Perubahan Perilaku Santri (Studi Kasus Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Di Desa Langkap Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 42

1

PERUBAHAN PERILAKU SANTRI


(STUDI KASUS ALUMNI PONDOK PESANTREN
SALAFIYAH DI DESA LANGKAP KECAMATAN BESUKI
KABUPATEN SITUBONDO)
Oleh:
Happy Susanto*, Muhammad Muzakki
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
*Email: [email protected]
Abstract
Basically the students have been educated and guided by the
cottage salafiyah with different habituation, that is by carrying out
routine positive activities such as habituation discipline conducting
worship obligatory, habituation implement devotions sunnah,
habituation noble against teachers, parents and peers as well as away
shameful and unjust deeds. But when they returned to their own
villages phenomenon graduates of behavioral changes in santri who
are not in accordance with the rules of Islam taught by the cottage
salafiyah. From this study we can conclude that Behavioral Changes
Santri In Langkap Village District of Besuki Situbondo, as follows: (1)
To instill the Islamic values to santri with sunnah worship, familiarize
the santri disciplined in carrying out the obligatory worship, equip the
santri with skills so that they are confident as to preach to the people,
to familiarize the santri have a certain good for teachers, parents and
friends. (2) The model of behavior change salafiyah alumni of the
boarding school, namely; leaving habituation worship sunnah,
dereliction of worship obligatory, not ashamed of female graduates
open her nakedness, deeds are shameful and unjust. (3) Factors that
cause changes of behavior salafiyah graduates of the boarding school,
namely; there is a sense, not sincerely take part in boarding school
finally when returning home feel free to do anything, the environment
of graduates santri was minimum in practice the teachings of Islam so
that affects personality, economic pressure, lack of guidance and
supervision of parents so that they are free to do anything, graduates
age santri who are still teenagers so easily influenced by the
environment, in short a vulnerable time in boarding school have an
impact on self unsound science graduates santri.
Keywords: Behavior Change, Students, Graduates Boarding School of
Salafiyah.

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


2

Pendahuluan
Santri merupakan anak usia remaja yang memilih atau
dipilihkan orang tuanya untuk menempuh pendidikan di pondok
pesantren baik secara terpaksa ataupun suka rela. Masa remaja
merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa
dewasa. Masa ini tergolong cukup panjang yang ditandai dengan
adanya pubertas yaitu munculnya perubahan-perubahan fisiologis
tertentu yang dapat menjadi awal bagi kemampuan seseorang untuk
dapat bereproduksi. Menetapkan batasan usia bagi remaja sedikit sulit,
karena sebutan remaja sendiri merupakan konstruksi sosial yang
berbeda-beda tergantung pada lingkungan sosial dan budaya dimana
remaja tinggal. Papalia, Old dan Feldman menggolongkan remaja dari
usia 11 tahun hingga awal usia 20 tahun. Stanley Hall memandang
masa remaja lebih panjang lagi yaitu berkisar antara usia 12-22 tahun
atau 25 tahun.
Salah satu tugas penting yang harus dipenuhi oleh remaja
untuk dapat berhasil menjalani tahapan perkembangan adalah
memperoleh sejumlah norma sebagai pedoman dalam bertindak dan
menjadikannya sebagai pandangan hidup. Norma-norma tersebut
secara sadar dikembangkan dan direalisasikan untuk menetapkan
kedudukan manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, alam
semesta dan dalam hubungannya dengan manusia-manusia lain.
Norma ini pula yang membantu membentuk suatu gambaran dunia
dan memelihara harmonisasi dengan nilai-nilai pribadi yang lain. 1

1
Lisya Chairani & M.A. Subandi. Psikologi Santri Penghafal Al-Qur’an
Peranan Regulasi Diri. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). hal. 33-35

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


3

Pesantren yang ada di Indonesia secara umum dikelompokkan


menjadi dua, salah satunya yaitu pesantren salafi yang merupakan
tempat santri menuntut ilmu. Dalam konteks pesantren salafi, orientasi
utamanya adalah memberikan layanan dalam kajian agama Islam atau
tafaqquh fi al-din kepada para santri. Oleh karena itu, model
penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren semacam ini lebih
diarahkan untuk melakukan kaderisasi ahli ilmu agama Islam yang
diharapkan memiliki kemampuan untuk mentransmisikan ajaran
agama Islam kepada masyarakat. Akan tetapi, keadaan pesantren
seperti ini dianggap terlalu berorientasi sempit sehingga tidak
responsif terhadap dinamika masyarakat yang terus bergerak maju.
Dengan begitu, banyak dari pesantren salafi ini yang secara bertahap
memberi respons terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat. Dalam
kaitan ini, Husni Rahim menulis bahwa pesantren pada akhirnya tidak
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga mengajarkan
ilmu-ilmu umum. Hal ini terbukti dengan banyaknya pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan sekolah di samping pendidikan
madrasah.2
Terkait dengan dunia pondok pesantren, desa Langkap
merupakan salah satu perkampungan dari daerah kabupaten Situbondo
yang terkenal dengan ikon ‘kota santri’ yang terletak di kecamatan
Besuki kabupaten Situbondo provinsi Jawa Timur. Desa ini dihuni
oleh penduduk sebanyak 937 kepala keluarga dan mayoritas bermata
pencaharian buruh pertanian yang berpenghasilan menengah ke

2
Mujiono Darmopoli. Pesantren Modern IMMIM; Pencetak Muslim Modern.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011). hal. 65 - 66.

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


4

bawah, namun meskipun berpenghasilan rendah masyarakat desa


Langkap adalah masyarakat yang kental dengan budaya ke-
Islamannya dalam kehidupan sehari-harinya.
Untuk menjaga dan melestarikan budaya ke-Islamannya,
masyarakat desa Langkap lebih memilih anaknya untuk dididik dalam
pondok pesantren dari pada lembaga sekolah di lingkungan sekitar
sebagai prioritas utama meskipun mereka harus mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit dan kebiasaan ini berlangsung sejak beberapa puluh
tahun lamanya namun masih membudaya di kalangan masyarakat desa
Langkap hingga saat ini. Maka, jika disurvei hampir mayoritas
masyarakat desa Langkap pernah mengenyam pendidikan pondok
pesantren. Banyak sekali pondok pesantren salafiyah yang menjadi
pilihan masyarakat desa Langkap agar anaknya dididik dengan baik,
tiga di antaranya yaitu pesantren Nurut Taqwa, pesantren Miftahul
Ulum, dan pesantren Raudlatul Ulum.
Lulusan atau alumni pondok pesantren yang notabene
diberikan pendidikan Islam secara bertahun-tahun dalam lingkungan
pondok pesantren ternyata belum menjamin berubahnya perilaku yang
buruk menjadi lebih baik, terbukti dari pengamatan penulis yang
menyaksikan dari beberapa perilaku yang tidak mencerminkan
seorang alumni pondok pesantren seperti tidak memakai jilbab dalam
kehidupan sehari-harinya, meminum alkohol dan sejenisnya, memakai
narkoba, tidak segan mencuri barang yang bukan miliknya, lebih
mengedepankan ego pribadi dari pada kepentingan orang lain dalam
kehidupan sehari-hari, bahkan meninggalkan ibadah shalat dan puasa
menjadi pemandangan yang biasa bagi mereka. Namun ada juga

