Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB Saanin Padang Sumatera Barat
Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB Saanin Padang Sumatera Barat
Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB Saanin Padang Sumatera Barat
ABSTRACT
Background: According to the survey on mental disorder as many as 44.6 per 1000 Indonesian population in
1995 had serious mental disorder such as schizophrenia. This shows significant increase if compared to data of
1980 whereby only 1 – 2 per 1000 Indonesian population were schizophrenic. In Prof. HB. Saanin Mental
Hospital Padang 2007 the number of outpatient visits at organic mental disorder polyclinic were as many as
10,812 people with 5397 people (49.9) were schizophrenic patients.
Objectives: To identify factors affecting the prevalence of schizophrenia among outpatients at Prof. HB.
Saanin Mental Hospital Padang Sumatera Barat.
Methods: This was a case control study with patients of 17.35 years old visiting organic mental disorder
polyclinic of Prof. HB. Saanin Mental Hospital Padang as population. Samples were taken using non probability
sampling with fixed disease sampling technique. Data analysis used bivariable method with simple logistic
statistical test; multivariable method with logistic regression statistical test to measure the relationship between
psychosocial, socio cultural and socio demographic factors and the prevalence of schizophrenia. Relationship
among variables was measured using OR with CI 95% and p=0.05.
Results: Factors related to the incidence of schizophrenia at organic mental disorder polyclinic of Prof. HB.
Saanin Mental Hospital Padang based on bivariable analysis were sex (OR=2.37 (95%CI; 1.14 – 4.96),
occupation OR=4.33 (95%CI; 1.85-10.29), failure to achieve ideals OR=2.82 (95%CI; 1.38 – 5.78), family
rearing pattern OR=1.71 (95%CI; 0.85 – 3.44), economic status OR=6.000 (95%CI; 2.52 – 14.60), on
multivariabel analysis the most dominant factor affecting the incidence of schizophrenia were economic status
OR=7,482 (95%CI; 2.852 – 19.657), p=0.000.
Conclusions: There was significant effect of sex, occupational and social economic factors to the incidence of
schizophrenia and non schizophrenia. Family rearing pattern was not the greatest factor that affected the
prevalence of schizophrenia.
Keywords: schizophrenia, psychological factors, socio cultural factors, socio demographic factors
Artinya, hampir setiap orang berisiko menderita Ada beberapa faktor psikososial yang
gangguan jiwa. Saat ini diperkirakan 450 juta orang mempengaruhi gangguan jiwa skizofrenia, yaitu
menderita gangguan mental, neurologis maupun sosial ekonomi rendah dan stres lingkungan. 7
masalah psikososial, termasuk kecanduan alkohol dan Menurut Mallett et al 8 bahwa kehilangan
penyalahgunaan obat. Tak kurang dari 121 juta orang orangtua dan pengangguran merupakan faktor
mengalami depresi, 50 juta orang menderita epilepsi, psikososial yang dapat mempengaruhi terjadinya
dan 24 juta orang mengidap skizofrenia. 1 Berdasarkan gangguan jiwa skizofrenia.
survei tentang gangguan jiwa di Indonesia tahun 1995 Konflik keluarga sangat mempengaruhi
tercatat sebanyak 44,6 per 1000 penduduk Indonesia perkembangan psikopatologis anak. Konflik dalam
menderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. keluarga juga akan mempengaruhi sikap atau didikan
Data ini memperlihatkan peningkatan yang cukup orangtua terhadap anak, dan sikap orangtua sangat
bermakna jika dibandingkan data tahun 1980-an berpengaruh terhadap pola asuh kepada anak.9
dimana penderita skizofrenia di Indonesia hanya 1-2 Pola pengasuhan orangtua mempengaruhi
tiap 1000 penduduk.3 perkembangan perilaku sosial anak. Terjadinya
Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit psikosis atau skizofrenia kemungkinan disebabkan
Jiwa (RSJ) Prof. H.B Saanin Padang pada tahun pada masa kanak-kanaknya mendapatkan
2007, jumlah kunjungan penderita rawat jalan di poli perlakuan kekerasan, sehingga menimbulkan
gangguan mental organik (GMO) sebanyak 10.812 trauma yang mendalam pada diri anak.10
orang, diantaranya sebanyak 5397 orang (49,9%) Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi
menderita gangguan jiwa skizofrenia.4 besarnya peran faktor-faktor konflik keluarga,
Skizofrenia berdampak pada finansial, yang perpisahan dengan orangtua, gagal mencapai
berpengaruh pada individu yang mengalami, cita-cita, pola asuh keluarga, status ekonomi,
keluarga dan masyarakat, karena masih umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan
terdapatnya pandangan negatif (stigma), pasien status perkawinan terhadap timbulnya skizofrenia
serta keluarganya sering mendapat penolakan dan non skizofrenia dan mengidentifikasi peran
sosial dari masyarakat akibat ketidaktahuan faktor pola asuh keluarga sebagai faktor yang
masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa.5 terbesar dibandingkan dengan faktor-faktor lain
Skizofrenia disebabkan karena faktor terhadap timbulnya skizofrenia.
