Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Model Pembelajaran Generatif

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Jurnal Didaktik Matematika Martunis, dkk

ISSN: 2355-4185

Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis


Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Model Pembelajaran Generatif
Martunis 1,3, M. Ikhsan1, Syamsul Rizal2
1
Program Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala
2
Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
3
SMA Negeri 2 Delima, Kabupaten Pidie
Email: [email protected]

Abstract. The low ability of students' mathematical understanding and


communication as well as the importance of both the enhanced capabilities require
a learning model that provides the opportunity for students to construct their own
knowledge, one of models is generative learning model. For this reason,
researchers interested in conducting research on the application of generative
learning model in mathematics learning activities. This study was an
experimental study with quantitative approach aimed to obtain the increase
in the ability of students' mathematical understanding and communication in
mathematical learning using generative learning model reviewed based on
the overall student and the student level. This study used a pretest-posttest
design with control group. Data collecting by using a test to determine the
gain of ability students' mathematical understanding and communication.
Based on analysis of the data concluded that (1) the increase of students
mathematical understanding abilities which learning obtain by generative
models better than the increase of students' mathematical understanding
abilities taught by conventional learning reviewed by overall student or
student level, (2) the increase of students mathematical communication
abilities taught by learning generative models better than the increase of
students' mathematical communication abilities which taught conventional
learning reviewed based on the overall student and the student level, (3)
there is no interaction between the factors of the learning approach with the
level of mathematical ability and the increase of students 'mathematical
understanding, and (4) there is no interaction between factors learning
aproach and the level of students to the improvement of students'
mathematical communication abilites.
Keywords: mathematical understanding abilities, mathematical
communication abilities, generative learning model, conventional learning.

Pendahuluan

Matematika mempunyai sifat yang abstrak yang terdiri dari fakta, operasi atau
relasi, konsep dan prinsip (Abdul, 2008). Sehingga untuk mempelajari matematika
diperlukan pemahaman konsep yang baik. Sebelum memahami suatu konsep dalam
matematika, maka diperlukan pemahaman konsep lain yang terkait. Dengan kata lain,

75
Jurnal Didaktik Matematika Vol. 1, No. 2, September 2014

untuk memahami suatu konsep yang baru diperlukan pemahaman konsep sebelumnya.
Oleh karena itu, betapa pentingnya untuk memahami suatu konsep yang sederhana
karena dari pemahaman konsep yang sederhana itulah berangkatnya suatu pemahaman
konsep yang rumit.
Kenyataan di lapangan pemahaman siswa terhadap matematika masih rendah.
Ruseffendi (1991) dan Wahyudin (2008) menyatakan bahwa banyak anak setelah
belajar matematika, bagian yang sederhanapun banyak yang tidak dipahaminya, banyak
konsep yang dipahami secara keliru. Hal ini memberi makna bahwa masih rendahnya
pemahaman matematis siswa dalam pembelajaran matematika.
Dalam Kurikulum 2006, di samping pemahaman, komunikasi juga merupakan
kemampuan yang perlu dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa. Melalui komunikasi
matematis siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik
secara lisan maupun tulisan, disamping renegosiasi respon antar siswa akan dapat terjadi
dalam proses pembelajaran. Pada akhirnya komunikasi matematis dapat membawa
siswa pada pemahaman yang mendalam tentang konsep matematika yang telah
dipelajari.
Baroody (Ansari, 2003) mengatakan bahwa ada dua alasan penting mengapa
komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuh kembangkan. Pertama,
matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola,
menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, akan tetapi matematika juga
merupakan suatu alat yang tidak ternilai untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan
jelas, tepat, dan ringkas. Kedua, pembelajaran matematika merupakan aktivitas sosial
dan juga sebagai wahana interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.
Kenyataan di lapangan, kemampuan komunikasi matematis siswa tidak seperti
yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian yang menyatakan
rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika.
Seperti halnya hasil penelitian Istiqomah (2007), Rohaeti (2003), dan Qohar (2009)
yang menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih
kurang/rendah, baik dalam melakukan komunikasi secara lisan ataupun tulisan. Hal ini
mungkin karena siswa tidak dibiasakan dalam mengemukakan pendapat/gagasan/ide
dalam pembelajaran di sekolah, padahal siswa yang mampu mengkomunikasikan idenya
baik secara lisan atau tulisan, akan lebih banyak menemukan cara penyelesaian suatu
permasalahan.
Kesulitan siswa dalam memahami matematika, tentunya akan mempengaruhi
kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan ide matematika. Menurut Ansari
(2003) kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu aspek yang dapat
mempengaruhi kemampuan komunikasi matematis. Bisa kita pahami bahwa siswa tidak
akan bisa mengkomunikasikan ide-ide matematis, tanpa bisa memahami ide matematis
tersebut. Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa kemampuan komunikasi seorang siswa
akan tinggi apabila kemampuan pemahaman matematikanya tinggi.
Rendahnya kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa akan
berpengaruh pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah. Seorang siswa yang tidak
mampu memahami suatu ide matematis, maka akan sulit baginya untuk
mengkomunikasikan ide tersebut baik secara lisan ataupun tulisan. Ketidakmampuan
siswa dalam mengkomunikasikan ide akan mengakibatkan siswa tidak mampu
mengerjakan soal-soal atau permasalahan sehingga berdampak pada rendahnya prestasi
siswa.

