724-Article Text-2018-1-10-20170502
724-Article Text-2018-1-10-20170502
724-Article Text-2018-1-10-20170502
Safrudin Aziz
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto
Jl. Jend. A. Yani No. 40 A Purwokerto 53126
E-mail: [email protected]
A. PENDAHULUAN
Hakikat pernikahan selain sebagai sesuatu yang sakral, rumit, unik dan
menyenangkan, idealnya dilakukan dengan hati yang bahagia, penuh cinta dan
sayang, seperangkat pengetahuan tentang aturan dan tata cara membangun
rumah tangga yang bahagia, serta usia yang cukup. Pengetahuan dan pema-
haman seseorang akan mengantarkan dirinya memiliki kesadaran dan toleransi
untuk hidup dengan pasangannya serta menyelamatkan diri dari berbagai
godaan. Sementara itu, kecukupan usia menjadikan seseorang mampu berpikir
dan bersikap dewasa dalam mengambil sebuah keputusan. Melalui persiapan
tersebut, tujuan utama pernikahan akan tercapai yakni terciptanya keluarga
yang saki>nah. Keluarga saki>nah dalam pandangan umum merupakan keluarga
yang bahagia, damai, rukun, saling pengertian untuk memahami kebutuhan dan
kekurangan pasangan serta tidak mengukur kunci kebahagiaan keluarga pada
kacamata harta yang melimpah dan kedudukan yang mapan.
Konsep keluarga saki> n ah yang beredar serta menjadi sumber rujukan
primer dalam dunia akademik lebih didominasi oleh pemikiran Timur Tengah
karena berbasis Islam serta teori Barat yang terkemas dalam kajian seputar
happy family counseling of psychology. Adapun pengungkapan konsep mem-
bangun keluarga sakinah berbasis local wisdom dalam tradisi ritual upacara
pernikahan adat Jawa Keraton Surakarta-Yogyakarta seolah tidak memperoleh
proporsi sebagai sumber teoritis bagi masyarakat modern. Bahkan, kini sebagian
besar masyarakat bersikap acuh, menganggap kuno terhadap tradisi tersebut
sebagai dampak adanya pergeseran nilai serta persimpangan budaya secara
global.
adalah keluarga yang tenang dan tenteram, rukun dan damai, dalam keluarga
terjalin hubungan yang mesra dan harmonis, di antara semua anggota keluarga
dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor: D/7/1999 tentang Petun-
juk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah Bab III pasal 3 menya-
takan bahwa keluarga saki>nah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan
yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara layak dan se-
imbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingku-
ngannya dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayati dan
memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia (Departemen
Agama RI, 2001: 21).
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga saki>nah dapat
dipahami sebagai keluarga yang tenang, harmonis, bahagia secara lahir batin,
yang dicapai secara bersama-sama untuk saling memahami antar pasangan serta
saling memenuhi hak serta kewajiban, sekaligus menjadikan dasar keimanan,
ketaqwaan dan ilmu pengetahuan sebagai modal menjalankan roda kehidupan
berumah tangga. Bangunan keluarga saki> n ah dalam perspektif Islam pada
hakikatnya dapat menerapkan prinsip kehidupan berumahtangga Rasulullah
SAW dan sahabat-sahabatnya. Adapun secara matrik bangunan keluarga
saki> n ah tersebut menurut Jaapar dan Azahari (2011: 33) tersusun sebagai
berikut:
Akidah
Iman
Ilmu
Niat
Keluarga Bahagia
Sakinah
Akhlak
Amal Sosial
Amanah
Keselama
tan fiskal
dan
ekonomi
luas. Adapun satu bagian dengan bagian lainnya memiliki keterkaitan secara
utuh, saling melengkapi serta saling berhubungan erat. Selain itu, konsep di atas
idealnya dilakukan dengan niat dan komitmen kuat dari kedua pasangan
sehingga keluarga sakinah sebagai tujuan hidup berumahtangga dapat tercapai
secara sempurna.
giaan berumah tangga tidak akan tercapai secara sempurna. Dengan demikian,
kecukupan sandang, pangan lan papan dianggap sebagai kebutuhan primer.
