8 12 PB PDF
8 12 PB PDF
8 12 PB PDF
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Udayana, RSUP Sanglah Denpasar Bali
1
Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Udayana, RSUP Sanglah Denpasar Bali
2
ABSTRACT
Background. Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) is a lung infection caused by fungus Pneumocystis carinii. More than half (70 - 80%) of peo-
ple with AIDS get at least one episode of PCP on their clinical course, with mortality ranging from 10% to 40%. Usually, there is no abnormality
in pulmonary physical examination. Chest radiographic examination is one of the non-invasive examinations to make the diagnosis of PCP.
Radiographic examination may find an abnormal picture or normal picture.
Purpose. To compare the diagnosis of PCP in HIV/AIDS patients made by clinical versus radiology examination at Sanglah Hospital.
Method. Type of this research is descriptive cross sectional study. The number of samples in this study were 51 samples obtained by total
sampling technique. Data obtained from secondary data is from medical record.
Result. After univariate and bivariate analyze, from 51 samples, 68.8% of the samples were radiologic diagnose with PCP and 76.5% were
clinical diagnose with PCP. From bivariate analysis 82.9% were diagnosed PCP radiologically and clinically.
Conclusion. Thorax imaging is a good imaging modality in early diagnosis and excludes the differential diagnosis of PCP.
ABSTRAK
Latar Belakang. Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii. Lebih dari
separuh (70 – 80%) penderita AIDS mendapatkan paling sedikit satu episode PCP pada perjalanan klinis penyakitnya, dengan mortalitas
berkisar antara 10 – 40%. Pemeriksaan fisik paru biasanya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan radiografi dada merupakan salah satu pe-
meriksaan non-invasif untuk menegakkan diagnosis PCP. Dari pemeriksaan radiografi dapat ditemukan gambaran abnormal atau gambaran
normal.
Tujuan. Mengetahui perbandingan diagnosis klinis dengan diagnosis radiologis PCP pada pasien HIV/AIDS di RSUP Sanglah.
Metode. Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian deskritif cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 51 sampel yang
didapat dengan teknik total sampling. Data diperoleh dari data sekunder yaitu rekam medis sampel.
Hasil. Setelah dilakukan analisis data univariat dan bivariat didapatkan hasil dari total 51 sampel, sebanyak 68,8% sampel didiagnosis radilo-
gis PCP dan sebanyak 76,5% didiagnosis klinis PCP. Dari analisis bivariat sebanyak 82,9% terdiagnosis PCP secara radiologis dan klinis.
Kesimpulan. Pemeriksaan foto toraks merupakan modalitas imaging yang cukup baik dalam mendiagnosis awal dan menyingkirkan diag-
nosis banding dari PCP.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk Analisis data dilakukan dengan menggunakan
menegakan diagnosis PCP selain dari gejala klinis pasien, program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 23
yaitu dengan melakukan pemeriksaan radiografi dada (misal: for macOS. Pada penelitian ini dilakukan uji cross tab untuk
foto toraks) dan pemeriksaan serologis PCR dari sediaan melihat jumlah perbedaan diagnosis klinis dengan radiologis
darah, serum dan aspirasi nesofaring. Pemeriksaan radiografi PCP pada pasien HIV/AIDS.
dada merupakan salah satu pemeriksaan non-invasif untuk
menegakkan diagnosis PCP. Dari pemeriksaan radiografi
dapat ditemukan gambaran abnormal seperti adanya
gambaran infiltrat interstitial bilateral difus pada daerah
hilus. Tetapi dapat juga terlihat gambaran yang normal atau
PEMBAHASAN radiologi RSUP Sanglah terdiagnosis PCP dari hasil foto toraks.
Dan setelah dilakukan pemeriksaan foto toraks, dari instalasi
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan Penyakit Dalam sebanyak 76,5% sampel didiagnosis dengan
infeksi paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii. PCP secara klinis. Jika dianalisis lebih seksama, tampak bahwa
Pneumocystis pneumonia merupakan koinfeksi yang sering 28,2% sampel yang terdiagnosis PCP secara klinis memiliki
ditemukan pada penderita HIV dan jarang terjadi pada gambaran radiologi normal. Temuan ini memperlihatkan
penderita HIV dengan CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau 14% bahwa sampel yang didiagnosis PCP secara klinis lebih banyak
dari hitung limfosit total dan dapat menyebabkan pneumonia dari pada secara radiologis. Temuan normal pada hasil foto
yang berat.7,8 toraks tidak menentukan diagnosis klinis menjadi bukan PCP.
Pneumocystis sulit didiagnosis karena gejala dan tanda Meskipun demikian, terdapat 28,2% sampel yang
yang tidak spesifik. Diagnosis definitif PCP dibuat berdasarkan menunjukkan gambaran radiologis infiltrat pada kedua
bukti histopatologi, bronkoskopi dengan BAL atau induced lapang paru, 7,7% gambaran fibroinfiltrat, dan 17,9%
sputum kemudian dilakukan analisis imunofluoresensi. gambaran retikulonodular. Hasil foto toraks yang beragam
Pemeriksaan radiografi dada digunakan untuk evaluasi awal. pada penelitian ini sesuai dengan presentasi radiografi yang
Karena masing-masing infeksi oportunistik terkait HIV memiliki paling umum pada PCP yaitu infiltrat yang difus, infiltrat
presentasi radiografi yang khas, radiografi (dikombinasikan interstitial atau infiltrat alveolar pada 50-90% pasien. Ketika
dengan informasi yang berasal dari riwayat, gejala klinis, infeksi berlangsung, infiltrat ini dapat berkembang menjadi
pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium yang dipilih) dapat difus yang melibatkan semua lapang paru-paru atau menyatu
mempersempit kemungkinan diagnostik dan menyarankan menjadi coarse pattern dengan konsolidasi homogen dan
pendekatan diagnostik.9 airbronchograms konsisten pada alveolar. Selama perubahan
radiografi dapat terjadi edema paru pada beberapa kasus.
