langsung oleh adanya Proyek (termasuk peluang bisnis tidak langsung
untuk menyediakan layanan/jasa bagi pekerja). Kelalaian dalam manajemen tenaga kerja oleh kontraktor dapat
berdampak pada hak pekerja, misalnya dalam kaitannya dengan sistem pengupahan. Jika Pemrakarsa Proyek
tidak mengambil langkah untuk memastikan pelaksanaan manajemen tenaga kerja yang memadai oleh
kontraktornya, maka dampak negatif terhadap hak pekerja dapat terjadi.
Potensi dampak lainnya yang terkait dengan tenaga kerja adalah dari demobilisasi tenaga kerja pada akhir
Proyek Eksplorasi, tanpa kepastian kelanjutan bekerja dalam tahap eksploitasi. Masyarakat lokal akan
menghadapi akhir kontrak mereka dan beberapa di antara mereka adalah pekerja lepas yang akan menjadi
pengangguran tanpa ha katas tunjangan atau pesangon. Proyek perlu mengantisipasi masalah ini, karena risiko
sosial disebabkan tingginya harapan masyarakat untuk manfaat Proyek lebih lanjut mungkin tinggi.
Deskripsi: Harus dipahami bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja
dan sumber pendapatan harus disertai dengan perlindungan hak-hak dasar pekerja. Potensi
dampak terhadap pelanggaran hak-hak pekerja dan kondisi kerja dari kegiatan Proyek,
termasuk ketidaksetaraan gender dan kesempatan yang tidak sama, dianggap Minor.
Meskipun ada peluang bahwa pelanggaran dapat terjadi, khususnya bagi pekerja di bawah
subkontraktor, pekerja informal/lepas/tidak terampil, dan pekerja lokal, Proyek hanya akan
mempekerjakan sejumlah kecil penduduk lokal dalam waktu yang sangat singkat.
Mitigasi: Proyek berkomitmen untuk kondisi kerja yang memadai dan ketentuan ketenagakerjaan yang
konsisten dengan standar perundang-undangan nasional dan internasional yang relevan untuk
dimasukkan dalam Rencana Pengelolaan Tenaga Kerja (Labor Management Plan-LMP) atau
Peraturan Perusahaan. Kondisi kerja dan ketentuan ketenagakerjaan mencakup aspek-aspek
seperti upah dan tunjangan; jam kerja; pengaturan lembur dan kompensasi lembur;
istirahat/rihat; hari-hari libur; serta cuti untuk sakit, bersalin, libur atau liburan.
Selain itu, Rencana Pengelolaan Pekerja (LMP) akan menentukan, menjaga dan
meningkatkan hubungan pekerja-manajemen untuk mendorong perlakuan yang adil,
kesetaraan gender, non-diskriminasi dan kesempatan yang sama bagi pekerja, dan
memungkinkan mekanisme pengaduan bagi pekerja.
Untuk memastikan konsistensi antara proyek dengan kontraktor, akan termasuk dalam
persyaratan kontrak untuk semua kontraktor dan pemasok bahwa mereka akan sepenuhnya
mematuhi perundang-undangan dan peraturan pemerintah Indonesia dan LMP.
8.10.3. Risiko K3
Proyek ini akan mengakibatkan paparan risiko bagi tenaga kerja Proyek melalui kegiatan Eksplorasi Proyek yang
dapat berpotensi berakibat kecelakaan yang menyebabkan cedera. Meskipun akan ada risiko minimum di jalan
bagi pekerja selama mobilisasi kendaraan, namun risiko kesehatan dan keselamatan kerja berikut (OHS) sering
muncul di seluruh tahap Proyek eksplorasi yang ada:
Paparan kerja terhadap gas panas bumi, terutama H2S, dapat terjadi selama pelepasan fluida panas bumi
non-rutin (misalnya kegagalan pipa) dan pekerjaan pemeliharaan di ruang terbatas. Sifat penting bahaya
H2S dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan formasi geologis khususnya untuk area pengeboran.
Paparan panas akan terjadi selama kegiatan konstruksi dan selama operasi serta pemeliharaan pipa, sumur,
dan peralatan panas terkait dan dari paparan non-rutin seperti potensi kecelakaan akibat semburan (blow
out) selama pengeboran serta tidak bekerjanya instalasi untuk islosai dan penyaluran uap;
Masalah juga dapat terjadi akibat penggunaan alat berat dan bahan berbahaya selama tahap pengeboran
dan dari masuknya ke ruang terbatas seperti ke dalam well pad untuk kegiatan pengeboran, dan area terkait
konstruksi lainnya. Tingkat potensi kecelakaan di ruang terbatas dapat bervariasi di antara fasilitas panas
bumi tergantung pada desain ruang, peralatan di tempat, dan keberadaan air tanah atau fluida panas bumi.
Selain itu, pertimbangan harus diberikan terhadap potensi kebakaran yang disebabkan oleh percikan
peralatan, pengelasan, atau rokok;
Masalah kesehatan dan keselamatan lebih lanjut dapat timbul dari gangguan kebisingan sementara selama
tahap eksplorasi, pengeboran dan konstruksi. Tingkat kebisingan dari operasi ini dapat berkisar dari 45
hingga 120 desibel (dBA), dan berasal dari operasi peralatan seperti pengeboran udara (air drilling),
pengeboran lumpur, pembuangan sumur setelah pengeboran, pengujian sumur, dan pengoperasian mesin
diesel dan mesin berat. Ambang batas rasa sakit pada manusia dari kebisingan adalah 120 dBa pada
2.000–4.000 Hz.
LOHS002 Resiko K3
Deskripsi: Sifat penting risiko K3 dari kegiatan Proyek dinilai sebagai Moderat. Meskipun ada potensi
tinggi terjadinya insiden K3 selama kegiatan eksplorasi, tenaga kerja relatif kecil dibandingkan
dengan tahap eksploitasi. Risiko akan berkurang dengan prosedur K3 dan pengawasan yang
tepat di tempat.
Mitigasi: Proyek akan menyiapkan Rencana Kesehatan & Keselamatan Kerja (OHS). Langkah-langkah
yang termasuk dalam Rencana K3 harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada hal-hal berikut
sesuai dengan peraturan pemerintah Indonesia tentang K3 dan selaras dengan ketentuan
Kebijakan Perlindungan Bank Dunia:
Menyediakan tim tanggap darurat untuk fasilitas-fasilitas dan pekerja di lokasi dengan risiko
paparan tinggi, dan dokumentasi dan pelaporan kecelakaan kerja, penyakit, dan insiden;
Untuk memastikan semua kontraktor dan subkontraktor yang bekerja di lokasi atau di area
terdekat dari kegiatan Proyek mematuhi kebijakan Proyek K3 dan berencana untuk
melakukan penilaian/pemeriksaan keamanan harian dan rapat manajemen K3 mingguan;
dan
Untuk tujuan kajian ini, dampak kumulatif didefinisikan sebagai dampak incremental/bertahap proyek setelah
mtiigasi, dipertimbangkan dalam hal konteks proyek dan kegiatan lain di area tersebut, dari sudut pandang
reseptor sensitif selama kajian dampak ini.
Proyek Eksplorasi Panas Bumi Waesano menggambarkan suatu kegiatan yang sangat baru di sekitar lokasi.
Tidak ada proyek infrastruktur besar pada masa mendatang yang direncanakan untuk area ini. Dengan demikian,
tidak terdapat banyak aspek operasional yang akan berinteraksi secara kumulatif dengan aktivitas antropogenik
lain. Namun, aktivitas pengeboran sumur akan mempunyai dampak lingkungan tipikal lingkungan umum yang
terkait dengan pekerjaan sipil apapun, dan dengan demikian memiliki kemungkinan untuk berinteraksi dengan
aktivitas lain dalam beberapa cara.