multifaktorial yang terkait satu sama lain. Menurut Melihat kenyataan pada uraian di atas, maka
model diatesis stress, integrasi antara faktor didapatkan permasalahan apakah ada perbedaan
biologis, faktor psikososial dan faktor lingkungan yang bermakna antara timbulnya skizofrenia dan
dapat menimbulkan skizofrenia. Seseorang yang non skizofrenia berdasarkan konflik keluarga,
rentan (diatesis) jika dikenai stresor akan lebih perpisahan dengan orangtua, gagal mencapai cita-
mudah untuk menjadi skizofrenia.2 cita, pola asuh keluarga, status ekonomi, umur,
Menurut Maramis6, sumber penyebab gangguan jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan status
jiwa dipengaruhi oleh faktor somatik, faktor psikologik perkawinan dan apakah pola asuh keluarga
dan faktor sosio-budaya yang secara terus-menerus merupakan faktor yang berperan terbesar
saling mempengaruhi. Munculnya gejala skizofrenia dibandingkan dari faktor-faktor yang lain terhadap
diakibatkan dari adanya perubahan pola lingkungan, timbulnya skizofrenia dan non skizofrenia.
perilaku dan akibat kondisi biologik individu tersebut. Berdasarkan permasalahan di atas maka
Pada perkembangan psikologi yang salah terjadi diajukan hipotesa antara lain: ada perbedaan yang
ketidakmatangan atau fiksasi bahwa individu gagal bermakna antara faktor-faktor yang berperan
berkembang lebih lanjut pada fase berikutnya dan ada terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat
tempat-tempat yang lemah (rentan). Individu yang jalan di RSJ. Prof.H.B Saanin Padang Sumatera
rentan tersebut apabila dikenai stres psikososial Barat.dan faktor Pola asuh keluarga merupakan
seperti status ekonomi yang rendah, gagal dalam faktor yang berperan terbesar dibandingkan dari
mencapai cita-cita dan konflik yang berlarut-larut, faktor-faktor yang lain terhadap timbulnya
kematian keluarga yang dicintai dan lain sebagainya skizofrenia dan non skizofrenia.
dapat berkembang menjadi gangguan jiwa skizofrenia.
50 orang (66,7%), dan berstatus janda/duda Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia
sebanyak 9 orang (12%), pada kelompok non yang gagal mencapai cita-cita sebanyak 47 orang
skizofrenia sebanyak 31 orang (41,3%) menikah, (62,7%) dan tidak gagal mencapai cita-cita
belum menikah 33 orang (44%) dan yang sebanyak 28 orang (37,3%). Pada kelompok non
berstatus janda/duda sebanyak 11orang (14,7%). skizofrenia yang gagal mencapai cita-cita
Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia sebesar 28 orang (37,3%) dan yang tidak gagal
yang mengalami konflik keluarga sebanyak 27 orang mencapai cita-cita sebanyak 47 orang (62,7%).
(36%) dan yang tidak mengalami konflik keluarga Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia
sebanyak 48 orang (64%). Pada kelompok non yang pola asuh keluarga patogenik sebanyak 41
skizofrenia yang mengalami konflik keluarga sebesar orang (54,7%) dan pola asuh keluarga tidak
25 orang (33,3%) dan yang tidak mengalami konflik patogenik sebanyak 34 orang (45,3%). Pada
keluarga sebanyak 50 orang (66,7%). kelompok non skizofrenia yang pola asuh keluarga
Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia patogenik sebesar 31 orang (41,3%) dan pola asuh
yang mengalami perpisahan dengan orangtua tidak patogenik sebanyak 44 orang (58,7%).
sebanyak 19 orang (25,3%) dan yang tidak Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia
perpisahan dengan orangtua sebanyak 56 orang berstatus ekonomi rendah sebanyak 65 orang
(74,7%). Pada kelompok non skizofrenia yang (86,7%) dan berstatus ekonomi tinggi sebanyak
mengalami perpisahan dengan orangtua sebesar 10 orang (13,3%). Pada kelompok non
15 orang (20%) dan yang tidak mengalami konflik skizofrenia yang berstatus ekonomi rendah
keluarga sebanyak 60 orang (80%). sebesar 39 orang (52%) dan berstatus ekonomi
tinggi sebanyak 38 orang (48,7%).
