Sains Di Dunia Islam: Fakta Historis Dan Sosiologis: January 2016

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/316408878

Sains di Dunia Islam: Fakta Historis dan Sosiologis

Chapter · January 2016

CITATION READS

1 3,440

1 author:

Syamsuddin Arif
Universitas Darussalam Gontor
43 PUBLICATIONS   66 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Islamic philosophy View project

Islam in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Syamsuddin Arif on 23 April 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


5

Sains di Dunia Islam:


Fakta Historis-Sosiologis

Syamsuddin Arif

“No science has ever been integrated into any civilization


without some of it also being rejected. It’s like the body.
If we only ate and the body did not reject anything
we would die in a few days. Some of the food has to be
absorbed, some of the food has to be rejected.” –S.H. Nasr1

Terdapat anggapan umum bahwa kemajuan sains dan teknologi


di dunia Barat (Eropa dan Amerika) sejak beberapa abad terakhir ini di­
se­babkan antara lain dan terutama oleh paham sekularisme dan ge­ra­kan
sekularisasi yang mengakhiri apa yang kemudian disebut se­ba­gai Zaman
Kegelapan. Asumsi ini memang ada benarnya, mengingat hubungan
yang tidak harmonis selama berabad-abad antara dogmatisme Gereja
dan rasionalisme para saintis di Eropa. Ketegangan dan konflik an­tara
ke­duanya begitu sengit, sehingga seringkali satu pihak berusaha men­
jatuh­kan dan bahkan menindas yang lain.2 Terjadilah praktek-praktek

1 Seyyed Hossein Nasr dalam ceramah umumnya tentang “Islam and Modern Science”
untuk the Pakistan Study Group dan the MIT Muslim Students Association, Cambridge,
Massachusetts, USA.
2 Literatur seputar perseteruan ini terlalu banyak untuk disebutkan. Lihat, misalnya:
John William Draper, History of the Conflict between Religion and Science (New York:
Appleton, 1874; cetak ulang Farnborough, Hampshire: Gregg International, 1970;
diringkas dan diedit ulang oleh Charles T. Sprading, New York: Vanguard Press, 1926);
Andrew Dickson White, A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom,
2 jilid (New York: Appleton, dan London: Macmillan, 1896); Paul F. Grindler, “Venice,
Science, and the Index of Prohibited Books,” dalam The Nature of Scientific Discovery,
ed. Owen Gingerich (Washington, D.C.: The Smithsonian Institution Press, 1975), 335-
47; John F. Wippel, “The Condemnation of 1270 and 1277 at Paris,” dalam Journal of
Medieval and Renaissance Studies 7 (1977): 169-201; David C. Lindberg dan Ronald L.
83 SYAMSUDDIN ARIF

seperti ex-komunikasi, kondemnasi, persekusi, immurasi, in­kui­sisi, dan


eksekusi. Tidak sedikit saintis yang dikucilkan, dikutuk, di­buru, dikurung,
diinterogasi, dan dijatuhi hukuman mati. Perlakuan bu­ruk yang dialami
Giordano Bruno, Galileo Galilei, dan Baruch Spinoza –untuk menyebut
be­­be­rapa contoh saja– merupakan ‘lembaran hitam’ dalam sejarah sains
di Barat.3

Yang keliru dalam hal ini adalah ketika asumsi tersebut di atas
diterima for granted dan digeneralisir, dijadikan cermin dan dipakai
untuk membaca sejarah perkembangan, kemajuan dan kemunduran
peradaban Islam; seolah-olah kasus yang sama juga terjadi di dunia
Islam, seolah-olah sains juga mengalami nasib yang sama malangnya
dalam sejarah keilmuan Islam. Lebih keliru lagi ketika asumsi tersebut
dikonversi menjadi tesis, lalu digunakan sebagai landasan prediksi dan
strategi membangun kembali pemikiran dan peradaban Islam kini; bahwa
kemunduran sains di dunia Islam disebabkan oleh orthodoksi, bahwa
kebangkitan dan kemajuan sains di dunia Islam hanya dapat terwujud
jika kaum Muslim mau mengikuti dan meniru bangsa-bangsa Barat,
yakni dengan menganut sekularisme dan mempraktekkan sekularisasi.
Artikel ini akan membahas masalah ini dari perspektif historis maupun
sosiologis, demi memisahkan antara mitos dan realitas seputar jatuh
bangunnya sains dalam sejarah peradaban Islam.

Kemajuan Sains di Dunia Islam


Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam ti­
dak dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi Islam itu sendiri. Dalam
tem­po lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw

Numbers, God and Nature: Historical Essays on the Encounter Between Christianity and
Science (Berkeley: University of California Press, 1986).
3 Lihat Josef Dirnbeck, Die Inquisition. Eine Chronik des Schreckens (Augsburg: Pattloch,
2001); Adriono Prosperi, “L’Inquisizione fiorentina al tempo di Galilei,” dalam Novità
celesti e crisi del sapere, atti del convegno internazionale di studi galileiani, Supplemento
agli Annali dell’Istituto e Museo di Storia della Scienza, ed. Paolo Galluzzi, Fasc. 2,
Monografia 7 (1983): 316-25; Frances Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition
(London: Routledge and Kegan Paul, 1964); Olaf Pedersen, “Galileo and the Council
of Trent: The Galileo Affair Revisited,” dalam Journal for the History of Astronomy 14
(1984): 1-29; Maurice Finocchiaro, The Galileo Affair: A Documentary History (Berkeley
and Los Angeles: University of California Press, 1989); Steven Nadler, Spinoza’s Heresy:
Immortality and the Jewish Mind (Oxford: Oxford University Press, 2002).
SAINS di DUNIA ISLAM 84