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


5

sebagian alumni santri yang masih tetap mempertahankan beberapa


pembiasaan Islami pondok pesantren saat kembali ke rumahnya,
meskipun intensitasnya tidak seperti saat masih berada di pondok
pesantren.
Fenomena di atas tidak sesuai dengan gambaran pendidikan
pondok pesantren menurut Prof. A. Mukti Ali yang menyatakan
bahwa ciri-ciri pendidikan dalam pondok pesantren yaitu; adanya
hubungan yang akrab antara kyai-kyai itu memperlihatkan sekali
santrinya, tunduknya santri kepada kyai, hidup hemat dan sederhana
benar-benar dilakukan dalam pondok pesantren, semangat menolong
diri sendiri amat terasa dan kentara di kalangan santri di pondok
pesantren, jiwa tolong-menolong dan persaudaraan sangat mewarnai
pergaulan di pondok pesantren itu, pendidikan disiplin sangat
ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren itu, berani menderita
untuk mencapai suatu tujuan adalah salah satu pendidikan yang
diperoleh santri dalam pondok pesantren, dan kehidupan agama yang
baik dapat diperoleh santri di pondok pesantren itu karena memang
pondok pesantren adalah tempat pendidikan dan pengajaran agama. 3
Pribadi alumni pondok pesantren telah dibentuk sedemikan
rupa dengan sistem pendidikan pondok pesantren, namun ada
fenomena terjadinya perubahan perilaku pada diri alumni yang tidak
sesuai dengan pendidikan karakter di pondok pesantren saat kembali
ke domisili (lingkungan) mereka masing-masing khususnya di desa
Langkap. Menurut pengamatan penulis bahwa permasalahan ini akan

3
M. Bahri Ghazali. Pesantren Berwawasan Lingkungan. (Jakarta: CV.
Prasasti, 2003). hal. 34

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


6

terus-menerus terjadi hingga batas waktu yang cukup panjang bahkan


akan lebih parah jika diabaikan begitu saja tanpa ada upaya
penyelesaian secara signifikan dan kontinyu. Oleh karena itu, penulis
berinisiatif hendak meneliti permasalahan ini secara tuntas sehingga
mudah-mudahan akan ditemukan faktor penyebab berubahnya
perilaku santri alumni pondok pesantren salafiyah ke arah perbuatan
yang kurang baik.

Perubahan Perilaku Santri


1. Definisi Perubahan Perilaku Santri
Perubahan menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti
(1) hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran: rupanya ~ cuaca
masih sulit diperhitungkan; (2) perbaikan aktiva tetap yg tidak
menambah jumlah jasanya. 4 Sedangkan perilaku menurut Rogers
yang dikutip oleh Notoatmodjo dalam buku A. Wawan dan Dewi
M, adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang dapat
diamati langsung dari maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Perilaku respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu
tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik,
durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak.
Kata santri mempuyai arti orang yang mendalami Agama
Islam, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, dan orang
yang saleh. Kata santri terkadang juga dianggap sebagai gabungan
kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong),

4
http://kamusbahasaindonesia.org/perubahan/miripKamusBahasaIndonesia
.org (diakses pada tanggal 4 Januari 2016)

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


7

sehingga kata santri dapat berarti manusia baik-baik yang suka


menolong. Pendapat lain mengatakan bahwa kata santri diadopsi
dari bahasa India yaitu shastri yang berarti ilmuan Hindu yang
pandai menulis, oleh karena itu kata santri dilihat dari sudut
pandang Agama Islam berarti orang-orang yang pandai dalam
pengetahuan Agama Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa
santri berarti orang-orang yang belajar memperdalam pengetahuan
agama Islam.
Jadi santri adalah sekelompok orang baik-baik yang taat
terhadap aturan agama (orang saleh), dan selalu memperdalam
pengetahuannya tentang Agama Islam serta tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan ulama. Karena berbicara tentang kehidupan ulama,
senantiasa menyangkut pula kehidupan para santri yang menjadi
murid dan sekaligus menjadi pengikut serta pelanjut perjuangan
ulama yang setia. Santri adalah siswa atau mahasiswa yang dididik
di dalam lingkungan pondok pesantren.5 Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Clifford Geerts kebanyakan santri berumur antara
dua belas sampai dua puluh lima tahun, namun ia juga pernah
menjumpai beberapa yang berumur enam tahun dan tiga puluh lima
tahun. Karena menjadi santri bukan merupakan penghidupan, maka
kecuali kiai, jarang sekali terdapat orang berumur setengah baya
atau orang tua di pondok.6

5
Hasbi Indra. Pesantren dan Transformasi Sosial “Studi Atas Pemikiran KH.
Abdullah Syafe’i Dalam bidang pendidikan Islam ”. (Jakarta: Penamadani, 2005).
hal. 34 - 39
6
Clifford Geetrz. Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa.
(Yogyakarta: Pustaka Jaya, 2005). hal. 243

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


8

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan


bahwa perubahan perilaku santri adalah berubahnya atau
beralihnya kegiatan para santri alumni pondok pesantren salafiyah
yang masih berusia 18-20 tahun (remaja) baik yang dapat diamati
secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung.
Sedangkan perubahan yang dimaksud yaitu menuju perubahan ke
arah negatif.

2. Dinamika Perubahan Perilaku Santri


a. Santri Sebagai Remaja
Santri yang dimaksud penulis yaitu remaja akhir lulusan
pondok pesantren salafiyah yang berusia antara 18 tahun hingga
22 tahun. Istilah “Remaja” berasal dari bahasa latin
“Adolescere” yang berarti remaja. Kamus Sosiologi remaja
adalah masa muda suatu tahap dalam manusia yang biasanya di
mulai pada masa puber sampai masa dewasa. Menurut Hurlock
mendefinisikan remaja menjadi dua bagian, yaitu awal masa
remaja dan akhir masa remaja, awal masa remaja berlangsung
kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas atau tujuh
belas tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas
atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun yaitu usia
matang secara hukum. 7
Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identity.

7
Hasbi Indra. Pesantren dan Transformasi Sosial “Studi Atas Pemikiran KH.
Abdullah Syafe’i Dalam bidang pendidikan Islam ”. (Jakarta: Penamadani, 2005).
hal. 34

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


9

Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam


kelompok teman sebaya dan orang dewasa. 8 Dalam konteks
psikologi perkembangan, pembentukan identitas merupakan
tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan
tercapai pada akhir masa remaja. Menurut Jones & Hartmann
selama masa remaja ini, kesadaran akan identitas menjadi lebih
kuat, karena itu ia berusaha mencari identitas dan
mendefinisikan kembali “siapakah” ia saat ini dan akan menjadi
“siapakah” atau menjadi “apakah” ia pada masa yang akan
datang. Perkembangan identitas selama masa remaja ini juga
sangat penting karena ia memberikan suatu landasan bagi
perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa
dewasa. 9
Menurut John Hill terdapat tiga komponen dasar dalam
membahas periode remaja, yaitu:
1) Perubahan fundamental remaja meliputi perubahan biologis,
kognitif dan sosial. Ketiga perubahan tersebut bersifat
universal.
2) Konteks dari remaja
Perubahan yang fundamental pada remaja bersifat
universal namun akibatnya pada individu sangat bervariasi.
Hal ini terjadi karena dampak psikologis dari perubahan yang
terjadi pada diri remaja dibentuk dari lingkungan.

8
Hendriati Agustiani. Psikologi Perkembangan (Pendekatan Ekologi
Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja). ( Bandung:
PT. Refika Aditama, 2009). hal. 29- 31
9
Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Offset, 2005). hal. 211

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


10

3) Perkembangan psikososial, terdapat lima kasus dari


psikososial yaitu: identity, autonomy, intimacy, sexuality, dan
achievement.
b. Santri Sebagai Pribadi yang Melakukan Regulasi Diri
Bagi Bandura walaupun prinsip belajar cukup untuk
menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip
itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan
atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Pertama, Bandura
berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah
lakunya sendiri; sehingga mereka bukan semata-mata bidak
yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan
dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan
saling mempengaruhi. Kedua, Bandura menyatakan banyak
aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi orang satu dengan
yang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus
memperhitungkan konteks sosial dimana tingkah laku itu
diperoleh dan dipelihara. Teori belajar sosial (Social learning
theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling
menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond
reinforcement), dan pengaturan diri/berfikir (self
regulation/cognition).10
Dalam menganalisis perilaku seseorang, secara umum
terdapat tiga faktor yang harus dipertimbangkan: manusia,
perilakunya, dan latar lingkungan dimana manusia berperilaku.