Tabel 3. Hasil analisis bivariabel faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia
Variabel Skizofrenia Non skizofrenia 2 P OR 95%CI
X
Umur
- 17-24 tahun 14 16 0,167 0,683 1,182 0,53-2,634
- 25-35 tahun 61 59
Jenis kelamin
- Laki-laki 54 39 6,32 0,011* 2,37 1,14-4,96
- Perempuan 21 36
Pekerjaan
- Tidak bekerja 64 43 14,28 0,000* 4,33 1,85-10,29
- Bekerja 11 32
Status pendidikan
- tidak tamat SD 3 1 1,949 0,326 0,278 0,28-46,37
- SD 9 13 0,803 1,204 0,193-3,57
- SLTP 22 21 0,736 0,795 0,33-4,75
- SLTA 36 34 0,713 0,787 0,35-4,55
- PT 5 6
Status perkawinan
- Menikah 16 31
- Belum menikah 50 33 8,597 0,390 1,598 0,594-4,61
- Janda/duda 9 11 0,540 0,540 0,202-1,44
Konflik keluarga
- Ya 27 25 0,12 0,732 1,13 0,54-2,33
- Tidak 48 50
Perpisahan dengan orangtua
- Ya 19 15 0,610 0,436 0,737 0,34-1,589
- Tidak 56 60
Gagal mencapai cita-cita
- Ya 47 28 9,56 0,001* 2,82 1,38-5,78
- Tidak 28 47
Pola asuh keluarga
- Patogenik 43 30 4,533 0,035* 0,496 0,29-0,955
- Tidak patogenik 32 45
Status Ekonomi
- Rendah 65 39 21,06 0,000* 6,00 2,52-14,60
- Tinggi 10 36
pada kelompok non skizofrenia, jumlah tidak bekerja tamat SD dengan timbulnya gangguan jiwa
43 (57,3%)% juga lebih banyak dari yang bekerja. (p<0,001).
Pada analisis bivariabel diperoleh nilai OR=4,33
(95%CI; 1,85-10,28), nilai p=0,000. Artinya secara e. Status perkawinan
statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara Status perkawinan pada kelompok skizofrenia,
pekerjaan terhadap timbulnya skizofrenia sebanyak 16 orang (21,3%) menikah, belum menikah
dibandingkan non skizofrenia. Pada analisis 50 orang (66,7%), dan berstatus janda/duda sebanyak
multivariabel juga menunjukkan adanya perbedaan 9 orang (12%), serta pada kelompok non skizofrenia
yang bermakna antara timbulnya skizofrenia berdasar sebanyak 31 orang (41,3%) menikah, belum menikah
pekerjaan bila dibandingkan dengan non skizofrenia 33 orang (44%) dan yang berstatus janda/duda
(p=0,000, OR=6,210 (95%CI: 2,439-15,810). Jadi sebanyak 11orang (14,7%). Pada analisis bivariabel,
orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai belum menikah kemungkinan berisiko untuk
risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan
dibandingkan yang bekerja. Penelitian ini sesuai yang menikah tetapi secara statistik tidak terdapat
dengan penelitian Mallet et al 8, yang menyatakan ada perbedaan yang bermakna antara status perkawinan
hubungan yang bermakna antara status pekerjaan dengan timbulnya skizofrenia dan non skizofrenia
dengan timbulnya skizofrenia (OR=5,5 (95%CI 2,59- (OR=1,598; 95%CI;0,594-4,61, p>0,390). Penelitian ini
11,68), p=0,000 sesuai dengan penelitian Mallett et al8 yang
Menurut Van Den15 orang yang tidak bekerja menyatakan tidak ada hubungan antara status
akan lebih mudah menjadi stres yang berhubungan perkawinan terhadap timbulnya skizofrenia, tetapi
dengan tingginya kadar hormon stres (kadar berbeda dengan penelitian Fakhari et al11yang
cathecholamine) dan mengakibatkan menyatakan ada perbedaan bermakna antara status
ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja perkawinan terhadap kejadian gangguan jiwa
memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan skizofrenia (p<0,001).