76
Jurnal Didaktik Matematika Martunis, dkk

Kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa yang rendah sangat mungkin


dikarenakan penggunaan model pembelajaran yang tidak sesuai. Oleh karena itu
diperlukan suatu model pembelajaran yang mampu meningkatkan pemahaman dan
komunikasi matematis siswa. Salah satu model pembalajaran yang diyakini efektif
meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis adalah model
pembelajaran generatif. Osborno dan Cosgrove (Holil, 2008) mengatakan pembelajaran
generatif merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian
secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki
siswa sebelumnya.
Model Pembelajaran generatif terdapat tahapan yang menuntut siswa lebih aktif
berkomunikasi dan mengkonstruk pengetahuan sendiri. Terdapat lima tahapan
pembelajaran generatif, Osborne dan Wittrock (La Moma, 2012) yakni: (1) tahap
orientasi; (2) tahap pengungkapan ide; (3) tahap tantangan dan restrukturisasi; (4)
tahap penerapan; (5) tahap melihat kembali. Melalui tahapan model pembelajaran
generatif dapat diciptakan suatu iklim belajar yang memungkinkan siswa mendapat
kebebasan dalam mengajukan ide-ide, pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah
sehingga belajar matematika lebih efektif dan bermakna.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi
matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran generatif berdasarkan
keseluruhan siswa dan level siswa, dan mengetahui apakah terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan level siswa terhadap peningkatan kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

Kajian Pustaka
Pemahaman dan komunikasi matematis merupakan kemampuan yang perlu
dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa seperti yang diamanatkan dalam kurikulum
2006. Melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi
berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan, disamping renegosiasi respon
antar siswa akan dapat terjadi dalam proses pembelajaran. Pada akhirnya komunikasi
matematis dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang konsep
matematika yang telah dipelajari.
Baroody (Ansari, 2003) mengatakan bahwa ada dua alasan penting mengapa
komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuh kembangkan. Pertama,
matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola,
menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, akan tetapi matematika juga
merupakan suatu alat yang tidak ternilai untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan
jelas, tepat, dan ringkas. Kedua, pembelajaran matematika merupakan aktivitas sosial
dan juga sebagai wahana interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.
Kenyataan di lapangan, kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis
siswa tidak seperti yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian
yang menyatakan rendahnya kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa
dalam pembelajaran matematika. Seperti halnya hasil penelitian Rusefendi (1991) dan
Wahyudin (2008) menyatakan bahwa banyak anak setelah belajar matematika, bagian
yang sederhanapun banyak yang tidak dipahaminya, banyak konsep yang dipahami
secara keliru. Sedangkan Istiqomah (2007), Rohaeti (2003), dan Qohar (2009) yang
menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih kurang/rendah,
baik dalam melakukan komunikasi secara lisan ataupun tulisan. Hal ini mungkin karena