10
Alwisol. Edisi Revisi Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009).
hal. 283

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


11

Bandura berpendapat atribut kepribadian dan lingkungan


mempunyai andil yang sama dalam membentuk perilaku
seseorang. Ia berpendapat bahwa kausalitas bersifat dua arah.
Secara lebih formal, kausalitas bersifat resiprokal. Masing-
masing ketiga faktor ini harus dipertimbangkan-perilaku,
karakteristik kepribadian, dan lingkungan merupakan penyebab
satu sama lain. Faktor-faktor ini merupakan penentu yang
resiprokal. Prinsip Bandura mengenai penentu resiprokal
kemudian menekankan bahwa kepribadian, perilaku, dan
lingkungan harus dipahami sebagai suatu sistem kekuatan yang
secara mutual saling mempengaruhi sepanjang waktu. Manusia
dipengaruhi oleh kekuatan lingkungan, tetapi mereka juga
memilih bagaimana cara berperilaku. Manusia responsif
terhadap situasi dan secara aktif membentuk dan mempengaruhi
sesuatu. Manusia memilih situasi sekaligus dibentuk oleh
situasi; kapasitas untuk memilih tipe situasi yang akan dihadapi
dipandang oleh ahli kognitif sosial sebagai suatu elemen kritis
dari kapasitas seseorang sebagai agen aktif yang mempengaruhi
keseluruhan proses perkembangan mereka. 11
Ciri-ciri remaja yang mampu melakukan regulasi diri
dengan baik adalah mampu merumuskan tujuan-tujuan untuk
memperluas pengetahuan mereka dan mempertahankan motivasi
mereka. Mereka sadar untuk membentuk emosi dan mempunyai
strategi-strategi untuk mengatur emosi mereka. Memonitor

11
Daniel Cervone dan Lawrence A. Pervin. Kepribadian: Teori dan
Penelitian ( Personality: Theory and Research). (Jakarta: Salemba Humanika,
2012). hal. 242 – 243

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


12

kemajuan mereka ke arah sebuah tujuan secara periodik.


Meninjau/memperbaiki strategi-strategi yang mereka gunakan
berdasarkan pada kemajuan-kemajuan yang mereka buat.
Mengevaluasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul dan
membuat adaptasi-adaptasi yang dibutuhkan. Bagi remaja,
agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral.
Pentingnya agama bagi remaja sebagai kontrol perilaku dan
membentuk suatu pribadi yang mampu menjelaskan tentang
keberadaannya di dunia ini. Sebagaimana dijelaskan oleh
Adams dan Gullota, agama memberikan sebuah kerangka moral,
sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah
lakunya. Agama juga dapat memberikan rasa aman, terutama
bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.12
c. Santri sebagai Pribadi yang melakukan Efikasi diri
Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu
tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi
kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan
keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan
tindakan yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau
harapan diri ini sebagai efikasi diri, dan harapan hasilnya
disebut ekspektasi hasil.
1) Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication-efficacy
expectation) adalah persepsi diri sendiri mengenai keyakinan

12
Lisya Chairani & M.A Subandi. Psikologi Santri Penghafal Al-Qur’an;
Peranan Regulasi Diri. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). hal. 35 - 36

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


13

bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang


diharapkan.
2) Ekspektasi hasil (outcome expectations): perkiraan atau
estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan
mencapai hasil tertentu.
Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan
tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak
bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini
berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita
menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat
dicapai), sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan
diri. Seorang dokter ahli bedah, pasti mempunyai ekspektasi
efikasi yang tingi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi
tumor dengan standar professional. Namun ekspektasi hasilnya
bisa rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung kepada
daya tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotik, sterilitas
dan infeksi, dan sebagainya. Efikasi diri atau keyakinan
kebisaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau
diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber
yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance
accomplishment), pengalaman vikarius (vicarius experience),
persuasi sosial (social ersuation), dan pembangkitan emosi
(emotinal/phsycological states).13

13
Alwisol. Edisi Revisi Psikologi Kepribadian. (Malang: UMM Press, 2009).
hal. 287 – 288

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


14

d. Santri Sebagai Pribadi yang Berinteraksi dengan


Lingkungannya
Santri sebagai bagian dari elemen masyarakat
(lingkungan) memiliki kepribadian yang khas dengan latar
belakang pendidikan pondok pesantrennya tidak lepas dari
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini teori
ekologi Urie Brofenbrener menyatakan bahwa, lingkungan
individu tumbuh dan berkembang dapat mempengaruhi
perilaku.14 Teori ini juga menganalisis konteks sosial
perkembangan dari lima sistem lingkungan:
1) Mikrosistem, merupakan tempat individu hidup, seperti
keluarga, dunia teman sebaya, sekolah, pekerjaan dan
seterusnya.
2) Mesosistem, yang terdiri atas hubungan antara berbagai
mikrosistem, seperti hubungan antara proses keluarga
dengan hubungan teman sebaya.
3) Ekosistem, yang terdiri dari atas pengaruh dari latar atau
tempat lain yang tidak dialami individu secara langsung,
seperti pengalaman orang tua dapat mempengaruhi
pengasuhan kepada anaknya di rumah.
4) Makrosistem atau budaya yang ada di lingkungan individu,
seperti bangsa atau suku.

14
J. W. Santrock. Psikologi Perkembangan Jilid 2. (Jakarta: Erlangga, 2007).
hal. 153

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


15

5) Kronosistem atau lingkungan sosio historis, seperti


peningkatan orang tua yang bercerai, keluarga dengan
kondisi kemiskinan.
Teori ekologi di atas menjelaskan bahwa perkembangan
keluarga tidak terjadi di ruang hampa sosial. Pengaruh
sosiokultural dan historis mempengaruhi proses keluarga,
selanjutnya keluarga mempengaruhi perkembangan anak. Dalam
hal ini juga, alumni santri sebagai bagian dari keluarga dan
lingkungannya bahwa proses interaksi yang terjadi antara
mereka akan mempengaruhi perkembangan perilakunya
meskipun ia berlatar belakang pendidikan pondok pesantren.
e. Santri Sebagai Pribadi yang Melakukan Penyesuaian Diri
Menurut Allport kepribadian manusia adalah organisasi
dinamis dari sistem psiko-fisik dalam individu yang turut
menentukan cara-cara yang khas dalam menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan. Pribadi manusia tidak dapat dirumuskan
sebagai suatu keseluruhan atau kesatuan (suatu individu saja)
tanpa sekaligus meletakkan hubungannya dengan
lingkungannya. Justru kepribadian itu menjadi kepribadian
apabila keseluruhan sistem psiko-fisiknya-termasuk bakat
kecakapan dan ciri-ciri kegiatannya menyatakan dirinya dengan
khas dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.
Menyesuaikan diri secara luas dapat berarti mengubah
diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah
lingkungan sesuai dengan (keinginan) diri. Penyesuaian diri
dalam artinya yang pertama disebut juga penyesuaian diri yang