lebih memiliki semangat hidup yang lebih besar Status marital perlu untuk pertukaran ego ideal
dibandingkan dengan yang tidak bekerja 16 dan juga dan identifikasi perilaku antara suami dan istri menuju
menurut Smet17 setiap kerja mempunyai stress tercapainya kedamaian.18 Menurut Maramis6
agents yang potensial, tetapi masing-masing perhatian dan kasih sayang adalah fundamental bagi
bervariasi dalam tingkatan pengalaman stresnya. pencapaian suatu hidup yang berarti dan memuaskan.
Yang biasanya terjadi adalah kombinasi dari faktor
stres yang kemudian menjadi tidak sehat. f. Konflik keluarga
Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia
d. Status pendidikan yang mengalami konflik keluarga sebanyak 27 orang
Tidak tamat sekolah dasar yang menderita (36%) dan yang tidak mengalami konflik keluarga
skizofrenia sebanyak 3 orang (4%), tamat sekolah sebanyak 48 orang (64%). Pada kelompok non
dasar 9 orang (12%), tamat SLTP 22 orang (29,3), skizofrenia yang mengalami konflik keluarga sebesar
tamat SLTA 36 orang (48%) dan PT 5 orang (6,6%). 25 orang (33,3%) dan yang tidak mengalami konflik
Pada kelompok non skizofrenia, tidak tamat SD keluarga sebanyak 50 orang (66,7%). Pada analisis
sebanyak 4 (1%), tamat SD 13 orang (17,3%), tamat bivariabel diperoleh hasil secara statistik tidak terdapat
SLTP 21 orang (28%), tamat SLTA (45,3%) dan PT perbedaan yang bermakna antara timbulnya
(8%). Pada analisis bivariat tidak terdapat perbedaan skizofrenia dan non skizofrenia berdasar konflik
yang bermakna antara status pendidikan terhadap keluarga. Tetapi secara praktis konflik keluarga
timbulnya skizofrenia dan non skizofrenia (p>0,05). Hal kemungkinan berisiko 1,13 kali untuk mengalami
ini terlihat juga pada jadi status pendidikan tidak gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan tidak ada
mempunyai pengaruh terhadap timbulnya skizofrenia, konflik keluarga (OR=1,13; 95%CI;0,54-2,33),p=0,732.
tetapi tergantung kapan onset terjadinya gangguan Menurut Townsead et al9 yang melakukan penelitian
tersebut. Tetapi berbeda pada penelitian. Sedikit pada 55 orang anak usia 5-17 tahun menyatakan ada
berbeda dengan penelitian Fakhari et al11 dengan hasil hubungan yang signifikan antara problem keluarga
yang ditemukan ada hubungan yang bermakna antara yang tidak terpecahkan dengan gejala-gejala depresi
tidak punya pendidikan atau tidak yang persisten. Jadi
konflik keluarga tidaklah langsung menimbulkan (62,7%) dan tidak gagal mencapai cita-cita sebanyak
gangguan jiwa skizofrenia tetapi konflik keluarga yang 28 orang (37,3%). Pada kelompok non skizofrenia
berlarut-larut dapat menganggu perkembangan mental yang gagal mencapai cita-cita sebesar 28 orang
seseorang yang jika pribadi itu rentan dapat (37,3%) dan yang tidak gagal mencapai cita-cita
menimbulkan gangguan jiwa skizofrenia. sebanyak 47 orang (62,7%). Pada analisis bivariabel
Konflik dalam keluarga dapat mengakibatkan diperoleh nilai OR=2,82 (95%CI;1,38-5,78), p=0,001.
kehilangan rasa aman, kehilangan rasa cinta, Artinya secara statistik terdapat perbedaan yang
perasaan istimewa dan akan membekas sampai bermakna antara timbulnya skizofrenia dan non
skizofrenia berdasar gagal mencapai cita-cita.