Kegiatan saat ini dan mendatang yang telah dipertimbangkan dalam menyusun kajian dampak kumulatif adalah:
Kegiatan pariwisata;
Program pembangunan pemerintah untuk perbaikan jalan akses ke area pengamatan burung; dan
Penggunaan jalan akses meliputi mobilasi masyarakat antar desa, ke Pelabuhan Labuan Bajo, dan
mobilisasi wisatawan.
9.3. Mitigasi
Kegiatan Proyek, sebagaimana dijelaskan pada ESIA ini (mengacu pada bagian 7 dan 8), direkomendasikan
bagi Proyek untuk melakukan sejumlah tindakan tambahan untuk mengelola dampak kumulatif, sebagai berikut:
Dampak pada tutupan lahan akan dikelola pada tahap perencanaan Proyek; tindakan teknik rekayasa
(engineering) akan dilakukan untuk meminimalkan kebutuhan lahan untuk kegiatan eksplorasi;
Dampak kumulatif limbah akan dikelola melalui implementasi Rencana Pengelolaan Limbah (WMP);
Tindakan yang direkomendasikan untuk mengelola dampak kumulatif terhadap ekologi darat pada lahan
tertentu termasuk dalam proses seleksi alternatif Proyek dengan mempertimbangkan area ekologis
sensitif, untuk mencegah gangguan lebih lanjut pada habitat darat;
Untuk mengelola dampak kumulatif dari meningkatnya lalu lintas yang mungkin menyebabkan
kemacetan lalu lintas atau insiden keselamatan untuk masyarakat setempat, memasang tidak hanya
tanda lalu lintas dekat area well pad, namun juga di sepanjang ruas jalan akses Proyek yang
berpotongan dengan jalan umum. Proyek harus mendorong peraturan mengemudi yang aman termasuk
batas kecepatan maksimal, dan mendukung peningkatan kesadaran keselamatan publik misal melalui
poster edukasi pada area yang akan dilihat oleh publik;
Berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal rencana pembangunannya untuk menjaga dan
meningkatkan kualitas jalan umum di area yurisdiksi mereka; dan
Potensi dampak kumulatif pada aspek sosial dan mata pencaharian masyarakat, dari sisi Proyek akan
dikelola melalui rencana keterlibatan pemangku kepentingan (SEP) dan rencana pengembangan
Bab ini menyampaikan penapisan awal dampak untuk tahap eksploitasi Proyek untuk masa yang akan datang
berdasarkan pengalaman AECOM dengan proyek eksploitasi panas bumi pada skala yang sama. Pelingkupan
dan kajian dampak terperinci dari kegiatan eksploitasi Proyek akan dilakukan lagi setelah penjelasan dan desain
Proyek dikonfirmasikan berdasarkan hasil eksplorasi pada tahap saat ini.
Penyaringan potensi dampak lingkungan dan sosial dari skema potensi eksplotasi Proyek; dan
Kategorisasi proyek berdasarkan pada kebijakan Pemerintah Indonesia dan Upaya Perlindungan Bank
Dunia.
Tabel di bawah ini menyajikan tidak hanya penapisan pada semua potensi dampak lingkungan selama tahap
eksploitasi Proyek, namun juga kajian awal dari unsur-unsur utama lingkungan yang kemungkinan terkena
dampak signifikan oleh kegiatan konstruksi dan operasi Proyek selama tahap eksploitasi.
Kegiatan Kualitas udara Degradasi kualitas udara yang disebabkan oleh PP No 27 Tahun 2012 tentang Memastikan bahwa emisi diminimalisir melalui pemeliharaan rutin
Pengeboran dari polusi udara dapat terjadi selama mobilisasi, Izin Lingkungan mesin untuk memenuhi standar emisi yang relevan
Pengembangan kegiatan pengeboran dan selama pengujian
PP No. 41 tahun 1999 tentang Strategi pemilihan kendaraan untuk mempertimbangkan dampak
well pad dan kapasitas sumur. Gas yangdihasilkan dari emisi
Pengendalian Pencemaran Udara terhadap total emisi
Sumur reinjeksi kendaraan dan tanah yang dieksploitasi/diekspos
meliputi CO, CO2, H2S, SO2, N2, uap, dll. Bank Dunia OP 4.01 Kajian Memastikan bahwa mesin semua kendaraan dan mesin di lokasi
Lingkungan dimatikan saat tidak dibutuhkan
Degradasi kualitas udara cenderung tidak menjadi
dampak signifikan karena aktivitas kendaraan dan Menyiapkan Rencana Pengelolaan Kendaraan & Lalu Lintas (VTMP)
alat berat minimum yang hanya akan terjadi dalam
Pembangkit listrik dan peralatan yang akan digunakan dalam proyek
jangka pendek selama kegiatan pengeboran.
agar sesuai dengan standar desain kinerja yang diakui
Tingkat kebisingan Peningkatan tingkat kebisingan mungkin dapat PP No 27 Tahun 2012 tentang Memilih peralatan dengan fitur pengurangan kebisingan
terjadi dari pengoperasian alat berat selama Izin Lingkungan
Memasang pengurangan kebisingan pada peralatan jika
kegiatan pengeboran atau selama pengujian sumur;
Keputusan MenLH No. KEP- memungkinkan
hal ini akan menjauhkan hewan dari lokasi proyek
48/MENLH/11/1996 tentang Baku
dan kemungkinan akan menyebabkan kebisingan Mempertimbangkan pemasangan peredam kebisingan dekat reseptor
Tingkat Kebisingan
bagi penduduk di sekitarnya. sensitif;
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
Peningkatan tingkat kebisingan cenderung tidak Memasang isolasi getaran untuk peralatan mekanis
Lingkungan
menjadi dampak signifikan karena aktivitas
Mengembangkan mekanisme penyampaian keluhan yang efektif
kendaraan dan alat berat minimum yang hanya
untuk mencatat keluhan kebisingan dan menanggapinya.
akan terjadi dalam jangka pendek selama kegiatan
pengeboran.
Limbah bahan Selama kegiatan pengeboran, berbagai jenis limbah PP No 27 Tahun 2012 tentang Menyiapkan Rencana Pengelolaan Limbah sesuai dengan peraturan
berbahaya dan B3 mungkin dapat dihasilkan dari kegiatan bengkel Izin Lingkungan
Menyiapkan Rencana Tanggap Daurat terhadap tumpahan limbah
beracun (B3) dan pemeliharaan kendaraan, termasuk filter bekas,
PP No. 101 tahun 2014 tentang B3.
selang bekas, baterai bekas, dan bahan kimia atau
Pengelolaan Limbah Berbahaya
aditif sisa/bekas.
dan Beracun (B3)
Dampak limbah B3 cenderung tidak signifikan
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
karena diprakirakan kegiatan pengeboran akan
Lingkungan
dilakukan dalam periode jangka pendek dan limbah
yang dihasilkan diprakirakan kecil.
Limbah lumpur bor Karakteristik kimia dari lumpur dan serbuk bor akan PP No 27 Tahun 2012 tentang Menyiapkan Rencana Pengelolaan Limbah sesuai dengan peraturan
dan serbuk bor dipengaruhi oleh aditif yang digunakan dalam fluida Izin Lingkungan yang berlaku
pengeboran. Limbah lumpur akan mengakibatkan
Peraturan Menteri ESDM No. 21 Menyiapkan Rencana Tanggap Darurat terhadap tumpahan limbah
kekeruhan sementara dalam insiden limpahan yang
tahun 2017 tentang Pengelolaan B3.
terjadi.