Pada penelitian ini dilihat dari jenis kelamin, persentase Infiltrat khas muncul pada area perihilar atau basilar dan
paling besar adalah laki-laki sebesar 66,7% (34 orang). Dari pada progresnya membentuk pola kupu-kupu. Pada 10 – 15%
usia, kelompok usia 20-33 tahun lebih banyak dari pada kasus, hasil foto toraks pada PCP dapat memperlihatkan hasil
kelompok usia 34-59 tahun (47,1%). Hasil penelitian ini sesuai normal.15
dengan data epidemiologi penderita HIV/AIDS secara global
pada tahun 2015, yaitu pada populasi dewasa 39% penderita Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
HIV maupun dengan yang baru terinfeksi HIV dengan usia penunjang merupakan tahapan dalam menegakan diagnosis
diatas 25 tahun. Distribusi berdasarkan jenis kelamin proporsi PCP. Pneumocystis tidak dapat dikultur, sehingga diagnosis
penderita laki-laki dan perempuan sama yaitu 50%, tetapi PCP dilakukan dengan visualisasi mikroskopik dari gambaran
pada penderita yang baru terinfeksi HIV jenis kelamin yang bentuk kistik atau trofik spesimen respiratori yang diambil
dominan adalah laki-laki. Penelitian ini juga sejalan dengan dari sputum atau bronkoskopi. Bronkoskopi dengan BAL
riset CDC pada tahun 2012 dimana proporsi penderita HIV merupakan standar baku diagnosis PCP pada pasien
dominan laki-laki yaitu sebesar 79,8%.10,11 HIV dengan sensitivitas 98% atau bahkan lebih. Namun,
bronkoskopi memerlukan petugas yang terlatih, ruangan
Dorjgochoo, et al (2009) dalam penelitiannya serta alat khusus, biaya yang tinggi dan resiko komplikasi. Dan
mengenai faktor risiko infeksi HIV pada remaja dan usia muda bronkoskopi tidak tersedia secara luas pada setiap fasilitas
yang mengunjungi klinik VCT di Kota Port-au-Prince, Haiti kesehatan.16
menyebutkan bahwa ada perbedaan jalur faktor risiko infeksi
HIV terkait dengan jenis kelamin. Puffer, et al (2011) dalam Kombinasi dari pemeriksaan foto toraks dan penilaian
penelitiannya tentang hubungan antara individu dan keluarga secara klinis merupakan kombinasi yang dipergunakan secara
dengan faktor tingkat psikososial dan perilaku seksual pada luas dalam menegakkan diagnosis awal PCP pada pasien HIV/
325 remaja usia 10-18 tahun di Kenya menjelaskan bahwa AIDS. Pada penelitian ini terdapat 57% sampel terdiagnosis
laki-laki usia muda lebih cenderung melakukan hubungan PCP baik secara radiologis dan klinis dan 12% sampel yang
seksual berisiko dibandingkan dengan perempuan. Laporan tidak terdiagnosis PCP baik dari pemeriksaan radiologis
UNFPA menyebutkan bahwa ketidaksamaan gender, praktik maupun klinis. Sehingga, penelitian ini membuktikan bahwa
pernikahan dini, kekerasan seksual dan pencarian perempuan pemeriksaan foto toraks merupakan modalitas imaging yang
yang lebih muda dan bebas HIV oleh laki-laki dewasa, cukup baik dalam mendiagnosis awal dan menyingkirkan
menambah risiko bagi perempuan muda di daerah sub- diagnosis banding dari PCP. Oleh karenanya, setiap pasien
Sahara Afrika.12,13,14 HIV/AIDS yang dicurigai mengalami infeksi oportunistik PCP
disarankan untuk dirujuk ke instalasi radiologi dan dilakukan
Hasil temuan pada penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan foto toraks sebagai salah satu pemeriksaan
terdapat 68,6% pasien HIV/AIDS yang dirujuk ke instalasi penunjang diagnosis PCP.1,4
DAFTAR PUSTAKA
A CASE REPORT
2
Department of Ophtalmology, Dr. Moewardi Public Hospital Surakarta Indonesia
ABSTRACT
Intra orbital wooden foreign body (IOWFB) injuries are common cause of visual loss. The diagnosis is difficult, it may be missed from the
imaging perspective. A case series is reviewed between 2013 and 2017. Of the 4 cases, 3 were caused by tree branch and 1 by bamboo. The
postoperative vision was improved in 75%, but not in 25% subjects due to optic nerve damage. To be strongly suspected intra orbital wooden
foreign body when the intra orbital density below of the surrounding intra orbital fat on CT. All the intra orbital wooden foreign body were
removed successfully without any complications.
INTRODUCTION
IOWFB injuries is an important challenge for radiologists; this assessment is even more difficult when the orbital injury is
associated with injuries involving multiple organs.1 Trauma to the eye accounts for approximately 3% in my Hospital between
2013 - 2017. There were 15 cases, 4 by wooden injuries (26,7%), 3 by tree branch and 1 by bamboo. The distribution of injury
were 25 % in superior, 25% in medial, 25% in lateral and 25% in posterior part. Ocular injuries are common cause of visual loss.
It has been estimated that 90% of all ocular injuries can be prevented.2 The structural and functional damage to the orbital
contents caused by these objects, related to the size, location and the time elapsed after the injury. These objects can be metallic,
nonmetallic or organic matter. Computed Tomography considered to be best choice in evaluating orbital trauma.3
CASE REPORT
We report a case of 77 year old woman presented to Emergency Room of Dr. Moewardi Hospital due to IOWFB injury
in her left eye. Head Computed Tomography (CT) Scan in axial,coronal and sagittal section revealed the IOWFB appeared
hypodencity penetrated in the left palpebral superior of fornix, conjungtiva bulbi, optic nerve then tore them, extended to the
left ethmoidal wall with the depth of penetration is about 4 cm. Multiple fractures were found in frontal bone and the left side
of ethmoidal sinus (Fig.1,2,3,4). Surgery was conducted by ophthalmologist to remove the IOWFB with the size of 6.7 x 1.3 cm
(Fig.5,6). The eye globe in anterior chamber was still infact. The position of the lens was not displaced. The posterior segment of
the eye globe without hemorrhage. This patient was diagnosed with full thickness palpebral laceration. The ophthalmologist
performed palpebral suturing and reconstruction of the damaged area. The wooden stick was broken into 3 fragment in order
to be able to remove it from the eye ball. Eye loupe was used to ensure that there was no debridement of the wooden foreign
body inside. Then irrigation was done by using disinfectant solution. The tear was satured in every layer with catgut. Finally
antibiotic eye ointment was applied. The patient was then evaluated in 24 hours and a week later, until 1 month. The outcome
was good and there was no sign of infection. The patient recovered well after surgical and medical management in spite of her
visual loss.
Fig. 1. Multiple fractures were found in frontal bone and the left side of ethmoidal sinus with hematosinus.
Fig. 2, 3, 4. Optic nerve injury who presented with multiple sinus paranales fractures. Axial, sagital and coronal CT Scan showed a left orbital
apex fracture with a bone fragment impinging on the optic nerve.The wooden may mimic air on CT Scan
DISCUSSION
CONCLUSION
REFERENCE
LAPORAN KASUS
1
Resident Department of Radiology Medical Faculty of Maranatha Christian University Bandung
2
Radiology Specialist Department of Radiology Medical Faculty of Maranatha Christian University Bandung
ABSTRACT
Uterus didelphys is a congenital disorder in which there is a failure of merging of the Müllerian duct, during formation of uterine, cervix, and
vagina at 6-11 weeks of gestation, which belongs to type III müllerian duct abnormalities, where there is unconnected duplication of the
uterus, cervix and vagina. Incidence of uterine didelphys in 2012 is estimated 1: 3000 women. Müllerian duct abnormalities can be observed
by imaging such as Ultrasonography (USG), Magnetic Resonance Imaging (MRI) and hysterosalpingography (HSG). The HSG can show the
müllerian duct abnormalities, but cannot distinguish the type of the müllerian duct abnormalities themselves, whereas those on USG and MRI
are shown to be able to see antomic in more detail.
ABSTRAK
Uterus didelphys merupakan kelainan kongenital dimana terdapat kegagalan penggabungan dari duktus Müllerian, pada saat pembentukan
uterus, cervix, dan vagina pada usia kehamilan 6-11 minggu, yang termasuk kedalam kelainan duktus Müllerian tipe III, terdapat duplikasi dari
uterus, cervix dan vagina yang tidak berhubungan. Insidensi uterus didelphys tahun 2012 diperkirakan sekitar 1:3000 wanita. Pemeriksaan
penunjang pada kasus kelainan duktus Müllerian dapat diamati secara Ultrasonography (USG), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
histerosalpingografi (HSG). Penggunaan HSG dapat melihat kelainan duktus müllerian, namun tidak dapat membedakan tipe dari kelainan
duktus müllerian itu sendiri, sedangkan pada USG dan MRI terbukti dapat melihat antomis dengan lebih detail.
Kata kunci : Uterus didelphys, kelainan kongenital, kelainan duktus müllerian, histerosalpingografi, HSG
PENDAHULUAN
Uterus didelphys merupakan suatu kelainan bawaan dimana adanya kegagalan penggabungan duktus müllerian saat
embriologi.2,3,4,5 Kelainan ini termasuk kedalam kelainan duktus müllerian tipe III2, dimana terdapat duplikasi dari uterus, cervix
dan vagina yang tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.4
LAPORAN KASUS
Seorang wanita, 31 tahun, P1A0, datang dengan Gambar 2. Uterus, tuba kiri dan sisa kontras pada tuba kanan
keluhan tidak hamil setelah 5 tahun menikah dengan suami ke
dua. Pasien sudah menikah dengan suami pertama selama 9
tahun, dan sudah memiliki 1 anak yang saat ini sudah berusia Dilakukan pemeriksaan HSG. Pada pemeriksaan
9 tahun. Kemudian pasien menikah lagi dengan suami ke-2, inspeksi terlihat seperti ada 2 portio yang dibatasi oleh lapisan
sudah 5 tahun pasien menikah dan belum dapat hamil. otot yang membatasi ke dua portio dan vagina.
