Sains Di Dunia Islam: Fakta Historis Dan Sosiologis: January 2016
Sains Di Dunia Islam: Fakta Historis Dan Sosiologis: January 2016
Sains Di Dunia Islam: Fakta Historis Dan Sosiologis: January 2016
net/publication/316408878
CITATION READS
1 3,440
1 author:
Syamsuddin Arif
Universitas Darussalam Gontor
43 PUBLICATIONS 66 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Syamsuddin Arif on 23 April 2017.
Syamsuddin Arif
di dunia Barat (Eropa dan Amerika) sejak beberapa abad terakhir ini di
sebabkan antara lain dan terutama oleh paham sekularisme dan gerakan
sekularisasi yang mengakhiri apa yang kemudian disebut sebagai Zaman
Kegelapan. Asumsi ini memang ada benarnya, mengingat hubungan
yang tidak harmonis selama berabad-abad antara dogmatisme Gereja
dan rasionalisme para saintis di Eropa. Ketegangan dan konflik antara
keduanya begitu sengit, sehingga seringkali satu pihak berusaha men
jatuhkan dan bahkan menindas yang lain.2 Terjadilah praktek-praktek
1 Seyyed Hossein Nasr dalam ceramah umumnya tentang “Islam and Modern Science”
untuk the Pakistan Study Group dan the MIT Muslim Students Association, Cambridge,
Massachusetts, USA.
2 Literatur seputar perseteruan ini terlalu banyak untuk disebutkan. Lihat, misalnya:
John William Draper, History of the Conflict between Religion and Science (New York:
Appleton, 1874; cetak ulang Farnborough, Hampshire: Gregg International, 1970;
diringkas dan diedit ulang oleh Charles T. Sprading, New York: Vanguard Press, 1926);
Andrew Dickson White, A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom,
2 jilid (New York: Appleton, dan London: Macmillan, 1896); Paul F. Grindler, “Venice,
Science, and the Index of Prohibited Books,” dalam The Nature of Scientific Discovery,
ed. Owen Gingerich (Washington, D.C.: The Smithsonian Institution Press, 1975), 335-
47; John F. Wippel, “The Condemnation of 1270 and 1277 at Paris,” dalam Journal of
Medieval and Renaissance Studies 7 (1977): 169-201; David C. Lindberg dan Ronald L.
83 SYAMSUDDIN ARIF
Numbers, God and Nature: Historical Essays on the Encounter Between Christianity and
Science (Berkeley: University of California Press, 1986).
3 Lihat Josef Dirnbeck, Die Inquisition. Eine Chronik des Schreckens (Augsburg: Pattloch,
2001); Adriono Prosperi, “L’Inquisizione fiorentina al tempo di Galilei,” dalam Novità
celesti e crisi del sapere, atti del convegno internazionale di studi galileiani, Supplemento
agli Annali dell’Istituto e Museo di Storia della Scienza, ed. Paolo Galluzzi, Fasc. 2,
Monografia 7 (1983): 316-25; Frances Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition
(London: Routledge and Kegan Paul, 1964); Olaf Pedersen, “Galileo and the Council
of Trent: The Galileo Affair Revisited,” dalam Journal for the History of Astronomy 14
(1984): 1-29; Maurice Finocchiaro, The Galileo Affair: A Documentary History (Berkeley
and Los Angeles: University of California Press, 1989); Steven Nadler, Spinoza’s Heresy:
Immortality and the Jewish Mind (Oxford: Oxford University Press, 2002).
SAINS di DUNIA ISLAM 84
4 Untuk uraian lanjut, lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago:
University of Chicago Press, 1974).
5 Aslinya berbunyi: “In both cases there was a period of transmission but there was also
a period of digestion, ingestion, and integration, which always means also rejection. No
science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected.
It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few
85 SYAMSUDDIN ARIF
days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected,” demikian
Seyyed Hossein Nasr dalam ceramah umumnya tentang “Islam and Modern Science”
untuk the Pakistan Study Group dan Muslim Students Association Massachusetts
Institute of Technology (MIT), Cambridge, Massachusetts, USA.
6 Lebih detailnya lihat Ibn an-Nadīm, Kitāb al-Fihrist, ed. G. Flügel, 2 jilid (Leipzig: F.C.W.
Vogel, 1871), 1: 248-51; F.E. Peters, Aristoteles Arabus (Leiden: E.J. Brill, 1968), dan Dimitri
Gutas, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in
Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge,
1998).