Limbah Lumpur Bor dan Sumur
Limbah lumpur bor dan serbuk bor cenderung tidak Bor pada Pengeboran Panas
menjadi dampak signifikan karena akan Bumi
dihasilkan selama periode singkat selama kegiatan
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
pengeboran dan limbah ini tidak dikategorikan
Lingkungan
sebagai limbah B3.
Kualitas air Dampak terhadap degradasi kualitas air permukaan PP No 27 Tahun 2012 tentang Pemasangan casing dan seal dengan tepat pada sumur reinjeksi
permukaan mungkin terjadi sebagai akibat dari buangan brine. Izin Lingkungan Menyiapkan Rencana Tanggap Darurat terhadap limpahan brine.
Meskipun brine akan diinjeksikan kembali ke dalam
PP No. 82 tahun 2001 tentang
sumur, ada kekhawatiran jika terjadi insiden
Pengelolaan Kualitas Air dan
limpahan sehingga masuk ke badan air yang dapat
Pengendalian Pencemaran Air
mengganggu kualitas air permukaan.
Peraturan KLH No. 13 tahun 2007
Penurunan kualitas air permukaan cenderung tidak
tentang Persyaratan dan Tata
menjadi dampak signifikan karena sistem jaringan Cara Pengelolaan Air Limbah bagi
tertutup dan brine diinjeksikan kembali ke dalam Usaha dan/atau Kegiatan Hulu
sumur. Migas serta Panas Bumi dengan
cara Injeksi
Sumber daya air Penggunaan air selama kegiatan pengeboran PP No 27 Tahun 2012 tentang Hindari eksploitasi berlebihan pada sumber daya air tawar - temukan
permukaan berpotensi menimbulkan dampak terhadap aliran Izin Lingkungan berbagai sumber, pertimbangkan aliran dengan laju aliran tinggi,
alami dari sumber daya air dan air danau. pengeboran selama musim hujan, gunakan bendungan atau kolam
PP No 42 Tahun 2008 tentang
Pengambilan air permukaan yang berkelanjutan penyimpanan, dan mengambil air tidak lebih dari 1/3 dari aliran
Pengelolaan Sumber Daya Air
mungkin dapat menurunkan laju volumetrik aliran rendah musiman dari fitur air permukaan
pada saluran air. Dampaknya diprakirakan akan Bank Dunia OP 4.01 Kajian
Identifikasi penggunaan air lainnya seperti irigasi pertanian dan
lebih terasa selama musim kemarau. Lingkungan
pastikan tingkat pengambilan air yang berkelanjutan tidak
Studi rona awal dari eksplorasi menunjukkan bahwa mengganggu penggunaan air domestik, perikanan, dll.
ada kekhawatiran mengenai kelangkaan sumber
Menggunakan kembali air pendingin untuk penggunaan lainnya, atau
daya air. Dengan demikian, kemungkinan
gunakan sistem jaringan tertutup.
dampaknya signifikan.
Melakukan pemantauan debit aliran di musim hujan dan kemarau
untuk mengetahui rona awal dari laju aliran pada badan air yang akan
digunakan selama pengeboran agar tidak ada pengambilan air yang
berlebihan.
Fitur panas bumi Gangguan terhadap fitur panas bumi mungkin dapat PP No 27 Tahun 2012 tentang Identifikasi dan hindari fitur-fitur penting (sumber daya seperti budaya,
seperti mata air terjadi dari pemompaan atau reinjeksi air panas Izin Lingkungan sejarah, spiritual, ilmiah, biologi, lanskap, ekowisata, dll.)
panas bumi, atau dari pengambilan air permukaan. Hal ini
Bank Dunia OP 4.01 Kajian Menghindari perusakan atau gangguan fitur panas bumi jika
cenderung tidak menjadi dampak signifikan dalam
Lingkungan memungkinkan
proses normal.
Memodelkan reservoir dan fitur panas bumi. Pantau aktivitas untuk
Air tanah dan Pengambilan berlebihan sumber daya panas bumi, PP No 27 Tahun 2012 tentang Pemodelan abstraksi panas bumi dan rejeksi
reservoir panas menyebabkan penurunan muka tanah, intrusi Izin Lingkungan
Menempatkan sumur make up dan reinjeksi untuk memaksimalkan
bumi garam, dampak pada tingkat akuifer, dan penurunan
PP No 43 Tahun 2008 tentang Air penggunaan sumber daya panas bumi secara efisien dan
cadangan/pasokan panas bumi. Alternatif untuk
Tanah menghindari penurunan muka tanah
sumber air telah disiapkan. Oleh karena itu dampak
masalah air tanah cenderung tidak menjadi Bank Dunia OP 4.01 Kajian Memantau penurunan mukan tanah, muka air tanah dan kualitas air
signifikan. Lingkungan
Membuat dan menjaga sumur untuk menghindari gangguan pada air
tanah
Kualitas air tanah Kontaminasi air tanah mungkin terjadi sebagai PP No 27 Tahun 2012 tentang Menyiapkan sumur dengan selubung (casing) perlindungan kepala
akibat gangguan dengan adanya air panas bumi Izin Lingkungan sumur yang tepat untuk mencegah kontaminasi
dari sumur reinjeksi.
Peraturan Menteri Kesehatan No. Memantau muka sumur dan tekanan sumur untuk mengidentifikasi
Dampak lain disebabkan oleh buangan sulfur, silika, 416 tahun 1990 tentang Standar kebocoran lebih awal dan memperbaiki casing atau menutup sumur
dan karbonat yang dikumpulkan dari menara Kualitas Air Bersih untuk menghindari kontaminasi lebih lanjut
pendingin, sistem pembersih udara (air scrubber),
Bank Dunia OP 4.01 Kajian Analisis rinci terhadap struktur akuifer dan penggunaan air tanah
turbin, dan pemisah uap ke darat..
Lingkungan eksisting di daerah pengembangan
Penurunan kualitas air tanah cenderung tidak
Harus diidentifikasi pengguna air tanah eksisting di sekitar sumur
menjadi dampak signifikan karena Proyek telah
operasional (misalnya 1 km). Selain itu, harus dikumpulkan beberapa
mendesain kolam air yang dilapisi untuk mencegah
informasi teknis tentang sumur air tanah eksisting (misalnya
kontaminasi.
kedalaman, aliran, dll.)
tanggul/penghalang.
Flora ekologi darat Dampak langsung terhadap vegetasi selama Undang-undang Indonesia No.5 Hindari pengeboran di dalam hutan lindung
pengeboran eksploitasi mungkin tidak berbeda tahun 1990 tentang Konservasi
dengan dampak langsung pengeboran eksplorasi Sumber Daya Alam Hayati
pada saat pengeboran dilakukan.
PP No 27 Tahun 2012 tentang
Kehilangan vegetasi yang disebabkan oleh Izin Lingkungan
pengeboran eksploitasi cenderung tidak menjadi
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
dampak signifikan dibandingkan dengan dampak
Lingkungan
serupa pada pengeboran eksplorasi, kecuali pada
area untuk produksi dan sumur pengeboran injeksi
secara signifikan lebih luas daripada area untuk
pengeboran eksplorasi.
Fauna ekologi Kepedulian proyek terhadap satwa liar juga Undang-undang Indonesia No.5 Hindari pengeboran di dalam hutan lindung
darat diharapkan akan menghindari populasi satwa liar tahun 1990 tentang Konservasi
yang menurun di dalam hutan lindung Sesok - Sumber Daya Alam Hayati
sarang spesies burung endemik sebagai
PP No 27 Tahun 2012 tentang
implementasi dari hirarki mitigasi untuk konservasi
Izin Lingkungan
keanekaragaman hayati..