Secara kalkulatif, tiga kebutuhan primer di atas dapat tercukupi melalui penge-
lolaan ekonomi rumah tangga secara proporsional dan fungsional (Jawa: gemi
nastiti ). Artinya, karakter pemboros dengan menghambur-hamburkan uang
hasil keringatnya sendiri secara berlebihan tanpa memperhitungkan situasi dan
kondisi bertentangan dengan prinsip hidup orang Jawa yakni gemi nastiti.
Semakin terkelola dalam mencari dan mengatur keuangan dalam rumah
tangga, seseorang akan semakin bahagia. Perihal ini selaras dengan ajaran
Asthagina yang berisi delapan kegunaan yang harus diperhatikan dalam ke-
hidupan berumah tangga di antaranya: panggaotan (pekerjaan), rigen (teliti),
gemi (tidak boros), titi (tertib), wruh ing petungan (tahu perhitungan), taberi
tetanya (rajin bertanya), nyegah kayun (mengendalikan kehendak), dan nemeni
seja niat (sungguh-sungguh) (Hadiyana, 2010: 34).
4 . Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Mikul dhuwur mendhem jero secara umum dipahami sikap seorang anak
untuk menjunjung tinggi kehormatan kedua orang tua dengan cara menyimpan
aib serta kekurangan orang tua secantik mungkin sekaligus mengharumkan jasa
orang tua secara melangit. Selain diwajibkan bagi setiap anak, sikap ini secara
khusus juga harus dilakukan suami-istri dalam keluarga. Artinya, seorang suami
harus menutup rapat-rapat aib, kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh
istri dengan menampilkan kelebihan, keunggulan, serta kehebatan yang dimi-
likinya. Begitu pula sebaliknya sikap istri terhadap suami harus mikul dhuwur
mendhem jero sehingga perjalanan rumah tangga senantiasa harmonis secara
lahir maupun batin.
5 . Pasang Sumeh Njroning Ati
Pasang sumeh njroning ati berarti suami dan istri dalam menjalankan kehi-
dupan rumah tangga harus selalu sabar, pasrah, ikhlas dalam menerima segala
masalah yang dihadapi. Selain itu, karakter pasang sumeh njroning ati juga
dapat diinterpretasikan melayani pasangan hidup dalam keluarga idealnya dila-
kukan dengan prinsip mendarmabaktikan diri dengan sepenuh hati, di samping
menghambakan diri untuk mematuhi ajaran Tuhan dengan bersikap melakukan
sesuatu yang terbaik untuk memperoleh ridha-Nya, pasrah, ikhlas, terhadap
takdir yang menetapkannya.
Selanjutnya adalah perhitungan hari kelahiran dan neptu. Hari lahir kedua
calon pasangan digabungkan, sehingga akan terlihat makna gabungan tersebut.
Seperti yang terdapat dalam Primbon Betaljemur Adammakna sebagaimana
ditulis Tjakraningrat (1965: 13) sebagai berikut:
Ahad + ahad (kerep lara/sering sakit), Ahad + Senin (sugih lara/sering sakit),
Ahad + Selasa (mlarat/miskin), Ahad + Rabu (juwana/selamat), Ahad + Kamis
(padu/bertengkar), Ahad + Jum’at (yuwana/selamat), Ahad + Sabtu (mlarat/
miskin), Senin + Senin (ala/buruk), Senin + Selasa (yuwana/selamat), Senin
+ Rabu (anake wadon/anaknya perempuan), Senin + Kamis (disihi wong/
dikasihi orang), Senin + Jum’at (yuwana/selamat), Senin + Sabtu (berkat/
mendapat rahmat), Selasa+Selasa (ala/buruk), Selasa+Rabu (sugih/kaya),
Selasa+Kemis (sugih/kaya), Selasa+Jum’ah (pegat/cerai), Selasa+Saptu (kerep
padu /sering bertengkar), Rabu+Rabu (ala/jelek), Rabu+Kemis (yuwana/
selamat), Rabu +Jum’ah (yuwana/selamat), Rabu + Sabtu (Baik), Kamis +
Kamis (yuwana/selamat), Kamis + Jum’at (yuwana/selamat), Kamis + Sabtu
(pegat/cerai), Jum’ah+Jum’ah (mlarat/miskin), Jum’ah+Saptu (cilaka/celaka),
Sabtu + Sabtu (ala/buruk).