Riwayat obstetri pada kehamilan pertama diketahui Pada pemeriksaan HSG (gambar1), dimasukan kateter
bayi tunggal, aterm 37 minggu, dan rutin kontrol ke dokter HSG perorificium cervix sebelah kanan, tampak kontras
kandungan. Riwayat persalinan, dilakukan tindakan sectio mengisi uterus dan mengisi tuba sebelah kanan, serta terlihat
caesarean atas indikasi persalinan tidak maju. tuba kanan yang membesar dan membentuk gambaran
seperti kantung. Tak tampak spill pada tuba kanan. Setelah
Saat ini suami ke-2 sudah dilakukan pemeriksaan pemeriksaan selesai, kateter HSG dicabut.
analisis sperma dan didapatkan hasil yang normal dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan HSG pada pasien, dan Pemeriksaan HSG diulang pada portio kiri (gambar 2),
didapatkan hasil sebagai berikut : kateter HSG dimasukan perorificium cervix kiri, tampak kontras
mengisi uterus dan tuba kiri. Tampak tuba kiri membesar dan
membentuk gambaran kantung. Tak tampak spill pada tuba
kiri.
Kesan :
• Tampak 2 buah cervix dan 2 buah uterus, baik
yang sebelah kanan maupun yang sebelah kiri, ke
dua tuba tidak tampak spill, namun membentuk
gambaran kantung -> hydrosalfing kanan dan kiri.
• Tampak 2 buah uterus -> didelphys uterus ec
kongenital
PEMBAHASAN
Uterus didelphys merupakan kegagalan penggabungan dari duktus Müllerian tipe III, pada saat pembentukan uterus,
tuba fallopi, cervix dan vagina pada usia kehamilan 6-11 minggu.5,8 Kegagalan penggabungan dapat terlihat pada pemeriksaan
vagina dengan speculum, dan dapat terlihat adanya septa memanjang yang memisahkan vagina menjadi 2 bagian kanan dan
kiri.4
Note-DES = diethylstilbestrol
Kasus kelainan duktus Müllerian sendiri terdiri dari Kelainan uterus didelphys biasanya tidak bergejala,
beberapa tipe, termasuk didalamnya uterus bikornu, uterus namun dapat disertai dengan dysmenorrhea atau dyspareunia,
arkuatus, uterus unikornu, dan uterus didelphys. Kejadian dapat ditemui hematocolpos/ hematometrocopos yang
terbanyak adalah uterus dengan septa dimana terdapat diakibatkan obstruksi vagina, karena terdapat septum di
35% kasus, 25% kasus bikornu, 20% kasus uterus arkuatus, vagina. Uterus didelphys sering di laporkan menjadi bagian
9,6% uterus unikornu dan, kejadian uterus didelphys sendiri dari salah satu sindrom, yang dikenal dengan Herlyn-Werner-
kejadiannya hanya 8,3% dari keseluruhan kelainan duktus Wunderlich (HWW) syndrome, disini didapatkan obstruksi
Müllerian.3 dari hemivagina dan kelainan ginjal ipsilateral (OHVIRA). Hal
ini merupakan kejadian yang sangat langka dimana terdapat
Insidensi uterus didelphys adalah 1:3000 wanita. 1,3,4 kelainan kongenital dengan trias uterus didelphys, obstruksi
hemivagina dan kelainan ginjal ipsilateral.1,2,3,7
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN
Departement of Radiology, Medical Faculty of Universitas Airlangga – Airlangga University Hospital, Surabaya
1
ABSTRACT
The first step in making decision of intra-cranial tumors is the location of tumor, whether intra- or extra-axial. After localized the lesion we
make differential diagnosis that relevant to the location. Once we made the decision, we make the characterization of the tumors. With MRI it
is easier to make this decision compared to CT.
Meningiomas constitute the most common extra-axial tumors of the brain. Contrast-enhanced MRI can easily detect the location of the tumor,
the full extension of the tumor, sinus invasion and/or thrombosis, vascularity, intra-cranial edema, and intra-osseous extension. WHO grades
meningiomas in 3 types which are typical, atypical, and malignant meningioma. With structural MRI, MR Spectroscopy, MR perfusion and
some methods we can grade this type.
Tumors of neurogenic origin such as schwannomas, neurofibromas, neuromas may be similar in appearance. MRI can help distinguishing
these tumors with meningiomas. Another extra-axial lesion located in bone or arachnoid is metastases. Contrast-enhanced T2-FLAIR can
easily detect these lesions, but inflammatory lesions may also simulate dural metastase. Other extra-axial tumors are choroid plexus masses,
non-neoplastic masses (epidermoids, dermoids, teratomas, lipomas). The location as well as specific appearances on imaging will guide us to
a specific diagnosis.
ABSTRAK
Langkah pertama dalam membuat keputusan mengenai tumor intra-kranial adalah menentukan lokasi tumor apakah intra- atau ekstra-aksial.
Setelah melokalisasi lesi, diagnosis yang relevan dengan lokasi dapat dibuat. Karakterisasi tumor dilakukan setelah menentukan keputusan.
Membuat keputusan mengenai tumor intra-kranial lebih mudah dilakukan menggunakan MRI dibandingkan dengan CT.
Meningioma merupakan tumor otak ekstra-aksial yang paling umum. MRI dengan kontras dapat dengan mudah mendeteksi lokasi tumor,
perluasan tumor, invasi sinus dan/atau trombosis, vaskularisasi, edema intra-kranial, dan ekstensi intra-osseous. WHO menggolongkan
meningioma dalam 3 tipe, yaitu tipikal, atipikal dan ganas. Dengan MRI struktural, MR spektroskopi, MR perfusi dan beberapa metode lain
kita bisa menggolongkan tipe meningioma.
Tumor neurogenik seperti schwannoma, neurofibroma, neuroma mungkin serupa dalam tampilannya. MRI dapat membantu membedakan
tumor ini dengan meningioma. Lesi ekstra-aksial lainnya yang terletak di tulang atau arachnoid adalah metastase. T2-FLAIR dengan kontras
dapat dengan mudah mendeteksi lesi ini, namun lesi inflamasi dapat menyerupai metastasis dural. Tumor ekstra-aksial lainnya adalah massa
pleksus choroid, massa non- neoplastik (epidermal, dermoid, teratoma, lipoma). Lokasi dan gambaran yang spesifik pada pencitraan akan
membimbing kita pada diagnosis yang spesifik.
Kata Kunci: tumor intra-kranial, tumor ekstra-aksial, pencitraan magnetic resonance, meningioma
In order to treat a brain tumor corectly, an assessment There are several steps needed to make appropriate MR
to characterize the tumor need to be done. When we analyze diagnosis:
a potential brain tumor, many questions need to be answered.
Patient’s age is needed to be known since different tumors 1. Gather patient’s data
occur in different ages.1,2 The tumor location, whether it is Before doing any examination, the complete patient’s
intra- or extra-axially or crossing the midline. Other important data needs to be recorded. It includes patient’s age,
issues are which compartment it lies, eg. sellar or protosellar hormonal condition, tumor history, etc. Each of
region and whether it is a solitary mass or multifocal disease. patient’s data is needed to make the right diagnosis.
effects. The FDA has asked doctors to limit the use of 6.Describe the extension of the tumor, the base of the
Gadolinium contrast agents to times when necessary tumor
information is made available through its use.6 After knowing the exact location of the tumor, the
next thing that needed to be done is describing the
5. Determine the tumor location extension of the tumor, an example is given in Figure
Determine the location of the tumor, making sure 3.
the location is intra- or extra-axial. There are several
imaging findings of extra-axial tumors, which are: (a)
meniscus sign, (b) displacement of subarrachnoid
vein inward, (c) buckling of the grey-white interface,
(d) dura strecthed over the mass, (e) displacement of
brain from the skull, (f ) CSF cleft between brain and
lesion (Figure 2), (g) vessels interposed between
brain and lesion, (h) cortex between mass and
(edematous) white matter, and (i) dura (meninges)
between (epidural) mass and brain. Signs and
imaging findings that suggest or confirm the extra-
axial location of the mass are summarized in Table 1.