(632 Masehi), umat Islam telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah


Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang dalam sejarah
Islam disebut sebagai ‘pembukaan negeri-negeri’ (futūḥ al-buldān) ini
berlangsung pesat dan tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami,
satu per satu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil di­
taklukkan dan dianneksasi. Sehingga tidak sampai satu abad, pada
750 Masehi, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan
Alexander dari Macedonia yang menguasai Asia (Kaukasus) dan Afrika
Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Marokko), termasuk Mesopotamia
(Iraq), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, serta semenanjung Iberia
(Spanyol dan Portugis) dan India.4
Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa kon­se­kuen­
si. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau ke­per­
cayaan lokal ke dalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi
bu­daya dan peradaban setempat. Proses interaksi yang berlangsung
alami namun pesat ini tidak lain dan tidak bukan adalah cikal bakal
“islamisasi” (atau apapun namanya –seperti “naturalisasi”, “integralisasi”,
atau “assimilasi”), dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal
di­tampung, ditampih dan disaring dulu sebelum kemudian diserap. Hal-
hal yang positif dan sejalan dengan Islam dipertahankan, dilestarikan
dan dikembangkan, sementara elemen-elemen yang tidak sesuai dengan
kerangka dasar ajaran Islam ditolak dan dibuang. Proses ini digambarkan
dengan sangat baik oleh sejarawan sains Muslim terkemuka, Seyyed
Hossein Nasr, sebagai berikut: “Dalam kedua kasus tersebut [yakni ke­
mun­culan sains di dunia Islam dan Eropa Barat] memang ada masa
pemindahan, namun ada juga masa pengunyahan, pencernaan, dan
penyerapan, yang juga berarti penolakan. Tidak pernah ada sains yang
diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit pun. Mirip
dengan badan kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi tubuh kita tidak
mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati.
Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang.”5

4 Untuk uraian lanjut, lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago:
University of Chicago Press, 1974).
5 Aslinya berbunyi: “In both cases there was a period of transmission but there was also
a period of digestion, ingestion, and integration, which always means also rejection. No
science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected.
It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few
85 SYAMSUDDIN ARIF

Dalam proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong


untuk mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang
ditaklukkannya. Ini dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah
dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab
pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus,
Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga
dipercaya sebagai pegawai pemerintahan. Akselerasi terjadi setelah
tahun 750 Masehi, menyusul berdirinya Daulat ʿAbbāsiyyah yang berpusat
di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, mereka pun banyak merekrut
kaum terpelajar lokal sebagai staf di pemerintahan. Mereka inilah yang
kemudian banyak mewarnai perkembangan pemikiran selanjutnya.
Sebut saja, misalnya, Ibn al-Muqaffaʿ (w. sekitar 759 Masehi) dan Yaḥyā
ibn Khālid ibn Barmak (sekitar 803 Masehi), cendekiawan dan politisi
berdarah Persia yang diangkat menjadi menteri pada masa itu. Lalu
pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mūn (w. 833 Masehi) mulailah
dilaksanakan proyek penerjemahan secara intensif dan besar-besaran.
Ia mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan
Bayt al-Ḥikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan
peneliti tersebutlah nama-nama semisal Ḥunayn ibn Isḥāq dan anaknya
Isḥāq ibn Ḥunayn, Abū Bisyr Mattā ibn Yūnus, Yaḥyā ibn ʿAdī, dan lain-
lain. Menjelang akhir abad ke-9 Masehi, hampir seluruh korpus saintifik
Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu
pe­ngetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga
filsafat, astrologi dan alchemy.6
Menurut pakar sejarah sains dari universitas Harvard, Profesor
Abdel Hamid Sabra, gerakan penerjemahan tersebut di atas mewakili
fase pertama dari tiga tahap Islamisasi sains.7 Ia menyebutnya sebagai

days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected,” demikian
Seyyed Hossein Nasr dalam ceramah umumnya tentang “Islam and Modern Science”
untuk the Pakistan Study Group dan Muslim Students Association Massachusetts
Institute of Technology (MIT), Cambridge, Massachusetts, USA.
6 Lebih detailnya lihat Ibn an-Nadīm, Kitāb al-Fihrist, ed. G. Flügel, 2 jilid (Leipzig: F.C.W.
Vogel, 1871), 1: 248-51; F.E. Peters, Aristoteles Arabus (Leiden: E.J. Brill, 1968), dan Dimitri
Gutas, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in
Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge,
1998).
7 A.E. Sabra, “The Appropriation and Subsequent Naturalization of Greek Science in Me­­
die­val Islam: A Preliminary Statement,” dalam jurnal History of Science (1987): 223-43.
SAINS di DUNIA ISLAM 86

fase peraihan atau akuisisi, dimana sains Yunani memasuki wilayah


peradaban Islam bukan sebagai penjajah (an invading force), melainkan
sebagai ‘tamu’ yang diundang (an invited guest). Namun pada tahap ini,
‘tuan rumah’ yang mengundangnya masih menjaga jarak dan berhati-
hati. Selanjutnya adalah fase penerimaan atau adopsi, dimana sang tuan
rumah mulai mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawa sang
tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jābir ibn Ḥayyān (w. ca. 815 Masehi),
al-Kindī (w. 873) dan Abū Maʿsyar (w. 886 Masehi). Proses ini terus ber­
lanjut ke tahap berikutnya yang disebut dengan fase assimilasi dan
naturalisasi. Pada tahap ini sang tuan rumah bukan sekedar menerima
dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hi­
dangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke
ma­syarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawārizmī (w. sekitar
863 Masehi) dan ʿUmar al-Khayyām (w. 1132 Masehi) dalam ma­te­ma­
tika, Ibn Sīnā (w. 1037 Masehi) dan Ibn an-Nafīs (w. 1288 Masehi) dalam
ke­dokteran, dan, Ibn al-Haytsam (w. 1040 Masehi) dan Ibn as-Syāṭir (w.
1375 Masehi) dalam astronomi, al-Bīrūnī (w. 1048 Masehi) dan al-Idrīsī
(se­kitar 1150 Masehi) dalam geografi, dan masih banyak sederetan nama
besar lainnya.8
Fase kematangan ini berlangsung kurang lebih 500 tahun la­
manya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas yang
luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battānī (w. 929 Masehi) mengoreksi dan
mem­perbaiki sistem astronomi Ptolemeus (w. 170 Masehi), mengamati
mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru,

