The ASEAN Free Trade Area (AFTA)
The ASEAN Free Trade Area (AFTA)
The ASEAN Free Trade Area (AFTA)
The ASEAN Free Trade Area (AFTA) has now been virtually established. ASEAN Member
Countries have made significant progress in the lowering of intra-regional tariffs through the
Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme for AFTA. More than 99 percent of the
products in the CEPT Inclusion List (IL) of ASEAN-6, comprising Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand, have been brought down to the 0-
5 percent tariff range. [Figure 1]
ASEAN’s newer members, namely Cambodia, Laos, Myanmar and Viet Nam, are not far behind
in the implementation of their CEPT commitments with almost 80 percent of their products
having been moved into their respective CEPT ILS. Of these items, about 66 percent already
have tariffs within the 0-5 percent tariff band. Viet Nam has until 2006 to bring down tariff of
products in the Inclusion List to no more than 5 percent duties, Laos and Myanmar in 2008 and
Cambodia in 2010.
Following the signing of the Protocol to Amend the CEPT-AFTA Agreement for the Elimination
of Import Duties on 30 January 2003, ASEAN-6 has committed to eliminate tariffs on 60 percent
of their products in the IL by the year 2003. As of this date, tariffs on 64.12 percent of the
products in the IL of ASEAN-6 have been eliminated. The average tariff for ASEAN-6 under the
CEPT Scheme is now down to 1.51 percent from 12.76 percent when the tariff cutting exercise
started in 1993.
The implementation of the CEPT-AFTA Scheme was significantly boosted in January 2004
when Malaysia announced its tariff reduction for completely built up (CBUs) and completely
knocked down (CKDs) automotive units to gradually meet its CEPT commitment one year
earlier than schedule. Malaysia has previously been allowed to defer the transfer of 218 tariff
lines of CBUs and CKDs until 1 January 2005.
Products that remain out of the CEPT-AFTA Scheme are those in the Highly Sensitive List (i.e.
rice) and the General Exception List. The Coordinating Committee on the Implementation of the
CEPTScheme for AFTA (CCCA) is currently undertaking a review of all the General Exception
Lists to ensure that only those consistent with Article 9(b)1 of the CEPT Agreement are included
in the lists.
ASEAN Member Countries have also resolved to work on the elimination of non-tariff barriers.
A work programme on the elimination of non-tariff barriers, which includes, among others, the
process of verification and cross-notification; updating the working definition of Non-Tariff
Measures (NTMs)/Non-Tariff Barriers (NTBs) in ASEAN; the setting-up of a database on all
NTMs maintained by Member Countries; and the eventual elimination of unnecessary and
unjustifiable non-tariff measures, is currently being finalized.
In an effort to improve and strengthen the rules governing the implementation of the CEPT
Scheme, to make the Scheme more attractive to regional businessmen and prospective investors,
the CEPT Rules of Origin and its Operational Certification Procedures have been revised and
implemented since 1 January 2004. Among the features of the revised CEPT Rules of Origin and
Operational Certification Procedures include: (a) a standardized method of calculating
local/ASEAN content; (b) a set of principles for determining the cost of ASEAN origin and the
guidelines for costing methodologies; (c) treatment of locally-procured materials; and (d)
improved verification process, including on-site verification.
In order to promote greater utilization of the CEPTAFTA Scheme, substantial transformation has
also been adopted as an alternative rule in determining origin for CEPT products. The Task
Force on the CEPT Rules of Origin is currently working out substantial transformation rules for
certain product sectors, including wheat flour, iron and steel and the 11 priority integration
sectors covered under the Bali Concord II. Direction of Trade ASEAN’s exports had regained its
upward trend in the two years following the financial crisis of 1997- 1998 reaching its peak in
2000 when total exports was valued at US$ 408 billion. After declining to US$ 366.8 billion in
2001, as a result of the economic slowdown in the United States and Europe and the recession in
Japan, ASEAN exports recovered in 2002 when it was valued at US$ 380.2 billion. The upward
trend for ASEAN-6 continued up to the first two quarters of 2003. Intra-ASEAN trade for the
first two quarters of 2003 registered an increase of 4.2 and 1.6 percent for exports and imports
respectively. [Figures 2, 3 & 4]
Direction of Trade
ASEAN's exports had regained its upward trend in the two years following the financial crisis of
1997-1998 reaching its peak in 2000 when total exports was valued US$ 408 billion. After
declining to US$ 366.8 billion in 2001, as a result of the economic slowdon in the United States
and Europe and the recession in Japan, ASEAN expots recovered in 2002 when it was valued at
US$ 380.2 billion. The upward trend for ASEAN-6 continued up to first two quaters of 2003.