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
Lingkungan
Pembangunan Kualitas udara Degradasi kualitas udara yang disebabkan oleh PP No 27 Tahun 2012 tentang Memastikan bahwa emisi diminimalisir melalui pemeliharaan rutin
Pembangkit polusi udara mungkin terjadi selama kegiatan Izin Lingkungan mesin untuk memenuhi standar emisi yang relevan;
Listrik dan mobilisasi dan konstruksi.
PP No. 41 tahun 1999 tentang Strategi pemilihan kendaraan untuk mempertimbangkan dampak
Fasilitas
Emisi debu fugitive mungkin dihasilkan oleh Pengendalian Pencemaran Udara terhadap total emisi;
Pendukung,
berbagai kegiatan konstruksi seperti pemindahan
termasuk jalur Bank Dunia OP 4.01 Kajian Memastikan bahwa mesin semua kendaraan dan mesin di lokasi
tanah untuk penggalian dan pekerjaan sipil yang
transmisi Lingkungan dimatikan apabila tidak diperlukan.
terkait dengan konstruksi well pad, pengangkutan
serbuk bor dari sumur, pembersihan vegetasi, Menyiapkan Rencana Pengelolaan Kendaraan & Lalu Lintas (VTMP)
penimbunan tanah, dan pergerakan peralatan dan
Mematuhi standar desain kinerja yang diakui
Degradasi kualitas udara cenderung tidak menjadi
dampak signifikan karena minimnya kendaraan
Proyek dan mobilisasi alat berat yang hanya akan
terjadi dalam jangka pendek selama kegiatan
pengeboran.
Tingkat kebisingan Peningkatan tingkat kebisingan dapat terjadi dari PP No 27 Tahun 2012 tentang Menerapkan kontrol kecepatan dan prosedur manajemen transportasi
pengoperasian alat berat selama mobilisasi dan Izin Lingkungan lain yang diperlukan, terutama yang berdekatan dengan reseptor
kegiatan konstruksi, menjadi potensi gangguan bagi sensitif
Keputusan MenLH No. KEP-
masyarakat di sekitarnya.
48/MENLH/11/1996 tentang Baku Sedapat mungkin mengurangi arus lalu lintas proyek melalui area
Peningkatan tingkat kebisingan cenderung tidak Tingkat Kebisingan publik
menjadi dampak signifikan karena minimnya
Bank Dunia OP 4.01 Kajian Memberitahukan pemilik rumah tentang kebisingan terkait lalu-lintas
kendaraan Proyek dan mobilisasi alat berat yang
Lingkungan pada jadwal proyek yang direncanakan
hanya akan terjadi dalam waktu singkat selama
kegiatan pengeboran Kontraktor harus menerapkan dan mematuhi Rencana Pengelolaan
Kendaraan & Lalu Lintas (VTMP)
Limbah bahan Selama pembangunan pembangkit listrik dan PP No 27 Tahun 2012 tentang Menyiapkan Rencana Pengelolaan Limbah sesuai dengan peraturan
berbahaya dan fasilitas, potensi berbagai jenis limbah bahan Izin Lingkungan lokal dan pedoman Bank Dunia
beracun (B3) berbahaya dan beracun (B3) dapat dihasilkan dari
PP No. 101 tahun 2014 tentang Menyiapkan Rencana Tanggap Darurat tumpahan B3
kegiatan bengkel dan pemeliharaan kendaraan,
Pengelolaan Limbah Bahan
termasuk filter bekas, selang bekas, baterai bekas,
Berbahaya dan Beracun (B3)
dll.
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
Dampak limbah B3 cenderung tidak menjadi
Lingkungan
dampak signifikan karena timbulan sampah yang
hanya akan terjadi dalam jangka pendek selama
kegiatan pengeboran.
Erosi dan Pembukaan lahan di lereng yang curam dapat PP No 27 Tahun 2012 tentang Stabilisasi permukaan yang miring menggunakan vegetasi dengan
sedimentasi membentuk area terbuka yang rentan terhadap Izin Lingkungan penanaman atau stabilisasi dengan pasangan batu
erosi dan meningkatkan air limpasan permukaan.
PP No. 82 tahun 2001 tentang Pemasangan penghalang seperti kolam endapan dan saluran
Jika tidak dikelola dengan tepat, air limpasan
Pengelolaan Kualitas Air dan pembuangan
permukaan dapat membawa sedimen ke badan air.
Pengendalian Pencemaran Air
Mempertimbangkan penggunaan jarring bronjong (gabion trap) dan
Erosi dan sedimentasi cenderung tidak menjadi
Bank Dunia OP 4.01 Kajian sistem penahan
dampak signifikan apabila tindakan pengendalian
Lingkungan
sedimen diimplementasikan. Membangun undak-undakan untuk lereng yang curam
Kualitas air Sebagai akibat dari erosi, limpasan sedimen ke PP No 27 Tahun 2012 tentang Delineasi area yang akan dibuka sebelum pembersihan lahan atau
permukaan sungai/danau dapat menyebabkan kekeruhan dan Izin Lingkungan aktivitas pemindahan tanah dimulai, untuk membatasi area yang
penurunan kualitas air permukaan (fisik-kimia- terganggu. Jika memungkinkan, lakukan pembersihan lahan secara
PP No. 82 tahun 2001 tentang
mikrobiologi). bertahap untuk meminimalkan area yang terganggu dan
Pengelolaan Kualitas Air dan
pembentukan sedimen pada waktu tertentu
Penurunan kualitas air permukaan cenderung Pengendalian Pencemaran Air
signifikan terutama selama musim hujan. Memastikan desain rinci jalan akses meminimalkan gangguan aliran
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
air permukaan. Berikan saluran drainase yang memadai untuk
Lingkungan
meminimalkan kontaminasi anak sungai dengan adanya lumpur dan
Flora ekologi darat Kegiatan konstruksi akan melibatkan Pembukaan PP No 27 Tahun 2012 tentang Jika memungkinkan, pengaturan alignment/batas area kerja harus
dan persiapan lahan lokasi pengeboran untuk Izin Lingkungan dimodifikasi untuk menghindari dampak langsung terhadap spesies
konstruksi tapak sumur, perbaikan jalan akses yang tanaman yang memiliki kepentingan konservasi dan/atau pohon
PP No. 7 tahun 1999 tentang
ada, mobilisasi material dan peralatan, dan besar. Jika modifikasi terhadap batas tidak memungkinkan,
Konservasi Flora dan Fauna
persiapan infrastruktur pendukung. Kegiatan ini transplantasi spesies tanaman langka/dilindungi harus
dapat berdampak langsung pada vegetasi. Bank Dunia OP 4.04 Habitat dipertimbangkan
Alami
Dampak ini cenderung tidak menjadi dampak Menjelaskan secara jelas wilayah-wilayah untuk persiapan
signifikan karena area Proyek dikategorikan lahan/kegiatan lain di lapangan untuk mencegah hilangnya tanaman
sebagai Hutan untuk Area Penggunaan Lain dan di luar area kerja yang ditentukan
saat ini didominasi oleh pertanian dan perkebunan
Konstruksi tidak diizinkan dalam jarak 5 m dari dripline pohon-pohon
yang tidak banyak memiliki vegetasi asli..
besar untuk kepentingan konservasi untuk menghindari kerusakan
pada akar pohon
Fauna ekologi Pekerjaan infrastruktur sipil akan mengakibatkan PP No 27 Tahun 2012 tentang Pengurangan gangguan habitat, seperti tidak melebihi tapak Proyek
darat hilangnya habitat permanen, yang secara langsung Izin Lingkungan yang ditentukan dengan memberi pagar atau memasang bendera
mempengaruhi fauna yang menggunakan area ini.