Sementara itu, yang disebut neptu adalah jumlah nilai hari kelahiran dan
nilai pasarannya. Nilai hari kelahiran dan neptu dalam Primbon Betaljemur
Adammakna adalah sebagai berikut: Ahad (5), Senin (4), Selasa (3), Rabu (7),
Kamis (8), Jum’at (6), Sabtu (9). Adapun pasarannya Kliwon (8), Legi (5),
Pahing (9), Pon (7), Wage (4). Kemudian nilai hari dan pasaran digabungkan
menjadi satu selanjutnya dibagi 4. Sisa tersebut merupakan lambang yang ber-
makna sebagai berikut: 1=Gentho (mandul), 2=Gembili (banyak anak), 3=Sri
(banyak rezeki), 4=Punggel (pasangan akan mati salah satu) (Tjakraningrat,
1965: 15).
Dari perhitungan salaki rabi di atas dapat disimpulkan bahwa orang Jawa
sejak dulu mengajarkan bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang bersifat
sakral dan berat dalam perihal tanggung jawab. Terlebih pernikahan secara psi-
kologis mempertemukan dua karakter yang berbeda untuk bekerja sama, saling
memahami dan mencintai hingga maut memisahkan keduanya. Untuk itu,
menurut tradisi Jawa diperlukan perhitungan dengan maksud menemukan
pasangan dengan memiliki karakter, watak, dan kepribadian yang sama atau
paling tidak mendekati guna memperoleh keseimbangan yang harmonis dalam
menempuh hidup berumah tangga kelak. Sebab apabila perpaduan pria dengan
wanita tidak cocok dan tidak seimbang sangat dimungkinkan terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan. Untuk itu perhitungan salaki rabi bermanfaat menen-
tukan calon pasangan hidup secara tepat dari aspek persamaan watak, karakter,
kehendak, agar pernikahan berjalan secara mulus di dunia hingga akhirat.
dan pintu pendopo tengah dihiasi dengan ikatan padi uli dua ikat, tebu wulung
dan tebu kuning dua batang, daun alang-alang dua genggam, kemuning dua
ikat, daun beringin dua ikat, daun kluwih dua lembar dan daun puring dua ikat.
7) Di sekeliling pendopo bagian dalam dihiasi dengan pliapi merah putih dari
kertas krep. Semua perlengkapan ini supaya mendapatkan berkah dari sang
Pencipta sekaligus sebagai sarana untuk menolak gangguan makhluk jahat.
Kelima, srah-srahan yakni keluarga pihak pengantin pria memberikan
barang kepada keluarga pihak pengantin perempuan. Pada umumnya srah-
srahan berisi seperangkat pakaian lengkap, perhiasan, beras, kelapa, alat-alat
rumah tangga, binatang ternak dan sejumlah uang (Endah, 2006: 146). Tradisi
srah-srahan tujuannya membantu persiapan acara pernikahan serta beberapa
barang yang memiliki nilai filosofi sekaligus pengharapan kepada Tuhan
berupa: pisang ayu (pisang raja) dan suruh ayu (daun sirih) sebagai lambang
harapan agar sedya rahayu (selamat), jeruk gulung lambang tekad bulat,
cengkir gadhing lambang kencenging pikir (pikirannya yang telah mantap),
tebu wulung lambang anteping kalbu (kemantapan hati pasangan pengantin),
kain batik yang melambangkan cita-cita luhur seperti sida mukti (tercapai hidup
senang), sida mulya (tercapai dihormati), kain truntum, setagen atau ikat ping-
gang sebagai lambang sandang, satu ikat padi sebagai lambang pangan. Semua
itu adalah perlambang sekaligus doa pengharapan agar maksud s}ah}ib al-h}a>jat
tercapai sesuai dengan permohonannya kepada Tuhan YME.