8 Uraian mengenai pencapaian dan sumbangsih mereka secara spesifik dapat dilihat
dalam The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed. Roshdi Rashed, 3 jilid
(London: Routledge, 1996); The Legacy of Islam, ed. T. Arnold dan A. Guillaume (London:
Oxford University Press, 1931) serta edisi keduanya yang disunting oleh J. Schacht dan
C.E. Bosworth (Oxford: The Clarendon Press, 1974); S.H. Nasr, Science and Civilization
in Islam (Cambridge: The Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1968); Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, trans.
E. and J. Marmorstein (London: Routledge, 1965); Eilhard Wiedemann, Aufsätze zur
arabischen Wissenschaftgeschichte, ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag,
1970); Edward S. Kennedy, Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut: American
University of Beirut, 1983); J.L. Berggren, Episodes in the Mathematics of Medieval Islam
(New York: Springer, 1986); David King, Islamic Mathematical Astronomy (London:
Variorum, 1986); A.I. Sabra, The Optics of Ibn al-Haytham: Books I-III on Direct Vision,
2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989); Manfred Ullmann, Islamic Medicine
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978); Aydin Sayili, The Observatory in Islam
(Ankara: Turkish Historical Society Series 7/38: 1960 ).
87 SYAMSUDDIN ARIF

men­desain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen


observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan perangkat ukur
yang dipasang di dinding (mural quadrant). Seperti buku-buku lainnya,
karya al-Battānī pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia
stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan
Copernicus.9 Kritik terhadap teori-teori Ptolemeus juga telah dilontarkan
oleh Ibn Rusyd (w. 1198 Masehi) dan al-Bitrūjī (ca. 1190).10 Dalam bi­dang
fisika, Ibn Bājjah (w. 1138) telah mengantisipasi Galileo dengan kritik­
nya terhadap teori Aristoteles tentang gerak benda dan kecepatan.11 De­­
mikian pula dalam bidang-bidang sains lainnya. Bahkan dalam hal tek­­
nologi, pada sekitar tahun 800-an Masehi di Andalusia, Ibn Firnās telah
merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang
dibuat oleh Roger Bacon (w. sekitar 1292 Masehi) dan belakangan di­per­
ke­nalkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519 Masehi). Melihat prestasi yang
cukup gemilang itu, wajarlah jika kemudian muncul pertanyaan ba­gai­
mana semua itu dapat terjadi?
Jika dikaji dan ditelusuri dengan teliti, faktor-faktor yang telah
memungkinkan dan mendorong kemajuan sains di dunia Islam pada saat
itu antara lain sebagai berikut. Pertama, kemurnian dan keteguhan da­
lam mengimani, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam (firm adhe­
rence to, understanding and practicing of, true Islamic faith and teachings).
Ke­imanan yang teguh, pemahaman yang memadai, dan kesungguhan
da­lam mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam al-
Qur­’an dan Sunnah itu telah berhasil melahirkan individu-individu ‘si­
ap tempur’ yang unggul secara mental maupun moralnya, dan pada gi­
li­­ran­nya membentuk masyarakat madani yang Islami. Terbukti dalam
ren­­­tang waktu yang cukup singkat, mereka berjaya membangun sebuah
per­adaban yang gemilang.
Kedua, adanya motivasi agama. Sebagaimana kita ketahui, kitab
suci al-Qur’an banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, perintah agar

9 Willy Hartner, “al-Battānī,” artikel dalam Dictionary of Scientific Biography (New York:
Charles Scribner’s Sons, 1970-1980), jilid 1, hlm. 507-16.
10 Lihat A.I. Sabra, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy: Averroes and
al-Bitrūjī,” dalam Transformation and Tradition in Sciences: Essays in Honor of I. Bernard
Cohen, ed. Everett Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 133-53.
11 Lihat Ernest A. Moody, “Galileo and Avempace: The Dynamics of the Leaning Tower
Experiment,” dalam Journal of the History of Ideas 12 (1951): 163-93 dan 375-422.
SAINS di DUNIA ISLAM 88