Intra-ASEAN trade for the first two quarters of 2003 registered an increase of 4.2 and 1.6 percent
for exports and imports respectively. [Figures 2,3 & 4]
The United States, the European Union and Japan continued to be ASEAN’s largest export
markets. Japan, followed by the U.S. and EU, were the largest sources of ASEAN imports.
During the first half of 2002-2003, ASEAN-6 trade with major markets as a whole increased by
11.71 percent for exports and 6.91 percent for imports. However, ASEAN exports to the U.S.
and India and imports from Canada and India declined during the same period. [Figure 5]
Latar Belakang
Asean Free Trade Area (AFTA) adalah bentuk dari kerjasama perdagangan dan ekonomi di
wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk menciptakan situasi perdagangan yang
seimbang dan adil melalui penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tariff
(bea masuk 0 – 5 %) maupun hambatan non tariff bagi negara-negara anggota ASEAN.
AFTA disepakati pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura. Pada awalnya ada enam negara
yang menyepakati AFTA, yaitu: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura
dan Thailand. Vietnam bergabung dalam AFTA tahun 1995, sedangkan Laos dan Myanmar pada
tahun 1997, kemudian Kamboja pada tahun 1999.
Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan
meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Dalam kesepakatan, AFTA direncanakan
berpoerasi penuh pada tahun 2008 namun dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun
2003.
Pokok Permasalahan
“Bagaimanakah sikap yang harus dilakukan Indonesia agar dapat dengan baik menghadapi
AFTA dan dapat bersaing dengan Negara-negara lain di dalamnya?”
Kerangka Teori
1. Konsep Kepentingan Nasional
2. Konsep Politik Luar Negeri
3. Konsep Role Theory (Teori Peran)
4. Konsep Teori Ideosenkretik
Hipotesa
indonesia harus mampu memantapkan organisasi pelaksanaa AFTA, promosi dan penetrasi
pasar, peningkatan efisiensi produksi dalam negeri, peningkatan kualitas sumber daya manusia,
perlindungan terhadap industri kecil, serta meningkatkan daya saing sektor pertanian.
PERAN INDONESIA DALAM AFTA
Kelompok 2
Agra Sena Prajaya
Michelle Karinda Roestiyono
Yossienta Amelia Puspitasari
Ismaya Saputri
Fitri Navisah Fauziah
Pembahasan
Untuk Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan ekspor
komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan dan sekaligus menjadi tantangan untuk
menghasilkan komoditas yang kompetitif di pasar regional AFTA.
Diharapkan dengan diberlakukannya otonomi daerah perhatian pada sektor agribisnis dapat
menjadi salah satu dorongan bagi peningkatan kualitas produk pertanian sehingga lebih
kompetitif di pasar lokal, regional maupun pasar global, dan sekaligus memberikan dampak
positif bagi perekonomian nasional maupun peningkatan pendapatan petani dan pembangunan
daerah.
Dalam AFTA, peran negara dalam perdagangan sebenarnya akan direduksi secara signifikan.
Sebab, mekanisme tarif yang merupakan wewenang negara dipangkas. Karena itu, diperlukan
perubahan paradigma yang sangat signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang
mengandalkan proteksi negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja
secara nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena itu, kekuatan
manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan, dan keunggulan produk menjadi salah satu kunci
keberhasilan.
Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia
1. Segi penegakan hukum
2. Terjadinya KKN dalam lembaga-lembaga
3. Kurangnya pengawasan di perbatasan
Keuntungan
1. Murahnya biaya produksi
2. kawasan ASEAN akan lebih menarik sebagai lahan investasi
Dampak AFTA
1. Spesialisasi dan peningkatan volume perdagangan
2. Tarif impor barang antarnegara ASEAN secara berangsur-angsur telah dikurangi.
3. Memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk-produk
mereka
4. Produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk dapat menyuplai
produknya ke negara-negara tersebu
Kesiapan Indonesia
Infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum siap menghadapi
ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau pasar bebas ASEAN mulai 2015. “Kita semua tahu
bagaimana kualitas SDM dan infrastruktur kita, padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama
lagi,” kata pengamat politik ekonomi internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia
mengatakan pada dasarnya FTA (Free Trade Area) sangat potensial untuk memperluas jejaring
pasar sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya lagi pembatasan kuota produk.
dan Indonesia harus bisa membenahi dan menyelesaikan kepemimpinan nasional,.
Hal yang perlu Indonesia lakukan
- Pemantapan Organisasi Pelaksanaa AFTA
- Promosi dan Penetrasi Pasar
- Peningkatan Efisiensi Produksi Dalam Negeri
- Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
- Perlindungan Terhadap Industri Kecil
- Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian
ADB
Jakarta: Pemerintah Indonesia dan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB)
sepakat untuk memperkuat dan memperluas kerja sama di sejumlah sektor pembangunan. Kesepakatan
tersebut dicapai dalam pertamuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden ADB Takehiko
Nakao di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (3/10) pagi.
"Presiden tadi mengutarakan bahwa ADB merupakan mitra penting bagi Indonesia. Kami sepakat untuk
memperluas peluang-peluang kerja sama dengan ADB di sejumlah sektor, seperti energi, air bersih,
pembangunan insrastruktur, dan human capital," kata Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan
Pembangunan Firmanzah dalam keterangan persnya seusai pertemuan.
Dalam pertemuan tersebut, ujar Firmanzah, Pdibahas sejumlah hal. Pertama-tama, Presiden SBY
menyampaikan selamat atas terpilihnya Takehiko Nakao sebagai Presiden ADB periode 2013-2016.
"Juga dibicarakan beberapa hal terkait kondisi perekonomian dunia, bagaimana emerging dan
developing countries membentuk policy response menghadapi situasi ekonomi terkini," Firmanzah
menambahkan.
Sedangkan Presiden ADB Takehiko Nakao dalam pertemuan tadi juga menegaskan perlunya
memperkuat hubungan kerja sama dengan Indonesia. "ADB telah menjadi partner dengan kurun waktu
yang lama bagi Indonesia. ADB mengingkan bentuk kerja sama yang lebih kuat lagi," ujar Firmanzah.
Bank Pembangunan Asia merupakan sebuah institusi finansial pembangunan multilateral, didedikasikan
untuk mengurangi kemiskinan di Asia dan Pasifik. Bank ini didirikan pada 1966 dengan 31 negara
anggota dan kini telah berkembang menjadi 63 negara. Kantor pusat ADB berada di Metro Manila,
Filipina.
Saat menerima Nakao, Presiden SBY didampingi Menko Perekomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan
Chatib Basri. (yor)
APEC
Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) merupakan upaya kerjasama dari 21 negara dengan
tujuan meningkatkan perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik.
APEC pertama kali didirikan pada tahun 1989 di Canberra, Australia, dengan anggota awal
sebanyak 12 negara.
Menurut abjad, anggota APEC adalah Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chili, Cina, Hong
Kong, Cina, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini,
Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Cina Taipei, Thailand, Amerika Serikat, dan Vietnam.
21 anggota APEC mewakili 41% populasi global, 49% perdagangan internasional, dan 56%
Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Tidak ada perjanjian yang harus ditandatangani karena APEC diikat melalui konsensus dan
kerjasama yang mengacu pada “Bogor Goals” yang disepakati pada tahun 1994 di Bogor,
Indonesia.
Bogor Goals bertujuan menciptakan perdagangan bebas dan terbuka serta meningkatkan
investasi asing di negara anggota pada tahun 2010 untuk negara ekonomi maju, dan pada tahun
2020 untuk negara ekonomi berkembang.
Dengan menyatukan sumber daya, negara-negara anggota dapat berbagi informasi dan
meningkatkan kemakmuran bisnis dan individu.
APEC memberi manfaat bagi warga negara anggota dengan menciptakan lebih banyak
kesempatan di tempat kerja, harga barang dan jasa yang lebih murah, dan meningkatkan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam pasar internasional.