77
Jurnal Didaktik Matematika Vol. 1, No. 2, September 2014

siswa tidak dibiasakan dalam mengemukakan pendapat/gagasan/ide dalam


pembelajaran di sekolah, padahal siswa yang mampu mengkomunikasikan idenya baik
secara lisan atau tulisan, akan lebih banyak menemukan cara penyelesaian suatu
permasalahan.
Kesulitan siswa dalam memahami matematika, tentunya akan mempengaruhi
kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan ide matematika. Menurut Ansari
(2003) kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu aspek yang dapat
mempengaruhi kemampuan komunikasi matematis. Bisa kita pahami bahwa siswa tidak
akan bisa mengkomunikasikan ide-ide matematis, tanpa bisa memahami ide matematis
tersebut. Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa kemampuan komunikasi seorang siswa
akan tinggi apabila kemampuan pemahaman matematikanya tinggi.
Rendahnya kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa akan
berpengaruh pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah. Seorang siswa yang tidak
mampu memahami suatu ide matematis, maka akan sulit baginya untuk
mengkomunikasikan ide tersebut baik secara lisan ataupun tulisan. Ketidakmampuan
siswa dalam mengkomunikasikan ide akan mengakibatkan siswa tidak mampu
mengerjakan soal-soal atau permasalahan sehingga berdampak pada rendahnya prestasi
siswa.
Kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa yang rendah sangat mungkin
dikarenakan penggunaan model pembelajaran yang tidak sesuai. Oleh karena itu
diperlukan suatu model pembelajaran yang mampu meningkatkan pemahaman dan
komunikasi matematis siswa. Salah satu model pembalajaran yang diyakini efektif
meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis adalah model
pembelajaran generatif. Osborno dan Cosgrove (Holil, 2008) mengatakan pembelajaran
generatif merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian
secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki
siswa sebelumnya.
Pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan
pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan
yang sudah dimiliki siswa sebelumnya, Osborno dan Cosgrove (Holil, 2008).
Pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara menggunakannya dalam menjawab
persoalan atau gejala yang terkait. Jika pengetahuan baru itu berhasil menjawab
permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan dalam memori
jangka panjang.
Pembelajaran generatif dengan landasan teoritik yang berakar pada teori-teori
belajar konstruktivisme mengenai belajar dan pembelajaran. Teori konstruktivisme
didasari oleh ide-ide Piaget, Bruner, Vygotsky dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa
pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Menurut Sanjaya (2008), pengetahuan yang
dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna;
sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan
menjadi pengetahuan yang bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat
sementara setelah itu dilupakan. Senada dengan hal tersebut, Suherman, Turmudi,
Suryadi, Herman, Suhendra, Prabawanto, Nurjanah, dan Rohayati (2003)
mengungkapkan bahwa dalam kelas yang konstruktif seorang guru tidak mengajarkan
kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah
dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan

78
Jurnal Didaktik Matematika Martunis, dkk

permasalahan. Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi


dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Beberapa prinsip pembelajaran dengan konstruksivisme diantaranya
dikemukakan oleh Steffe dan Kieren (Suherman, Turmudi, Suryadi, Herman, Suhendra,
Prabawanto, Nurjanah, dan Rohayati, 2003) yaitu observasi dan mendengar aktifitas dan
pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar.
Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruksivisme aktivitas matematika mungkin
diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi kelas.
Disebutkan pula bahwa dalam konstruksivisme proses pembelajaran senantiasa
“problem centered approach”, di mana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang
memiliki makna matematika.
Proses pembelajaran yang terjadi menurut pandangan konstruktivisme
menekankan pada kualitas dari keaktifan siswa dalam menginterpretasikan dan
membangun pengetahuannya. Setiap organisme menyusun pengalamannya dengan jalan
menciptakan struktur mental dan menerapkannya dalam pembelajaran. Suatu proses
aktif dimana organisme atau individu berinteraksi dengan lingkungannya dan
mentransformasinya ke dalam pikirannya dengan bantuan struktur kognitif yang telah
ada dalam pikirannya.
Pembelajaran dengan model pembelajaran generatif merupakan salah satu model
yang berakar pada konstruktivisme. Model ini dapat diterapkan antara lain dalam
pembelajaran kooperatif, yang memberi siswa kesempatan untuk berinteraksi secara
sosial dan berkomunikasi dengan sesamanya untuk mencapai tujuan pembelajaran dan
guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator.
Dalam pembelajaran generatif siswa diberi kebebasan untuk mengemukakan ide
atau pendapat, menanggapi pendapat teman, mengkritik, dan beralasan. Proses tersebut
berlangsung dalam tahapan-tahapan pembelajaran. Tahapan-tahapan tersebut berujung
pada penemuan suatu konsep yang kemudian diaplikasikan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan kehidupan sehari-hari.
Tahapan model pembelajaran generatif yang digunakan dalam tulisan ini,
mengacu pada tahap-tahap yang diusulkan oleh Osborne dan Wittrock (La Moma,
2012) yakni: (1) tahap orientasi; (2) tahap pengungkapan ide; (3) tahap tantangan dan
restrukturisasi; (4) tahap penerapan; (5) tahap melihat kembali.