kita membaca (iqra’), melakukan observasi (a-falā yarawna), eksplorasi


(a-falā yanẓurūna) dan ekspedisi (sīrū fī l-arḍi), melakukan ‘inference to
the best explanation’ ―dalam istilah filsafat sains kontemporer― serta
berfikir ilmiah rasional (li-qawmin yaʿqilūn, yatafakkarūn). Pendek kata,
pesan-pesan senada yang intinya mengecam sikap dogmatis atau ‘asal
terima’. Begitu gencarnya ayat-ayat ini didengungkan, sehingga belajar
atau mencari ilmu pengetahuan diyakini sebagai kewajiban (farīḍah) atas
setiap individu Muslim, dengan implikasi berdosalah mereka yang tidak
melakukannya. Pada dataran praktis, doktrin ini membawa dampak yang
sangat positif. Ia mendorong dan mempercepat terciptanya masyarakat
ilmu (knowledge society) dan budaya ilmu (knowledge culture)―dua per­
kara penting yang bertanggung-jawab melahirkan peradaban Islam.12
Pen­ting diingat, bahwa penekanan yang diberikan Islam terhadap pen­
tingnya ilmu dan perhatian yang serius terhadap pencarian berbagai ca­
bang ilmu adalah dalam rangka usaha meraih kebahagiaan sejati (‘di­sini
dan disana’), dan bukan sekedar memenuhi kebutuhan sosial ekonomi
(self-aggrandizement atau personal gain).
Yang ketiga adalah faktor sosial politik. Tumbuh dan ber­kem­
bang­nya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan
antara lain ―jika bukan terutama― oleh kondisi masyarakat Islam
yang, meskipun terdiri dari bermacam-macam etnis (Arab, Parsi, Koptik,
Berber, Turki, dan lain lain), dengan latarbelakang bahasa dan budaya
masing-masing, namun berhasil diikat oleh tali akidah Islam. Dengan de­
mi­kian terwujudlah stabilitas, keamanan dan persatuan (political unity,
stability, peace and order, because of faith and in spite of ethnic as well
as cultural diversity). Para pencari ilmu maupun cendekiawan dengan
leluasa dan aman bepergian dan merantau ke pusat-pusat pendidikan
dan keilmuan, dari Seville ke Baghdad, dari Samarkand ke Madinah, dari
Isfahan ke Kairo, atau dari Yaman ke Damaskus.13 Ini belum termasuk

12 Betapa sentralnya posisi dan pengaruh tradisi ilmu dalam Islam telah dikupas oleh
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam
(Leiden: E.J. Brill, 1970); cf. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in
Islam and Its Implications for Education in A Developing Country (London and New
York: Mansell, 1989).
13 Pengembaraan untuk mencari ilmu dibahas oleh al-Khatīb al-Baghdādī dalam al-
Riḥlah fī Ṭalab al-Ḥadīts; lihat juga Ian R. Netton, Seek Knowledge: Thought and Travel in
the House of Islam (Richmond: Curzon Press, 1996) dan idem, Golden Roads: Migration,
Pilgrimage and Travel in Medieval and Modern Islam (Richmond: Curzon Press, 1993).
89 SYAMSUDDIN ARIF

mereka yang menjelajahi seluruh pelosok dunia Islam semisal Ibn Jubayr
(w. 1217 Masehi) dan Ibn Baṭūṭah (w. 1377 Masehi).
Turut berperan menciptakan lingkungan yang kondusif adalah
faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat pada masa itu membuka
peluang bagi setiap individu untuk mengembangkan diri dan mencapai
apa yang diinginkannya. Imam adz-Dzahabī (w. 1348 Masehi), misalnya,
menuntut ilmu hingga usia 20 tahun dengan biaya orangtuanya. Demikian
pula Ibn Ḥazm (w. 1046 Masehi), yang juga didukung sepenuhnya oleh
ayahnya yang menjabat wazir saat itu. Namun umumnya, pemerintah
daerah mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu. Di uni­
versitas dan sekolah-sekolah tinggi seperti Niẓāmiyyah, ʿAzīziyyah, Mus­
tan­ṣiriyyah dan sebagainya, baik staf pengajar maupun pelajar dijamin
ke­hidupannya oleh badan wakaf masing-masing, sehingga mereka bisa
konsentrasi penuh pada bidang dan karirnya serta produktif meng­ha­
silkan karya-karya ilmiah.14 Dengan kemakmuran jugalah kaum Muslim
dahulu dapat membangun istana-istana yang megah, perpustakaan-
perpustakaan besar dan sejumlah rumah sakit.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dan
perlindungan politis dari penguasa saat itu. Hal ini cukup menentukan
mengingat implikasi finansial serta sosialnya. Itulah sebabnya para saintis
seperti Ibn Sīnā, Ibn Ṭufayl, Naṣīruddīn aṭ-Ṭūsī dan lain-lain berpindah
dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti patron-nya. Mereka menjadi
penasehat sultan, dokter istana, atau sekaligus menjadi pejabat (seperti
Ibn Sīnā yang diangkat sebagai menteri oleh penguasa Hamadan waktu
itu). Pentingnya patronase ini dibenarkan oleh seorang ahli sosiologi
sains:

The considerable freedom and resources that certain outstanding


philosophers and mathematicians had to pursue their studies,
however, was always contingent upon the official protection of
local rulers. As Willy Hartner pointed out in the case of more than
a dozen notable figures (such as al-Bīrūnī, Ibn Sīnā, Abu l-Wafā’, Ibn
Yūnus, and Ibn al-Haytham), royal patronage was a major element

14 Deskripsi terperinci mengenai sistem belajar mengajar di dunia Islam pada zaman
dahulu dapat dilihat di George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981) dan Michael Cham­
berlain, Knowledge and Social Practice in Medieval Damascus 1190-1350 (Cam­bridge:
Cambridge University Press, 1995).
SAINS di DUNIA ISLAM 90

in their careers. Once that direct ring of protection and approval


was withdrawn, scholars immersed in philosophy and the foreign
sciences could easily fall into disrepute, as happened to Averroes,
despite the fact that he had served as the chief qādi of Cordoba for
years.15

Apa yang dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor kongkrit


yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan sains dalam sejarah
peradaban Islam. Disebut demikian berdasarkan fakta-fakta historis
yang tertulis dalam literatur klasik. Oleh karena itu, adalah mitos belaka
jika dikatakan bahwa sains di dunia Islam dahulu berkembang dan maju
karena faham sekularisme atau buah gerakan sekularisasi.