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


16

autoplastis (dibentuk sendiri), sedangkan penyesuaian diri yang


aloplastis (alo = yang lain). Jadi, penyesuaian diri ada artinya
yang “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan,
dan ada artinya yang “aktif”, dimana kita pengaruhi
15
lingkungan. Penyesuaian diri diartikan sebagai proses individu
menuju keseimbangan antara keinginan-keinginan diri,
stimulus-stimulus yang ada dan kesempatan-kesempatan yang
ditawarkan oleh lingkungan. Untuk mencapai keseimbangan
tersebut ada faktor-faktor yang mempengaruhi, antara lain:
1) Kondisi dan konstitusi fisik
2) Kematangan taraf pertumbuhan dan perkembangan
3) Determinan psikologis
4) Kondisi lingkungan sekitar
5) Faktor adat istiadat, norma-norma sosial, religi dan
kebudayaan.16
Penyesuaian diri menuntut kemampuan remaja untuk
hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya,
sehingga remaja merasa puas terhadap diri sendiri dan
lingkungannya. Penyesuaian diri akan menjadi salah satu bekal
penting dalam membantu remaja pada saat terjun dalam
masyarakat luas. Penyesuaian diri juga merupakan salah satu
persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa dan mental
individu. Banyak remaja yang tidak dapat mencapai

15
Gerungan. Psikologi Sosial. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010). hal. 58
- 60
16
Dyah Aji Jaya Hidayat, “Perbedaan Penyesuaian Diri Santri Di Pondok
Tradisional dan Modern”, Jurnal Talenta Psikologi-Vol. 1 No. 2-Agustus 2012

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


17

kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidak mampuannya


dalam menyesuaikan diri, baik dengan lingkungan keluarga,
sekolah, pekerjaan dan masyarakat pada umumnya. Sehingga
cenderung menjadi remaja yang rendah diri, tertutup, suka
menyendiri, kurang adanya percaya diri serta merasa malu jika
berada di antara orang lain atau situasi yang terasa asing
baginya. 17
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa dinamika perubahan perilaku santri meliputi perubahan
perilaku santri sebagai remaja, santri sebagai pribadi yang
melakukan regulasi diri, santri sebagai pribadi yang melakukan
efikasi diri, santri yang berinteraksi dan melakukan penyesuaian
diri di lingkungannya.

Pondok Pesantren Salafiyah


1. Definisi Pondok Pesantren Salafiyah
Istilah pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti
hotel, tempat bermalam. Istilah pondok diartikan juga dengan
asrama. Dengan demikian, pondok mengandung makna sebagai
tempat tinggal. Sebuah pesantren mesti memiliki asrama tempat
tinggal santri dan kiai. Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi
antara santri dan kiai. Sedangkan perkataan pesantren berasal dari
kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat
tinggal santri. Dengan nada yang sama Soegarda Poerbakawatja

17
Fani Kumalasari, “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan
Penyesuaian Diri Remaja Di Panti Asuhan”, Jurnal Psikologi Pitutur-Vol. 1 No. 1-
Juni 2012

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


18

menjelaskan bahwa pesantren asal katanya adalah santri, yaitu


seorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian,
pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar
agama Islam. Manfred Ziemek juga menyebutkan bahwa asal
etimologi dari pesantren adalah pesantrian berarti “tempat santri”.
Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat
pelajaran dari pemimpin pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama
atau ustadz). Pelajaran mencakup berbagai bidang tentang
pengetahuan Islam.
Salafiyah adalah tipe pesantren yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama Islam atau kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-
ulama terdahulu. Metode pengajaran yang digunakan hanyalah
metode bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah. 18 Pondok
pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan
semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15
dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannya dengan
menerapkan sistem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid atau
surau. Hakikat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghafalan
yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada
terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu. 19
Berdasarkan beberapa definisi pondok, pesantren dan
salafiyah di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pondok
pesantren salafiyah adalah tempat tinggal berupa asrama bagi

18
M. Syaifuddien Zuhriy, Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada
Pondok Pesantren Salaf, Jurnal Walisongo, Volume 19, Kode 2, November 2011
19
M. Badri Ghazali. Pesantren Berwawasan Lingkungan. (Jakarta: Prasasti,
2003) hal. 14

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


19

seorang santri yang mempelajari ilmu-ilmu agama Islam kepada


seorang kiai dan beberapa ustadz di suatu daerah menggunakan
metode pengajaran bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah.

2. Tujuan Pendidikan di Pondok Pesantren Salafiyah


Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan
mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat
bagi masyarakat berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan
menjadi kawula atau abdi masyarakat seperti rasul, yaitu menjadi
pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad
(mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh
dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam
dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (‘Izz al-Islam wa
al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian manusia.
Formulasi tujuan menurut Ziemek dan Mastuhu itu
hakikatnya sama. Jika Ziemek menyebutkan kepribadian menjadi
sasaran yang dicita-citakan, hanya secara garis besar, maka
Mastuhu merinci wilayah kepribadian sehingga mengesankan
adanya cakupan multi dimensional. Kiai Ali Ma’shum menganggap
bahwa tujuan pesantren adalah untuk mencetak ulama. Anggapan
ini juga yang melekat pada masyarakat sebab pelajaran-pelajaran
yang disajikan hampir seluruhnya pelajaran agama, bahkan masih
ada pesantren tertentu yang menangkal masuknya pelajaran umum.
Di samping itu, ulama’ yang menjadi panutan masyarakat bisa

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


20

dikatakan seluruhnya lulusan pesantren. Memang alumni pesantren


kendati tidak seluruhnya memiliki kecondongan meniru kiainya
dengan membuka pesantren baru, dan masyarakat kemudian
menobatkannya sebagai kiai (ulama).20
Tujuan Institusional pesantren yang lebih luas dengan tetap
mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi tujuan
pesantren secara nasional pernah diputuskan dalam
Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok
Pesantren di Jakarta yang berlangsung pada 2 s/d 6 Mei 1978.
Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar
berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam
dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi
kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna
bagi agama, masyarakat, dan Negara. 21 Dari beberapa tujuan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah
membentuk kepribadian Muslim yang menguasai ajaran-ajaran
Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama,
masyarakat, dan negara.

3. Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren Salafiyah


Pesantren dalam format tradisionalnya, memiliki sistem
gradasi pendidikan dan kurikulum longgar (non-fixed curriculum)
berdasarkan pada penguasaan kitab Islam klasik, artinya tidak

20
Mujamil Qomar. Pesantren; Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 4
21
Mujamil Qomar. Pesantren; Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 7

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


21

dibatas pada rentang waktu tertentu secara pasti, seperti triwulan,


caturwulan, semester atau tahun ajaran. Menurut Dhofier pada
masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-
satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren.22 Oleh karena itu, gradasi pembelajaran dan kurikulum
ditentukan oleh tingkatan kualitas kitab-kitab Islam klasik tersebut
pada masing-masing disiplin keilmuan yang dikaji. Ia
menggolongkan kitab-kitab Islam klasik tersebut ke dalam tiga
kelompok, yaitu kitab-kitab dasar, kitab-kitab tingkat menengah
dan kitab-kitab besar.
Pada pesantren yang memisahkan antara pengajaran kitab
Islam klasik dengan pengajaran umum (sistem dualisme
kurikulum), bentuk kurikulumnya menjadi dua jenis: (1) kurikulum
berdasar pada target pembelajaran untuk mata pelajaran umum dan
agama (Islam) yang bersumber dari buku-buku pelajaran agama,
dengan gradasi berdasar pada waktu; dan (2) kurikulum berdasar
pada pilihan kitab-kitab Islam klasik yang dikaji, dengan gradasi
berdasarkan pada tingkat kesulitan kitab. Sedangkan pada
pesantren yang mengintegrasikan mata pelajaran pendidikan agama
dan pendidikan umum dalam struktur kurikulumnya, kitab-kitab
Islam klasik ini, dimasukkan bersama-sama dengan mata pelajaran
umum lainnya, yang ditetapkan batas waktu penyelesaiannya

22
Nurul Iman. “Wakaf dan Kemandirian Pendidikan (Studi Pengelolaan
Wakaf di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo). Disertasi. (Semarang:
Program Doktor Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012) hal. 105

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


22

dengan gradasi berdasarkan waktu.23 Untuk mengajarkan kitab-


kitab klasik tersebut seorang kiai menempuh metode: wetonan,
sorogan, dan hafalan.24