Keenam, siraman yakni membersihkan jasmani (badan) dan ruhani
sebelum melangsungkan ijab qabul. Acara siraman biasanya dilakukan oleh
ayah, ibu, kakek, nenek dan kerabat sejumlah tujuh orang. Angka tujuh dalam
bahasa Indonesia disebut pitu yang berarti pitulungan. Artinya, melalui siraman
ini pasangan pengantin pria dan wanita akan memperoleh pitulungan (perto-
longan) dari Tuhan.
Setelah ritual siraman selesai, ibu mempelai wanita biasanya menjual
dawet di depan atau di samping rumah dengan dipayungi oleh ayah mempelai
wanita. Pembeli dawet itu menggunakan kreweng (pecahan genting), kemudian
kreweng hasil berjualan dawet oleh ibu disimpan di dekat tempat beras yang
nantinya diberikan kepada mempelai wanita sebagai lambang bekal hidup be-
rumah tangga. Dodol dawet ini bagi masyarakat Jawa merupakan sebuah peng-
harapan agar banyak tamu yang datang dalam menghadiri pesta pernikahan.
Dengan demikian, banyak orang yang mendoakan dan memperoleh sumbangan
secara melimpah.
Ketujuh, midodareni yakni mempelai wanita bersama ibu, ayah dan teman-
teman memanjatkan doa agar i>ja>b qabu>l dan pesta pernikahan keesokan hari-
nya dapat berjalan lancar dan mempelai wanita tampak cantik seperti bidadari.
Tetapi sebelum doa bersama dipanjatkan kedua orang tua menyuapi putrinya
(dulangan pungkasan) sebagai lambang orang tua memberikan suapan terakhir.
Pada saat itu pula terkadang diadakan acara penebusan kembar mayang
yang disebut juga kalpataru dewandaru jayadara atau disebut juga sekar maneka
warna (berbagai macam bunga). Kembar mayang sebagai simbol dari kesejah-
teraan semesta. Akarnya mengandung simbol kekuatan maksudnya pengantin
harus kuat lahir batin, tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Batang
pohon sebagai simbol harus berpondasi pada kekuatan mental yang tangguh,
agar hidup damai tenteram. Dahan sebagai simbol agar dimudahkan dalam
mencari rezeki. Daun simbol kehidupan yang tenteram. Bunga simbol kebaikan
dan keindahan. Buah simbol memberi keturunan yang baik (Sholikin, 2010:
205-206).
Kedelapan, i> j a> b qabu> l yakni akad nikah atas pengesahan seorang pria
dengan wanita menjadi suami-istri yang dilakukan dihadapan penghulu, wali,
saksi, dan disyiarkan kepada masyarakat luas agar kelak tidak terjadi fitnah atas
perilaku yang diperbuat oleh keduanya. Selepas ijab qabul, dalam tradisi perni-
kahan Jawa dilanjutkan dengan upacara panggih yakni temu manten. Pada
acara panggih, pengantin pria dan wanita terlebih dulu dirias kemudian rombo-
ngan pihak keluarga penganten pria membawa sanggan tebusan yang akan
diserahkan kepada orang tua pengantin wanita.
Menurut Hardjo (2000: 59), dalam pelaksanaan acara panggih temu pe-
ngantin di satu daerah dengan daerah yang lain berbeda menurut kebiasaannya
masing-masing, upacara panggih pengantin cukup hanya menggunakan sarana
jawat asta yaitu pengantin pria salaman dengan pengantin wanita, ada yang
hanya menggunakan sarana melangkah daun kluwih, yaitu pengantin pria dan
wanita melangkahi daun kluwih , bahkan ada pula yang menggunakan sarana
midak tigan yaitu pengantin pria menginjak telor, kemudian kakinya dibersih-
kan oleh pengantin wanita. Selain itu, perihal yang paling umum dalam tradisi
panggih adalah menggunakan gantalan sirih (gulungan daun sirih) untuk
balangan (saling melempar) yaitu kedua pengantin saling melempar dengan
lintingan sirih . Lemparan ini mengandung makna untuk lemparan pengantin
pria berarti mengandung bimbingan untuk mencapai cita-cita luhur serta rasa
tanggung jawab dan sebagai pengayom keluarga, lemparan pengantin putri
diartikan godhang kasih artinya istri juga menanggapi, membalas dengan
lemparan bakti yang penuh dengan rasa cinta kasih suci.