Sebab Kemunduran Sains di Dunia Islam


Pertanyaan selanjutnya yang sering dilontarkan adalah mengapa
cahaya kegemilangan sains tersebut kemudian redup lalu lenyap sama
sekali? Tentu saja menjawabnya tidaklah sesederhana melontarkannya.
Jawaban untuk pertanyaan ini membawa kita masuk ke arena perdebatan
dan teka-teki. Mengingat pelbagai karya dan prestasi yang dicapai oleh
para ilmuwan Muslim hingga abad ke-14 Masehi, para ahli sejarah sains
banyak yang tak habis pikir mengapa perjalanan sains di dunia Islam
seolah-olah mendadak berhenti. “This situation is a deep puzzle about
which many have speculated for at least the last 150 years,” kata Toby E.
Huff.16 Secara umum, faktor-faktor yang dikatakan menjadi penyebab
kemunduran dan kematian sains di dunia Islam dapat dikelompokkan
menjadi dua, internal dan eksternal, yang masing-masing harus diteliti
lagi sehingga dapat dibedakan mana yang faktual dan mana yang mitikal,
mana yang berbasis data dan mana yang cuma berdasarkan spekulasi
belaka. Dibawah ini adalah aneka jawaban yang dilontarkan oleh pakar-
pakar sejarah maupun praktisi sains dari kalangan Muslim maupun non-
Muslim, berikut ulasan kritisnya.

15 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 69. Ia mengutip Willy Hartner, “Quand et comment
s’est arrêté l’essor de la culture scientifique dans l’Islam?” dalam Classicisme et déclin
culturel dans l’histoire de l’Islam, ed. R. Brunschvig dan G.E. von Grunebaum (Paris:
Maisonneuve et Larose, 1957), hlm. 332-3.
16 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West, 53.
91 SYAMSUDDIN ARIF

Menurut Profesor Sabra, kemunduran merupakan fase keempat


dari proses yang disebutnya sebagai ‘appropriasi’ itu. Pada tahap ini,
aktivitas saintifik mengalami reduksi karena lebih diarahkan untuk me­
menuhi kebutuhan praktis. Sains menyempit wilayah dan perannya men­
jadi sekedar pelayan agama (handmaiden of religion). Pendapat beliau
diamini oleh David A. King, pakar sejarah astronomi Islam dari Institut
für Geschichte der Naturwissenschaften, Universitas Frankfurt. Maka
arith­metika masih dianggap penting sebagai alat untuk menghitung
pem­bagian harta warisan (farāʾiḍ). Sementara astronomi dan geometri
(atau lebih tepatnya trigonometri) terus diajarkan terutama membantu
para muwaqqit menetapkan jadwal shalat dari waktu ke waktu dan me­
nentukan arah kiblat.17 Penjelasan semacam ini tidak terlalu tepat. Sebab,
pada banyak kasus, asas manfaat alias utilitarianisme ini justru berperan
sebaliknya, menjadi faktor penting yang mendorong per­kem­bangan dan
kemajuan sains.
Adapun David C. Lindberg menyebut (1) oposisi kaum konser­­­
vatif, (2) krisis ekonomi dan politik, serta (3) keterasingan dan ke­ter­­­­­­
pinggiran sebagai tiga faktor utama yang bertanggung-jawab atas ke­­­mu­
nduran sains di dunia Islam.18 Makin hari, penentangan dan keca­­man
terhadap sains dan saintis pada masa itu semakin gencar, tulis guru besar
sejarah sains dari Universitas Wisconsin-Madison ini. Se­ba­gai contoh, ia
menunjuk kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat yang terjadi
antara lain di Cordoba. Pernyataan Lindberg ini me­ngi­ngatkan kita
pada tulisan Goldziher kira-kira seabad sebelumnya yang ia beri judul
“Sikap Ulama Salaf terhadap Ilmu-ilmu Klasik”.19 Namun tesis Goldziher
ini telah dibantah oleh banyak ka­langan. Dimitri Gutas dari universitas
Yale, misalnya, mengatakan bahwa Goldziher terlampau gegabah dalam

17 Lihat David A. King, Astronomy in the Service of Islam (Aldershot etc: Variorum, 1993).
18 David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science: The European Scientific Tradition
in Philosophical, Religious, and Institutional Context, 600 B.C. to A.D. 1450 (Chicago: The
University of Chicago Press, 1992), 180-2.
19 Ignaz Goldziher, “Die Stellung der alten islamischen Orthodoxie zu den antiken Wissen­
schaften,” Abhandlungen der Königlich Preussischen Akademie der Wissenschaften,
Jahrgang 1915, Phil.-hist. Klasse, no. 8 (Berlin, 1916); dicetak ulang dalam I. Goldziher,
Gesammelte Schriften (Hildesheim: Georg Olms Verlag, 1970), 5: 357-406; terjemah
Inggrisnya berjudul “The Attitude of Orthodox Islam toward the Ancient Sciences,”
dalam Studies in Islam oleh Merlin L. Swartz (Oxford: Oxford University Press, 1981),
185-215.
SAINS di DUNIA ISLAM 92

