Makna Mantra Pengasihan Semar Dalam Perspektif Masyarakat Jawa

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7

“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

Makna Mantra Pengasihan Semar dalam Perspektif Masyarakat Jawa

Indah Rohmayani
Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Email: [email protected]

Abstract: Mantra pengasihan Semar that spreads in the Javanese community is one of the teachings
of Javanese compassion which has a variety of types. The distinguishing element of the Mantra
pengasihan Semar is not limited to textual, but also the involvement of contextual elements. To
explain this, this research was conducted with textual orientation and contextual elements that
emphasize the emic mantra approach. The research method was conducted using two approaches
namely a textual approach that emphasizes denotative and connotative meanings and an
ethnographic approach that emphasizes emic perspectives. Data collection is done through interviews
and literature study. The results showed that mantra pengasihan Semar had diction which indicated
the construction of denotative and connotative meanings. In addition to finding the textual meaning of
the mantra, contextually the research of mantra pengasihan Semar shows that there are people's
views are based on the mantra textually as well as in the context of the lelaku of mantras. Based on
this description, a conclusion can be drawn that this research is substantial in looking at the
perspectives of Javanese people through the mantra pengasihan Semar.
Keywords: mantra pengasihan, meaning, Java

Abstrak: Mantra pengasihan Semar yang merebak dalam komunitas masyarakat Jawa merupakan
salah satu ajian ilmu pengasihan masyarakat Jawa yang memiliki varian jenis-jenisnya. Unsur
pembeda dari varian mantra ilmu pengasihan Semar tak terbatas hanya pada tekstual, akan tetapi juga
adanya keterlibatan unsur kontekstual. Untuk menjelaskan hal tersebut, penelitian ini dilakukan
dengan berorientasi pada unsur makna secara tekstual dan unsur kontekstual yang menekankan pada
pendekatan emik mantra. Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu
pendekatan tekstual yang menekankan terhadap makna denotatif serta konotatif mantra dan
pendekatan etnografi yang menekankan pada perspektif emik. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pengasihan Semar
memiliki diksi-diksi yang mengindikasikan adanya kontruksi makna denotatif dan konotatif. Selain
temuan makna tekstual mantra, secara kontekstual penelitian mantra pengasihan Semar menunjukkan
adanya pandangan masyarakat berdasar pada mantra secara tekstual maupun dalam konteks lelaku
mantra. Berdasar pada uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penelitian ini
substansial untuk menilik perspektif masyarakat Jawa melalui mantra pengasihan Semar.
Kata kunci: mantra pengasihan, makna, Jawa

1. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sebuah penggambaran dari pola pikir manusia. Sebuah representasi
pikiran yang dituangkan dalam bahasa oleh manusia pada umumnya tak terbatas hanya
bersifat komunikatif, tetapi lebih dari itu merupakan cerminan estetika dalam
mengekspresikan pikiran manusia. Manusia secara bebas dapat memilah ragam kata yang
merupakan cerminan dari pikiran yang termanifestasi dalam sebuah unsur budaya manusia itu
sendiri. Dalam kaitannya dengan bahasa yang merupakan manifestasi dari pola pikir manusia,
mantra menjadi salah satu output akibat pengkorelasian kedua unsur tersebut. Mantra
merupakan salah satu karya sastra lisan yang digunakan dalam sebuah ritual budaya tertentu.
Mantra memiliki varietas dengan substansi atas dasar fungsi dari mantra itu sendiri. Salah
satu jenis mantra yang memiliki atensi eksklusif adalah mantra pengasihan. Mantra