4. Metode Pembelajaran dalam Pondok Pesantren Salafiyah


Menurut Mastuhu prinsip-prinsip pembelajaran yang
terdapat di pondok pesantren diaplikasikan dalam berbagai metode
pembelajaran. Secara umum metode yang dipakai, meliputi;
sorogan, bandongan/wetonan, musyawarah/mudzakarah, hafalan,
lalaran. Kelima metode di atas, diaplikasikan dengan berbagai
teknik pembelajaran, antara lain sebagai berikut:
a. Teladan (uswah), yakni teknik pembelajaran dengan memberi
contoh nyata kepada santri. Teknik ini hampir sama dengan
teknik demonstrasi, tetapi cakupannya lebih luas, yakni terletak
pada semua sisi kehidupan dari seorang kiai atau guru.
b. Pembiasaan (adat), yakni teknik pembelajaran dengan memupuk
kebiasaan kepada seorang santri untuk melakukan hal-hal
tertentu. Teknik ini dimaksudkan untuk internalisasi atau
kristalisasi materi ajar ke dalam diri santri. 25

Cara Pondok Pesantren Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Ajaran


Islam Terhadap Santrinya

23
Ahmad Syamsu Rizal, “Transformasi Corak Edukasi dalam Sistem
Pendidikan Pesantren”, Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 2 - 2011
24
Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 69
25
A. Rodlimakmun. Pembentukan Karakter Berbasis Pendidikan Pesantren
(Studi di Pondok Pesantren Tradisional dan Modern di kab. Ponorogo). (Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2014) hal. 52 - 53

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


23

Keberadaan pondok pesantren dan masyarakat merupakan dua


sisi yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling
mempengaruhi. Sebagian besar pesantren berkembang dari adanya
dukungan masyarakat, dan secara sederhana muncul atau berdirinya
pesantren merupakan inisiatif masyarakat baik secara individual
maupun kolektif. Begitu pula sebaliknya perubahan sosial dalam
masyarakat merupakan dinamika kegiatan pondok pesantren dalam
pendidikan dan kemasyarakatan. Berdasarkan kondisi pesantren yang
sedemikian rupa, maka konsep pesantren menjadi cerminan pemikiran
masyarakat dalam mendidik dan melakukan perubahan sosial terhadap
masyarakat. Adapun para santri telah dibimbing dan dibina oleh
pondok pesantren salafiyah dengan beberapa pembiasaan sebagai
berikut:
1. Membiasakan para santri untuk mengaji Al-Qur’an setiap ada
waktu luang. Model pembelajaran ini diharapkan mampu
menumbuhkan rasa cinta para santri terhadap Al-Qur’an yaitu
dengan cara membacanya dan mengambil semua pelajaran yang
terkandung di dalamnya untuk di aplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Membiasakan para santri disiplin dalam mengerjakan ibadah shalat
lima waktu berjama’ah di masjid. Model pembelajaran ini dapat
mempengaruhi psikis santri agar selalu mengutamakan ibadah
shalat lima waktu secara berjama’ah sekaligus memakmurkan
masjid di sela-sela kesibukan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Membiasakan santri mengerjakan ibadah-ibadah sunnah disamping
ibadah wajib seperti shalat dhuha, shalat tahajud dan dzikir. Model

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


24

pembelajaran ini berdampak pada jiwa santri yang selalu bersyukur


atas segala karunia nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya
serta dengan selalu melaksanakan ibadah sunnah akan dapat
menentram hati santri.
4. Para santri dilatih ikhlas dalam menjalankan semua rutinitas
kegiatan pondok pesantren. Model pembelajaran ini merupakan
kunci dari seluruh kepribadian santri, sebab jika sifat ikhlas sudah
tertanam dalam jiwa santri maka ia akan menikmati segala liku-liku
kehidupan dengan penuh rasa syukur baik dalam keadaan suka
maupun dalam kedaan duka.
5. Para santri dilatih untuk selalu bersikap hormat kepada setiap orang
terutama terhadap orang tua dan gurunya. Model pembelajaran ini
mengajarkan pada santri agar selalu berinteraksi dengan baik pada
orang tua sebagai orang yang sangat berjasa dalam hidupnya, guru
sebagai orang yang telah memberikan ilmunya dengan suka rela,
serta teman sejawat sebagai orang yang selalu bersama dalam
segala hal baik suka mapun duka.
6. Para santri juga dilatih dengan berbagai keterampilan yang
membuat dirinya percaya diri meskipun hanya sebagai lulusan
pondok pesantren salafiyah. Metode pembelajaran ini berdampak
pada kepribadian santri yang percaya diri dalam segala hal
meskipun hanya lulusan pondok pesantren serta memberikan
keyakinan pada santri bahwa menempuh pendidikan di dalam
pondok pesantren akan mendapat keuntungan ganda yaitu
memperoleh pengetahuan agama dan pengetahuan umum.

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


25

7. Para santri juga diwajibkan untuk sekolah formal dan sekolah non
formal, disamping juga model pembelajaran klasik diluar sekolah
seperti wetonan, sorogan, dan musyawarah. Model pembelajaran
ini berdampak pada psikologi santri bahwa pendidikan formal
sangat fundamental baginya terutama dalam hal bagaimana cara
mendapatkan income yang besar ketika sudah berkeluarga serta
tidak lupa dengan adanya model pembelajaran khas pondok
pesantren seperti sorogan, wetonan, mudzkarah atau musyawarah
akan dapat memperkaya wawasan keilmuan santri dari kitab-kitab
Islam klasik serta dapat menambah keakraban antara kiai dengan
santrinya dan santri dengan sesama santri

Bentuk Perubahan Perilaku Alumni Santri Pondok Pesantren


Salafiyah
Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan bahwa lulusan
pondok pesantren mempunyai nilai lebih di mata masyarakat dari pada
lulusan lembaga pendidikan yang lain. Nilai lebih itu merupakan ciri
khas yang dimiliki oleh pondok pesantren serta ciri khas
tradisionalnya juga tetap eksis dipertahankan oleh pondok pesantren
untuk mendidik para santrinya. Namun terlepas dari keistimewaan
pondok pesantren terdapat fenomena perubahan perilaku alumni
pondok pesantren salafiyah ketika kembali ke kampungnya masing-
masing. Adapun bentuk-bentuk perubahan perilaku alumni santri
sebagai berikut:
1. Alumni santri banyak meninggalkan ibadah-ibadah sunah yang
dibiasakan di pondok pesantren salafiyah seperti shalat tahajud,

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


26

shalat dhuha, shalat berjama’ah di masjid dan mengaji Al-Qur’an.


Perubahan perilaku alumni santri ini merupakan suatu bentuk
sikap yang berawal dari sikap ketidak-ikhlasan mereka saat
menjalani pembiasaan tersebut di pondok pesantren sehingga
ketika mereka kembali ke kampungnya maka dilepaslah semua
pembiasaannya sebagaimana apa yang disampaikan oleh ustadz
Muhammad Subhan, S.Pd.I bahwa:
“Keikhlasan santri dalam menempuh pendidikan di pondok
pesantren sangat berpengaruh sehingga ketika mereka
kembali ke rumahnya maka mereka berbuat semaunya karena
terbebas dari aturan pondok pesantren”.

Berawal dari sikap ketidak-ikhlasan tersebut maka tidak akan


menjadi sebuah karakter Islam sebab karakter itu terbentuk dari
kebiasaan-kebiasaan panjang yang pada akhirnya menjadi sebuah
sifat, dan tentunya karakter yang hendak dibentuk pondok
pesantren adalah karakter Islami pada diri santri.
2. Alumni santri melalaikan ibadah-ibadah wajib seperti
mengerjakan shalat lima waktu tidak secara lengkap, dan tidak
berpuasa saat bulan ramadhan. Hal ini menunjukkan bahwa para
alumni santri tidak mampu beregulasi diri dengan baik atas apa
yang telah menjadi pedoman dalam hidupnya yaitu pendidikan
pondok pesantren. Regulasi diri yang dialaminya dipengaruhi oleh
kekuatan lingkungan (faktor eksternal) yang begitu besar dan
mereka sendiri tidak mampu mengendalikan kekuatan tersebut.
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara,
pertama faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi
tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


27

pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang.