Metodelogi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan pendekatan kuantitatif.


Penelitian ini merupakan penelitian true eksperimen atau eksperimen murni. Desain
penelitian berbentuk pretest-posttest control group design (Sugiyono, 2009). Populasi
penelitian ini siswa kelas X SMA Negeri 1 Teunom Kabupaten Aceh Jaya yang terdiri
dari 4 kelas. Sedangkan sampel yang dipilih secara random terdiri dari dua kelas yaitu
kelas X.a sebagai kelas eksperimen dan kelas X.b sebagai kelas kontrol. Variabel bebas
terdiri dari model pembelajaran generatif dan model pembelajaran konvensional.
Variabel terikat adalah kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan komunikasi
matematis siswa.
Untuk memperoleh data penelitian digunakan instrumen penelitian berupa tes
kemampuan pemahaman matematis dan tes kemampuan komunikasi matematis. Data
dikumpul dengan melakukan pretes dan postes pada kelas kontrol dan kelas eksperiman.

79
Jurnal Didaktik Matematika Vol. 1, No. 2, September 2014

Sebelum dilakukan uji hipotetis, dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas
distribusi data dan uji homogenitas varians data.
Adapun uji statistik yang digunakan pada pengolahan data sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan
kemampuan komunikasi matematis baik berdasarkan keseluruhan siswa maupun
berdasarkan level siswa digunakan uji perbedaan dua rata-rata yaitu uji
Independent-samples T Test.
b. Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan
level siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis dan
kemampuan komunikasi matematis digunakan Uji ANOVA dua jalur.

Hasil dan Pembahasan


a. Analisis Peningkatan Kemampuan Pemahaman Matematis
Hasil uji perbedaan ngain untuk keseluruhan siswa seperti dalam tabel
berikut:
Tabel 1. Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata N-Gain Kemampuan Pemahaman
Matematis
Levene’s Test Sig. t-test Sig (2-tailed) Kesimpulan
0,214 0,000 Tolak Ho
Berdasarkan tabel di atas didapat nilai Sig = 0,000 < 0,05 maka hal tersebut
menjadikan ditolaknya H0 dan diterimanya Ha. Hasil ini memberikan arti bahwa
rata-rata N-Gain kemampuan pemahaman matematis siswa kelas eksperimen lebih
tinggi dari rata-rata N-Gain kemampuan pemahaman matematis kelas kontrol.

Hasil uji perbedaan ngain untuk level siswa seperti tabel berikut:

Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Peningkatan Pemahaman Matematis


Level Siswa Levene’s Test Sig. t-test Sig (2-tailed) Kesimpulan
Tinggi 0,169 0,000 Tolak Ho
Sedang 0,928 0,000 Tolak Ho
Rendah 0,202 0,000 Tolak Ho

Dari tabel didapat nilai Sig = 0,000 untuk perbedaan level tinggi, Sig =
0,001 untuk level sedang dan Sig = 0,000 untuk level rendah. Dengan hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan level siswa peningkatan kemampuan
pemahaman matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari siswa kelas kontrol.
Berdasarkan analisis peningkatan kemampuan pemahaman matematis
ditinjau dari keseluruhan siswa dan level siswa dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelas eksperimen lebih baik dari
pada peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelas kontrol.

b. Analisis Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis


Hasil uji perbedaan ngain keseluruhan siswa seperti dalam tabel berikut:

80
Jurnal Didaktik Matematika Martunis, dkk

Tabel 3. Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata N-Gain Kemampuan Komunikasi


Matematis
Levene’s Test Sig. t-test Sig (2-tailed) Kesimpulan
0,019 0,000 Tolak Ho
Dari tabel 3 didapat nilai Sig = 0,000 < 0,05. Berdasarkan kriteria
pengujian, menjadikan ditolaknya H0 dan diterimanya Ha. Dengan hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan keseluruhan siswa peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari siswa kelas kontrol.