menarik kesimpulan, dan itu karena ia dipengaruhi oleh bias pribadinya


yang cenderung me­mo­jok­­kan tokoh-tokoh ulama Hanbalī.20 Kritik ini
diperkuat oleh Sonja Bren­tjes berdasarkan hasil penelitiannya atas data-
data biografis-his­toris yang ada. Ia menganggap gambaran yang ditulis
Goldziher itu se­­bagai mitos.21 Michael Chamberlain datang menengahi.
Menurut dia, ke­­sa­­lahan Goldziher terletak pada generalisasinya yang
tergesa-gesa. Mes­­tinya, untuk dapat mengambil kesimpulan yang akurat,
kita harus me­­neliti kasus per kasus.22 Namun ada satu hal luput dari
perdebatan ini, yaitu apa sebenarnya yang melatar-belakangi oposisi
tersebut? Inilah yang perlu diungkapkan. Jadi bukan sekedar bagaimana
atau seperti apa ke­­ja­diannya, namun mengapa semua itu terjadi.
Jika para saintis dan filosof dahulu itu dikecam dan dikucilkan,
hal itu disebabkan oleh sikap dan perilaku mereka sendiri. Pada puncak
kemajuan dan kemakmurannya, banyak sekali diantara mereka yang
secara diam-diam telah murtad dan kufur terhadap ajaran Islam. Trend
yang berlaku saat itu adalah free-thinking alias liberalisme. Anda bukan
intelektual jika tidak eksentrik, liberal dan sekular. Banyak sekali diantara
mereka yang munāfiq dan zindīq, mereka yang ‘publicly’ Muslim tetapi
‘privately’ menganut agama Mani, Zoroaster, atau filsafat perennial.23
Contohnya adalah para saintis yang menamakan dirinya Ikhwān as-Safā’
yang mengingkari kenabian Muhammad saw dan menganut semacam
natural religion.24 Ada juga yang terang-terangan mengkonsumsi khamar
seperti ‛Umar al-Khayyām dan Ibn Sīnā atas berbagai macam alasan.

20 Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: Arabic Translation Movement in Baghdad
and Early ‛Abbāsid Society (2nd-4th/8th-10th Centuries) (London and New York: Routledge,
1998), hlm. 166-175.
21 Sonja Brentjes, “Orthodoxy, Ancient Sciences, Power, and the Madrasa (“College”) in
Ayyūbid and Early Mamlūk Damascus,” paper presented to the International Workshop
on Experience and Knowledge Structures in Arabic and Latin Sciences, Max Planck
Institute for the History of Science, Berlin, December 16-17, 1996, (Preprint 77), 17-33.
22 Michael Chamberlain, Knowledge and Social Practice in Medieval Damascus 1190-1350
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), hlm. 83-84.
23 Lihat F. Gabrieli, “La ‘Zandaqa’ an 1er siécle abbasid,” dalam L’Elaboration de l’Islam
– colloque de Strasbourg 12-13-14 Juin 1954 (Paris, 1961), 23-38; D. Urvoy, Les penseurs
libres dans l’Islam classique: L’Interrogation sur la religion chez les penseurs arabes
indépendant (Paris, 1996) atau Sarah Stroumsa, Freethinkers of Medieval Islam (Leiden:
E.J. Brill, 1999).
24 Ulasan mengenai karya mereka dapat dilihat di Seyyed Hossein Nasr, An Introduction
to Islamic Cosmological Doctrines (London: Thames and Hudson, 1978), hlm. 25-104.
93 SYAMSUDDIN ARIF

Berbeda dengan generasi pertama atau kedua, banyak kalangan yang


menyebut diri mereka ilmuwan saat itu tidak lagi peduli pada ajaran
aga­ma. Bahkan ada yang berkata bahwa mereka yang mengikuti sha­
lat jum’at itu tak ubahnya seperti sapi dan keledai.25 Dan memang ke­
hidupan hedonis saat itu sudah mulai dipraktekkan oleh kalangan istana
dan kaum elit yang terdiri dari para politisi, cendekiawan, saintis dan
budayawan semacam Ibn al-Muqaffaʿ, Abū Ḥayyān at-Tawḥīdī, al-Jāḥiẓ
atau Abū Nuwās―kehidupan malam dengan pesta arak dan erotisisme.26
Tak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi dan instabilitas poli­
tik sangat berpengaruh terhadap perkembangan sains. Konflik ber­ke­­
panjangan yang seringkali disertai dengan perang saudara telah me­­nga­
kibatkan disintegrasi, krisis militer dan hancurnya ekonomi. Pa­da­hal,
seperti dikatakan Lindberg, a flourishing scientific enterprise re­q­ui­­res
peace, prosperity, and patronage. Dan tiga pilar ini mulai absen di dunia
Islam menjelang abad ke-13 Masehi. Semua ini diperparah lagi de­ngan
serangan tentara Salib (1099 Masehi), pembantaian riconquista di
Spanyol (1065-1248 Masehi) yang memakan ratusan ribu korban, dan in­
vasi pasukan Mongol yang berhasil menduduki Baghdad pada 1258 Ma­
se­hi. Tidak hanya korban jiwa. Tidak sedikit perpustakaan dan ber­bagai
fasilitas riset dan pendidikan yang porak-poranda. Ekonomi pun lumpuh
dan, sebagai akibatnya, sains berjalan tertatih-tatih.
Faktor ketiga yang ditunjuk oleh Lindberg biasanya disebut juga
‘marginality thesis’. Mereka yang mengusung tesis ini berpendapat bah­
wa sains di dunia Islam tidak bias maju karena statusnya memang se­
la­lu dipinggirkan atau dianak-tirikan. Akibatnya, sains tidak pernah se­
cara resmi diakui sebagai salah satu mata pelajaran atau bidang studi
tersendiri. Pengajaran sains hanya bisa dilakukan dengan cara ‘nebeng’
atau diselipkan bersama subjek lainnya. Seberapa jauh kebenaran tesis
ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Pada level yang lebih tinggi, hal
ini berimplikasi pada riset dan pengembangan. Konon para saintis saat