PP No. 7 tahun 1999 tentang Pelatihan staf konstruksi tentang respons yang tepat terhadap
Dampak langsung terhadap satwa liar juga dapat
Konservasi Flora dan Fauna pertemuan dengan satwa liar yang mungkin terjadi di area Proyek
terjadi di dalam batas-batas area konstruksi jika
satwa liar masuk ke lokasi konstruksi dan Bank Dunia OP 4.04 Habitat Pembuangan limbah konstruksi dan limbah pekerja yang tepat
menimbulkan risiko bagi individu fauna di dalam dan Alami
Memberi pagar/papan pembatas di sekitar area kerja untuk
di sepanjang batas lokasi.
mencegah masuknya hewan dan meminimalkan dampak gangguan
Gangguan terhadap fauna darat mungkin menjadi cahaya
signifikan karena diprakirakan ada perubahan
Peningkatan/penciptaan habitat untuk mengimbangi dampak
habitat dan ada 9 spesies burung yang dilindungi
langsung/tidak langsung dan permanen/sementara pada habitat untuk
teridentifikasi di wilayah tersebut, berdasarkan
spesies kunci untuk kepentingan konservasi. Ini harus diberikan pada
peraturan Indonesia.
rasio 3: 1, terutama pada lokasi setempat.
Produksi Panas Kualitas udara Penurunan kualitas udara yang disebabkan oleh PP No 27 Tahun 2012 tentang Mempertimbangkan opsi teknologi yang mencakup injeksi ulang gas
Bumi/Operasi emisi H2S melalui venting mungkin terjadi selama Izin Lingkungan secara total atau parsial dengan fluida panas bumi
dan operasi pembangkit listrik, ada potensi untuk PP No. 41 tahun 1999 tentang Personil yang bertanggung jawab atas pengujian, venting dan
Pemeliharaan menimbulkan emisi Non Condensable Gasses Pengendalian Pencemaran Udara commissioning harus setiap saat membawa alat deteksi gas H2S,
(NCGs) yang mengandung H2S. masker untuk kondisi darurat dan APD. Penting bahwa kadar H2S
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
yang berpotensi beracun dimonitor selama instalasi awal dan
Degradasi kualitas udara ke masyarakat di sekitar Lingkungan
commissioning;
wilayah proyek kemungkinan akan menjadi
signifikan dalam jangka panjang. Ketika injeksi ulang total tidak layak, pelepasan/venting H2S, apabila
berdasarkan kajian potensi dampak terhadap konsentrasi ambien,
konsentrasi H2S tidak akan melebihi standar ambien yang berlaku;
Tingkat kebisingan Operasi pembangkit listrik akan menghasilkan PP No 27 Tahun 2012 tentang Konsultasi dengan masyarakat dekat pembangkit listrik yang mungkin
kebisingan dari peralatan operasi yang bersumber Izin Lingkungan terkena dampak
dari turbin uap dan menara pendingin (cooling
Keputusan MenLH No. KEP- Pemilihan peralatan dengan fitur peredam kebisingan
tower). Selama operasi normal, suara pada 55 dB
48/MENLH/11/1996 tentang Baku
(A) dapat didengar dari jarak hingga 500 m. Mempertimbangkan pemasangan peredam kebisingan dekat reseptor
Tingkat Kebisingan
sensitif
Gangguan kebisingan pada masyarakat sekitar
Bank Dunia OP 4.01 Kajian
dan/atau fauna di sekitar area Proyek Desain peralatan pembangkit listrik harus dioptimalkan untuk
Lingkungan
kemungkinan akan signifikan untuk periode pengurangan kebisingan
jangka panjang.
Mengembangkan mekanisme penanganan keluhan yang efektif untuk
Kualitas air Sebagai hasil dari operasi panas bumi, sedimen PP No 27 Tahun 2012 tentang Menggunakan kembali air yang didinginkan untuk penggunaan lain,
permukaan akan mengendap pada dasar cooling tower dalam Izin Lingkungan atau menggunakan sistem jaringan tertutup
bentuk lumpur. Endapan lumpur terdiri dari partikel
PP No. 82 tahun 2001 tentang Mendesaing kolam sedimen untuk kejadian curah hujan 50 tahun-an
debu dan gas H2S terlarut yang teroksidasi
Pengelolaan Kualitas Air dan
membentuk sedimen sulfida, sedangkan fosfat dan Inspeksi dan pemeliharaan kolam sedimen secara teratur
Pengendalian Pencemaran Air
klorin tetap larut dalam air cooling tower. Lumpur
Menguras kolam sedimen dengan baik dan teratur
akan diinjeksikan kembali ke sumur dan/atau Bank Dunia OP 4.01 Kajian
dibuang ke kolam sedimen. Luapan dari kolam air Lingkungan
mungkin dapat mencapai badan air.
Semua tahapan Proyek selama eksploitasi akan berpotensi berinteraksi dengan masyarakat setempat,
walaupunakan dilakukan dengan cara yang lebih pasti dibandingkan dengan program eksplorasi, dengan
mempertimbangkan bahwa masyarakat akan terbiasa dengan kehadiran Proyek dan kegiatan proyek panas
bumi. Dengan demikian kecil kemungkinan untuk menimbulkan dampak negatif signifikan pada masyarakat
setempat, dengan pengecualian beberapa komponen yang teridentifikasi pada proses penapisan, berdasarkan
pemahaman umum proyek dengan skala yang sama.
Tabel 10-2 menunjukkan penapisan untuk semua potensi dampak sosial yang diprakirakan selama tahap
eksploitasi Proyek. Tabel tersebut juga memberikan kajian awal terhadap aspek sosial utama yang mungkin
dapat menjadi dampak signifikan oleh kegiatan konstruksi dan operasi fasilitas Proyek.
Tinjauan dan Susunan sosial Pada tahap eksploitasi pengembangan Proyek, masyarakat dan Peraturan Pemerintah No. 27 Pengembangan dan implementasi dari rencana berikut:
Perencanaan budaya dan pemangku kepentingan sudah terbiasa dengan kehadiran Proyek, karena Tahun 2012 tentang Izin Rencana pelibatan dan konsultasi pemangku
Proyek: Survei persepsi sosial dipahami bahwa Proyek saat ini mulai membangun hubungan dengan Lingkungan kepentingan
dan Perizinan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan melalui konsultasi publik Peraturan Pemerintah No 47
Rencana pengembangan masyarakat
dan sosialisasi, dan telah berkomunikasi dengan pemerintah lokal dan Tahun 2012 tentang Tanggung
regional untuk survei eksplorasi dan proses perijinan. Selain itu, Proyek Jawab Sosial dan Lingkungan
telah merencanakan untuk melaksanakan sejumlah program Perusahaan
pengembangan masyarakat sebagai bagian dari tanggung jawab Bank Dunia OP4.01
lingkungan dan sosial serta strategi hubungan eksternal. KajianLingkungan
Oleh karena itu, dampak dari tinjauan dan perencanaan Proyek untuk
tahap eksploitasi terhadap struktur sosial budaya cenderung tidak
signifikan
Pengembangan Mata Area yang tepat dari pengaruh eksploitasi Proyek tidak akan UU No. 2 Tahun 2012 dan Membuat dokumen LARAP yang mengintegrasikan Peraturan
Lapangan: pencaharian dikonfirmasikan sampai setelah selesainya tahap eksplorasi, namun Peraturan Presiden Nomor 71 Indonesia dengan persyaratan Bank Dunia, meliputi:
Pengadaan dan berdasarkan rencana saat ini untuk pembangunan yang baik, ada Tahun 2012 dan perubahannya Memprioritaskan mekanisme pengadaan tanah secara
Tanah pendapatan/per kemungkinan bahwa pengembangan Proyek akan dekat dengan dua tentang Pengadaan Tanah negosiasi antara penjual dan pembeli (willing buyer-willing
seller) untuk sewa atau pembelian tanah
ubahan kondisi desa Wae Sano dan Sano. Nggoang. Dipahami bahwa beberapa area Untuk Kepentingan Umum
ekonomi yang akan terpengaruh oleh pengeboran eksplorasi saat ini adalah area Bank Dunia OP 4.12
Lokasi well pad akan terletak pada jarak tertentu dari
perkebunan. Pemukiman Kembali Secara daerah pemukiman dan daerah yang memiliki nilai ekologi
Dampak dari kebutuhan akan pengadaan tanah Proyek (misalnya untuk Tidak Sukarela dan budaya
pembangkit listrik, pipa, fasilitas pendukung, jalur transmisi) terhadap
perubahan ekonomi dari orang-orang yang rentan dan/atau terkena Jika teridentifikasi ada dampak sosial yang signifikan dari
dampak secara ekonomi, termasuk hilangnya sumber penghasilan dan pembebasan lahan secara sukarela, proyek akan
menerapkan persyaratan dari Bank Dunia OP 4.12 tentang
mata pencaharian dari hilangnya lahan pertanian, kemungkinan akan
Pemukiman Kembali Secara Tidak Sukarela untuk
menjadi signifikan, terutama bagi para petani yang terkena dampak
menghindari, memperbaiki atau mengurangi dampak
yang bergantung pada lahan pertanian untuk mata pencaharian mereka.