Hasil uji perbedaan Ngain untuk level siswa adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Uji Perbedaan Peningkatan Komunikasi Matematis

Level Siswa Levene’s Test t-test


Kesimpulan
Sig. Sig (2-tailed)
Tinggi 0,761 0,004 Tolak Ho
Sedang 0,057 0,000 Tolak Ho
Rendah 0,568 0,000 Tolak Ho

Dari tabel 4 didapat nilai Sig = 0,004 untuk perbedaan level tinggi, Sig =
0,000 untuk level sedang dan Sig = 0,000 untuk level rendah. Dengan hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan level siswa peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari siswa kelas kontrol.
Berdasarkan analisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis
ditinjau berdasarkan keseluruhan siswa dan level siswa dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen lebih baik dari
pada peningkatan kemampuan komunikasi matematis kelas kontrol.

c. Interaksi Peningkatan Kemampuan Pemahaman Matematis

Tabel 5. Hasil Uji Interaksi Antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Siswa
terhadap Peningkatan Kemampuan Pemahaman Matematis

Type III Sum of Mean


Source Df F Sig.
Squares Square
Pembelajaran .333 1 .333 112.045 .000
Level .118 2 .059 19.773 .000
Pembelajaran * Level .014 2 .007 2.364 .106
a. R Squared = ,781 (Adjusted R Squared = ,755)

Berdasarkan hasil pengujian dan hasil analisis yang telah dilakukan


menunjukkan nilai sig = 0,106 > 0,05 yang mengakibatkan diterimanya H0 dan
ditolaknya Ha sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan pemahaman matematis siswa
terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis.

81
Jurnal Didaktik Matematika Vol. 1, No. 2, September 2014

d. Interaksi Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis

Tabel 6. Hasil Uji Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dengan Level Siswa
terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis
Type III Sum of Mean
Source df F Sig.
Squares Square
Kelas .288 1 .288 77.002 .000

Kelompok .123 2 .061 16.397 .000

Kelas * Kelompok .021 2 .010 2.786 .073


a. R Squared = ,750 (Adjusted R Squared = ,720)

Berdasarkan hasil pengujian dan hasil analisis yang telah dilakukan didapat
nilai sig = 0,073 > 0,05 yang mengakibatkan diterimanya H0 dan ditolaknya Ha
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan
pembelajaran dengan level siswa terhadap peningkatan kemampuan komunikasi
matematis.

Pembahasan
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran generatif
lebih baik dari peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran secara konvensional ditinjau berdasarkan keseluruhan siswa maupun
ditinjau berdasarkan level siswa. Dalam pengujian lanjutan juga disimpulkan bahwa
tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan level siswa terhadap peningkatan
kemampuan pemahaman matematis. Hal ini disebabkan ada level siswa yang memiliki
peningkatan kemampuan pemahaman matematis yang tidak berbeda secara signifikan.
Level yang memiliki peningkatan yang tidak berbeda adalah level sedang dan level
rendah pada kelas eksperimen. Hasil ini memberikan pengertian bahwa peningkatan
kemampuan pemahaman matematis dalam pembelajaran generatif hampir merata pada
setiap levelnya dan tidak dipengaruhi oleh level siswa.
Kesimpulan dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
Rafiq dan Gida (2012) yang menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan
pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model generatif
lebih baik dari peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan model konvensional. Hal ini dikarenakan dalam penerapan model
pembelajaran generatif guru secara optimal memberikan bimbingan kepada siswa untuk
dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan dengan cara mengintegrasikan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Selain peningkatan kemampuan pemahaman matematis, dalam penelitian ini juga
menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Hasil analisis dalam
penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis
siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran generatif lebih baik dari peningkatan
komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model konvensional baik ditinjau
berdasarkan keseluruhan siswa maupun level siswa. Namun uji lanjut menunjukkan