344
Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7
“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

pengasihan merupakan salah satu jenis varietas mantra dengan keberfungsiannya sebangai
pemikat hati. Hal itu menjadi atensi eksklusif, dimana entitas yang dihasilkan berupa bahasa
mantra dan medan penggunaan mantra.
Terpaut dengan hal itu, mantra pengasihan Semar menjadi salah satu dari berbagai jenis
variasi mantra pengasihan yang memiliki tendensi etiket dari mekanisme kultural. Tendensi-
tendensi yang tercakup dalam mantra pengasihan Semar tidak sekadar dari segi esensi
mantra, namun lebih dari itu adalah sebuah representasi mistik jawa melalui kaidah kebatinan
pengguna mantra. Hal tersebut memiliki korelasi yang signifikan dimana mantra pengasihan
Semar memiliki keterkaitan dengan pandangan hidup masyarakat Jawa pada umumnya. Oleh
karenanya esensi yang terkandung dalam mantra pengasihan Semar memiliki implikasi
adanya peranan pandangan hidup masyarakat Jawa di masa lampau. Penggambaran itu
tercermin dari diksi-diksi dalam mantra pengasihan semar yang tersubstansi oleh pandangan
hidup masyarakat Jawa.
Atensi dalam struktur mantra secara umum memberikan gambaran utuh cara masyarakat
Jawa dalam menjalankan kehidupannya. Atensi tersebut dapat
dilihat dari kiasan makna ataupun realitas makna yang digunakan dalam merepresentasi pola
pikir masyarakat Jawa. Pendeskripsian itulah yang menjadi argumen yang melatarbelakangi
penelitian ini.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan dua pendekatan
makna, yaitu pendekatan makna secara tekstual dan pendekatan makna secara kontekstual.
Pendekatan makna secara tekstual digunakan untuk memaknai teks mantra pengasihan
Semar, sedangkan pendekatan makna secara kontekstual digunakan untuk mengetahui unsur-
unsur konteks budaya yang melatarbelakangi dari adanya manta pengasihan Semar.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini melalui metode wawancara dan studi
pustaka. Metode wawancara dilakukan untuk memverifikasi data yang telah didapatkan
melalui studi pustaka. Data dalam hal ini adalah teks mantra pengasihan Semar. Selain untuk
memverifikasi keabsahan temuan data, wawancara juga diperlukan guna mengetahui pola
pikir masyarakat Jawa yang tercermin dalam mantra pengasihan Semar.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil analisis data terhadap mantra pengaihan Semar, secara tekstual terdapat
makna denotatif dan konotatif yang melingkupi teks mantra pengasihan Semar. Selain itu
unsur konteks situasi dan budaya memberikan wadah untuk merpresentasikan pola pikr
masyarakat Jawa melalui mantra pengasihan Semar. Makna secara konteks didasari atas
lelaku atau tindakan kebatinan dalam mengamalkan mantra pengasihan Semar.

3.1. Makna Denotatif


Makna denotatif dalam penelitian ini terdapat pada beberapa jenis mantra pengasihan
Semar, diantaranya adalah pengasihan semar gedhe, pengasihan semar mesem, pengasihan
semar wulan, pengasihan semar putih, pengasihan semar kuncung, pengasihan semar ireng,
dan pengasihan semar kuning.
Niyat ingsun amatek ajiku si semar mesem
‘Niat saya merapal mantraku si semar mesem’
Petikan mantra Semar mesem tersebut merupakan bagian dari mantra yang memiliki
struktur sebagai ikrar atau niat. Unsur niat yang terdapat dalam mantra mengandung
komposisi makna sebenarnya terhadap sesuatu yang hendak diikrarkan. Pola yang diikrarkan
bergantung pada jenis varian dari pengasihan Semar. Dalam petikan tersebut diketahui bahwa

345
Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7
“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