Konsultasi yang memadai dan terdokumentasi dengan baik
dengan masyarakat untuk mengidentifikasi kepemilikan
tanah yang legal maupun tradisional;
Sosial Dampak dari pengadaan tanah selama tahap eksploitasi terhadap UU No. 2 Tahun 2012 dan Sebagaimana disyaratkan dalam peraturan Indonesia serta
budaya/tatanan persepsi masyarakat kemungkinan akan menjadi signifikan. Meskipun Peraturan Presiden Nomor 71 standar Bank Dunia, konsultasi dan/atau sosialisasi yang
sosial dan masyarakat dan pemangku kepentingan sudah terbiasa dengan Tahun 2012 dan perubahannya memadai perlu dilakukan untuk memastikan semua kelompok
persepsi prosesnya, yang diprakirakan sama dengan proses pengadaan tanah tentang Pengadaan Tanah masyarakat yang terkena dampak menerima informasi yang cukup
untuk tahap eksplorasi, lahan yang akan dibebaskan untuk eksploitasi untuk Kepentingan Umum dan sama mengenai proses pengadaan lahan Proyek.
akan menjadi lebih besar (untuk pembangkit listrik, perpipaan, fasilitas Bank Dunia OP 4.12 Selain itu, mekanisme penanganan keluhan (GRM) harus dibuat
pendukung, dan jaringan transmisi). Diprakirakan akan ada permintaan Pemukiman Kembali Secara untuk mendapatkan akses ke semua kelompok orang yang
tinggi untuk nilai kompensasi lahan yang tinggi pada tahap kedua Tidak Sukarela terkena dampak untuk menyampaikan kekhawatiran mereka
pengadaan tanah. mengenai proses pengadaan tanah.
Konstruksi Mata Dampak positif peluang pemanfaatan tenaga kerja lokal dan peluang Peraturan Pemerintah No. 27 Mengoptimalkan potensi manfaat terhadap peluang penggunaan
Pembangkit pencaharian bisnis diharapkan selama tahap eksploitasi dan akan membutuhkan Tahun 2012 tentang Izin tenaga kerja lokaldan peluang bisnis bagi penduduk setempat
Listrik dan dan tenaga kerja yang lebih banyak daripada tahap eksplorasi. Lingkungan melalui kebijakan tenaga kerja internal, serta persyaratan yang
Fasilitas pendapatan/ jelas tentang konten lokal dalam kontrak kerja dengan kontraktor
Bank Dunia OP4.01 Kajian
Pendukungnya; peluang dan pemasok.
Lingkungan
dan Kegiatan penggunaan
Pengeboran tenaga kerja
pembangunan lokal dan
well pad dan peluang bisnis
Sumur reinjeksi
Mata Kegiatan konstruksi akan menimbulkan debu, kebisingan, dan dampak Peraturan Pemerintah No. 27 Konsultasi dan/atau sosialisasi yang memadai perlu dilakukan
pencaharian limbah, dan kemungkinan akan menjadi signifikan terutama di daerah Tahun 2012 tentang Izin untuk memastikan potensi masyarakat terdampak (terutama
dan di mana dijumpai kegiatan pertanian masyarakat seperti perkebunan dan Lingkungan petani yang bekerja di dekat fasilitas Proyek) menerima informasi
pendapatan/Ga sawah. yang cukup mengenai rencana konstruksi Proyek dan ruang
Bank Dunia OP4.01
ngguan pada lingkup kegiatan.
KajianLingkungan
Kegiatan
Selain itu, mekanisme penanganan keluhan (GRM) harus dibuat
Pertanian
untuk mendapatkan akses ke semua kelompok masyarakat yang
terkena dampak untuk menyampaikan kekhawatiran mereka
mengenai dampak konstruksi Proyek terhadap mata pencaharian
mereka..
Mata Gangguan terhadap ekonomi lokal dan struktur sosio-budaya disebabkan Bank Dunia OP4.01 Kajian Mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja lokal dan barang dan
pencaharian adanya interaksi dengan para pendatang yang mencari pekerjaan dan Lingkungan jasa untuk meminimalkan masuknya jumlah migrasi.
dan peluang bisnis dari Proyek tidak akan signifikan.
Konsultasi dan/atau sosialisasi yang memadai perlu dilakukan
pendapatan, Skala proyek tidak akan membawa sejumlah besar orang atau barang
untuk memastikan bahwa masyarakat setempat menerima
dan sosial dan layanan. Ketika eksploitasi mendatangkan lebih banyak orang dari
informasi yang cukup mengenai skala proyek dan persyaratan
budaya/masukn luar masyarakat, maka masyarakat dan para pemangku kepentingan
tenaga kerja.
ya migrasi telah terbiasa dengan kehadiran penduduk pendatang.
Kenyamanan Gangguan terhadap transportasi umum dan jalan umum akan terjadi di Bank Dunia OP4.01 Kajian Menyiapkan Rencana Pengelolaan Kendaraan & Lalu Lintas
masyarakat/fasil area Proyek selama mobilisasi. Lingkungan (VTMP).Selain itu, untuk lalu lintas kendaraan Proyek, masyarakat
itas umum dan akan diberi informasi dan mendapatkan konsultasi tentang VTMP
Berdasarkan skala Proyek yang relatif kecil, potensi dampak pada
infrastruktur Proyek.
transportasi umum dan infrastruktur jalan tidak akan signifikan karena
mobilisasi berlangsung dalam jangka pendek dan mobilisasi kendaraan
dan alat berat yang minimal selama konstruksi.
Kenyamanan Ada potensi gangguan terhadap sumber daya air masyarakat, karena Bank Dunia OP4.01 Kajian Konsultasi dengan masyarakat untuk memetakan sumber daya air
masyarakat/su seperti diketahui bahwa penggunaan air terbanyak untuk Proyek panas Lingkungan bersih
mber daya air bumi akan terjadi selama kegiatan pengeboran eksploitasi. Oleh karena
Konsultasi lebih lanjut yang akan dilakukan jika pengambilan air
itu, dampaknya mungkin signifikan. Meskipun pengambilan air untuk
berasal dari sumber air yang sama yang digunakan oleh
tahap eksploitasi belum dikonfirmasi, kondisi rona awal mengidentifikasi
masyarakat untuk kebutuhan air bersih, kebutuhan rumah tangga
adanya masalah yang ada di masyarakat saat ini terkait dengan kesulitan
sehari-hari, atau kegiatan pertanian
dalam memperoleh sumber daya air bersih. Masyarakat hanya bisa
mendapatkan air bersih dari mata air, karena air tanah dari sumur sering Selain itu, memastikan penerapan mekanisme penanganan
kering sementara air danau tidak layak untuk diminum. keluhan (GRM) yang tepat untuk mendapatkan akses ke semua
kelompok masyarakat yang terkena dampak untuk menyampaikan
kekhawatiran mereka mengenai dampak pembangunan Proyek
terhadap mata pencaharian mereka.