Selain itu, Taryati (2013: 161), juga menjelaskan bahwa upacara panggih
lutut orang tua pengantin putri, mulai dari pengantin putri dilanjutkan pengantin
putra dan pada waktu sungkeman keris pusaka yang dipakai pengantin putra
harus dilepas dulu.
Apabila upacara dan ritual di atas telah dilakukan secara paripurna,
berikutnya adalah tilik besan .Tahapan ini dalam perspektif besan sering di-
istilahkan dengan ngunduh mantu . Pengantin disertai dengan orang tua
mempelai wanita beserta keluarga dan tetangga mengunjungi besan. Sesam-
painya di rumah besan , mempelai wanita segera sungkem kepada mertua
diikuti oleh mempelai pria. Hal ini sebagai wujud bakti pengantin pada orang
tua atau mertua. Mertua mendudukan kedua mempelai di pelaminan.
Selanjutnya orang tua pengantin pria menjemput orang tua pengantin wanita
dan diantar untuk duduk di sisi pelaminan berdekatan dengan mempelai pria.
Hal ini sebagai lambang penghormatan besan terhadap orang tua mempelai
wanita.
Penyelenggaraan hajatan mantu (pernikahan) baru bisa dikatakan berakhir
jika telah menyelesaikan prosesi sepasaran yakni mengakhiri pesta pernikahan
dengan melakukan tradisi tilikan (menjenguk) terhadap saudara pernah tua
(kakek, nenek, paman, bibi, pakde dan sebagainya) di hari kelima pasca per-
nikahan. Adapun tujuan penyelenggaraan sepasaran pengantin dilakukan
dengan maksud sebagai tanda pembubaran panitia, selamatan penutupan seka-
ligus memberi nama tua pada pengantin pria. Sementara itu, menurut
pandangan Sumarsono (2007: 46) biasanya tiga hari setelah hajatan mantu
selesai, pihak besan datang dengan tujuan untuk mengetahui situasi dan kondisi
keluarga pengantin putri. Dalam kegiatan ini terbatas untuk kalangan keluarga
dekat saja atau dapat pula meminta bantuan orang lain yang dianggap istimewa.
Apabila mempelai pria sudah memiliki tempat tinggal atau berniat untuk
memboyong istri dari rumah mertuanya, tahap paling akhir melakukan tradisi
selapanan (tiga puluh lima hari). Prosesi selapanan ini terkadang dilakukan oleh
suami-istri dengan dibekali piring, coet dan mutu, gelas, serta perlengkapan
dapur lainnya oleh orang tua. Itulah akhir dari tradisi dan ritual pernikahan adat
Jawa.
G. SIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ritual upacara
pernikahan adat Jawa keraton secara substantif tidak sebatas dipahami sebagai
ritual fisik tanpa arti. Ritual pernikahan adat Jawa Keraton mengandung makna
filosofis dan spiritual Islami yang terkemas dalam bentuk simbol guna mem-
bangun rumah tangga yang sakinah. Pertama, tradisi nontoni sebagai bentuk
ta’aruf kerap dilakukan orang Jawa secara santun dalam memilih jodoh bagi
putra-putrinya. Kedua, pemilihan jodoh hingga melakukan resepsi pernikahan
memerlukan persiapan, perencanaan, perhitungan secara matang agar suami-
istri bisa hidup bahagia, selamat serta memperoleh keberkahan. Ketiga, acara
resepsi pernikahan dalam adat Jawa keraton merupakan bentuk syukur,
merekatkan kembali hubungan silaturrahim, sekaligus mengumumkan atas
pernikahan putra-putrinya kepada kerabat, kawan dan tetangga sehingga tidak
timbul fitnah. Keempat , keluarga sakinah dapat tercipta apabila hak dan
kewajiban dilakukan secara bersama-sama antara suami dengan istri dengan
dilandasi oleh jiwa pengabdian secara ikhlas.
DAFTAR PUSTAKA
Adhim, Muhammad Fauzil. 1998. Memasuki Pernikahan Agung. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.
Basri, Hasan. 1996. Membina Keluarga Sakinah. Jakarta: Pustaka Antara.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 2006. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.