25 Dialah Tsumāmah ibn al-Asyras, sebagaimana dikutip oleh S. Stroumsa, Freethinkers


of Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1999), hlm. 14 catatan kaki no.47. Lihat juga John
Tolan, Saracen Philosophers Deride Islam (Leiden: E.J. Brill, 2002).
26 Lihat Charles Pellat, Arabische Geisteswelt (Zürich und Stuttgart: Artemis, 1967); C.E.
Bosworth, The Medieval Islam Underworld, 2 jilid (Leiden: E.J. Brill, 1976); A.L. al-
Sayyid-Marsot, Society and the Sexes in Medieval Islam (Los Angeles: University of
California Press, 1979) dan Philip F. Kennedy, The Wine Song in Classical Arabic Poetry :
Abū Nuwās and the Literary Tradition (Oxford: The Clarendon Press, 1997).
SAINS di DUNIA ISLAM 94

itu banyak yang bekerja sendiri-sendiri, di laboratorium milik pribadi,


meskipun disponsori dan dilindungi oleh patronnya. Namun demikian
tidak ada lembaga khusus yang menampung mereka. Kesimpulan se­ma­
cam ini agak problematik. Hal ini jelas mencerminkan gene­ralisasi yang
tergesa-gesa dan, kedua, karena institutionalisasi tidak selalu ber­dam­
pak positif tetapi bisa juga berakibat sebaliknya.
Selain itu, beberapa faktor internal seperti kelemahan metodologi,
kurangnya matematisasi, langkanya imajinasi teoritis, dan jarangnya
eksperimentasi, juga dianggap sebagai penyebab stagnasi sains di dunia
Islam. Pendapat ini disanggah oleh Toby E. Huff. Menurut dia, mengapa
di dunia Islam yang terjadi justru kejumudan dan bukan revolusi sains
lebih disebabkan oleh masalah sosial budaya ketimbang oleh hal-hal
tersebut di atas.27 Buktinya, Copernicus tampaknya menggunakan model
dan instrumen yang didesain oleh at-Ṭūsī.28 Tradisi saintifik Islam, tegas
Huff, juga terbukti cukup kaya dengan pelbagai teknik eksperimen da­
lam bidang astronomi, optik maupun kedokteran.29 Oleh karena itu Huff
lebih cenderung menyalahkan iklim sosial-kultural-politik saat itu yang
dianggapnya gagal menumbuhkan semangat universalisme dan otonomi
kelembagaan di satu sisi, dan membiarkan partikularisme dan elitisme
berkembang-biak. Di sisi lain, Huff menilai tidak terdapatnya skeptisisme
yang terorganisir dan dedikasi yang murni (disinterestedness) juga telah
mempengaruhi perkembangan sains di dunia Islam.30 Dengan poin
terakhir ini, Huff telah membawa kita keluar dari wilayah sosiologi ke
epistemologi sains.
Uraian di atas belum lengkap jika tidak membahas pendapat

27 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 208-12.
28 Noel Swerdlow dan Otto Neugebauer, Mathematical Astronomy in Copernicus’s “De
revolutionibus” (New York: Springer Verlag, 1984), 46.
29 A.I. Sabra, “Scientific Enterprise,” dalam Islam and the Arab World, ed. Bernard
Lewis (New York: Alfred Knopf, 1976); David C. Lindberg, Theories of Vision from al-
Kindi to Kepler (Chicago: University of Chicago Press, 1976); George Saliba, “History
and Observation in Islamic Astronomy: The Work of Ibn al-Shātir,” dalam Journal
for the History of Astronomy 18 (1987): 35-43; Max Meyerhof, “Thirty-three Clinical
Observations of Rhazes,” dalam Isis 23 (1933): 321-55; Albert Dietrich, “Islamic Sciences
and the Medieval West: Pharmacology,” dalam Islam and the West, ed. Khalil Semaan
(Albany: State University of New York Press, 1980), 50-64.
30 Untuk penjelasannya lihat Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China
and the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 213-36.
95 SYAMSUDDIN ARIF

Pervez Hoodbhoy. Ahli fisika lulusan Massachusetts Institute of Tech­no­


logy (MIT) ini antara lain menyebut teologi Asyʿarī sebagai salah satu
penyebab kemunduran sains. Menurutnya, doktrin teologi ini mem­
buat kaum Muslim jadi fatalistik, tidak berpikir rasional dan cenderung
bersikap pasif dalam menyikapi fenomena dan realitas. Lebih jauh lagi
Hoodbhoy menuduh Imam al-Ghazālī sebagai orang yang bertanggung-
jawab menghancurkan bangunan sains di dunia Islam.31 Tuduhan per­
ta­ma hanya dapat dibenarkan jika Asyʿarisme adalah sinonim dari dan
equivalent dengan fatalisme. Namun menyamakan apatah lagi mereduksi
akidah Asyʿariyyah menjadi Jabriyyah adalah keliru sama sekali. Lebih
sesat lagi jika ajaran Islam disamakan dengan fatalisme. Demikian pula
tudingan yang kedua. Yang diserang dan ingin dihancurkan oleh Imam
al-Ghazālī sebenarnya bukan bangunan sains, akan tetapi sikap para
il­muwan (scientific attitude) saat itu yang nampak sekali telah men­
dog­­makan sains. Sains telah diagungkan sedemikian rupa seolah-olah
se­perti agama, sehingga tidak boleh dipertanyakan dan digugat lagi ke­
be­­na­rannya. ‘Scientisme’ semacam inilah yang se­sung­guhnya dikritik
oleh Imam al-Ghazālī, dan bukan sains itu sendiri. Maka judul kar­ya­nya
pun Tahāfut al-Falāsifah, bukan Tahāfut al-Falsafah. Jika di­baca de­ngan
cermat dan seksama, kritik Imam al-Ghazālī justru ber­nilai positif dan
sangat diperlukan untuk perkembangan dan kemajuan sains. Di­da­­lam­
nya bertaburan benih-benih empirisisme yang kelak menjadi ciri khas
sains modern.32 Alessando Bausani (guru besar di Istituto Universitario
Orientale di Napoli, Italia), pernah menyatakan bahwa seandainya para­
dig­ma yang dominan pada masa itu ialah atomisme dan empirisisme
―bukan Aristotelianisme yang dikatakan terlampau rasionalistik dan
de­ter­ministik, niscaya nasib sains di dunia Islam akan lain ceritanya.33
Ada juga klaim yang menghubungkan kemunduran sains de­
ngan merebaknya sufisme. Memang benar, seiring dengan kemajuan