Figure 2. CSF cleft sign with vessels interposed between brain and
lesion consistent with extra-axial mass. After contrast injection the 7.Determine the content of the tumor
mass enhanced strongly and homogenously. The mass pushes optic Some tumors may contain blood, calcification,
chiasm downward. Another extra axial small nodule was detected necrosis or cystic areas. Blood content can be
surrounding precentral gyrus.
evaluated using T1W, T2W and GRE T2*. Blood inside
a tumor has a specific sign, it may have different age,
ie. acute, sub-acute, and chronic. Calcification is best
Table 1. MR findings in extra-axial masses7 demonstrated on CT. On MRI, calcification is best
identified on susceptibility weighted images as areas
MR Findings in Extraaxial Mass
of low signal intensity, however calcification may
Suggestive Definitive also be appreciated on T2W as areas of low intensity.
Peripheral, broadly based along CSF cleft between brain and Necrosis or cyst appears as low intensity on T1W and
the calvarium lesion high intensity on T2W.
Overlying bone changes Vessels interposed between
brain and lesion 8.Measure the size of tumor
Enhancement of adjacent Cortex between mass and Tumor measurement can be done after contrast
meninges (edematous) white matter administration. The measurement is carried on axial,
Displacement of brain from the Dura (meninges) between
coronal, and sagittal slices.
skull (epidural) mass and brain
9.Associated bone changes in overlying calvarium
Bony changes in overlying calvarium may appear as
thickening of the bone with hypointense signal on
T1W and T2W.
EXTRA-AXIAL TUMORS
WHO classifies tumors of the meninges into four
groups, which are: (a) tumors of meningothelial cells
(meningioma, angiomatous etc.), (b) mesenchymal, non-
meningothelial tumors (osteosarcoma, osteoma lipoma etc.),
Figure 4. A. Coronal, and B. Sagittal T1W contrast-enhanced MRI. After (c) primary melanocytic lesions (Multiple Myeloma, diffuse
contrast injection, it shows marked enhancement and the delineation melanocytosis, etc.), and (d) tumors of uncertain histiogenesis
of the mass is clear and sharp. Tumor attaches to cerebellar peduncle.
(hemangioblastoma).9-11
EXTREMITY LYMPHEDEMA
ABSTRACT
Patients with both primary and secondary lymphedema must undergo appropriate examinations to evaluate variations and characteristics
of lymphedema in order to determine optimal clinical management and appropriate definitive treatment. Appropriate minimally-invasive
imaging has an important role in the management of lymphedema, especially lymph-venous microsurgery. The familiarization of appropriate
techniques helps radiologists in recognizing, reporting, and determining the management of lymphedema. The purpose of this article is to
discuss lymphatic anatomy and pathology, Magnetic Resonance Imaging technique, and points to report on in order to assist the management
of lower extremity lymphedema.
ABSTRAK
Pasien dengan limfedema baik primer maupun sekunder, harus menjalani pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi variasi dan
karakteristik limfedema, guna menentukan manajemen klinis yang optimal dan penatalaksanaan definitif yang tepat. Pencitraan yang tepat
dan minimal invasif memiliki peranan yang penting dalam penatalaksanaan limfedema terutama pembedahan mikro limfa-vena. Pengenalan
terhadap teknik yang tepat akan menbatu Dokter Spesialis Radiologi dalam mengenali, melaporkan, dan juga membantu menentukan tata
laksana dari limfedema. Tujuan penulisan artikel ini untuk membahas anatomi dan patologi sistem limfatik, teknik pencitraan menggunakan
MRI, serta hal-hal yang perlu dilaporkan dalam membantu tata laksana limfedema pada ekstremitas bawah.
PENDAHULUAN
Sistem limfatik adalah komponen esensial dari sistem sirkulasi tubuh. Sistem ini memiliki banyak fungsi fisiologis yang
penting dan terpengaruh oleh banyak proses penyakit. Sejak pertengahan abad ke-20, terdapat kemajuan dalam pencitraan
dari hampir seluruh sistem pada tubuh manusia. Namun, pencitraan terhadap sistem limfatik tertinggal jauh, salah satu
penyebabnya adalah sulitnya memasukkan media kontras ke dalam duktus limfatik.1 Limfedema adalah kondisi progresif yang
ditandai dengan pembengkakan hebat pada anggota tubuh yang terkena, disebabkan oleh terganggunya aliran limfatik yang
diikuti dengan akumulasi cairan limfatik yang berlebihan Limfedema primer maupun sekunder berkembang
pada jaringan interstisial.2,3 Pengobatan konvensional untuk secara bertahap, dari ringan ke berat. Pembagian tahapan
limfedema kronis bertujuan mengurangi gejala, namun limfedema dapat bermacam-macam berdasarkan tingkat
dengan kemajuan teknologi, alat diagnostik dan terapeutik keparahannya.4 Diagram skematis penegakan diagnosis
baru, perspektif ini telah berubah. Tujuan penulisan artikel ini limfedema pada Gambar 1.
adalah untuk menganalisis kinerja MR limfografi untuk menilai
limfedema ekstremitas bawah, mengetahui poin-poin yang Tabel 1. Etiologi limfedema11
perlu dilaporkan dalam perencanaan tata laksana limfedema. Primer Sekunder
Kongenital Trauma
ANATOMI DAN FISIOLOGI LIMFATIK Penyakit Milroy Tumor
Limfedema prekoks Pembedahan
Struktur dan pentingnya sistem limfatik serupa Limfedema tarda Infeksi-infestasi
terhadap sistem sirkulasi darah. Setiap harinya, 2-4 liter
Paska-trombosis vena
cairan terdorong ke interstisial akibat adanya perbedaan
tekanan antara kapiler darah interior dan sekitarnya. Sistem
limfatik yang merupakan jaringan kapiler di mana lokasinya
berdekatan dengan kapiler darah, mendrainase cairan
interstisial tersebut dan mengembalikannya ke aliran darah.4
Cairan interstitial yang disebut getah bening masuk melalui
kapiler limfatik kecil (juga disebut limfatik awal atau terminal)
yang secara bertahap bergabung membentuk pembuluh
berdiameter lebih besar, yaitu pre-collector, collector, trunkus
dan duktus, dengan ukuran berkisar dari 1 mm hingga 2 mm.4,5
Sistem limfatik yang mengalami malformasi atau rusak, Gambar 1. Diagram skematis pilihan dalam diagnosis limfedema11.
BIS: bioimpedence spectroscopy; MRI: magnetic resonance imaging;
akan terjadi penumpukan getah bening yang berlebih dan
NIRF: near infra-red fluorescence imaging; PDE: photo dynamic
menyebabkan pembengkakan pada jaringan yang biasanya
eye (PDE; Hamamatsu Photonics K.K., Hamamatsu, Japan); USG:
mempengaruhi anggota tubuh bagian bawah. Limfedema, ultrasonography; CT: computed tomography
juga dikenal sebagai obstruksi limfatik, adalah kondisi retensi
cairan lokal dan pembengkakan jaringan yang disebabkan
oleh sistem limfatik yang terganggu. Ada dua jenis limfedema:
limfedema primer dan limfedema sekunder. Gangguan ini
PREVALENSI DAN ETIOLOGI
mungkin diturunkan (primer) atau disebabkan oleh cedera
Pada tahun 1934, Allen memperkenalkan klasifikasi
pada sistem limfatik (sekunder). Paling sering terlihat setelah
limfedema menjadi primer dan sekunder. Limfedema
diseksi kelenjar getah bening, pembedahan, terapi radiasi atau
sekunder mengikuti obstruksi pada jalur limfatik oleh sebab-
pengobatan kanker ataupun infeksi.4 Beberapa penyebab
sebab seperti pembedahan, terapi radiasi, dan keterlibatan
limfedema terdapat pada Tabel 1.
kelenjar getah bening oleh penyakit ganas dan kondisi lainnya.
garis memanjang yang menghubungkan spina iliaca superior anterior dan sendi metatarso-phalangeal 1 pada ekstremitas
bawah. Kemudian kita berikan penanda yang dapat digunakan pada pemeriksaan MRI pada permukaan kulit (berbahan dasar
air ataupun minyak di dalam kapsul), di sepanjang garis tersebut, di setiap jarak 10 cm dengan arah kranio-kaudal (Gambar 3).9
Gambar 3. Posisi pasien pada pemeriksaan ekstrimitas bawah.2 Melacak lokasi pembuluh limfe dan vena dalam perencanaan pembedahan
dapat dilakukan dengan menggunakan sistem aksis Cartesian.9 Ditarik garis dari tulang iliaka anterosuperior ke sendi metatarsal-phalangeal
pertama, dengan tanda yang diatur setiap 10 cm. Sistem Cartesian digunakan untuk menemukan titik pada gambar. X : lokasi eksternal atau
internal; Y : kranial atau kaudal; Z : kedalaman.