niat yang diikrarkan adalah ajian Semar mesem, sehingga pola yang diikrarkan merupakan
jenis mantra pengasihan Semar mesem. Begitu pula jika seseorang yang hendak
mengikrarkan pengasihan semar lainnya, maka pola yang diikrarkan adalah jenis pengasihan
semar yang hendak dituju.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, niat merupakan peranan penting dalam berbagai sudut
pola kehidupan. Niat juga memberikan dampak terhadap sugesti yang diasumsikan dalam
pikiran manusia. Begitu pula dalam niat mantra pengasihan semar yang disesuaikan atas
dasar jenis mantra pengasihan semar yang ingin digunakan. Hal itu menunjukkan bahwa niat
dalam tradisi masyarakat Jawa memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tujuan yang
hendak dicapai.
Asih, asih, asiha maring aku
‘Kasih, kasih, kasihi saya’
Petikan mantra tersebut merupakan jenis mantra semar wulan yang strukturnya berupa
tujuan yang hendak dicapai oleh pelakunya. Atensi dari tujuan yang hendak dicapai oleh
pelaku mantra semar wulan adalah keinginan untuk dicintai oleh seseorang yang hendak
dituju. Komposisi dari mantra yang berisi tujuan ini terbentuk dari susunan kata yang
bermakna apa adanya, yaitu keinginan untuk dicintai.
Dalam falsafah hidup orang Jawa, prinsip asah asih asuh menjadi pedoman penting dalam
menjalani kehidupan. Asih merupakan sikap saling menyayangi antar sesama manusia.
Konsepsi asih ‘saling menyayangi’ mengalami pengerucutan dalam mantra pengasihan semar
wulan. Asih dalam konsepsi mantra tersebut diperuntukkan terhadap seseorang yang dituju.

3.2. Makna Konotatif


Dalam mantra pengasihan Semar terdapat makna konotatif yang tersebar di setiap jenis
varian mantra Semar. Beberapa diantaranya memiliki korelasi terhadap konteks lelaku mistis
ajian Semar.
Cina Walanda Bugis Makassar, podo ngadhep podo welas maring badan ingsun
‘Cina Belanda Bugis Makassar, semua tunduk dan kasihan terhadap badan saya’
Petikan mantra semar gedhe tersebut memiliki esensi makna konotatif. Pilihan diksi Cina
Walanda Bugis Makassar merupakan diksi yang menyubstitusi peranan penguasa, yaitu Cina,
Belanda, Bugis, dan Makassar. Dalam hal ini pilihan diksi tersebut berkorelasi dengan klausa
selanjutnya yaitu podo ngadhep podo welas maring badan ingsun. Klausa tersebut menjadi
penjelas dari klausa sebelumnya yang diperumpamakan sebagai penguasa. Diksi ngadhep
disini bukan ngadhep yang dapat didiskripsikan secara fisik, akan tetapi diksi ngadhep disini
memiliki artian ‘tunduk’. Tunduk dalam hal ini beresensi memiliki kelunturan hati bagi
seseorang yang dituju.
Petikan mantra semar gedhe tersebut merupakan bagian struktur mantra yang berisi
tujuan, dimana pemilihan diksi dalam tujuan diperuntukkan sebagai inti dari kehendak yang
ingin dicapai dalam mantra pengasihan semar gedhe. Maksud dari pelaku yang mengamalkan
ilmu pengasihan semar gedhe tersebut membuat atasan menjadi tunduk. Penguasa dalam
diksi Cina Walanda Bugis Makassar adalah sebuah simbolisme dari penguasa. Dalam hal ini
pelaku atau pengguna mantra mengacu pada atasan atau bos dengan tujuan agar dapat tunduk
terhadap pengguna mantra.
Srengenge ing dadaku
‘ Mentari di dadaku’
Rembulan ing raiku mencorong
‘ Rembulan di wajahku bersinar’
Kaya obor sak dalan-dalan

346
Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7
“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

‘Seperti obor sepanjang jalan’