7 A.E. Sabra, “The Appropriation and Subsequent Naturalization of Greek Science in Me
dieval Islam: A Preliminary Statement,” dalam jurnal History of Science (1987): 223-43.
SAINS di DUNIA ISLAM 86
8 Uraian mengenai pencapaian dan sumbangsih mereka secara spesifik dapat dilihat
dalam The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed. Roshdi Rashed, 3 jilid
(London: Routledge, 1996); The Legacy of Islam, ed. T. Arnold dan A. Guillaume (London:
Oxford University Press, 1931) serta edisi keduanya yang disunting oleh J. Schacht dan
C.E. Bosworth (Oxford: The Clarendon Press, 1974); S.H. Nasr, Science and Civilization
in Islam (Cambridge: The Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1968); Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, trans.
E. and J. Marmorstein (London: Routledge, 1965); Eilhard Wiedemann, Aufsätze zur
arabischen Wissenschaftgeschichte, ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag,
1970); Edward S. Kennedy, Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut: American
University of Beirut, 1983); J.L. Berggren, Episodes in the Mathematics of Medieval Islam
(New York: Springer, 1986); David King, Islamic Mathematical Astronomy (London:
Variorum, 1986); A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham: Books I-III on Direct Vision,
2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989); Manfred Ullmann, Islamic Medicine
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978); Aydin Sayili, The Observatory in Islam
(Ankara: Turkish Historical Society Series 7/38: 1960 ).
87 SYAMSUDDIN ARIF
9 Willy Hartner, “al-Battānī,” artikel dalam Dictionary of Scientific Biography (New York:
Charles Scribner’s Sons, 1970-1980), jilid 1, hlm. 507-16.
10 Lihat A.I. Sabra, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy: Averroes and
al-Bitrūjī,” dalam Transformation and Tradition in Sciences: Essays in Honor of I. Bernard
Cohen, ed. Everett Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 133-53.
11 Lihat Ernest A. Moody, “Galileo and Avempace: The Dynamics of the Leaning Tower
Experiment,” dalam Journal of the History of Ideas 12 (1951): 163-93 dan 375-422.
SAINS di DUNIA ISLAM 88
12 Betapa sentralnya posisi dan pengaruh tradisi ilmu dalam Islam telah dikupas oleh
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam
(Leiden: E.J. Brill, 1970); cf. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in
Islam and Its Implications for Education in A Developing Country (London and New
York: Mansell, 1989).
13 Pengembaraan untuk mencari ilmu dibahas oleh al-Khatīb al-Baghdādī dalam al-
Riḥlah fī Ṭalab al-Ḥadīts; lihat juga Ian R. Netton, Seek Knowledge: Thought and Travel in
the House of Islam (Richmond: Curzon Press, 1996) dan idem, Golden Roads: Migration,
Pilgrimage and Travel in Medieval and Modern Islam (Richmond: Curzon Press, 1993).
89 SYAMSUDDIN ARIF
mereka yang menjelajahi seluruh pelosok dunia Islam semisal Ibn Jubayr
(w. 1217 Masehi) dan Ibn Baṭūṭah (w. 1377 Masehi).
Turut berperan menciptakan lingkungan yang kondusif adalah
faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat pada masa itu membuka
peluang bagi setiap individu untuk mengembangkan diri dan mencapai
apa yang diinginkannya. Imam adz-Dzahabī (w. 1348 Masehi), misalnya,
menuntut ilmu hingga usia 20 tahun dengan biaya orangtuanya. Demikian
pula Ibn Ḥazm (w. 1046 Masehi), yang juga didukung sepenuhnya oleh
ayahnya yang menjabat wazir saat itu. Namun umumnya, pemerintah
daerah mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu. Di uni
versitas dan sekolah-sekolah tinggi seperti Niẓāmiyyah, ʿAzīziyyah, Mus
tanṣiriyyah dan sebagainya, baik staf pengajar maupun pelajar dijamin
kehidupannya oleh badan wakaf masing-masing, sehingga mereka bisa
konsentrasi penuh pada bidang dan karirnya serta produktif mengha
silkan karya-karya ilmiah.14 Dengan kemakmuran jugalah kaum Muslim
dahulu dapat membangun istana-istana yang megah, perpustakaan-
perpustakaan besar dan sejumlah rumah sakit.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dan
perlindungan politis dari penguasa saat itu. Hal ini cukup menentukan
mengingat implikasi finansial serta sosialnya. Itulah sebabnya para saintis
seperti Ibn Sīnā, Ibn Ṭufayl, Naṣīruddīn aṭ-Ṭūsī dan lain-lain berpindah
dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti patron-nya. Mereka menjadi
penasehat sultan, dokter istana, atau sekaligus menjadi pejabat (seperti
Ibn Sīnā yang diangkat sebagai menteri oleh penguasa Hamadan waktu
itu). Pentingnya patronase ini dibenarkan oleh seorang ahli sosiologi
sains:
14 Deskripsi terperinci mengenai sistem belajar mengajar di dunia Islam pada zaman
dahulu dapat dilihat di George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981) dan Michael Cham
berlain, Knowledge and Social Practice in Medieval Damascus 1190-1350 (Cambridge:
Cambridge University Press, 1995).