Coronal 3D SSFP balanced 4.0 1.9 90 40 x 40 224 x 192 2/1 0,53 ± 125
Coronal 3D spoiled GRE T1W with 5.0 2.1 17 25 44 x 44 448 x 320 2.8/1.4 1 ± 111.1
SPECtral inversion at lipid balanced
TR = repetition time; TE = echo time; TI = inversion time; FA = flip angle; FOV = field of view; NEX = number of excitation
Pengambilan 3D T1-weighted GRE dilakukan secara Tiap sekuens 3D SSFP-balanced membutuhkan waktu
berurutan pada setinggi pergelangan kaki-betis, lutut, regio sekitar 3 menit dan tiap sekuens 3D spoiled gradient-recalled
inguinal di menit-menit yang telah ditentukan sebelumnya echo T1-weighted membutuhkan waktu sekitar 3 menit dan
pada kedua ekstremitas inferior. Untuk memperjelas gambaran 50 detik, dengan total waktu pemeriksaan ekstremitas bawah
vena, dapat dilakukan rekonstruksi sekuens 3D sebelum adalah 1 jam dan 15 menit (3 menit dikalikan 3 atau 4 regio
pemberian kontras dalam potongan koronal menggunakan lokasi dan 3 menit 50 detik dikalikan 3 atau 4 regio lokasi;
teknik Maximum Intensity Projection (MIP).8 kemudian dikalikan 4 waktu pengambilan [menit ke-5, ke-20,
dan ke-35]).2
Pengambilan MRL dapat dilakukan dalam tiga
langkah.2 Langkah pertama adalah survei dan kalibrasi yang
wajib dilakukan pada seluruh lokasi yang akan diperiksa, dan
tiga ataupun empat lokasi pada ekstremitas bawah (kaki,
pergelangan kaki, betis, betis-lutut, dan paha-panggul).
Sebelum dilakukan injeksi kontras, diambil terlebih dahulu
sekuens 3D heavy T2-weighted dengan supresi lemak ataupun
SSFP-balanced 3D potongan koronal dengan trigger EKG dan
supresi lemak (SPECtral inversion at lipid [SPECIAL] dengan
mesin MRI GE). Trigger EKG diperoleh dengan peripheral
gating dan waktu delay yang telah diatur berturut-turut pada
fase sistolik untuk mendapatkan venogram tanpa kontras
dan visualisasi yang jelas dari limfedema. Sekuens berikutnya Gambar 4. Lokasi injeksi media kontras.2
yang diambil adalah sekuens 3D spoiled gradient-recalled
echo T1-weighted dengan SPECtral inversion at lipid (FSPGR
dengan SPECIAL) pada seluruh lokasi yang akan diperiksa, Pemberian Media Kontras
guna meningkatkan sensitifitas kontras, lalu menambahkan
sekuens pre-kontras ini ke gambar paska-kontras yang akan Gadopentate dimeglumine (Gd-DPTA) merupakan
dilakukan selanjutnya. media kontras paramagnetik dengan konsentrasi Gadolinium
(Gd) 0.5 mol/L, yang biasa diperdagangkan dengan nama
Langkah kedua adalah pasien dibawa keluar dari dagang Magnevist®. Agen kontras ini tidak dimetabolisme
terowongan MRI dan diinstruksikan untuk tidak bergerak. oleh tubuh, diekskresikan oleh filtrasi pasif glomerulus tanpa
Secara ideal, dua Dokter Spesialis Radiologi menyuntikkan ada perubahan struktur, dan menyebabkan kerusakan jaringan
media kontras secara bersamaan (masing-masing di tiap yang sangat kecil setelah injeksi yang tidak melalui intra-
ekstremitas), menggunakan jarum kecil secara berurutan vena maupun pada kondisi ekstra-vasasi. Maka dari itu, Gd-
ke aspek dorsal celah antar dua jari (Gambar 4). Langkah DPTA merupakan salah satu agen media kontras yang dapat
ketiga adalah pengambilan gambar secara berulang di digunakan dengan aman untuk injeksi intra-kutan.8 Pilihan
lokasi pertama pada menit ke-5, ke-30, dan ke-45 setelah kontras lainnya yang dapat digunakan adalah Gadobenate
injeksi media kontras. Lokasi-lokasi berikutnya diambil secara dimeglumine (Gd-BOPTA)2 dan Gadodiamide.9 Kontras berbasis
berurutan setelah lokasi yang pertama pada waktu yang telah gadolinium pada ruang interstisial ini terkumpul pada sistem
ditetapkan. limfatik dan akan bersirkulasi pada saluran limfatik.9
Pada beberapa penelitian, ukuran jarum yang umumnya digunakan adalah yang berukuran kecil seperti 24-28 Gauge
(G). Dipersiapkan campuran kontras sebanyak 5,5 mL dan 0,5 mL mepicavain HCl 1% atau lidocaine 1% yang dibagi menjadi
5 dosis dan diinjeksikan secara intra-kutan ataupun sub-kutan ke aspek dorsal kedua kaki di keempat regio celah antar-jari
(Gambar 5). Volume yang diinjeksikan maksimal 2 mL (umumnya 1 mL) di setiap celah antar-jari.2,8 Mepivacaine HCl 1% ataupun
lidocaine 1% diberikan bersamaan dengan agen kontras untuk mengurangi rasa nyeri pada area suntikan. Sebagian literatur
menyatakan dapat dilakukan pijatan selama 30 detik setelah dilakukan injeksi kontras.8
Gambar 5. Aplikasi pemberian media kontras secara intra-kutan, setelah prosedur aseptik dorsal pedis.9
Analisis Citra MR Lymphography atau tidak menggunakan media kontras. Hal-hal penting
yang perlu dilaporkan tersebut dirangkum dalam Tabel 3.
Data asli citra dari tiap sekuens harus dievaluasi di Beberapa contoh gambar hasil pemeriksaan limfografi MR
workstation secara 3 dimensi untuk dapat membentuk dapat diamati pada Gambar 6 dan Gambar 7.