82
Jurnal Didaktik Matematika Martunis, dkk

bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan level siswa terhadap
peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Hal ini disebabkan ada level siswa
yang memiliki peningkatan kemampuan komunikasi matematis yang tidak berbeda
secara signifikan. Level yang memiliki peningkatan yang tidak berbeda adalah level
sedang dan level rendah pada kelas eksperimen. Hasil ini memberikan pengertian bahwa
peningkatan kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran generatif hampir
merata pada setiap levelnya dan tidak dipengaruhi oleh level siswa.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan Hulikati (2005) yang menyatakan bahwa kemampuan komunikasi
matematis siswa yang diajarkan dengan model generatif lebih baik dari siswa yang
diajarkan secara konvensional untuk setiap level sekolah yang dijadikan sampel dalam
penelitian.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan karakteristik pembelajaran generatif yang
dikemukakan oleh Wittrock (1992) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran
generatif kemampuan komunikasi siswa akan mengalami peningkatan sebagai hasil dari
upaya siswa menggabungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya.
Sehingga pembelajaran generatif memilki hubungan yang positif dengan kemampuan
komunikasi matematika.

Kesimpulan
a. Ditinjau berdasarkan keseluruhan siswa dan level siswa, peningkatan kemampuan
pemahaman matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
diajarkan dengan pembelajaran model generatif lebih baik dari pada peningkatan
kemampuan pemahaman matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional.
b. Tidak terdapat interaksi antara faktor pendekatan pembelajaran (pembelajaran
generatif dan konvensional) dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap
peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa.
c. Tidak terdapat interaksi antara faktor pendekatan pembelajaran (pembelajaran
generatif dan konvensional) dengan tingkat kemampuan matematika siswa
terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Daftar Pustaka

Abdul, H.F. 2008. Matematika hakikat dan Logika. Yogyakarta: AR-RUZZ Media.

Ansari, B. I.(2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi


Matematik Siswa melalui Strategi Think Talk-Write. Disertasi pada SPS UPI,
Bandung: tidak diterbitkan.

Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yokyakarta: Kanisius

Holil, A.(2008). Menjadi Manusia Pembelajar: Pembelajaran Generatif. [Online]


Tersedia: http://anwarholil.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-generatif
mpg.html

83
Jurnal Didaktik Matematika Vol. 1, No. 2, September 2014

Hulikati, Evi. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan


Masalah Matematika Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Generatif.
Diakses pada tanggal 20 Maret 2013 pada http://diningkatangilib.upi.edu.

Istiqomah, N.(2007). Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika


Siswa SD Negeri Sekaran 2 pada Materi Pokok KPK dan Pecahan dengan
menggunakan Pembelajaran KBK bercirikan Pendayagunaan AlatPeraga
danbPendampingan. [Online].Tersedia: http://digilib.
unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH01a1/01cb6433.dir/doc. Pdf

La Moma. (2012). Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Melalui


Pembelajaran Generatif Siswa SMP. Makalah. Disampaikan pada Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Yogyakarta, 10 November 2012.
Diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.

Lusiana,Yusuf Hartono dan Trimurti Saleh. (2009). Penerapan Model Pembelajaran


Generatif (MPG) untuk Pelajaran Matematika Di Kelas X SMA Negeri 8
Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 3. No. 2. PPs UNSRI

Qohar, A.(2009). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman , Koneksi, dan


Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui
Reciprocal Teaching. Desertasi PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan

Rafiq dan Gida, (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa


SMP melalui Metode Pembelajaran Generatif. Diakses pada tanggal 20 Maret
2014 pada seminar.uny.ac.id.

Ruseffendi. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan


Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung : Tarsito

Rohaeti, E.(2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode Improve


untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik
siswa SLTP. Tesis PPS UPI. Bandung : tidak dipublikasikan

Sanjaya, Wina. (2008). Stategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.


Jakarta: Kencana

Sugiyono (2009). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R & D. Bandung : Alfabeta

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.

84

You might also like