SAINS di DUNIA ISLAM 90
15 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 69. Ia mengutip Willy Hartner, “Quand et comment
s’est arrêté l’essor de la culture scientifique dans l’Islam?” dalam Classicisme et déclin
culturel dans l’histoire de l’Islam, ed. R. Brunschvig dan G.E. von Grunebaum (Paris:
Maisonneuve et Larose, 1957), hlm. 332-3.
16 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West, 53.
91 SYAMSUDDIN ARIF
17 Lihat David A. King, Astronomy in the Service of Islam (Aldershot etc: Variorum, 1993).
18 David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science: The European Scientific Tradition
in Philosophical, Religious, and Institutional Context, 600 B.C. to A.D. 1450 (Chicago: The
University of Chicago Press, 1992), 180-2.
19 Ignaz Goldziher, “Die Stellung der alten islamischen Orthodoxie zu den antiken Wissen
schaften,” Abhandlungen der Königlich Preussischen Akademie der Wissenschaften,
Jahrgang 1915, Phil.-hist. Klasse, no. 8 (Berlin, 1916); dicetak ulang dalam I. Goldziher,
Gesammelte Schriften (Hildesheim: Georg Olms Verlag, 1970), 5: 357-406; terjemah
Inggrisnya berjudul “The Attitude of Orthodox Islam toward the Ancient Sciences,”
dalam Studies in Islam oleh Merlin L. Swartz (Oxford: Oxford University Press, 1981),
185-215.
SAINS di DUNIA ISLAM 92
20 Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: Arabic Translation Movement in Baghdad
and Early ‛Abbāsid Society (2nd-4th/8th-10th Centuries) (London and New York: Routledge,
1998), hlm. 166-175.
21 Sonja Brentjes, “Orthodoxy, Ancient Sciences, Power, and the Madrasa (“College”) in
Ayyūbid and Early Mamlūk Damascus,” paper presented to the International Workshop
on Experience and Knowledge Structures in Arabic and Latin Sciences, Max Planck
Institute for the History of Science, Berlin, December 16-17, 1996, (Preprint 77), 17-33.
22 Michael Chamberlain, Knowledge and Social Practice in Medieval Damascus 1190-1350
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), hlm. 83-84.
23 Lihat F. Gabrieli, “La ‘Zandaqa’ an 1er siécle abbasid,” dalam L’Elaboration de l’Islam
– colloque de Strasbourg 12-13-14 Juin 1954 (Paris, 1961), 23-38; D. Urvoy, Les penseurs
libres dans l’Islam classique: L’Interrogation sur la religion chez les penseurs arabes
indépendant (Paris, 1996) atau Sarah Stroumsa, Freethinkers of Medieval Islam (Leiden:
E.J. Brill, 1999).
24 Ulasan mengenai karya mereka dapat dilihat di Seyyed Hossein Nasr, An Introduction
to Islamic Cosmological Doctrines (London: Thames and Hudson, 1978), hlm. 25-104.
93 SYAMSUDDIN ARIF
27 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 208-12.
28 Noel Swerdlow dan Otto Neugebauer, Mathematical Astronomy in Copernicus’s “De
revolutionibus” (New York: Springer Verlag, 1984), 46.
29 A.I. Sabra, “Scientific Enterprise,” dalam Islam and the Arab World, ed. Bernard
Lewis (New York: Alfred Knopf, 1976); David C. Lindberg, Theories of Vision from al-
Kindi to Kepler (Chicago: University of Chicago Press, 1976); George Saliba, “History
and Observation in Islamic Astronomy: The Work of Ibn al-Shātir,” dalam Journal
for the History of Astronomy 18 (1987): 35-43; Max Meyerhof, “Thirty-three Clinical
Observations of Rhazes,” dalam Isis 23 (1933): 321-55; Albert Dietrich, “Islamic Sciences
and the Medieval West: Pharmacology,” dalam Islam and the West, ed. Khalil Semaan
(Albany: State University of New York Press, 1980), 50-64.