Kenyamanan Serupa dengan dampak eksplorasi, adanya fasilitas Proyek eksploitasi Bank Dunia OP4.01 Kajian Konsultasi proyek telah merencanakan kegiatan konstruksi dan
masyarakat/da dan pengembangannya (dalam skala yang lebih besar dari tahap Lingkungan operasi untuk tahap eksploitasi melibatkan masyarakat lokal dan
mpak visual eksplorasi) akan menimbulkan gangguan visual bagi masyarakat lokal mereka yang berpartisipasi dalam industri pariwisata lokal. Ini
dan wisatawan yang berkunjung ke Sano Nggoang untuk pandangannya. akan dilakukan lebih awal selama proses desain eksploitasi
Namun, setelah kira-kira 2 tahun tahap eksplorasi, kemungkinan besar Proyek.
masyarakat setempat akan terbiasa dengan kehadiran Proyek.
Sementara itu, seperti yang telah terjadi di daerah lain di Indonesia di
mana proyek panas bumi dikembangkan, kehadirannya secara
mengejutkan menciptakan semacam daya tarik bagi masyarakat lokal
dan wisatawan domestik. Oleh karena itu dampaknya cenderung tidak
signifikan.
Struktur sosial Dampak dari konstruksi Proyek selama tahap eksploitasi terhadap Peraturan Pemerintah No. 27 Memastikan penerapan mekanisme penanganan keluhan (GRM)
budaya/ tingkat persepsi masyarakat mungkin signifikan. Meskipun masyarakat dan Tahun 2012 tentang Izin yang tepat, sosialisasi kepada masyarakat tentang kegiatan
penerimaan, para pemangku kepentingan sudah terbiasa dengan kehadiran Proyek, Lingkungan Proyek, dan implementasi program keterlibatan pemangku
dan nilai-nilai diantisipasi bahwa akan ada permintaan yang tinggi untuk kebutuhan kepentingan.
Bank Dunia OP4.01 Kajian
sosial budaya pekerjaan dan peluang usaha lokal, sementara hanya ada peluang
Lingkungan
terbatas dari Proyek dengan skala semacam itu.
Cagar budaya Potensi dampak terhadap cagar budaya yang terlihat nyata selama Bank Dunia OP4.01 Kajian Seperti yang direkomendasikan sebagai bagian dari ESIA ini, akan
kegiatan konstruksi cenderung signifikan, mengacu pada area Proyek Lingkungan disusun prosedur penemuan tak terduga benda cagar budaya
eksplorasi saat ini, teridentifikasi potensi dampak terhadap benda-benda (chance find procedure) dan ada selama tahap pengembangan
budaya..Hal ini termasuk potensi gangguan ke daerah desa lama Proyek secara keseluruhan.
(menyebar di sekitar Danau Sano Nggoang), benda cagar budaya yang
terkubur (seperti Compang dan Nekara) juga nilai historis budaya dari
danau itu sendiri..
Kesehatan Peningkatan dampak emisi debu terhadap kesehatan masyarakat, dari Peraturan Pemerintah No. 27 Implementasi mekanisme penanganan keluhan (GRM) untuk
masyarakat lalu lintas kendaraan di jalan tidak beraspal meningkatkan paparan Total Tahun 2012 tentang Izin memungkinkan masyarakat menyampaikan kekhawatiran jika ada
Suspended Particles (TSPs) kepada penduduk yang berpotensi Lingkungan dampak dari Proyek terhadap kesehatan masyarakat yang terjadi.
menimbulkan kondisi kesehatan pernafasan yang baru, atau
Bank Dunia OP4.01 Kajian
memperburuk kondisi kesehatan antar masyarakat. Hal ini cenderung
Lingkungan
tidak menjadi signifikan karena mobilisasi kendaraan Proyek dan alat
berat yang minimal hanya akan terjadi dalam jangka pendek selama
kegiatan konstruksi.
Keselamatan Mungkin ada dampak terhadap keselamatan masyarakat karena adanya Bank Dunia OP4.01 Kajian Diharapkan bahwa Rencana Pengelolaan Kendaraan & Lalu
dan keamanan mobilisasi peralatan dan material Proyek, karena Proyek akan Lingkungan Lintas (VTMP) untuk konstruksi dan operasi eksplorasi
masyarakat menggunakan beberapa ruas jalan umum. Orang yang tinggal dan/atau dilaksanakan secara efektif; oleh karena itu, lalu lintas tambahan
bekerja berdekatan dengan jalur jalan raya Proyek dan kelompok rentan dan risiko harus dapat dikelola.
(yaitu anak-anak, lansia) berada pada lebih besar kemungkinan berisiko
Selain itu, diharapkan bahwa sejumlah langkah desain akan
terkena dampak.
diterapkan untuk meminimalkan paparan fasilitas Proyek kepada
Risiko lain yang terkait dengan kegiatan eksploitasi Proyek adalah masyarakat.
masalah keamanan terkait penduduk setempat yang berdekatan dengan
area tersebut. Pipa tambahan yang harus diletakkan untuk eksploitasi
akan meningkatkan risiko kecelakaan luka bakar jika masyarakat secara
tidak sengaja bersentuhan dengan pipa ketika panas dan/atau ketika uap
dikeluarkan sewaktu-waktu. Pipa-pipa itu juga dapat menimbulkan
bahaya tersandung.
K3 dan kondisi Berikut ini adalah risiko yang mungkin terjadi terhadap kondisi K3 dan Kerangka Kerja Lingkungan Pembentukan dan implementasi dan Rencana K3, termasuk
kerja dan tenaga kerja dan kondisi kerja, namun risiko cenderung tidak dan Sosial Bank Dunia (ESF) - semua langkah-langkah keamanan yang sesuai, akan membantu
tenaga kerja signifikan: ESS2 mengenai tenaga kerja dalam mengurangi potensi risiko K3.
dan kondisi kerja
Paparan cairan dan gas gpanas bumi- terutama H2S - selama Pembentukan dan penerapan Kebijakan Sumber Daya Manusia
pelepasan gas non-rutin yang dapat menyebabkan iritasi mata yang efektif, sesuai dengan kebijakan ketenagakerjaan yang
dan kerusakan pernapasan. dimaksud, akan membantu memastikan dampaknya dimitigasi.
Kondisi kerja yang tidak layak dan tidak adil (misalnya tingkat
Gaji, sistem manajemen kinerja, hak cuti, Mekanisme
Pengaduan Pekerja) yang tidak sepenuhnya mematuhi
undang-undang dan peraturan Pemerintah Indonesia terkait
dengan penggunaan tenaga kerja dan kondisi kerja, yang
secara default mencakup delapan konvensi ILO dan konvensi
PBB yang relevan.
Produksi Panas Mata Pengembangan Proyek diharapkan dapat memicu pembangunan Peraturan Pemerintah No. 27 Pengembangan dan implementasi rencana pengembangan
Bumi/ Operasi pencaharian ekonomi lokal, menciptakan dampak positif bagi pendapatan lokal dan Tahun 2012 tentang Izin masyarakat untuk mengoptimalkan manfaat Proyek untuk
dan dan regional. Lingkungan meningkatkan peluang ekonomi lokal dan untuk menghindari
Pemeliharaan pendapatan/eko ketergantungan pada pekerjaan Proyek.