dewasa awal.19
(p<0,05). Pada analisis multivariat menunjukkan tidak
g. Perpisahan dengan orangtua ada perbedaan yang bermakna antara gagal mencapai
Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia cita-cita terhadap kejadian skizofrenia (p=0,333). Pada
yang mengalami perpisahan dengan orangtua analisis multivariabel diperoleh hasil secara statistik
sebanyak 19 orang (25,3%) dan yang tidak perpisahan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
dengan orangtua sebanyak 56 orang (74,7%). Pada timbulnya skizofrenia dan non skizofrenia berdasar
kelompok non skizofrenia yang mengalami perpisahan gagal mencapai cita-cita, tetapi secara praktis gagal
dengan orangtua sebesar 15 orang (20%) dan yang mencapai cita-cita kemungkinan berisiko 1,49 untuk
tidak mengalami konflik keluarga sebanyak 60 orang mengalami gangguan jiwa dibandingkan tidak gagal
(80%). Pada analisis bivariabel diperoleh hasil secara dalam cita-cita (OR=1,490; 95%CI; 0,665-3,341,
statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna p=0,333).
antara timbulnya skizofrenia dan non skizofrenia Menurut Maramis6 kita sering membandingkan
berdasar perpisahan dengan orangtua. Penelitian ini diri kita dengan orang lain, kita mengukur harga diri
sesuai dengan penelitian Mallett et al8 yang melakukan kita dan harga diri orang lain sebagian besar
penelitian pada etnik asia yang menyatakan tidak dengan kedudukan, prestasi dan kekayaan. Nilai-
terdapat hubungan antara terpisah dengan orangtua nilai sosial seperti ini membawa kita kepada
terhadap tmbulnya skizofrenia (p=0,34), tetapi berbeda pertimbangan motivasi yang kuat agar sekurang-
pada etnik Afrika-Karibbia bersamaan dengan kurangnya berprestasi sama dan bila mungkin, lebih
penelitian ini, dijumpai hubungan yang bermakna dari ini. Untuk menghadapi keadaan seperti itu,
antara terpisah dengan orangtua terhadap timbulnya maka cara kompensasi sangat berguna, akan tetapi
skizofrenia (OR=5,00 (95%CI:1,09-22,82), p=0,038). bila akibatnya menimbulkan kecemasan yang hebat
Perpecahan dalam keluarga: perceraian atau menjadi keterlaluan atau mengambil bentuk
orangtua, adopsi, kematian orangtua merupakan antisosial, maka kompensasi itu akan lebih banyak
satu dari faktor risiko untuk perkembangan anak, mengalang-halangi kita daripada membantu.
jelasnya tidak hanya perpisahan itu sendiri tetapi
periode yang panjang dari perselisihan dan i. Pola asuh kelurga
banyaknya ketidakharmonisan yang akhirnya Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia
menimbulkan gangguan berikutnya pada anak. yang pola asuh keluarga patogenik sebanyak 41 orang
Kenapa pada etnik Asia termasuk Indonesia dan (54,7%) dan pola asuh keluarga tidak patogenik
pada lokasi penelitian peneliti, faktor kehilangan sebanyak 34 orang (45,3%). Pada kelompok non
orangtua tidak mempengaruhi untuk terjadinya skizofrenia yang pola asuh keluarga patogenik sebesar
gangguan jiwa, menurut peneliti karena hubungan 31 orang (41,3%) dan pola asuh tidak patogenik
kekerabatan pada masyarakat kita masih erat, sebanyak 44 orang (58,7%). Pada analisis bivariabel
sehingga seorang anak masih mendapatkan kasih diperoleh nilai OR=4,533 (95%CI;0,29-0,951),
sayang dari keluarga yang lain, tetapi walaupun p=0,035. Secara statistik menunjukkan ada perbedaan
demikian ini memerlukan penelitian lebih lanjut. yang bermakna antara skizofrenia dan non skizofrenia
berdasar adanya pola asuh keluarga. Pola asuh
h. Gagal mencapai cita-cita keluarga patogenik mempunyai risiko 4,5 kali untuk
Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan
yang gagal mencapai cita-cita sebanyak 47 orang dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Sesuai
dengan hasil
penelitian Schafer et al 20 yang melakukan peneltian dan didaerah miskin berhubungan dengan
pada 30 pasien wanita dengan skizofrenia, peningkatan risiko skizofrenia (OR1.39
menyebutkan ada korelasi yang bermakna antara (95%CI;1.10– 1.78),p<0,00.