Di bidang ini, APEC bekerja untuk mengurangi tarif dan menghapus hambatan lain untuk
mewujudkan perdagangan bebas.
2. Fasilitasi Bisnis
APEC bertujuan memfasilitasi interaksi bisnis antara negara-negara anggota dengan mengurangi
biaya bisnis, berbagi informasi perdagangan, dan meningkatkan hubungan importir dan
eksportir.
Anggota APEC rutin bertemu setiap tahun sejak tahun 1993. Tuan rumah pertemuan digilir
bergantian setiap tahunnya.
Di samping isu utama, APEC juga membahas berbagai isu aktual seperti perempuan di APEC,
terorisme, standar transparansi, serta korupsi yang berpotensi mempengaruhi perdagangan.
APEC didanai oleh iuran tahunan dari setiap negara anggota dengan total nilai sekitar 3,38 juta
Dolar AS per tahun.
Dana ini digunakan untuk mendanai program APEC serta membiayai Sekretariat yang terletak di
Singapura.
Kepemimpinan dalam Sekretariat dijabat secara bergilir tergantung pada negara yang menjadi
tuan rumah pertemuan.
Direktur Eksekutif dijabat oleh negara tuan rumah tahun itu, sedangkan Wakil Direktur
Eksekutif berasal dari perwakilan negara tuan rumah tahun depan.[]
EU
I. Pendahuluan
Sejarah telah mencatat bahwa negara-negara Barat (Regional Eropa) merupakan wilayah-
wilayah tempat munculnya peradaban manusia yang cukup maju. Mulai dari pesisir pantai
sampai dengan wilayah daratan Eropa tidak luput dari keterlibatannya dalam perkembangan
peradaban kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang.
Hubungan-hubungan masa lalu yang tercipta sebagai hasil dari upaya pemenuhan kebutuhan
hidup melalui perdagangan, perluasan wilayah, dan pengakuan kedaulatan dari wilayah-wilayah
sekitar telah menimbulkan banyak kejadian penting yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan peradaban kehidupan manusia sampai detik ini.
Salah satu kejadian penting itu adalah perang. Perang besar yang terjadi di muka bumi ini di saat
peradaban kehidupan manusia sudah bisa dibilang maju dan modern telah melibatkan beberapa
negara di benua Eropa. Ada beberapa negara yang mencoba untuk menguasai regional Eropa dan
ada beberapa negara Eropa yang menjalin koalisi perang dengan negara-negara dari benua lain
untuk kepentingan dan keperluan masing-masing.
Kesadaran terhadap dampak negatif dari peperangan di masa lalu –puncaknya pada pasca Perang
Dunia II– menyebabkan negara-negara Eropa yang termasuk ke dalam blok Eropa Barat
mendirikan Council of Europe pada tahun 1949. Pengalaman yang tidak menyenangkan selama
masa perang memicu negara-negara Eropa Barat untuk melakukan usaha-usaha penyelamatan
Eropa dari kemungkinan-kemungkinan peperangan di masa yang akan datang.
Dalam perkembangan Uni Eropa, negara-negara pionir –yang juga dikenal dengan sebutan The
Inner Six– sering melakukan pertemuan-pertemuan dan menghasilkan banyak traktat-traktat
yang menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baru. Perjalanan terbentuknya Uni Eropa
dari masa awal mengalami perkembangan yang cukup bagus dan signifikan. Hal yang paling
mencolok adalah semakin banyaknya negara-negara Eropa yang bergabung dengan The Inner
Six sehingga terbentuklah persatuan yang saat ini dikenal dengan sebutan European Union. Saat
ini tercatat ada 27 negara anggota UE dengan 23 bahasa resmi.
II. Permasalahan
Di dalam buku European Union Politics (Cini, 2003) pembahasan tentang sejarah awal
terbentuknya Uni Eropa dimulai dan dititikberatkan dari terbentuknya European Community
(EC), lalu apa yang menyebabkan begitu pentingnya keberadaan EC dalam terwujudnya suatu
komunitas regional besar yang saat ini dikenal dengan nama European Union (EU)? Issue lain
yang juga akan dicoba dijawab pada makalah ini adalah tujuan utama pembentukan EU dan
apakah tujuan tersebut tercapai mengingat bahwa pembentukan EU diawali dengan pembentukan
EC?