Kedua, faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk
penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberi
kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal dari
lingkungan eksternal.
3. Alumni santriwati tidak memakai busana yang menutupi seluruh
auratnya serta tidak malu membuka auratnya di tempat terbuka.
Hal ini menunjukkan bahwa alumni santri sebagai remaja tidak
mampu beregulasi diri dengan baik sebab dipengaruhi oleh faktor
eksternal, adapun ciri-ciri remaja yang mampu melakukan
regulasi diri dengan baik adalah mampu merumuskan tujuan-
tujuan untuk memperluas pengetahuan mereka dan
mempertahankan motivasi mereka. Bagi remaja, agama memiliki
arti yang sama pentingnya dengan moral. Pentingnya agama bagi
remaja sebagai kontrol perilaku dan membentuk suatu pribadi
yang mampu menjelaskan tentang keberadaannya di dunia ini.
Sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullota, agama
memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang
mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama juga dapat
memberikan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari
eksistensi dirinya. 26 Di samping itu, keilmuan yang ada pada diri
alumni santri belum begitu meresap dalam jiwanya sehingga
mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan yang terbiasa
membuka auratnya.

26
Lisya Chairani & M.A Subandi. Psikologi Santri Penghafal Al-Qur’an
Peranan Regulasi Diri. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hal. 36

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


28

4. Alumni santri melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti


mengkonsumsi miras dan narkoba, menjual togel dan mengamen
untuk dibuat foya-foya. Kejadian ini menandakan bahwa gagallah
tujuan pondok pesantren yaitu membina warga negara agar
berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam
dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi
kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna
bagi agama, masyarakat, dan Negara. Kasus ini juga merupakan
cerminan bahwa remaja memang sangat rentan dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan. Perubahan pada remaja bersifat universal
namun akibatnya pada individu sangat bervariasi. Hal ini terjadi
karena dampak psikologis dari perubahan yang terjadi pada diri
remaja dibentuk dari lingkungan. Dengan kata lain, perkembangan
psikologis selama masa remaja merupakan hasil dari perubahan-
perubahan yang mendasar dan bersifat universal dengan konteks
dimana pengalaman terjadi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hal
yang tidak mungkin untuk meng-generalisasi tabiat remaja tanpa
mempertimbangkan lingkungan sekitar tempat mereka tumbuh.

Faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Perilaku Alumni Santri


Pondok Pesantren Salafiyah
Alumni santri pondok pesantren salafiyah di desa Langkap
tidak dapat dipungkiri bahwa usia mereka tergolong relatif remaja,
sedangkan usia remaja adalah fase menuju kedewasaan yang identik
dengan banyak perubahan dan gejolak emosi yang labil serta masih
belum memiliki prinsip yang kuat. Terjadinya fenomena perubahan

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


29

perilaku pada alumni pondok pesantren salafiyah bukan tanpa sebab,


akan tetapi banyak sekali hal-hal yang menyebabkan hal tersebut
terjadi, namun dapat digaris bawahi penyebabnya adalah usia remaja
dan lingkungan. Adapun lebih detail mengenai faktor penyebab
terjadinya perubahan perilaku pada alumni santri pondok pesantren
salafiyah akan diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor internal meliputi pribadi alumni santri yang berkehendak
ingin bebas melakukan apa saja ketika kembali ke kampungnya
sebab ada ketidak- ikhlasan saat menuntut ilmu di pesantren. Hal
ini menunjukkan bahwa alumni santri mengalami penyesuaian diri
dengan lingkungannya yang notabene minim dalam pengamalan
ajaran Islam, penyesuaian diri yang dilakukan oleh para alumni
santri dengan cara mereka ikut serta pada lingkungannya
sebagaimana Woodworth berpendapat, bahwa pada dasarnya
terdapat empat jenis hubungan antara individu dengan
lingkungannya, yaitu individu dapat bertentangan dengan
lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu
dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya, dan
individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. 27
Sedangkan penyesuaian diri yang dilakukan oleh alumni santri
disini merupakan jenis penyesuaian diri autoplastis (penyesuaian
diri yang bersifat pasif atau individu dibentuk oleh lingkungan) dan
penyesuaian diri jenis ini mempunyai dampak bahwa semua nilai
yang terdapat dalam individu akan tergerus dengan lingkungan

27
Gerungan. Psikologi Sosial. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010) hal. 59

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


30

sebab alumni melakukan perubahan perilakunya agar dapat


diterima di lingkungannya.
2. Faktor eksternal meliputi lingkungan alumni santri yang notabene
sangat minim dalam pengamalan ajaran Islam sehingga
mempengaruhi kepribadian alumni santri secara langsung.
Kejadian ini memberikan gambaran bahwasanya para alumni santri
tidak mampu beregulasi diri dengan baik sebab dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya, dan dalam hal ini regulasi dipengaruhi oleh
faktor eksternal. Sedangkan Faktor eksternal mempengaruhi
regulasi diri dengan dua cara. Pertama, faktor eksternal memberi
standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan
berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk
standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru anak-
anak belajar baik buruk, tingkah laku yang dikehendaki. Melalui
pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas anak
kemudian mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk
menilai prestasi diri. Kedua, faktor eksternal mempengaruhi
regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah
intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan
insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah
laku dan penguatan biasanya bekerja sama; ketika orang dapat
mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar
tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
Tindakan alumni santri tersebut juga mencerminkan bahwa dirinya
memiliki efikasi diri yang rendah. Dengan efikasi yang rendah ini
berdampak pada tindakan alumni santri yang rela mengorbankan

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


31

pribadi muslim yang telah terbentuk sejak berada di pondok


pesantren salafiyah menjadi pribadi yang kurang baik sebab
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Bandura merangkum
bukti tentang efek keyakinan efikasi diri pada motivasi dan
pencapaian sebagai berikut: “Manusia mengalami kemajuan karena
lebih mampu bertahan alih-alih pesimis. Kepercayaan diri tidak
menjamin keberhasilan, tetapi ketidakpercayaan diri pasti
menghasilkan kegagalan”.28
3. Faktor himpitan ekonomi yang acap kali banyak membuat gelap
mata para alumni santri untuk menghalalkan segala cara agar
kebutuhan pribadi dan keluarganya dapat terpenuhi. Berdasarkan
sumber data penduduk desa Langkap bahwa memang penduduk
desa bermata pencaharian menengah ke bawah sehingga sangat
mungkin munculnya kriminalitas dan kenakalan pada remajanya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Faktor himpitan
ekonomi ini juga salah pembentuk perilaku individu seperti salah
satu sistem lingkungan dalam teori ekologi Urie Brofenbrener yaitu
kronosistem atau lingkungan sosio historis, seperti peningkatan
orang tua yang bercerai, keluarga dengan kondisi kemiskinan. 29
4. Faktor pembinaan dan pengawasan orang tua yang sangat minim
membuat para alumni santri lebih leluasa melakukan apa saja tanpa
ada kontrol yang baik. Alumni santri memanglah berbeda dengan
remaja pada umumnya akan tetapi orang tua harus tetap

28
Daniel Cervone dan Lawrence A. Pervin. Kepribadian: Teori dan
Penelitian ( Personality: Theory and Research)…, hal. 257
29
J. W. Santrock. Psikologi Perkembangan Jilid 2. (Jakarta: Erlangga, 2007)
hal. 153