30 Untuk penjelasannya lihat Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China
and the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 213-36.
95 SYAMSUDDIN ARIF
31 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality
(London and New Jersey: Zed Books, 1991), 104-7 dan 120.
32 Peran Imam al-Ghazālī ini telah dibahas oleh Prof. Dr. Cemil Akdogan dalam artikelnya,
“Asal-usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim,” dalam Islamia, Th.1, No.4 (Januari-
Maret 2005), hlm. 95-9.
33 Lihat “Some considerations on three problems of the anti-Aristotelian controversy
between al-Bīrūnī and Ibn Sīnā,” dalam Abhandlungen der Akademie der Wissenschafien
in Gottingen, Philolog. histor. Klass. Ill, 98 (1976), hlm. 74-85.
SAINS di DUNIA ISLAM 96
peradaban Islam saat itu, muncul berbagai gerakan moral spiritual yang
dipelopori oleh kaum sufi. Intinya adalah penyucian jiwa dan pembinaan
diri secara lebih intensif dan terencana.34 Pada perkembangannya, ge
rakan-gerakan tersebut kemudian mengkristal menjadi organisasi ta
rekat-tarekat dengan pengikut yang kebanyakannya orang awam.35 Po
pularisasi tasawuf inilah yang bertanggung-jawab melahirkan sufi-sufi
palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan sikap irrasional di kalangan
masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspek-
aspek mistik supernatural (seperti keramat (karāmah), kesaktian, keajai
ban dan sebagainya) ketimbang pada aspek ‛ubūdiyyah dan akhlāqnya.
Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan kegandrungan pada hal-hal
tersebut pada gilirannya menyuburkan berbagai bentuk bidʿah, takhay
yul dan khurāfāt. Akibatnya yang berkembang bukan sains, tetapi ma
gic (sihir serta pedukunan) dan aneka pseudo-sains seperti astrologi
(zā’iraja), physiognomy (ilmu qiyāfah, firāsah, palmistry), geomancy,
necromancy, mujarrobāt perjimatan (awfāq, ʿazīmat, tamīmah) dan se
bagainya.36 Maka lebih tepat jika dikatakan bahwa kemunduran sains
disebabkan oleh praktek-praktek semacam ini, dan bukan oleh ajaran
tasawuf.37
Catatan Penutup
34 Ajaran sufi dikupas, misalnya, dalam Abū Bakr al-Kalābādhī, at-Taʿarruf li-Madzhabi
Ahli t-Taṣawwuf (Kairo, t.t.); Abu al-Qāsim al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayriyyah
(Kairo, 1379 H); Abū Nasr as-Sarrāj, al-Lumaʿ, ed. ʿAbdul Ḥalīm Maḥmūd et al. (Kairo,
1960); dan Ibn ʿAṭā’illāh as-Sakandarī, al-Ḥikam (Kairo: t.p., 1939).
35 Untuk ulasan terperinci lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford:
The Clarendon Press, 1971).
36 Lihat Toufic Fahd, La divination arabe: Études religiueses, sociologiques et folkloriques
sur le milieu natif de l’Islam (Leiden : Brill, 1966); C. Bonner, Medizin und Magie. Heil
kunde und Geheimlehre des islamischen Mittelalter (Berlin, 1975); M. el-Gawhary, Die
Gottesnamen im magischen Gebrauch in den al-Būnī zugeschriebenen Werke (Bonn,
1968) dan Dorothee A. Pielow, Die Quellen der Weisheit. Die arabische Magie im Spiegel
des Uṣūl al-Ḥikma von Aḥmad ibn ʿAlī al-Būnī (Hildesheim: Georg Olms, 1995).
37 Demikian menurut Armand Abel, “La place des sciences occultes dans la décadence,”
dalam Classicisme et déclin culturel dans l’histiore de l’Islam, ed. R. Brunschvig dan
G.E. von Grunebaum (Paris: Maisonneuve et Larose, 1957), hlm. 291-311. Hal ini diper
kuat dengan munculnya reaksi dan penentangan oleh sebagian ulama. Lihat John W.
Livingston, “Ibn Qayyim al-Jawziyyah: A Fourteenth-Century Defense against Astrolo
gical Divination and Alchemical Transmutation,” dalam Journal of American Oriental
Society 91 (1971): 96-103.
97 SYAMSUDDIN ARIF