Relasi antara dibentuknya European Community (EC) dengan tujuan dibentuknya European
Union (EU) menjadi sangat penting untuk dicermati, karena mustahil sesuatu yang besar
diciptakan tanpa tujuan tertentu yang sangat besar pula. Di sinilah nantinya akan terlihat titik
temu alasan utama pentingnya keberadaan EC sebagai titik tolak dasar pembentukan komunitas
besar yang saat ini kita kenal dengan nama European Union.
IV. ISI
European Community (EC) merupakan institusi internasional negara-negara Eropa yang terdiri
dari European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic Community (EEC), dan
European Atomic Energy Community (EAEC/Euratom). Negara-negara pionir yang tergabung ke
dalam komunitas ini dikenal dengan sebutan The Inner Six (Perancis, Jerman, Belanda, Belgia,
Luxemburg, dan Italia).
Tujuan utama dibentuknya Masyarakat Eropa (EC) adalah terciptanya pasar bebas. Ketentuan-
ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3 (a) yang melarang adanya cukai; Pasal 3 (b)
mengatur Community’s common commercial policy seperti dalam bidang pertanian, perikanan
dan transportasi; pasal 3 (g) secara khusus mewajibkan Community memasyarakatkan bahwa
‘persaingan dijamin dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3 (h) mengatur tentang
perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas.
ECSC adalah komunitas negara-negara The Inner Six yang bertujuan menghapus berbagai
hambatan perdagangan dan menciptakan pasar bersama tempat produk, pekerja, dan modal dari
sektor batubara dan baja dari negara-negara anggota bisa bergerak dengan bebas. Pada tanggal 9
Mei 1950 (Europe Day), Robert Schuman (Menlu Prancis) mempresentasikan ide-idenya dalam
misi penyelamatan Eropa sehingga terbentuk European Coal and Steel Community (ECSC).
ECSC akhirnya ditandatangani pada Traktat Paris (18 April 1951) oleh 6 negara pinoir yang juga
merupakan anggota Council of Europe. ECSC resmi dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 1952 s/d
tahun 2002. Dalam pelaksanaannya ECSC terbukti ampuh menjaga “keharmonisan” Eropa
selama hampir setengah abad.
Traktat Roma (25 Maret 1957) menghasilkan Euratom dan European Economic Community
(EEC). Tujuan dari pembentukan EEC adalah terciptanya Pencapaian Custom Unions, yang
merupakan usaha untuk penghapusan customs duties, import quotas, dan berbagai hambatan
perdagangan lainnya antar sesama negara anggota. Di sisi lain diberlakukan Common Customs
Tarrif (CCT) negara ketiga (negara-negara non-anggota).
Dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas, tidak ada hambatan oleh
batasan negara. Oleh karena itu Traktat Roma menetapkan empat kebebasan (four freedoms)
yang mengikat yaitu kebebasan perpindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja,
kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas jasa yang bebas, lalu lintas modal yang
bebas[1].
Pasar bebas mempunyai kebijakan yang komersial umum, relasi komersial dengan negara-negara
ketiga dan kebijakan persaingan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur
pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropa adalah Hukum
Persaingan Usaha[2].
Namun demikian, saat ini pergerakan barang dagang, jasa, modal, dan penduduk antarnegara
anggota masih belum sepenuhnya bebas, artinya pelaksanaan tujuan dari pembentukan EEC
masih dalam proses penyempurnaan.
Terkait dengan kebijakan pasar bebas yang diwujudkan dalam EEC, maka tujuan dibentuknya
EAEC/Euratom juga terkait dengan pergerakan bebas sumber produksi, distribusi, dan riset yang
diperlukan untuk pengembangan sumber energi yang berbasis kepada penguunaan nuklir antar
sesama negara anggota. EEC dan EAEC (Euratom) resmi diberlakukan pada tahun 1958.
ESCS, EEC dan Euratom resmi disatukan (merger) menjadi European Community (EC) atau
Masyarakat Eropa pada bulan Juli 1967. Kerjasama ekonomi yang disepakati pada EEC segera
diterapkan, sehingga pada tahun 1968 semua tarif yang ada antar negara-negara anggota
dihilangkan sepenuhnya.