Diksi-diksi dalam petikan mantra pengasihan semar wulan tersebut mengandung adanya
makna konotatif. Petikan klausa srengenge ing dadaku merupakan sebuah metofora yang
berupa perumpamaan dari ‘hati yang bersinar’. Maksud dari ungkapan tersebut
menggambarkan bahwa seseorang yang menggunakan mantra pengasihan ini terlihat baik
hatinya sehingga dapat memikat dan membuat seseorang yang dituju dalam mantra ini
menjadi tertarik terhadap penggunanya.
Rembulan ing raiku mencorong merupakan sebuah perumpamaan yang beresensi terhadap
pandangan seseorang dengan mengasumsikan fisik yang menawan. Pada umumnya wajah
menjadi sorotan penting dalam mengindikasikan mengenai ketampanan ataupun kecantikan.
Sebagian masyarakat mendeskripsikan sebuah ketampanan ataupun kecantikan melalui fisik
yang salah satunya berupa wajah. Wajah disini mengambil peranan penting, sehingga asumsi
yang ditimbulkan adalah perumpamaan ‘rembulan di wajahku bersinar’ berperan sebagai
pemikat bagi seseorang yang dituju untuk membuatnya terpikat.
Kaya obor sak dalan-dalan memiliki tendensi perumpamaan berupa metafora yang
berkorelasi dengan ungkapan-ungkapan mantra sebelumnya. Kata obor disini mengacu pada
srengenge ing dadaku dan rembulan ing raiku mencorong, dimana keduanya beresensi pada
satu makna yang sama yaitu ‘pancaran cahaya’. Antara srengenge dan mencorong bermakna
mengeluarkan sinar. Kaya menjadi penghubung diantara keduanya dan diibaratkan seperti
obor yang memiliki pancaran cahaya. Kata obor disini juga berimplikasi terhadap instrumen
atau peranti yang digunakan dalam mengamalkan mantra semar wulan. Sesuai dengan diksi-
diksi yang telah tersubstitusi dalam mantra semar wulan, maka peranti yang digunakan
berupa rokok. Rokok diibaratkan sebagai sarana memantulkan cahaya hati dan wajah dengan
tujuan dapat memikat seseorang yang dituju dalam situasi yang sama.
Sing tak puter jantung atine, pikirane si (....)
‘Yang saya putar jantung hatinya si (....)’
Petikan mantra semar putih tersebut beresensi adanya makna konotatif. Pada umumnya
seseorang dapat memutar sesuatu yang bersifat baik konkrit ataupun abstrak selama hal itu
masih berlandaskan logika. Jika yang diputar adalah jantung dan hati maka sudah barang
tentu hal itu memiliki makna konotatif. Jantung dan hati manusia merupakan organ dalam
manusia yang tidak bisa secara nyata dapat diputar. Dari penjelasan tersebut diksi dalam
petikan mantra semar putih bermakna konotatif yang memiliki arti memutar perasaan
terhadap seseorang.
Sukmaku ana jero si keris kuncung
‘Jiwaku ada di dalam keris kuncung’
Petikan mantra semar kuncung tersebut merupakan kalimat bermakna konotatif.
Pendistribusian antara jiwa yang bersifat abstrak terhadap ‘keris’ yang bersifat konkrit. Hal
ini yang menyebabkan adanya tendensi yang memiliki makna konotatif atau bukan makna
sebenarnya. Selain itu, diksi ‘keris’ merupakan berindikasi adanya hubungan dengan
instrumen atau peranti yang terkait. Peranti tersebut berupa keris kuncung, dimana setiap
pengamalan mantra ini mengaharuskan penggunanya untuk menyamatkan keris tersebut
sebagai peranti utamanya.
Apa meneh yen sing nyawang kang tumancep kumanthil ing telenging sanubariku
‘Apalagi jika yang melihat yang tertancap melekat dalam relung sanubariku’ Petikan
mantra pengasihan jenis semar mesem tersebut mengandung kalimat bermakna konotatif.
tumancep kumanthil ing telenging sanubariku menjadi penanda kiasan mantra. Umumnya,
tumancep ‘tertancap’ dan kumanthil ‘melekat’ merupakan suatu keadaan dari dua hal yang
bersifat konkrit. Ilustrasi tersebut