gambar 3D yang telah diproses dan diputar dalam sudut 360
derajat. Identifikasi dan lokalisasi struktur limfatik dan vaskular
dapat dilakukan dengan beberapa rekonstruksi paska-
proses pengambilan gambar. Tiga tipe yang paling berguna
dalam MRL adalah Multi-Planar Reformation (MPR) untuk
menilai gambaran anatomis dengan lebih baik, rekonstruksi
Maximum Intensity Projection (MIP) dengan ketebalan irisan
5 mm dan 15 mm untuk evaluasi gambaran detail dari
pembuluh limfatik, dan rekonstruksi Volume Rendering (VR)
untuk memberikan gambaran menyeluruh pada ekstremitas
inferior dan sistem limfatik di dalamnya. Pada MPR terutama,
pembuluh limfe akan terlihat seperti tasbih, dengan kaliber
yang berubah-ubah, dan pembuluh vena akan terlihat
memiliki kontur yang linier.9 Tampilan ekstremitas yang
memanjang dari seluruh lokasi dapat dibentuk dengan piranti
lunak untuk mempermudah visualisasi. Seluruh gambar yang
telah diproses harus disimpan dalam Picture Archiving and
Communication System (PACS) guna memberikan akses yang
mudah pada klinisi dalam merencanakan tindakan LVA.2
PELAPORAN MR LYMPHOGRAPHY
Gambar 6. Limfografi MR pada ekstremitas inferior. Tanda-tanda lim-
Terdapat beberapa referensi dari berbagai penelitian
fedema pada tungkai kiri, dengan volume yang asimetris. Perhatikan
dalam pelaporan limfografi MR ini. Setelah mengolah citra pembuluh limfatik dengan ukuran kecil yang berada pada kulit dari
dengan PACS, pelaporan tersebut dapat dibagi berdasarkan ujung kaki. Tampak pembuluh limfatik yang dilatasi pada aspek lat-
cara pengambilannya dalam menggunakan media kontras eral tungkai. 9
Tabel 3. Hal yang perlu dilaporkan oleh Dokter Spesialis Radiologi dalam pemeriksaan limfografi MR2
Pelaporan limfografi MR
Keberadaan, tingkat keparahan (perluasan dan ketebalan), dan lokasi dari limfedema
Jumlah, diameter, arah, kedalaman terhadap kulit dari pembuluh limfatik yang terganggu dan vena di sekitarnya
Ukuran jarak terperinci antara pembuluh limfatik yang diperiksa dan vena yang direncanakan untuk LVA
Pola drainase limfatik
Tipe 1: drainase limfatik buruk, atau penyangatan interstisial, atau dermal backflow
Tipe 2: penyangatan difus parsial, atau penyangatan interstisial dan vaskuler, hanya beberapa pembuluh limfatik yang terlihat pada
area dermal backflow (honeycombing)
Tipe 3: sesuai arah, bila tampak penyangatan limfatik tanpa adanya dermal backflow
Keterlambatan drainase
Skor 0: tak tampak adanya drainase
Skor 1: keterlambatan berat (penyangatan di setinggi pelvis baru tampak > 60 menit paska-pemberian kontras atau tidak mencapai
ketinggian pelvis hingga akhir dari pemeriksaan)
Skor 2: keterlambatan ringan (penyangatan di setinggi pelvis baru tampak > 20 menit paska-pemberian kontras)
Skor 3: aliran lancar (penyangatan pembuluh limfatik didapatkan sejak pengambilan paska-pemberian kontras yang pertama atau
penyangatan di setinggi pelvis sudah tampak < 20 menit paska-pemberian kontras)
Deteksi keberadaan dan menyebutkan lokasi dari limfonodi yang tervisualisasi
Keberadaan dari kontaminasi vena pada gambar yang diambil (ada atau tidak ada) dan gangguannya terhadap diagnosis limfedema dan
keberadaan limfangiektasia (ada atau tidak ada)
DAFTAR PUSTAKA
1. Chavhan GB, Amaral JG, Temple M, Itkin M. MR
Lymphangiography in Children: Technique and
Potential Applications. RadioGraphics 2017;37:1775–90.
doi:10.1148/rg.2017170014.
2. Lu Q, Delproposto Z, Hu A, Tran C, Liu N, Li Y, et al. MR
Lymphography of Lymphatic Vessels in Lower Extremity
with Gynecologic Oncology-Related Lymphedema. PLoS
One 2012;7:e50319. doi:10.1371/journal.pone.0050319.
3. Arrivé L, Derhy S, El Mouhadi S, Monnier-Cholley L,
Menu Y, Becker C. Noncontrast Magnetic Resonance
Lymphography. J Reconstr Microsurg 2015;32:080–6.
doi:10.1055/s-0035-1549133.
4. Krishnamurthy R, Hernandez A, Kavuk S, Annam A,
Pimpalwar S. Imaging the Central Conducting Lymphatics:
Initial Experience with Dynamic MR Lymphangiography.
Radiology 2015;274:871–8. doi:10.1148/radiol.14131399.
5. Kalawat T, Chittoria R, Reddy P, Suneetha B, Narayan
R, Ravi P. Role of lymphoscintigraphy in diagnosis and
management of patients with leg swelling of unclear
etiology. Indian J Nucl Med 2012;27:226. doi:10.4103/0972-
3919.115392.
6. Guermazi A, Brice P, Hennequin C, Sarfati E. Lymphography:
An Old Technique Retains Its Usefulness. RadioGraphics
2003;23:1541–58. doi:10.1148/rg.236035704.
7. Mitsumori LM, McDonald ES, Wilson GJ, Neligan PC,
Minoshima S, Maki JH. Mr lymphangiography: How i do
it. J Magn Reson Imaging 2015;42:1465–77. doi:10.1002/
jmri.24887.
8. Arrivé L, Derhy S, Dahan B, El Mouhadi S, Monnier-Cholley
L, Menu Y, et al. Primary lower limb lymphoedema:
classification with non-contrast MR lymphography. Eur
Radiol 2018;28:291–300. doi:10.1007/s00330-017-4948-z.
9. Sadeghi R, Kazemzadeh G, Keshtgar M. Diagnostic
2
Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Malignant peripheral nerve sheath tumor (MPNST) is biologically an aggressive tumor of soft tissue sarcoma. MPNSTs represent 5–10% of all
soft-tissue sarcomas. They correspond to malignant forms of neurofibromas and schwannomas. The main clinical symptoms of MPNST are
increasing size of tumors, local or radicular pain, paraparesis, and paresthesia and/or weakness of extremities.
Radiological imaging is important to determine the site and extension of the tumor, especially before surgery. Magnetic resonance imaging
(MRI) is the imaging modality of choice. To some extent, MPNSTs share basic imaging characteristics with benign peripheral nerve sheath
tumor, although there are some evidence of malignant transformation. Diagnosis may be challenging because there are no specific
immunohistochemical or molecular markers. However, Histopathological examination is needed for definitive diagnosis
The mainstay of treatment is surgical resection. The goal of the operation is to achieve complete surgical excision of the tumor with negative
(wide) margins. Together with wide surgical excision, radiation therapy offers the best outcome of local and overall survival rates.
ABSTRAK
Tumor Selubung Saraf Perifer Maligna (MPNST) adalah sarkoma jaringan lunak yang agresif secara biologis. MPNST mewakili 5-10% dari
seluruh sarkoma jaringan lunak serta merupakan bentuk maligna dari neurofibroma dan schwannoma. Gejala klinis utama yang sering
dijumpai, seperti pembesaran ukuran tumor, nyeri lokal atau radikular, paraparese, dan paresthesia dan atau kelemahan ekstremitas.
Pencitraan radiologi penting untuk menentukan lokasi dan perluasan dari tumor terutama sebelum dilakukan operasi. Pada taraf tertentu,
MPNST menunjukkan karakteristik dasar pencitraan yang sama dengan tumor selubung saraf perifer benigna, tetapi dengan bukti tranformasi
maligna. Penegakan diagnosis menjadi tantangan karena tidak ada imunohistokimia atau marker molekul yang spesifik. Walaupun begitu,
pemeriksaan histopatologi dibutuhkan untuk diagnosis pasti.
Terapi utamanya adalah bedah reseksi. Tujuan operasi yaitu untuk mendapatkan eksisi komplit dengan batas tepi tumor negatif. Bersamaan
dengan bedah eksisi luas, terapi radiasi adjuvant memberikan hasil ANATOMI
terbaik terhadap rekurensi lokal dan angka kelangsungan hidup
secara keseluruhan Sistem saraf berperan mengintegrasi dan regulasi
aktivitas tubuh, sebagian bersifat diskrit (target spesifik)
Kata Kunci : Tumor Selubung Saraf Perifer Maligna, Radiologi, dan sebagian global. Sistem saraf dibagi menjadi 2 bagian
Radioterapi. struktural yaitu; (1) Sistem saraf pusat (CNS), terdiri dari otak
dan korda spinalis. (2) Sistem saraf perifer (PNS), terdiri dari
somatik, autonomik, dan saraf enterik di perifer.11
PENDAHULUAN
1. Neuron
Malignant peripheral nerve sheath tumor (MPNST)
merupakan kelompok tumor yang jarang ditemukan dan Sistem saraf manusia memiliki berjuta neuron.
berasal dari sel-sel yang berbeda yang ditemukan di selubung Klasifikasi neuron menjadi tiga tipe fungsional yaitu: (1)
saraf perifer termasuk sel Schwan, fibroblas perineural atau Neuron motorik, yaitu impuls eferen dari CNS atau ganglia
fibroblas. MPNST sebelumnya dikenal sebagai schwannoma (kumpulan neuron diluar CNS) sampai ke sel target (efektor).
malignan, neurofibrosarkoma, sarkoma neurogenik atau (2) Neuron sensorik, yaitu impuls aferen dari reseptor perifer
neurilemoma maligna.1,2 MPNST bisa berasal dari berbagai ke CNS. (3) Interneuron, menyampaikan impuls antara neuron
macam tipe sel sehingga manifestasi klinis yang terlihat sangat sensorik dan motorik di CNS, kemudian membentuk jaringan
bervariasi antara satu kasus dengan kasus yang lain, membuat yang terintegrasi antara sel-sel.11
penegakan diagnosis, klasifikasi dan terapinya menjadi sulit.