Setelah ketiga organisasi itu disatukan ke dalam EC tidak terlihat adanya progress yang cukup
besar, sampai pada saat Georges Pompidou menggantikan posisi De Gaulle sebagai Presiden
Perancis. Georges Pompidou melakukan tindakan-tindakan yang lebih terbuka untuk memicu
perkembangan EC. Atas saran Pompidou, sebuah pertemuan digelar di Den Haag, Belanda pada
tahun 1969. Dalam pertemuan ini dicapai beberapa poin penting, seperti pembentukan sistem
financial untuk EC yang didasarkan pada kontribusi tiap negara anggota, pembentukan kebijakan
luar negeri, dan negosiasi dengan Inggris, Denmark, Irlandia dan Norwegia untuk bisa
bergabung dengan EC.
Sukses besar EC berlanjut sampai pada terbentuknya komunitas regional yang saat ini dikenal
dengan nama European Union. Dalam perkembangannya banyak terjadi pertemuan-pertemuan
lainnya yang menghasilkan banyak kebijakan-kebijakan baru dan jumlah keanggotaan yang
semakin besar jumlahnya.
Pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh The Inner Six menelurkan kebijakan-kebijakan yang
mengatur hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan dan pengembangan sektor produksi dan
distribusi antar sesama negara anggota. Dimulai dari kerja sama antar sesama negara-negara
anggota di dalam kerangka pengolahan, sumber perolehan bahan baku produksi, dan distribusi
batu bara dan besi baja (ECSC), sampai dengan terbentuknya suatu komunitas yang lebih luas
yang disebut European Community (EC) yang merupakan gabungan antara ECSC, EEC, dan
Euratom.
Jika diperhatikan dengan sangat teliti, maka terlihat jelas bahwa cikal bakal pondasi utama
pembentukan European Union adalah komunitas-komunitas yang mengutamakan urusan-urusan
ekonomi. Mulai dari pengaturan perolehan sumber bahan baku produksi, sampai dengan
pengaturan di bidang distribusi hasil produksi antar sesama negara-negara anggota, semuanya
tercermin di dalam merger ECSC, EEC, dan Euratom menjadi satu komunitas yang disebut
Masyarakat Eropa/European Community (EC).
Dalam pelaksanaannya, keberadaan EC mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini
menyebabkan munculnya minat dari negara-negara lain di luar negara-negara anggota untuk
bergabung dengan komunitas ini. Kesuksesan inilah yang mendorong Inggris, Denmark, Irlandia
dan Norwegia untuk mengajukan diri bergabung dengan EC.
Pengajuan diri Inggris untuk menjadi bagian dari EC tidak berjalan mulus. Kejadian-kejadian di
masa lalu membuat De Gaulle (Presiden Perancis) tidak meloloskan niat Inggris untuk
bergabung dengan EC. Seiring berjalannya waktu, penggantian tampuk kepemimpinan di
Perancis akhirnya memberikan angin segar kepada Inggris untuk meloloskan niatnya bergabung
dengan EC. Georges Pompidou, di masa kepemimpinan dialah Inggris beserta tiga negara
lainnya resmi bergabung dengan EC.
Fakta penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC yang
didasari oleh kejadian-kejadian di masa lalu menimbulkan retorika apakah keberadaan ECSC,
EEC, dan Euratom yang akhirnya terintegrasi ke dalam European Community murni berdasarkan
kepentingan dan tujuan bersama dalam bidang ekonomi saja? Metamorfosa EC menjadi
European Union (EU) terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya
terdapat banyak perkembangan kebijakan-kebijakan baru melalui pertemuan-pertemuan antar
negara anggota yang jumlahnya senantiasa bertambah.
Penolakan De Gaulle terhadap keinginan Inggris untuk bergabung dengan EC bukan satu-
satunya hal yang menimbulkan retorika keberadaan EU – yang diawali oleh EC – didasari atas
kepentingan dan tujuan ekonomi saja. Kenyataan lainnya yang cukup mencolok adalah adanya
beberapa negara anggota yang menolak menggunakan mata uang Euro dan menolak untuk
termasuk ke dalam kebijakan Schengen[3].