347
Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7
“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

menggambarkan bahwa perumpamaan dari petikan mantra tersebut mendeskripsi sesuatu


yang bersifat abstrak. Dalam hal ini, tumancep ‘tertancap’ mengacu pada hati seseorang yang
diperumpakan telah menancap dan menempel di hati pengguna mantra. Artinya adalah
seseorang yang dituju oleh pengguna mantra merupakan seorang yang dicintai oleh pengguna
mantra tersebut.
Tetesing angin, tetesing bun nangis si jabang bayi (.....)
‘Tetesan angin, tetesan air mata dari si jabang bayi (...)’
Tetesing angin ‘tetesan angin’ menjadi penanda bahwa terdapat makna dalam frasa
tersebut. Hal itu menjadi polemik dimana sesuatu yang menetes biasanya disanding dengan
partikel cair, sedangkan dalam petikan mantra pengasihan semar kuning 2 tersebut
disandingkan dengan angin. Pada umumnya ‘angin’ merupakan partikel yang biasanya
disandingkan dengan ‘hembusan’ dan bukan ‘tetesan’. Selain itu frasa si jabang bayi ‘si
jabang bayi’ memiliki makna yang mengacu pada seseorang yang dituju dalam mantra
pengasihan semar kuning 2.
Kuning-kuning kurungan sukma
‘Kuning-kuning sangkar jiwa’
Diksi-diksi dalam petikan mantra pengasihan semar kuning 1 tersebut mengandung makna
konotatif. Hal itu ditandai dengan adanya pendistribusian sesuatu yang besrifat abstrak.
Sukma ‘jiwa’ dalam hal ini diasumsikan sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, sedangkan
kurungan ‘sangkar’ diasumsikan sebagai sesuatu yang bersifat konkrit. Umumnya, sangkar
digunakan untuk mengurung sesuatu yang bernyawa. Sukma ‘jiwa’ disini diperumpamakan
sebagai sesuatu yang bernyawa dan bersifat konkrit sehingga dapat dikurung dalam sangkar
yang berwarna kuning. Arti kata ‘kuning’ disini mengacu pada jenis varian pengasihan semar
yang digunakan yaitu mantra pengasihan semar kuning 1.
Kuncunge semar buka asih ing jero sukma ingsun
‘Kuncungnya Semar buka asih di dalam jiwa saya’
Makna dalam petikan mantra tersebut mengandung kiasan atau konotatif. Kuncung
merupakan pola potongan rambut dalam hal ini mengacu pada potongan rambut Semar yang
berbentuk kuncung. Hal itu kemudian dianalogikan dapat membuka ‘asih’ yang ada dalam
sukma ‘jiwa’ seseorang. Sukma disini bersifat abstrak yang dianalogikan dengan sesuatu
yang bersifat konkrit sehingga menimbulkan makna kiasan.

3.3. Implikasi Mantra Pengasihan Semar terhadap Pandangan Hidup Orang Jawa
Mantra pengasihan Semar tak bisa terlepas dari lelaku kebatinan oleh masyarakat Jawa.
Secara konvensional, hal tersebut dipercayai oleh masyarakat Jawa sebagai upaya tirakat.
Dalam tradisi Jawa, tirakat merupakan sebuah upaya dengan mengandalkan keuletan dan
keteguhan niat dan mental. Pada dasarnya, orang Jawa memiliki sikap temen untuk mencapai
sesuatu yang diinginkan. Sama halnya dengan keuletan dalam mengamalkan mantra
pengasihan Semar guna memperoleh tujuan yang hendak dicapai. Lelaku mistis yang
dilakukan dalam mengamalkan mantra pengasihan semar memiliki atensi terhadap perilaku
kebatinan. Perilaku kebatinan disini yang akan mendekatkan manusia dengan Tuhan. Dengan
kata lain, perilaku kebatinan adalah sebuah sarana secara mistis guna mencapai sesuatu
melalui campur tangan Tuhan.
Lelaku dalam mantra pengasihan Semar memiliki tendensi pengaruh dengan pandangan
hidup orang Jawa pada umumnya. Tendensi tersebut dapat dilihat dari beberapa lelaku-lelaku
kebatinan yang menjadi ketentuan dalam mengamalkan mantra pengasihan Semar. Berikut
penjelasan mengenai pengaruh yang signifikan pandangan hidup masyarakat Jawa dalam
mantra pengasihan Semar.