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


32

mendampingi, mengawasi, dan membina mereka meskipun


notabene telah dididik di pondok pesantren. Keluarga merupakan
komponen pembentuk perilaku alumni santri yang paling dominan
dari pada lingkungan sekitarnya sebagaimana lima sistem
lingkungan yang ada dalam teori ekologi Urie Brofenbrener.30
Adapun lima sistem lingkungan tersebut, meliputi:
a. Mikrosistem, merupakan tempat individu hidup, seperti
keluarga, dunia teman sebaya, sekolah, pekerjaan dan
seterusnya.
b. Mesosistem, yang terdiri atas hubungan antara berbagai
mikrosistem, seperti hubungan antara proses keluarga dengan
hubungan teman sebaya.
c. Ekosistem, yang terdiri dari atas pengaruh dari latar atau tempat
lain yang tidak dialami individu secara langsung, seperti
pengalaman orang tua dapat mempengaruhi pengasuhan kepada
anaknya di rumah.
d. Makrosistem atau budaya yang ada di lingkungan individu,
seperti bangsa atau suku.
e. Kronosistem atau lingkungan sosio historis, seperti peningkatan
orang tua yang bercerai, keluarga dengan kondisi kemiskinan.
Teori ekologi di atas menjelaskan bahwa perkembangan keluarga
tidak terjadi di ruang hampa sosial. Pengaruh sosiokultural dan
historis mempengaruhi proses keluarga, selanjutnya keluarga
mempengaruhi perkembangan anak. Dalam hal ini juga, alumni

30
J. W. Santrock. Psikologi Perkembangan Jilid 2. (Jakarta: Erlangga, 2007)
hal. 153

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


33

santri sebagai bagian dari keluarga dan lingkungannya bahwa


proses interaksi yang terjadi antara mereka akan mempengaruhi
perkembangan perilakunya meskipun ia berlatar belakang
pendidikan pondok pesantren.
5. Faktor dari sisi lain meliputi adanya anggapan bahwa ilmu yang
didapatkan oleh para santri tidak bermanfaat atau tidak barokah
sebab saat menuntut ilmu di pondok pesantren tidak dikerjakan
dengan niat ikhlas dan sering melanggar peraturan pondok
pesantren. Hal ini menunjukkan bahwa keikhlasan merupakan
kunci utama dalam menuntut ilmu agama Islam di dalam pondok
pesantren sebab dengan adanya keikhlasan maka alumni santri akan
mampu beregulasi diri dengan baik, berefikasi diri mengamalkan
dan menularkan ilmunya pada masyarakat lingkungannya,
sebagaimana apa yang disampaikan oleh ustadz Muhammad
Subhan, S.Pd.I dalam hal keikhlasan santri, yakni sebagai berikut:
“Keikhlasan santri dalam menempuh pendidikan di pondok
pesantren sangat berpengaruh sehingga ketika mereka
kembali ke rumahnya maka mereka berbuat semaunya karena
terbebas dari aturan pondok pesantren”.

6. Faktor usia remaja yang emosinya cenderung masih labil dan


belum berprinsip kuat sehingga mudah diombang-ambingkan oleh
lingkungan. Alumni santri pada tahap ini masih dalam tahap remaja
akhir yang ditandai dengan persiapan akhir untuk memasuki peran-
peran orang dewasa. Maka kasus ini menandakan bahwa alumni
santri mengalami proses pemantapan tujuan namun dipengaruhi
oleh lingkungan. Menurut Jones & Hartmann selama masa remaja
ini, kesadaran akan identitas menjadi lebih kuat, karena itu ia

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


34

berusaha mencari identitas dan mendefinisikan kembali “siapakah”


ia saat ini dan akan menjadi “siapakah” atau menjadi “apakah” ia
pada masa yang akan datang. Perkembangan identitas selama masa
remaja ini juga sangat penting karena ia memberikan suatu
landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal
pada masa dewasa. Terlepas dari semua itu usia remaja ini
merupakan usia yang rentan terjadi berbagai perubahan baik
kognitif maupun sosialnya sebagaimana John Hill mengatakan
bahwa perubahan fundamental remaja meliputi perubahan
perubahan biologis, kognitif dan sosial. Ketiga perubahan tersebut
bersifat universal. Besar kemungkinan alumni santri sebagai
remaja juga mengalami kecenderungan identity – identity
confusion, yaitu persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh
kemampuan dan kecakapan yang dimilikinya. Ia berusaha untuk
membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas
darinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri
ini, para remaja sering sangat ekstrim dan berlebihan sehingga
tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan
atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di
satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi
yang besar terhadap kelompok sebayanya. 31 Kurang meresapnya
ilmu pondok pesantren pada diri alumni santri sebab rentang waktu
menempuh pendidikan di pondok pesantren cukup singkat. Hal ini
menunjukkan bahwa santri harus menuntaskan pendidikannya di

31
Mahmud. Psikologi Pendidikan. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012) hal.
355

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


35

pondok pesantren salafiyah dalam rentang waktu yang cukup lama


agar keilmuannya meresap secara sempurna pada jiwa santri.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwasanya pondok
pesantren dalam mendidik para santrinya secara garis besar
menggunakan dua metode yaitu melalui pembiasaan kegiatan
positif serta melalui uswatun hasanah (contoh yang baik) dari kiai
dan para pendidiknya.

Penutup
Keberadaan pendidikan pondok pesantren salafiyah tidak
diragukan lagi, yakni dengan nampaknya produk (santri) pondok
pesantren salafiyah yang telah mewarnai sejarah peradaban Indonesia
selama berpuluh-puluh tahun, salah satu prestasi yang membanggakan
dan harus tetap dipertahankan di masa yang akan datang. namun jika
melihat realitas yang ada tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua
produk pondok pesantren salafiyah ini dapat diterima sepenuhnya oleh
masyarakat, terbukti dengan adanya fenomena perubahan perilaku
santri alumni pondok pesantren salafiyah. Selanjutnya dari penelitian
yang bertemakan “Perubahan Perilaku Santri Alumni Pondok
Pesantren Salafiyah di Desa Langkap”, Peneliti menemukan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, cara pondok pesantren salafiyah menanamkan nilai-
nilai ke-Islaman kepada santrinya meliputi; membiasakan para santri
mengerjakan ibadah-ibadah sunnah di waktu luangnya agar terisi
dengan kegiatan positif, membiasakan para santri disiplin dalam
mengerjakan ibadah-ibadah wajib, membekali para santri dengan

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


36

berbagai keterampilan agar mereka memiliki percaya diri yang tinggi


dalam berdakwah di masyarakat, membiasakan para santri berakhlak
yang baik kepada guru, orang tua dan temannya. Kedua, Bentuk
perubahan perilaku alumni pondok pesantren salafiyah di desa
Langkap kecamatan Besuki kabupaten Situbondo, yaitu;
meninggalkan pembiasaan ibadah-ibadah sunnah, melalaikan ibadah-
ibadah wajib, alumni santriwati tidak berbusana yang menutupi
seluruh auratnya dan tidak malu membuka auratnya di tempat terbuka,
melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar. Ketiga,
Sedangkan faktor penyebab terjadinya perubahan perilaku alumni
pondok pesantren salafiyah, yaitu; ada rasa tidak ikhlas mengikuti
kegiatan di pondok pesantren akhinya ketika kembali ke rumah
merasa bebas melakukan apa saja, lingkungan alumni santri sangat
minim dalam mengamalkan ajaran Islam sehingga mempengaruhi
kepribadiannya, himpitan ekonomi membuat gelap mata para alumni
santri untuk menghalalkan segala cara agar kebutuhan pribadi dan
keluarganya dapat terpenuhi, minimnya pembinaan dan pengawasan
orang tua sehingga mereka lebih leluasa melakukan apa saja, usia
alumni santri yang masih remaja sehingga mudah dipengaruhi oleh
lingkungan, pendeknya rentan waktu di pondok pesantren berdampak
tidak kokohnya ilmu pada diri alumni santri.
Nampaknya dengan fenomena tersebut pondok pesantren
salafiyah harus berbenah diri yakni dengan menformulasi ulang
sistem pendidikan yang telah diterapkan selama ini. Perumusan
kurikulum merupakan jalan satu-satunya untuk mengubah produknya
(santri) menjadi lebih baik daripada sebelumnya, salah satu langkah