V. Kesimpulan
Di bagian pendahuluan makalah ini telah dijelaskan sedikit tentang sejarah awal terbentuknya
EU, yaitu berdasarkan trauma pasca perang antar negara-negara di kawasan Eropa yang
puncaknya sangat dirasakan pada pasca Perang Dunia II. Keruntuhan perekonomian negara-
negara Eropa pasca Perang Dunia II memang menjadi alasan utama untuk membangun kerja
sama antar negara-negara di kawasan Eropa sehingga perekonomian bisa kembali normal.
Namun demikian, mustahil perekonomian akan kembali stabil dan berjalan dengan normal jika
penyebab utama malapetaka (perang) tidak diantisipasi. Berbicara soal perang erat kaitannya
dengan banyak kepentingan, dan apabila kita membahas tentang kepentingan, maka akan sangat
erat kaitannya dengan politik. Jadi tujuan utama pendirian EC yang perlahan tapi pasti
bermetamorfosa menjadi apa yang sekarang dikenal dengan nama European Union adalah
kepentingan untuk membangun kembali perekonomian negara-negara anggota EC pasca Perang
Dunia II dan sekaligus sebagai salah satu upaya untuk meredam rivalitas antar negara-negara di
kawasan Eropa sehingga bisa dicegah terjadinya perang yang berdampak sangat buruk terhadap
kehidupan, terutama di dalam bidang perekonomian, karena perang menguras banyak biaya dan
menghancurkan sumber-sumber produksi basis-basis perekonomian negara-negara yang terkena
imbas perang.
Fakta bahwa negara-negara anggota UE saat ini merupakan bagian dari negara-negara maju
seantero dunia menunjukkan bahwa apa yang dicita-citakan sejak awal tentang misi
“penyelamatan” Eropa cukup berhasil. Namun demikian, latar belakang historis hubungan antar
negara-negara besar di benua Eropa juga memegang peranan yang sangat penting dalam
perkembangan Uni Eropa sejak awal pembentukannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengambilan keputusan pada setiap pertemuan yang diadakan juga dipengaruhi oleh kepentingan
politik dan ekonomi dari beberapa negara besar.
Misi utama penyelamatan Eropa melalui sektor kerjasama di bidang ekonomi menuai sukses
besar dalam perjalanannya sampai saat ini. Dimulai dari pembentukan ECSC (Traktat Paris, 18
April 1951), dan kemudian diikuti oleh traktat Roma pada tanggal 25 Maret 1957 yang
menghasilkan keputusan pembentukan EEC dan Euratom yang kemudian diintegrasikan dengan
ECSC dalam suatu wadah yang disebut European Community (EC) adalah cikal bakal
kesuksekan negara-negara anggota dalam pencapaian misi “penyelamatan” Eropa.
Jadi, secara garis besar bisa ditarik dua tujuan utama pembentukan Uni Eropa, yaitu:
1. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang ekonomi yang fokus terhadap
keleluasaan gerak sumber produksi, manusia (sumber tenaga kerja), hasil produksi, dan
jasa tanpa tarif atau minimal dengan kesegaraman tarif yang rendah.
2. Terjalinnya kerjasama antar negara anggota di bidang politik sehingga dapat mengurangi
dampak negatif rivalitas antar negara-negara besar di Eropa yang telah ada sejak dahulu
kala sehingga bisa menghindari terjadinya perang kembali di Eropa, serta menjadi salah
satu kekuatan di dunia dalam regulasi internasional.
Dari kesimpulan ini dapat dilihat alasan pentingnya keberadan EC dalam sejarah terbentuknya
Uni Eropa. Dengan demikian terjawab pula pertanyaan ketiga dari makalah ini, yaitu
pembentukan Uni Eropa yang diawali dengan pembentukan EC (kerjasama dalam bidang
ekonomi) telah mencapai tujuan utamanya, yaitu kerjasama dalam bidang ekonomi, dan
berkembang ke dalam kerjasama politik yang dapat “mengontrol” rivalitas antar negara-negara
besar di Eropa sehingga perang bisa dihindari, serta perlahan tapi pasti menjadi salah satu bagian
utama dalam percaturan politik dunia internasional.
EFTA