Radiologi dan radioterapi merupakan modalitas yang dapat
membantu dalam penatalaksanaan MPNST. 1 2. Glia
ETIOLOGI
3. Sistem Saraf Perifer (PNS)
Etiologi masih belum diketahui, namun insidensi
lebih tinggi pada pasien dengan riwayat paparan radiasi.6 Saraf perifer dalam tubuh manusia terdiri dari
Studi Loree dkk. mendeskripsikan bahwa empat pasien kumpulan ribuan serabut saraf yang tertutup dalam jaringan
NF1 yang menjalani terapi radiasi kepala dan leher, dua ikat dan disuplai oleh pembuluh darah kecil. Saraf “fiber”
diantaranya berkembang menjadi MPNST.7 Hampir 50% terdiri dari akson (eferen dan aferen) yang terpisah satu sama
MPNST adalah pasien NF1, menunjukkan kecenderungan lain baik proses sitoplasma sel Schwann atau myelinisasi
tumor ini berasal dari neurofibroma sebelumnya.8 Studi oleh membran sel Schwann (selubung myelin). Jaringan ikat
potong lintang sebelumnya melaporkan sekitar 1 - 2% pasien pendukung terdiri dari beberapa jenis sel yang berbeda yaitu;
NF1 berkembang menjadi MPNST.9 Pasien NF1 memiliki resiko fibroblast, sel perineurial, adiposit, makropag dan sel mast.
10% seumur hidup berkembang menjadi MPNST.5,10 Saraf perifer meliputi 12 pasang saraf kranial yang berasal
dari otak dan 31 pasang saraf spinal yang berasal dari korda
spinalis (Gambar 1).11
DIAGNOSIS
HISTOPATOLOGI
Gambar 2. Wanita usia 23 tahun dengan riwayat NF1 sebelumnya
Gambaran umum MPNST adalah satu dari fasikula dengan keluhan massa yang membesar dan nyeri di kaki kiri bawah
seluler yang padat di antara daerah miksoid. Susunan dan ukuran mssa membesar dengan cepat dalam dua bulan. Gambar
MRI menujukkan tumor tibia kiri dengan hasil histologi menunjukkan
membentuk putaran area intermiks yang padat dan miksoid
tumor selubung saraf perifer maligna pleksiform. 19
membentuk pola menyerupai marmer. Sel-sel bisa berbentuk
spindel dengan kontur yang sangat irregular, bisa juga bentuk
bulat atau fusiform. Nukleus sel membentuk pagar ditemukan Positron Emission Tomography (PET-CT) merupakan
< 10% kasus dan bahkan hanya fokal. Sugestif malignansi, modalitas untuk monitor lesi yang memiliki potensial
bila terdapat gambaran invasi jaringan sekitarnya, invasi transformasi maligna pada NF1. Disebabkan kasus yang
struktur vaskular, nukleus pleomorfik, nekrosis, dan aktivitas jarang dan derajat keparahan MPNST berhubungan dengan
mitotik.1,5,15 NF1, PET-CT scan dilakukan pada keadaan berikut: (a)
PENATALAKSANAAN
DISKUSI
Penatalaksanaan MPNST terutama adalah reseksi
komplit dengan batas tepi tumor negatif, walaupun Secara radiologis MPNST merupakan tumor non
sering menimbulkan gejala defisit fungsional disebabkan spesifik yang sangat agresif.27 Kemajuan metode pencitraan
pengangkatan perlengketan saraf perifer yang terlibat. saat ini seperti MRI dan PET memudahkan deteksi dini kasus
Bahkan setelah tindakan reseksi komplit bedah mikro, angka MPNST. MRI mempunyai peranan penting untuk diagnosis
rekurensi lokal masih mencapai 20-38%. Faktor prognostik terutama pada fase pre-operative. Walaupun gambaran
radiologis MPNST sangat beragam, tetapi peningkatan Rekomendasi International commission on radiation
kontras perifer heterogen non-kistik dapat digunakan sebagai units and measurements (ICRU) menjadi dasar perencanaan
pertanda untuk penegakan diagnosis. Selain itu MPNST harus terapi. Gross tumor volume (GTV) adalah tumor yang terlihat
dicurigai, jika ukurannya >5cm, terdapat edema peritumoral pada gambar T1WI MRI dengan penyangatan yang abnormal
pada lokasi yang superfisial karena infiltrasi tumor ke jaringan atau tumor yang tidak menyangat pada T2 / FLAIR. Setelah
sekitar sehingga batas lesi tidak jelas, ditemukannya lobulasi eksisi lengkap, rongga reseksi tumor tanpa edema disebut GTV.
intratumoral, tidak ada target sign dan destruksi tulang pada Volume target klinis (CTV) mencakup edema pada T2WI MRI
kecenderungan malignansi. Kombinasi tanda-tanda ini dengan batas tepi 1,5 cm di sekitar GTV tujuan memasukkan
diperlukan untuk penegakan diagnosis lebih dini dalam usaha penyakit mikroskopis yang potensial. Batas tepi tumor 0,5 – 1
peningkatkan prognosis pasien MPNST.28 Tetapi diagnosis cm ditambahkan ke CTV untuk memperhitungkan penentuan
pasti hanya dapat ditegakan seteah dilakukannya biopsy pengobatan yang tidak pasti dan berbagai variasi edema di
guiding pada sampel tumor.27 lapangan radioterapi (Gambar 5).31
Gambar 6. Distribusi dosis proton pada pria 38 tahun dengan sarkoma di bahu kanan. Penggunaan sinar proton akan menghemat sendi
bahu yang bukan merupakan volume target klinis (kontur CTV di garis ungu). Bagian posterior CTV terlalu dalam untuk diberikan elektron
dan pemberian IMRT akan meningkatkan dosis integral yang diterima pasien. 33
Kemajuan teknologi dalam dua dekade terakhir memberikan presisi radioterapi yang tinggi. Radiasi telah berevolusi dari
radioterapi konformal 2D menjadi 3D (3D CRT), intensity modulated radiotherapy (IMRT), image guided radiotherapy (IGRT),
stereotactic radiosurgery (SRS) dan stereotactic radiotherapy (SRT). Terapi proton berbeda dengan sinar foton terutama cara
deposit energi pada jaringan hidup. Deposit proton paling besar energinya di bagian ujung jalur, disebut Bragg peak, dan
deposit energi sedikit di sepanjang jalur tersebut. Sinar partikel muatan lainnya: sinar elektron digunakan untuk menyinari
tumor superfisial, seperti kanker kulit atau tumor dekat permukaan tubuh (Gambar 7 a.b). 32
Gambar 7. (a) Perencanaan terapi radiasi konformasi 3D untuk pasien sarcoma di aspek anteromedial lutut kiri tepat di patellar dan superfisial
dari tendon quadriceps yang menjalani pengobatan radioterapi pre-operatif dengan dosis 50Gy dalam 25 fraksi. (b) rencana terpai IMRT
potongan aksial pada pria 82 tahun dengan sarcoma berasal dari femur anterior kiri di skeitar tumor yang menjalani pengobatan terapi radiasi
pre-operatif dengan dosis 48 Gy debagi 1.8 Gy. Perencanaan IMRT untuk antisipasi dosis lebih rendah untuk jaringan normal pada femur
aspek posterolateral daripada kasus untuk perencanaan konformal 3D.
Terapi radiasi sinar dalam (brakiterapi) adalah radiasi yang sumber radiasinya suatu bahan radioaktif yang ditempatkan
di dalam tubuh. Isotop radioaktif akan meluruh secara alami, mengeluarkan radiasi yang merusak sel-sel kanker disekitarnya.