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


37

yang terbaik dalam menformulasi kurikulum yakni dengan melibatkan


semua stakeholder yang ada dalam pondok pesantren salafiyah sebab
mereka mempunyai peranan yang sangat penting dalam
komprehensifnya sebuah kurikulum pondok pesantren. Tidak kalah
pentingnya bagi para orang tua alumni pondok pesantren salafiyah
sebagai orang yang paling dekat dengan mereka, hendaknya selalu
mengawasi dan membimbing ketika mereka melakukan hal-hal yang
menyimpang dari ajaran Islam, serta akan lebih sempurna lagi jika
para orang tua didukung penuh oleh pemerintah desa dan para tokoh
masyarakat untuk memberdayakan alumni pondok pesantren salafiyah
yaitu dengan cara menyibukkan mereka dengan berbagai kegiatan
yang bersifat positif dan produktif sehingga akan meminimalisir dari
kegiatan yang sifatnya kurang bermanfaat bagi mereka.

Daftar Pustaka

Agustiani, Hendriati. Psikologi Perkembangan (Pendekatan Ekologi


Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada
Remaja). (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009) cetakan II

Aji Jaya Hidayat, Dyah.“Perbedaan Penyesuaian Diri Santri Di


Pondok Tradisional dan Modern”. Jurnal Talenta Psikologi-
Vol. 1 No. 2-Agustus 2012

Alwisol. Edisi Revisi Psikologi Kepribadian. (Malang, UMM Press:


2009) cetakan VII

Anissa, Nova. “Hubungan Antara Konsep Diri dan Kematangan


Emosi Dengan Penyesuaian Diri Istri Yang Tinggal Bersama
Keluarga Suami”. Jurnal Psikologi Pitutur-Vol. 1 No. 1-Juni
2012

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


38

Annisa Rahmadhiani, Desi. “Pengaruh Sinetron Terhadap Perubahan


Perilaku Negatif Remaja di Desa Demangan Siman Ponorogo
(Study Kasus RT 01 & RT 02 RW 01 di desa Demangan Siman
Ponorogo)”. Skripsi. (Ponorogo: UNMUH Ponorogo, 2012)

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


(Jakarta: Rineka Cipta, 2002) cetakan III

Darmopoli, Mujiono. Pesantren Modern IMMIM; Pencetak Muslim


Modern. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) cetakan I

Daniel Cervone dan Lawrence A. Pervin. Kepribadian: Teori dan


Penelitian (Personality: Theory and Research). (Jakarta,
Salemba Humanika: 2012)

Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan


Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007) cetakan II

Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya Offset, 2005) cetakan I

Djuwaini, Suhartono. “Manajemen Pembelajaran Pondok Pesantren:


Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak
Yogyakarta. Tesis. (Surabaya: Program Pasca Sarjana
Universitas Sunan Giri, 2005)

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa.


(Yogyakarta: Pustaka Jaya, 2005)

Gerungan. Psikologi Sosial. (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010)


cetakan III

Ghazali, M. Bahri. Pesantren Berwawasan Lingkungan. (Jakarta: CV.


Prasasti, 2003) cetakan III

Humaiyah, Dewi. “Mahasiswa dan Perubahan Sosial (Studi Tentang


Perubahan Perilaku Keagamaan Mahasiswa Alumni Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Jombang di Universitas Islam Negeri

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


39

Sunan Ampel Surabaya)”. Skripsi. (Surabaya: UIN Sunan


Ampel, 2014)

Ikhsan, Muhammad. “Kepemimpinan Kiai di Pondok Pesantren Wali


Songo Ngabar Ponorogo Jawa Timur”. Tesis. (Yogyakarta:
Program Pasca Sarjana Universitas Islam Sunan Kalijaga,
2007)

Iman, Nurul. “Wakaf dan Kemandirian Pendidikan (Studi


Pengelolaan Wakaf di Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo). Disertasi. (Semarang: Program Doktor Institut
Agama Islam Negeri Walisongo, 2012)

Indra, Hasbi. Pesantren dan Transformasi Sosial “Studi Atas


Pemikiran KH. Abdullah Syafe’i Dalam bidang pendidikan
Islam ”. (Jakarta, Penamadani: 2005)

Santrock, J. W. Psikologi Perkembangan Jilid 2. (Jakarta: Erlangga,


2007)

Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta:


Sarasin, 1996)

Kumalasari, Fani. “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan


Penyesuaian Diri Remaja Di Panti Asuhan”. Jurnal Psikologi
Pitutur-Vol. 1 No. 1-Juni 2012

Laxmi Devi (eds). Encyclopedia of Social Research. (New Delhi:


Mehra Offset Press, 1997)

Lisya Chairani & M.A. Subandi. Psikologi Santri Penghafal Al-


Qur’an Peranan Regulasi Diri. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010) cetakan I

Mahmud. Psikologi Pendidikan. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012)


cetakan II

Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2001) cetakan II

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


40

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Yogyakarta:


Rake Sarasin, 1996) cetakan I

Netty Hartati, Zahrotun Nihayah, Abdul Rahman, Abdul Mujib. Islam


dan Psikologi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
cetakan I

Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.


(Jakarta: Rineka Cipta 2007).

Putro, Muhammad Nasukha Wasono. “Manajemen Pendidikan


Bahasa Terpadu di Pondok Pesantren Al-Husna
Sumbergempol Tulung Agung Jawa Timur”. Tesis.
(Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Islam Sunan
Kalijaga, 2008)

Qomar, Mujamil. Pesantren; Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi. (Jakarta: Erlangga, 2005) cetakan III

Richaniah, Miftachul. “Hubungan tingkat kecerdasan emosional


dengan perilaku sosial santri pondok pesantren puteri Al
Hikmah Tugurejo-Tugu Semarang”. Skripsi. (Semarang: IAIN
Walisongo, 2014)

Rodlimakmun, A. Pembentukan Karakter Berbasis Pendidikan


Pesantren (Studi di Pondok Pesantren Tradisional dan
Modern di kab. Ponorogo). (Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2014) cetakan I

Sarwono, Sarliko W. Psikologi Remaja. (Jakarta: PT. Rajagrafindo


Persada, 2011) cetakan XIV

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Rajawali,


1987)

Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. (Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 1997)

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam


41

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013) cetakan X

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: Alfabeta,


2013) cetakan VIII

Syamsu Rizal, Ahmad. “Transformasi Corak Edukasi dalam Sistem


Pendidikan Pesantren”. Jurnal Pendidikan Agama Islam -
Ta’lim Vol. 9 No. 2 - 2011

Taufik, Ahmad. “Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seks Pranikah


(Studi Kasus Smk Negeri 5 Samarinda)”. eJournal Sosiatri-
Sosiologi, Vol. 1 No. 2 - 2013

Zuhriy, M. Syaifuddien. Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter


Pada Pondok Pesantren Salaf. Jurnal Walisongo, Volume 19,
Nomor 2, November 2011

http://sulsel.kemenag.go.id/file/file/ArtikelTulisan/klbc1367941885.p
df (diakses pada tanggal 12 Agustus 2015)

http://kamusbahasaindonesia.org/perubahan/miripKamusBahasaIndon
esia.org diakses pada tanggal 4 Januari 2016)

Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016


42

ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam

You might also like