348
Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7
“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

3.3.1. Pandangan terhadap Alam Semesta


Pandangan terhadap alam semesta memberikan pengaruh pola pikir orang Jawa dalam
mengasumsikan segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Hal itu dibuktikan dengan
pemilihan diksi dengan tidak menghilangkan kapasitas makrokosmos atau alam semesta.
Srengenge ing dadaku
‘Mentari di dadaku’
Rembulan ing raiku mencorong
‘Rembulan di wajahku bersinar’
Kutipan dari mantra Semar wulan tersebut menjadi penanda yang menyatakan bahwa
adanya keterkaitan antara manusia dengan makrokosmosnya. Srengenge dan rembulan adalah
bentuk alam yang digunakan dalam merepresentasikan fisik seseorang. Masyarakat Jawa
percaya akan adanya kekuatan ghaib yang tersembunyi dalam unsur makrokosmos, sehingga
aspek alam semesta tidak dapat dihindarkan oleh pandangan hidup orang Jawa.
Ora muter giling jagad
‘Tidak memutar bumi’
Sing tak puter jantung atine, pikirane si (...)
‘Yang saya putar jantung hatinya, pikirannya si (...)
Kata jagad ‘bumi’ merupakan aspek makrokosmos yang menjadi penanda orang Jawa
dalam memaknai alam semestanya. Orang Jawa mempercayai bahwa alam semesta memiliki
pusat yang didalamnya terdiri atas berbagai aspek elemen dan terkontrol oleh keteraturan
yang dimiliki oleh pusat kosmos. Hal tersebut yang kemudian dipandang oleh orang Jawa
bahwa jagad ‘bumi’ dipandang sebagai elemen penting. Berimplikasi dengan hal itu, maka
diksi jagad dalam mantra pengasihan semar putih menjadi simbolisasi keterkaitan antara
oarang Jawa dengan alam semesta.

3.3.2. Pandangan terhadap Raja


Secara historis, raja-raja di tanah Jawa memiliki kekuasaan yang memiliki pengaruh
terhadap pandangan hidup orang Jawa. Pandangan hidup orang Jawa terhadap raja terlihat
dari mantra pengasihan Semar.
Ratuku mualas ratuku muasih
‘Ratuku memelas ratuku mengasihi’
Petikan dari mantra pengasihan semar gedhe tersebut mengindikasikan adanya korelasi
antara pandangan hidup masyarakat Jawa terhadap raja. Hal itu diasumsikan bahwa raja yang
memiliki kekuasaan mampu menundukkan setiap orang. Selain itu, lelaku dalam
mengamalkan mantra pengasihan semar gedhe juga tidak terlepas dari peran raja. Dalam
lelaku mantra pengasihan semar gedhe tersurat bahwa pengguna diwajibkan melakukan
amalan-amalan yang salah satunya berisikan perintah membaca mantra dan ditujukan kepada
Prabu Siliwangi. Hal itu dimaksudkan dalam pengamalan mantra pengasihan semar gedhe,
terdapat roh raja yang dipercayai dapat mengakomodasi terhadap apa yang menjadi kehendak
penggunanya.

3.3.3. Pandangan terhadap Pusaka


Umumnya masyarakat Jawa mempercayai adanya kekuatan ghaib dalam sebuah pusaka.
Keyakinan akan kekuatan magis yang tersimpan dalam pusaka memberikan intensitas dalam
hubungannya dengan pengamalan lelaku mantra pengasihan Semar kuncung. Pusaka berupa
keris sebagai peranti dalam lelaku mantra pengasihan semar kuncung menyimpan adanya
kekuatan yang sakral. Kekuatan yang ditimbulkan dari keris memberikan ketenangan batin

349
Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7
“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

bagi pemiliknya. Dalam hal ini keris dipandang oleh masyarakat Jawa sebagai benda
berkekuatan dinamisme yang disakralkan (Endraswara, 2006: 250).