Brakiterapi bisa memberikan dosis radiasi yang lebih tinggi untuk beberapa jenis kanker daripada terapi radiasi sinar luar
dengan kerusakan jaringan normal lebih sedikit (Gambar 8).32
Gambar 8. Anak laki-laki 11 tahun dengan sarkoma di hipotenar tangan kiri yang telah menjalani terapi kombinasi eksisi
(a) dosis rendah 4 Gy brakiterapi irradium 192, (b) dosis 20 Gy dilanjutkan implant electron 6Mev, (c) setelah 5 tahun anak
tersebut bebas dari tumor dengan fungsi tangan yang normal. 33
Sekuele terapi radiasi jangka pendek biasanya agresifitasnya dan keterbatasan metode diagnostik serta
terbatas pada deskuamasi karena volume dosis tinggi, terapetik yang tersedia untuk kasus ini. Tetapi saat ini kemajuan
terutama jika sinar bersinggungan dengan kulit. Sekuele ini metode pencitraan seperti MRI dan PET membuat deteksi
bisa menyebabkan rasa tidak nyaman pada tumor di regio kasus MPNST dapat ditemukan lebih dini. Penatalaksanaan
femur proksimal dan pengobatan sebaiknya dibatasi sampai MPNST juga membutuhkan evaluasi multidisiplin untuk
perineum. Pasien dengan tumor di trunkus, kepala dan memberikan terapi optimal. Terapi radiasi merupakan faktor
leher biasanya mengalami toksisitas di kulit lebih tinggi dan prognostik untuk kontrol lokal atau survival. Terapi radiasi
toksisitas ini berhubungan dengan jarinagn normal sekitarnya. MPNST cukup efektif untuk kontrol lokal dan bisa diberikan
Komplikasi luka utama yaitu penyembuhan luka yang lambat pre-operatif, intraoperatif, dan post-operatif. Terapi radiasi
atau memerlukan pengobatan bedah terjadi sekitar 5%- 15% adjuvant memberikan hasil penurunan angka rekurensi lokal
pasien setelah reseksi bedah yang dilanjutkan terapi radiasi. penyakit yang signifikan secara statistik. Radioterapi juga
Angka ini bisa lebih tinggi 25% sampai 35% pada pasien yang bermanfaat untuk menurunkan angka metastasis jauh atau
diterapi dengan terapi radiasi pre-operatif. 30 angka kelangsungan hidup secara keseluruhan.
Tumor ( MPNST ) Clinical Features of MPNST. 2017;1–9. 22. Yang JC, C. A., Baker AR, Sindelar WF, Danforth DN,
6. Adamson DC, C. T., Friedman AH: Malignant peripheral Topalian SL, DeLaney T, Glatstein E, Steinberg SM, Merino
nerve sheath tumor of the spine after radiation therapy MJ, Rosenberg SA: Randomized prospective study of the
for Hodgkin’s lymphoma. Clin Neuropathol, 23((5)): 245- benefit of adjuvant radiation therapy in the treatment of
55, 2004 soft tissue sarcomas of the extremity. J Clin Oncol, 16((1)):
7. Loree TR, N. J. J., Werness BA, Nangia R, Mullins AP, Hicks 197-203, 1998.
WL Jr.: Malignant peripheral nerve sheath tumors of the 23. Gerber PA, Antal AS, Neumann NJ, Homey B, Matuschek
head and neck: analysis of prognostic factors. Otolaryngol C, Peiper M, et al. Neurofibromatosis. Heinrich-Heine-
Head Neck Surg., 122((5)): 667-72, 2000. Universität Düsseldorf, Germany. 2009;102–5.
8. King AA, D. M., Riccardi VM, Gutmann DH: Malignant 24. Hruban RH, S. M., Senie RT, Woodruff JM: Malignant
peripheral nerve sheath tumors in neurofibromatosis 1. peripheral nerve sheath tumors of the buttock and lower
Am J Med Genet, 93((5)): 388-92, 2000 extremity. A study of 43 cases. Cancer, 66((6)): 1253-65,
9. Huson SM, C. D., Harper PS: A genetic study of von 1990
Recklinghausen neurofibromatosis in south east Wales. II. 25. Kourea HP, B. M., Leung DH, Lewis JJ, Woodruff JM:
Guidelines for genetic counselling. J Med Genet, 26((11)): Subdiaphragmatic and intrathoracic paraspinal malignant
712-21, 1989. peripheral nerve sheath tumors: a clinicopathologic study
10. Evans DGR, Baser ME, McGaugran J, Sharif S. Malignnt of 25 patients and 26 tumors. Cancer, 82((11)): 2191-203,
peripheral nerve sheath tumours in neurofibromatosis 1. 1998
Jmed Genet 2002; 39: 311-14. 26. Cashen DV, P. R., Raskin K, Hornicek FJ, Gebhardt MC,
11. Hansen, John T, Netter, Frank H. Netter’s lini al anatomy. Mankin HJ.: Survival data for patients with malignant
Se ond dition. 2005. p 18-20 schwannoma. Clin Orthop Relat Res, 426: 69-73, 2004.
12. Le Dourin NM, Kalcheim G. The Neural Crest. Current 27. Aran S, Duran GS, Potigailo V, Kim AE. Radiologic
Biology Vol 13 No 10. 1999;381–4. manifestation of the malignant peripheral nerve sheet
13. Pathogenesis T. The Pathogenesis of Neurofibromatosis 1 tumor involving the brachial plexus. Radiol Case Rep.
and Neurofibromatosis 2. 1993;23–42. 2017;12(3):615–619. Published 2017 Apr 29. doi:10.1016/j.
14. Sabah M, C. R., Leader M, Kay E: Loss of p16 (INK4A) radcr.2017.02.006
expressioni is assiciated with allelic imbalance/loss of 28. Yu YH, Wu JT, Ye J, Chen MX. Radiological findings of
heterozygosity of chromosome 9p21 in microdissected malignant peripheral nerve sheath tumor: reports of
malignant peripheral nerve sheath tumors. Appl six cases and review of literature. World J Surg Oncol.
Immunohistochem Mol Morphol, 14(1): 97-102, 2006. 2016;14:142. Published 2016 May 10. doi:10.1186/s12957-
15. Hsieh David T, Chief Editor: Amy Kao. Neurofibromatosis 016-0899-0
Type 1. 2016. Available from at: http://emedicine. 29. Kahn J, Gillespie A, Tsokos M, Ondos J, Dombi
medscape.com/article/1177266 E, Camphausen K, et al. Radiation therapy in
16. Albert L. Baert. Encyclopedia of diagnostic imaging management of sporadic and neurofibromatosis type
neurofibromatosis. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 1- associated malignant peripheral nerve sheath tumors.
New York. 2008: 1343 2014;4(November).
17. Friedrich RE, K. L., Funsterer C, Mautner VF: Malignant 30. Dobbs J, Barret A, Ash D. Practical radiotherapy planning.
peripheral nerve sheath tumors (MPNST) in 3rd edition. Newyork
neurofibromatosis type 1 (NF1): diagnostic findings on 31. Perez CA. HECS-URK. Principles and practice of radiation
magnetic resonance images and mutation analysis of the oncology. Fourth edition. Chapter 76. 2004. 2185-2201 p.
NF1 gene. 25, (3A)(May-Jun): 1699-702, 2005. 32. Mahadev P. Role of radiotherapy in primary spinal canal
18. Pilavaki M, C. D., Kiziridou A, Skordalaki A, Zarampoukas tumors. Mahadev, J spine 2014;3(2):2–4. 39
T, Drevelengas A.: Imaging of peripheral nerve sheath 33. Kosmas C, Tsakonas G, Evgenidi K, Gassiamis A, Savva L,
tumors with pathologic correlation: pictorial review. Eur Mylonakis N, et al. Malignant peripheral nerve sheath
J Radiol, 52(3): 229-39, 2004. tumor in neurobifromatosis type-1: two case reports.
19. Patel NB, Stacy GS. Musculoskeletal manifestations Cases J [Internet]. 2009;2:7612. Available from: http://
of neurofibromatosis type 1. Am J Roentgenol. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19830003
2012;199(1):99–106.
20. Stojadinovic A, Y. A., Brennan MF: Completely resected
recurrent soft tissue sarcoma: primary anatomic site
governs outcomes. J Am Coll Surg, 194(4): 436-47, 2002.
21. Vraa S, K. J., Nielsen OS, Sneppen O, Jurik AG, Jensen OM:
Prognostic factors in soft tissue sarcomas: the Aarhus
experience. Eur J Cancer, 34((12)): 1876-82, 1998.