anak-anak yang ditelantarkan baik secara fisik maupun Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi
mental dengan gangguan kejiwaan. kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak
Pada analisis multivaribel diperoleh hasil mempertimbangkan kemiskinan (status ekonomi
OR=0,605; 95%CI;0,249-1,467. P=0,266. Secara rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang
statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya
bermakna antara skizofrenia dan non skizofrenia gangguan kesehatan. Menurut Graham22, keluarga
berdasar adanya pola asuh keluarga. adalah faktor perantara yang paling penting. Ketika
Dalam keadaan krisis timbul bermacam-macam kehidupan keluarga dipengaruhi oleh penyebab
perasaan yang tidak enak, seperti cemas, takut, rasa lingkungan (rumah yang kecil, tidak adanya waktu
salah atau malu, tergantung pada keadaan. Pengaruh dan rasa aman) maka hal ini merupakan beban bagi
keluarga sangat menolong individu dalam mengatasi orangtua yang akibatnya akan mempengaruhi
krisis sesuai dengan adat istiadat, kebudayaan atau kesehatan anak. Kemiskinan ditandai dengan oleh
pengalaman keluarga itu. Keluarga harus menolong sedikitnya dukungan, sedikitnya keselamatan, tidak
individu agar ia secara aktif menemukan cara adanya ruang sehingga terlalu sesak, tidak adanya
penyelesaian masalahnya dan bukan agar ia kebebasanpribadi, ketridakpastian dalam masalah
menghindar tantangan atau memakai mekanisme ekonomi yang akhirnya mungkin menimbulkan risiko
pembelaan yang sekedar untuk menghilangkan kesehatan bagi keluarga.
ketegangan. Jelas bahwa pada waktu krisis individu itu Suara Merdeka13, menyebutkan himpitan
lebih membutuhkan dan lebih tergantung pada ekonomi memicu orang menjadi rentan dan
hubungan antar manusia 10 terjadi berbagai peristiwa yang menyebabkan
gangguan jiwa. Jadi, penyebab gangguan jiwa
j. Status ekonomi bukan sekadar stresor psikososial melainkan
Subyek penelitian pada kelompok skizofrenia juga stresor ekonomi. Dua stresor ini kait-
berstatus ekonomi rendah sebanyak 65 orang mengait, makin membuat persoalan yang sudah
(86,7%) lebih banyak dari yang berstatus ekonomi kompleks menjadi lebih kompleks.
tinggi sebanyak 10 orang (13,3%). Pada kelompok Pada hasil analisis multivaribel dari Tabel 4
non skizofrenia yang berstatus ekonomi rendah menunjukkan bahwa jenis kelamin, pekerjaan dan
sebesar 39 orang (52%) lebih banyak dari yang status ekonomi merupakan faktor yang berperan
berstatus ekonomi tinggi sebanyak 38 orang terhadap timbulnya kejadian skizofrenia pada
(48,7%). Pada hasil bivariabel diperoleh nilai pasien rawat jalan di Poliklinik GMO RSJ.
OR=6,00 (95% CI;2,52-14,60), p=.0.000. Secara Prof.H.B.Saanin Padang, dengan nilai OR>1 dan
statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikansi p<0,05. Faktor yang paling bermakna
bermakna antara skizofrenia dan non skizofrenia adalah faktor sosial ekonomi dengan nilai
berdasar adanya status ekonomi. Status ekonomi OR=7,482, p=0,000. Dengan melihat nilai
rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami Negelkerke R Square sebesar O,37 (37%) berarti
gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ada 63% faktor lain yang tidak diteliti dalam
ekonomi tinggi. Pada analisis multivariabel, status penelitian ini berperan dengan kejadian skizofrenia.
ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita
ganguan jiwa skizofrenia dibanding dengan status KESIMPULAN DAN SARAN
ekonomi tinggi dengan OR=7,482 (95%IK;2,852-
Berdasarkan hasil peneltian yang
19,657) dengan p=0,000. Artinya kelompok
dilaksanakan di RSJ Prof. H.B. Saanin Padang
ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko
dapat disimpulkan ada perbedaan peran yang
7,48 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia
bermakna antara faktor jenis kelamin, pekerjaan
dibandingkan kelompok ekonomi tinggi.
dan status ekonomi terhadap timbulnya
Menurut Werner et al.21, yang melakukan skizofrenia dan non skizofrenia dan faktor pola
penelitian di Israel mengatakan orang yang dilahirkan asuh keluarga bukan merupakan faktor terbesar
mempunyai orangtua yang berstatus sosio ekonomi yang berperan pada timbulnya skizofrenia.