3.3.4. Pandangan terhadap Angka Ganjil


Lelaku dari mantra pengasihan Semar mengasumsikan adanya kecenderungan dalam
memaknai angka ganjil sebagai sarana mengamalkan mantra. Dalam mantra pengasihan
semar hampir semuanya memiliki hitungan sebanyak tujuh kali dalam pengamalannya. Hal
itu memberikan argumen tersendiri mengenai pandangan orang Jawa terhadap angka ganjil.
Dalam lelaku pengasihan semar, hitungan tujuh dianalogikan sebagai kepercayaan mengenai
fenomena pitu ‘tujuh’ yang dalam bahasa Jawa dikaitkan sebagai pitulungan.
Kepercayaan masyarakat Jawa dengan adanya fenomena pitulungan disubstansikan
sebagai pemohon dalam meminta pertolongan. Selain didedikasikan sebagai sarana lelaku
dalam mengamalkan mantra pengasihan semar, hitungan pitu ‘tujuh’ juga digunakan dalam
berbagai prosesi Jawa, diantaranya adalah tradisi tingkeban, tradisi pitung dinan, dan
beberapa peranti yang mensyaratkan jumlah pitu ‘tujuh’ yaitu kembang pitung rupa ‘bunga
tujuh rupa.
Selain itu, fenomena angka ganjil pitu ‘tujuh’ memuat adanya misteri manusia Jawa.
Dimulai dari pemberian roh pada usia kehamilan tujuh bulan, masyarakat Jawa melakukan
tradisi tingkeban hingga manusia menemui kematiannya dilakukan tradisi mitoni.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai makna baik secara tekstual maupun kontekstual dari mantra
pengasiha semar, maka dapat disimpulkan sebagai beriku.
 Mantra pengasihan semar memiliki makna secara tekstual. Masing-masing varian jenis
mantra pengasihan semar memiliki tendensi makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif
ditandai dengan adanya unsur niat dari mantra pengasihan semar, sedangkan makna konotatif
ditandai dengan penggunaan diksi-diksi bermakna kias. Selain itu, terjadi pendistribusian
antra dua unsur yaitu unsur abstrak dan unsur konkrit.
 Implikasi mantra pengasihan semar terhadap pandangan hidup masyarakat Jawa dapat dilihat
dari pandangan terhadap alam semesta, pandangan terhadap raja, pandangan terhadap benda
pusaka, dan pandangan masyarakat Jawa terhadap fenomena angka ganjil.

4.2. Saran
Penelitian ini dilakukan dengan harapan bahwa hasilnya dapat memberikan kontribusi
positif terhadap ilmu pengetahuan yang berkenaan dnga ilmu kebahasaan dan budaya Jawa.
Melalui penelitian ini diharapkan akan adanya penelitian lanjutan guna pngembangan ilmu
pengetahuan dalam bidan kebahasaan serta pelestarian budaya Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2014. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme
dalam budaya Spiritual Jawa cetakan V. Yogyakarta: Narasi
Hymes, Dell. 1972. Directions in Sociolinguistics. The Ethnography of Communications.
United States of America
Ibrahim, A.S. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa edisi revisi. Jakarta: Rajawali Pers

350
Prosiding Seminar Nasional Linguistiks dan Sastra (SEMANTIKS) 2019 ISBN: 978-623-90740-6-7
“Kajian Linguistik pada Karya Sastra” http://jurnal.uns.ac.id/semantiks

Marsono. 2019. Akulturasi Islam dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Mulder. Neils. 1978. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Saputra, Heru.S.P. 2003. Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di
Banyuwangi. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Saputra, Heru.S.P. 2007. Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang
Masyarakat Suku Using Banyuwangi. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara
Simuh. 1995. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Soedjito. 1978. Ilmu Jampi Aji-Aji Pengasihan. Surabaya: Pustaka Ilmu
Spradley, James.P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

351

You might also like