31 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality
(London and New Jersey: Zed Books, 1991), 104-7 dan 120.
32 Peran Imam al-Ghazālī ini telah dibahas oleh Prof. Dr. Cemil Akdogan dalam artikelnya,
“Asal-usul Sains Modern dan Kontribusi Muslim,” dalam Islamia, Th.1, No.4 (Januari-
Maret 2005), hlm. 95-9.
33 Lihat “Some considerations on three problems of the anti-Aristotelian controversy
between al-Bīrūnī and Ibn Sīnā,” dalam Abhandlungen der Akademie der Wissenschafien
in Gottingen, Philolog. histor. Klass. Ill, 98 (1976), hlm. 74-85.
SAINS di DUNIA ISLAM 96

peradaban Islam saat itu, muncul berbagai gerakan moral spiritual yang
dipelopori oleh kaum sufi. Intinya adalah penyucian jiwa dan pembinaan
diri secara lebih intensif dan terencana.34 Pada perkembangannya, ge­
ra­kan-gerakan tersebut kemudian mengkristal menjadi organisasi ta­
re­kat-tarekat dengan pengikut yang kebanyakannya orang awam.35 Po­
pu­larisasi tasawuf inilah yang bertanggung-jawab melahirkan sufi-sufi
palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan sikap irrasional di kalangan
masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspek-
aspek mistik supernatural (seperti keramat (karāmah), kesaktian, ke­ajai­
ban dan sebagainya) ketimbang pada aspek ‛ubūdiyyah dan akhlāqnya.
Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan kegandrungan pada hal-hal
tersebut pada gilirannya menyuburkan berbagai bentuk bidʿah, takhay­
yul dan khurāfāt. Akibatnya yang berkembang bukan sains, tetapi ma­
gic (sihir serta pedukunan) dan aneka pseudo-sains seperti astrologi
(zā­’ira­ja), physiognomy (ilmu qiyāfah, firāsah, palmistry), geomancy,
ne­c­ro­mancy, mujarrobāt perjimatan (awfāq, ʿazīmat, tamīmah) dan se­
ba­gainya.36 Maka lebih tepat jika dikatakan bahwa kemunduran sains
di­se­babkan oleh praktek-praktek semacam ini, dan bukan oleh ajaran
tasawuf.37

Catatan Penutup

34 Ajaran sufi dikupas, misalnya, dalam Abū Bakr al-Kalābādhī, at-Taʿarruf li-Madzhabi
Ahli t-Taṣawwuf (Kairo, t.t.); Abu al-Qāsim al-Qusyayrī, al-Risālah al-Qusyayriyyah
(Kai­ro, 1379 H); Abū Nasr as-Sarrāj, al-Lumaʿ, ed. ʿAbdul Ḥalīm Maḥmūd et al. (Kairo,
1960); dan Ibn ʿAṭā’illāh as-Sakandarī, al-Ḥikam (Kairo: t.p., 1939).
35 Untuk ulasan terperinci lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford:
The Clarendon Press, 1971).
36 Lihat Toufic Fahd, La divination arabe: Études religiueses, sociologiques et folkloriques
sur le milieu natif de l’Islam (Leiden : Brill, 1966); C. Bonner, Medizin und Magie. Heil­
kun­de und Geheimlehre des islamischen Mittelalter (Berlin, 1975); M. el-Gawhary, Die
Gottesnamen im magischen Gebrauch in den al-Būnī zugeschriebenen Werke (Bonn,
1968) dan Dorothee A. Pielow, Die Quellen der Weisheit. Die arabische Magie im Spiegel
des Uṣūl al-Ḥikma von Aḥmad ibn ʿAlī al-Būnī (Hildesheim: Georg Olms, 1995).
37 Demikian menurut Armand Abel, “La place des sciences occultes dans la décadence,”
dalam Classicisme et déclin culturel dans l’histiore de l’Islam, ed. R. Brunschvig dan
G.E. von Grunebaum (Paris: Maisonneuve et Larose, 1957), hlm. 291-311. Hal ini di­per­
kuat dengan munculnya reaksi dan penentangan oleh sebagian ulama. Lihat John W.
Livingston, “Ibn Qayyim al-Jawziyyah: A Fourteenth-Century Defense against Astro­lo­
gical Divination and Alchemical Transmutation,” dalam Journal of American Oriental
Society 91 (1971): 96-103.
97 SYAMSUDDIN ARIF

Memasuki era modern, sikap kaum Muslim terhadap sains ter­pe­


cah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang
menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima
dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang kedua
kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah
ber­sikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tem­
pat­nya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemajuan ataupun
kemunduran sains dipengaruhi oleh dan tergantung pada ba­nyak faktor
internal maupun eksternal. Sebagai aktivitas nyata, ‘scien­tific enterprise’
mencerminkan nilai-nilai (epistemologis etc) yang dianut dan diamalkan
para pelakunya. Kaum Muslim dapat meraih kembali ke­jayaannya jika
mereka mau belajar dari sejarah agar tidak terjatuh ke ju­rang kegelapan
berkali-kali.

View publication stats

You might also like