Bank Dunia OP4.01 Kajian
nomi lokal dan
Lingkungan
regional
Sosial Dampak dari kegiatan operasi Proyek selamatahap eksploitasi terhadap Peraturan Pemerintah No. 27 Memastikan penerapan mekanisme penanganan keluhan (GRM)
budaya/tatanan persepsi masyarakat cenderung tidak signifikan. Masyarakat dan Tahun 2012 tentang Izin yang tepat, sosialisasi masyarakat tentang kegiatan proyek, dan
social dan pemangku kepentingan sudah terbiasa dengan kehadiran Proyek. Lingkungan implementasi program keterlibatan pemangku kepentingan.
persepsi
World Bank OP4.01 Kajian
Lingkungan
Kesehatan Non-condensable gas panas bumi akan dilepaskan ke atmosfer dari Peraturan Pemerintah No. 27 Implementasi mekanisme penanganan keluhan (GRM) untuk
masyarakat pembangkit listrik, mengandung sejumlah kecil CO2 dan H2S (sekitar 2- Tahun 2012 tentang Izin memungkinkan masyarakat menyampaikan kekhawatiran jika ada
5% dari konsumsi uap). Ada risiko, meskipun kecil, bahwa H2S bisa Lingkungan dampak dari Proyek terhadap kesehatan masyarakat terjadi.
menghasilkan bau, iritasi mata dan kerusakan pernafasan pada
Bank Dunia OP4.01 Kajian
penduduk di dekatnya. Oleh karena itu, potensi dampak terhadap
Lingkungan
kesehatan masyarakat mungkin signifikan terutama di lokasi yang
berdekatan dengan kawasan pemukiman atau kegiatan masyarakat.
K3 dan kondisi Risiko terhadap K3 dan kondisi kerja akan tetap ada selama tahap Kerangka Kerja Lingkungan Pembentukan dan implementasi Rencana K3, termasuk semua
kerja dan operasi Proyek Eksploitasi, namun diperkirakan akan lebih rendah karena dan Sosial Bank Dunia (ESF) - langkah-langkah keamanan yang tepat, akan membantu dalam
tenaga kerja Proyek akan memiliki jumlah tenaga kerja yang lebih rendah (sebagian ESS2 mengenai tenaga kerja mengurangi potensi risiko.
besar akan dipekerjakan langsung oleh Perusahaan, dan lebih sedikit dan kondisi kerja
Pembentukan dan penerapan Kebijakan Sumber Daya Manusia
kontraktor akan terlibat). Selain itu, prosedur K3 yang lebih mapan dan
yang efektif, sesuai dengan kebijakan ketenagakerjaan yang
Kebijakan Sumber Daya Manusia akan berlaku.
dimaksud, akan membantu memastikan dampaknya dimitigasi.
a. Wilayah Izin (Wilayah Kerja Panas Bumi/WKP panas bumi) ≥ 200 ha;
Jika area atau skala tidak dipicu oleh kondisi di atas, pengembangan tahap eksploitasi hanya akan
membutuhkan dokumen UKL-UPL. Berdasarkan uraian proyek awal yang diberikan untuk proyek-proyek
eksploitasi panas bumi serupa dengan skala sama (lihat Bagian 3.5 Kegiatan Proyek pada Tahap Eksploitasi)
dan mengacu pada kondisi di atas (yaitu potensi kapasitas 30 MW dan potensi area terbuka kurang dari 50 ha),
kegiatan eksploitasi Proyek Panas Bumi Waesano kemungkinan akan membutuhkan studi UKL-UPL saja.
Karena rencana kegiatan berada di dalam wilayah kabupaten sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No.08/2013 pasal 12 tentang Penilaian Dokumen AMDAL dan Penerbitan Izin Lingkungan, penilaian
dokumen AMDAL akan dilakukan oleh Komite Pengkajian Lingkungan Hidup Kabupaten (DLHK Manggarai
Barat), dengan ketentuan bahwa jika kabupaten memiliki izin sebagai Komite. Jika tidak maka penilaian akan
dilakukan oleh Komite Pengkajian Lingkungan provinsi (BLHD Kupang).
b. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan jika sumur produksi berada di dalam area huan lindung;
c. Surat Rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup (Surat Keterangan Kelayakan Lingkungan
Hidup/SKKLH) yang akan menghasilkan Izin Lingkungan (IL)
d. Izin Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, seperti Izin Landfill, Izin Pengelolaan Limbah B3,
Izin Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3, dll.
Peraturan nasional dan lokal yang berlaku untuk kegiatan eksploitasi sama dengan eksplorasi, seperti yang
dijelaskan di Bagian 2.
Potensi dampak pada tahap eksploitasi akan serupa dengan dampak pada tahap eksplorasi Proyek; oleh
karena itu, diharapkan bahwa Proyek telah menetapkan dan menerapkan sejumlah langkah-langkah mitigasi
yang diperlukan yang akan mengurangi dampak pada tahap eksploitasi. Hal ini termasuk rencana
keterlibatan pemangku kepentingan, rencana pengembangan masyarakat, pengadaan tanah dan rencana
pemulihan mata pencaharian, mekanisme penanganan keluhan, dan berbagai prosedur pengelolaan
lingkungan dan limbah;
Meskipun potensi dampak dari pengadaan tanah akan signifikan bagi petani yang terkena dampak dengan
hilangnya pendapatan dari lahan pertanian, skala proyek dan kebutuhan lahan adalah relatif kecil;
Potensi dampak pada ekowisata dan dampak visual mungkin signifikan dalam jangka pendek tetapi
diharapkan akan positif dalam jangka panjang karena pengembangan infrastruktur proyek dan rencana untuk
program pengembangan masyarakat akan meningkatkan potensi ekowisata di masa depan;
Berkaitan dengan potensi dampak terhadap benda cagar budaya, disarankan agar Proyek melakukan
konsultasi dengan masyarakat setempat sejak awal proses desain eksploitasi Proyek, dengan demikian
dapat direncanakan tindakan untuk menghindari dampak signifikan;
Potensi dampak pada fauna dari kegiatan konstruksi termasuk peningkatan aktivitas manusia dan paparan
cahaya malam, yang berpotensi menimbulkan tekanan atau mengacaukan orientasi dari satwa liar di area
proyek. Namun, kegiatan mitigasi yang tepat seperti pengurangan gangguan terhadap habitat, pengurangan
kebisingan dan polusi pada malam hari akan meminimalkan dampak ini; dan
Potensi dampak lingkungan dari kegiatan operasi dan pemeliharaan seperti penurunan kualitas udara dan
gangguan kebisingan akan menjadi dampak yang signifikan bagi kegiatan operasional panas bumi. Dampak
ini akan terjadi selama periode yang panjang selama operasi panas bumi. Namun demikian, pendekatan
teknologi serta pemantauan akan bertujuan untuk meminimalkan dampaknya.
Perlu dicatat bahwa penilaian penapisan ini perlu diperbarui setelah tersedianya uraian Proyek yang lengkap
untuk tahap eksploitasi pada akhir kegiatan eksplorasi. Uraian ini termasuk rincian lebih lanjut tentang lokasi
pembangkit listrik, konfirmasi kapasitas daya, lokasi sumur yang akan dieksploitasi, pengaturan keamanan,
jumlah dan proses untuk perekrutan tenaga kerja, pemilihan pemasok dan kontraktor, lokasi fasilitas pendukung
seperti transmisi saluran, akomodasi tenaga kerja, dan fasilitas pengelolaan limbah.